Oleh :
Kholifatu Ulfa
NIM : 220170100011043
Fraktur hangman yaitu fraktur pada pedikel C2, dan dapat disertai pula
translokasi anterior korpus C2 (diatas C3). Biasanya fraktur ini terjadi akibat
cidera hiperekstensi leher. Dinamakan Hangman karena sesuai dengan
kelainan yang terjadi pada seseorang yang dihukum gantung dengan simpul
di depan dagu. Fraktur ini jarang menampilkan defisit neurologis mengingat
fraktur menimbulkan pemisahan antara korpus C2 dengan elemen posterior.
Fraktur Hangman dibedakan menjadi tiga tipe :
a. Tipe I merupakan fraktur yang stabil, dimana pergeseran atau angulasi
disini hanya minimal saja, seta cukup diterapi dengan pemasangan collar
neck.
b. Tipe II menunjukkan angulasi dan translasi yang bermakna dan
penanganannya adalah pemasangan jaket Halo.
c. Tipe III adalah fraktur yang menimbulkan dislokasi faset C2 bilateral
dan sangat tidak stabil sehingga untuk kasus ini perlu dioperasi untuk
stabilisasi.
5. Fraktur Teardrop
Suatu fragmen kecil yang mengalami avulsi dari badan vertebra anterior
bagian bawah (cidera fleksi dengan kompresi anterior).
Teknik reduksi tertutup fraktur bertujuan untuk aposisi yang cukup dan kesetaraan
(alignment) tulang yang normal. Penyembuhan tulang memerlukan imobilisasi dan
kontak antara kedua permukaan yang baik, untuk menghindari malunion atau non-
union.
Persiapan Pasien
Prinsip utama penatalaksanaan pasien trauma adalah untuk menyelamatkan
nyawa, sehingga kondisi kegawat daruratan pasien harus ditangani sebagai prioritas
utama. Kondisi airway, breathing dan circulation pasien harus dipertahankan sesuai
dengan advanced trauma life support (ATLS).
Semua pasien trauma memerlukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, dan penilaian
pergerakan bagian tubuh yang mengalami cedera. Inspeksi dilakukan untuk melihat
edema, deformitas, hiperemis, dan penilaian open atau closed fracture. Bagian tubuh
yang luka harus di palpasi untuk menilai nyeri terlokalisir dan gangguan vaskular atau
saraf perifer.
Untuk penilaian pergerakan pasien, sebaiknya tidak menambah nyeri pasien
dengan cara menilai krepitasi tetapi meminta pasien menggerakan ekstremitas secara
volunter dan menilai range of motion serta pergerakan abnormal.
Pemeriksaan x-ray harus dilakukan dengan rule of two yaitu dua lapang pandang (view),
dua sendi, dua ekstremitas, dua luka, dan dua waktu (occasion).
Tindakan reduksi tertutup dapat dilakukan di IGD, namun pasien harus
diberikan sedasi dan pelemas otot terlebih dahulu. Pilihan obat sedasi yang dapat
digunakan untuk reduksi adalah propofol, ketamine, midazolam, dan/atau tambahan
opioid. Sebelum melakukan tindakan, pastikan untuk menjelaskan kepada pasien
mengenai tujuan risiko, dan teknik tindakan. Apabila pasien setuju dan
memberikan informed consent, barulah tindakan boleh dilakukan
Follow Up
Perawatan pasca reduksi tertutup yang harus diperhatikan adalah perkembangan
penyembuhan tulang dan komplikasi yang terjadi. Rontgen secara berkala harus
dilakukan untuk memastikan posisi tulang, dan melakukan koreksi bila diperlukan.
Pasien dengan fraktur dan tindakan reduksi cenderung memerlukan konsultasi jangka
panjang dengan bagian rehabilitasi untuk dapat meningkatkan fungsi (range of
motion dan kekuatan) setelah fraktur sembuh. Pemantauan jangka panjang ini juga dapat
membantu menghindari morbiditas pasca operasi, mengurangi kekakuan di persendian,
dan mempercepat proses penyembuhan.
F. Intervensi dan Implementasi Keperawatan
PRE OPERASI
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Cemas berhubungan dengan krisis situasional
INTRA OPERASI
Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan
Kerusakan intergritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik.
Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur invasif
PK: perdarahan.
PK: syok
POST OPERASI
Resiko aspirasi dengan faktor resiko penurunan kesadaran
Resiko cedera posisi perioperatif dengan faktor resiko gangguan persepsi
sensori karena anestesi.
Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur invasif
Kurang pengetahuan tentang perawatan post operatif berhubungan
dengan kurangnya paparan informasi
1. Dx. Keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri kimia
(proses kanker, diskontinuitas jaringan)
Atmadja, A. S., Sekeon, S. A., & Ngantung, D. J. (2021). Diagnosis and Treatment of
Traumatic Spinal Cord Injury. Jurnal Sinaps, 4(1), 25-35.
Atmadja, A. S., Sekeon, S. A., & Ngantung, D. J. (2021). Diagnosis and Treatment of
Traumatic Spinal Cord Injury. Jurnal Sinaps, 4(1), 25-35.