Anda di halaman 1dari 39

REFERAT THT

TRAKEOSTOMI

DISUSUN OLEH :

Nadya Noor Mulya Putri


1102013204

PRESEPTOR
dr. H. W. Gunawan Kurnaedi, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN
ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSU Dr. SLAMET GARUT

PERIODE Maret - April 2018


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
penulisan referat dengan judul “Trakeostomi” yang disusun dalam rangka
memenuhi persyaratan kepaniteraan di bagian THT RSU dr. Slamet Garut.
Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. H. W. Gunawan Kurnaedi, SpTHT-KL selaku kepala SMF dan konsulen
THT RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan
ilmu kepada penyusun.
2. dr. Aroyan, SpTHT dosen Ilmu Kedokteran THT FK Universitas YARSI
yang telah memberi bimbingan serta pengajaran kepada penyusun selama ini.
3. Para perawat di poliklinik THT yang telah banyak membantu penyusun
dalam kegiatan klinik sehari-hari.
4. Orang tua dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberi kasih sayang,
mendoakan dan memberi dukungan kepada penyusun.
5. Teman-teman sejawat yang telah banyak memberikan inspirasi dan
dukungannya.
Penyusun menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran.Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat
dan menambah pengetahuan bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Garut, 20 Maret 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 3
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI TRAKEA........................................ 5
1 Anatomi.............................................................................................. 5
2 Fisiologi.............................................................................................. 8
BAB II Trakeostomi ...................................................................................... 16
1 Definisi.............................................................................................. 16
2 Indikasi ............................................................................................. 18
3 Peralatan .......................................................................................... 20
4 Prosedur ........................................................................................... 21
5 Trakeostomi pada anak ..................................................................... 28
6 Perawatan trakeostomi .......................................................................30
7 Dekanulasi ........................................................................................ 31
BAB III Kesimpulan ........................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 40

2
BAB I

PENDAHULUAN

Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi pasien

dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan bagian atas. Insisi

yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi sedangkan tindakan yang

membuat stoma selanjutnya diikuti dengan pemasangan kanul trakea agar udara dapat

masuk ke dalam paru-paru dengan menggunakan jalan pintas jalan nafas bagian atas

disebut dengan trakeostomi (Robert, 1997).1,2

Prosedur trakeostomi dahulu disebut dengan berbagai istilah, antara lain

laringotomi atau bronkotomi sampai istilah trakeotomi diperkenalkan. Pada tahun-

tahun belakangan ini digunakan istilah yang lebih tepat yaitu trakeostomi. Menurut

letak insisinya, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan

batas letak ini adalah cincin trakea ketiga. Jika dibagi menurut waktu dilakukannya

tindakan, maka trakeostomi dibagi kepada trakeostomi darurat dan segera dengan

persiapan sarana sangat kurang dan trakeostomi elektif dengan persiapan sarana

cukup yang dapat dilakukan secara baik. Perbedaan lain dari kedua jenis trakeostomi

di atas adalah dari jenis insisinya. Pada trakeostomi darurat, insisi yang dilakukan

adalah insisi vertikal yang memberikan keuntungan berupa pembukaan lapangan

operasi yang dibutuhkan bagi kontrol jalan nafas secara cepat, sedangkan pada

trakeostomi elektif insisi yang dilakukan adalah insisi horizontal karena lebih

menguntungkan secara kosmetik (Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi, 2004).1,2,3

Terdapat berbagai indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi mulai dari

yang bersifat darurat maupun elektif. Sejumlah referensi menjelaskan prosedur

trakeostomi namun pada dasarnya semua mengharuskan adanya persiapan pasien dan

3
alat yang baik. Menurut Endean et al. (2003), tindakan trakeostomi diindikasikan

pada pasien: (1) yang memerlukan ventilasi mekanis dalam jangka panjang, (2)

keganasan kepala dan leher yang akan dilakukan reseksi yang sulit dilakukan

intubasi, (3) trauma maksilofasial disertai dengan resiko sumbatan jalan nafas, (4)

sumbatan jalan nafas akibat dari trauma, luka bakar atau keduanya, (5) gangguan

neurologis yang disertai dengan risiko sumbatan jalan nafas, (6) severe sleep apnea

yang tidak dapat dilakukan intubasi.2,3

4
BAB II

PEMBAHASAN

I. ANATOMI TRAKEA

Davies, 1997, menjelaskan bahwa trakea merupakan tabung berongga yang

disokong oleh cincin kartilago. Trakea berawal dari kartilago krikoid yang berbentuk

cincin stempel dan meluas ke anterior pada esofagus, turun ke dalam thoraks di mana

ia membelah menjadi dua bronkus utama pada karina. Pembuluh darah besar pada

leher berjalan sejajar dengan trakea di sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung

karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas trakea di sebelah depan dan lateral. Ismuth

melintas trakea di sebelah anterior, biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga

kelima. Saraf laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah

jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan adalah otot-otot supra sternal

yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoid. 1,2,3

Gambar 1. Conducting Passage2

5
Gambar 2. Anatomi Trakea 4

Trakea dari pinggir ke bawah cartilago cricoidea setinggi vertebra cervicalis ke-6.

Trakea merupakan tabung yang terdiri dari jaringan ikat dan otot polos, dengan

disokong oleh 15 – 20 kartilago berbentuk huruf “C”. Kartilago membentuk sisi

anterior dan lateral. Berfungsi melindungi trakea dan menjaga terbukanya jalan udara.

Dinding posterior tidak memiliki kartilago. Esofagus terletak langsung pada dinding

posterior yang tidak memiliki kartilago. Trakea dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia

yang memiliki banyak sel Goblet. 2,3,4

Dindingnya dibangun oleh sebaris tulang rawan yang bentuknya serupa dengan

huruf “C” dengan ujung-ujungnya yang terbuka lebar menuju ke belakang, cincin-

cincin trakea ini saling dihubungkan oleh suatu selaput elastis : Ligamentum

Annularium trakealis. Antara kedua ujung posterior yang terbuka terdapat dinding

selaput. Didaerah leher kita dapat menemukan ventral dan trakea : Isthmus glandula

6
tiroid setinggi cincin-cincin trakea ke-2, ke-3, ke-4 kemudian dibawahnya : valvula

tirodea inferior. Didalam toraks, trakea mempunyai hubungan dengan pembuluh-

pembuluh besar didalam mediastinum superior. Lateral sebelah kanan dari trakea

tampak nervus vagus dexter.3,4

Trakea terdiri dari 9 kartilago yang terhubung satu sama lain dengan otot dan

ligamen. 6 kartilago berpasangan, 3 kartilago tidak berpasangan.3,4,5

- Kartilago tiroid : kartilago terbesar dan terletak paling superior, sering disebut

“Adam’s apple”

- Kartilago krikoid : kartilago paling inferior yang tidak berpasangan, yang

membentuk dasar laring.

