Anda di halaman 1dari 24

TUGAS FORENTIK UPH 10

21 MARET 2017

Oleh
Amanda Kirana 00000003983
Ariane Budiwan 00000004337
Atikah 00000003976
Bryan Riawan 00000003251
Charlene Janice 1305003337
Christian Mayumi 1305003677
Ervina Kimberly 1305000664
Evelyn 0000003524
Gezta Nasafir 1305003517
Intania Dewi Cintawati 00000000641
Jennie Novita Solihin 00000000858
Josse Gunawan 00000003795
Kenneth Halim 00000002154
Raswinarsih Indah Bidasari Sabrawi 00000003985
Stevani Cristina 1305001046
Tisha Dionetta 0000003822
Victoria Levina 00000003040
Wayan Bhaskara Satria Wibawa 00000003851

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TAHUN 2017
1. Jenis-jenis fraktur basis cranii:
a. Berdasarkan Lokasi fraktur:
 Exokranial/Extrakranial (Luar):
1. Anterior:
a. Os. maxillaris (termasuk ujung/tip dari os. maxillaris):
b. Os. palatinum
c. Os. Zygomaticum
2. Posterior:
a. Os. Temporale (termasuk processus styloideus)
b. Os. sphenoidale (termasuk processus condylaris)
c. Os. occipital

 Endokranial (Dalam):
1. Anterior Fossa (Ossis. Ethmoidale, Sphenoidale, dan Frontale):
a. Batas anterior (Os. Frontale dan dinding posterior sinus
frontalis)
b. Batas posterior (limen of lesser wing sphenoid bone)
c. Batas lateral (roof of orbits)
d. Batas median (crista gali, cribiform plate of ethmoid bone,
planum of sphenoid bone)
Fraktur basis kranii anterior dapat dibagi menjadi tiga (3) tipe:
i. Tipe 1: Fraktur tipe ini terjadi ketika terjadi pukulan pada
posisi yang relative rendah pada tulang frontal dan
didefinisikan sebagai fraktur linear yang parallel dengan
cribriform plate kemudian memanjang ke posterior
sepanjang sella turcica dan petrous ridge sehingga
memisahkan fossa kranii anterior dan fossa kranii media
dari posterior.
ii. Tipe 2: Fraktur ini terdiri atas garis linear vertikal pada
bagian lateral tulang frontal dan basis kranii anterior,
kemudian dapat memanjang melibatkan 2/3 lateral tepi
supraorbital dan pars squamosal dari tulang temporal, atap
orbita, dinding lateral orbita, atau apex orbita. Jenis
fraktur ini sering dikaitkan dengan kebocoran LCS dan
cedera intracranial.
iii. Tipe 3: Fraktur ini merupakan kombinasi dari fraktur
frontobasilar sentral dan lateral disertai dengan pecahnya
tulang frontal, atap orbita, dan bagian lateral kalvaria.
Tipe 2 dan 3 sering dikaitkan dengan cedera pada wajah
bagian tengah dan berhubungan dengan benturan
kecepatan tinggi dari tulang frontal lateral atau inferior
atau vektor supraorbital. Karena tipe 3 berhubungan
dengan benturan yang berkekuatan tinggi, fraktur tipe ini
juga sering dihubungkan dengan kejadian cedera
intrakranial dan kebocoran LCS.

Klasifikasi sistem yang lain membagi fraktur frontobasal


menjadi tipe A, B, dan C, berdasarkan pendekatan tindak
pembedahan.
Tipe A: meliputi hanya tulang sinus frontalis bagian anterior
Tipe B: meliputi hanya tulang sinus frontalis bagian posterior
Tipe C: meliputi seluruh cedera frontobasal yang tidak meliputi
sinus frontalis.
Jika jenis fraktur tipe B berbentuk kominuted, cenderung
dihubungkan dengan terjadinya LCS dan dapat membentuk
mucocele karena terperangkapnya mukosa pada garis fraktur.

2. Middle Fossa (Os. sphenoidale dan Os. temporale):


a. Batas anterior (lesser wing of sphenoid bone)
b. Batas Posterior (petrous bone)
Fraktur frontobasal yang dikarenakan benturan pada tulang
frontal dapat menjalar secara oblique atau sagital menuju basis
kranii media yang meliputi sela turcica, sinus sphenoidalis, atau
tulang temporal. Jika ada benturan pada tulang frontal lateral,
zygoma, temporal, atau tulang parietal dengan kecepatan tinggi,
akan terjadi fraktur transversal pada bidang koronal yang
melewati basis kranii media. Fraktur transversal dapat berjalan
pada bagian lateral melewati ala magna os. sphenoidale dan
pars squamosal os temporale.
Fraktur transversal pada bagian yang lebih anterior sering
meliputi bagian posterior dari fossa kranii anterior dan dapat
memanjang sampai pada processus clinoideus, apex orbita, dan
fissura orbitalis superior. Fraktur jenis ini berpotensi
menimbulkan cedera saraf kranial atau pembuluh darah.
Fraktur tranversal pada bagian yang lebih posterior yang
meliputi kedua tulang temporal dan memanjang sepanjang
sinkondrosis sphenopetrosal, sinus sphenoidalis posterior,
dan/atau clivus.
Fraktur oblik pada basis kranii media sering kali berhubungan
dengan fraktur wajah dan fraktur frontobasal tipe 2 atau 3.
Fraktur ini juga sering berhubungan dengan kebocoran LCS.
Fraktur basis kranii media yang melibatkan clivus dan basis
kranii posterior jarang terjadi (2%), tapi berhubungan dengan
tingginya angka mortalitas (24-80%) karena lokasi dan
hubungannya dengan batang otak.

