2. Klasifikasi
a. Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 subtipe dari
fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari
fraktur temporal dan tipe longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini
(Ishman dan Friedland, 2004; Qureshi, et al, 2009).
(A)Transverse temporal bone fracture dan (B) Longitudinal temporal bone
fracture
A B
b. Fraktur Longitudinal
Terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os
temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan segmen timpani.
Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior
menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat
foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan
yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir
pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari
kedua fraktur longitudinal dan transversal.Namun sistem lain untuk klasifikasi
fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal
kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur
yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit
nervus cranialis (Qureshi, et al, 2009).
c. Fraktur Condylar Occipital (Posterior)
Fraktur ini merupakan hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi
aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum alar. Fraktur
tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera.
Klasifikasi alternatif membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu
dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial
yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis
cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun
fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur
yang stabil karena ligamen alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral
bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil (American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004; Sugiharto, dkk, 2006).
d. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera
kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)
Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
Trauma akibat persalinan
Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat
olahraga.
Jatuh
Cedera akibat kekerasan.
e. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi
cerebral.Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 -
60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan
akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit
kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka.
Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga.
Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa
seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera
akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang bergerak dan
menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital
dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi
terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi
yang cepat dari tulang tengkorak. Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak
ringan sampai tingkat berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik.
Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg).
Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume
darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-
kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori
cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus.
Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan
hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat
bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan
otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya. Sedangkan
patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan tengkorak
beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran
makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan
akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap
oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan
menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan
tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga
suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema
cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi
otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K
(Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga
sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan
anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).
f. Tanda Gejala
a. Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar
pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior
adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).
Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung
pada kondisi patologis intrakranial (Thai, 2007).
b. Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang
berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam
waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema
mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah
akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII (Netter dan
Machado, 2003).
c. Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin,
sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran
permanen (permanent neural hearing loss) (Tuli, et al, 1997).
d. Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.
Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe
III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis.
Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau
guadriplegia (Anderson dan Montesano, 1988; Tuli, 1997; Netter dan Machado,
2003).
e. Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus
cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi
fonasi dan aspirasi dan paralisis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain
sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-
Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus
cranial IX, X, XI, dan XII (Anderson dan Montesano, 1988; American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004).
g. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis craniii antara lain:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
b. Pemeriksaan radiologi
1) Foto rontgen
2) CT Scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam
diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1 1,5 mm,
dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT Scan
helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital,
biasanya 3-dimensi tidak diperlukan (Qureshi,et al, 2009).
3) MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan
untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskuler.
Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT
Scan (Qureshi,et al, 2009).
4) Pemeriksaan arteriografi