Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

Fraktur Basis Cranii

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi


Departemen Emergency di IGD RSUD Bangil

Oleh:

Melati Cahyani Indri


NIM.190070300111059
KELOMPOK 2A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

1
2

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Definisi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi


pada dasar tengkorak yang tebal. Fraktur ini sering disertai
dengan robekan ada duramater. Fraktur basis crania sering
terjadi ada 2 lokasi anatomi tertentu yaitu region temporal dan
region occipital condylar (Kowalak, 2011).
Fraktur basis crania dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fraktur fossa anterior
dan fraktur fossa posterior. Fraktur basis crania meruakan yang aling serius terjadi
karena melibatkan tulang – tulang dasar tengkorak dengan komplikasi otorrhea cairan
serebrosinal ( cerebrospinal fluid ) dan rhinorrhea (Engram, 2007).
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan fraktur basis cranii adalah
suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang tengkorak yang biasanya terjadi karena
adanya benturan secara langsung merupakan fraktur akibat benturan langsung ada
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita) transmisi energy yang
berasal dari benturan ada wajah atau mandibula.

1.2 Klasifikasi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), fraktur basis cranii dapat diklasifikaikan sebagai berikut
:
1. Fraktur petrosa os temporal

Fraktur petrous os temporal ini meluas dari


bagian skuamosa tulang temporal terhadap piramida petrosa dengan sering
keterlibatan sendi temporomandibular. Fraktur oblik ini sering mengakibatkan
gangguan pendengaran konduktif akibat dislokasi incudostapedial.
Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada fraktur oblik. Keterlibatan
saraf fasialis kurang umum daripada pada fraktur transversal.
2. Fraktur longitudinal os temporal
3

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian


squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii
media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal
merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal
dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur
dari kedua fraktur longitudinal dan transversal
3. Fraktur transversal os temporal

Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau
temporoparietal. Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa
posterior, melalui pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa kranial
tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius internal sering terlibat juga.
4. Fraktur condylar os oksipital

Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di
bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat
peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi
4

perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik
(otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap
sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%)
daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf fasialis
(30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih tinggi
daripada OCS).

1.3 Etiologi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), Etologi fraktur basis cranii dapat meliputi :


1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan.

1.4 Manisfestasi Klinis Fraktur Basis Cranii

Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Fraktur petrous os temporal
a. Otorrhea
b. Battle sign (Memar pada mastoids)
c. Rhinorrhea
d. Raccoon eyes (Memar di sekitar palpebral)
e. Kehilangan kesadaran dan GCS dapat bervariasi tergantung pada kondisi
patologis intracranial
2. Fraktur longitudinal os temporal
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran
dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berangsung lebih dari 6 –
7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 6-7
minggu disebabkan karena hemotympanum dan oedema mukosa di fossa tmpany.
Facial palsy, nygtagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
3. Fraktur tranversal os temporal
5

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss)
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius.Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama
dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang
serviklis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan
hemiplegia atau guadriplegia.

1.5 Patofisiologi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis crani merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital), tansmisi energy yang
berasal dari benturan pada wajah atau mandubula, atau efek “remote” dai benturan pada
kepala (“gelombang tekanan”) yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak) (Corwin, 2009).
Tipe dari fraktur basis crani yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura didasar tengkorak dimana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring
fracture in komplit lebih sering dijumai. Kematian biasannya terjadi seketika kamu cedera
batan otak disertai denan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak (Corwin, 2009).
Fraktur basis crani telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibular atau wajah dan kubah tengkorak, atau akiat beban inersia
pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya baban inersia, misalnya,
ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami
benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kemudian secara tiba – tiba mengalami
percepaatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh
foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian menyebabkan ring fracture. Ring
fracture juga dapat terjadi akibat paksa ruda paksa pada benturan tipe vertical, arah
benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari ara
superior kemudian diteruskan kearah acciput atau mandibular.
Kecelakaan
1.6 Pathway kendaraan/transportasi Kecelakaan olahraga
Kecelakaan terjatuh

