Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Vertebra atau tulang belakang dimulai dari kranium hingga apex coccygis, membentuk
skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang kranium, kosta dan
sternum). Columna vertebralis membentuk sekitar 40% tinggi manusia. Columna vertebralis
terdiri dari 24 vertebra prasakral (tujuh vertebra servikalis, dua belas vertebra torakalis dan
lima vertebra lumbalis) serta dua bagian sinostotik, lima Os sakrum dan empat Os coccygis.

Cedera servikal merupakan cedera tulang belakang yang paling sering menimbulkan
kecacatan hingga kematian. Sekitar 10% pasien yang dikirimkan ke Instalasi Gawat Darurat
(IGD) akibat kecelakaan lalu lintas mengalami cedera servikal, baik itu cedera pada tulang
servikal, jaringan penunjang maupun cedera pada saraf spinal servikal.

Diagnosis klinis fraktur servikal dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Setiap pasien yang mengalami trauma tumpul diatas
klavikula, trauma kepala atau didapati penurunan kesadaran harus dicurigai mengalami trauma
servikal. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis trauma
servikal antara lain foto polos konvensional tulang servikal (Rontgen servikal), CT scan
servikal dan MRI. Pemeriksaan penunjang ini dilakukan untuk mengetahui lokasi, bentuk dan
jenis fraktur serta adanya lesi pada medula spinalis. Kolumna spinalis dibagi menjadi 3 bagian
yakni anterior, medial dan posterior.

Pembacaan foto polos konvensional servikal dilakukan untuk menilai Allignment


(kesegarisan tulang), Bone (tulang), Cartilage space (celah sendi) dan Soft tissue (jaringan
lunak). Pemeriksaan konvensional ini masih menjadi pemeriksaan utama dan pertama yang
dilakukan pada kasus curiga cedera servikal. Pemeriksaan CT scan dan MRI dilakukan untuk
mengevaluasi yang lebih detil dan melihat kelainan yang tidak dapat dilihat pada pemeriksaan
konvensional. Diagnosis yang tepat, serta tatalaksana yang cepat dan tepat dapat menentukan
prognosis pasien kearah yang lebih baik.
BAB II

TRAUMA VERTEBRA SERVIKALIS

A. Anatomi
Columna vertebralis membentuk sekitar 40% tinggi manusia. Columna
vertebralis terdiri dari 24 vertebra prasakral (tujuh vertebra servikalis, dua belas
vertebra torakalis dan lima vertebra lumbalis) serta dua bagian sinostotik, lima Os
sakrum dan empat Os coccygis.
Columna vertebralis memiliki lengkung khas yaitu: lordosis servikal (lengkung
konveks ventral), Kifosis thorax (lengkung konveks dorsal), lordosis lumbal (lengkung
konveks ventral) dan kifosis sakral (lengkung konveks dorsal).
Vertebra servikal yang tipikal mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Prosesus transversus mempunyai foramen transversum untuk tempat lewatnya
arteri dan vena vertebralis.
2. Spina kecil dan bifida.
3. Korpus kecil dan lebar dari sisi ke sisi.
4. Foramen vertebra besar dan berbentuk segitiga.
5. Prosesus articularis superior mempunyai fascies yang menghadap ke belakang dan
atas; prosesus atricularis inferior mempunyai facies yang menghadap ke bawah dan
depan.

