Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN PADA SDR.

M DENGAN FRAKTUR ODONTOID


ASIA E PRO CLOSED REDUCTION + ODONTOID SCREW DOUBLE SET UP
ATLANTOAXIAL POSTERIOR STABILZATION
PROGRAM PROFESI S1 KEPERAWATAN

Oleh :
Kholifatu Ulfa
NIM : 220170100011043

PROGRAM STUDI PROFESI S1 KEPERAWATAN


DEPARTEMEN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2023
A. Pengertian Fraktur Servikal
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai
ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12
buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus
intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot
ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan
memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai
pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan
mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Fraktur servikal yaitu
suatu kondisi vertebra servikal dimana vertebra atau lebih mengalami fraktur atau
dislokasi, kedua kondisi ini dapat menyebabkan tekanan pada medula spinalis, dan
mengakibatkan disfungsi neurovaskuler.
B. Anatomi Servikal

Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk


skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa
dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf,
menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada
orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12
thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.
Atlas (C1) adalah vertebra servikalis pertama dari tulang belakang. Atlas
bersama dengan Axis (C2) membentuk sendi yang menghubungkan tengkorak dan
tulang belakang dan khusus untuk memungkinkan berbagai gerakan yang lebih besar.
C1 dan C2 bertanggung jawab atas gerakan mengangguk dan rotasi kepala.
Atlas tidak memiliki tubuh. Terdiri dari anterior dan posterior sebuah
lengkungan dan dua massa lateral. Tampak seperti dua cincin. Dua massa lateral
pada kedua sisi lateral menyediakan sebagian besar massa tulang atlas. Foramina
melintang terletak pada aspek lateral. Axis terdiri dari tonjolan tulang besar dan
parsaticularis memisahkan unggulan dari proses artikularis inferior. Prosesus yang
mirip gigi (ondontoid) atau sarang adalah struktur 2 sampai 3 cm corticocancellous
panjang dengan pinggang menyempit dan ujung menebal. Kortikal berasal dari arah
rostral (kearah kepala) dari tubuh vertebra.
C. Jenis Fraktur Servikal
Berikut merupakan beberapa jenis fraktur dan dislokasi area servikal, serta
cidera spinal dibawah leher:
1. Fraktur Jefferson
Merupakan fraktur cincin atlas, biasanya tulang patah pada dua lokasi,
yaitu anterior dan yang lain lateral. Hal ini kebanyakan terjadi karena
pukulan pada kepala didaerah verteks. Bila patahan tulang (bagian lateral)
tampak bergeser lebih dari 7mm pada foto proyeksi frontal, kemungkinan
ligamen transversumnya robek. Konfirmasi tentang cidera ligamentum ini
dipastikan berdasar adanya gerakan abnormal antara odontoid, dan atlas pada
pemeriksaan radiologis. Gejala klinis fraktur atlas biasanya hanya berupa
nyeri lokal. Jarang defisit neurologis.
Penanganan bagi kasus yang terbukti tidak ada cedera ligamen, adalah
pemasangan traksi skeletal saja. Tindakan operasi ditujukan untuk kasus
dengan ligamen ikut cidera. Tindakan operasinya adalah fraksi diantara
oksiput dengan lamina dan pada saat pasca bedah dipasang jaket halo.

(Gambar foto polos fraktur Jefferson)

(Gambar fraktur Jefferson)


2. Fraktur Prosesus Odontoid
Fraktur prosesus odontoid biasanya merupakan akibat trauma hebat pada
kepala di daerah oksiput. Pada awalnya fraktur ini jarang menimbulkan
defisit neurologis. Fraktur prosesus odontoid C2 diklasifikasikan
berdasarkan lokasi anatomis garis frakturnya :
a. Fraktur tipe I
mempunyai garis fraktur pada bagian atas odontoid dekat perletakan
ligamentum alaris, dengan demikian sering kali tampak sebagai suatu
fraktur avulsi.
b. Fraktur tipe II
terjadi pada leher odontoid diaman dens menempel pada korpus C2.
Tindakan operasi stabilisasi fraktur tipe II dilakukan dengan mengikat
lamina C1 dan prosesus spinosus C2, atau memasang klem halifax.
Prosedur alternatif lain yang dapat diterapkandengan memasang sekrup
melalui sumbu tulang ke dalam prosesus odontoid melalui pendekatan
anterolateral dan pemantauan fluroskopi.
c. Fraktur tipe III adalah yang paling sering dijumpai, paling tidak stabil
dan kerap mengalami non – union. Fraktur ini akan pulih hanya dengan
stabilisasi melalui pemasangan traksi servikal
3. Dislokasi Odontoid
Dens dapat mengalami dislokasi sebagai akibat abnormalitas kongenital,
trauma ligamentum krusiatum, proses inflamasi (reumatoid artritis, infeksi
retrofaring) atau pada kasus sindroma down. Jarak normal antara dens dan
cincin anterior atlas pada anak-anak maksimal 5,4mm dan tidak boleh lebih
dari 2,5mm pada dewasa.
Pergeseran yang lebih dari 5mm perlu dicurigai akan adanya robekan
ligamentum alaris, dan bila didiamkan dapat menimbulkan kompresi pada
medula atau di atas foramen magnum. Penanganan yang ideal adalah upaya
mengurangi pergeseran tadi dan melakukan fusi posterior.
4. Fraktur Hangman