- Epiglotis : kartilago ketiga yang tidak berpasangan. Terdiri dari kartilago

elastis daripada hialin. Selama menelan epiglotis menutup pembukaan laring

dan mencegah masuknya berbagai materi ke dalam laring

6 kartilago yang saling berpasangan terletak pada 2 pilar antara kartilago krikoid

dan tiroid.

- Kartilago aritenoid : terbesar dan terletak paling inferior

- Kartilago kornikulatum : terletak di tengah

- Kartilago kuneiformis : terletak paling superior dan terkecil

II. FISIOLOGI PERNAFASAN

Sistem pernapasan mencakup saluran pernapasan yang berjalan ke paru, paru itu

sendiri, dan struktur-struktur toraks (dada) yang terlibat menimbulkan gerakan udara

masuk-keluar melalui saluran pernapasan. Saluran hidung berjalan ke faring

(tenggorokan), yang berfungsi sebagai saluran bersama bagi sistem pernapasan

maupun sistem pencernaan. Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring-trakea

7
merupakan tempat lewatnya udara ke paru, dan esofagus merupakan saluran tempat

lewatnya makanan ke lambung.

Laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk trakea memiliki penonjolan

di bagian anterior yang membentuk jakun (adam’s apple). Pita suara merupakan dua

pita jaringan elastik yang terentang di bukaan laring, dapat diregangkan dan

diposisikan dalam berbagai bentuk oleh otot-otot laring. Pada saat udara mengalir

cepat melewati pita suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk

menghasilkan bermacam-macam bunyi. Pada saat menelan, pita suara mengambil

posisi rapat satu sama lain untuk menutup pintu masuk ke trakea.1,4,5

Gambar 3. Plika vokalis6

II.1. Pengaturan ventilasi.

Sistem utama yang mengatur ventilasi merupakan suatu sistem umpan balik

negatif, yang terdiri dari 3 subdivisi : intergrator pusat, sensor-sensor distal dan sistem

sirkulasi paru perifer. Sistem sirkulasi paru terdiri dari 3 komponen : gas CO2 dan O2

yang tersimpan dalam larutan tubuh atau dalam kombinasi kimiawi dalam sel atau

cairan ekstraseluler, aliran sirkulasi CO2 dan O2 antara paru dan jaringan tubuh dan

8
hembusan mekanisme yang terdiri dari otot-otot pernapasan, paru dan rongga dada.

Yang terakhir ini merupakan sarana ventilasi.1,3,4,5

Sensor terdiri dari 2 komponen : kemoreseptor dan mekanoreseptor.

Kemoreseptor terutama terdapat didaerah karotis dan aorta. Kemoreseptor ini bereaksi

terhadap perubahan kadar CO2 dan O2 dalam darah (PCO2 dan PO2). Badan karotis

merupakan kemoreseptor utama. Mekanoreseptor berubah terhadap volume rongga

dada dan kekuatan kontraksi otot pernapasan. Sistem integrasi sentral terdiri dari

neuron motor sentral yang terletak dibatang otak dekat ventrikel ke-4. Traktus saraf

desendennya mengatur aktivitas pernapasan. 1,3,4,5

II.2. Penyimpanan dan sirkulasi CO2 dan O2

Oksigen dan karbondioksida disimpan dalam tubuh melalui 3 cara : sebagai gas

dalam paru, sebagai larutan tubuh dalam cairan jaringan dan sebagai ikatan kimia

dengan hemoglobin, atau sebagai bikarbonat (HCO3) dalam darah dan jaringan.

Kesemuanya dapat berfungsi sebagai buffer yang memperlambat perubahan tekanan

gas, dan pH di dalam paru, darah dan jaringan. Tiap jaringan mempunyai kemampuan

masing-masing dalam penyimpanan O2 dan CO2. Misalnya otak, mempunyai

kapasitas yang lebih kecil untuk menyimpan CO2, tetapi akibat aliran darahnya yang

cepat, dapat mengimbangi PaO2 dan Pa CO2 dengan ventilasi yang cukup.

Sebaliknya, otot mempunyai potensi yang lebih besar untuk menyimpan CO2 dari O2.

Jadi, perubahan ventilasi menyebabkan perubahan PO2 dalam otot yang lebih cepat

daripada PCO2 atau pH.1,3,4

II.3. Faktor mekanis dinding dada.

Reseptor mekanis dinding dada mengatur kekuatan tenaga otot inspirasi. Ada 2

sistem : reseptor tendon diagfragma dan serabut gamma interkosta. Reseptor tendon

9
dalam otot diagfragma dan interkosta menghambat aktivitas motorik dan mencegah

kerusakan akibat regangan berlebihan atau kontraksi yang kuat.1,3

Kumparan otot (serat gamma) didapatkan dalam otot interkosta membantu

mempertahankan volume tidal dan melawan reflek tendon. Regangan pada kumparan

otot selama inspirasi mempertinggi aktivitas motorik pada neuron motorik alfa

melalui hubungan antar korda spinalis. Neuron motorik alfa mengaktifkan serat-serat

ekstrafusal yang merupakan persarafan utama dinding dada. Otot respirasi

berkontraksi mengurangi tekanan pada kumparan otot. Dengan demikian gangguan

terhadap gerakan dinding dada, perubahan pada posisi tulang iga, atau susunan tulang

iga dapat diatasi. 1,3,4

Gambar 4. Anatomi Otot-Otot Pernapasan1

II.4. Faktor mekanis paru.

Sekurang-kurangnya ada 3 tipe reseptor dalam paru yang mengatur ventilasi

dengan mengirimkan isyarat ke SSP melalui nervus vagus.

10
Reseptor iritatif pada epitel saluran napas menimbulkan konstriksi bronkus dan

hiperventilasi jika terkena rangsangan mekanis, kimia atau zat yang merangsang.

