Anda di halaman 1dari 32

DK2P3

Wednesday, November 3, 2021 11:08 AM

Ketua : Nanda Syifa Fauzianthi (11181040000043)


Sekretaris 1 : Mutmainnah (11181040000010)
Sekretaris 2 : Nisrina Mardhiani (11181040000039)
Anggota :

- Aulia Syarifah (11181040000015)

- Sukatmi Wati (11181040000017)

- Asmanah (11181040000018)

- Idah Faridah (11181040000027)

- Fathiyatin Nurwatsiqoh (11181040000032)

- Bunga Alifia Zahirah (11181040000033)

- Fitriana Dwi Widyaningsih (11181040000046)

STEP 6
1. Kegwatdaruratan Fraktur basis cranii & Fraktur Tibia
a. Definisi
(Mutmainnah)
Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii, yaitu fraktur yang meluas melalui dasar fossa kranial anterior, tengah, atau
posterior yang terjadi pada sekitar 7% hingga 16% dari cedera kepala non-perforans, disebabkan
oleh trauma dengan kecepatan yang relatif tinggi, dan paling sering disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor berkecepatan tinggi (Angelika & Eko, 2019)
Fraktur Tibia
Fraktur tibia (Bumper fracture/fraktur tibia plateu) adalah fraktur yang terjadi akibat trauma
langsung dari arah samping lutut dengan kaki yang masih terfiksasi ke lutut (Mansjoer, 2005 dalam
Kurwardani, dkk. 2018).

b. Patofisiologi
(Nanda)
Fraktur basis cranii
Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada
paremkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak
seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera
kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung
saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah
kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan
primer ini dapat bersifat (fokal) lokal, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan
jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak
terganggu.

Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan
umumnya bersifat makroskopis. Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer,
misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan
hematoma, misalnya epidoral. Hematom yaitu adanya darah di ruang epidural diantara
periosteum tengkorak dengan durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada
ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah

kelompok 2 A Page 1
ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah
berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70% akan teriadi geiala-geiala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /menit/100 gr jaringan
otak, yang merupakan 15% dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan perubahan
fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. Fraktur basis cranii
merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak
(oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau
mandibula; atau efek dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari
titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen
magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit
biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih
sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang
otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah
mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering
disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara
sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek
misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada
area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut
kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada
benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau
ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula
(Khlilullah, 2019).
(Ishman & Friedland, 2019)
Fraktur Tibia
Patofisiologi fraktur adalah jika tulang mengalami fraktur, maka periosteum pembuluh darah
di korteks, marrow dan jaringan disekitarnya rusak. Terjadi pendarahan dan kerusakan
jaringan di ujung tulang. Terbentuklah hematoma di canal medulla. Pembuluh-pembuluh
kapiler dan jaringan ikat tumbuh ke dalamnya, menyerap hematoma tersebut dan
menggantikannya.

Jaringan ikat berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang berasal dari periosteum. Sel ini
menghasilkan endapan garam kalsium dalam jaringan ikat yang disebut callus. Callus
kemudian secara bertahap dibentuk menjadi profil tulang melalui pengeluaran kelebihannya
oleh osteoclast yaitu sel yang melarutkan tulang. Pada permulaan akan terjadi perdarahan
disekitar patah tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan
periost, fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian akan menjadi medium
pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan
fragmen tulang-tulang saling menempel, fase ini disebut fase jaringan fibrosis dan jaringan
yang menempelkan fragmen patah tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa. Kedalam
hematoma dan jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel jaringan mesenkim yang

kelompok 2 A Page 2
hematoma dan jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel jaringan mesenkim yang
bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel kondroblast yang membentuk kondroid
yang merupakan bahan dasar tulang rawan. Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak
mengandung kalsium hingga tidak terlihat pada foto rontgen. Pada tahap selanjutnya terjadi
penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus
tulang.

Jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari
tulang dan terjadi pendarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut.
Bekuan akan membentuk jaringan granulasi didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang
primitive (osteogenik) berdiferensiasi menjadi chondroblast dan osteoblast. Chondroblast
akan mensekresi fosfat yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuknya lapisan tebal
(callus) di sekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan
lapisan callus dari fragmen satunya dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen
(penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula dan osteoblast yang
melekat pada tulang dan meluar menyebrangi lokasi fraktur.

Penyatuan tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih
kuat dan lebih terorganisasi. Callus tulang akan mengalami remodeling untuk mengambil
bentuk tulang yang utuh seperti bentuk osteoblast tulang baru dan osteoblast akan
menyeingkirkan bagian yang rusak dan tulang sementara.

(Carter, 2016)
c. Manifestasi klinis
(Fathiyatin)
Fraktur basis cranii
Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam
keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia
pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:
1) Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran
“biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi
hyposmia sampai anosmia.
2) Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis
interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri
dan darah vena (A-V shunt).
3) Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen
magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika.
(Sjamsuhidayat, 2010)
Fraktur Tibia
Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
i. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur.
Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi.
Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
ii. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur
serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
iii. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
iv. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut

kelompok 2 A Page 3
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut
dari fragmen fraktur.
v. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur, intensitas dan
keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus ,
meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
vi. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi
vii. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi
pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera
saraf.
viii. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen
fraktur.
ix. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait.
Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal
dari fraktur
x. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi dapat
menyebabkan syok
(Black dan Hawks , 2014)
Adanya nyeri dan deformitas tampak jelas. Yang perlu diperhatikan adalah adanya pembengkakkan
jaringan lunak pada tempat fraktur. Pada fraktur tibia dapat terjadi kerusakan nervus common
peroneal dan cabang-cabangnya seperti nervus tibial posterior, nervus sural dan nervus saphenous.
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada daerah yang patah
sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya pendarahan
yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak
semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol keluar (Wiarto, 2017).
Patah tulang terbuka dapat mudah diidentifikasi dari adanya luka di daerah patahan tulang, selain
itu juga dapat dilihat adanya darah yang keluar dari luka berwarna agak kehitaman (darah dari
intrameduler), tampak juga adanya fat bubble sign, yaitu cairan dari intrameduler yang
mengandung fat globule sehingga berwarna kuning keemasan seperti minyak (Soloman, dkk. 2010
dalam Hidayati, dkk. 2018)

Gejala Fraktur Basis Kranii (Asmanah)

Fraktur Komplikasi Penyebab


basis kranii
Anterior  Periorbital hematoma unilateral/bilateral  Fraktur pars orbita tulang frontal
(brill hematoma/ racoon eyes) => pecahnya arteri oftalmika => dar
ah melalui fisura orbitalis =>
hematoma
pada batas M. orbikularis okuli
 Cedera pada lamina kribriformis
 Cedera pada kanalis optikus
 Fraktur dinding posterior sinus
frontal, lamina kribriformis, planum
sphenoidale

Gambar racoon eyes

kelompok 2 A Page 4
Gambar racoon eyes
Dibedakan dari jejas langsung pada mata d
engan tidak adanya injeksi konjungtiva
 Kerusakan saraf kranial I
 Kerusakan saraf kranial II
 Kerusakan kiasma optikum III
 Rinore + epistaksis

Media  Battle sign  Perdarahan ke dalam mastoid air


cells (subkutan) dan
di bawah perikarnium
 Fraktur sinus sfenoid,
dan tulang petrosus. Cairan serebro
spinal keluar melalui segmen timpa
ni-telinga tengah-tuba eustakhius-
hidung
 Bocornya cairan serebro spinal
dan keluarnya darah dari kanalis ak
Gambar battle sign ustikus eksternus
 Fraktur mengenai fisura orbitalis
 Rinore
 Otore
superior, robek dinding lateral
sinus kavernosus
 Kerusakan saraf kranial III, IV, VI
 Segmen fraktur meluas sampai fora
 Kerusakan a. Karotis
men laserum, tulang sfenoid, memb
 Epistaksis
eran timpani utuh
 Iskemia, infark serebri
 Garis fraktur
 Fistula karotiko-kavernosus
transversal terhadap piramida petro
 Kerusakan saraf kranial VII. VIII
sus
 Kerusakan teling dalam, organ
vestibuli
 Kerusakan membran timpani, tulang p
endengaran, hemotimpanum
 Kerusakan hipofisis
Posterior  Cedera batang otak
 Cedera saraf kranial IX, X, XI, XII  Fraktur mengenai foramen jugularis
 Fraktur kondilus oksipitalis
 Ekstensi fraktur ke tulang petrosus, k  Cedera pembuluh darah besar
livus, sela tursika
 Kematian

Gambar
Fossa kranii posteri
or
(Satyanegara, 2014).