Fraktur hangman yaitu fraktur pada pedikel C2, dan dapat disertai pula
translokasi anterior korpus C2 (diatas C3). Biasanya fraktur ini terjadi akibat
cidera hiperekstensi leher. Dinamakan Hangman karena sesuai dengan
kelainan yang terjadi pada seseorang yang dihukum gantung dengan simpul
di depan dagu. Fraktur ini jarang menampilkan defisit neurologis mengingat
fraktur menimbulkan pemisahan antara korpus C2 dengan elemen posterior.
Fraktur Hangman dibedakan menjadi tiga tipe :
a. Tipe I merupakan fraktur yang stabil, dimana pergeseran atau angulasi
disini hanya minimal saja, seta cukup diterapi dengan pemasangan collar
neck.
b. Tipe II menunjukkan angulasi dan translasi yang bermakna dan
penanganannya adalah pemasangan jaket Halo.
c. Tipe III adalah fraktur yang menimbulkan dislokasi faset C2 bilateral
dan sangat tidak stabil sehingga untuk kasus ini perlu dioperasi untuk
stabilisasi.
5. Fraktur Teardrop
Suatu fragmen kecil yang mengalami avulsi dari badan vertebra anterior
bagian bawah (cidera fleksi dengan kompresi anterior).

(Gambar Fraktur Teardrop)

(Gambar Fraktur Teardrop)


6. Fraktur Badan Vertebra
Yaitu fraktur kompresi pada tubuh
7. Fraktur dan Dislokasi Servikal Bawah
Fraktur dan dislokasi servikal bawah diklasifikasikan berdasarkan
kerusakan-kerusakan yang menjadi para korpus dan diskus intervertebralis,
struktur masa bagian lateral (pedikel dan prosesus transverus) atau faset
posterior, lamina, dan prosesus spinosus.
Pergeseran salah satu vetebra ke anterior atau posterior (jarang) terhadap
vertebra lainnya dikatagorikan menjadi :
a. Ringan : bergeser 1 – 3 mm
b. Sedang : bergeser 3 – 5 mm
c. Berat : bergeser > 5 mm
Pergeseran ini diduga terjadi akibat mekanisme hiperekstensi dan kerap
dikaitkan dengan adanya spondilosis yang diderita sebelumnya. Biasanya
subluksasi posterior dapat disertai dengan fraktur avulsi korpus vertebra.
D. Tanda dan Gejala Fraktur Servikal
1. Rasa sakit / nyeri (ringan/parah)- leher
2. Memar – leher
3. Pembengkakan – leher
4. Kekakuan-leher
5. Mati rasa-kaki dan lengan
6. Kelemahan – kaki dan lengan
7. Kekejangan – leher
8. Kesulitan berjalan
9. Gerak terbatas- leher
Yang harus diperhatikan:
a. Nyerin ketika menggerakkan lengan atau tungkai; nyeri bisa bersifat tajam
atau menyebar ke bawah lengan atau tunmgkai
b. Perasaan baal, semutan,lemah, atau panas pada lengan atau tungkai
c. Kelumpuhan pada lengan atau tungkai
d. Perunaghan bentuk, atau posisi yang tidak normal, dariu kepalan dan leher
anak.
Tulang leher dapat patah akibat pukulan yang keras di tengkuk, atau
karena kecelakaan kendaraan bermotor. Pada kecelakaan mobil, yaitu tabrakan
yang keras, korban terlempar ke depan dengan keras. Dan karena dahinya
terbentur kaca depan, maka leher terdongak ke belakang dan patah.
Tanda-tandanya, selain leher yang tertengadah secara berlebihan, juga tangan
dan lengan kehilangan perasaan (tidak bereaksi bila ditusuk). Dan bila korban
masih sadar, ia tidak dapat menggerakkan tangannya.
E. Patofisiologi Fraktur Servikal
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah
kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat
tembakan atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di
bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas
adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal
dan arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya.
Tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio
atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah,
tulang ini beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlanto-axialis, tempat
berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal
atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga
menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada
batang otak. Cedera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak
efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat
terjadi hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang
dapat menyebabkan komplience paru menurun. Pada C4-C7 dapat terjadi
kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh ligamentum
flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari anterior yang bisa
menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia yang
menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan sensorik
motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal,
scalenus, otot2 abdominal. Intak pada diafragma, otot trapezius, dan sebagian
pectoralis mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada
medulla spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang
keras mengenai medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis
masih normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan
inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini
disebut cedera neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan
patologis progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka
akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada
saraf spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai O2
ke medulla spinalis atau akan terjadi ischemik pada jaringan tersebut. Karena
terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau jam
kemudian akan ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang
menyebabkan konstriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis.
Ini merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada cedera medula
spinalis.
KONSEP CLOSED REDUCTION PADA FRAKTUR  