Reseptor tersebut berperan pula pada batuk dan peninggian ventilasi akibat kenaikan

CO2.1,3

Reseptor regangan terdapat dalam otot polos saluran napas, yang bereaksi

terhadap perubahan volume paru dan membentuk reflex Hering-Breuer pada binatang

dan bayi. Reflex ini menyebabkan apnea selama inflasi paru yang kuat. Pada manusia

bekerja mengontrol dilatasi bronkus pada ekspansi paru, dan bekerja sama dengan

reseptor iritatif untuk mengatur diameter saluran udara sewaktu bernapas. Bila

reseptor regang terangsang akan meningkatkan inflasi paru, menurunkan resistensi,

memperbesar diameter saluran udara dan menambah rongga hampa. Selama paru

mengembang, reflek ini akan merangsang serabut gamma dinding dada untuk

bereaksi sehingga meningkatkan aktivitas otot ekspirasi, yang kemudian akan

mengembalikan paru pada keadaan istirahat.1,2,4

Reseptor juksta kapiler (J. receptor), terletak dalam jaringan interstisial alveolus,

dirangsang oleh fibrosis interstisial atau edem. Akibatnya akan meningkatkan

pernapasan, cepat dan dangkal. Reseptor mekanis ini berpengaruh dalam mengatur

pola pernapasan, dengan mengatur frekuensi dan volume tidal selama istirahat

maupun saat bernapas cepat. Hasil akhir akan membatasi kerja otot pernapasan pada

setiap derajat ventilasi alveolus.1,4,6

III. PATOFISIOLOGI OBSTRUKSI SALURAN NAFAS ATAS

Obstruksi saluran napas atas mengakibatkan hipoventilasi alveolus dan

menimbulkan tiga perubahan biokimiawi : hipoksi arterial (hipoksemi), retensi CO2

(hiperkapni) dan asidosis respirasi dan metabolik (penurunan serum). Asidosis

11
metabolic disebabkan oleh terbentuknya asam laktat dan penimbunan asam karbonat.

Ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan asfiksia.1

Hipoksi menyebabkan gangguan fungsi seluler terutama pada SSP. Badan karotis

dan aorta merupakan reseptor kimiawi terpenting yang mendeteksi perubahan O2. 1,4

Hipoksemi pada tingkat tertentu akan meningkatkan usaha pernapasan,

takikardi, vasokonstriksi perifer dan hipertensi, peningkatan resistensi pembuluh

darah paru, peningkatan aktivitas adrenal, dan peningkatan aktivitas korteks serebri

akibat rangsangan reseptor kimia san sistem saraf simpatis. Efek ini diperkuat oleh

asidosis dan hiperkapni, yang biasanya menyertai hipoksemi sebagai akibat

hipoventilasi alveolus.2,4

Jika hipoksia berlangsung beberapa hari terjadi penyesuaian fisiologik dan

perbaikan gejala. Peningkatan aliran darah dan polisitemia memperbaiki oksigenisasi

jaringan. Hiperkapni dapat merangsang langsung SSP (merangsang pernapasan).

Umumnya dapat meninggikan frekuensi pernapasan dengan akibat lainnya berupa

sakit kepala, peka terhadap rangsangan, bingung, gatal, lemas dan lesu. Hiperkapni

berat menyebabkan pasien tidak sadar, reflex menurun, kaku, tremor, dan kejang.

Akhirnya terdapat narkosis CO2 dan koma.1,3,5

Ion H+ merupakan stimulan pernapasan spesifik untuk pusat pernapasan di

medulla. Tetapi H+ dalam cairan serebrospinal tidak dapat menembus sawar darah –

otak dengan baik, sedangkan CO2 dapat dengan cepat memasukinya. Kadar CO2 yang

meningkat menyebabkan asidosis cairan serebrospinal dan stimulasi pernapasan. Oleh

karena CO2 harus berdifusi dalam cairan serebrospinal yang tidak mempunyai sistem

buffer maka kadar ion H+ abnormal dalam cairan serebrospinal akan timbul secara

bertahap tetapi berlangsung lebih lama dan lebih hebat daripada kelainan darah

perifer.2,3,4

12
III.1. Sumbatan Laring

Sumbatan laring dapat disebabkan oleh : 4,5

- Radang akut dan radang kronik.

- Benda asing.

- Trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan senjata

tajam.

- Trauma akibat tindakan medik.

- Tumor laring, baik berupa tumor jinak atau pun tumor ganas.

- Kelumpuhan nervus rekuren bilateral.

Gejala dan tanda sumbatan laring ialah:

- Suara serak (disfoni) sampai afoni.

- Sesak napas (dispnea).

- Stridor (napas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.

Stridor merupakan suara nafas bernada rendah saat insipirasi yang disebabkan

oleh udara yang melewati saluran nafas yang menyempit pada saluran nafas atas yang

biasanya memiliki saluran yang besar. Sering terjadi akibat sumbatan pada laring dan

trakea bagian atas. 3,5

1. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,

supraklavikula, dan interkostal. Cekungan ini terjadi sebagai upaya dari otot-

otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.

2. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger).

3. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.

13
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan

tanda dan gejala: 3,4

- Stadium 1 : Cekungan tampak waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada

waktu inspirasi dan pasien masih tenang.

- Stadium 2 : Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin

dalam, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium.

Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar waktu inspirasi.

- Stadium 3 : Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat

di infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor

terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.

- Stadium 4 : Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat

gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung

terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena

hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.

III.2. Penanggulangan Sumbatan Laring

Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab

sumbatan dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin

ventilasi. Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan supaya

jalan napas lancar kembali.4,6

Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi, antibiotika,

serta pemberian oksigen inttermitten dilakukan pada sumbatan laring stadium 1 yang

disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau resursitasi untuk membebaskan

saluran napas ini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut

14
(intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma

atau melakukan krikotirotomi. Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada

pasien dengan sumbatan laring stadium 2 dan 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan

pada sumbatan laring stadium 4. Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan

berdasar análisis gas darah (pemeriksaan Astrup).4,6,7,8

IV. DEFINISI TRAKEOSTOMI

Trakeostomi adalah pembuatan lubang di dinding anterior trakea untuk

mempertahankan jalan napas. Pertama kali dikemukakan oleh Aretaeus dan Galen

pada abad pertama dan kedua sesudah masehi. Walaupun teknik ini dikemukakan

berulang kali setelah itu, tetapi orang pertama yang diketahui secara pasti melakukan

tindakan ini ialah Antonio Brasavola pada tahun 1546. Prosedur ini disebut dengan

berbagai istilah, antara lain laringotomi dan bronkotomi sampai istilah trakeostomi

diperkenalkan oleh Heister pada tahun 1718. Pipa trakeostomi yan pertama dengan

kanul dalam diperkenalkan oleh George Martine di Inggris kira-kira tahun 1730 untuk

menghindari sumbatan pipa pascabedah.4,6,8

Trakeostomi merupakan tindakan bedah trakea untuk membuat trakeostoma.