3. Posterior Fossa (Os. occipitale):


a. Batas anterior (posterior petrous bones)
b. Batas Posterior (grooves of transverse sinus)
Fraktur basis kranii posterior sering terjadi akibat benturan
pada bagian lateral dan/atau posterior occiput dan melingkupi
tulang oksipital dan bagian petrosa tulang temporal.
Fraktur kondilus oksipitalis jarang terjadi. Fraktur ini idapat
diklasifikasikan berdasarkan penampang radiologi menjadi tipe
1, 2 dan 3.
Tipe 1: benturan dan pecahan pada kondilus karena beban
aksial.
Tipe 2: fraktur basis kranii dengan perpanjangan secara linear
menuju kondilus oksipitalis.
Tipe 3: fraktur avulsi pada perlekatan ligamen alar
b. Berdasarkan garis fraktur:
 Single (dan/atau branched) dan multiple fracture:
1. Single line
2. Branched lines
3. Multiple separated lines
 Comminuted fracture: ketika tulang hancur menjadi beberapa
fragmen kecil.
 Contiguous fracture: ketika garis fraktur melewati lebih dari satu
batas anatomis.
 Depressed fracture: ketika segmen fraktur mengalami pergerakan
masuk ke dalam meninges dan otak lebih dari 3 mm.
 Diastatic suture: ketika fraktur berjalan horizontal searah sutura lebih
dari 3 mm.
 Diastatic fracture: ketika fraktur berjalan horizontal lebih dari 3 mm.
 Hinge Fracture: Tipe fraktur ini memotong menjadi dua bagian pada
basis cranii, membentuk "engsel".
1. Type 1: jika fraktur terjadi di bidang korona, memanjang dari
ujung lateral petrous ridge melalui sella turcica, hingga sisi
kontralateral petrous ridge.
2. Type 2: jika fraktur dari bagian depan hingga kontralateral
belakang, melalui sella turcica.
3. Type 3: jika fraktur dari sisi ke sisi bidang korona tapi tidak
melalui sella turcica.
 Ring Fracture: fraktur dengan karakteristik circular, yang
mengelilingi foramen magnum, mulai dari sella turcica turun ke
petrous ridge, bergabung di posterior fossa, menutup foramen
magnum. Hal ini bisa terjadi dikarenakan pukulan pada bagian atas
kepala yang menyebabkan tulang tengkorak tertekan ke bawah
menuju kolumna vertebra, atau dikarenakan jatuh pada bokong yang
menyebabkan tulang belakang terdorong menuju basis kranii.
 Spider Web Fracture: fraktur yang terdiri dari garis radier dan garis
melingkar konsentrik. Fraktur ini disebabkan oleh pukulan dengan
objek dengan permukaan lebar pada kalvaria (khususnya os.
parietale).

2. Gejala Klinis:
a. Gejala pada fraktur basis kranii anterior meliputi, cedera pada
intraorbital, meningoencephalocele atau rhinorrhea LCS, dan anosmia
yang disebabkan oleh cedera nervus olfaktorius. Raccoon eye sign atau
disebut juga blepharohematoma dapat terjadi pada trauma daerah
frontal yang memungkinkan terjadinya fraktur pada fossa kranii
anterior dan robek pada struktur vena yang berada di dasarnya
sehingga menyebabkan pendarahan yang kemudian mengalami
extravasasi ke daerah di sekitar kelopak mata dan jaringan lemak
orbita.
b. Fraktur basis kranii media dapat menyebabkan cedera pada pembuluh
darah seperti oklusi arteri karotis interna, diseksi arteri,
pseudoaneurisma, aneurisma, dan fistula karotid-kavernosa. Selain itu
dapat pula terjadi cedera pada nervus kranial terutama nervus
okulomotorik, troklearis, trigeminus dan abdusen. Gejala lain adalah
Horner syndrome yang disebabkan oleh gangguan pada saraf simpatik
mata.
c. Fraktur basis kranii posterolateral (os. temporale) dapat menyebabkan
kerusakan pada pembuluh darah (arteri karotis interna), kerusakan
pada nervus fasialis atau vestibulokoklearis, hemotimpanum
(pendarahan telinga tengah), dan dapat disertai juga dengan adanya
meningoencephalocele atau otorrhea LCS. Battle Sign disebut juga
ecchymosis pada mastoid/retroauricular merupakan salah satu
indikator yang berhubungan dengan tingginya kemungkinan terjadi
fraktur basis cranii pada posterior fossa. Tanda ini terjadi karena
adanya gangguan pada vena emissary yang berjalan dari sigmoid sinus
menuju jaringan lunak pada post-auricular sehingga menghasilkan
ekimosis pada retroauricular. Tanda ini bisa terjadi karena trauma
tumpul pada tulang mastoid dan tulang temporal yang menyebabkan
fraktur longitudinal atau campuran pada tulang temporal. Biasanya
terlihat 1-2 hari setelah cidera.
d. Gejala fraktur basis kranii posterior meliputi kerusakan pada pembuluh
vena atau arteri vertebrobasilaris, kerusakan pada nervus kranial bawah
(nervus glosofaringeus, vagus, aksesorius, atau hipoglosus), dan dapat
juga terjadi cedera pada tulang belakang servikal dan craniocervical
junction. Fraktur ini juga berhubugnan dengan cedera intracranial pada
fossa posterior, yang meliputi hematoma ekstradural, subdural, dan
cerebellar. Yang paling sering terjadi adalah hematoma epidural karena
cedera pada sinus tranversus atau sinus sigmoideus atau bulbus
jugularis. Umumnya dapat ditemukan pada anak-anak dan dapat
meluas dengan cepat sehingga menyebabkan penurunan secara klinis
akibat ventrikel empat yang terkompresi atau batang otak.