Fraktur Basis Cranii

Fraktur Petrosa os Fraktur Longitudinal Fraktur Transversal


Temporal os temporal temporal
6

1.7 Penatalaksanaan Fraktur Basis Cranii

1.7.1 Medis (Kowalak, 2011)

1. ABC
a. Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b. Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu
pernafasan misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask
Nonrebreating, Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c. Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam
darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit. rebound
Pemberian diulang setelah
6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang
efek osmotik serum
mannitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada kejang
bisa diulang sampai 3 kali
bila masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi
(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 demam serta mengatasi

6
7

mg setiap 4-6 jam, 1000 nyeri ringan sampai


mg setiap 6 sedang akibat sakit
kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri
(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 Untuk mencegah
(fenitoin) mg perhati serangan epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan Tindakan yang sangat
antibiotic setelah 24 jam pertama, penting sebagai usaha
lalu 2 jam pertama, dan 4 untuk mencegah
jam berikutnya terjadinya infeksi pasca
operasi

3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil fragmen
fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil benda asing
dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak lebih lanjut akibat
fraktur dapat dikurangi.
4. Imobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan
servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk
leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang dapat
memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala.
Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi, dan fleksi.

1.7.2 Keperawatan (Kowalak, 2011)

1. Pengendalian tekanan IntraCranial


Mannitol efektif untuk mengurangi odema serebral dan TIK. Selain karena efek
osmotic, mannitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus mannitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg.
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
8

mendukung kardiovaskuler dengan vasopressors dan inotropic untuk


meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.
3. Mengontrol hematocrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematocrit. Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematocrit dan tingkat optimal sekitar
35%. Aliran darah otak berkurang jika hematocrit meningkat dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematocrit di bawah 30.
4. Pengaturan suhu
Demam dapat mempercepat deficit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9% maka
harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
5. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/I, telah menjadi kristaloid pilihan dalam
manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9% saline membutuhkan 4 kali
volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik
6. Posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30° dapat menurunkan TIK
danmeningkatkan venous return ke jantung.

1.8 Komplikasi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari fraktur basis cranii yaitu :
1. Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
2. Perdarahan
3. Kejang
4. Infeksi (trauma terbuka)
5. Depresi pernapasan dan gagal napas
6. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran
7. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan
serebrospinal (CSS) dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan
menyebabkan meningitis.
8. Sindrom vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang
terkait dengan gangguan nervus IX, X, dan XI.
9. Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang banyak berdampak
terhadap nervus IX, X, dan XII.
9

1.9 Pemeriksaan Penunjang Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjang fraktur basis cranii yaitu :


1. Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan yaitu pemeriksaan neurologis lengkap,
pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid
2. CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial akibat ruptur pembuluh darah dan
pembengkakan. CT Scan juga membantu untuk penilaian fraktur condylar
occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3. MRI menunjukkan kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. MRI juga
memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik.
4. X-ray posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi Sinar x kepala dan
servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur.
5. Pungsi lumbal meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal
(demam, rigiditas nukal, kejang). Pungsi lumbal merupakan kontraindikasi jika
terdapat lesi yang luas.

1.10 Prognosis Fraktur Basis Cranii

Pada fraktur basis cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda
tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini
mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis cranii posterior,
prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan
kompresi batang otak (Corwin, 2009).
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII

2.1 Pengkajian

2.1.1 Identitas

Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar daripada
risiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga 24 tahun,
10

dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, dan diagnosa medis.

2.1.2 Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka dikepala.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi, adanya
akumulasi sekret pada saluran pernafasan, lemah, paralisis, takipnea.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama
sebelumnya.

2.1.3 Pemeriksaan Primer

1. Airway management/penatalaksanaan jalan napas:


a. Kaji obstruksi dengan menggunakan tangan dan mengangkat dagu (pada
pasien tidak sadar).
b. Kaji jalan napas dengan jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal (pada
pasien tidak sadar).
c. Kaji adanya obstruksi jalan nafas antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan oto bantu pernafasan, sianosis.
d. Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi intratrakeal).
e. Kaji jalan napas dengan pembedahan (krikotiroidotomi).
2. Breathing/pernapasan:
a. Kaji pemberian O2.
b. Kaji nilai frekuensi napas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada
(simetris)/posisi trakea.
c. Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi.
3. Circulation/sirkulasi:
a. Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi apeks/JVP/bunyi
jantung/bukti hilangnya darah.
11

b. Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit.


c. Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.