Vertebra servikalis pertama (C1) atau yang disebut atlas merupakan vertebra
servikalis pertama dari tulang belakang. Atlas bersama dengan aksis (C2) membentuk
sendi yang menghubungkan tengkorak dan tulang belakang yang khusus untuk
memungkinkan berbagai gerakan yang besar. C1 hanya berupa cincin tulang yang
terdiri atas arcus anterior yang tebal dan arcus posterior yang tipis. Tulang ini
berartikulasi dengan kondilus oksipitalis membentuk atrikulasio atlantooksipitalis,
tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Kebawah, tulang ini berartikulasi dengan
C2 membetuk artikulasio atlantoaxialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar
kepala. C1 dan C2 bertugas dalam mengangguk dan rotasi kepala. Vertebra servikalis
ketujuh (C7) disebut prominen karena mempunya prosesus spinosis yang paling
panjang.1
B. Definisi
Fraktur adalah diskontinuitas atau putusnya hubungan tulang akibat tekanan
yang berlebihan pada tulang. Segmen servikal merupakan bagian yang paling mudah
terjadi fraktur karena mudah digerakkan. Cedera servikal mengenai bagian atas medula
spinalis akan berakibat fatal dan merupakan penyebab kematian pada pasien
kecelakaan.
C. Etiologi
Fraktur secara umum dapat terjadi akibat beberapa hal, yaitu:
a. Fraktur akibat trauma
Fraktur dapat terjadi ketika kekuatan yang berlebihan tiba-tiba mengenai suatu
bagian tulang. Kekuatan tersebut dapat berupa pemukulan, penghancuran,
pemuntiran atau penarikan. Bila terdapat tekanan kekuatan yang besar langsung
pada tulang, tulang dapat patah pada tempat yang terkena disertai kerusakan
jaringan lunak disekitarnya.
b. Fraktur akibat tekanan
Jika tekanan yang terkena pada tulang tidak langsung besar, retak dapat terjadi
akibat penekanan berulang. Keadaan seperti ini paling sering ditemukan pada tibia,
fibula atau metatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan
baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologis karena kelemahan tulang
Fraktur dapat terjadi akibat tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
D. Patofisiologi
Menurut black and Matassarin serta Patrick dan Woods,ketika patah tulang akan
terjasi kerusakan di korteks ,pembuluh darah ,sumsum tulang dan jaringan lunak.Akibat
dari hal tersebut terjadilah perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya.
Leadaan ini menimbulan hematom pada keadaan medulla antara tepi tulang dibawah
periosteum dengan jaringan tulang yang mngatasi fraktur.
Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik adalah di tandai
dengan vasodilatsi dari plasma dan leukosit. Ketika terjadi kerusakan pada tulang,
tubuh mulai melakukan proses penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk bisa menyebapkan peningkatan tekanan dalam
sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan lemak tersebut
akan masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ organ lain. Kemudian
hematom tersebut menyebapkan dilatasi di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemdian menstimulasi histamine pada otot yang iskhemik dan menyebapkan
protein plasma hilang dan masuk ke interstisial. Hal ini menyebapkan terjadinya edema.
Edaema yang terbentuk akan menekan ujung saraf ,yang bila berlangsung lama bisa
mnyebapkan syndrome sompartement.
E. Diagnosis
Diagnosis klinik adanya fraktur thorakal didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan enunjang. Kecurigaan yang tinggi akan adanya cederan pada pasien trauma
sangat penting sampai kita mengetahui secara cepat bagaimana mekanisme edera
pasien tersebut.
Adapun metode pemeriksaan foto servikal antara lain:
1. Pada foto anterior posterior garis lateral harus utuh, dan prosesus spinosus
dan bayangan trakea harus pada garis tengah. Di perlukan foto dengan mulut
terbuka untuk memperlihatkan C1 dan C2
2. Foto lateral mencaku ketujuh vertebra cervical dan T1, jika tidak cedera
yang rendah akan terlewatkan. Hitunglah vertebra kalua perlu,periksa ulang
dengan sinar-X sementara menerapkan traksi ke bawah pada lengan. Kurva
lordotik harus di ikuti dan menelusuri gris empat sejajar yang di bentuk oleh
bagian depan vertebra, bagian belakang badan vertebra. Masa lateral dan
dasar- dasar prosesus prosesus spinos setiap ketidak teraturan menunjukan
suatu fraktur atau pergeseran. Ruang interpesona yang terlalu lebar
menunjukan lokasi interior. Dan trakea juga dapat tergeser akibat hematoma
jaringan lunak.
3. Jarang tiang odontoid dan bagian belakang arkus interior pada atlastidak
boleh melebihi 4,5mm(anak-anak) dan 3mm pada dewasa.
4. Untuk menghindari terlewatnya dislokasi tanpa fraktur di perlukan film
lateral pada posisi ekstensi dan fleksi.
5. Pergeseran korpus vertebra kearah depan terhadap korpus fertebra di
bawahnya dapat berarti klinis dislokasi permukaan unilateral jika
pergeseran yang kurang dari setengah lebar korpus vertebra. Untuk hal ini
di perlukan foto oblik untu memperlihatkan sisi yang terkena. Pergeseran
yang lebih dari setengah lebar korpus vertebra tersebut menunjukan
dislokasi bilateral.
6. Lesi yang tidak jelas perlu di lanjutkan pemeriksaan CTscan.
F. Jenis Trauma Vertebra Servikal
a. Berdasarkan Derajat Kestabilan
Klasifikasi fraktur menurut derajat kestabilan dibedakan atas major fraktur, bila
fraktur mengenai pedikel, lamina atau korpus vertebra dan minor fraktur, bila
fraktur terjadi pada prosesus transversus, prosesus spinosus atau prosesus
artikularis.
Stabilitas dalam trauma tulang servikal dimaksudkan tetap utuhnya komponen
ligamen skeletal saat terjadi pergeseram satu segmen tulang leher terhadap tulang
yang lainnya. Suatu fraktur dikatakan stabil jika kolumna vertebralis mampu
menahan beban fisik dan tidak tampak tanda-tanda pergeseran atau deformitas dari
struktur vertebra dan jaringan lunak. Cedera stabil jika hanya mengenai bagian
medula spinalis anterior, komponen vertebra tidak bergeser dengan pergerakan
normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medula spinalis tidak terganggu,
fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh cedera stabil.

