Anda di halaman 1dari 33

1.

MM Fraktur Basis Cranii


DEFINISI
Fraktur berarti bahwa telah ada
kerusakan baik satu atau lebih tulang pada
tengkorak. Meskipun dalam hal ini sangat
menyakitkan, ancaman yang lebih besar
adalah bahwa membran, pembuluh darah,
dan bahkan otak, yang berada di dalam
tengkorak dapat terlindungi. Fragmen kecil
dari tengkorak juga bisa pecah dan
menyebabkan kerusakan tambahan pada
otak. Selain itu, energi yang dipakai dalam
benturan tengkorak bisa melukai jaringan
otak.
Fraktur
tulang
tengkorak
dapat
diklasifikasikan dalam salah satu dari dua
cara, baik dengan jenis cedera yang diderita
atau lokasi dari cederanya. Sebuah fraktur
tengkorak basilar terjadi di dasar tengkorak.
Ini adalah cedera yang sangat jarang terjadi
hanya dalam 4% dari semua kasus fraktur.
Fraktur ini pada dasarnya adalah fraktur
linear, atau retak garis lurus di dasar
tengkorak. Patah tulang tengkorak basilar
bisa sangat berbahaya karena batang otak
dapat terluka, yang antara lain mengirimkan
pesan dari otak ke sumsum tulang belakang.
Jika otak atau batang otak terluka maka
kematian seringkali sangat mungkin terjadi.
Fraktur basis Cranii terjadi karena
adanya trauma tumpul yang menyebabkan
kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Ini
sering dikaitkan dengan perdarahan di
sekitar mata (raccoon eyes) atau di belakang
telinga (Battle sign). Garis fraktur dapat
meluas ke sinus wajah yang memungkinkan
bakteri dari hidung dan mulut untuk masuk
keadalam
dan
kontak
dengan
otak,
menyebabkan infeksi yang potensial.
Anatomi
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria)
dan basis Craniii. Tulang tengkorak terdiri

dari beberapa tulang yaitu: Os frontal, Os


Ethmoidal, Os sphenoidal, Os occipital dan
Os
temporal,
pada
regio
temporal
strukturnya lebih tipis, namun pada bagian
ini dilindungi oleh otot-otot temporalis.
Basis Craniii memiliki bentuk yang tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak
saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa
yaitu : fossa Cranii anterior, fossa Cranii media
dan fossa Cranii posterior

Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada


daerah anterior, meskipun kalvaria tengah
adalah bagian terlemah dari basis Cranii
namun hanya 20% fraktur yang ditemukan dan
sekitar 5% fraktur pada daerah posterior.
Fossa crania anterior : Melindungi lobus
frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh

permukaan dalam os frontale, batas superior


adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa
dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di
lateral dan oleh lamina cribiformis os
etmoidalis di media. Permukaan atas lamina
cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan
lubang-lubang halus pada lamini cribrosa
dilalui oleh nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa Cranii anterior, lamina
cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan
ini dapat menyebabkan robeknya meningeal
yang menutupi mukoperiostium. Pasien
dapat mengalami epistaksis dan terjadi
rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes
ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai
pars orbita os frontal mengakibatkan
perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes
atau periorbital ekimosis) yang merupakan
salah satu tanda klinis dari fraktur basis
cranii fossa anterior
Fossa Cranii media : Terdiri dari bagian
medial yang dibentuk oleh corpus os
sphenoidalis dan bagian lateral yang luas
membentuk cekungan kanan dan kiri yang
menampung lobus temporalis cerebri. Di
anterior dibatasi oleh ala minor os
sphenoidalis dan terdapat canalis opticus
yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica,
sementara bagian posterior dibatasi oleh
batas atas pars petrosa os temporal.
Dilateral terdapat pars squamous pars os
temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan
celah antara ala mayor dan minor os
sphenoidalis
dilalui
oleh
n.lacrimalis,
n.frontale, n.trochlearis, n.occulomotorius
dan n.abducens.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering
terjadi, karena daerah ini merupakan tempat
yang paling lemah dari basis Cranii. Secara
anatomi kelemahan ini disebabkan oleh
banyaknya foramen dan canalis di daerah ini.
Cavum timpani dan sinus sphenoidalis
merupakan daerah yang paling sering

terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya


darah dari canalis acusticus externus sering
terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII
dapat cedera pada saat terjadi cedera pada
pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV
dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus
cavernosus robek.
Fossa Cranii posterior melindungi otak
otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan
medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi
oleh pinggir superior pars petrosa os
temporal dan di posterior dibatasi oleh
permukaan dalam pars squamosa os
occipital. Dasar fossa Cranii posterior
dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan
squamosa os occipital dan pars mastoiddeus
os temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat
dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla
oblongata
dengan
meningens
yang
meliputinya, pars spinalis assendens n.
accessories dan kedua a.vertebralis.
Pada fraktur fossa Cranii posterior darah
dapat merembes ke tengkuk di bawah otototot
postvertebralis.
Beberapa
hari
kemudian, darah ditemukan dan muncul di
otot otot trigonu posterior, dekat prosesus
mastoideus.
Membrane
mukosa
atap
nasofaring dapat robek, dan darah mengalir
keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen
jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.
PATOFISIOLOGI
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat
benturan langsung pada daerah-daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita); transmisi energy yang berasal
dari benturan pada wajah atau mandibula,
atau efek remote dari benturan pada
kepala
(gelombang
tekanan
yang
dipropagasi
dari
titik
benturan
atau
perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah
adalah jenis ring fracture, karena area ini

mengelilingi foramen magnum, apertura di


dasar tengkorak di mana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit biasanya segera
berakibat fatal akibat cedera batang otak.
Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai
(Hooper et al. 1994). Kematian biasanya
terjadi seketika karena cedera batang otak
disertai dengan avulsi dan laserasi dari
pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan
berbagai mekanisme termasuk benturan dari
arah mandibula atau wajah dan kubah
tengkorak, atau akibat beban inersia pada
kepala (sering disebut cedera tipe whiplash).
Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika
dada pengendara sepeda motor berhenti
secara
mendadak
akibat
mengalami
benturan dengan sebuah objek misalnya
pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba
mengalami percepatan gerakan namun pada
area medulla oblongata mengalami tahanan
oleh foramen magnum, beban inersia
tersebut
kemudian
meyebabkan
ring
fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe
vertikal,
arah
benturan
dari
inferior
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau
ruda paksa dari arah superior kemudian
diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang
tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :
fraktur sederhana (simple) suatu fraktur
linear pada tulang tengkorak
fraktur depresi (depressed) apabila
fragmen tulang tertekan ke bagian lebih
dalam dari tulang tengkorak
fraktur campuran (compound) bila terdapat
hubungan langsung dengan lingkungan luar.
Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada
fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang
biasanya
melalui
sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah
suatu fraktur linear pada basis cranii.
Biasanya disertai dengan robekan pada

duramater dan terjadi pada pada daerahdaerah


tertentu
dari
basis
cranii.
Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari
seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga
subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe
longitudinal, transversal, dan tipe campuran
(mixed).
a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio
temporoparietal
dan
melibatkan
pars
skuamosa os temporal, atap dari canalis
auditorius eksterna, dan tegmen timpani.
Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior
dan ke posterior hingga cochlea dan
labyrinthine capsule, berakhir di fossa media
dekat foramen spinosum atau pada tulang
mastoid secara berurut.
b. Fraktur transversal mulai dari foramen
magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth,
berakhir di fossa media.
c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari
fraktur longitudinal dan fraktur transversal.
Masih ada sistem pengelompokan lain untuk
fraktur os temporal yang sedang diusulkan.
Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur
petrous dan nonpetrous; dimana fraktur
nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang
melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini
tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus
cranialis.
Fraktur condylus occipital adalah akibat dari
trauma tumpul bertenaga besar dengan
kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral,
atau cedera rotasi pada ligamentum alar.
Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe
berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi.
Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur
bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan
atau tanpa cedera ligamentum yakni :
a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat
kompresi axial yang mengakibatkan fraktur
kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah
suatu fraktur yang stabil.

b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari


benturan langsung. Meskipun akan meluas
menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II
dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena
masih utuhnya ligamentum alae dan membran
tectorial.
c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat
cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang
dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi
menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.
Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari
benturan bertenaga besar yang biasanya
disebabkan
oleh
kecelakaan
kendaraan
bermotor.
Sumber
literatur
mengelompokkannya
menjadi
tipe
longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur
tipe longitudinal memiliki prognosis paling
buruk, terutama bila mengenai sistem
vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini
disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.
JENIS FRAKTUR
Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari
semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3 suptipe
dari fraktur temporal berupa longitudinal,
transversal dan mixed. Tipe transversal dari
fraktur temporal dan type longitudinal fraktur
temporal ditunjukkan di bawah ini.
(A)Transverse temporal bone fracture and
(B)Longitudinal
temporal
bone
fracture
(courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas
Jefferson
University,
Philadelphia,
Pennsylvania)