2.1.4 Pemeriksaan Sekunder

1. Penampilan atau keadaan umum


Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas.
2. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien mengalami penurunan GCS <15.
3. Tanda-Tanda Vital
Suhu Tubuh : Biasanya meningkat saat terjadi benturan (Normalnya 36,5-
37,5°C)
Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak dengan tekanan
darah sistolik <90 mmHg (Normalnya 110/70-120/80 mmHg)
Nadi : Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK
meningkat (Normalnya 60-100 x/menit)
RR : Biasanya menurun saat TIK meningkat (Normalnya 16-22)
4. Pemeriksaan Nervus Cranial
a. Nervus I : Penurunan daya penciuman.
b. Nervus II : Pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
karena edema pupil.
c. Nervus III, IV, VI : Penurunan lapang pandang, reflex cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
d. Nervus V : Gangguan mengunyah karena terjadi anastesi daerah
dahi.
e. Nervus VII, XII : Lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada
2/3 anterior lidah.
f. Nervus VIII : Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
g. Nervus IX, X, XI : Jarang ditemukan.
h. Nervus XII : Jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartia.
5. Pemeriksaan Head to Toe
a. Pemeriksaan Kepala
12

Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada


deformitas, ada luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala)
Palpasi (ada nyeri tekan, ada robekan)
Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada
kemerahan)
Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan
simetris, tidak ada lesi) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
Rambut : Inspeksi (rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada uban)
Palpasi (rambut mudah rontok)
Mata : Inspeksi (simestris, konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil anisokor,
reflex pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya,
gerakan mata tidak normal, banyak sekret) Palpasi (bola mata normal, tidak
ada nyeri tekan)
Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada rhinorhoe (cairan serebrospinal keluar
dari hidung), ada pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum)
Palpasi sinus (ada nyeri tekan)
Telinga : Inpeksi (Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada otorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau
ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), dan memotipanum
(perdarahan di daerah membrane timpani telinga)) Palpasi (tidak ada lipatan,
ada nyeri)
Mulut : Inspeksi (keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membran mukosa
kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersih, gigi tidak bersih, gigi
atas dan bawah tanggal 3/2, tidak goyang, faring tidak ada pembekakan,
tonsil ukuran normal, uvula simetris, mual-muntah) Palpasi (tidak ada lesi,
lidah tidak ada massa)
Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, tidak
ada pembesaran limfe, leher tidak panas, trakea normal, tidak ditemukan
kaku kuduk)
b. Pemeriksaan Dada dan Thorak
 Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada
cepat dan dangkal, sesak nafas, frekuensi nafas <16 x/menit.
Palpasi : Suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan.
13

Perkusi : Sonor pada kedua paru.


Auskultasi : Suara nafas tidak baik, ada weezing.
 Jantung :
Inspeksi : Bentuk simetris, Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada V±2cm, tidak ada nyeri tekan, denyut nadi
Bradikardia
Perkusi : Pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri,
batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 axilla anterior kanan
Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, Irama nafas tidak
teratur, tekanan darah menurun
c. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada
Titik Mc. Burney.
Perkusi : Tidak ada cairan atau udara suara redup
d. Pemeriksaan Genetalia
Inspeksi : Terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan
e. Pemeriksaan Ekstremitas
Inspeksi : Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya
sianosis
Palpasi : Turgor buruk, kulit kering
6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien
memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang).
d. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang..
14

e. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan


(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
f. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
g. Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d cedera sekunder.