Trakeotomi dapat menyelamatkan jiwa penderita yang mengalami obstruksi jalan

napas di atas trakea dan tidak dapat diatasi dengan cara lain, misalnya intubasi.

Trakeostomi juga dilakukan pada penderita yang memerlukan bantuan pernapasan

buatan untuk waktu lama dan yang memerlukan bantuan pernapasan buatan untuk

waktu lama dan yang memerlukan pertolongan pembersihan jalan nafas secara

memadai. Trakeostoma merupakan fistel antara trakea dan kulit leher yang

dipertahankan dengan kanul. 1,6,7,8

Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi pasien

15
dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan bagian atas. Insisi

yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi sedangkan tindakan yang

membuat stoma selanjutnya diikuti dengan pemasangan kanul trakea agar udara dapat

masuk ke dalam paru-paru dengan menggunakan jalan pintas jalan nafas bagian atas

disebut dengan trakeostomi (Robert, 1997). Istilah trakeotomi dan trakeostomi dengan

maksud membuat hubungan antara leher bagian anterior dengan lumen trakea, sering

saling tertukar. Definisi yang tepat untuk trakeotomi ialah membuat insisi pada trakea,

sedang trakeostomi ialah membuat stoma pada trakea.1,4,6,7,8

Dapat disimpulkan, trakeostomi adalah tindakan operasi membuat jalan udara

melalui leher dengan membuat stoma atau lubang di dinding depan/ anterior trakea

cincin kartilago trakea ketiga dan keempat, dilanjutkan dengan membuat stoma,

diikuti pemasangan kanul. Bertujuan mempertahankan jalan nafas agar udara dapat

masuk ke paru-paru dan memintas jalan nafas bagian atas saat pasien mengalami

ventilasi yang tidak adekuat dan gangguan lalulintas udara pernapasan karena

obstruksi jalan nafas bagian atas.6,7

16
Gambar 5. Trakeostomi 7

V. INDIKASI TRAKEOSTOMI

Indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi adalah :6,7,8

1. Mengatasi obstruksi laring.

2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti

daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka

seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru.

3. Mempermudah penghisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat

mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pasien koma.

4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).

5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai

fasilitas untuk bronkoskopi.

6. Bantuan jalan napas diperlukan lebih dari 2 minggu.

17
7. Refleks laring atau kemampuan untuk menelan hilang (misalnya penyakit

serebrovaskular).

8. Cedera kepala dan leher.

Trakeostomi dapat dilakukan untuk tujuan terapi atau sebagai suatu prosedur

berencana. Trakeostomi berencana mungkin diperlukan bila diramalkan akan terjadi

problem pernafasan pada pasien pasca bedah daerah kepala, leher, atau toraks, atau

pasien dengan insufisiensi paru kronik. Indikasi yang jarang ialah pada pasien, yang

intubasi orotrakea sukar dilakukan atau tak mungkin dilakukan untuk tujuan anestesi

umum. Trakeostomi juga harus dilakukan sebelum pembedahan tumor – tumor

orofaring atau laring untuk menghindari manipulasi tumor yang tidak perlu. 5,7

Trakeostomi untuk terapi perlu dilakukan pada tiap kasus insufisiensi

pernafasan yang disebabkan oleh hipoventilasi alveolus untuk memintas sumbatan,

mengeluarkan sekret, atau untuk tujuan penggunaan pernapasan buatan secara

mekanis. 7,8,9

Bila mungkin, trakeostomi harus didahului oleh intubasi endotrakea.

Walaupun intubasi endotrakea dapat segera memperbaiki gangguan jalan nafas,

trakeostomi harus dilakukan bila diperhitungkan perlu perawatan jalan nafas lebih

dari 48 jam, karena :4,7,8,9

1. Mengeluarkan sekret jauh lebih mudah lewat suatu pipa trakeostomi, dan

kemungkinan terjadinya obstruksi pipa lebih kecil.

2. Pasien sangat sulit menelan dengan adanya pipa endotrakea.

3. Membersihkan pipa endotrakea pada posisinya sulit dan untuk mengganti pipa

diperlukan laringoskopi berulang.

18
4. Intubasi lama endolaring menimbulkan ulserasi mukosa yang akhirnya dapat

menjadi granuloma, adhesi, dan stenosis laring.

5. Trakeostomi kurang menyebabkan rangsangan refleks batuk, yang mungkin

penting pada pasien dengan kelainan saraf dan pasca bedah.

6. Dengan trakeostomi pasien yang sadar dapat berbicara.

Kontraindikasi trakeostomi adalah pasien dengan obstruksi laring oleh tumor ganas.

VI. PERALATAN TRAKEOSTOMI

Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi adalah semprit

dengan obat analgesia (novokain), pisau (skapel), pinset anatomi, gunting panjang

yang tumpul, sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta

kanul trakea yang ukurannya cocok untuk pasien. 2,5,6,9

Gambar 6. Alat-alat Trakeostomi8

Seperti pipa endotrakeal, kaf pipa yang bertekanan rendah dan bervolume

banyaklah yang dipilih. Yang sering digunakan adalah pipa yang terbuat dari klorida

polivinil (KPV), silastik dan metal. Pipa KPV dan silastik umum digunakan untuk

19
UTI sedangkan pipa metal digunakan untuk trakeostomi jangka panjang terutama bila

kaf tidak diperlukan.

Gambar 7. Kanul trakeostomi9

VII. PROSEDUR TRAKEOSTOMI

VII.1. Trakeostomi elektif

Pada kebanyakan kasus trakeostomi dilakukan di Intensive Care Unit atau di

kamar operasi. Pada lokasi tersbut pasien terus dimonitor dengan pulse oxymetri dan

elektrokardiogram. Anestesiologis biasanya melakukan gabungan antara medikasi

intravena dan anestesi lokal.5,7

Teknik trakeostomi ditentukan sampai batas tertentu oleh keadaan yang

memerlukan tindakan tersebut. Yang terpenting ialah memperoleh udara pernafasan

secepat dan seefisiensi mungkin dengan menhindari trauma pada laring, trakea, dan

20
struktur yang berdekatan. Bila mungkin, dilakukan intubasi endotrakea sebelum

trakeostomi terapi, terutama pada anak. Jika tidak mungkin melakukan intubasi,

ventilasi dan oksigenasi melalui kantong dan masker sangat membantu. Jika udara

pernafasan telah terkontrol, dapat dilakukan trakeostomi dengan lebih cermat dan

trauma minimal.4,7,8

Pasien tidur telentang dengan bantal di bawah bahu untuk memperoleh

ekstensi leher yang maksimal. Anestesi tidak diperlukan pada pasien yang tidak sadar.