A
B
Fraktur
longitudinal
terjadi
pada
regio
temporoparietal
dan
melibatkan
bagian
squamousa pada os temporal, dinding superior
dari canalis acusticus externus dan tegmen
timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari
salah satu bagian anterior atau posterior
menuju cochlea dan labyrinthine capsule,
berakhir pada fossa Cranii media dekat
foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling
umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur
transversal dimulai dari foramen magnum dan
memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%).
Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua
fraktur longitudinal dan transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os


temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi
fraktur os temporal kedalam petrous fraktur
dan
nonpetrous
fraktur,
yang
terakhir
termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air
cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan
deficit nervus cranialis.
Fraktur condylar occipital (Posterior),
adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi
dengan kompresi aksial, lateral bending, atau
cedera rotational pada pada ligamentum Alar.
Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis
berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera.
Klasifikasi alternative membagi fraktur ini
menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan
dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur
sekunder
akibat
kompresi
aksial
yang
mengakibatkan
kombinasi
dari
kondilus
oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil.
Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan
langsung meskipun fraktur basioccipital lebih
luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai
fraktur yang stabil karena ligament alar dan
membrane
tectorial
tidak
mengalami
kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi
sebagai akibat rotasi paksa dan lateral
bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur
tidak stabil.
MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal
dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan
fraktur basis Cranii fossa anterior adalah
dengan rhinorrhea dan memar di sekitar
palpebra
(raccoon
eyes).
Kehilangan
kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat
bervariasi, tergantung pada kondisi patologis
intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat
pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB
yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli
sementara yang akan baik kembali dalam

waktu kurang dari 3 minggu disebabkan


karena hemotympanum dan edema mukosa di
fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan
facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan
saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan
nystagmus,
ataksia,
dan
kehilangan
pendengaran
permanen
(permanent neural hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera
yang sangat langka dan serius12. Sebagian
besar pasien dengan fraktur condylar os
oksipital, terutama dengan tipe III, berada
dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang
belakang
servikalis.
Pasien
ini
juga
memperlihatkan cedera lower cranial nerve
dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis
adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan
XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan
kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan
paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum
mole (curtain sign), superior pharyngeal
constrictor,
sternocleidomastoid,
dan
trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur
condylar os oksipital dengan keterlibatan
nervus cranial IX, X, XI, dan XII.
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria)
dan basis Craniii. Khusus di regio temporal,
kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot
temporalis. Basis Craniii berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak
saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Lantai dasar rongga tengkorak
dibagi atas 3 fossa yaitu: fossa anterior tempat
lobus frontalis, fossa media tempat lobus
temporalis dan fossa posterior adalah ruang
untuk bagian bawah batang otak dan otak
kecil (serebelum).
Fraktur basis Craniii adalah suatu fraktur linier
yang terjadi pada dasar tulang tengkorak,
fraktur ini seringkali disertai dengan robekan
pada durameter yang merekat erat pada dasar

tengkorak. Fraktur basis Craniii berdasarkan


letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa
anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa
posterior. Secara anatomi ada perbedaan
struktur di daerah basis Craniii dan tulang
kalvaria. Durameter daerah basis Cranii lebih
tipis dibandingkan daerah kalfaria dan
durameter daerah basis melekat lebih erat
pada tulang dibandingkan daerah kalfaria.
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis
dapat menyebabkan robekan durameter. Hal
ini dapat menyebabkan kebocoran cairan
cerebrospinal
yang
menimbulkan
resiko
terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Tanda/gejala klinis fraktur tulang tengkorak
antara lain:
1. Ekimosis periorbital (raccoon eyes sign)
ditemukan jika frakturnya pada bagian
basis Craniii fossa anterior.
2. Ekimosis retroaurikuler (Battle sign),
kebocoran cairan serebro spinal (CSS)
dari hidung (rhinorrhea) dan telinga
(otorrhea) dimana keluarnya cairan otak
melalui telinga menunjukan terjadi
fraktur pada petrous pyramid yang
merusak kanal auditory eksternal dan
merobek
membrane
timpani
mengakibatkan bocornya cairan otak
atau
darah
terkumpul
disamping
membrane timpani tidak robek tanda ini
ditemukan jika frakturnya pada bagian
basis Craniii fossa media.
Kondisi
ini
juga
dapat
menyebabkan
lesi/gangguan nervus Craniialis VII dan VIII
(parase
otot
wajah
dan
kehilangan
pendengaran), yang dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah trauma.
DIAGNOSIS
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik.
Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat
medis yang lengkap dan mekanisme trauma.
Trauma pada kepala dapat menyebabkan

gangguan
neurologis
dan
mungkin
memerlukan tindak lanjut medis yang lebih
jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur
cranium atau cedera penetrasi antara lain :
Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa
adanya trauma pada mata (panda eyes)
Adanya luka memar di belakang telinga
(Battles sign)
Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
Luka yang signifikan pada kulit kepala atau
tulang tengkorak.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan
neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin,
dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai
seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak),
pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan
radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan,
maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap
kurang
optimal.
Dengan
pengecualian untuk kasus-kasus tertentu
seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos
dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto
polos
maka
CT-scan
dianggap
lebih
menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak
tersedia, maka foto polos x-ray dapat
memberikan informasi yang bermanfaat.
Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view
dan
tangensial
terhadap
bagian
yang
mengalami benturan untuk menunjukkan
suatu fraktur depresi. Foto polos cranium
dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi
osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal.
Foto polos tulang belakang digunakan untuk

menilai
adanya
fraktur,
pembengkakan
jaringan lunak, deformitas tulang belakang,
dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas
standar untuk menunjang diagnosa fraktur
pada cranium. Potongan slice tipis pada bone
windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan
rekonstruksi sagital berguna dalam menilai
cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat
membantu untuk penilaian fraktur condylar
occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga
dimensi
tidak
diperlukan.
MRI (Magnetic Resonance Angiography) :
bernilai sebagai pemeriksaan penunjang
tambahan terutama untuk kecurigaan adanya
cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada
tulang jauh lebih baik diperiksa dengan
menggunakan CT scan. MRI memberikan
pencitraan jaringan lunak yang lebih baik
dibanding CT scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada
kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran
CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas
tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin
jernih pada tissu yang telah basah diluar dari
noda darah yang kemudian disebut suatu
halo atau ring sign. Suatu kebocoran CSF
juga dapat diketahui dengan menganalisa
kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin,
suatu polipeptida yang berperan dalam
transport ion Fe.
Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur
basis Craniii antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
2. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen
b. CT-scan
dengan
teknik
bone
window untuk memperjelas garis
frakturnya.
c. MRI
(Magnetic
Resonance
Angiography)
d. Pemeriksaan arteriografi

DIAGNOSIS BANDING
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat
disebabkan oleh trauma langsung seperti
kontusio fasial atau blow-out fracture dimana
terjadi fraktur pada tulang-tulang yang
membentuk
dasar
orbita
(arcus
os
zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan
fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur
basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :
Kongenital
Ablasi tumor atau hidrosefalus
Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
Tindakan bedah
TERAPI
A. Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii
terutama untuk mengatasi komplikasi yang
timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal,
infeksi, dan pneumocephalus dengan fistula.
a) Fistula cairan serebrospinal:
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang
subarachnoid
ke
ruang
extraarachnoid,
duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat
sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore
dan otore baru terlihat satu minggu setelah
terjadinya
trauma.Kebocoran
cairan
ini
membaik satu minggu setelah dilakukan terapi
konservatif.
Penatalaksanaan
secara
konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari
batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat.
Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia,
diuretic dan steroid.
Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan
fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor
melalui sinus frontal
(melalui pelat kribrosa
atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui
sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus.
Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa
tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba

Eustachian dan bila membran timpani intak,


mengalir dari
hidung. Pengaliran dimulai
dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80
persen kasus
Penatalaksanaan secara
konservatif dapat
dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala
lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup
hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat
diberikan obat-obatan
seperti laxantia,
diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal
secara serial dan pemasangan kateter subrachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu
diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
Pendekatan
pembedahan
dapat
secara
intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah
sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu
dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah
frontal (frontal anterior fossa craniotomi),
daerah temporal (temporal media fossa
craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital
posterior fossa craniotomi) tergantung dari
lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat
melihat langsung robekan dari dura dan
jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon
pada kebocoran akan berhasil baik dan
berguna
bagi pasien yang tidak dapat
diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang
abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka
kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak
seperti edema, hematoma dan perdarahan.
Disamping itu dapat terjadi anosmia yang
permanen. Sering terjadi kebutaan terutama
pada pembedahan didaerah
fossa Craniii
anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi
dan perawatan yang lama.
Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan
cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu
melakukan flap osteoplasti anterior dengan
sayatan pada koronal dan alis mata.
Disamping itu dapat juga dengan pendekatan
eksternal
etmoidektomi,
trans-etmoidal
sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau
trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran.

Keuntungan
teknik ini adalah memiliki
lapangan pandang yang baik, angka kematian
yang rendah, tidak
terdapat anosmia dan
angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini
adalah cacat pada wajah dan tidak dapat
mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu
sulit menangani fistel pada sinus frontal dan
sfenoid.
Pendekatan bedah Sinus
endoskopi merupakan tehnik operasi yang
lebih disukai dengan angka keberhasilan yang
tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang
rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat
diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial
yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang
besar (>3mm) digunakan graft dari tulang
rawan dan tulang yang diletakkan dibawah
fistel dan dilapisi dengan flap local atau free
graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan
pandang yang jelas sehingga memberikan
lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat
dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa
memperbesar ukuran dan kerusakan dari
tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan
lebih akurat pada kerusakannya. (1)
Otore
Terjadi
bila tulang petrosa mengalami
fraktura,
duramater
dibawahnya serta
arakhnoid robek, serta
membran timpanik
perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal,
berdasar
hubungannya terhadap aksis
memanjang dari piramid
petrosa; namun
kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien
dengan fraktura longitudinal tampil dengan
kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan
perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan
fraktura
transversal
umumnya memiliki
membran
timpanik
normal
dan
memperlihatkan
kehilangan
pendengaran
sensorineural
akibat
kerusakan
labirin,
kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal
auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50
persen pasien. Fraktura longitudinal empat

hingga enam kali lebih sering dibanding yang


transversal,
namun
kurang
umum
menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS
berhenti spontan pada kebanyakan pasien
dalam seminggu. Insidens meningitis pasien
dengan otore mungkin sekitar 4 persen,
dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada
kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti,
diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan
operasi.(2)
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada
fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering dari
meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S.
Pneumoniae.Profilaksis
meningitis
harus
segera diberikan, mengingat tingginya angka
morbiditas dan mortalitas walaupun terapi
antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic
tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena
pemberian
antinbiotik
yang
terlambat
berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic
yang diberikan berupa kombinasi vancomycin
dan
ceftriaxone.Antiobiotik
golongan
ini
digunakan
mengingat
tingginya
angka
resistensi
antibiotic
golongan
penicillin,
(3)
cloramfenikol, maupun meropenem.
Pnemocephalus:
Adanya udara pada cranial cavity setelah
trauma yang melalui menings.Meningkatnya
tekanan di nasofaring menyebabkan udara
masuk melalui cranial cavity melalui defek
pada duramater dan menjadi terperangkap.Tik
yang meningkat dapat memperbesar defek
yang ada dan menekan otak dan udara yang
terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi
dari: operasi untuk membebaskan udara
intracranial,serta memperbaiki defek yang
ada, dan tredelenburg position.(2)
Adapun penangannan umum dari trauma
kepala sendiri, meliputi:
Penatalaksanaan :
1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial

Manitol efektif untuk mengurangi edem


serebral dan TIK. Selain karena efek osmotik ,
manitol juga dapat mengurangi TIK dengan
meningkatkan arus microcirculatory otak dan
pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus
manitol tampaknya sama selama rentang 0,25
sampai 1,0 g / kg
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan
antara 60 dan 70 mmHg , baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan
MAP . Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung
kardiovaskular
dengan
vasopressors
dan
inotropik
untuk
meningkatkan MAP dan mempertahankan
tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
3. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit.
Viskositas darah meningkat sebanding dengan
semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat
optimal sekitar 35%. Aliran darah otak
berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari
50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit
di bawah 30.
4. Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan
agen yang memblokir neuromuscular. Propofol
telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil
dan morfin sering diberikan untuk membatasi
nyeri , memfasilitasi ventilasi mekanis dan
mempotensiasi efek sedasi. Obat yang
memblokir
neuromuscular
mencegah
peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk
dan penegangan pada endotrachealtube.
5. Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis
yang ada dan dapat memperburuk kondisi
pasien. Metabolisme otak akan oksigen
meningkat sebesar 6-9 % untuk setiap
kenaikan derajat Celcius.
Tiap
fase akut
cedera kepala , hipertermia harus diterapi
karena akan memperburuk iskemik otak.
6. mengontrol bangkitan

Bangkitan terjadi terutama di mereka yang


telah menderita hematoma , menembus
cedera, termasuk patah tulang tengkorak
dengan penetrasi dural , adanya tanda fokal
neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus
diberikan apabila terjadi bangkitan.
7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l,
telah
menjadi
kristaloid
pilihan
dalam
manajemen dari cedera otak. Resusitasi
dengan 0,9 % saline membutuhkan 4 kali
volume darah yang hilang untuk memulihkan
parameter hemodinamik .
8. posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300
dapat menurunkan TIK dan meningkatkan
venous return ke jantung.
9. merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:

GCS kurang dari atau sama dengan


setelah resusitasi awal

Disorientasi yang berlangsung lebih 4


jam

penurunan skor GCS terutama respon


motoric

tanda-tanda neurologis fokal progresif

kejang tanpa pemulihan penuh

cedera penetrasi

kebocoran cairan serebrospinal(4)


A
Airway
Pembersihan
jalan
nafas,
pengawasan vertebra servikal hingga diyakini
tidak
ada
cedera
B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan
dada, gas darah arteri
C
Circulation
Penilaian
kemungkinan
kehilangan darah, pengawasan secara rutin
tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV
line
D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow
Coma Scale) secara rutin
E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari
ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan
dan belakang.

Setelah
menyelesaikan
resusitasi
cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan
fisis menyeluruh pada pasien. Alat monitor
tambahan dapat dipasang dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube
dapat dipasang kecuali pada pasien dengan
kecurigaan cedera nasal dan basis cranii,
sehingga lebih aman jika digunakan orogastric
tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak
adalah langkah berikut yang paling penting.
Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis
yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan
dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat
kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan
ekstremitas.
Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasienpasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini
menunjukkan adanya benturan yang kuat dan
bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala
maka tidak diperlukan penanganan. Gejala
dari fraktur basis cranii seperti defisit
neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan
kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea).
Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan
elevasi kepala terhadap tempat tidur selama
beberapa hari walaupun kadang memerlukan
drain lumbal atau tindakan bedah repair
langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik
mencegah meningitis pada pasien-pasien
dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial
traumatik
umumnya
ditindaki
secara
konservatif. Steroid dapat membantu pada
paralisis nervus fasialis.
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus
frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang
pendengaran akibat fraktur basis cranii
longitudinal
tulang
temporal.
Mungkin
diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang
pendengaran lebih dari 3 bulan apabila
membran timpani tidak dapat sembuh sendiri.
Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten
setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini
memerlukan deteksi yang tepat mengenai

lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan


operasi.
2. MM Perdarahan Intrakranial (Trauma &
nonTrauma)
DEFINISI
Perdarahan intracranial mengacu pada
perdarahan yang terjadi didalam kepala atau
tengkorak namun belum tentu didalam otak
(intraserebral).
Perdarahan
intrakranial
adalah
perdarahan yang tiba-tiba dalam jaringan otak
merupakan bentuk yang menghancurkan pada
stroke hemmorage dan dapat terjadi pada
semua umur dan juga akibat trauma kepala
seperti kapitis, tumor otak,dll.
EPIDURAL HEMATOMA
a. Definisi

disebabkan oleh regangan dan robekan arteri


tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anakanak dimana deformitas yang terjadi hanya
sementara). Hematom epidural yang berasal
dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.
Merupakan kumpulan massa darah akibat
robeknya middle meningeal arteri antara skull
dan duramater di regio temporal, yang sangat
kuat hubungannya dengan fraktur linear.
Dapat juga terjadi akibat robeknya vena &
tipikalnya, terjadi di region posterior fosa atau
dekat daerah occipital lobe.
Gambaran pada CT Scan :
Tampak sebagai bentuk BI CONVEX dan
adanya pemisahan jaringan otak dengan
tengkorak.
Akut > Hyperdens, Sub Akut > Isodens, Kronis
> Hyperdens
a. Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom
epidural meliputi :
1.
2.
3.
4.

Hematom
epidural
merupakan
pengumpulan
darah
diantara
tengkorak
dengan duramater ( dikenal dengan istilah
hematom ekstradural ). Hematom jenis ini
biasanya berasal dari perdarahan arteriel
akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan
laserasi langsung atau robekan arteri-arteri
meningens ( a. Meningea media ). Fraktur
tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% 95%
kasus,
sedangkan
sisanya
(9%)

Trauma kepala
Sobekan a/v meningea mediana
Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
Ruptur v diplorica

Hematom jenis ini biasanya berasal dari


perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier
yang menimbulkan laserasi langsung atau
robekan arteri meningea mediana.Fraktur
tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95
% kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan
oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada
fraktur terutama pada kasus anak-anak
dimana deformitas yang terjadi hanya
sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari
perdarahan
vena
lebih
jarang
terjadi,
umumnya disebabkan oleh laserasi sinus
duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau
tulang sfenoid.
b. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural
diklasifikasikan menjadi :

1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24


jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24
jam 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
c. Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera
kepala benda tumpul dan dalam waktu yang
lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu,
dan ini hampir selalu berhubungan dengan
fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien,
perdarahan terjadi pada arteri meningeal
tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah
meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis
fraktur melewati lekukan meningeal pada
squama temporal.
d. Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria
gejala;
1. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada
interval
lucid
yang
diikuti
dengan
perkembangan
yang
merugikan
pada
kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih
dari 50% pasien tidak ditemukan adanya
interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi
dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi,
karena terbukanya jalan dura dari bagian
dalam cranium, dan biasanya progresif bila
terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan
parenkimal
yang
minimal.
Interval
ini
menggambarkan waktu yang lalu antara
ketidak sadaran yang pertama diderita karena
trauma dan dimulainya kekacauan pada
diencephalic karena herniasi transtentorial.
Panjang dari interval lucid yang pendek
memungkinkan adanya perdarahan yang
dimungkinkan berasal dari arteri.
2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral
hemipareis, tergantung dari efek pembesaran
massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral
hemiparesis sampai penjendalan dapat juga
menyebabkan
tekanan
pada
cerebral

kontralateral
peduncle
pada
permukaan
tentorial.
3. Anisokor pupil
Yaitu
pupil
ipsilateral
melebar.
Pada
perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada
permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi.pada
tahap
ahir,
kesadaran
menurun sampai koma yang dalam, pupil
kontralateral
juga
mengalami
pelebaran
sampai
akhirnya
kedua
pupil
tidak
menunjukkan
reaksi
cahaya
lagi
yang
merupakan tanda kematian.
e. Terapi
Hematom epidural adalah tindakan
pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan
mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase
selama 2 x 24 jam untuk menghindari
terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
f.
1

Komplikasi
Hematom epidural dapat memberikan
komplikasi :
Edema serebri, merupakan keadaan-gejala
patologis, radiologis, maupun tampilan
ntra-operatif
dimana
keadaan
ini
mempunyai
peranan
yang
sangat
bermakna pada kejadian pergeseran otak
(brain shift) dan peningkatan tekanan
intracranial
Kompresi batang otak meninggal

Sedangkan outcome pada hematom epidural


yaitu :
1.
Mortalitas 20% -30%
2.
Sembuh dengan defisit neurologik 5% 10%
3.
Sembuh tanpa defisit neurologik
4.
Hidup dalam kondisi status vegetatif
SUBDURAL HEMATOMA

a. Definisi

Perdarahan subdural ialah perdarahan


yang terjadi diantara duramater dan araknoid.
Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein")
yaitu vena yang berjalan dari ruangan
subaraknoid atau korteks serebri melintasi
ruangan subdural dan bermuara di dalam
sinus venosus dura mater.
2.
Robekan
pembuluh
darah
kortikal,
subaraknoid, atau araknoid
Merupakan kumpulan perdarahan vena
yang berlokasi antara duramater & arachnoid
membrane ( subdural space). Biasanya terjadi
akibat kepala berbenturan dengan bentuk tak
bergerak yang menyebabkan robeknya vena
antara cerebral cortex & vena dura.
Gambaran pada CT Scan :
Tampak sebagai bentuk BULAN SABIT
mengikuti kontur dari cranium bagian dalam.
Perdarahan akut > hyperdens, sub akut >
isodens, kronis > hypodens.
b. Etiologi
1. Trauma kepala.
2. Malformasi arteriovenosa.
3. Diskrasia darah
4. Terapi antikoagulan

c. Klasifikasi
1. Perdarahan akut

Gejala yang timbul segera hingga


berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi
pada cedera kepala yang cukup berat yang
dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah
terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya
tetapi melebar luas. Pada gambaran skening
tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari
biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma.
Pada subdural sub akut ini didapati campuran
dari bekuan darah dan cairan darah .
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan
lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens
didapatkan karena terjadinya lisis dari sel
darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah
trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak
jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila
pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada
perdarahan subdural kronik , kita harus berhati
hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi. Pada subdural kronik, didapati
kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma , pada yang lebih baru, kapsula
masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea. Kapsula melekat
pada araknoidea bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung
pembuluh darah yang tipis dindingnya
terutama pada sisi duramater. Karena dinding
yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah
dan menimbulkan perdarahan baru yang

menyebabkan menggembungnya hematoma.