2. Ketidakefektifan pola napas b.d gangguan neurologis (mis. Fraktur basis cranii).
3. Kekurangan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi.
4. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d agen cedera fisik.
6. Gangguan eliminasi urine b.d penyebab multipel.
7. Intoleran aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

2.3 Intervensi Keperawatan

Diagnose Rencana keperawatan


No
keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan NOC NIC
perfusi jaringan Tujuan: Manajemen Edema Serebral
otak b.d cedera Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda-tanda vital
sekunder keperawatan selama 2x24 2. Monitor adanya
diharapkan aliran darah kebingungan, perubahan
melalui pembuluh darah pikiran, keluhan pusing,
otak untuk pinsan
mempertahankan fungsi 3. Monitor status neurologi
otak tercukupi dengan ketat dan
Dengan KH: bandingkan dengan nilai
1. Tekaran intracranial normal
dalam kisaran normal
15

2. Tekanan darah sistolik 4. Monitor karakteristik cairan


dalam kisaran normal serebrospinal : warna,
3. Tekanan darah diastolic kejernihan, konsistensi
dalam kisaran normal 5. Monitor TIK
4. Tidak ada sakit kepala 6. Posisikan tinggi kepala
5. Tidak ada penurunan tempat tidur 30 derajat atau
tingkat kesadaran lebih
7. Batasi cairan
8. Dorong keluarga/orang yang
penting untuk bicara pada
pasien
9. Kolaborasi pemberian obat
2 Ketidakefektifan Tujuan: Manajemen jalan napas
pola napas b.d Setelah dilakukan tindakan 1. O : Observasi TTV
gangguan keperawatan selama 2x24 2. O : Monitar aliran oksigen
neurologis (mis., diharapkan pola napas 3. N : Buka jalan napas dengan
trauma kepala) kembali efektif tekhnik chin lift atau jaw thrust
Dengan KH: 4. N : Posisikan pasien untuk
1. Kedalaman inspirasi memaksimalkan ventilasi
dalam kisaran normal 5. N : Masukkan alat
(RR : 16-24 x/menit) nasoparyngeal airway atau
2. Kepatenan jalan napas oropharyngeal airway
dalam kisaran normal, 6. E : Informasikan pada pasien
klien tidak merasa dan keluarga tentang teknik
tercekik, tidak ada suara relaksasi untuk memperbaiki
nafas abnormal pola nafas
3. Frekuensi dan irama 7. C : Kolaborasi dengan dokter
pernapasan dalam dalam pemberian terapi obat
keadaan normal dan pemberian oksigen
3 Kekurangan Tujuan: Manajemen cairan
volume cairan b.d Setelah dilakukan tindakan 1. O : Obsersavi TTV
gangguan keperawatan selama 1x24 2. O : Monitor status hidrasi
mekanisme jam diharapkan kekurangan (mis., membrane mukosa
regulasi volume cairan teratasi.
16

Dengan KH: lembab denyut nadi adekuat,


1. Mempertahankan urine dan tekanan darah ortostatik)
output sesuai dengan 3. N : Berikan cairan IV
usia dan BB 4. N : Pertahankan catatan
2. Tidak ada tanda-tanda intake dan output yang akurat
dehidrasi, elastisitas 5. E : Dorong pasien dan
turgor kulit baik, keluarga untuk menambah
membran mukosa intake oral misalnya minum
lembab, tidak rasa haus 6. C : Kolaborasi pemberian
yang berlebihan cairan IV
3. TTV dalam batas normal
4 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Perawatan jantung
jantung b.d keperawatan selama …. 1. O : Monitor EKG, adakah
perubahan diharapkan penurunan perubahan segmen ST
frekuensi jantung curah jantung teratasi 2. O : Monitor TTV
Dengan KH: 3. N : Atur periode latihan dan
1. Tekanan darah sistol istirahat untuk menghindari
dan diastol dalam kelelahan
kisaran normal (110/70- 4. N : Evaluasi adanya nyeri
120/80 mmHg) dada
2. Denyut nadi perifer 5. O : Anjurkan untuk
dalam kisaran normal menurunkan stress
(60-100 x/menit) 6. C : Kolaborasi untuk
3. Denyut jantung apikal menyediakan terapi
dalam kisaran normal antiaritmia sesuai kebijakan
(16-24 x/menit) unit (mis., obat antiaritmia,
4. Tidak ada penurunan kardioversi, atau defibrilasi)
kesadaran
5 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
nyaman nyeri b.d keperawatan selama …. 1. O : Lakukan pengkajian nyeri
gejala terkait Diharapkan rasa nyaman secara komprehensif
penyakit kembali 2. N : Tingkatkan istirahat
Dengan KH: 3. N : Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
17