Anestesi lokal pada umumnya sudah cukup untuk pasien sadar, termasuk anak.

Anestesi lokal diberikan dengan infiltrasi kulit pada garis insisi dan bahan disuntikkan

ke jaringan yang lebih dalam di garis tengah sampai pada dinding trakea anterior.

Dapat digunakan lidocaine (Xylocaine) 1% dengan epinefrin 1 : 150.000.6,8,9

Insisi kulit ditentukan berdasarkan situasi dan kondisi. Jika trakeostomi

dilakukan bersamaan dengan bedah kepala dan leher, insisi disesuaikan dengan

rencana operasi yang akan dilakukan. Jika trakeostomi dilakukan tersendiri, bila

mungkin dibuat insisi horizontal. Insisi dibuat sepanjang 5 cm, kira – kira dau jari di

atas fosa suprasternal. Hasil kosmetik insisi horizontal lebih baik dibandingkan insisi

vertikal. Dalam keadaan gawat dan bantuan tidak tersedia, dilakukan insisi vertikal di

garis tengah sepanjang 4 cm supaya cepat dan perdarahan minimal.6,7,9,10

Insisi kulit diperdalam sampai terlihat otot penggantung. Pada titik ini, untuk

menentukan letak trakea perlu dilakukan palpasi untuk menghindari diseksi terlalu

lateral. Otot penggantung dipisahkan secara vertikal di garis tengah dan disingkirkan

ke lateral, maka tampak fasia pre-trakea yang menutupi trakea dan ismus tiroid.

Tampak banyak vena turun ke fasia dari tiroid, tetapi dengan tetap bekerja di garis

tengah pada bidang vertikal, sebagian besar vena dapat dihindari. Ismus tirois hampir

21
selalu berada di atas cincin trakea ke-3 dan biasanya dapat disingkirkan ke atas

dengan retractor kecil dan tumpul untuk membebaskan trakea. Ismus tiroid tidak perlu

dipotong, sehingga perdarahan dapat dihindari, kecuali pada ismus yang luar biasa

lebar, harus dipotong diantara dua klem, dan diikat pada pinggir potongan.6,9

Trakea harus difiksasi dengan memasukkan pengait pada dinding anterior

antara cincin ke-1 dan ke-2, kemudian ditarik ke arah atas dan luar. Dinding anterior

trakea diinsisi secara vertikal, sebanyak 2 sampai 3 cincin. Insisi trakea jangan lebih

tinggi dari cincin ke-2, untuk mencegah rangsangan pipa trakeostomi pada kartilago

krikoid yang dapat menyebabkan perikondritis. Jangan membuang tulang rawan dari

dinding anterior trakea, karena dapat menimbulkan defek besar pada trakea yang tidak

perlu pasca ekstubasi, sehingga terjadi granulasi yang mengganggu dan

memperlambat penyembuhan. Insisi trakea diperlebar dengan dilator Truosseau atau

klem yang besar, kemudian pipa dimasukkan , dijaga agar tidak mngenai dinding

posterior trakea. Balon dikontrol dengan cara inflasi untuk mengetahui ada tidaknya

kerusakan pada balon pada waktu memasukkan pipa.7,8,9

Segera setelah pipa masuk sering timbul batuk hebat, dan beberapa pasien

dapat timbul apnea karena kehilangan rangsangan hipoksia untuk bernafas. Pipa

trakeostomi harus dipilih dengan hati – hati. Akhir – akhir ini pemakaian pipa perak

ukuran standar tipe Holinger dan Jackson telah ditinggalkan dan diganti dengan pipa

jenis silikon atau Portex. Alasannya untuk mengurangi trauma pada dinding trakea,

mengurangi kanul dalam, dan ekonomis. Panjang pipa trakeostomi juga penting dan

seringkali perlu disesuaikan panjangnya untuk tiap individu.8,9,10,11

Diameter pipa dipilih yang terbesar, kira – kira sesuai dengan tiga per empat

diameter trakea. Ukuran rata – rata np. 6 untuk wanita dewasa atau no. 7 dan 8 untuk

22
pria. Pipa dengan balon mungkin perlu bila ada masalah aspirasi, atau jika diperlukan

respirator dengan tekanan positif. Insisi kulit tidak dijahit dan tidak diperban dengan

tekanan karena dapat menimbulkan emfisema subkutan, pneumomediastinum, dan

pneumotoraks. Kasa kecil dapat diletakkan antara pinggir pipa dan kulit leher.7,9,10

Gambar 8. Posisi Kepala dan Leher Pada Trakeostomi 9

23
Gambar 9. Prosedur Trakeostomi Elektif. 7,9

A, Setelah insisi kulit horizontal, maka suatu diseksi vertikal pada garis tengah leher akan memaparkan trakea. B,

Ismus tiroid diretraksi dari lapangan operasi. Selanjutnya jaringan anterior dalam celah kedua dan ketiga bersama

cincinnya diangkat (berbentuk elips vertikal). C, Pada anak tidak ada pengangkatan elips. Jahitan sutera dibuat

anterolateral pada kedua sisi garis tengah menembus dua cincin trakea. D, Tuba logam tampak memasuki stoma. t,

Tuba trakeostomi pada tempatnya.