Darah di dalam kapsula akan membentuk
cairan kental yang dapat menghisap cairan
dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seprti
pada
tumor
serebri.
Sebagaian
besar
hematoma subdural kronik dijumpai pada
pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan
lesi hipodens
d. Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus
dural pecahdan mengalami memar atau
laserasi, adalah lokasi umum terjadinya
perdarahan. Hal ini sangat berhubungan
dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT
Scan
menunjukkan
effect
massa
dan
pergeseran garis tengah dalam exsess dari
ketebalan
hematom
yamg
berhubungan
dengan trauma otak.

e. Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran
hematom subdural tidak begitu hebat deperti
kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada
effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan
manisfestasi
dari
peninggian
tekanan
intrakranial seperti : sakit kepala, mual,
muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan
defisit neurologis lainnya.kadang kala yang
riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga
tumor otak.
a. Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini
adalah
kraniotomi
evakuasi
hematom
secepatnya dengan irigasi via burr-hole.
Khusus pada penderita hematom subdural
kronis usia tua dimana biasanya mempunyai
kapsul hematom yang tebal dan jaringan

otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya


lebih dianjurkan untuk melakukan operasi
kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole
saja).
g. Komplikasi
Subdural
hematom
dapat
komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema

memberikan

Sedangakan
outcome
untuk
subdural
hematom adalah :
1. Mortalitas pada subdural hematom akut
sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar
50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar
20%-50%.
INTRASEREBRAL HEMATOM
a. Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam
jaringan otak. Hematom intraserbral pasca
traumatik merupkan koleksi darah fokal yang
biasanya diakibatkan cedera regangan atau
robekan
rasional
terhadap
pembuluhpembuluh darahintraparenkimal otak atau
kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran
hematom
ini
bervariasi
dari
beberapa
milimeter sampai beberapa centimeter dan
dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral
hematom
mengacu
pada
hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam
substansi otak (hemoragi yang lebih kecil
dinamakan punctate atau petechial /bercak).

Kriteria diagnosis hematom serebeller ;


Nyeri kepala akut.
Penurunan kesadaran.
Ataksia
Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.

(Gambar 3. CT SCAN Intraserebral hematom)


b. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan
oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
c. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom
letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.

menurut

d. Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90%
berlokasi di frontotemporal atau di daerah
ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi
neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.
e. Gejala klinis dan diagnosis
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering
(30%-50%)
tetap
sadar,
mirip
dengan
hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi
klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari
pasca cedera, namun dengan adanya scan
computer tomografi otak
diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial:

nyeri kepala mendadak

penurunan tingkat kesadaran dalam


waktu 24-48 jam.

Tanda fokal yang mungkin terjadi ;


- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.

Diagnosis hematom pons batang otak:


Penurunan kesadaran koma.
Tetraparesa
Respirasi irreguler
Pupil pint point
Pireksia
Gerakan mata diskonjugat.
a. Komplikasi
Intraserebral hematom dapat memberikan
komplikasi berupa;
Oedem serebri, pembengkakan otak
Kompresi batang otak, meninggal
Sedangkan outcome intraserebral hematom
dapat berupa :
Mortalitas 20%-30%
Sembuh tanpa defisit neurologis
Sembuh denga defisit neurologis
Hidup dalam kondisi status vegetatif.
3. MM Cedera Craniocerebral
DEFINISI
Menurut Brunner dan Suddarth (2001),
cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada
kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan
Doenges, (1999)
cedera
kepala
adalah
cedera kepala terbuka dan tertutup yang
terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio
gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan
perdarahan serebral subarakhnoid, subdural,
epidural, intraserebral, batang otak. Cedera
kepala merupakan proses dimana terjadi
trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala
yang menyebabkan
kerusakan
tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006).
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of
America (2009), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital
ataupun
degeneratif,
tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik

dari luar, yang dapat mengurangi atau


mengubah
kesadaran
yang
mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah
trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak
yang terjadi baik secara langsung ataupun
tidak langsung pada kepala yang dapat
mengakibatkan
terjadinya
penurunan
kesadaran
bahkan
dapat menyebabkan
kematiaan.
ETIOLOGI
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara
lain:
1.
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan
bermotor atau sepeda, dan mobil.
2.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak
dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4.
Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya
terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5.
Kerusakan menyebar karena kekuatan
benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya
terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda
tajam.
KLASIFIKASI
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera
kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala
dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe
ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari
benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi
jika tulang tengkorak menusuk dan masuk
kedalam jaringan otak dan melukai durameter
saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka

memungkinkan kuman pathogen memiliki


abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan
kranial
pada
jaringan
otak
didalam
tengkorak
ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu
yang bergerak cepat, kemudian serentak
berhenti dan bila ada cairan akan tumpah.
Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio
gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
a. Berdasarkan mekanismenya cedera
kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu
1. cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan
kecelakaan
lalu
lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera
tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi
yang menyebabkan otak bergerak didalam
rongga kranial dan melakukan kontak pada
protuberas tulang tengkorak.
2. Cedera tembus.
Cedera tembus disebabkan oleh luka
tembak atau tusukan. (IKABI, 2004)
b. Berdasarkan morfologi cedera kepala.
Cedera kepala dapat terjadi diarea tulang
tengkorak yang meliputi
1) Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan
pada
pasien
cedera
kepala.
Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan
(dengan akronim SCALP) yaitu skin,
connective tissue dan perikranii. Diantara
galea
aponeurosis
dan
periosteum
terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap
tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering
terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini
banyak mengandung
pembuluh
darah
dan
jaringan
ikat
longgar,
maka
perlukaan
yang
terjadi
dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup
banyak.
2) Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan


pada garis fraktur dibagi menjadi
A. Fraktur linier
Fraktur
linier
merupakan
fraktur
dengan
bentuk
garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang
mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya
langsung yang bekerja pada tulang kepala
cukup besar tetapi tidak menyebabkan
tulang kepala bending dan tidak terdapat
fragmen fraktur yang masuk kedalam
rongga intrakranial.
B. Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang
terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang
mengababkan pelebaran sutura-sutura
tulang kepala. Jenis fraktur ini sering
terjadi pada bayi dan balita karena suturasutura belum menyatu dengan erat.
Fraktur diastasis pada usia dewasa sering
terjadi pada sutura lambdoid dan dapat
mengakibatkan
terjadinya
hematum
epidural.
C. Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur
tulang kepala yang meiliki lebih dari satu
fragmen dalam satu area fraktur.
D. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat
benturan dengan tenaga besar yang
langsung mengenai tulang kepala
dan
pada area yang kecal. Fraktur impresi pada
tulang
kepala
dapat
menyebabkan
penekanan atau laserasi pada duremater
dan
jaringan
otak,
fraktur
impresi
dianggap bermakna terjadi, jika tabula
eksterna
segmen yang impresi masuk
dibawah tabula interna segmen tulang
yang sehat.
E. Fraktur basis kranii
Cedera kepala yang sudah di uraikan di
atas menurut (Judikh Middleton,2007) akan
menimbulkan gangguan neurologis /

tanda-tanda sesuai dengan area atau


tempat lesinya yang meliputi
a. Lobus frontal atau bagian depan kepala
dengan tanda-tanda
1).
Adanya gangguan pergerakan bagian
tubuh (kelumpuhan)
a). Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan
rumit yang di perlukan untuk menyelesaikan
tugas
yang
memiliki
langkah-langkah,
seperti membuat kopi
b). Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi
dengan orang lain c). Kehilangan fleksibilitas
dalam berpikir
d). Ketidakmampuan fokus pada tugas
e). Perubahan kondisi kejiwaan (mudah
emosional)
f).
Perubahan dalam perilaku sosial g).
Perubahan dalam personalitas
h).
Ketidakmampuan
dalam
berpikir
(kehilangan memory)
b.
Lobus parietal, dekat bagian belakang
dan atas dari kepala
1).
Ketidakmampuan untuk menghadirkan
lebih dari satu obyek pada waktu yang
bersamaan
2).
Ketidakmapuan untuk memberi nama
sebuah obyek (anomia)
3). Ketidakmampuan
untuk melokalisasi
kata-kata
dalam tulisan (agraphia)
4). Gangguan dalam membaca (alexia)
5). Kesulitan menggambar obyek
6). Kesulitan membedakan kiri dan kanan
7).
Kesulitan mengerjakan matematika
(dyscalculia)
8). Penurunan kesadaran pada bagian tubuh
tertentu dan/area disekitar (apraksia) yang
memicu kesulitan dalam perawatan diri
9).
Ketidakmampuan fokus pada perhatian
fisual/penglihatan
10). Kesulitan koordinasi mata dan tangan
c. Lobus oksipital, area paling belakang, di
belakang kepala

1). Gangguan pada penglihatan (gangguan


lapang pandang)
2). Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan
3). Kesulitan mengenali warna (aknosia warna)
4). Teriptanya halusinasi
5). Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat
obyek
6). Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata
7).
Kesulitan
mengenali
obyek
yang
bergambar
8). Ketidakmampuan mengenali gerakan dari
obyek
9). Kesulitan membaca dan menulis
d.
Lobus temporal : sisi kepala di atas
telinga
1).
Kesulitan
mengenali
wajah
(prosoprognosia)
2).
Kesulitan
memahami
ucapan
(afasiawernicke)
3). Gangguan perhatian selektif pada apa
yang dilihat dan didengar
4). Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek
5). Hilang ingatan jangka pendek
6). Gangguan memori jangka panjang
7). Penurunan dan peningkatan ketertarikan
pada oerilaku seksual
8). Ketidakmampuan mengkategorikan onyek
(kategorisasi)
9).
Kerusakan
lobus
kanan
dapat
menyebabkan pembicaraan yang persisten
10). Peningkatan perilaku agresif
e. Batang otak : dalam di otak
1). Penurunan kapasitas vital dalam bernapas,
penting dalam berpidato
2). Menelan makanan dan air (dysfagia)
3).
Kesulitan
dalam
organisasi/persepsi
terhadap lingkungan
4). Masalah dalam keseimbangan dan gerakan
5). Sakit kepala dan mual (vertigo)
6). Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)
f.