e. Otorrhea dan Rhinorrhea: merupakan kejadian keluarnya liquor


cerebrospinal dari lubang hidung atau telinga yang disebabkan oleh
terhubungnya ruang subarachnoid dengan lingkungan. Kejadian ini
terjadi pada 10-30 % fraktur basis kranii dan 80% kasusnya adalah
rhinorrhea LCS. Delapan persen kasus menunjukkan gejala ini pada 48
jam pertama setelah kejadian trauma, sisanya dapat muncul 3 bulan
setelah cedera. Perlambatan munculnya gejala ini disebabkan oleh
resolusi dari edema dan pendarahan pascatrauma yang muncul di awal,
disertai peningkatan mobilitas pasien pasca rehabilitasi. Tapi hal ini
juga bisa terjadi karena fragmen dari fraktur lambat laun terkikis dan
menipis.

Referensi:
AO Foundation. (n.d.). Retrieved from AO Surgery Reference:
https://www2.aofoundation.org/wps/portal/!
ut/p/a0/04_Sj9CPykssy0xPLMnMz0vMAfGjzOKN_A0M3D2DDbz9_UMMDRyDXQ
3dw9wMDAx8jfULsh0VAdAsNSU!/?
bone=CMF&segment=Cranium&soloState=lyteframe&teaserTitle=&contentUrl=s
rg/93/01-Diagnosis/skull_base-skull_base.jsp
Epperla, N., Mazza, J. J., & Yale, S. H. (2015). A Review of Clinical Signs related to
Ecchymosis. WMJ , 114 (2).
DiMaio, V. J., & DiMaio, D. (2001). Forensic Pathology (2nd ed.). Boca Raton: CRC
Press LLC.
Hirsch, C. S., & Kaufman, B. (1975). Countercoup Skull Fracture. J Neurosurgery ,
42.
Payne-James, J., Jones, R., Karch, S. B., & Manlove, J. (2011). Simpson's Forensic
Medicine (13th ed.). (C. Makepeace, & J. Silman, Eds.) London: Hodder &
Stoughton Ltd.
Di leva, A., Audige, L., Kellman, R. M., Shumrick, K. A., Ringl, H., Prein, J., et al.
(2014). The Comprehensive AOCMF Classification: Skull Base and Cranial Fold
Fracture - Level 2 and 3 Tutorial. Craniomaxillafacial trauma and reconstruction ,
7.

2. Apakah subdural hematoma merupakan indikasi cito? Apa sajakah indikasi cito?

Indikasi cito jika hematom sudah mencapai 25-30cc pada usia dewasa-muda. Pada
usia tua karena dapat terjadinya atrofi pada otak, maka indikasi tindakan cito harus
ada hematoma yang lebih dari 30 cc.

Kriteria cito :
 Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm pada CT-scan
 Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
 Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
 Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi
asimetris/fixed
 Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Sumber :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/16710968/
Jenis-Jenis Fraktur Rahang

Secara umum jenis-jenis fraktur mandibular (Fraktur bagian sepertiga bawah wajah)
dapat diklasifikasikan berdasarkan terminologi, yaitu :