b. Berdasarkan Mekanisme Trauma


Mekanisme fraktur paling sering pada utama servikal adalah hiperfreksi .
Trauma hiperfleksi terjadi pada 50-80% trauma. Sering disertai sprain, fraktur
kompresi, dan faset, sublusaksi, maupun dislokasi. Trauma ini menjadi akibat fleksi
dan disertai kompresi pada vertebra. Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk
yang dapat merusak ligament posterior. Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat
menyebabkan kompresi setengah corpus vertebra dan distraksi pada unsur lateral
dan posterior pada sisi sebaliknya. Jika ligament posterior dan pedikulus remuk, lesi
bersifat tidak stabil.
1. Subluksasi Anterior (sprain hiper-flexion)

Terjadi ketika ruptur ligament posterior. Jika kolumna anterior dan media
lintak, fraktur ini tergolong stabil. Fraktur ini terjadi saat pergerakan kepala
kearah depan yang tiba-tiba sehingga terjadi deselerasi kepala kerena tubrukan
atau dorongan pada kepala bagian belakang, terjadi vertebra yang miring
kedepan diatas vertebra yang ada dibawahnya, ligament posterior dapat rusak
dan fraktur ini disebut subluksasi, medulla spinalis mengalami kontusio dalam
waktu singkat, terjadi robekan pada sebagian ligament posterior tulang leher,
ligament longitudinal anterior utuh. Tanda penting pada foto polos didapatkan
subluksasi anterior adlah adanya angulasi ke posterior (kifosis) local pada
tempat kerusakan ligament. Tanda-tanda lainya seperti jarak yang melebar
antara prosesus spinosus/interspinosus, subluksasi sendi apofiseal,
anterolithesis ringan, pelebaran faset, pelebrang ruang antara korpus vertebra
posterior dan faset dibawahnya, jarak diskus anterior menyempit, dan melebar
di posterior, dan bisa disertai dengan fraktur kompresi.

Sprain hiper-flexion
2. Fraktur Korpus Stabil (Simple Wedges Frakture)
Akibatnya cedera fleksi. Fratur kompresi korous vertebra antero
superior. Biasanya mengenai endplate.

Fraktur kompleksi akiba fleksi pada simple wedges fracture (CT scan)

3. Fraktur Korpus tidak Stabil (Unstabel Wedge Frakture)


Akibat cedera flesi tidak stabil terjadi gabungan fraktur kompresi
vertebra anterior korpus dan ligament posterior. Tipe kompresi ini lebih
sering tanpa kerusakan ligamentum spinal namun dapat mengakibatkan
kompresi corpus vertebralis. Sifat fraktur ini adalah tipe tidak stabil. Tetapi
untuk fraktur tipe ini adalah reduksi dengan plastic collar selama 3 minggu
( masa penyembuhan tulang).
4. Dislokasi faset bilateral
Disebabkan oleh fleksi yang ekstrim. Kelainan tidak stabil dan
berhubungan dengan insiden trauma korda spinalis (72% mengalami
quadriplegia). Karakteristik radio logi pada pemeriksaan CT scan posisi
lateral adalah corpus vertebra bergeser ke anterior sejauh 50%
(anterolisthesis). Faset sering terlihat “terkunci”, dislokasi inferior faset
superior, dislokasi faset pada foto oblik,
posterior ligament robek, posterior faset
pada satu atau kedua sisi kehilangan
kestabilannya dengan bangunan sekitar,
tanda hiperfleksi seperti kifosis local,
diskus menyempit, dan prosesus spinosis
tidak rotasi. Jika dislokasi atau fraktur
dislokasi pada C7-Th1 maka posisi ini
sulit dilihat dari posisi foto lateral maka
posisi yang terbaik untuk radiologi adalah
“swimmer projection”.
5. Fraktur fleksi Tear Drop.
Fraktur ini melalui vertebra sisi antero-inferior. Sering terjadi
displacement anterior fragmen. Biasanya berhubungsn dengan fraktur tidak
stabil. Sering pada vertebra servikal C5-C6 (70% kasus), akut, komplit,
permanen quadriplegia (90% kasus), sindroma akut korda anterior seperti
hilangnya rangsang nyeri, temperatur dan rabaan, getaran (sensori
Kolumna posterior).
Pada hasil radiologis melibatkan vertebra dan level atas dari hiperfleksi,
fraktur korpus vertebra dengan fragmen trainguler dari sudut anteroinferior,
korpus vertebra sentral tidak terlalu terlihat tetapi bergeser ke posterior,
subluksasi. Dislokasi faset bilateral.