d. Pemeriksaan diagnostik
(Nisrina)
Fraktur basis cranii
Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan fraktur basis cranii yaitu :
▪ Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan yaitu pemeriksaän saraf lengkap, pemeriksaan
darah rutin, dan pemeriksaan tetanus toksoid.
▪ CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial akibat pecah pembuluh darah dan

kelompok 2 A Page 5
▪ CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial akibat pecah pembuluh darah dan
pembengkakan.  CT Scan membantu untuk penilaian fraktur kondilus oksipital, tetapi
biasanya direkonstruksi tiga dimensi yang tidak diperlukan.
▪ MRI menunjukkan adanya cedera ligamen dan vaskular.  MRI juga memberikan pencitraan
jaringan lunak yang lebih baik.
▪ X-sinar posisi AP, lateral, Towne's melihat dan tangensialntenghadapi bagian yang
mengalami tujukan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi sinar x kepala dan servikal untuk
mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur.
▪ Pungsi pinggang meningitis bila pasien ada tanda-tanda iritasi meningeal (demam,
kekakuan nukal, kejang).  pungsi pinggang merupakan kontradiksi jika terdapat luka yang
luas.
(Idah Farida)
Fraktur Tibia
Pemeriksaan Diagnostik Menurut (Rasjad, Chairuddin. 2012), pemeriksaan penunjang fraktur tibia
berupa:
i. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan
role of two, yang terdiri dari :
• Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
• Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
• Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak
terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal)
• Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
ii. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
• Darah rutin,
• Faktor pembekuan darah,
• Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
• Urinalisa,
• Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).
iii. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat
fraktur tersebut.

e. Penatalaksanaan (operasi craniotomy, ventilator pressure controlled CMV, pemasangan oriff)


(Aulia)
Fraktur Basis Cranii
Operasi craniatomy

▪ CT-Scan (Ceputeraise Tomografi Scanning).  Untuk mengindentifikasi luasnya lesi,


perdarahan, determinasi ventikuler dan perubahan jaringan otak.
▪ MRI (Magnetik Resonan Imaging).  Digunakan untuk Mengidentifikasi luas dan letak
cedera.
▪ Angiografi serebral. Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, trauma dan perdarahan.
▪ EEG (Elektro Ensefalo Graphy).  Untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis.
▪ Sinar-X.  Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan stuktur garis
(perdarahan/edema).
▪ BAER (Brain Evoked Respons).  Mengoreksi batas fungsi kortek dan otak kecil.
▪ PET (Positron Emission Tomography).  Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
▪ Pungsi Lumbal.  Dapat dikatakan jika terjadi perdarahan subarachnoid.  Kadar elektrolit. 
Untuk memperbaiki keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan TIK (Tekanan
Intra Kranial).
▪ Toksikologi screen.  Untuk mendeteksi obat schingga menyebabkan penurunan kesadaran.
▪ GDA (Gas Darah Analisa).  Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigen yang
dapat meningkatkan TIK (Tekanan Intra Kranial).
▪ SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography).  Untuk mendeteksi luas dan daerah
abnormal dari otak.
▪ Mielografi.  Untuk mengganbarkan ruang sub arachnoid sepinal dan menunjukkan adanya
penyimpangan medulla spinalis.

kelompok 2 A Page 6
penyimpangan medulla spinalis.
▪ Ekoensefalografi.  Untuk menentukan posisi stuktur otak dibagian garis tengah dan jarak dari
garis tengah ke dinding ventikuler atau dinding ventikuler ke – 3.
▪ EMG (Elektromiografi).  Digunakan untuk menentukan ada tidaknya gangguan
neuromuskuler dan miopati.  (Doengoes Marillyn.2012)

(Fitriana)
Ventilator Pressuere controlled CMV
Mode Continuous Mandatory Ventilation (CMV) digunakan untuk pasien hilang kesadaran
dengan gejala pneumonia yang mengalami kesulitan pernapasan, sehingga perlu dikontrol
oleh mesin (time-triggered). Mode CMV lebih kompleks dibandingkan dengan mode CPAP,
karena mengatur nafas pasien pada saat pasien berada dalam kondisi tidak sadar, dan
sepenuhnya fungsi pernafasan diregulasi oleh ventilator.
Untuk menentukan modus operasional ventilator terdapat beberapa parameter yang diperlukan
untuk pengaturan pada penggunaan volume cycle ventilator, yaitu :
1. Frekuensi pernafasan permenit
Frekuensi napas adalah jumlah pernapasan yang dilakukan ventilator dalam satu
menit. Setting normal pada pasien dewasa adalah 10-20 x/mnt. Parameter alarm
RR diseting diatas dan dibawah nilai RR yang diset. Misalnya set RR sebesar
10x/menit, maka setingan alarm sebaliknya diatas 12x/menit dan dibawah
8x/menit. Sehingga cepat mendeteksi terjadinya hiperventilasi atau
hipoventilasi.
2. Tidal volume
Volume tidal merupakan jumlah gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien
setiap kali bernapas. Umumnya disetting antara 5 - 10 cc/kgBB, tergantung dari
compliance, resistance, dan jenis kelainan paru. Pasien dengan paru normal
mampu mentolerir volume tidal 10-15 cc/kgBB, sedangkan untuk pasien PPOK
cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Parameter alarm tidal volume diseting diatas dan
dibawah nilai yang kita seting. Monitoring volume tidal sangat perlu jika pasien
menggunakan time cycled.
3. Konsentrasi oksigen (FiO2)
FiO2 adalah jumlah kandungan oksigen dalam udara inspirasi yang diberikan oleh
ventilator ke pasien. Konsentrasinya berkisar 21-100%. Settingan FiO2 pada awal
pemasangan ventilator direkomendasikan sebesar 100%. Untuk memenuhi kebutuhan
FiO2 yang sebenarnya, 15 menit pertama setelah pemasangan ventilator dilakukan
pemeriksaan analisa gas darah. Berdasarkan pemeriksaan AGD tersebut maka dapat
dilakukan penghitungan FiO2 yang tepat bagi pasien.
4. Rasio inspirasi : ekspirasi
5. Limit pressure / inspiration pressure
Pressure limit berfungsi untuk mengatur jumlah tekanan dari ventilator volume
cycled. Tekanan terlalu tinggi dapat menyebabkan barotrauma.
6. Flow rate/peak flow
Flow rate merupakan kecepatan ventilator dalam memberikan volume tidal pernapasan
yang telah disetting permenitnya.
7. Sensitifity/trigger
Sensitifity berfungsi untuk menentukan seberapa besar usaha yang diperlukan pasien
dalam memulai inspirasi dai ventilator. Pressure sensitivity memiliki nilai sensivitas
antara 2 - 20 cmH2O, sedangkan untuk flow sensitivity adalah antara 2-20 L/menit.
Semakin tinggi nilai pressure sentivity maka semakin mudah seseorang melakukan
pernapasan. Sebaliknya semakin rendah pressure sensitivity maka semakin susah atau
berat pasien untuk bernapas spontan. Settingan ini biasanya diterapkan pada pasien yang
tidak diharapkan untu bernapas spontan.
8. Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien),
sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan,
misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dan lain-lain. Alarm
volume rendah menandakan kebocoran.
9. Positive end respiratory pressure (PEEP)
PEEP bekerja dengan cara mempertahankan tekanan positif pada alveoli diakhir

kelompok 2 A Page 7
PEEP bekerja dengan cara mempertahankan tekanan positif pada alveoli diakhir
ekspirasi. PEEP mampu meningkatkan kapasitas residu fungsional paru dan
sangat penting untuk meningkatkan penyerapan O2 oleh kapiler paru
(Sherina & RSCM, 2010)
Fraktur Tibia
(Aulia)
Pemasangan Oriff
Indikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation):
▪ Fraktur intra artikuler
▪ Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan
▪ Bila terdapat interposisi jaringan di antara kedua fragmen
▪ Bila diperlukan fiksasi rigid
▪ Fraktur dislokasi yang tidak dapat direduksi secara baik dengan reduksi
▪ Fraktur terbuka grade 1
▪ Fraktur multiple
▪ Eksisi fragmen kecil
▪ Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang hebat
▪ Fraktur dengan infeksi (Wahyuni, T. D. 2021)
(Asmanah)
▪ Keluhan Post Op Orif
Keluhan pada pasien post operasi ORIF biasanya meliputi, kesadaran yang belum
optimal akibat efek dari anastesi, penurunan kontrol kesadaran dan kemampuan dalam
orientasi lingkungan, pasien cenderung mengalami hipotermi, penurunan peristaltik usus
dan penurunan kontrol otot.
▪ Perawatan Pasca Operatif Orif
Proses keperawatan pasca operatif bedah ORIF merupakan salah satu bagian dari asuhan
kepeerawatan perioperatif dimana asuhan terdiri dari:
• Asuhan yang diberikan pada pasien dari kamar operasi dan diruang pulih sadar
sampai kesadaran pasien optimal
• Asuhan lanjutan setelah pasien kembali ke bangsal rawat inap bedah ortopedi
untuk dilakukan rawat lanjutan.
Pada saat melakukan transportasi pasca beda, perawat perlu mengkaji dan
mempertahankan jalan nafas dengan memposisikan kepala dibelakang, dan punggung
tangan selalu menilai adanya arus udara yang keluar dari jalan nafas yang menandakan
kepatenan jalan nafas optomal (Mutaqin, 2013).
▪ Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF:
1) Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
2) Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3) Terdapat infeksi
4) Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.
5) Pasien dengan penurunan kesadaran
6) Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
7) Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
▪ Efek Samping ORIF
1) Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi bahkan kematian akibat
dari tindakan tersebut.
2) Penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan pemasangan
gips atau traksi.
3) Penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan kegagalan alat itu sendiri.
4) Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak, dan struktur yang
sebelumnya tak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Smeltzer & Bare, 2010).
(Bunga)
Konsep dasar yang hanus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu: rekognisi, reduksi,
retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi

kelompok 2 A Page 8
Pengenalan Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang schingga kembali seperti semula secara optimal.
Metode reduksi terbagi atas
a. Reduksi Tertutup: dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan). Ektermitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan
sementara gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi akan menjaga reduk si dan menstabilkan
ekstemitas untuk penyembuhan tukang, Sinar-X harus dilakukan untuk mengetahui apakah
fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
b. Traksi: alat yang dapat digunakan menarik anggota tubuh yang fraktur untuk meluruskan
tulang. Beratnya traksi disesuaikan dengan spaasme otot yang terjadi.
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menepelkan plester langsung
pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pda bagian
yang ciden dan biasanya digunakan untuk jangku pendek (48-72jam).
Skeletal traksi adalah traksi yang digurakan untuk meluruskan tulang yang cidera dan sendi
panjang untuk mempertahankan traksi, memutuskan pins (kawat) kedalam tulang.
Maintenance traksi menupakan lanjutan dari traksi, kekuatan lanjutan dapat diberikan secara
langsung pada tulang dengan kawat atau pins.
c. Reduksi Terbuka: dilakukan dengan pembedahan fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interma dalam bentuk pin, kawat, sckrup. plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid
terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat
tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang
• OREF (Open Reduction Ekstemal Fixation) adalah reduksi terbuka dengan fiksasi
internal dimana tulang di transfiksasikan di atas dan di bawahnya fraktur, sekrup atau
kawat ditransfiksi dibagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain
dengan suatu batang lain. Fiksasi eksternal ini digunakan utnuk mengobati fraktur
terbuka dengan kenusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil
untuk fraktur komunitif (hancur atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap
terjaga posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa
nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.
• ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah metode penatalaksanaan patah tulang
dengan cara pembedahan reduksi terbuka dan fiksasi internal dimana dikakukan insisi
pada tempat yang mengalami cedera dan ditemukan sepanjang bidang anatomik tempat
yang mengalami fraktur.
3. Retensi/Immobilisasi
Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang hanus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi kesejajaan yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi ekstema atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu. pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan
untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungk inkan, harus mempertahankan kekuatan anggota
tubuh dan mobilisasi. segera dimulai latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota
tubuh dan mobilisasi.
(Rasjad, Chairuddin, 2012)
f. Komplikasi
(Sukatmi wati)
Fraktur Basis Cranii
Beberapa komplikasi dari fraktur basis cranii menurut (Smelzer, 2011):
i. Infeksi
Infeksi dapat menyebar langsung dari luka terbuka akibat fraktur/melalui hidung (setelah

kelompok 2 A Page 9
Infeksi dapat menyebar langsung dari luka terbuka akibat fraktur/melalui hidung (setelah
fraktur tulang ethmoid) dan bisa juga melalui sinus lain (misal mastoid)
ii. Kebocoran CSF
Mempengaruhi sekitar 10% dari fraktur cranium, terutama basis cranium. Dapat didiagnosis
secara klinis dengan drainase cairan jelas/serosanguineous dari telinga, hidung atau patah
tulang terbuka. Cairan dapat diuji menggunakan beta-2 transferin dengan cara elektroforesis
immunofixation untuk mengetahui ada tidaknya CSF. Endoskopi intranasal dapat digunakan
untuk menurunkan tekanan intracranial dan untuk mendapatkan CSF untuk memantau
komplikasi meningitis.
iii. Meningitis
Meningitis dilaporkan dalam 0,7-15,3% kasus fraktur cranium. Faktor risiko meliputi adanya
fraktur terbuka, kontaminasi kotor dan keterlambatan dalam pengobatan. Prompi debridemen
dan penutupan luka terbuka akan meminimalkan risiko komplikasi infeksi.
iv. Perdarahan Intracranial
Biasanya muncul dengan gejala hilangnya kesadaran/menurun, kejang, sakit kepala,
kelemahan/perubahan sensoris atau perubahan dalam kognitif, berbicara atau penglihatan.
Hasil CT Scan akan menunjukkan pengumpulan cairan subdural/epidural.
v. Deficit Neurologis
Fraktur basilar dapat merusak saraf kranial sehinga dapat terjadi deficit pendengaran,
kelumpuhan wajah (VII) atau mati rasa (V) dan nystagmus.
vi. Fraktur dasar tengkorak dapat menyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid pada tulang
temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjungtiva/ekimosis periorbital (racoon eyes)
Fraktur tibia
Komplikasi pada fraktur tibia adalah cedera pada pembuluh darah, cedera saraf terutama n.
peroneus, pembengkakan yang menetap, pertautan lambat, pseudoartrosis dan kekakuan sendi
pergelangan kaki. Sindrom kompartmen sering ditemukan pada fraktur tungkai bawah tahap
dini. Tanda dan gejala 5 P harus diperhatikan siang dan malam pada hari pertarna pasea
cedera atau pasca bedah, yaitu nyeri (pain) dikeadaan istirahat, parestesia karena rangsangan
saraf perasa, pucat karena iskemia, paresis atau paralisis karena gangguan saraf motorik, dan
denyut nadi (pulse) tidak dapat diraba lagi.
Selain itu didapatkan peninggian tekanan intrakornpartmen yang dapat diukur (pressure),
gangguan perasaan yang nyata pada pemeriksaan yang membandingkan dua titik (points) dan
kontraktur jari dalam posisi fleksi karena kontraktur otot fleksor jari. Operasi fasiotomi ketiga
kompartmen tungkai bawah merupakan operasi darurat yang harus dikerjakan segera setelah
diagnosis ditegakkan sebab setelah kematian otot tidak ada kemungkinan fungsinya pulih
kembali.
(Smeltzer, S, & Bare. 2011)
2. Sepsis
a. Proses terjadinya sepsis
(Fitriana)
Sepsis merupakan keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi
tubuh. dengan kondisi ini, abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi
pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan
menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok.
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan memicu respon
neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular
monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya
meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma
ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin,
reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eicosanoid. Sitokin
proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai
koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat
proses trombosis dan inflamasi.

b. Penatalaksanaan sepsis di IGD

kelompok 2 A Page 10
(Bunga)
Pemeriksaan yang dapat digunakan seperti carotid doppler peak velocity, passive leg raising,
ekokardiografi.
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan komponen penting dalam
penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat dengan adanya penundaan penggunaan
antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan antibiotik,penggunaan antibiotik
berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber penularan kuman. Dan hal ini
dilakukan sesegera mungkin. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik harus
diberikan maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi ini berdasarkan berbagai penelitian yang
meunjukkan bahwa penundaan dalam penggunaan antibiotik berhubungan dengan peningkatan resiko
kematian. Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin untuk mencapai target
MAP ≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang direkomendasikan adalah cairan kristaloid dengan dosis 30
ml/kgBB dan diberikan dengan melakukan fluid challenge selama didapatkan peningkatan status
hemodinamik berdasarkan variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi volum sekuncup) atau statik
(tekanan nadi, laju nadi). Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Bernard et al , penggunaan
drotrecogin α (Human Activated Protein C) menurunkan tingkat kematian pada pasien dengan sepsis.
Protein C yang teraktivasi akan menghambat pembentukan thrombin dengan menginaktifasi factor Va,
VIIIa dan akan menurunkan respon inflamasi,
(Irvan, dkk, 2018)
(Mutmainnah)
- Pengukuran kadar laktat
Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di antaranya hipoksia jaringan,
peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan peningkatan stimulasi beta adrenergik atau
pada beberapa kasus lain. Peningkatan kadar laktat >2mmol/L harus diukur pada kondisi
2-4 jam awal dan dilakukan tindakan resusitasi segera
- Kultur darah
Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna untuk meningkatkan
optimalisasi pemberian antibiotik dan identifikasi patogen. Kultur darah sebaiknya dalam 2
preparat terutama untuk kuman aerobik dan anaerobik. Pengujian kultur juga dapat
menyingkirkan penyebab sepsis, apabila infeksi patogen tidak ditemukan maka pemberian
antibiotik dapat dihentikan
- Antibiotik spektrum luas
Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada manajemen awal.
Pemilihan antibitiotik disesuaikan dengan bakteri empirik yang ditemukan
- Cairan intravena
Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau sepsis dengan
hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi adalah 30 ml/kgBB cairan
kristaloid; tidak ada perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid. Pada kondisi
tertentu seperti penyakit ginjal kronis, dekompensasi kordis, harus diberikan lebih hati-hati.
Beberapa teknik untuk menilai respon
- Pemberian vasopressor
Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan perfusi jaringan, terutama perfusi
organ vital. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah resusitasi cairan, pemberian
vasopressor tidak boleh ditunda. Vasopressor harus diberikan dalam 1 jam pertama untuk
mempertahankan MAP >65 mmHg. Dalam review beberapa literatur ditemukan pemberian
vasopressor/inotropik sebagai penanganan awal dari sepsis.
(Millizia, 2019)