1. Tipe Fraktur
a. Fraktur simple atau fraktur tertutup, yaitu keadaan fraktur dengan jaringan
lunak yang terkena tidak terbuka.
b. Fraktur kompoun atau fraktur terbuka, yaitu keadaan fraktur yang
berhubungan dengan lingkungan luar, yakni jaringan lunak seperti kulit,
mukosa atau ligamen periodontal terpapar di udara.
c. Fraktur komunisi (comminuted), yaitu fraktur yang terjadi pada satu daerah
tulang yang diakibatkan oleh trauma yang hebat sehingga mengakibatkan
tulang hancur berkeping-keping disertai kehilangan jaringan yang parah.
d. Fraktur greenstick, yaitu fraktur tidak sempurna dimana pada satu sisi dari
tulang mengalami fraktur sedangkan pada sisi yang lain tulang masih terikat.
Fraktur ini sering dijumpai pada anak-anak.
e. Fraktur patologis, yaitu fraktur yang diakibatkan oleh adanya penyakit pada
mandibula, seperti osteomielitis, tumor ganas, kista atau penyakit tulang
sistemik. Proses patologis pada mandibula menyebabkan tulang lemah
sehingga trauma yang kecil dapat mengakibatkan fraktur.
f. Multiple, yaitu sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada
tulang yang sama tidak berhubungan satu sama lain.
g. Impacted, merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke
bagian lainnya.
h. Atrophic, merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya
tulang, biasanya pada tulang mandibula orang tua.
i. Indirect, merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.
j. Complicated atau complex, merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan
dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.
Klasifikasi berdasarkan favorabilitas
Horizontally favourable = garis fraktur berjalan ke arah bawah dan kedepan sehingga
perpindahan posisi keatas terhindar
Horizontally unfavourable = garis fraktur berjalan ke arah bawah dan ke belakang
sehingga perpindahan posisi ke atas tidak terhindar

Vertically favourable = garis fraktur berjalan dari outer buccal plate secara oblique ke
arah belakang dan lingual sehingga pergerakan ke arah medial terhindar.

Vertically unfavourable = garis fraktur berjalan dari inner lingual plate secara oblique
ke arah belakang dan buccal, sehingga pergerakan ke arah medial tidak terhambat.
2. Lokasi Anatomis fraktur
Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan pada letak anatomi dari fraktur
mandibula dapat terjadi pada daerah-daerah sebagai berikut:
a. Dentoalveolar (processus alveolaris): region yang secara normal terdiri dari
gigi
b. Kondilus (processus condylus): area pada superior prosesus kondilus hingga
region ramus.
c. Koronoideus (processus coronoid): termasuk prosesus koronoid pada superior
mandibular hingga region ramus.
d. Ramus: berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis
apical pada sigmoid notch.
e. Sudut mandibular (angle): area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior
otot masseter hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai
distal gigi molar 3).
f. Korpus mandibular (midline): fraktur diantara incisal sentral.
g. Simfisis: berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.
h. Parasimfisis: dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar
yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).
3. Pola fraktur
a. Fraktur unilateral adalah fraktur yang biasanya tunggal pada satu sisi
mandibula saja.
b. Fraktur bilateral adalah fraktur yang sering terjadi akibat kombinasi trauma
langsung dan tidak langsung, terjadi pada kedua sisi mandibula.
c. Fraktur multipel adalah variasi pada garis fraktur dimana bisa terdapat dua
atau lebih garis fraktur pada satu sisi mandibula. Lebih dari 50% dari fraktur
mandibula adalah fraktur multipel.

4. Apakah medical treatment untuk pasien ini akurat atau tidak?

Tidak, karena terdapat pendarahan subdural yang diperkiraan lebih dari 30cc namun
tidak dilakukan tindakan operatif.
Pada pendarahan subdural yang kecil (volume 30cc atau kurang), dilakukan tindakan
konservatif, namun pada pendarahan subdural dengan volume yang lebih dari 30cc
dan ditemukan adanya gejala-gejala yang progresif, maka diperlukan tindakan
operatif untuk pengeluaran pendarahan dan penurunan tekanan intrakranial.
Namun pada penderita pendarahan subdural dengan refleks batang otak yang
negatif dan depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosis akhir yang
buruk dan bukan calon untuk operasi.
5. Jenis-Jenis Fraktur Iga dan Mekanismenya Hingga Menimbulkan Paradoxical
Breathing

Fraktur Iga
Tulang iga biasanya fraktur di daerah posterior atau postero-lateral karena daerah
itu adalah yang paling lemah. Iga 1-3 terlindungi tidak seperti 9-12 yang lebih mobile.
Fraktur iga lebih sering terjadi pada orang dewasa karena tulangnya lebih kaku dan
tidak elastis seperti di anak, jika tulang elastis dan pliable transmisi energy kinetik
dapat menyebar ke medisatinum. Namun, pada usia muda meskipun fraktur tulang
iga dan sternum jarang terjadi, cedera pada organ dalam lebih sering. Fraktur iga
berbahaya karena dapat menusuk sekitarnya seperti pleura, paru, limpa, dan hepar.
Fraktur iga 9-11 biasanya menyebabkan trauma intra abdominal dan fraktur pada sisi
kanan biasanya akan menyebabkan cedera pada hepar, dan pada sisi kiri cedera
pada limpa. Sedangkan fraktur pada iga 1-3 dapat menyebabkan cedera thorax yang
parah.