Cerebellum : dasar otak

1)
Kehilangan
kemampuan
untuk
mengkoordinasi gerakan halus
2) Kehilangan kemampuan berjalan
3) Ketidakmampuan meraih obyek
4) Bergetar (tremors)
5) Sakit kepala (vertigo)
6) Ketidakmampuan membuat gerakan cepat
c. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan
beratnya.
i.
Cedera kepala ringan dengan nilai GCS
14 15.
Pasien sadar, menuruti perintah tapi
disorientasi.
Tidak ada kehilangan kesadaran
Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat
terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan
pusing
Pasien
dapat
menderita
laserasi,
hematoma kulit kepala
Tidak adanya criteria cedera kepala
sedang-berat
ii.
Cedera kepala sedang dengan nilai
GCS 9 13.
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti
perintah, namun tidak memberi respon
yang sesuai dengan pernyataan yang di
berikan.
a). Amnesia paska trauma
b). Muntah
c). Tanda kemungkinan fraktur cranium
(tanda
Battle,
mata
rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea
cairan serebro spinal)
d). Kejang
iii.
Cedera kepala berat dengan nilai GCS
sama atau kurang dari 8.
a).
Penurunan
kesadaran
secara
progresif
b). Tanda neorologis fokal
c). Cedera
kepala
penetrasi
atau
teraba fraktur depresi cranium

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung


pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan
a.
Kebingungan
saat
kejadian
dan
kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b.
Pusing menetap dan sakit kepala,
gangguan tidur, perasaan cemas.
c.
Kesulitan berkonsentrasi, pelupa,
gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama
beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat
trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang
a.
Kelemahan pada salah satu tubuh yang
disertai dengan kebinggungan atau hahkan
koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil,
awitan tiba-tiba defisit neurologik, perubahan
TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala,
vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa
sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik
tidak aktual, adanya cedera terbuka, fraktur
tengkorak dan penurunan neurologik.
c.
Nyeri, menetap atau setempat, biasanya
menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan
pembengkakan pada area tersebut.
DIAGNOSIS
GEJALA KINIS:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu
mendiagnosa adalah:
Battle sign (warna biru atau ekhimosis
dibelakang telinga di atas os mastoid)
Hemotipanum (perdarahan di daerah
menbran timpani telinga)
Periorbital ecchymosis (mata warna hitam
tanpa trauma langsung)

Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar


dari hidung)
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari
telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang
trauma kepala ringan:
Pasien tertidur atau kesadaran yang
menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
Sakit
kepala
yang
menetap
atau
berkepanjangan.
Mual atau dan muntah.
Gangguan tidur dan nafsu makan yang
menurun.
Perubahan keperibadian diri.
Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang
trauma kepala berat:
Simptom atau tanda-tanda cardinal yang
menunjukkan
peningkatan
di
otak
menurun atau meningkat.
Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
Triad Cushing (denyut jantung menurun,
hipertensi, depresi pernafasan).
Apabila
meningkatnya
tekanan
intrakranial, terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstrimitas.
PEMERIKSAAN KESADARAN
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai
dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa
digunakan untuk mengkategorikan pasien
menjadi :
GCS 13-15
:
cedera
kepala
ringan
GCS 9-12 : cedera kepala sedang
GCS 3-8
: pasien koma dan cedera
kepala berat.

Pupil dan Pergerakan Bola Mata, Termasuk


Saraf Kranial
Penilaian pupil menunjukkan fungsi
mesensefalon dan sangat penting pada
cedera kepala, karena :
Bagian kepala yang mengendaikan
kesadaran
seara
antomis
terletak
berdekatan
dengan
pusat
yang
mengatur reaksi pupil.
Saraf yang mengendalikan reaksi pupil
relatif resisten terhadap gangguan
metabolik, sehingga bisa membedakan
koma-metabolik atau koma struktural.
Reaksi okulosefalik (Dolls head eye
phenomenon) dan reaksi terhadap tes
kalori (okulovestibuler) menunjukkan
fungsi medla oblongata dan pons.
Jangan
melakukan
pemeriksaan
okulosefalik jika cedera servikal beum
dapat
disingkirkan.
Reaksi
okulovestibuler lebih superior daripada
reaksi okulosefalik.
Reaksi Motorik Berbagai Rangsang Dari Luar
Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk
memicu reaksi dari penderita (spontan,
rangsangan suara, nyeri, atau tanpa respon)
berbanding lurus dengan dalamnya penurunan
kesadaran.
Reaksi Motorik Terbaik
Terbagi atas :
Gerakan bertujuan jelas
Kekuatan gerakan harus dinilai menjadi :
+5 : kekuatan gerakan normal
+4 : kekuatan gerakan mendekati normal
+3 : mampu melawan gravitasi
+2 : dapat bergeser, tidak dapat melawan
gravitasi
+1 : tampak gerakan otot, tapi belum bergeser

Gerakan bertujuan tidak adekuat


Postur fleksor
Postur ekstensor
Diffise muscle flaccidity
Pola Pernapasan
Pernapasan
merupakan
suatu
kegiatan
sensorimotor terintegrasi dari keterlibatan
berbagai saraf yang terletak pada hampir
semua tingkat otak dan bagian atas spinal
cord. Kerusakan pada berbagai tingkat pada
SSP akan memberikan gambaran pola
pernapasan yang berbeda.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
X-ray tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan
untuk mendeteksi fraktur dari dasar
tengkorak atau rongga tengkorak. CT
scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi
fraktur
karena
CT
scan
bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya
kontusio
atau
perdarahan.
X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan
tidak
ada
(
State
of
Colorado
Department of
Labor and Employment, 2006).
CT-scan
Pemeriksaan CT scan tidak sensitif
untuk lesi di batang otak karena
kecilnya struktur area yang cedera dan
dekatnya struktur tersebut dengan
tulang di sekitarnya.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mampu menunjukkan lesi di
substantia alba dan batang otak yang

sering luput pada pemeriksaan CT Scan.


Ditemukan bahwa penderita dengan lesi
yang luas pada hemisfer, atau terdapat
lesi batang otak pada pemeriksaan MRI,
mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil
pemeriksaan CT Scan awal normal dan
tekanan intrakranial terkontrol baik
(Wilberger
dkk.,
1983
dalam
Sastrodiningrat, 2007).
Pemeriksaan
Proton
Magnetic
Resonance
Spectroscopy
(MRS)
menambah dimensi baru pada MRI dan
telah terbukti merupakan metode yang
sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson
Difus
(CAD).
Mayoritas
penderita
dengan
cedera
kepala
ringan
sebagaimana halnya dengan penderita
cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya
CAD di korpus kalosum dan substantia
alba. Kepentingan yang nyata dari MRS
di dalam menjajaki prognosa cedera
kepala berat masih harus ditentukan,
tetapi hasilnya sampai saat ini dapat
menolong menjelaskan berlangsungnya
defisit neurologik dan gangguan kognitif
pada penderita cedera kepala ringan
( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat,
2007 ).

TATALAKSANA
Terapi non-operatif pada pasien cedera
kranioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak
serta mencegah kemungkinan terjadinya
tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak
(cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi
trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk


kasus:
1. Cedera kranioserebral tertutup
Fraktur impresi (depressed fracture)
Perdarahan
epidural
(hematoma
epidural
/EDH)
dengan
volume
perdarahan
lebih
dari
30mL/44mL
dan/atau pergeseran garis tengah lebih
dari 3 mm serta ada perburukan kondisi
pasien
Perdarahan
subdural
(hematoma
subdural/SDH) dengan pendorongan garis
tengah
lebih
dari
3
mm
atau
kompresi/obliterasi sisterna basalis
Perdarahan intraserebral besar yang
menyebabkan
progresivitas
kelainan
neurologik atau herniasi
2. Pada cedera kranioserebral terbuka
Perlukaan
kranioserebral
dengan
ditemukannya luka kulit, fraktur multipel,
durameter yang robek disertai laserasi
otak
Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari
14 hari
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak
Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar
(SKG=15)
Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat
penurunan kesadaran sama sekali dan tidak
ada defisit neurologik, dan tidakada muntah.
Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi.Umumnya
pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan
keluarga diminta mengobservasi kesadaran.
Bila dicurigai kesadaran menurun saat
diobservasi,
misalnya
terlihat
seperti
mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien
harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.

Penderita
mengalami
penurunan
kesadaran
sesaat
setelah
trauma
kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien
ini
kemungkinan
mengalami
cedera
kranioserebral ringan (CKR).
Tatalaksana
pasien
dengan
penurunan
kesadaran
Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka,
foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi
bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai
terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam
di rumah sakit untuk menilai kemungkinan
hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid
interval,
nyeri
kepala,
muntah-muntah,
kesadaran
menurun,
dan
gejala-gejala
lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis
positif).
Jika
dicurigai
ada
hematoma,
dilakukan CT scan.
Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)
Urutan tindakan:
b. Periksa dan atasi gangguan jalan napas
(Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi (Circulation)
c. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil,
tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal
dan atau tulang ekstremitas lakukan
fiksasi leher dengan pemasangan kerah
leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas
bersangkutan
d. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian
tubuh lainnya
e. CT scan otak bila dicurigai ada
hematoma intrakranial
f. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil,
dan defisit fokal serebral lainnya.
Cedera kepala berat (SKG 3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai
cedera multipel. Bila didapatkan fraktur
servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila
ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan
dengan
balut
tekan
untuk

pertolongan pertama. Tindakan sama dengan


cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU.
Tindakan di ruang unit gawat darurat :
1. Resusitasi dengan tindakan A =
Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun
ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien
dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan
melalui pipa nasogastrik untuk menghindari
aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh
kelainan sentral atau perifer.Kelainan sentral
disebabkan oleh depresi pernapasan yang
ditandai dengan pola pernapasan Cheyne
Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau
ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh
aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli
paru, atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit,
intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak.
Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90
mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah
dapat meningkatkan risiko kematian dan
kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat
faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung/
pneumotoraks,
atau
syok
septik.
Tata
laksananya
dengan
cara
menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung,
mengganti darah yang hilang, atau sementara
dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.