3. Terapi obat-batan pada kasus


Fentanyl (Nisrina)
a. Definisi dan Indikasi
Fentanyl, Durogesic, Thalamonal Derivat-piperidin ini (1963) merupakan turunan dari petidin (Dolantin)
yang jarang digunakan lagi karena efek samping dan sifat adiksinya, lagi pula daya kerjanya singkat (3
jam) sehingga tidak layak untuk meredakan rasa sakit jangka panjang. Efek analgetik agonis-opiat ini 80
x lebih kuat daripada morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu dalam 2-3 menit (i.v.), tetapi singkat, hanya k.l.
30 menit. Zat ini digunakan pada anestesi dan infark jantung
b. Dosis

kelompok 2 A Page 11
b. Dosis
Dosis: pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidol (Thalamonal), bila perlu diulang setelah 1/2 jam.
Plester transdermal (Durogesic) melepaskan secara konstan senyawa ini selama 72 jam
c. Efek samping
Efek sampingnya mirip morfin, termasuk depresi pernapasan, bronchospasme dan kekakuan otot
(thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi seperti penurunan cardiac output dan
bradycardia.
Resofol (Fathiyatin)
a. Definisi
Recofol adalah sediaan obat dalam bentuk cairan injeksi yang di produksi oleh Dexa Medica.
Recofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi umum, dan sedasi selama perawatan
intensif.
b. Indikasi
Recofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi umum, dan sedasi selama perawatan
intensif
c. Kontraindikasi
Hindari penggunaan pada pasien dengan kondisi:
Sedasi dalam pengaturan ICU pada anak usia <16 tahun.
d. Efek samping
Efek samping yang dapat timbul yaitu:
• Nyeri pada tempat injeksi
• Hipotensi (tekanan darah rendah)
• Kejang
• Edema paru
• Sakit kepala
• Mual, muntah
• Henti jantung
• Perubahan warna urin berwarna hijau atau kemerahan
• Mengubah perilaku seksual
Triofusin (Idah faridah)
a. Definisi
Triofusin E1000 adalah sediaan infus yang mengandung Fruktosa, glukosa, xylitol, elektrolit, vitamin.
b. Indikasi
Triofusin E1000 digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi total dan parsial, vitamin, serta elektrolit
yang diberikan secara parenteral pada pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit.
c. Kontraindikasi

- Hindari penggunaan Triofusin E pada pasien:


- Di ketahui hipersensitif
- Penderita gagal ginjal tanpa dialisis
- Penderita gangguan hati berat
d. Efek samping

Efek samping yang mungkin terjadi selama pengunaan Triofusin E1000, antara lain:
- Nyeri di tempat injeksi
- Demam
Levofloxacin (Aulia)
a. Definisi
Levofloxacin adalah antibiotik fluorokuinolon generasi ketiga spektrum luas yang bekerja pada bakteri
gram-positif dan gram-negatif serta patogen atipikal terutama pada infeksi traktus respiratorius
b. Indikasi
Indikasi dan dosis levofloxacin harus disesuaikan apabila terdapat gangguan fungsi ginjal. Pada anak,
obat ini hanya dipakai pada keadaan tertentu saja. Pemakaian levofloxacin sesuai indikasinya adalah
sebagai berikut :
- Infeksi Saluran Kemih Komplikata
Levofloxacin diberikan secara intravena dengan dosis dewasa 500 mg 1 kali sehari selama 7-14
hari. Lama infus paling cepat 60 menit.

kelompok 2 A Page 12
hari. Lama infus paling cepat 60 menit.
Bila digunakan sediaan oral, diberikan 500 mg 1 kali sehari selama 7-14 hari.
- Infeksi Saluran Kemih Non Komplikata
Pada infeksi saluran kemih simpleks, levofloxacin diberikan secara oral dengan dosis dewasa 250
mg 1 kali sehari selama 3 hari.
- Pielonefritis
Levofloxacin diberikan secara intravena dengan dosis dewasa 500 mg 1 kali sehari selama 7-10
hari. Lama infus paling cepat 60 menit
c. Kontraindikasi
Levofloxacin kontraindikasi pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap levofloxacin atau kuinolon
golongan lainnya.
Peringatan
Terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa golongan fluoroquinolone, seperti levofloxacin,
berkaitan dengan risiko gangguan kardiovaskular seperti penyakit katup jantung.
Levofloxacin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan:
- Suspek gangguan neurologis (arteriosklerosis cerebral, epilepsi) atau faktor predisposisi lain yang
bisa menyebabkan bangkitan kejang atau menurunkan ambang kejang
- Riwayat penyakit psikiatrik
- Riwayat penyakit tendon
- Riwayat pemanjangan QT interval
- Gangguan elektrolit yang tidak dikoreksi (hipokalemia)
- Diabetes Melitus
- Gangguan ginjal
- Resipien ginjal, jantung atau paru-paru
- Dapa menimbulkan eksaserbasi myastenia gravis
- Anak-anak
- Ibu hamil dan menyusui
d. Efek samping
Levofloxacin berpotensi menyebabkan efek samping. Efek samping yang umum terjadi setelah
menggunakan obat ini adalah:
- Gangguan pencernaan, seperti diare dan sembelit.
- Mual dan muntah.
- Pusing, sakit kepala, dan gangguan tidur.
Efek samping ini akan hilang dalam beberapa hari. Jika efek tersebut terasa lebih berat atau tidak
membaik, segera ke dokter. Anda juga dianjurkan untuk segera ke dokter jika mengalami reaksi
alergi obat atau efek samping yang serius, seperti:
- Perubahan volume dan warna urine.
- Nyeri atau pembengkakan otot, tendon, dan sendi.
- Kesemutan atau mati rasa.
- Dada terasa nyeri.
- Gangguan indra penglihatan, perasa, pencium, atau pendengaran.
- Diare berat atau terdapat darah pada tinja.
- Halusinasi
Manitol (Nanda)
a. Definisi
Penggunaan manitol yang bertujuan menurunkan TIK karena manitol yang bekerja pada sawar darah
otak relatif dapat mengurangi volume intrakranial. Efek yang ditimbulkan oleh manitol sehubungan
dengan penurunan TIK adalah:(1) efek dehidrasi otak, dengan mengurangi penumpukan cairan di ruang
interstisiel sehingga volume jaringan otak relatif berkurang, (2) efek reologi, efek ini akan meningkatkan
sirkulasi mikro sehingga memperbaiki kemampuan penetrasi sel darah merah yang pada gilirannya akan
menjamin oksigenasi jaringan dan memelihara pompa Na. Dengan demikian, efek klinis segera dapat
diperoleh dalam waktu lima belas menit dan berakhir setelah satu sampai beberapa jam. Pada situasi
TTIK yang gawat, terapi manitol per infus dengan dosis 0,50-1,50 g/kg BB diberikan dengan diguyur,
dan kemudian dilanjutkan dengan dosis 0,25-0,50 g/kg BB tiap 4-6 jam untuk memelihara tekanan
intrakranial di dalam rentang yang aman dengan syarat osmolaritas serum tidak melebihi 320 mOsm.

b. Indikasi
Indikasi mannitol adalah untuk menurunkan tekanan intrakranial dan intraokular, fase oliguria gagal
ginjal akut, dan ekskresi substansi toksik.
c. Kontraindikasi

kelompok 2 A Page 13
c. Kontraindikasi
Mannitol dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, pasien
anuria, edema paru yang berat, gagal ginjal, dehidrasi berat, edema metabolik, penyakit ginjal progresif,
dan perdarahan intrakranial aktif.
d. Efek samping
Di samping manfaat manitol yang diharapkan, perlu juga diwaspadai beberapa efek samping yang
mungkin muncul antara lain:
- vasodilatasi sistemik dan serebral sesaat bilamana diberikan dalam dosis besar dan cepat,
- hipovolemia intravaskuler sesaat yang dilanjutkan dengan diuresis dan hipovolemia yang persisten,
- gangguan elektrolit serum,
- keadaan hiperosmotik,
- TTIK berulang (rebound phenomenon) pada penghentian pemberian yang mendadak,
- eksaserbasi perdarahan intrakranial yang aktif,
- dalam dosis tinggi risiko juga dapat berupa hipovolemi, hemokonsentrasi, hiperglikemia, asidosis
metabolik, gagal ginjal.
PRC (Bunga)
a. Definisi
Sel darah merah (PRC) menjadi komponen darah yang paling sering ditransfusikan. Sel ini berfungsi
mengalirkan oksigen dari jantung ke seluruh tubuh serta membuang karbon dioksid
b. Indikasi
Transfusi darah akan diberikan bila pasien mengalami kekurangan salah satu atau seluruh komponen
darah. Jenis darah yang diberikan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pasien. Transfusi sel
darah merah atau PRC