Tipe:
 Simple rib fracture: seperti fraktur biasanya: nyeri tekan, susah bernafas karena sakit
(bernafas dangkal untuk mengurangi nyerinya), deformitas dan diskolorasi di daerah
dada
-> minimalisir pergerakkan fraktur dengan adhesive tape/bandage dari iga yang
fraktur sampai tulang belakang atau memakai sling
 Severe rib fracture: adanya distres pada respirasi, hyperventilasi atau respirasi
dangkal, nadi meningkat, sianosis (pada mulut dan hidung), sulit bernafas, ada gagal
nafas (ex: flail chest)

Klinis (dapat sembuh sendiri 3-6 minggu): nyeri tekan, krepitus, ekimosis, spasme
otot dan jika dilakukan bimanual compression dapat mengurangi rasa sakit (barrel
compression test)

Diagnosis: upright posteroanterior chest radiograph (widened mediastinum) ->


CT-scan (lebih akurat)
Management:
 Analgesik (untuk 1-2 minggu pertama)
- Intercostal nerve blocks with long-acting anesthetic (bupivacaine dengan
epinephrine) dapat mencegah nyeri sampai 12 jam.
- Nerve blocks -> administrasi 1/2% lidocaine atau 0.25% bupivacaine beberapa
sentimeter posterior dari fraktur sepanjang iga inferior. Satu iga ke atas dank e
bawah harus dilakukan nerve block
- Parenteral opiates
- Thoracic epidural analgesia
 Menjalani aktifitas sehari-hari (mencegah atelectasis dan pneumonia)
 Deep breathing exercises
 Fraktur >3 -> di rawat di RS

Fraktur Sternum
Fraktur atau dislokasi sternum biasanya disebabkan oleh trauma anterior tumpul,
biasanya karena tabrakan kendaraan ketika dada menabrak setir. Yang dapat
menjadi factor resikonya tergantung dari tipe pengaman kendaraan tersebut dan
umur pasien. Pasien yang menggunakan pengaman lebih rentan untuk mempunyai
fraktur sternum. Terutama jika menggunakan sabuk pengaman yang diagonal
(restrain the upper sternum). Jika terjadi deselerasi yang cepat karena frontal
impact, tubuh akan maju ke depan melawan sabuk pengaman sehingga fraktur dapat
terjadi. Lokasi fraktur tergantung dari posisi sabuk pengaman tersebut, ukuran tubuh
pasien, magnitude of the impact and the vector of the forces.

Organ dalam pada usia muda lebih sering cedera karena pada orang dewasa, energy
of impact can be dissipated by the sternum thus fewer intrathoracic injuries tetapi
fraktur tulang lebih sering terjadi. Isolated sternal fractures are usually benign, low
mortality and low intra-thoracic morbidity. Yang dapat terjadi adalah komplikasi dari
jantung seperti hematoma mediastinal, myocardial contusion bukan rupture aorta.
Yang dapat mengancam nyawa adalah kehilangan darah akut, perubahan
hemodinamik tubuh sehingga dapat terjadi gagal sirkulasi karena exsanguination.
Hematoma mediastinal juga dapat menyebabkan kematian karena kompresi struktur
sekitar.
Klinis: sakit dada anterior, nyeri tekan sternum, ekimosis, bengkak dan dapat
ditemukan deformitas yang dapat di palpasi.

Diagnosis:
 Transverse and lateral radiographic
 Plain chest x-ray
 Helical CT scan with 3D imaging (dapat rule out cedera mediastinal)
 USG (lebih akurat dari CXR)
 ECG

Management:
 Analgesik (biasanya oral cukup)
 Fiksasi operatif jika diperlukan

Costochondral Seperation
Disebabkan oleh trauma tumpul anterior pada dada.

Klinis: mirip fraktur tulang iga tetapi karena kartilago memiliki vaskularisasi yang
kurang maka nyeri dapat bertahan lebih lama sampai beberapa minggu.

Diagnosis: CXR biasanya tampak normal tetapi ada snapping sensation ketika
bernapas dalam,