Teknik reduksi tertutup fraktur bertujuan untuk aposisi yang cukup dan kesetaraan
(alignment) tulang yang normal. Penyembuhan tulang memerlukan imobilisasi dan
kontak antara kedua permukaan yang baik, untuk menghindari malunion atau non-
union.
Persiapan Pasien
Prinsip utama penatalaksanaan pasien trauma adalah untuk menyelamatkan
nyawa, sehingga kondisi kegawat daruratan pasien harus ditangani sebagai prioritas
utama. Kondisi airway, breathing dan circulation pasien harus dipertahankan sesuai
dengan advanced trauma life support (ATLS).
Semua pasien trauma memerlukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, dan penilaian
pergerakan bagian tubuh yang mengalami cedera. Inspeksi dilakukan untuk melihat
edema, deformitas, hiperemis, dan penilaian open atau closed  fracture. Bagian tubuh
yang luka harus di palpasi untuk menilai nyeri terlokalisir dan gangguan vaskular atau
saraf perifer.
Untuk penilaian pergerakan pasien, sebaiknya tidak menambah nyeri pasien
dengan cara menilai krepitasi tetapi meminta pasien menggerakan ekstremitas secara
volunter dan menilai range of motion serta pergerakan abnormal.
Pemeriksaan x-ray harus dilakukan dengan rule of two yaitu dua lapang pandang (view),
dua sendi, dua ekstremitas, dua luka, dan dua waktu (occasion).
Tindakan reduksi tertutup dapat dilakukan di IGD, namun pasien harus
diberikan sedasi dan pelemas otot terlebih dahulu. Pilihan obat sedasi yang dapat
digunakan untuk reduksi adalah propofol, ketamine, midazolam, dan/atau tambahan
opioid. Sebelum melakukan tindakan, pastikan untuk menjelaskan kepada pasien
mengenai tujuan risiko, dan teknik tindakan. Apabila pasien setuju dan
memberikan informed consent, barulah tindakan boleh dilakukan
Follow Up
Perawatan pasca reduksi tertutup yang harus diperhatikan adalah perkembangan
penyembuhan tulang dan komplikasi yang terjadi. Rontgen secara berkala harus
dilakukan untuk memastikan posisi tulang, dan melakukan koreksi bila diperlukan.

Follow Up Jangka Pendek

Pemantauan setelah pemasangan bidai harus dilakukan untuk memastikan tidak


terjadi sindrom kompartemen. Perhatikan lima ‘P’ yaitu adanya pain, paralysis,
paraesthesia, pallor, dan perishing cold. Bila terjadi gangguan sirkulasi, tinggikan
ekstremitas dan lepaskan semua alat bidai. Perhatikan juga keutuhan plaster, yaitu
apakah ada robekan atau retakan, terutama di persendian, apakah plaster menghambat
pergerakan, serta apakah plaster terlalu pendek atau terlalu longgar.
Penilaian kesembuhan/penyambungan tulang dilakukan setelah jangka waktu tertentu,
yang berbeda-beda sesuai dengan tulang yang mengalami fraktur. Penilaian dapat
memperhatikan edema, nyeri dan mobilitas. Edema dan nyeri yang persisten adalah
tanda-tanda penyambungan tulang yang tidak sempurna.

Pemeriksaan rontgen juga sebaiknya dilakukan untuk melihat pembentukan


kalus dan memudarnya garis fraktur. Bila union  diragukan, ekstremitas dapat kembali
di fiksasi dan dinilai dalam 4 minggu kedepan.