24
Gambar 10. Letak kanul9

Gambar 11. Letak kanul yang salah11

VII.2. Trakeostomi Darurat

Pada keadaan darurat, trakeostomi harus dapat dilakukan dalam 2 – 3 menit,

dimana anoksia akan terjadi dalam 4 – 5 menit. Pada trakeostomi darurat lebih baik

dilakukan insisi secara vertikal, yang dimulai pada level kartilago krikoid, lanjutkan

25
ke inferior sekitar 2,5 – 3,75 cm. Gunakan tangan kiri untuk menstabilkan laring dan

mengekstensi leher bila tidak ada kontraindikasi (seperti cedera servikal). Sementara

tangan kanan digunakan untuk membuat insisi. Jari telunjuk tangan kiri dapat

digunakan untuk mendorong ismus tiroid ke inferior dan mempalpasi trakea. Insisi

kulit secara vertikal ini sangat krusial dalam keadaan darurat, karena tindakan dapat

dilakukan lebih cepat dan kurangnya resiko trauma terhadap struktur leher yang lain.
7,9,10

Trakeostomi darurat harus dihindari, bagian terbesar kesalahan pada

trakeostomi disebabkan oleh trakeostomi darurat. Komplikasinya meliputi trauma

arteria inominata, pembuluh darah tiroidea inferior, esofagus, nerfus laringeus rekuren

dan pleura. Tindakan tersebut dapat menyebabkan perdarahan. Pneumomediatinitis

dan pneumotoraks. Osbtruksi saluran pernafasan pada awal fase paskah bedah bisa

timbul akibat tersumbatnya pipa secara tidak disengaja. Intubasi endotrakea tidak

bebas dari komplikasi obtruksi ekstubasi atau pneumotoraks. Pneumotoraks dapat

terjadi akibat batuk untuk mengatasi obstruksi pipa endotrakea oleh sekresi. Mungkin

terjadi ekstubasi secara tidak disengaja. Problema utama pemasangan pipa

endotrakea jangka lama adalah trauma pada laring.7,10

Untuk sementara trakeostomi menyebabkan pasien sulit berbicara, tetapi bila

saluran pernafasan diatas trakeostomi masih mempunyai sisa patensi, pasien dapat

berbicara dengan menutup pipa dengan jarinya sewaktu ekspirasi. 8,9,10

VIII. TRAKEOSTOMI PADA BAYI DAN ANAK

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan ukuran dan

konsistensi trakea pada bayi dan anak. Pada semua kasus trakeostomi seharusnya

26
hanya dilakukan setelah bronkoskop, pipa enotrakea atau kateter dimasukkan untuk

memperbaiki saluran udara pernafasan dan memberi kekakuan pada trakea, sehingga

memudahkan diseksi dan identifikasi trakea. Pada anak kecil, sangan mudah

melakukan diseksi yang terlalu dalam dan lateral dari trakea, sehingga merusak

nervus laringius rekuren, arteri karotis komunis atau apeks pleura. Saat melakukan

insisi pada dinding trakea, harus hati – hati agar pisau tidak masuk terlalu dalam dan

merobek dinding posterior. Dengan bronkoskop dalam trakea dapat membantu untuk

terhindar dari komplikasi ini.6,8,9,10

Kesulitan lain pada anak ialah pipa trakeostomi sering keluar dari trakea,

karena leher bayi yang pendek dan sering gemuk, terutama bila leher dalam keadaan

fleksi. Dapat juga dilakukan jahitan dengan benang sutra pada tepi insisi trakea untuk

menandai dan benang ini dilekatkan ke leher untuk mencegah hilangnya lumen trakea

jika pipa bergeser. Trakea harus diperiksa setelah pipa dimasukkan, untuk menjaga

agar tidak terjadi lipatan ke dalam dari cincin trakea yang dipotong, yang dapat

menyebabkan pergeseran pipa dan obstruksi pada saat dekanulasi.8,10

Sering terjadi kesulitan untuk mendapatkan pipa trakeostomi yang sesuai. Pipa

yang terlalu panjang dapat masuk ke karina atau salah satu bronkus, menyebabkan

atelektasis paru sisi lain. Jika lengkung pipa terlalu panjang, akan menekan trakea

pada batas atas insisi trakea, sedangkan ujung bawah pipa menempel pada dinding

anterior trakea, dan lengkung yang terlalu tumpul dapat menyebabkan ulserasi

dinding posterior trakea dan esofagus. Oleh karena itu harus dibuat foto Rontgen leher

dan dada pasca bedah pada bayi.8,9,10

Pipa plastik rancangan Aberdeen ialah yang terbaik digunakan pada bayi dan

anak. Alat ini fleksibel, dapat dipotong untuk meyesuaikan panjang, dan

memungkinkan aliran udara yang lebih baik, karena kanul dalam.8,10

27
Tabel I. Ukuran Pipa Trakeostomi 9
Umur Diameter Luar Diameter Kanal Respirator
Prematur 4,5 mm 4,5 – 5,0 mm
Bayi sampai 3 bulan 4,5 – 5,0 mm 5,0 – 5,5 mm
3 – 6 bulan 5,0 – 5,5 mm 5,5 mm
6 – 12 bulan 5,0 – 5,5 mm 5,5 – 6,0 mm
1 – 2 tahun 5,5 – 6,0 mm 5,5 – 6,0 mm
3 tahun 5,5 – 6,0 mm 6,0 – 6,5 mm

Setelah usia enam bulan, anak memerlukan ukuran tuba sekurang-kurangnya

sama dengan usia mereka pada ulang tahun berikutnya (hingga ukuran 6). Identifikasi

ukuran dari seluruh tuba intratrakea kini telah distandarisasi. Suatu komite dari

American Standard Institute mengharuskan semua pabrik untuk memberi pengenal

pada tuba intratrakea yaitu dengan diameter internal dalam millimeter. Suatu aturan

sederhana untuk mengingat dalam memilih tuba endotrakea untuk anak dalam situasi

gawat darurat adalah dengan melihat jari kelingking anak tersebut. Ukuran kelingking

anak kira-kira mendekati diameter luar dari tuba endotrakea yang dipilih. 8,9,10

IX. PERAWATAN TRAKEOSTOMI


Hal-hal penting pada perawatan trakeostomi adalah :7,8,9,10
1. Humidifikasi.

2. Fiksasi harus aman dan ganti setiap hari.

3. Bersihkan luka setiap 6 jam atau sesering yang diperlukan.

4. Penghisapan trakeobronkial dilakukan dengan mengindahkan kaidah a dan

antisepsis. Gunakan kateter dan sarung tangan steril.

5. Radiografi dada harus diambil untuk konfirmasi posisi ujung pipa. Pipa

dipertahankan selama 7 hari setelah itu ganti setiap 4 hari. Bila digunakan

28
pipa metal, pipa bagian dalam dapat sering diganti tanpa mengganti pipa

utama.