Managament: Rawat jalan -> seperti pasien fraktur iga


Dapat ditemukan flail chest jika terjadi costochondral separation di satu atau
beberapa titik
FLAIL CHEST
Flail chest adalah keadaan di mana suatu segmen dari rongga dada tidak
mengalami kontinuitas tulang dengan rongga dada yang lainnya. Karena ini tidak
biasa terjadi, dibutuhkan terjadinya high speed vehicular accident. Biasanya juga
disertai pulmonary parenchymal injury dan sering mengakibatkan kondisi life-
threatening. Pada flail chest, harus terdapat patah tulang iga pada minimal 2-3 iga
yang berdekatan atau bahkan lebih, dan pada setiap iga yang patah, harus terdapat
minimal 2 patah tulang sehingga berbentuk segmen (two or more adjacent ribs
fractured in two or more places.) sehingga mengakibatkan ada bagian dari rongga
dada yang bergerak bebas dalam gerakan paradoxical (paradoxical breathing,
paradoxical movement).
Paradoxical breathing adalah keadaan suatu segmen rongga dada yang
bergerak tidak sesuai. Pada proses fisiologis normal, diafragma tertarik ke arah
caudal dan otot intercostal menarik iga untuk melebar sehingga rongga dada
bergerak mengembang, dan pada saat ekspirasi, diafragma dan otot intercosal
relaksasi sehingga rongga dada kolaps dan udara terdorong keluar, pada pernapasan
paradoxical, pada saat inspirasi, bagian tersebut kolaps/tertinggal di dalam
sedangkan pada saat ekspirasi, terdorong keluar/mengembang ke luar.
Hallmark dari flail chest adalah paradoxical breathing, walaupun begitu, hal
yang membuat flail chest life threatening adalah kontusio paru (75%). Selain itu,
dapat ditemukan gejala lain yang khas yaitu nyeri dada dan sesak napas, crepitus
pada tulang yang patah, juga gangguan pernapasan mekanikal sampai menimbulkan
gagal napas.
Diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan fisik dan definitive dengan
imaging (xray/CT scan). Xray untuk melihat patah tulang dan CT scan untuk melihat
cedera pada paru.
Penatalaksanaan awal flail chest meliputi ventilasi yang adekuat, pemberian
oksigen (humidified), dan resusitasi cairan. Tetapi pada resusitasi cairan, apabila
tidak terdapat shock hipovolemik, perhatikan pemberian IV crystalloid untuk
mencegah volume overload. Penatalaksanaan definitive adalah untuk memastikan
oksigenasi adekuat, pemberian cairan secukupnya, analgesia, dan meningkatkan
ventilasi. Untuk patah tulang yang didapat juga dapat dilakukan stabilisasi iga. Untuk
mencegah hipoksia, dapat dilakukan intubasi dan ventilasi. Jangan lupa untuk tetap
mengobservasi keadaan pasien.

PARADOXICAL BREATHING
1. Obstruktif mekanis
Ada tahanan di dada yang menyebabkan dada tidak dapat mengembang sehingga
udara tidak bisa masuk ke dalam paru.
2. Mechanical disruption of chest wall
Seperti flail chest tapi hanya 1 section dari iga, tidak multiple.
3. Nerve problems
Cedera pada phrenic nerve (diaphragm), biasa dikarenakan kanker tulang, cedera
tulang belakang, distropi muscular, dan multiple sclerosis.
4. Flail chest
5. Dysfunction of diaphragm
Apabila terjadi disfungsi pada salah satu diafragma (kanan atau kiri) dapat
mengakibatkan dyspnea, dan pada akhirnya menyebabkan paralisis diafragma.
Tanda khas nya adalah abdominal paradox, yaitu inward motion dari abdomen pada
saat rongga dada mengembang. Keadaan ini paling mudah dilihat pada posisi supine.

Sumber:
1. ATLS edisi 9.
2. Journal of anesthesia & critical care MedCrave. Judul: Chest trauma: An Overview
3. Thoracic Trauma Marc Eckstein and Sean O. Henderson Chapter 45.
4. www.newhealthadvisor.com/Paradoxical-Breathing.html
5. http://orthopedics.ygoy.com/2010/06/17/types-of-rib-fracture/
6. Pengambilan sampel DNA darimana saja terutama untuk test maternitas dan
paternitas?

Hampir semua sel di tubuh mengandung nucleus yang mengandung 23 pasang


kromosom. Setengahnya diturunkan oleh ibu dan ayah. DNA juga bisa terdapat di
mitokondria tapi hanya diturunkan oleh ibu.
Sekarang yang paling sering digunakan itu Short Tandem Repeats (STRs) karena
dipercaya non-coding dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Bagaimana cara ambil DNA profile?


Pertama melarutkan sampel dengan senyawa kimia yang sesuai untuk mendapatkan
DNA maksimal dari sumber. Setelah itu dihitung perkiraan jumlah DNA yang
ditemukan. Lalu amplifikasi menggunakan PCR. Setiap siklus PCR apabila 100%
efisien dapat menggandakan jumlah DNA di tiap sampel. Lalu terakhir di translasi ke
electropherogram (EPG) yang mempresentasikan DNA profile dalam bentuk grafik.
Paling sering digunakan itu buccal mulut dengan di swab.
Apabila profile sesuai, maka DNA tersebut kemungkinan berasal dari orang yang
sama atau kemungkinan berasal dari orang lain sangat amat rendah kecuali kembar
identik. Tidak ada kepastian 100% dalam DNA profiling.