Follow up Jangka Panjang 

Pasien dengan fraktur dan tindakan reduksi cenderung memerlukan konsultasi jangka
panjang dengan bagian rehabilitasi untuk dapat meningkatkan fungsi (range of
motion dan kekuatan) setelah fraktur sembuh. Pemantauan jangka panjang ini juga dapat
membantu menghindari morbiditas pasca operasi, mengurangi kekakuan di persendian,
dan mempercepat proses penyembuhan.
F. Intervensi dan Implementasi Keperawatan
PRE OPERASI
 Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
 Cemas berhubungan dengan krisis situasional
INTRA OPERASI
 Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan
 Kerusakan intergritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik.
 Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur invasif
 PK: perdarahan.
 PK: syok
POST OPERASI
 Resiko aspirasi dengan faktor resiko penurunan kesadaran
 Resiko cedera posisi perioperatif dengan faktor resiko gangguan persepsi
sensori karena anestesi.
 Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur invasif
 Kurang pengetahuan tentang perawatan post operatif berhubungan
dengan kurangnya paparan informasi
1. Dx. Keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri kimia
(proses kanker, diskontinuitas jaringan)

NOC dan indikator NIC dan aktifitas Rasional

NOC: Kontrol NIC:


1. untuk menentukan
nyeri, setelah dilkukan
a. Manajement intervensi yang sesuai dan
perawatan nyeri ps
nyeri Aktifitas: keefektifan dari therapi
berkurang dg:
yang diberikan
Indikator: 1. Lakukan penilaian
2. Membantu dalam
terhadap nyeri, lokasi,
Ø Menggunakan skala mengidentifikasi derajat
karakteristik
nyerI untuk
dan
mengidentifikasi
faktor-faktor yang
tingkat nyeri
dapat menambah nyeri
2. Amati isyarat non
 Ps menyatakan Verbal tentang ketidaknyamnan
nyeri berkurann. kegelisaan 3. Meningkatka
 Ps mampu 3. Fasilitasi linkungan n
istirahan/tidur. nyaman kenyamanan
 Menggunakan 4. Berikan obat anti sakit 4. Mengurangi nyeri dan
tekhnik non 5. Bantu pasien memungkinkan pasien
farmakologi menemukan posisi untuk mobilisasi tampa
nyaman nyeri
6. Ajarkan penggunaan 5. Peninggin lengan
tehnik tanpa menyebabkan pasie rileks
Pengobatan (ct: 6. Meningkatkan relaksasi
relaksasi, distraksi, dan membantu untuk
massage,guidet menfokuskan perhatian
imageri) sehinga dapat
7. Tekan dada saat latihan meningkatkan sumber
batuk coping
b. Kelola analgetik 7. Memudahkan partisipasi
 Tentukan lokasi, pada aktifitas tampa
karaketristik, kualitas timbul rasa tidak nyaman
c. Terapi relaksasi
d. Manajemen lingkungan
2. Dx. keperawatan: Cemas b.d status kesehatan

NOC dan indikator NIC dan aktifitas Rasional

NOC: kontrol kecemasan NIC: Penurunan


dan coping, setelah
kecemasan Aktifitas:
dilakukan perawatan cemas
1. Mempermudah intervensi
ps hilang atau berkurang dg: 1. Bina Hub. Saling percaya
2. Libatkan keluarga 2. Mengurangi kecemasan
Indikator:
3. Jelaskan semua Prosedur 3. Membantu ps dlam
Ps mampu: 4. Hargai pengetahuan meningkatkan
 Mengungkapkan cara pengetahuan tentang
ps tentang penyakitnya
mengatasi cemas. status kes dan
 Mampu
menggunakan coping
 Dapat tidur
 Mengungkapkan
tidak ada penyebab
fisik yang dapat
menyebabkn cemas
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, A. S., Sekeon, S. A., & Ngantung, D. J. (2021). Diagnosis and Treatment of
Traumatic Spinal Cord Injury. Jurnal Sinaps, 4(1), 25-35.

Wahyudi, L. (2012). Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Post Fraktur Kompresi


Vertebra Servikal V Frenkel A Di RSO Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakrta).

Murtala, Bachtiar. Radiologi Trauma & Emergensi. PT Penerbit IPB Press, 2019.

Atmadja, A. S., Sekeon, S. A., & Ngantung, D. J. (2021). Diagnosis and Treatment of
Traumatic Spinal Cord Injury. Jurnal Sinaps, 4(1), 25-35.

Anda mungkin juga menyukai