Anemia atau hemoglobin (Hb) rendah merupakan salah satu kondisi yang mendasari pasien diberikan
PRC. Beberapa penyakit dan kondisi yang dapat mengakibatkan anemia sehingga membutuhkan transfusi
sel darah merah, yaitu thalasemia, anemia aplastik.
c. Kontraindikasi
Kontraindikasi umum pemberian transfusi adalah hipersensitivitas terhadap produk komponen darah
yang diberikan. Terdapat juga kontraindikasi spesifik untuk masing-masing komponen darah sebagai
berikut:
- Whole Blood
Transfusi whole blood dikontraindikasikan pada pasien dengan risiko kelebihan cairan yang
meningkat seperti pada kondisi anemia kronik dan gagal jantung. Transfusi ini juga
dikontraindikasikan pada kondisi yang membutuhkan terapi monokomponen (misal fresh
frozen plasma pada koagulopati) dan komponen darah spesifik tersedia
d. Efek samping
Meski jarang terjadi, transfusi darah dapat menimbulkan sejumlah efek samping. Efek samping tersebut
dapat muncul pada saat transfusi darah berlangsung atau beberapa waktu setelahnya. Berikut ini adalah
beberapa efek samping yang dapat terjadi akibat transfusi darah:
• Demam
Demam dapat terjadi secara tiba-tiba ketika transfusi darah berlangsung. Demam merupakan bentuk
respons tubuh terhadap sel darah pendonor yang masuk ke dalam tubuh resipien. Kondisi ini bisa
ditangani dengan pemberian obat pereda demam.
• Reaksi alergi
Reaksi alergi yang timbul dapat berupa rasa tidak nyaman, nyeri dada atau punggung, sulit bernapas,
demam, mengigil, kulit memerah, denyut jantung cepat, tekanan darah turun, dan mual.
• Reaksi anafilaksis
Reaksi anafilaksis merupakan jenis reaksi alergi yang lebih serius bahkan dapat membahayakan jiwa
pasien. Reaksi ini dapat terjadi dalam beberapa menit setelah transfusi darah dimulai, ditandai dengan
pembengkakan pada wajah dan tenggorokan, sesak napas, serta tekanan darah rendah.
• Kelebihan zat besi
Terlalu banyak jumlah darah yang ditransfusikan bisa menyebabkan kelebihan zat besi. Kondisi ini
umumnya dialami penderita thalasemia yang sering membutuhkan transfusi darah. Kelebihan zat besi
bisa mengakibatkan kerusakan jantung, hati, dan organ tubuh lainnya.
• Cedera paru-paru
Walau jarang terjadi, transfusi darah bisa merusak paru-paru. Kondisi ini umumnya terjadi 6 jam setelah
prosedur dilakukan.

Pada beberapa kasus, pasien dapat sembuh dari kondisi ini. Namun, sebanyak 5–25% pasien yang

kelompok 2 A Page 14
Pada beberapa kasus, pasien dapat sembuh dari kondisi ini. Namun, sebanyak 5–25% pasien yang
menderita cedera paru-paru meninggal dunia. Belum diketahui penyebab pasti mengapa transfusi darah
bisa merusak paru-paru.
• Infeksi

Penyakit infeksi, seperti HIV, hepatitis B, atau hepatitis C dapat ditularkan melalui darah pendonor.
Namun, hal ini sangat jarang terjadi di masa sekarang, karena darah yang akan didonorkan sudah
diperiksa terlebih dahulu oleh dokter mengenai ada tidaknya infeksi yang dapat ditularkan melalui darah.
• Penyakit graft versus host
Pada kondisi ini, sel darah putih yang ditransfusikan akan berbalik menyerang jaringan penerima.
Penyakit ini tergolong fatal dan berisiko menyerang orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah,
seperti orang dengan penyakit autoimun, leukemia, atau limfoma.
• Acute immune hemolytic reaction
Ketika darah yang diterima pasien tidak cocok, sistem kekebalan tubuh pasien akan menghancurkan sel
darah yang ditransfusikan. Proses hancurnya sel darah ini disebut hemolisis. Pada kondisi tersebut, sel-sel
darah yang telah dihancurkan akan melepaskan senyawa yang membahayakan ginjal.
• Delayed immune hemolytic reaction
Kondisi ini mirip dengan acute immune hemolytic reaction, hanya saja reaksinya berjalan lebih lambat,
yaitu dalam waktu 1–4 minggu setelah transfusi. Reaksi tersebut dapat menurunkan jumlah sel darah
secara sangat perlahan, sehingga penderita sering kali tidak menyadari gejalanya. Reaksi berupa
pemecahan sel darah (hemolisis), baik yang akut maupun tertunda (delayed), lebih sering terjadi pada
pasien yang sudah pernah menerima transfusi darah sebelumnya.

4. Askep
Pengkajian (Fathiyatin)
Pengkajian Primer
i. Identitas Diri
• Nama : Tn. R
• Usia : 24 tahun
• Tanggal masuk : 1 Januari 2021
• Tanggal pengkajian : 1 dan 10 Januari 2021

ii. Keluhan Utama : korban kecelakaan lalu lintas (KKL)


iii. Airway : tidak paten
iv. Breathing : 28 x/menit
v. Circulation : TD 70/50mmHg, N 115x/menit, CRT > 3 detik, sinus ritme, perdarahan ++
vi. Disability : Kesadaran sopor koma, E2M3V3
vii. Exposure : Perifer dingin, raccoon eye positif, otorrhea, renorrhea (kemerahan) ring sign
positif, fraktur tibia dextra terbuka 1/3 distal
viii. Triage : merah
Pengkajian Sekunder
▪ Foto rongent thorax normal
▪ Foto rongent kepala fraktur basis cranii
▪ Pemeriksaan laboratorium tanggal 1 Januari 2021 pkl. 04.10 :
▪ Hb 10g/dl
▪ Hematokrit 30%
▪ Eritrosit 4 juta
▪ Leukosit 12 ribu ul
▪ Trombosit 300 ul
▪ GD 100 mg/dL
▪ SGOT 40uL
▪ SGPT 45uL
▪ Ureum 40 mg/dl
▪ Creatinin 0,9 gr/dl
▪ K 3,5
▪ Na 115
Pemeriksaan (Fitriana)

kelompok 2 A Page 15
Pemeriksaan (Fitriana)
- IGD

Setelah penanganan 3 jam


Airway : tidak paten
Breathing : 20 x/menit
Circulation : TD 110/60 mmHg, HR 100 x/menit
Disability : kesadaran somnolen, E3M3V3
Exposure : -

Tatalaksana : dilakukan operasi craniotomy dan pemasangan oriff pada tibia dextra

- Di Ruang Operasi
Anestesi general berlangsung 3 jam dengan kondisi hemodinamik unstabil
Airway : tidak paten
Breathing : dengan ventilator
Circulation : TD 60/40 mmHg-100/50 mmHg, HR 100-130x/menit, perdarahan 600 cc
Disability : kesadaran somnolen, E3M3V3
Exposure : -

Tatalaksana :
○ Infus RL 2000 cc
○ Tranfusi PRC 500 cc
○ Urine 50 cc

- ICU
Hari ke-1
Pasien dipindah ke ICU pada pukul 09.00

Airway : tidak paten


Breathing : terpasang ventilator, saturasi 98%
Circulation : TD 90/40 mmHg, HR 115x/menit
Disability : kesadaran DPO (dalam pengaruh obat)
Exposure : -

Tatalaksana :
○ Drain pada kepala
○ Infus RL 20 tts/menit
○ Cairan residu NGT pasien merah segar
Terapi post operasi knock down :

○ Fentanyl 2 mcg/KgBB/hari
○ Resofol 4 mg/KgBB/jam
○ Rriofusin 1000 1L/24 jam
○ Levofloxacin 2x1 gr
○ Manitol 3x 125 cc diberikan hingga hari ke 5 rawat (tapering off)
○ PRC 500 cc
Hari ke-10
Sebelum pukul 09.00
Airway : tidak paten
Breathing : 28 – 40x/menit
Circulation : TD 100/60 – 130/80 mmHg, HR 90 – 110x/menit
Disability : -
Exposure : suhu 39ºC, luka fraktur femur pus+

kelompok 2 A Page 16
Tanggal 10 Januari 2021
Pukul 09.00
Airway : tidak paten
Breathing : 35-40x/menit, saturan O2 98%, menggunakan ventilator pressure controlled
CMV
Circulation : TD 110/60 mmHg,, Hr 120-130 x/menit
Disability : -
Exposure : suhu 39ºC, luka fraktur femur pus+

Pemeriksaan penunjang
○ AGD
○ PH 7,30
○ PCO2 25 mmHg
○ PO2 110 mmHg
○ HCO3 15 mmol/L
○ BE+2