Analisis
Profil DNA bisa tercampur terutama dalam kasus kejahatan seksual.
Teknik analisis DNA :
- SGM+ DNA profiling sangat sensitif, bisa mendapatkan profil DNA Lengkap
dengan <300 sel.
- Low Copy Number (LCN) DNA menggunakan 34 siklus tetapi tidak bisa
digunakan untuk jumlah DNA yang sedikit (seperti sentuh).
- Y-STR DNA mirip dengan SGM+ tetapi hanya menilai kromosom Y (Laki-laki)
sehingga sangat efektif pada kasus kejahatan seksual.
- Analisis DNA mitonkondria dapat digunakan pada tempat dengan jumlah
nucleus yang sedikit, contoh : batang rambut. Dapat menilai hubungan
maternitas karena diturunkan dari ibu.
- Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) digunakan untuk kasus dimana DNA
sudah rusak parah (seperti apabila terkena panas). Contoh digunakan pada
kasus World Trade Centre.

Analisis Cairan Tubuh


- Darah
o Identifikasi dari warna dan reaksi kimianya. Dapat dites menggunakan
Leucomalachite Green (LMG) atau Kastle-Meyer (K-M). Sampel darah
dapat diambil pada bercak darah dengan ukuran minimal 1mm.
- Sperma
o Identifikasi menggunakan Acid Phosphatase (AP) test. Apabila di
semprotkan dapat menimbulkan warna ungu. Tetapi harus dicatat
bahwa apabila menggunakan laundry, sel sperma yang ada di celana
dalam bisa ditransfer ke benda lain di dalam mesin cuci. Mencuci
pakaian tidak akan membuang semua sel sperma, hanya akan
menghilangkan kimia yang bereaksi dengan AP reagent.
o Hati-hati false positive karena infeksi bakteri dapat menimbulkan
warna pink pada AP reagent.
o Pada pasien yang sudah menjalani vasektomi yang sukses tidak ada
sel sperma pada ejakulasi. Dapat menggunakan Prostate Specific
Antigen (PSA) dan menggunakan antibody untuk memeriksa adanya
PSA.
- Saliva
o Dapat menggunakan amylase test untuk mencari keberadaan saliva.
- “Touch DNA”
o Menilai benda yang disentuh (meninggalkan sel kulit) seperti
pegangan pintu, sarung tangan, topi, dll.
o Hanya perlu mengambil dengan swab.
- Urin dan Feses
o Pada kasus pemerkosaan anal atau kasus dengan sengaja mengotori
untuk menyembunyikan bukti.
o Pemeriksaan urine dapat menggunakan
Dimethylaminocinnamaldehyde (DMAC) test, chemical creatinen.
o Pemeriksaan feses dengan Edelman’s test.

Di dalam pemeriksaan sampel DNA, dilakukan pemeriksaan Amelogenin


gene, yang berfungsi untuk memastikan bahwa sampel DNA yang diambil tidak
tertukar. Misalnya pada saat pengambilan sampel, kita meletakkan sampel DNA ayah
pada label yang bertuliskan “Sampel Ibu” dan begitu juga sebaliknya, maka pada
pemeriksaan Amelogenin gene ini dapat diketahui bahwa sampel tertukar.
Proses forensik untuk analisis DNA sekarang ini menggunakan dua metode yang
berbeda :
1. The Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Test
2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Kedua metode dimulai dengan tahap ekstraksi atau tahap isolasi dimana materi
biologis yang mengandung DNA diekstrak dari ibu, anak dan ayah. Pada kebanyakan
kasus, sampel diambil dari darah.
Test Paternitas dapat dilakukan juga menggunakan metode lama yaitu ABO
Blood Group Typing, analisa dari bermacam protein dan enzim, atau menggunakan
antigen leukosit manusia (HLA). Namun test DNA telah menjadi satu-satunya metode
pasti dari test paternitas sekarang.
Pada pemeriksaan, sampel diambil dari :
1. Routine Paternity : ibu, anak, dan dugaan ayah
2. Motherless Paternity : anak dan dugaan ayah
3. Prenatal Paternity : cairan amnion dari ibu, fetus dan dugaan ayah
4. Absent Alleged Father : ibu, anak dan kedua orang tua ayah
5. Siblingship studies : dua saudara, ibu (jika ada)
6. Identical Twin Studies : anak kembar
7. Sperm detection : satu sampel baju
8. Marital Fidelity Studies : sampel control dari dua orang
9. Forensic Studies : satu barang bukti, satu sampel suspek, satu sampel korban
(jika ada)
Prinsip metode test DNA dilakukan dengan mengambil sampel air liur atau tetes
darah dari anak dan dugaan ayah. Lalu sampel dikirim ke laboratorium untuk
ekstraksi DNA dan diproses. Hasil dari pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu 3
hari setelah pemeriksaan laboratorium, dan dapat selesai dalam satu hari dengan
biaya tambahan.

Sumber :
1. Simpson’s Forensic Medicine. 13th Edition. Jason Payne-James, Richard Jones,
Steven B Karch, John Manlove.
2. The DNA Paternity Test : Legislating the Future Paternity Action, E. Donald
Shapiro, New York Law School.
3. Paternity Testing. Journal of American Science, 2(4), 2006. Hongbao Ma,
Huaijie Zhu, Fangxia Guan, Shen Cherng.
7. Hubungan Antara Kerusakan Otak dengan Hiperventilasi dan Perubahan Dari
Hiperventilasi Hingga Apnea.