4. MM Trias Cushing
Semua respon jaringan terhadap trauma
adalah pembengkakan dan perdarahan. Begiu
pula dengan brain tissue. Tapi tidak seperti
bagian lainnya ditubuh, dikarenakan restriksi
fisikal dari cranial sehingga pembengkakan
pun terbatasi. Ketika mulai membengkak,
maka akan mengisi kekosongan yang dapat
diisi sehingga tekanan intrakranial akan
meningkat. Normal ICP adalah 5-15 mmHG.

Hipothalamus akan mengaktifkan sistem saraf


simpatis, menyebabkan vasokontriksi dan
peningkatan cardiac output agar dapat
meningkatkan tekanan darah arteri. Ketika
tekanan darah arteri melebihi intrakranial
maka aliran darah ke otak akan kembali
normal. Peningkatan yang disebabkan oleh
respon
iskemik
CNS
ini
menstimulasi
baroreseptor pada arteri carotis, menyebabkan
penurunan denyut jantung atau bradikardia.

Karena pembengkakan danedema ini dapat


menyebabkan dua hal. Pertama, edema akan
menekan pembuluh darah yang menyuplai
otak. Kompresi ini akan menyebabkan
penurunan aliran darah dan menyebabkan
iskemia. Iskemia ini nanti akan menyebabkan
si arteri untuk berdilatasi sehingga akan
menambah tekanan pada pembuluh darah
kapiler
dan
memperparah
peningkatan
tekanan intrakranial. Kedua, penurunan tadi
aliran tadi akan mempengaruhi pembuluh
darah
kapiler
untuk
meningkatkan
permeabilitas dan kebocoran. Ketika sel otak
kehilangan energi suppliesnya maka pompa
intracelullar (sodium & potassium) akan gagal.
Sehingga sodium akan masuk ke otak,
menyebabkan edema seluler dan kemudian
kematian.

Cushing reflex adalah suatu upaya untuk


menyelamatkan jaringan otak selama perfusi
yang buruk. Tapi, ini adalah tanda komplikasi
dari peningkatan tekanan intrakranial dan
mengindikasi
The Cushing reflex was first identified by U.S.
neurosurgeon Henry Williams Cushing. It was
described as the presence of hypertension and
bradycardia
associated
with
increased
intracranial pressure.
The Cushing reflex helps save brain tissues
during
periods
of
poor
perfusion.
Unfortunately, it s a late sign of increasing
intracranial pressure and indicates that
brainstem herniation is imminent. A related
term is "Cushing's triad," which is the presence
of hypertension, bradycardia and irregular
respirations in a patient with increased
intracranial pressure. These findings are
another manifestation of the Cushing reflex.
The irregular respirations are due to reduced
perfusion of the brainstem from swelling or
possible brainstem herniation.

Aliran arah ke otak berhubungan dengan


cerebral perfusion pressure (CPP) yang
rumusnya adalah sebagai berikut
Cerebral Perfusion Pressure (CPP) = Mean
Arterial Pressure (MAP) - Intracranial Pressure
(ICP)
Agar dapat melakukan perfusi ke otak, tekanan
darah arteri harus lebih besar daripada
tekanan intracranial. Jika tidak, darah tidak
bisa didorong ke ruang kranial. Ketika tekanan
arteri kurang dari intrakranial disebut respon
iskemik CNS yang diinisiasi oleh hipotalamus.

Trias cushing merupakan kumpulan


gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan intrakranial.
Hipertensi
Bradikardi
Depresi pernapasan
Tekanan
intrakranial
pada
umumnya
bertambah secara berangsur-angsur. Setelah
cedera kepala, timbulnya edema memerlukan

waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai


maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial
sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah
otak secara bermakna.Iskemia yang timbul
merangsang pusat motor, dan tekanan darah
sistemik meningkat, Rangsangan pada pusat
inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia
dan pernapasan menjadi lambat.Mekanisme
kompensasi ini, dikenal sebagai refleks
Cushing, membantu mempertahankan aliran
darah
otak.Akan
tetapi,
menurunnya
pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan
mengakibatkan
vasodilatasi
otak
yang
membantu menaikkan tekananan intrakranial.
5. MM Trauma Wajah
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang
terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang
frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal,
maksila dan mandibula.

Fraktur ini memungkinkan maksila dan


palatum durum bergerak secara terpisah dari
bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang
terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering
disebut sebagai fraktur transmaksilari.12-15
Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan
mungkin secara klinis mirip dengan fraktur
hidung. Bila fraktur horizontal biasanya
berkaitan dengan tipisnya dinding sinus,
fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura.
Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis
merupakan sutura yang sering terkena.
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya
lengkung rahang atas, bias merupakan suatu
keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.
Derajat gerakan sering
Universitas Sumatera Utara
tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I,
seperti juga gangguan oklusinya tidak separah
pada Le Fort I.12-15

ETIOLOGI
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan
fraktur maksilofasial itu dapat terjadi, seperti
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja ,
kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat
peperangan dan juga sebagai akibat dari
tindakan
kekerasan.
Tetapi
penyebab
terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.

KLASIFIKASI
Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri
terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur
kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus
- arkus zigomatikus, fraktur dento-alveolar,
fraktur mandibula dan fraktur maksila yang
terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu
kesatuan tunggal atau bergabung dengan
fraktur fraktur Le Fort II dan III.
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam
jenis fraktur transverses rahang atas melalui
lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas
lantai sinus maksilaris, dan meluas ke
posterior yang melibatkan pterygoid plate.

Fraktur Le Fort III


Fraktur craniofacial disjunction, merupakan
cedera yang parah. Bagian tengah wajah
benar-benar
terpisah
dari
tempat
perlekatannya yakni basis kranii.

Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera


kranioserebral, yang mana bagian yang
terkena trauma dan besarnya tekanan dari
trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan
tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan
trauma intrakranial.

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III


dilakukan
secara
ekstra
oral.
Pada
pemeriksaan
ekstra
oral,
pemeriksaan
dilakukan
dengan
visualisasi.
Secara
visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada
daerah kelopak mata, ekimosis periorbital
bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas
pada maksila akan mengakibatkan pergeseran
seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan
pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi
wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT
scan.
Perawatan pada masing-masing fraktur
maksilofasial itu berbeda satu sama lain. Oleh
sebab itu perawatannya akan dibahas satu per
satu
pada
masing-masing
fraktur
maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan
defenitif dilakukan, maka hal yang pertama
sekali
dilakukan
adalah
penanganan
kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan
pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal
dengan singkatan ABC. Apabila terdapat
perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang
harus dilakukan adalah hentikanlah dulu
perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri
maka dapat diberi analgetik untuk membantu
menghilangkan
rasa
nyeri.
Setelah
penanganan
kegawatdaruratan
tersebut
dilaksanakan, maka perawatan defenitif dapat
dilakukan.

Pada fraktur Le Fort I


dirawat
dengan
menggunakan
arch
bar,
fiksasi
maksilomandibular,
dan
suspensi
kraniomandibular
yang didapatkan dari
pengawatan
sirkumzigomatik.
Apabila
segmen
fraktur
mengalami
impaksi,
maka
dilakukan pengungkitan dengan menggunakan
tang pengungkit, atau secara tidak langsung
dengan
menggunakan
tekanan
pada
splint/arch bar. Sedangkan perawatan pada
fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort
I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan
perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga.
Fraktur nasal biasanya direduksi dengan
menggunakan molding digital dan splinting.
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat
dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular,
pengawatan
langsung bilateral, atau pemasangan
pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan
suspensi
kraniomandibular
pada
prosessus zigomatikus ossis frontalis.
6. MM Trauma Hidung
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai
stress yang lebih besar daripada yang
diabsorpsinya. Fraktur tulang hidung adalah
setiap retakan atau patah yang terjadi pada
bagian tulang di organ hidung.5
Penyebab dari fraktur tulang hidung berkaitan
dengan trauma langsung pada hidung atau
muka. Pada trauma muka paling sering terjadi
fraktur hidung.3
Penyebab utama dari trauma dapat berupa :
Cedera saat olahraga
Akibat perkelahian
Kecelaaan lalu lintas
Terjatuh
Masalah kelahiran

Kadang dapat iatrogenik

KLASIFIKASI
Fraktur hidung dapat dibedakan menurut :
1. Lokasi : tulang nasal (os nasale),
septum nasi, ala nasi, dan tulang rawan
triangularis.
2. Arah datangnya trauma :
- Dari lateral : kekuatan terbatas dapat
menyebabkan fraktur impresi dari salah
satu tulang nasal. Pukulan lebih besar
mematahkan kedua belah tulang nasal
dan septum nasi dengan akibat terjadi
deviasi yang tampak dari luar.
- Dari frontal : cederanya bisa terbatas
hanya sampai bagian distal hidung atau
kedua tulang nasal bisa patah dengan
akibat tulang hidung jadi pesek dan
melebar. Bahkan kerangka hidung luar
dapat terdesak ke dalam dengan akibat
cedera pada kompleks etmoid.
- Datang dari arah kaudal : relatif jarang.
Jenis fraktur nasal meliputi :
1. fraktur nasal sederhana,
2. fraktur pada prosessus frontalis maksila,
3. fraktur
nasal
dengan
pergeseran
kartilago nasi,
4. fraktur dengan keluarnya kartilago
septum dari sulkusnya di vomer,
5. fraktur kominutiva pada vomer, dan
6. fraktur pada tulang ethmoid sehingga
CSS mengalir dari hidung.1,13
Fraktur hidung sederhana
Jika hanya terjadi fraktur tulang hidung
saja dapat dilakukan reposisi fraktur dengan
analgesia lokal. Akan tetapi pada anak-anak
atau orang dewasa yang tidak kooperatif
tindakan reposisi dilakukan dalam keadaan
narkose umum.
Analgesia lokal dapat dilakukan dengan
pemasangan tampon lidokain 1-2% yang
dicampur dengan epinefrin 1: 1000. Tampon
kapas yang berisi obat analgesia lokal ini
dipasang masing-masing 3 buah pada setiap
lubang hidung. Tampon pertama diletakkan

pada meatus superior tepat di bawah tulang


hidung, tampon kedua diletakkan di antara
konka media dan septum dan bagian distal
dari tampon tersebut terletak dalam foramen
sfenopalatina. Tampon ketiga ditempatkan
antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga
tampon tersebut dipertahankan selama 10