6. ClayShoveler Fracture
Fraktur pada prosesus spinosus
kareana trauma langsung atau avulsi
ligament. Prosesus spinosus C7 lebih
panjang dan prosesus ini melekat pada
otot. Adanya kontraksi otot akibat
kekerasan yang sifatnya tiba-tiba akan
menyebabkan avulsi prosesus spinosus
yang disebut “clay shoveler’s fracture”.
Fraktur ini termasuk fraktur tipe stabil.
C. Trauma Hiperekstensi

Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering pada leher, pukulan
pada muka atau dahi yang akan memaksa kepala belakang sehingga kepala membentur bagian
atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat merusak atau arkus saraf mungkin
mengalami fraktur.

1. Fraktur Hangman
Terjadi spondylolisthesis tau dislokasi anterior dariC2 (axis)
tehadap C3. Terjadi fraktur bilateral pars interartikularis dan atau
prosesus artikularis (fraktur arkus bilateral). Meskipun tergolong
fraktur tidak stabil, namun jarang menyebabkan cedera spinalis, karena
diameter anteroposterior kanalis spinalis si level ini adalah terbesar, dan
fraktur pada pedikal menyebabkan dekompresi. Jika terjadi dislokasi
faset unilateral atau bilateral pada level C2, fraktur hangman ini tidak
stabil dan tidak memiliki insiden tinggi terjadinya komplikasi
neurologis.
-Tipe 1 (65%): fraktur pada hair-line, C2-C3 diskus normal.
-Tipe 2 (28%): pergeseran C2, pendesakan diskus C2-C3, rupture
ligament, fraktur kompresi C3 anterosuperior.
-Tipe 3 (7%): pergeseran C2, dislokasi interfaset bilateral C2-C3,
instabilitas yang parah.
2. Fraktur Ekstensi Teardrop
Fraktur ini terjadi saat ligament longitudinalis anterior
mendorong fragmen tulang menjauhi sisi inferior vertebra oaleh karena
hiperekstensi mendadak. Fragmen fraktur avulsi. Berbeda dengan
fraktur fleksi teardrop dimana fragmen fraktur yang terjadi oleh karena
kompresi. Fraktur ini berhubungan dengan sindroma korda sentralis
karena menekuknya ligamentum flavus pada kanalis spinalid saat fase
hiperekstensi.
Mekanisme cedera pada cedera jaringan lunak yang terjadi bila
leher tiba-tiba tersentak ke dalam hiperekstensi. Biasanya cedera ini
terjadi setelah tertabrak dari belakang; badan terlempar ke depan dan
kepala tersentak ke belakang. Terdapat ketidaksesuaian mengenai
patologi yang tepat tetapi kemungkinan ligament longitudinal anterior
meregang atau robek dan diskus mungkin juga rusak.
Pasien mengeluh nyeri dan kekakuan pada leher, yang refrakter dan
bertahan selama setahun atau lebih lama. Keadaan ini sering diseratai
dengan gejala lainyang lebih tidak jelas, misalnya nyeri pada kepala,
pusing, depresi, penglihatan kabur dan rasa baal atau paraestesia pada
lengan. Biasanya tidak terdapat tanda-tanda fisik, dan pemeriksaa
dengan sinar-X hanya menperlihatkan perubahan kecil pada postur.
Tidak ada bentuk terapi yang telah terbukti bermanfaat, pasien
diberikan analgetik dan fisioterapi.

