Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR BASIS CRANII

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Pengertian
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan
langsung pada daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita);
transmisi energi yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek
dari benturan pada kepala (

2. Klasifikasi

a. Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 subtipe dari
fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari
fraktur temporal dan tipe longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini
(Ishman dan Friedland, 2004; Qureshi, et al, 2009).
(A)Transverse temporal bone fracture dan (B) Longitudinal temporal bone
fracture
A B
b. Fraktur Longitudinal
Terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os
temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan segmen timpani.
Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior
menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat
foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan
yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir
pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari
kedua fraktur longitudinal dan transversal.Namun sistem lain untuk klasifikasi
fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal
kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur
yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit
nervus cranialis (Qureshi, et al, 2009).
c. Fraktur Condylar Occipital (Posterior)
Fraktur ini merupakan hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi
aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum alar. Fraktur
tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera.
Klasifikasi alternatif membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu
dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial
yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis
cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun
fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur
yang stabil karena ligamen alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral
bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil (American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004; Sugiharto, dkk, 2006).

d. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera
kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)
Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
Trauma akibat persalinan
Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat
olahraga.
Jatuh
Cedera akibat kekerasan.

e. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi
cerebral.Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 -
60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan
akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit
kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka.
Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga.
Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa
seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera
akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang bergerak dan
menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital
dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi
terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi
yang cepat dari tulang tengkorak. Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak
ringan sampai tingkat berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik.
Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg).
Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume
darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-
kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori
cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus.
Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan
hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat
bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan
otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya. Sedangkan
patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan tengkorak
beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran
makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan
akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap
oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan
menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan
tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga
suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema
cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi
otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K
(Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga
sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan
anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).

f. Tanda Gejala
a. Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar
pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior
adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).
Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung
pada kondisi patologis intrakranial (Thai, 2007).
b. Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang
berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam
waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema
mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah
akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII (Netter dan
Machado, 2003).
c. Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin,
sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran
permanen (permanent neural hearing loss) (Tuli, et al, 1997).
d. Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.
Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe
III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis.
Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau
guadriplegia (Anderson dan Montesano, 1988; Tuli, 1997; Netter dan Machado,
2003).
e. Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus
cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi
fonasi dan aspirasi dan paralisis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain
sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-
Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus
cranial IX, X, XI, dan XII (Anderson dan Montesano, 1988; American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004).
g. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis craniii antara lain:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
b. Pemeriksaan radiologi
1) Foto rontgen
2) CT Scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam
diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1 1,5 mm,
dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT Scan
helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital,
biasanya 3-dimensi tidak diperlukan (Qureshi,et al, 2009).
3) MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan
untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskuler.
Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT
Scan (Qureshi,et al, 2009).
4) Pemeriksaan arteriografi