menit.
Kadang
kadang
diperlukan
penambahan penyemprotan oxymethazoline
spray beberapa kali, melalui rinoskopi anterior
untuk memperoleh efek anestesi dan efek
vasokonstriksi yang baik.
Fraktur nasal kominunitiva
Fraktur nasal dengan fragmentasi tulang
hidung ditandai dengan batang hidung
nampak rata (pesek); tulang hidung mungkin
dinaikkan ke posisi yang aman tetapi beberapa
fragmen tulang tetap hilang. Bidai digunakan
untuk memindahkan fragmen tulang ke posisi
yang sebenarnya. Untuk tujuan tersebut
beberapa kasa vaselin dimasukkan ke dalam
lubang hidung.
Fraktur tulang hidung terbuka
Fraktur
tulang
hidung
terbuka
menyebabkan perubahan tempat dari tulang
hidung tersebut yang juga disertai laserasi
pada kulit atau mukoperiosteum rongga
hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit
dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau
direkonstruksi pada saat tindakan.
Fraktur
kompleks

tulang

nasoorbitoetmoid

Jika nasal piramid rusak karena tekanan


atau pukulan dengan beban berat akan
menimbulkan fraktur hebat pada tulang
hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal.
Tulang
hidung
bersambungan
dengan
prossesus frontalis os maksila dan prossesus
nasalis os frontal. Bagian dari nasal piramid
yang terletak antara dua bola mata akan
terdorong ke belakang. Terjadilah fraktur
nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan fraktur
nasoorbita. Fraktur ini dapat menimbulkan
komplikasi atau sekuele di kemudian hari.
Komplikasi yang terjadi tersebut ialah :
A. Komplikasi neurologik :
1. Robeknya duramater
2. Keluarnya cairan serebrospinal dengan
kemungkinan timbulnya meningitis
3. Pneumoensefal
4. Laserasi otak
5. Avulsi dari nervus olfaktorius
6. Hematoma epidural atau subdural
7. Kontusio otak dan nekrosis jaringan
otak
B. Komplikasi pada mata :
1. Telekantus traumatika
2. Hematoma pada mata
3. Kerusakan
nervus
optikus
yang
mungkin menyebabkan kebutaan
4. Epifora
5. Ptosis
6. Kerusakan bola mata
C. Komplikasi pada hidung :
1. Perubahan bentuk hidung
2. Obstruksi
rongga
hidung
yang
disebabkan oleh fraktur,dislokasi, atau
hematoma pada septum
3. Gangguan penciuman (hiposmia atau
anosmia)
4. Epistakis posterior yang hebat yang
disebabkan karena robeknya arteri
etmoidalis
5. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan
menimbulkan sinusitis frontal atau
mukokel
Pada keadaan terjadinya trauma hidung
seperti tersebut di atas, jika terdapat

kehilangan
kesadaran
mungkin
terjadi
kerusakan pada susunan saraf otak sehingga
memerlukan bantuan seorang ahli bedah saraf
otak. Konsultasi kepada seorang ahli mata
diperlukan untuk mengevaluasi kemungkinan
terdapatnya kelainan pada mata. Pemeriksaan
penunjang radiologic berupa CT scan (axial
dan koronal) diperlukan pada kasus ini.
Kavum nasi dan lasernasi harus dibersihkan
dan diperiksa kemungkinan terjadinya fistul
cairan serebro spinal. Integritas tendon kantus
media harus dievaluasi, untuk ini diperlukan
konsultasi dengan ahli mata. Klasifikasi
nasoorbitetmoid kompleks tipe I mengenai
satu sisi noncommunited fragmen sentral
tanpa robeknya tendo kantus media. Tipe II,
mengenai fragmen sentral tanpa robeknya
tendo kantus media. Tipe III mengenai
kerusakan fragmen sentral berat dengan
robeknya tendo kantus media.
Seorang ahli bedah maksilofasial harus
mengenal organ yang rusak pada daerah
tersebut
untuk
melakukan
tindakan
rekonstruksi dengan cara menyambung tulang
yang patah sehingga mendapatkan hasil yang
memuaskan.
Fraktur
nasoorbitetmoid
kompleks ini seringkali tidak dapat diperbaiki
dengan cara sederhana menggunakan tampon
hidung atau fiksasi dari luar. Apabila terjadi
kerusakan
duktus
naso-lakrimalis
akan
menyebabkan air mata selalu keluar. Tindakan
ini memerlukan penanganan yang lebih hatihati dan teliti. Rekonstruksi dilakukan dengan
menggunakan kawat (stainless steel) atau
plate & screw. Pada fraktur tersebut di atas,
memerlukan tindakan rekonstruksi kantus
media.
Manifestasi Klinis
Tanda yang mendukung terjadinya fraktur
tulang hidung dapat berupa :
a) Depresi atau pergeseran tulang
tulang hidung.
b) Terasa lembut saat menyentuh hidung.

c) Adanya pembengkakan pada hidung


atau muka.
d) Memar pada hidung atau di bawah
kelopak mata (black eye).
e) Deformitas hidung.
f) Keluarnya darah dari lubang hidung
(epistaksis).
g) Saat
menyentuh
hidung
terasa
krepitasi.
h) Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari
lubang hidung.
Tanda-tanda berikut merupakan saat dimana
sebaiknya
meminta
pertolongan
dokter
meliputi :
- Nyeri
dan
pembengkakan
tidak
menghilang 3x24 jam
- Hidung terlihat miring atau melengkung
- Sulit bernapas melalui hidung meskipun
reaksi peradangan telah mereda
- Terjadi demam
- Perdarahan hidung berulang
Tanda-tanda
berikut
dimana
sebaiknya
meminta pertolongan ke unit gawat darurat :
- Perdarahan yang berlangsung lebih dari
beberapa menit pada satu atau kedua
lubang hidung
- Keluar cairan berwarna bening dari
lubang hidung
- Cedera lain pada tubuh dan muka
- Kehilangan kesadaran
- Sakit kepala yang hebat
- Muntah yang berulang
- Penurunan indra penglihatan
- Nyeri pada leher
- Rasa kebas, baal,atau lemah pada
lengan.
DIAGNOSIS
Diagnosis
fraktur
tulang
hidung
dapat
dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan
dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai
dengan
pembengkakan
mukosa
hidung
terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada

robekan pada mukosa septum, hematoma


septum, dislokasi atau deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os
nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan
bila perlu dapat dilakukan pemindaian dengan
CT scan. CT scan berguna untuk melihat
fraktur hidung dan kemungkinan terdapatnya
fraktur penyerta lainnya.
Pasien harus selalu diperiksa terhadap
adanya hematoma septum akibat fraktur,
bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat
dapat berlanjut menjadi abses, dimana terjadi
resorpsi kartilago septum dan deformitas
hidung pelana ( saddle nose ) yang berat.
a. Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi
dengan dokter sangatlah penting untuk
penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting
untuk
menentukan
waktu
trauma
dan
menentukan arah dan besarnya kekuatan dari
benturan. Sebagai contoh, trauma dari arah
frontal bisa menekan dorsum nasal, dan
menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan
pasien yang mengalami trauma akibat
olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang
dan terus menerus, dan deformitas hidung
akan menyebabkan sulit menilai antara
trauma lama dan trauma baru sehingga akan
mempengaruhi
terapi
yang
diberikan.
Informasi
mengenai
keluhan
hidung
sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya
juga sangat berguna. Keluhan utama yang
sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas
hidung, obstruksi hidung dan anosmia
b. Pemeriksaan fisik
Kebanyakan
fraktur
nasal
adalah
pelengkap trauma seperti trauma akibat
dihantam atau terdorong. Sepanjang penilaian
awal dokter harus menjamin bahwa jalan
napas pasien aman dan ventilasi terbuka
dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering
dihubungkan dengan trauma pada kepala dan
leher yang bisa mempengaruhi patennya

trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi


pada hidung, epistaksis akibat robeknya
membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan
nampak ekimosis dan udem yang terjadi
dalam waktu singkat beberapa jam setelah
trauma dan cenderung nampak di bawah
tulang hidung dan kemudian menyebar ke
kelopak mata atas dan bawah.
Deformitas
hidung seperti deviasi
septum atau depresi dorsum nasal yang
sangat khas, deformitas yang terjadi sebelum
trauma sering menyebabkan kekeliruan pada
trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada
septum nasal sangatlah penting untuk
menentukan antara deviasi septum dan
hematom septi, yang merupakan indikasi
absolut
untuk
drainase
bedah
segera.
Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa
pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi
tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid
biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur
nasal fragmental berat dengan tulang piramid
hidung telah terdorong ke belakang ke dalam
labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar,
menghasilkan telekantus, sering dengan
rusaknya ligamen kantus medial, apparatus
lakrimalis dan lamina kribriformis, yang
menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi
ditemukan
krepitasi
akibat
emfisema
subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan
tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan
hematom septi tampak area berwarna putih
mengkilat atau ungu yang nampak berubahubah pada satu atau kedua sisi septum nasal.
Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan
penanganan akan menyebabkan deformitas
bentuk
pelana,
yang
membutuhkan
penanganan bedah segera. Pemeriksaan
dalam harus didukung dengan pencahayaan,
anestesi, dan semprot hidung vasokonstriktor.
Spekulum hidung dan lampu kepala akan
memperluas
lapangan
pandang.
Pada

pemeriksaan dalam akan nampak bekuan


darah dan/atau deformitas septum nasal.
b. Pemeriksaan radiologis
Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal
komplikasi, radiografi jarang diindikasikan.
Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan
spesifik, sehingga hanya diindikasikan jika
ditemukan keraguan dalam mendiagnosa.
Radiografi
tidak
mampu
untuk
mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan
ahli
klinis
sering
salah
dalam
menginterpretasikan sutura normal sebagi
fraktur yang disertai dengan pemindahan
posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala
klinis
seperti
rhinorrhea
cerebrospinalis,
gangguan
pergerakan
ekstraokular
atau
maloklusi. CT-scan dapat diindikasikan untuk
menilai fraktur wajah atau mandibular.

Gambar 8:

a.
b.
c.
d.
e.

f.