D. Fraktur Kompresi Vertikal

1. Fraktur Jefferson
Angka kejadian fraktur pada atlas sekitar 8.8% dari keseluruhan trauma
servikal yang disebabkan olaeh trauma tumpul. Trauma tersebut dapat
terbatas pada arkus anterior 13%, arkus posterior(18%) atau lateral
(25%) dan tergolong stabil. Namun pola trauma yang paling sering
terjadi adalah fraktur kominutif pada C1 dengan garis fraktue bilateral
de lengkung anterior dan posterior. Tanda utama dari trauma ini adalah
kecenderungan massa lateral untuk bergeser ke arah lateral.
Penyebab fraktur ini karena tekanan kompresi malalui kondilus
oksipitalis pada permukaan artikularis superior massa lateral dari C1.
Sehingga menyebabkan displaced dari massa kelateral dan fraktur pada
arkus sisi anterior dan posterior dengan kemungkinan cedera pada
ligament transversal. Pada pemeriksaan radiologi akan didapatkan
gambaran displacement bilateral lateral massa artikularis C1.
Fraktur pada atlas C1 ini terjadi pada kecelakaan jatuh dari ketinggian
dan posisi kepala menopang badan dan daerah cervical mendapat
tekanan hebat. Condylus occipitalis pada basis crani dapat
menghancurkan cicin tulang atlas. Jika tidak ada cedera angulasi dan
rotasi maka pergeseran tidak berat dan medulla spinalis tidak ikut
cedera. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah posisi
antroposterior dengan mulut pasien dalam keadaan terbuka. Lokasi
yang paling sering adalah pada daerah yang paling lemah yaitu pada
cicin vertebra. Fraktur dapat tanpa disertai robekan (tipe A) atau
demgan robekan ligament tranvesun (tipe B).
Fraktur Jefferson ini dapat stabil maupun tidak stabil. Penilaian
tersubur dapat dinilai dari ligament transversus. Apabila fragmen
terpisah dimana pergeseran lateral massa lebih dari 7 mm yang disertai
dengan robekan atau avulsi ligament transversum maka fraktur tersebut
tergolong tidak stabil. Penilaian tersebut dari CT scan transversal.
Tanda lain ketidak stabilan fraktur adalah avulsi dari tuberculum C1
(insersi ligament transversum), fraktur arkus anterior, interval
antlantodental >3mm pada dewasa dan >5mm pada anak-anak.
MRI merupakan modalitas paling sensitive dalam menilai
rupture ligament transversus. MRI dapat menggambarkan rupture dan
avulsi ligament transversum dengan lebih baik. Maka dari itu, MRI
dapat memberikan informasi secara jelas dan tepat untuk menentukan
stabilitas fraktur secara biomekanik pada kasus tersebut. Angka
kejadian trauma multiple pada vertebra servikal tergolong tinggi,
terutama pada atlas.

E. Fraktur Burst (Pergeseran aksial(kompresi))

Fraktur ini sering terjadi pada C3-C7, dimana terjadi diskus yang terkompresi menonjol
pada endplate inferior menyebabkan krpus vertebra keluar. Kekuatan vetikal yang mengenai
segmen lurus pada spina servical atau lumbal akan menimbulkam kompresi aksial. Nukleus
pulposus akan mematahkan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertical pada vertebral;
dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus didorong masuk kedalam badan vertebral,
menyebabkan fraktur remuk (burst fracture). Karena unsur posterior utuh, keadaan ini
didefinisikan sebagai cedera stabil. Fragmen tulang dapat terdorong ke belakang ke dalam
kanalis spinalis dan inilah yang menjadikan fraktur ini berbahaya dan kerusakan neurologic
akibat cedera pada kanalis spinalis sering terjadi.