6. Kultur luka dan sputum harus diperiksa.

7. Alat-alat untuk keadaan darurat harus selalu tersedia tidak jauh dari pasien,

seperti :

a. Pipa trakeostomi yang baru dengan ukuran yang sama dan satu nomor

lebih kecil.

b. Dilator trakea, speculum hidung dan laringoskop untuk anak yang dapat

digunakan untuk dilatasi stoma dan pemasangan pipa kembali.

c. Peralatan untuk menghisap dan fasilitas untuk ventilasi kendali.

d. Sungkup muka, laringoskop dan pipa endotrakeal. Jika pipa trakeostomi

tidak berhasil dimasukkan kembali, kadang-kadang dilupakan bahwa

pasien dapat di ventilasi melalui laring.

Anak – anak yang memerlukan trakeostomi lama dapat dirawat di rumah,

dengan memberikan pendidikan yang cermat pada orangtua dalam penggunaan

alat penyedot yang steril, pengaturan kelembaban dan penggantian pita

trakeostomi. 6,7,9,10

Pipa trakeostomi pada trakeostomi yang baru harus dipertahan 2 sampai 3 hari

sebelum diganti. Pada saat itu telah terbentuk saluran yang permanent, dan

sedikit sekali kemungkinan tidak dapat memasukkan pipa kembali. Mengganti

pipa sebelum 2 - 3 hari dapat menyebabkan bahaya hilangnya lumen trakea.

Mengganti pipa trakeostomi pada bayi untuk pertama kali harus tersedia sebuah

bronkoskop.9,10

29
Kelembaban khusus udara inspirasi diperlukan untuk mencegah trakeitis dan

pembentukan krusta, yaitu ruangan dengan alat humidifikasi Watson atau

sebuah kerah trakea dengan uap basah. Untuk menambahkan kelembaban

atmosfir perlu diteteskan 3 atau 4 tetes larutan garam hipotonik atau larutan

Ringer Laktat ke dalam pipa setiap 3 atau 4 jam. Pasien dengan sekret yang

kental dan banyak perlu pemberian mukolitik intratrakea untuk mencairkan

sekret. 8,9,10

X. DEKANULASI

Pipa trakeostomi jangan dibiarkan lebih lama dari waktu yang diperlukan,

terutama pada anak. Harus diangkat secepat mungkin untuk mengurangi timbulnya

trakeobronkitis, ulserasi trakea, stenosis trakea, trakeomalasi, dan fistula trakeokutan

menetap. Segera setelah keadaan pasien membaik, ukuran pipa trakeostomi diperkecil

sampai ukuran yang memungkinkan udara dapat memintas pipa menuju saluran nafas

bagian atas. Hal ini menolong menghindari ketergantungan fisiologik pada pipa yang

besar akibat menurunnya resistensi pernafasan. Kemudian pipa ditutup dan dinilai

apakah jalan nafas adekuat, kemampuan menelan dan mengeluarkan sekret. Jika pipa

dapat ditutup selama 8 – 12 jam, pipa dikeluarkan dan fistel trakeokutan ditutup.

Segera setelah dekanulasi, pasien harus diamati dengan ketat dan alat yang diperlukan

untuk mendapatkan jalan nafas kembali selalu harus tersedia. 9,10

Faktor Penyulit Dekanulasi:7,9,10

1. Kondisi yang membutuhkan trakeostomi secara persisten

2. Dislokasi dinding anterior trakea

3. Jaringan granulasi di sekitar stoma

30
4. Edema mukosa trakea

5. Ketergantungan emosional terhadap trakeostomi

6. Ketidakmampuan mentoleransi resistensi saluran nafas atas

7. Stenosis subglotis

8. Trakeomalasia

9. Inkoordinasi refleks pembukaan laring

10. Perkembangan laring yang terganggu akibat trakeostomi jangka panjang.

XI. KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI

Seperti tindakan bedah lainnya, trakeostomi juga memiliki resiko komplikasi

dan cedera. Karena setiap individu bervariasi dalam hal sirkulasi jaringan dan proses

penyembuhan, maka tidak dapat dijamin tidak akan terjadi komplikasi akibat tindakan

trakeosotmi. Trakeostomi darurat dan trakeotomi yang dilakukan pada pasien sakit

berat memiliki resiko lebih besar terhadap komplikasi setelah prosedur.9,10

Pneumomediastinum tidak tergolong sebagai komplikasi, namun merupakan

akibat. Kondisi ini biasanya terjadi pada anak, dan harus ditindak lanjut guna

memastikan tidak adanya perkembangan ke arah pneumotoraks. Paralisis sarafrekuren

jarang terjadi dan harus dicegah dengan memperhatikan teknik bedah. Tuba harus

terpasang pada jalan napas, tidak menyumbat bronkus serta tidak mengenai dinding

anterior trakea. Pengalaman klinis dan evaluasi radiologik akan terdiagnosis dan

mencegah kejadian ini.9,10

Jenis komplikasi :7,8,9,10

1. Segera

a. Komplikasi perioperatif seperti perdarahan, emfisema, pneumotorak,

emboli udara dan kerusakan tulang rawan krikoid.

31
b. Diskoneksi.

c. Salah menempatkan trakeostomi, misalnya di jaringan pretrakea atau

bronkus utama kanan.

d. Herniasi kaf yang menyebabkan pipa tersumbat.

e. Ujung pipa tertutup dinding trakea atau carina.

f. Apnea akibat hilangnya rangsangan hipoksia pernafasan.

Trakeostomi yang dilakukan pada pasien dengan riwayat hipoksia kronik,

tarikan nafas pertama atau kedua setelah pipa dimasukkan dapat diikuti dengan henti

nafas. Hal ini sehubungan dengan denervasi fisiologik pada reseptor kimia perifer

karena naiknya PO2 tiba – tiba. Oleh karena hipoksia sangat mempengaruhi

rangsangan pernafasan, maka dapat terjadi apnea. 9,10

Gambar 12. Komplikasi trakeostomi 9,14

Keterangan Gambar :

A. Trakea tertekuk ke depan

B. Tukak dinding depan trakea karena ukuran kanul terlalu besar

C. Emfisema subkutis karena dislokasi kanul

32
D. Tukak karina karena kateter isap

E. Manset ditiup terlalu kuat sehingga menyebabkan penutupan kanul ( herniasi

akibat ditiup berlebihan )

F. Manset kanul terlepas di trakea

G. Nekrosis cincin trakea karena manset ditiup terlalu kuat

H. Cedera dinding belakang (hati – hati fistel trakeo-esofagus)

2. Menengah

a. Tersumbat sekret, dapat terjadi segera atau gradual. Tetapi hal ini jarang

terjadi bila humidifikasi, hidrasi dan penghisapan lendir baik.

b. Infeksi pada stoma atau trakeobronkial.

c. Ulserasi trakea kerena penekanan kaf.

d. Erosi yang dalam dapat menyebabkan perdarahan dari a. inominata atau

fistel trakeoesofagus.