PENATALAKSANAAN
Tujuan Penangananan Fraktur Hidung :
Mengembalikan
penampilan
secara
memuaskan
Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
Menempatkan kembali septum pada garis
tengah
Menjaga keutuhan rongga hidung
Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi
septum, retraksi kolumela, perubahan bentuk
punggung hidung
Mencegah gangguan pertumbuhan hidung
KONSERVATIF
Penatalaksanaan
fraktur
nasal
berdasarkan atas gejala klinis, perubahan
fungsional dan bentuk hidung, oleh karena itu
pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal
dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk
mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien
dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol
dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika
tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi
balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi
ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat
kasa
tipis
merupakan
prosedur
untuk
mengontrol
perdarahan
setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan
dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan
berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi
es pada hidungnya dan kepala sedikit

ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan.


Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko
infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik
berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri
dan memberikan rasa nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah
yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan tanpa
dikoreksi, akan menyebabkan perubahan
struktur hidung dan jaringan lunak sehingga
akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi.
Karena itu, ketepatan waktu terapi akan
menurunkan resiko kematian pasien dengan
fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat
mengenai kapan seharusnya penatalaksanaan
dilakukan.
Penatalaksanaan
terbaik
seharusnya dilakukan segera setelah fraktur
terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada
hidung. Sayangnya, jarang pasien dievaluasi
secara cepat. Pembengkakan pada jaringan
lunak dapat mengaburkan apakah patah yang
terjadi ringan atau berat dan membuat
tindakan reduksi tertutup menjadi sulit
dilakukan. Sebab dari itu pasien dievaluasi
setelah 3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi
tertutup dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat
dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan
ditunda setelah 7-10 hari maka akan terjadi
kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran
napas dalam kondisi baik, pernapasan optimal
dan keadaan pasien cenderung stabil, dokter
baru melakukan penatalaksaan terhadap
fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari cedera
luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka
terbuka dan kemungkinan kontaminasi dari
benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan
pembersihan
(debridement)
juga
dapat
dilakukan. Namun pada tindakan debridement
harus diperhatikan dengan bijak agar tidak
terlalu banyak bagian yang dibuang karena
lapisan kulit diperlukan untuk melapisi
kartilago yang terbuka.
OPERATIF

Untuk fraktur nasal yang tidak disertai


dengan
perpindahan
fragmen
tulang,
penanganan bedah tidak dibutuhkan karena
akan sembuh dengan spontan. Deformitas
akibat fraktur nasal sering dijumpai dan
membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat
untuk memperbaiki posisi hidung.
A. Teknik reduksi tertutup
Reduksi tertutup adalah tindakan yang
dianjurkan pada fraktur hidung akut yang
sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan
satu teknik pengobatan yang digunakan untuk
mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi.
Namun, pada kasus tertentu tindakan reduksi
terbuka di ruang operasi kadang diperlukan.
Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat
memberikan hasil yang sempurna pada
tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika
tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur
tulang hidung tetap saja pada posisi yang
tidak normal. Tindakan reduksi ini dikerjakan 12 jam sesudah trauma, dimana pada waktu
tersebut edema yang terjadi mungkin sangat
sedikit. Namun demikian tindakan reduksi
secara lokal masih dapat dilakukan sampai 14
hari sesudah trauma. Setelah waktu tersebut
tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan
karena sudah terbentuk proses kalsifikasi pada
tulang hidung sehingga perlu dilakukan
tindakan rinoplasti estetomi.
Alat-alat yang dipakai pada tindakan
reduksi adalah :
1. Elevator tumpul yang lurus (Boies Nasal
Fracture Elevator)
2. Cunam Asch
3. Cunam Walsham
4. Spekulum hidung pendek dan panjang
(Killian)
5. Pinset bayonet.
Gambar 10 :
Reduction instruments. (Left) Asch forceps,
(center) Walsham forceps,
and (right) Boies elevator.

Deformitas hidung yang minimal akibat


fraktur dapat direposisi dengan tindakan yang
sederhana. Reposisi dilakukan dengan cunam
Walsham. Pada penggunaan cunam Walsham
ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum
nasi sedangkan sisi yang lain di luar hidung dia
atas kulit yang diproteksi dengan selang karet.
Tindakan manipulasi dilakukan dengan kontrol
palpasi jari.
Jika terdapat deviasi piramid hidung
karena dislokasi karena dislokasi tulang
hidung, cunam Asch digunakan dengan cara
memasukkan masing-masing sisi (blade) ke
dalam kedua rongga hidung sambil menekan
septum dengan kedua sisi forsep. Sesudah
fraktur dikembalikan pada posisi semula
dilakukan pemasangan tampon di dalam
rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat
ditambah dengan antibiotika.
Perdarahan
yang
timbul
selama
tindakan akan berhenti, sesudah pemasangan
tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi
luar (gips) dilakukan dengan menggunakan
beberapa lapis gips yang dibentuk dari huruf
T dan dipertahankan hingga 10-14 hari.
Langkahlangkah pada tindakan reduksi
tertutup :
1.
Memindahkan
kedua
prosesus
nasofrontalis.
Forceps
Walshams
digunakan untuk memindahkan kedua
prosesus nasalis keluar maksila dan

2.

3.

4.

5.

6.

menggunakan tenaga yang terkontrol


untuk menghindari gerakan menghentak
yang tiba-tiba.
Perpindahan posisi tulang hidung. Septum
kemudian dipegang dengan forceps Asch
yang diletakkan di belakang dorsum nasi.
Forceps ini diciptakan sama prinsipnya
dengan forceps walshams, tetapi forcep
Asch mempunyai mata pisau yang dapat
memegang septum yang mana bagian
mata pisau tersebut terpisah dari
pegangan utama bagian bawah dengan
ukuran lebih besar dan lekukan berguna
untuk menghindari terjadinya kompresi
dan kerusakan kolumela yang hebat dan
lebih luas.
Manipulasi septum nasal. Forceps Asch
kemudian
digunakan
lagi
untuk
meluruskan septum nasal.
Membentuk piramid hidung. Dokter ahli
bedah
seharusnya
mampu
untuk
mendorong hidung sampai mencapai
posisi yang tidak seharusnya dan adanya
sumbatan/kegagalan
mengindikasikan
kesalahan posisi dan pergerakan tidak
sempurna dan harus diulang. Prosesus
nasofrontalis didorong ke dalam dan
tulang hidung akhirnya dapat terbentuk
dengan bantuan jari-jari tangan.
Kemungkinan pemindahan akhir septum.
Dokter ahli bedah harus berhati-hati
dalam menilai bagian anterior hidung dan
harus mengecek posisi dari septum nasal.
Jika memuaskan, dokter harus mereduksi
terbuka
fraktur
septum
melalui
septoplasti atau reseksi mukosa yang
sangat terbatas.
Kemungkinan laserasi sutura kutaneus.
Jika tipe fraktur adalah tipe patah tulang
riuk, maka dibutuhkan laserasi sutura
pada kulit yang terbuka. Pertama-tama,
luka harus dibuka. Sangatlah penting
untuk membuang semua benda asing
yang berada pada luka seperti pecahan

kaca, kotoran atau batu kerikil. Hidung


membutuhkan suplai darah yang cukup
dan oleh karena itu sedikit atau banyak
debridemen
sangat
dibutuhkan.
Penutupan pertama terlihat kebanyakan
luka sekitar 36 jam dan sutura nasalis
menutup sekitar 3-4 mm. Kadang luka
kecil superfisial dapat menutup dengan
plester adhesive (steristrips).3

B. Teknik reduksi terbuka


Fraktur
nasal
reduksi
terbuka
cenderung tidak memberikan keuntungan.
Pada daerah dimana fraktur berada sangat
beresiko mengalami infeksi sampai ke dalam
tulang. Masalah pada hidung menjadi kecil

karena hidung mempunyai banyak suplai aliran


darah bahkan pada masa sebelum adanya
antibiotik, komplikasi infeksi setelah fraktur
nasal dan rhinoplasti sangat jarang terjadi.
Teknik reduksi terbuka diindikasikan
untuk :
1. Ketika operasi telah ditunda selama lebih
dari 3 minggu setelah trauma.
2. Fraktur nasal berat yang meluas sampai
ethmoid. Disini, sangat nyata adanya
fragmentasi
tulang
sering
dengan
kerusakan ligamentum kantus medial dan
apparatus
lakrimalis.
Reposisi
dan
perbaikan hanya mungkin dengan reduksi
terbuka, dan sayangnya hal ini harus
segera dilakukan.
3. Reduksi terbuka juga dapat dilakukan
pada kasus dimana teknik manipulasi
reduksi tertutup telah dilakukan dan
gagal. Pada teknik reduksi terbuka harus
dilakukan insisi pada interkartilago.
Gunting Knapp disisipkan di antara insisi
interkartilago dan lapisan kulit beserta
jaringan subkutan yang terpisah dari
permukaan luar dari kartilago lateral atas,
dengan melalui kombinasi antara gerakan
memperluas dan memotong.
Komplikasi
A) Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan
serius dari trauma nasal. Septum hematom
ditandai dengan adanya akumulasi darah
pada ruang subperikondrial. Ruangan ini
akan menekan kartilago di bawahnya, dan
mengakibatkan
nekrosis
septum
irreversible. Deformitas bentuk pelana
dapat berkembang dari jaringan lunak
yang
hilang.
Prosedur
yang
harus
dilakukan adalah drainase segera setelah
ditemukan disertai dengan pemberian
antibiotik setelah drainase. 3,7,12

Penanganan hematom septum berupa :


- insisi dan drainase hematoma,
- pemasangan drain sementara,
- pemasangan balutan intranasal untuk
menekan mukosa septum
- dan
memperkecil
kemungkinan
terjadinya hematom ulang
- dimulainya terapi antibiotik untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya
bahaya infeksi.
B) Fraktur dinding orbita
Fraktur pada dinding orbita dan lantai
orbita akibat pukulan dapat terjadi. Gejala
klinis yang muncul adalah disfungsi otot
ekstraokuler.
C) Fraktur septum nasal
Sekitar
70%
fraktur
nasal
dihubungkan dengan fraktur septum
nasal. Trauma pada hidung bagian bawah
akan menyebabkan fraktur septum nasal
tanpa adanya kerusakan tulang hidung.
Teknik yang dilakukan adalah teknik
manipulasi
reduksi
tertutup
dengan
menggunakan forceps Asch.

D) Fraktur lamina kribriformis


Merupakan
predisposisi
pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang
akan menyebabkan komplikasi berupa
meningitis, encephalitis dan abses otak.

Anda mungkin juga menyukai