○ Hasil Labolatorium
○ kultur darah positif pseudomonas aeruginosa
○ Hb 11g/dl
○ Hematokrit 33%
○ Eritrosit 6 juta
○ Leukosit 20 ribu Ul
○ Trombosit 350 uL
○ GD 100 mg/dL
○ SGOT 100 uL
○ SGPT 120 uL
○ ureum 75 mg/dL
○ creatinin 2,0 gr/dL
○ PCT 10 microgram/L
Analisa Data dan diagnosa
- IGD
Data Masalah Etiologi
DO : Gangguan integritas Faktor mekanis (fraktur tibia dextra terbuka
 Kerusakan jaringan dan kulit/jaringan 1/3 distal) dan neuropati perifer
integritas kulit
 Nyeri
 Perdarahan
 Kemerahan (renorrhea)
DO : Perfusi perifer tidak Penurunan konsentrasi hemoglobin
 Pengisian kapiler > 3 detik efektif
 Nadi perifer menurun
 Akral teraba dingin (perifer
dingin)
 Warna kulit pucat
 Turgor kulit menurun
DO : Nyeri akut Agen pencedera fisik (fraktur terbuka)
 Tampak meringis
 Bersikap protektif
 Gelisah
 Frekuensi nadi meningkat
(100-130x/menit)

kelompok 2 A Page 17
DS :
 Mengeluh nyeri

 Pasca Operasi
Data Masalah Etiologi
DO : Hipovolemia Kehilangan cairan aktif (perdarahan 600 cc)
 Frekuensi nadi meningkat
(100-130x/menit)
 Nadi teraba lemah
 Tekanan darah menurun
(60/40 mmHg-100/50 mmHg)
 Turgor kulit menurun (CRT >
3 detik)
 Membran mukosa kering
 Volume urin menurun (50 cc)

Kondisi klinis Masalah Faktor Risiko


Fraktur Risiko disfungsi neurovaskuler Fraktur
perifer

 ICU
Data Masalah Etiologi
DO : Gangguan pertukaran Perubahan ventilasi perfusi
 PCO2 menurun gas
 PO2 meningkat
 Takikardia (90-110 x/menit)
 pH arteri menurun
 pola napas abnormal
 warna kulit pucat (perifer dingin)
 kesadaran menurun (DPO)

DS :
 Dispnea
DO : Gangguan penyapihan Riwayat ketergantungan
 Frekuensi napas meningkat ventilator ventilator > 4 hari
 Penggunaan otot bantu napas
 Napas engap-engap
 Upaya napas dan bantuan ventilator
tidak sinkron
 Napas dangkal
 Nilai AGD abnormal

Kondisi klinis Masalah Faktor Risiko


Sepsis Risiko syok Sepsis
Prioritas
 IGD
1. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin d.d pengisian kapiler > 3
detik, nadi perifer menurun, akral teraba dingin (perifer dingin), warna kulit pucat, turgor kulit
menurun
2. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (fraktur terbuka) d.d tampak meringis, bersikap protektif,
gelisah, frekuensi nadi meningkat (100-130x/menit), mengeluh nyeri
3. Gangguan integritas kulit dan jaringan b.d faktor mekanis (fraktur tibia dextra terbuka 1/3
distal) dan neuropati perifer d.d kerusakan jaringan dan integritas kulit, nyeri, perdarahan,

kelompok 2 A Page 18
distal) dan neuropati perifer d.d kerusakan jaringan dan integritas kulit, nyeri, perdarahan,
kemerahan (renorrhea)
4. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif (perdarahan 600 cc) d.d frekuensi nadi meningkat
(100-130x/menit), nadi teraba lemah, Tekanan darah menurun (60/40 mmHg-100/50 mmHg),
turgor kulit menurun (CRT > 3 detik), membran mukosa kering, volume urin menurun (50 cc)
5. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer d.d fraktur
 Pasca Operasi
1. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif (perdarahan 600 cc) d.d frekuensi nadi meningkat
(100-130x/menit), nadi teraba lemah, Tekanan darah menurun (60/40 mmHg-100/50 mmHg),
turgor kulit menurun (CRT > 3 detik), membran mukosa kering, volume urin menurun (50 cc)
2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer d.d fraktur
 ICU
1. Risiko syok d.d sepsis
2. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan ventilasi perfusi d.d PCO2 menurun, PO2 meningkat,
takikardia (90-110 x/menit), pH arteri menurun, pola napas abnormal, warna kulit pucat
(perifer dingin), kesadaran menurun (DPO), dispnea
3. Gangguan penyapihan ventilator b.d riwayat ketergantungan ventilator >4 hari d.d frekuensi
napas meningkat, penggunaan otot bantu napas, napas engap-engap, upaya napas dan bantuan
ventilator tidak sinkron, napas dangkal, nilai AGD abnormal
Intervensi
• IGD
No. Dx.Keperawatan SLKI SIKI
1. Perfusi perifer tidak efektif b.d Setelah dilakukan Perawatan Sirkulasi
penurunan konsentrasi intervensi keperawatan Observasi
hemoglobin d.d pengisian selama 1x24 jam,
kapiler > 3 detik, nadi perifer diharapkan Perfusi Perifer • Periksa sirkulasi perifer
menurun, akral teraba dingin Meningkat dengan kriteria (mis. nadi perifer, edema,
(perifer dingin), warna kulit hasil : pengisian kapiler, warma,
pucat, turgor kulit menurun • Pengisian kapiler suhu, ankle- brachial
membaik index)
• Denyut nadi perifer • Identifikasi faktor risiko
meningkat gangguan sirkulasi (mis.
• Warna kulit pucat diabetes, perokok, orang
menurun tua, hipertensi dan kadar
• Akral membaik kolesterol tinggi)
• Turgor kulit • Monitor panas, kemerahan,
membaik nyeri, atau bengkak pada
ekstremitas

Terapeutik

• Hindari pemasangan infus


atau pengambilan darah di
area keterbatasan perfusi
• Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
• Hindari penekanan dan
pemasangan tourniquet
pada area yang cedera
• Lakukan pencegahan
infeksi Lakukan perawatan
kaki dan kuku
• Lakukan hidrasi
• Informasikan tanda dan
gejala darurat yang harus
dilaporkan (mis. rasa sakit
yang tidak hilang. saat

kelompok 2 A Page 19
yang tidak hilang. saat
istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa)

Terapi Oksigen

Observasi
• Monitor kecepatan aliran
oksigen
• Monitor posisi alat terapi
oksigen
• Monitor aliran oksigen
secara periodic dan
pastikan fraksi yang
diberikan cukup
• Monitor efektifitas terapi
oksigen (mis. oksimetri,
analisa gas darah ), jika
perlu
• Monitor kemampuan
melepaskan oksigen saat
makan
• Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
• Monitor tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan
atelektasis
• Monitor tingkat kecemasan
akibat terapi oksigen
• Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen

Terapeutik

• Bersihkan secret pada


mulut, hidung dan trachea,
jika perlu
• Pertahankan kepatenan
jalan nafas
• Berikan oksigen tambahan,
jika perlu
• Tetap berikan oksigen saat
pasien ditransportasi
• Gunakan perangkat
oksigen yang sesuai dengat
tingkat mobilisasi pasien
Kolaborasi
• Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
• Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas
dan/atau tidur
2. Nyeri akut b.d agen pencedera Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
fisik (fraktur terbuka) d.d intervensi keperawatan
tampak meringis, bersikap selama 2x24 jam, maka Observasi
protektif, gelisah, frekuensi diharapkan Tingkat Nyeri
nadi meningkat Menurun dengan kriteria • Identifikasi lokasi,
(100-130x/menit), hasil : karakteristik, durasi,
• Meringis menurun frakuensi, kualitas,
• Gelisah menurun intensitas nyeri

kelompok 2 A Page 20
• Gelisah menurun intensitas nyeri
• Sikap protektif • Identifikasi skala nyeri
menurun • Identifikasi respons nyeri
• Frekuensi nadi non verbal
membaik • Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
• Identifikasi pengatahuan
dan kayakinan tentang
nyeri
• Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
• Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
• Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
• Monitor efek samping
penggunaan analgetik

Terapeutik

• Kontrol lingkungan yang


memperberat rasa nyeri
(mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
• Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

Pemberian Analgesik

Observasi

• Identifikasi karakteristik
nyeri (mis. pencetus,
pereda, kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensidurasi)
• Identifikasi riwayat alergi
obat
• Identifikasi kesesuaian
jenis analgesik (mis.
narkotika, non-narkotik,
atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
• Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
• Monitor efektifitas
analgesik

Terapeutik

• Pertimbangkan penggunaan
infus kontinu, atau bolus
oploid untuk
mempertahankan kadar

kelompok 2 A Page 21
mempertahankan kadar
dalam serum
• Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan respons
pasien
• Dokumentasikan respons
terhadap efek analgesik dan
efek yang tidak dinginkan