Relationship between Brain Injury to Hyperventilation


1. Blast Injury Theories (Neurogenic Pulmonary Edema)
Ketika terjadi kerusakan pada otak akut yang kemudian menimbulkan
peningkatan TIK maka terjadi peningkatan aktivasi saraf simpatetik yang
menyeluruh. Terdapat neuron yang bertanggung jawab yang terletak pada
hipotalamus, batang otak dan medulla spinalis level servikal. Hal ini kemudian
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmonal sehingga terjadi
peningkatan tekanan vena pulmonal dan akhirnya meningkatkan
permeabilitas paru dan menimbulkan edema paru karena ekstravasasi cairan
intravascular ke alveolus atau interstitial paru. Edema paru dapat
menyebabkan terjadinya ARDS yang meningkatkan kadar PaCO2 akibatnya
tubuh akan melakukan kompesasi untuk mengurangi kadar CO2 dalam tubuh
dengan melakukan hiperventilasi.
2. Central Neurogenic Hyperventilation ditandai dengan laju nafas diatas sama
dengan 25 kali per menit. Hal ini disebabkan oleh tumor, proses demyelinasi,
stroke dan iritasi parameningeal. Beberapa mekanisme yang dapat
menjelaskan terjadinya CNH yaitu :
 Kerusakan pada batang otak seperti misalnya terjadi infark pada
batang otak, akibatnya dapat terjadi supresi pada medullary center,
pontine apneustic, pontine pneumotaxic yang merupakan pusat
pernafasan.
 Peningkatan laktat dan glutamate pada system saraf pusat juga dapat
meningkatkan aktivitas pusat pernafasan di batang otak.
 Kerusakan pada talamus juga dapat mengganggu pernafasan, karena
dalam beberapa kasus thalamus memegang peran dalam mengatur
pola pernafasan juga.
3. Hiperventilasi juga dapat diinduksi sebagai terapi pada keadaan peningkatan
ICP, karena dengan hiperventilasi dapat terjadi pengurangan dari PaCO 2 dan
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga mengurangi
aliran darah otak sehingga dapat mengurangi ICP. Namun metode ini dapat
berujung kepada cerebral ischemia dan berakibat fatal.

Post-hypervetilation Apnea

Awalnya ketika terjadi hiperkapnia maka terjadi hiperventilasi untuk mengurangi


kadar CO2. Namun lama-kelamaan kadar CO2 akan berkurang sehingga akan terjadi
apnea untuk meningkatkan kadar CO2. Jika waktu dari hiperventilasi hingga apnea
tidak lebih dari 1 menit maka prognosisnya akan baik karena bersifat reversible.
Sedangkan apabila di atas 3 menit maka prognosis memburuk ditandai dengan
sianosis, penurunan kesadaran dan hipoksemia.
Keadaan hipokapnia dapat mensupresi stimulasi otak untuk bernafas. Oleh karena
itu bahayanya bahkan ketika tubuh sudah masuk fase hipoksemia bahkan seorang
korban tetap tidak inspirasi oleh karena tersupresinya stimulasi untuk bernafas tadi.
Sumber :
Sedy J, Zicha J, Sykova E, Jendelova P. Mechanism of Neurogenic Pulmonary Edema
Development. Physiol 2008.
Chen YJ, Hsu YC, Sung SF. Central Neurogenic Hyperventilation In A Conscious Patient
with Chronic Brain Inflammation. 科學誌 2013
2013
Neumann JO, Chambers IR, Citerio G, Enbald P. The Use of Hyperventilation Therapy
After Traumatic Brain Injury in Europe: An Analysis of The BrainIT database. Intensive
Care Med 2007.
Munemoto T, Tanaka M, Nagai N. Prolonged Post Hyperventilation Apnea in Two
Young Adults With Hyperventilation Syndrome. Biopsychosocial medicine 2013.

8. Vaskularisasi Jantung
Sirkulasi darah yang kaya oksigen di dalam pembuluh darahnya myocardium adalah
arteri koronari. Arteri Koroner kiri dan kanan berada di permukaan jantung sehingga
dipanggil arteri koroner epikardial. Arteri-arteri ini yang memastikan jantung
menerima vaskularisasi yang cukup. Namun, arteri-arteri tersebut sempit dan kecil
sehingga tidak jarang tersumbat. Arteri-arteri yang biasanya tersumbat adalah
cabang anterior interventricular LCA, RCA dan juga cabang circumflex dari LCA.
Menurut jurnal yang di terbitkan oleh J Am Coll, terjadi oklusi di RCA pada 21 pasien
dari 23 pasien dan 2 sisanya terjadi oklusi di Circumflex artery.

Sumber:

1. http://www.med.umich.edu/lrc/coursepages/m1/anatomy2010/html/car
diovascular_system/heart_case.html
2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3958381

Anda mungkin juga menyukai