F. Cedera Korda Spinalis


Terdapat perubahan spectrum pada cedera korda spinalis akut pada MRI, dari
concussion yang tidak terlihat pada pencitraan, edema korda, kontusio hemoramik, dan
hematoma korda sampai transeksi komplit.
1. Concussion Korda Spinalis
Memiki outcome terbaik pada pasien dengan cdera korda spnalis akut, dimana
korda tampak normal pada standard sekuens T1W1 pada MRI. Pada pasien dengan
Concussion korda pada MRI fast spin echo menunjukkan sinyal korda normal da
listhesis vertebra oleh karena dislokasi faset unilateral.
2. Kompresi Korda Spinalisn
Terdapat hubungan langsung antara derajat kompresi korda pada maksimum
dengan derajat deficit neurologis akut yang akan terjadi, perkiraan persen kompresi
dihitung dari perbandingan segmen atas dan bawah dari cedera. Terdapat korelasi
baik dari penilaian antara sekuens T1W1 dan T2W1 meskipun terdapat
kerterbatasan dari gambar T2W1 dari artefak aliran CSF maupun artefak Gibbs.
Derajat kompresi penting dalam penilaian keparahan cedera korda, dan menilai
stenosis kalis spinalis pada tempat cedera untuk menentukan outcome yang
berhubungan dengan prognosis.
3. Edema Korda Spinalis
Edema korda dideteksi hipertens T2 dan iso/hipointens T1 terhadap korda spinalis,
dapat pula disertai dengan pembengkakan korda. Panjang edema korda
berhubungan dengan presentasi neurologi dan outcome pasien, pasien dengan
edema korda spinalis bukan sesuatu yang menetap, dan dapat berubah signifikan
dalam waktu 2 minggu setelah cedera berlangsung, Edema korda menunjukkan
gambar skematik edema korda pada T1W1 dan T2T1 pada MRI.
4. Hematoma Korda Spinalis
Hematoma korda ditunjukkan dengan hipointens sinyal pada intramedular dengan
rim tipis disekitar hipertensiens pada T2W atau T2*W dengan ukuran >4mm.
Adanya perdarahan pada korda spinalis menunjukkan status neurologisnya buruk,
dan pasien akan mengalami cedera korda komplit dan memiliki prognosi yang
buruk. Hematoma korda spinalis pada pemeriksaan MRI dengan potingan sagittal
T2W1 menunjukkan korda smapai dengan level medulla oblongata, dengan
katakter hipointens abnormal pada korda dengan rim tipis sekitar edema.
Sedangkan pada Axial T2W1 GRE menunjukkan hipointens perdarahan, sentral
dari korda.
5. Iskemi Korda Spinalis
DWI (Diffusion-weigted Imaging) telah terbukti pada pencitraan otak lebih sulit
digunakan pada pencitraan korda karena volume jaringan yang lebih kecil, artefak
aliran CSF dan inheren anisotropi dari jaringan korda. Iskemik korda memiliki
karakteristik pada beberapa kasus, yaitu hipertens T2 dan pembesaran korda
spinalis. DWI merupakan teknik yang saat ini hamper tersedia di semua system
MRI.
6. Transeksi Korda Spinalis
Transeksi korda spinalis merupakan cedera terberat dengan karakteristik
disrupsi korda komplit dan hipertens CSF terlihat antar ujung akhir korda yang
cedera pada T2W1. Hal ini merupakan cedera yang jarang dan pada cedera
penetrasi. Pada penetrasi, cedera berat pada korda spnalis sangat mungkin terjadi
dengan tanpa disertai cedera pada tulang yang banyak. Pada pemeriksaan MRI,
transeksi korda pada T1W1 dan T2W1 menunjukkan robekan ligament flavum dan
posterior dura.

BAB III
KESIMPULAN

Trauma pada sevikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, atau pukulan
di kepala. Pada fraktur cervical biasanya ditemukan nyeri leher bagian atas atau
neuralgia. Jenis trauma vertebra antara lain fraktur atlas (C1), pergeseran sendi
atlantoaksial, fraktur kompresi crpus vertebra, fraktur dislokasi, fraktur subluksasi,
dan fraktur vertebra, C7 (prosesus spinosus).
Secara praktis , pada cedera vertebra servikal ibutuhkan foto 3 posisi dari
vertebra servikalis, yaitu posisi anteroposterior (AP), lateral,dan open mouth
odontoid. Doto AP yang adekuat harus menunjukkan vertebra C3-C7, termasuk
corpus vertebra, celah intervertebral, prosesus spinosus harus terlihat jelas.
Pada kasus cedar vertebra servikal, CT scan menunjukkan lebiha efisien waktu
dan lebih sensitive serta signifikan dalam mendeteksi fraktur dari pada foto polos.
Multidetektor CT dapat mengevaluasi anatomi dan patologi tulang karena
menggunakan high resolution multiplanar dan reformasi tiga dimensi dpat
menggambarkan klasifikasi pada pola fraktur dengan diferensiasi antara cedera
stabil dan tidak stabil. CT scan yang dilakukan pada pasien dengan trauma sedang
sampai dengan berat lebih efektif terhadap biaya dari pada foto polos ketika biaya
yang dikeluarkan untuk cedera yang menggambarkan komponen jaringan lunak
pada cedar dan dapat menilai secara obyektif kerusakan pada korda spinalis.

Anda mungkin juga menyukai