Kolaborasi

• Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
3. Gangguan integritas kulit dan Setelah dilakukan Perawatan Integritas
jaringan b.d faktor mekanis intervensi keperawatan Kulit
(fraktur tibia dextra terbuka 1/3 selama 2x24 jam, maka Observasi
distal) dan neuropati perifer Integritas Kulit dan
d.d kerusakan jaringan dan Jaringan Meningkat • Identifikasi penyebab
integritas kulit, nyeri, dengan kriteria hasil : gangguan integritas kulit
perdarahan, kemerahan • Kerusakan jaringan (mis. perubahan sirkulasi,
(renorrhea) menurun perubahan statis nutrisi,
• Kerusakan lapisan penurunan kelembaban,
kulit menurun suhu lingkungan ekstrem,
• Nyeri menurun penurunan mobilitas)
• Perdarahan menurun
• Kemerahan menurun Terapeutik

• Ubah posisi tiap 2 jam jika


tirah baring Lakukan
pemijatan pada area
penonjolan tulang, jika
perlu
• Gunakan produk berbahan
petrolium atau minyak
pada kulit kering
• Gunakan produk berbahan
ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit
sensitif
• Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering

Perawatan Luka
Observasi
• Monitor karakteristik luka
(mis drainase, warna,
ukuran, bou)
• Monitor tanda-tanda
infeksi

Terapeutik

• Lepaskan balutan dan


plester secara perlahan
Cukur rambut di sekitar
daerah luka, jika perlu
• Bersihkan dengan cairan
NaCl atau pembersih

kelompok 2 A Page 22
NaCl atau pembersih
nontoksik, sesuai
kebutuhan
• Bersihkan jaringan
nekrotik
• Berikan salep yang sesuai
ke kulit/lesi, jika pertu
• Pasang balutan sesuai jenis
luka
• Pertahankan teknik steril
saat melakukan perawatan
luka
• Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
• Jadwalkan perubahan
posisi setiap 2 jam atau
sesual kordisi pasien
• Berikan diet dengan kalori
30-35 kkal/kgBB/hari dan
protein 1,26-1,5
g/kgBB/hari
• Berikan suplemen vitamin
dan mineral (mis. vitamin
A, vitamin C, Zinc, asam
amino), sesuai indikasi
• Berikan terapi TENS
(stimulasi saraf
transkutaneous), jika perlu
Kolaborasi

• Kolaborasi prosedur
debridement (mis,
enzimatik, biologis,
mekanis, autolitik), jika
perlu
• Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu

• Pasca Operasi
No. Dx.Keperawatan SLKI SIKI
1. Hipovolemia b.d kehilangan Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia
cairan aktif (perdarahan 600 cc) intervensi keperawatan
d.d frekuensi nadi meningkat selama 1x24 jam, Observasi
(100-130x/menit), nadi teraba maka Status Cairan
lemah, Tekanan darah menurun Meningkat dengan • Periksa tanda dan gejala
(60/40 mmHg-100/50 mmHg), kriteria hasil : hipovolemia (mis. frekuensi
turgor kulit menurun (CRT > 3 • Kekuatan nadi nadi meningkat, nadi teraba
detik), membran mukosa kering, meningkat lemah tekanan darah
volume urin menurun (50 cc) • Turgor kulit menurun, tekanan nadi
meningkat menyempit, turgor kulit
• Output urine menurun, membran muko
meningkat kering, volume urin menurun,
• Dispnea menurun hematokrit meningkat, haus,
• Frekuensi nadi lemah)
membaik • Monitor intake dan output
• Tekanan darah cairan
membaik
• Kadar Hb Terapeutik
membaik
• Hitung kebutuhan cairan

kelompok 2 A Page 23
• Hitung kebutuhan cairan
• Berikan asupan cairan oral

Kolaborasi

• Kolaborasi pemberian cairan


IV isotonis (mis. NaCl, RL)
• Kolaborasi pemberian cairan
IV hipotonis (mis. glukosa
2,5%, NaCI 0,4%)
• Kolaborasi pemberian cairan
koloid (mis. albumin,
Plasmanate)
• Kolaborasi pemberian produk
darah

Manajemen Syok
Hipovolemia

Observasi

• Monitor status
kardiopulmonal (frekuensi
dan kekuatan nadi, frekuensi
napas, TD, MAR)
• Monitor status oksigenasi
(oksimetri nadi, AGD)
• Monitor status cairan
(masukan dan haluaran,
turgor kulit, CRT)
• Periksa tingkat kesadaran dan
respon pupil
• Periksa seluruh permukaan
tubuh terhadap adanya DOTS
(deformitiyldeformitas, open
Wound/luka terbuka,
tendemess/nyeri tekan,
swelling/bengkak)

Terapeutik

• Pertahankan jalan napas paten


• Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen >94%
• Persiapkan intubasi dan
ventilasi mekanis, jika perlu
• Lakukan penekanan langsung
(direct pressure) pada
perdarahan eksternal
• Berikan posisi syok (modified
Trendelenberg)
• Pasang jalur IV berukuran
besar (mis, nomor 14 atau 16)
• Pasang kateter urine untuk
menilai produksi urine
• Pasang selang nasogastrik
untuk dekompresi lambung
• Ambil sampel darah untuk
pemeriksaan darah langkap
dan elektrolit
Kolaborasi

kelompok 2 A Page 24
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian infus
cairan kristaloid 1-2L pada
dewasa
• Kolaborasi pemberian infus
cairan kristaloid 20
mL/KGBB pada anak
• Kolaborasi pemberian
transfusi darah, jika perlu

Pemantauan Cairan
Observasi

• Monitor frekuensi dan


kekuatan nadi
• Monitor frekuensi napas
• Monitor tekanan darah
• Monitor berat badan
• Monitor Waktu pengisian
kapiler
• Monitor elastisitas atau turgor
kulit
• Monitor jumlah, warna dan
berat jenis urine
• Monitor kadar albumin dan
protein total
• Monitor hasil pemeriksaan
serum (mis. Hematokrit)
• Monitor intake dan output
cairan
• Identifikasi tanda-tanda
hipovolemia (mis. Frekuensi
nadi meningkat, TD menurun,
volume urin menurun,.
Hematokrit meningkat)
• Identifikasi faktor risiko
ketidakseimbangan cairan
(mis. Prosedur pembedahan
mayor, trauma/perdarahan)

Terapeutik

• Atur interval waktu


pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
• Dokumentasikan hasil
pemantauan
2. Risiko disfungsi neurovaskuler Setelah dilakukan Pengaturan Posisi
perifer d.d fraktur intervensi keperawatan Observasi
selama 2x24 jam,
maka Neurovaskuler • Monitor status oksigenasi
Perifer Meningkat sebelum dan sesudah
dengan kriteria hasil : mengubah posisi
• Sirkulasi arteri • Monitor alat traksi agar selalu
meningkat tepat
• Sirkulasi vena
meningkat Terapeutik
• Nyeri menurun
• Nadi mambaik • Tempatkan pada
• Suhu tubuh matras/tempat tidur terapeutik
membaik yang tepat

kelompok 2 A Page 25
membaik yang tepat
• Warna kulit • Tempatkan bel atau lampu
membaik panggilan dalam jangkauan
• Sediakan matras yang
kokoh/padat
• Atur posisi untuk mengurangi
sesak (mis. Semi Fowler)
• Atur posisi yang
meningkatkan drainage
• Posisikan pada kesejajaran
tubuh yang tepat
• Imobilisasi dan topang bagian
tubuh yang cedera dengan
tepat
• Tinggikan bagian tubuh yang
sakit dengan tepat
• Tinggikan anggota gerak 20°
atau lebih di atas level
jantung
• Motivasi melakukan ROM
aktif atau pasif
• Hindari menempatkan pada
posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
• Hindari posisi yang
menimbulkan ketegangan
pada luka
• Pertahankan posisi dan
integritas traksi
• Jadwalkan secara tertulis
untuk perubahan posisi

Pencegahan Perdarahan
Observasi

• Monitor tanda dan gejala


perdarahan
• Monitor nilai
hematokrit/hemaglobin
sebelum dan setelah
kehilangan darah
• Monitor tanda-tanda vital
ortostatik
• Monitor koagulasi (mis.
Prothrombin time (PT))

Terapeutik

• Pertahankan bed rest selaam


perdarahan
• Batasi tindakan invasif, jika
perlu
• Gunakan kasur pencegah
dekubitus
• Hindari pengukuran suhu
rektal

Kolaborasi

• Kolaborasi pemberian obat


pengontrol perdarahan, jika
perlu

kelompok 2 A Page 26
perlu

• ICU
No. Dx.Keperawatan SLKI SIKI
1. Risiko syok d.d sepsis Setelah dilakukan Pencegahan Syok
intervensi keperawatan Observasi
3x24 jam, maka
diharapkan Tingkat Syok • Monitor status
Menurun dengan kriteria kardiopulmonal
hasil: • Monitor status oksigenasi
• Tingkat kesadaran • Monitor status cairan
meningkat • Monitor tingkat kesadaran
• Frekuensi napas dan respon pupil
membaik • Periksa riwayat alergi
Terapeutik

• Berikan oksigen untuk


mempertahankan saturasi
oksigen <94%
• Pasang jalur IV, jika perlu
• Pasang kateter urine untuk
menilai produksi urine, jika
perlu
• Lakukan skin test untuk
mencegaha reaksi alergi
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian
transfuse darah, jika perlu
• Kolaborasi pemberian anti
inflamasi, jika perlu

Pencegahan Infeksi
Observasi

• Monitor tanda dan gejala


infeksi lokal dan sistemik

Terapeutik

• Batasi jumlah pengunjung


• Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien den lingkungan
pasien
• Pertahankan teknik aseptik
pada pasien berisiko tinggi

Pengontrolan Infeksi

Observasi

• Identifikasi pasien-pasien
yang mengalami penyakit
infeksi menular

Terapeutik

• Terapkan kewaspadaan

kelompok 2 A Page 27
• Terapkan kewaspadaan
universal (mis. Cuci tangan
aseptik, gunakan alat
pelindung diri seperti
masker, sarung tangan,
pelindung wajah, pelindung
mata, apron, sepatu bot
sesuai model transmisi
mikroorganisme)

• Tempatkan pada isolasi


bertekanan positif untuk
pasien yang mengalami
penurunan imunitas

• Tempatkan pada isolasi


bertekanan positif untuk
pasien dengan risiko
penyebaran infeksi via
dopret atau udara

• Sterilisasi dan disinfeksi


alat-alat, furnitur, lantai,
sesuai kebutuhan

• Gunakan hepafilter pada


area khusus (mis. Kamar
operasi)

• Berikan tanda khusus untuk


pasien-pasien dengan
penyakit menular

Edukasi

• Ajarkan cara mencuci


tangan dengan benar

• Ajarkan etika batuk dan/atau


bersin
2. Gangguan pertukaran gas b.d Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi
perubahan ventilasi perfusi d.d intervensi keperawatan Observasi
PCO2 menurun, PO2 10x24 jam, diharapkan
meningkat, takikardia (90-110 Pertukaran Gas • Monitor frekuensi, irama,
x/menit), pH arteri menurun, Meningkat dengan kedalaman, dan upaya napas
pola napas abnormal, warna kriteria hasil : • Monitor pola napas (seperti
kulit pucat (perifer dingin), • Dispnea menurun bradipnea, takipnea,
kesadaran menurun (DPO), • Pola napas hiperventilasi, Kussmaul,
dispnea membaik Cheyne-Stokes, Biot,
• PCO2 membaik ataksik)
• Takikardi membaik • Monitor kemampuan batuk
• pH arteri membaik efektif
• Pola napas • Monitor adanya produksi
membaik sputum
• Warna kulit • Monitor adanya sumbatan
membaik jalan napas
• Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
• Auskultasi bunyi napas
• Monitor saturasi oksigen
• Monitor nilai AGD

kelompok 2 A Page 28
• Monitor nilai AGD
• Monitor hasil x-ray toraks

Terapeutik

• Atur interval waktu


pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
• Dokumentasikan hasil
pemantauan

Terapi Oksigen
Observasi

• Monitor kecepatan aliran


oksigen
• Monitor posisi alat terapi
oksigen
• Monitor aliran oksigen
secara periodic dan pastikan
fraksi yang diberikan cukup
• Monitor efektifitas terapi
oksigen (mis. oksimetri,
analisa gas darah ), jika
perlu
• Monitor kemampuan
melepaskan oksigen saat
makan
• Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
• Monitor tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan
atelektasis
• Monitor tingkat kecemasan
akibat terapi oksigen
• Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen

Terapeutik

• Bersihkan secret pada


mulut, hidung dan trachea,
jika perlu
• Pertahankan kepatenan jalan
nafas
• Berikan oksigen tambahan,
jika perlu
• Tetap berikan oksigen saat
pasien ditransportasi
• Gunakan perangkat oksigen
yang sesuai dengat tingkat
mobilisasi pasien

Kolaborasi

• Kolaborasi penentuan dosis


oksigen
• Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas
dan/atau tidur

kelompok 2 A Page 29
Manajemen Jalan Napas
Observasi
• Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
• Monitor bunyi napas
tambahan (mis. gurgling,
mengi, wheezing, ronkhi
kering)
• Monitor sputum (jumlah,
warna, aroma)
Terapeutik
• Pertahankan kepatenan jalan
napas dengan head-tilt dan
chin-lift (jawthrust jika
curiga trauma servikal
• Posisikan semi-fowler atau
fowler
• Lakukan penghisapan lender
kurang dari 15 detik
• Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
• Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsep McGill
• Berikan oksigen, jika perlu
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
3. Gangguan penyapihan Setelah dilakukan Penyapihan Ventilasi
ventilator b.d riwayat intervensi keperawatan Mekanik
ketergantungan ventilator >4 selama 10x24 jam, maka
hari d.d frekuensi napas diharapkan Penyapihan Observasi
meningkat, penggunaan otot Ventilator Meningkat
bantu napas, napas engap- dengan kriteria hasil : • Periksa kemampuan untuk
engap, upaya napas dan • Kesinkronan
disapih (meliputi
bantuan ventilator tidak bantuan ventilator hemodinamik stabil, kondisi
sinkron, napas dangkal, nilai meningkat optimal, bebas infeksi)
AGD abnormal • Penggunaan otot • Monitor prediktor
bantu napas kemampuan untuk
menurun mentolerir penyapihan (mis.
• Napas mengap- Tingkat kemampuan
mengap menurun bernapas, dll)
• Napas dangkal • Monitor tanda-tanda
menurun kelelahan otot pernapasan
• Frekuensi napas (mis. Kenaikan PaCO2
membaik mendadak, napas cepat dan
• Nilai AGD dangkal, hipoksemia, dll)
membaik • Monitor status cairan dan
elektrolit

Terapeutik

• Posisikan semi Fowler


(30-45°)
• Lakukan pengisapan jalan
napas, jika perlu
• Berikan fisioterapi dada,
jika perlu

kelompok 2 A Page 30
jika perlu
• Lakukan uji coba
penyapihan (30-120 menit
dengan napas spontan yang
dibantu ventilator)
• Gunakan teknik relaksasi,
jika perlu
• Hindari pemberian sedasi
farmakologis selama
percobaan penyapihan

Kolaborasi

• Kolaborasi pemberian obat


yang meningkatkan
kepatenan jalan napas dan
pertukaran gas

DAFTAR PUSTAKA
Angelika, I., dan Eko P. 2019. Evaluasi Radiologi Pada Kasus Fraktur Basis Kranii. Jurnal Biomedik, Vol.
13, No. 3, 259-265. Diakses dari https://ejournal.uinsrat.ac.id/index.php/biomedik/index Pada tanggal 3
November 2021
Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan.
Jakarta: Salemba Emban Patria.
Carter Michel A. 2016. Fraktur dan Dislokasi dalam: Price Sylvia A, Wilson Lorraine McCarty. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Doenges, E Marylin. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta. EGC
Hidayati, Afif Nurul, dkk. (Ed.) 2018. Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya: Airlangga University Press
Irvan, dkk. 2018. Sepsis dan Tata Laksanan Berdasar Guideline. Terbaru. Vol X, Nomor 1. Diakses dari
http://ejournal.undip.ac.id pada tanggal 3 November 2021 pukul 17.17 WIB.
Ishman & Friedland. 2019. Temporal Bone Fractures: Tradutional Classification and Clinical Relevance.
Laryngoscope.
King DE, Malone R, Lilley SH. 2017. New Kilassification and Update on the Quinolone Antibiotics. Diakses
dari http://www.aafp.org/afp/2000/0501/p2741.html Pada tanggal 3 November 2021
Kowalak, J. P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Kurwardani, et.al. 2017. Pengaruh Terapi Latihan terhadap Post ORIF Fraktur Mal Union Tibia Plateu
dengan Pemasangan Plate and Screw. Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi (JFR) Vol 1 No 1. Diakses dari
http://download.garuda.kemdikbud.go.id pada tanggal 3 November 2021
Milizia, Anna. 2019. Penatalaksanaan Sepsis. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, Vol. 2, No. 3. pp 28-37.
Muttaqin, Arif. 2013. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik Ed.1. Jakarta :
DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP
PPNI
PPNI. 2019. Standar Luaran keperawatan Indonesia: Definsidan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP
PPNI
Rasjad, Chairuddin. 2012. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone
Satyanegara. 2014. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara Edisi V. Jakarta: Gramedia
Sherina, & RSCM, T. I. 2010. Gagal nafas dan Ventilasi Mekanik, Modul Pelatihan ICU RSCM. Jakarta.
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC
Smeltzer, C. S., & Bare, B. G. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Philadelphia: Lippincott william
& Wilkins

kelompok 2 A Page 31
& Wilkins
Smeltzer, S, & Bare. 2011. Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical Nursing. Philadelpia : Lippin
cott
Tjay Tan Hoan. 2012. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan Dan Efek Sampingnya. Pt Elex Media
Komputindo : Jakarta
Wahyuni, T. D. 2021. Asuhan kepeawatan Gangguan Sistem Muskuloskletal. Pekalongan: NEM
Wiarto, G. 2017. Nyeri Tulang dan Sendi. Gosyen Publisihing.

kelompok 2 A Page 32

Anda mungkin juga menyukai