3. Lanjut

Komplikasi Lanjut. Komplikasi ini cukup bcnnakna dalain hal variasi dan

jumlahnya, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan. Perdarahan

lanjut adalah akibat erosi trakea pada pembuluh utama, biasanya arteri

inominata. (Sebenarnya menghitung cincin trakea mulai dari kartilago krikoid

merupakan tindakan yang esensial). Tindakan mengekstensikan kepala pasien

dan menarik trakea ke atas dengan suatu pengait trakea dapat menggambarkan

33
cincin trakea kesembilan. Trakeostomi rendah (di bawah cincin trakea kelima)

seringkali salah.

Komplikasi lanjut pada trakeostomi diantaranya :

a. Granuloma trakea yang bias menyebabkan kesulitan bernapas bila pipa

diangkat.

b. Trakeomalasia dan dilatasi trakea.

c. Stenosis trakea.

d. Fistel trakeokutan menetap

e. Fistel trakeoesofagus

Pemasangan manset yang lama dengan akibat nekrosis dinding trakea

juga ikut berperan dalam erosi pembuluh darah. Mathog menganjurkan

pemakaian tuba plastik lunak yang lebih aman. Penanganan dari perdarahan

mayor tindakan darurat dan memerlukan pemakaian tuba (dengan manset

dalam keadaan terkembang) yang cukup panjang untuk mencapai bagian distal

dari pembuluh yang tererosi. Tindakan ini dapat mencegah aspirasi darah ke

dalain paru. Kesalahan dalam membedah dan menjahit pembuluh mungkin

mengharuskan tindakan sternotomi parsial.8,9,10

Infeksi dapat dikendalikan dengan teknik steril dan humidifikasi.

Antibiotik profilaksis harus dilarang karena memungkinkan perkembangan

bakteri oportunistik. Pseudomonas aeruginosa tidak jarang dapat dibiak dari

lokasi trakeostomi dan tidak selalu merupakan infeksi sistemik. Tindakan yang

perlu dilakukan mungkin hanyalah membasahi kasa dengan larutan asam

asetat 0,5 persen. Pasien yang mendapat banyak antibiotik mungkin

mengalami kontaminasi Candida albicans pada lokasi trakeostomi. Namun,

34
sebelum memulai pengobatan sistemik, harus dicoba perawatan luka secara

lokal.9,10

Penanganan obstruksi jalan napas akibat posisi tuba yang tergeser atau

oklusi lumen adalah berbeda, tergantung pada berapa lama terjadinya setelah

pembedahan. Bila telah melampaui 48 jam dilakukan trakeostomi, maka

perawat dapat diperintahkan untuk memotong tali pengikat leher,

mengeluarkan tuba, dan memeriksa lumen dan tuba. Sumbat mukus yang

menutup lumen tuba harus dibersihkan. Memasukan kembali tuba dapat

dilakukan setelah dokter datang. Tenaga yang terlatih dapat diinstruksikan

untuk memasukkan kait ke dalain stoma dan menahan jalan napas pada

tempatnya, sebelum mengeluarkan dan mengamati tuba yang baru saja

dipasang. Bila situasi tidak mendesak, sebaiknya tindakan ini dilakukan

sendiri oleh dokter. Pada anak-anak, tali pengikat sutera bila ditarik dengan

hati-hati ke lateral akan mempertahankan jalan napas dan menunjukkan jalur

kembali ke stoma untuk penggantian tuba.

Fistula trakeoesofagus biasanya timbul pada pasien yang hipotensi dan

telah menjalani intubasi yang lama dengan tuba bennanset dan ventilasi

terkontrol. Pasien demikian memerlukan tuba naso-gastrik, namun seringkali

meninggal akibat penyakit primernya ataupun akibat pneumoiua aspirasi lewat

fistula. Perbaikan bedah amat kompleks dan melibatkan penempatan otot-otot

leher di antara trakea dan esofagus setelah perbaikan primer pada fistula.6,7,10

Komplikasi mayor yang tersering adalah stenosis trakea. Frekuensi

komplikasi ini semakin meningkat karena pasien seringkali memerlukan

ventilasi terkontrol jangka lama dengan tuba bermanset. Menurut Fearon,

stenosis stoma bukanlah suatu komplikasi melainkan suatu parut pasca operasi

35
yang telah diperkirakan, dan bahwa gejala hanya akan timbul bila diameter

lumen sama dengan atau kurang dari 4 mm. Bilamana terdapat granulasi di

atas stoma atau kartilago dalam lumen, maka masalah dapat diatasi dengan

eksisi endoskopik atau memasang stent pada jalan napas.7,8,9,10

36
BAB III

KESIMPULAN

Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding anterior trakea

untuk bernapas. Trosseau dan Bretonneau mempopulerkan operasi ini di Perancis.

Mereka melakukannya untuk menangani kasus difteria dengan angka keberhasilan 25

persen.

Trakeostomi dapat dilakukan pada obstruksi jalan nafas jika gambaran yang

ada meliputi : dispnea, stridor, perubahan suara, nyeri, batuk, penurunan atau tidak

didapatinya suara pernafasan, perdarahan, keluarnya air liur secara berlebihan, leher

tegang, hemodinamik yang tidak stabil (lanjut), hilangnya kesadaran (sangat lanjut).

Trakeostomi memiliki beberapa komplikasi bahkan kematian.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi kedua. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001. 412-413.
2. Jacob Ballenger, John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Jilid 1. Edisi ketiga belas. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.435 – 456.
3. Soepardi, Arsyad., Iskandar, Nurbaiti. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2001. 201-208.
4. Sjamsuhidajat R, De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. 421 – 422.
5. Staf pengajar bagian Anestesiologi dan terapi intensif FK UI. Editor dr. Muhardi
Muhiman. 1989. Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI. 14-16.
6. Paparella, Michael., Shumrick, Donald. Otolaryngology- Head and Neck.
Philadelphia : WB Saunders Company
7. Byron. Otolaryngology – Head and Neck Surgery, 3rd edition. North Carolina :
Byron. p66.
8. Jerry R. Balentine, DO, FACEP. Tracehostomy. MedicineNet.

38

Anda mungkin juga menyukai