h. Penatalaksanaan dan Komplikasi


Menurut Listiono (1998) dan Legros, et al (2000), prinsip penanganan umum secara
keseluruhan dari trauma kepala meliputi:
a. Pengendalian Tekanan Intrakranial
Manitol efektif untuk mengurangi edema serebral. Selain karena efek osmotik,
manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus microcirculatory
otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol tampaknya sama
selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg.
b. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung kardiovaskular dengan vasopresor dan inotropik dapat meningkatkan
MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.
c. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dengan tingkat optimal
sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari
50% dan akan meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30%.
d. Obat-obatan sedasi
Pemberian rutin obat sedasi seperti analgesik dan agen yang memblokir
neuromuscular dapat menjadi terapi pilihan. Propofol telah menjadi obat sedatif
pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri,
memfasilitasi ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang
memblokir neuromuscular dapat juga mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan
oleh batuk dan penegangan pada endotrachealtube.
e. Kontrol suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak dan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk
setiap kenaikan 1 derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala, hipertermia harus
diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
f. Kontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama padapasien yang telah menderita hematoma, cedera
termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural, adanya tanda fokal
neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan.
g. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/l, telah menjadi kristaloid pilihan
dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan NaCl 0,9% membutuhkan
4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik.
h. Head Up 30o
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30 dapat menurunkan TIK dan
meningkatkan venous return ke jantung.
i. Merujukke dokter bedah saraf
Indikasi rujukan ke ahli bedah saraf:
1) GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal;
2) disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam;
3) penurunan skor GCS terutama respon motorik;
4) tanda-tanda neurologis fokal progresif;
5) kejang tanpa pemulihan penuh;
6) cedera penetrasi;
7) kebocoran cairan serebrospinal.
Penanganan khusus dari fraktur basis cranii terutama untuk mengatasi komplikasi
yang timbul, meliputi:
a. Fistula cairan serebrospinal
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang
ekstraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel yang terlihat sebagai rinore dan
otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya
trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi
konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas
berat. Diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid (Haryono,
2006).
b. Rinore
Terjadi pada sekitar 25% pasien dengan fraktur basis anterior. CSS mungkin
bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang
frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus. Kadang-kadang
pada fraktur bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba
eustachian dan mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak
cedera pada hampir 80% kasus. Penatalaksanaan secara konservatif dapat
dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin,
meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Diberikan obat-obatan seperti
laxantia, diuretic, dan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan
pemasangan kateter subarachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu dapat
diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi (Haryono,
2006).
Pembedahan dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara bedah sinus
endoskopi. Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan craniotomi melalui
daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal
media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa
craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat
melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan
tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak
dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini
adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema,
hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen.
Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa craniii anterior.
Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan ekstrakranial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior
dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan
pendekatan eksternal etmoidektomi, transe-tmoidal sfenoidotomi, trans-septal
sfenoidotomi atau trans-antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan
teknik ini adalah memiliki lapang pandang yang baik, angka kematian yang
rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini
adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal.
Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid (Haryono,
2006).
Tindakan bedah sinusmerupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka
keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada
fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial
yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari
tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap
lokal atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapang pandang yang jelas
sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan
dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang.
Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya
(Haryono, 2006).
c. Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktur, duramater dibawahnya serta
arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktur tulang petrosa
diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal berdasarkan hubungannya
terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa, namun kebanyakan merupakan
fraktur campuran. Pasien dengan fraktur longitudinal tampil dengan kehilangan
pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan
fraktur transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,
kokhlea, atau saraf kedelapan di dalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga
pada 50% pasien. Fraktur longitudinal empat hingga enam kali lebih sering
dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf
fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu.
Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4%, dibanding 17%
pada rinore CSS. Pada kejadian yang jarang, dimana otore tidak berhenti,
sehingga diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi (Haryono, 2006).
d. Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis cranii.Penyebab paling
sering dari meningitis pada fraktur basis cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis
meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan
mortalitas walaupun terapi antibiotik telah digunakan. Pemberian antibioti tidak
perlu menunggu tes diagnostik karena pemberian antibiotik yang terlambat
berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Profilaksis
antibiotik yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan
ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka
resistensi antibiotik golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem
(Pillai, 2010).
e. Pnemocephalus
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang
melaluimeningen.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara
masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi
terperangkap.TIK yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan
menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari
operasi untuk membebaskan udara intrakranial,serta memperbaiki defek yang
ada, dan tredelenburg position (Qureshi, et al, 2009).
B. Clinical Pathway
C. Asuhan Keperawatan
D. Konsep Keperawatan
1. Resiko tinggi defisit perawatan diri
Nanda (2015-2017) memaparkan bahwa domain perawatan diri masuk di domain 4
(aktivitas dan Istirahat) dan masuk di kelas 5 terkait perawatan diri. Perawatan diri
yang dicantumkan adalah kemampuan seseorang dalam menampilkan perawatan pada
tubuhnya. Pada kelas perawatan diri terdapat beberapa diagnosa keperawatan yang
termasuk dalam domain perawatan diri diantaranya:
a. Defisit perawatan diri: Mandi
1) Pengertian: Ketidakmampuan seseorang dalam menampilkan atau
menjalankan aktivitas mandi sehari-harinya.
2) Batasan karakteristik:
a) Ketidakmampuan untuk mengeringkan tubuh
b) Ketidakmampuan untuk mengakses ke kamar mandi
c) Ketidakmampuan untuk mengakses air mandi
d) Ketidakmampuan untuk menyuplai kebutuhan mandi
e) Ketidakmampuan untuk menyiapkan suhu air mandi
f) Ketidakmampuan untuk membersihkan diri
3) Faktor yang berhubungan:
a) Kecemasan
b) Penurunan motivasi
c) Ketidakmampuan fungsi musculoskeletal
d) Ketidakmampuan fungsi persyarafan
e) Nyeri
f) Ketidakmampuan dalam persepsi diri
g) Kelemahan
b. Defisit perawatan diri: Berpakaian
1) Pengertian: Ketidakmampuan seseorang dalam menampilkan atau
menjalankan aktivitas berpakaianuntuk dirinya.
2) Batasan karakteristik:
a) Penurunan motivasi
b) Ketidaknyamanan
c) Fatigue/keletihan
d) Ketidakmampuan dalam memilih pakaian
e) Ketidakmampuan dalam menyiapkan kebutuhan berpakaian
f) Ketidakmampuan dalam mengambil pakaian
g) Ketidakmampuan dalam membuka pakaian bagian atas
h) Ketidakmampuan dalam membuka pakaian bagian bawah
i) Ketidakmampuan memasang risleting baju/celana
j) Ketidakmampuan fungsi musculoskeletal
k) Ketidakmampuan fungsi persyarafan
l) Nyeri
3) Faktor yang berhubungan:
a) kecemasan
b) Gangguan persepsi diri
c) kelemahan
c. Defisit perawatan diri: Makan
1) Pengertian: Ketidakmampuan seseorang dalam menampilkan atau
menjalankan aktivitas makan dalam kehidupan sehari-hari.
2) Batasan karakteristik:
a) Ketidakmampuan dalam memasukkan makanan ke mulut
b) Ketidakmampuan dalam menggunakan peralatan makan: piring
dan sendok
c) Ketidakmampuan dalam mengangkat gelas
d) Ketidakmampuan dalam menyiapkan makanan
3) Faktor yang berhubungan:
a) Kecemasan
b) Penurunan motivasi
c) Ketidaknyamanan
d) Keletihan
e) Gangguan persepsi diri
f) Kelemahan
g) Nyeri
h) Penurunan fungsi musculoskeletal
i) Penurunan fungsi persyarafan
d. Defisit perawatan diri: Toileting
1) Pengertian: Ketidakmampuan seseorang dalam menampilkan atau
menjalankan aktivitas toileting dalam kehidupan sehari-hari.
2) Batasan karakteristik:
a) ketidakmampuan dalam menyelesaikan BAB/BAK
b) ketidakmampuan dalam membuka pakaian ketika mau
BAB/BAK
c) ketidakmampuan menuju ke kamar mandi
d) ketidakmampuan kembali dari kamar mandi
3) Faktor yang berhubungan:
a) Kecemasan
b) Penurunan motivasi
c) Keletihan
d) Kelemahan
e) Ketidakmampuan dalam bergerak/berpindah tempat
f) Nyeri
g) Gangguan fungsi muskuluskeletal
h) Gangguan fungsi persyarafan
E. Referensi
American College of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Cedera Kepala. Dalam: Advanced
Trauma Life Support for Doctors. Edisi 7. Komisi Trauma IKABI.
Anderson, P. A. dan Montesano, P. X. 1988. Morphology and Treatment of Occipital
Condyle Fractures. Spine (Phila Pa 1976).
Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth Edition. United
States of America: Elsevier Mosby.
Haryono, Y. 2006. Rinorea Cairan Serebrospinal. USU: Departemen THT-KL FK USU.
Herdman, T. H. 2014. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition & Classification,
2015-2017. Oxford: Wiley-Blackwell.
Ishman, S. L. dan Friedland, D. R. 2004. Temporal Bone Fractures: Traditional Classification
and Clinical Relevance. Laryngoscope.
Legros, B., et al. 2000. Basal Fracture of The Skull and Lower (IX, X, XI, XII) Cranial
Nerves Palsy: Four Case Reports Including Two Fractures of The Occipital Condyle. J
Trauma.
Listiono, L. D. 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi III. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition. United
States of America: Mosby Elsevier.
Netter, F. H. dan Machado, C. A. 2003. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC.
Pillai, P.,et al. 2010. Traumatic Tension Pneumocephalus: Two Cases andComprehensive
Review of Literature. OPUS 12 Scientist.
Qureshi, N. H.,et al. 2009. Skull Fracture. On Emedicine Health. Serial
online.http://emedicine.medscape.com/article/248108clinicalmanifestations. [diakses
20November2015].
Sugiharto, L., dkk. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Thai, T. 2007. Helmet Protection Against Basilar Skull Fracture. Biomechanical of Basilar
Skull Fracture. ATSB Research and Analysis Report Road Safety Research Grant
Report. Australia.
Tuli, S.,et al. 1997. Occipital Condyle Fractures. Neurosurgery.

Anda mungkin juga menyukai