1. Mengontrol nyeri seperti suhu ruangan,


(mengetahui penyebab pencahayaan, dan
nyeri, mengetahui cara kebisingan
mengurangi nyeri) 4. E : Ajarkan tentang teknik non
2. Rasa nyaman tidak farmakologi
terganggu 5. C : Kolaborasi dengan dokter
3. Mengontrol gejala nyeri pemberian analgetik
6 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Irigasi kandung kemih
eliminasi urine b.d keperawatan selama …. 1. O : Lakukan penilaian kemih
penyebab multipel diharapkan gangguan yang komprehensif
eliminasi urine teratasi 2. N : Siapkan peralatan irigasi
Dengan KH: yang steril, dan pertahankan
1. Jumlah urin tidak tekhnik steril setiap kali
terganggu tindakan
2. Warna urin tidak 3. N : Bersihkan sambungan
terganggu kateter atau ujung Y dengan
3. Tidak ada darah dalam kapas alcohol
urin 4. N : Catat jumlah cairan yang
4. Intake cairan dalam digunakan, karakteristik
rentang normal cairan, jumlah cairan yang
keluar
5. E : Ajarkan pasien atau
keluarga untuk mencatat urin
6. C : Kolaborasi dengan dokter
dengan penberian obat
7 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Terapi aktivitas
b.d keperawatan selama …. 1. O : Monitor respon fisik,
ketidakseimbangan diharapkan intoleransi emosi, social dan spiritual
antara suplai dan aktivitas teratasi 2. N : Bantu klien untuk
kebutuhan oksigen Dengan KH: mengidentifikasi aktivitas
1. Berpartisipasi dalam yang mampu dilakukan
aktivitas fisik tanpa 3. E : Bantu pasien dan
disertai peningkatan ttv keluarga untuk
18

2. Hemoglobin, hematocrit, mengidentifikasi kekurangan


glukosa darah, serum dalam beraktivitas
elektrolit darah tidak 4. C : Kolaborasi dengan
terganggu Tenaga Rehabilitasi Medik
3. Mampu melakukan dalam merencanakan
aktivitas sehari-hari program terapi yang tepat
secara mendiri

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fraktur basis cranii adalah suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang
tengkorak yang biasanya terjadi karena adanya benturan secara langsung merupakan
fraktur akibat benturan langsung ada daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita) transmisi energy yang berasal dari benturan ada wajah atau mandibular.
Penyebab dari fraktur basis cranii yaitu Kecelakaan kendaraan atau transportasi,
Kecelakaan terjatuh, Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga, Kejahatan dan tindak
kekerasan. Manifestasi klinis dari fraktur basis cranii yang umum yaitu terjadi penurunan
kesadaran, nyeri hebat, dan adanya lesi. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya
Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK), Perdarahan, Kejang, Infeksi (trauma terbuka),
Depresi pernapasan dan gagal napas, dan paralisis otot-otot paralisis.
Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk
mempertahankan jalan nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan pembedahan,
dan immobilisasi. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan yaitu memantau ttv,
adanya perdarahan, riwayat cidera, rehidrasi cairan, serta mencegah infeksi akibat
pembedahan.
Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien trauma kepala mulai dari
pengkajian misalnya biodata, riwayat kesehatan, pengkajian primer, pengkajian
sekunder, dan pemeriksaan penunjang. Setelah itu ditentukan diagnosa keperawatan
dan dilanjut dengan intervensi keperawatan.
19

3.2 Saran
Diharapkan para pembaca memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah
agar dapat membuat makalah yang baik dan benar. Terutama litelatur yang
berhubungan dengan penatalaksaan yang lebih efektif mengenai fraktur basis cranii
karena di dalam makalah ini penatalaksaannya masih banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, B. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3. Jakarta:
Salemba Medika.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
EGC.
Oman, K. S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai