Anda di halaman 1dari 33

REFLEKSI KASUS DESEMBER 2018

FRAKTUR DISLOKASI CERVICAL 6-7 FRANKLE A

OLEH :

NAMA : AZIZAH AZHMI AULIA

NIM : N 111 17 021

PEMBIMBING KLINIK

dr. Muh. Ardi Munir M.Kes, Sp.OT, FICS, M.H

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera akut tulang belakang spinal cord merupakan penyebab yang paling
sering dari kecacatan dan kelemahan setetah trauma, karena alasan ini, evaluasi
dan pengobatan pada cedera tulang belakang, spinal cord dan nerve roots
memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal
cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan
manajemen. Penanganan, rehabilitas spinal cord dan kemajuan perkembangan
multidisipliner tim trauma dan perkembangan metode modern dari fusi cervical
dan stabilitas merupakan hal penting harus dikenal masyarakat1.

Fraktur servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma
pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi
dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam,
sepak bola, bersepeda) terkait dengan fraktur servikal. Setiap cedera kepala atau
leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Sebuah fraktur servikal
merupakan suatu keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera.
Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat
mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher
.Insidensi trauma pada laki-laki 5 kali lebih besar dari perempuan3.

Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan


kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja.
Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan
C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3. Berdasarkan hasil penelitian letak trauma
berdasarkan jenis vertebra cervical Spine (55%),thoracic Spine
(15%),thoracolumbar Spine (15%) dan lumbosacral Spine (15%)3.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga. Cedera akut tulang belakang spinal cord merupakan
penyebab yang palingsering dari kecacatan dan kelemahan setetah trauma,
karena alasan ini, evaluasi danpengobatan pada cedera tulang belakang, spinal
cord dan nerve roots memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa dini,
prevervasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas
merupakan kunci keberhasilan manajemen2.
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap
atau kematian2
B. ANATOMI
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk
skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium,
costa dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan
serabut syaraf, menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi
tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian
5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.3

3
4
Tulang belakang servikal terbentuk dari 7 ruas vertebra pertama
dari tulang belakang, yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis.
Dimulai dari bagian bawah skull dan berakhir pada bagian atas torak.
Vertebra servikal terdiri dari C1 sampai C7, sedangkan nervus servikalis
terdiri dari C1 sampai C8. Tulang servikal berbentuk “C” terbalik (lordotic
view) dan lebih mobile dari tulang belakang di daerah torakal dan lumbal.
Vertebra servikalis selain berfungsi melindungi medula spinalis dari
kerusakan, juga menyangga kepala, dan menggerakan kepala rotasi, ke
depan serta ke belakang. Berbeda dengan tulang belakang yang lain, dalam
tulang servikal berjalan arteri vertebralis yang mensuplai darah ke otak,
yang hanya melalui vertebra C1 sampai C63 .
Dua tulang vertebra pertama disebut tulang atlas (C1) dan axis
(C2), berfungsi untuk gerakan rotasi. Tulang atlas (C1) memiliki arkus
anterior yang tebal , arkus posterior yang tipis dengan 2 prominent masses
dan tidak memiliki korpus vertebra. Setiap tulang vertebra memiliki
perbedaan secara anatomis, tetapi secara umum tulang vertebra terdiri atas
bagian anterior yang disebut korpus dan bagian posterior yang disebut
arkus vertebra. Keduanya membentuk foramen vertebrae yang dilalui
medula spinalis. Arkus vertebra terdiri atas sepasang pedicle yang
membentuk sisi arkus dan lamina yang pipih, yang melengkapi arkus
dibagian belakang3
Di antara setiap vertebra terdapat diskus yang terdiri dari pelindung
luar, annulus fibrosus, dan gel didalamnya disebut nukleus pulposus.
Diskus ini berfungsi sebagai bantalan atau peredam dan memungkinkan
pergerakan antara korpus verterbra. Terdapat berkas serat yang kuat
diantara tulang yang disebut ligament longitudinal. Ligamen longitudinal
anterior berjalan di depan korpus vertebra dan ligamen longitudinal
posterior berada di posterior korpus vertebra, di depan medula spinalis4.

5
C. KLASIFIKASI

Jenis fraktur berdasarkan daerah cervical, sebagai berikut:

1. Fraktur Atlas C 1
Fraktur ini terjadi pada kecelakaan jatuh dari ketinggian dan posisi
kepala menopang badan dan daerah cervical mendapat tekanan hebat.
Condylus occipitalis pada basis crani dapat menghancurkan cincin
tulang atlas. Jika tidak ada cedera angulasi dan rotasi maka pergeseran
tidak berat dan medulla spinalis tidak ikut cedera. Pemeriksaan
radiologi yang dilakukan adalah posisi anteroposterior dengan mulut
pasien dalam keadaan terbuka.
Terapi untuk fraktur tipe stabil seperti fraktur atlas ini adalah
immobilisasi cervical dengan collar plaster selama 3 bulan5.
2. Pergeseran C 1 C2 ( Sendi Atlantoaxial)
Atlas dan axis dihubungkan dengan ligamentum tranversalis dari
atlas yang menyilang dibelakang prosesus odontoid pada axis.
Dislokasi sendi atlantoaxial dapat mengakibatkan arthritis
rheumatoid karena adanya perlunakan kemudian akan ada penekanan
ligamentum transversalis.
Fraktur dislokasi termasuk fraktur basis prosesus odontoid.
Umumnya ligamentum tranversalis masih utuh dan prosesus odontoid
pindah dengan atlas dan dapat menekan medulla spinalis. Terapi
untuk fraktur tidak bergeser yaitu imobilisasi vertebra cervical.Terapi
untuk fraktur geser atlantoaxial adalah reduksi dengan traksi
continues.5
3. Fraktur Cervikal (C3-C7)
Tipe fraktur servikal pada segmen ini sangat sering terjadi. Kondisi ini
bersifat cedera stabil maupun tidak stabil yang memberikan
manifestasi klinis berupa defisit neurologis5.

6
4. Flexi Subluksasi Vertebral Cervical
Fraktur ini terjadi saat pergerakan kepala kearah depan yang tiba-
tiba sehingga terjadi deselerasi kepala karena tubrukan atau dorongan
pada kepala bagian belakang, terjadi vertebra yang miring ke
depan diatas vertebra yang ada dibawahnya, ligament posterior
dapat rusak dan fraktur ini disebut subluksasi, medulla spinalis
mengalami kontusio dalam waktu singkat5.
Tindakan yang diberikan untuk fraktur tipe ini adalah ekstensi
cervical dilanjutkan dengan imobilisasi leher terekstensi dengan
collar selama 2 bulan5.
5. Fleksi dislokasi dan fraktur dislokasi cervical
Cedera ini lebih berat dibanding fleksi subluksasi. Mekanisme
terjadinya fraktur hampir sama dengan fleksi subluksasi, posterior
ligamen robek dan posterior pada satu atau kedua sisi kehilangan
kestabilannya dengan bangunan sekitar6.

Mekanisme Trauma

a. Fleksi, trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada
vertebra yang akan merusak ligamen posterior , menyebabkan sifat
fraktur ini tidak stabil.3
b. Fleksi dan kompresi digabungkan dengan distraksi posterior.
Dimana fragmen tulang dan bahan diskus dapat bergeser kedalam
canalis spinalis. Berbeda dengan fraktur kompresi murni, keadaan
ini merupakan cedera tak stabil dengan resiko progresif yang
tinggi.6
c. Rotasi-Fleksi , cedera spina yang paling bahaya adalah akibat
kombinasi fleksi dan rotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang
sampai batas kekuatannya, kemudian dapat robek. Permukaan
sendi dapat mengalami fraktur atau bagian atas dari satu vertebra
dapat terpotong. Akibat dari mekanisme ini adalah dislokasi
kedepan pada vertebra diatas, dengan atau tanpa dibarengi

7
kerusakan tulang. Fraktur dislokasi bersifat tidak stabil dan
menimbulkan kerusakan neurologik6.
d. Translasi horizontal, kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian
atas atau bawah dapat bergeser keanteroposterior atau ke lateral. 6

D. PATOFISIOLOGI

Fraktur vertebra thoraks yang disebabkan oleh trauma baik langsung dan
tidak langsung pada thorakal akan memberikan kerusakan struktural dari
vertebra. Fraktur kompresi dan fraktur-dislokasi biasanya stabil. Akan tetapi,
kanalis spinalis pada segmen torakal relatif sempit sehingga kerusakan korda
sering ditemukan dengan adanya manifestasi defisit neurologis6.
Pada cedera spinal akibat pergeseran struktur dapat merusak korda atau
akar saraf, atau keduanya : paraplegia lesi torakolumbal. Kerusakan dapat
sebagian atau lengkap. Terdapat tiga jenis lesi : gegar corda (neurapraksia),
transeksi korda dan transeksi akar. Gegar corda akan memberikan manifestasi
paralisis motorik (flasid) berupa kehilangan sensorik dan paralisis visceral
dibawah tingkat lesi corda. Transeksi kordaa memberikan kondisi paralisis
motorik, kehilangan sensorik dan paralisis viseral terjadi dibawah tingkat lesi
korda, seperti halnya gegar corda, paralisis motorik mula-mula bersifat flasid.
Keadaan ini merupakan keadaan sementara yang dikenal sebagai syok korda.
Transeksi akar, paralisis motorik, kehilangan sensorik dan paralisis visceral
terjadi pada distribusi akar yang rusak.6 .
Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :

1. Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di


bawah level lesi.
2. Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih
tersisa di bawah level lesi.
3. Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara
tetapi tidak fungsional.

8
4. Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara
dan fungsional.
5. Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit
neurologisnya3.

E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klnik fraktur adalah sebagai berikut:
1. Gangguan motorik
Pada awal kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung
sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam minggu.
Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Apabila lesi
terjadi di mid thorakal maka gangguan refleknya lebih sedikit tetapi
apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot anggota gerak bawah akan
mengalami flacid paralisis. Masa spinal shock berlangsung beberapa jam
bahkan sampai 6 minggu kemudian akan berangsur – angsur pulih dan
menjadi spastik. Cedera pada medula spinalis pada level atas bisa pula
flacid karena disertai kerusakan vaskuler yang dapat menyebabkan
matinya sel – sel saraf 4
2. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya
paraplegic pain dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau
sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami
gangguan. Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami
anaesthes, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
3. Gangguan bladder dan bowel4
Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medula
spinalis, derajat kerusakan medula spinalis, dan waktu setelah terjadinya
injury. Paralisis bladder terjadi pada hari-hari pertama setelah injury
selama periode spinal shock. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-
ototnya hilang. Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan
pasif incontinensia. Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik

9
membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasii
otot spincter internus4.
4. Gangguan fungsi seksual
a. Gangguan seksual pada pria
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau
beberapa hari setelah cidera. Seluruh bagian dari fungsi sexual
mengalami gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi
sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi3.
b. Gangguan seksual pada wanita
Gangguan siklus menstruasi banyak terjadi pada wanita dengan lesi
komplit atau tidak komplit. Gangguan ini dapat terjadi untuk beberapa
bulan atau lebih dari setahun. Terkadang siklus menstruasinya akan
kembali normal3.
Manifestasi klinis berdasarkan lokasi cidera
a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku
yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan
fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis),
paralisis kaki
f. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
g. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut

10
h. Cauda equina
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri
dan usually pain and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan
bladder
i. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total4

F. DIAGNOSIS
Adanya trauma servikal dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik berupa :
spinal shock (paresis flaksid, areflexia, hilangnya tonus sfingter anus,
inkontinensia alvi, priapismus), neurogenic shock (hipotensi, bradikardi
paradoksikal, flushed, kering dan hangat pada kulit), disfungsi otonom (ileus,
retensi urin, poikilotermi). Trauma servikal yang mengenai medula spinalis
dapat berupa lesi yang komplit atau inkomplit 2
Pemeriksaan radiologi diperlukan pada pasien dengan defisit neurologis
yang konsisten dengan lesi medula spinalis, pasien dengan perubahan
kesadaran karena trauma kepala atau intoksikasi, pasien dengan keluhan nyeri
leher, pasien tanpa keluhan nyeri leher tetapi dengan trauma signifikan
disekitarnya. Pemeriksaan radiologis standar yang dilakukan adalah rontgen
servikal anteroposterior, cross-table lateral, open-mouth odontoid view, bila
diperlukan rontgen servikal swimmer’s, dan bilateral oblique 2

G.

Gambar 3. AP, Lateral, odontoid, Swimmer’s view

11
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
a. Foto Polos Vertebra. Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-
kelainan yang melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis dan
jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral,
dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan
Lateral.
b. CT-scan Vertebra. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan jaringan lunak,
struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. CT-Scan
merupakan pilihan utama untuk mendeteksi cedera fraktur pada tulang
belakang.
c. MRI (Magnetic Resonance imaging) Vertebra. MRI dapat memperlihatkan
seluruh struktur internal medula spinalis dalam sekali pemeriksaan 2

I. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan awal
Pasien dengan fraktur servikal biasanya memiliki beberapa trauma,
sehingga perlu dilakukan stabilisasi segera di tempat kejadian.
Penatalaksanaan pertama cedera servikal berdasarkan prinsip umum ATLS
(advanced trauma life support) yaitu evaluasi awal berdasarkan primary
survey ABCD (airway and C-spine control, breathing and ventilatory,
circulation and stop bleeding, disability and environment). Bila airway tidak
adekuat, perlu dilakukan intubasi tanpa menggerakkan kepala (C-spine
protection). Evaluasi dan assesmen berulang diperlukan pada pasien dengan
trauma kepala dan karena pasien dengan kesadaran menurun tidak dapat
mengetahui adanya nyeri pada leher. Bila stabil dilanjutkan ke secondary
survey (head to toe examination)3
Manajemen awal pasien dengan cedera servikal dimulai di tempat
kejadian. Perhatian utama selama penatalaksanaan awal adalah adanya
gangguan fungsi neurologi karena gerakan yang patologis (trauma).
Diperkirakan 3% sampai 25% trauma medula spinalis terjadi saat awal

12
trauma, saat transit atau pada saat penatalaksanaannya. Telah dilaporkan
beberapa kasus dengan outcome yang buruk karena kesalahan penanganan
cedera servikal3
Stabilisasi tulang belakang, manajemen hemodinamik dan gangguan
otonom sangat penting pada trauma akut. Prinsip khusus penatalaksanaan
cedera servikal adalah reposisi/realignment, imobilisasi, dan fiksasi tulang
belakang sesuai indikasi. Semua pasien dengan cedera servikal atau yang
potensial untuk cedera servikal, harus dilakukan imobilisasi sampai dieksklusi
adanya trauma servikal. Bila terdapat kecurigaan trauma, stabilisasi kepala dan
leher secara manual atau dengan collar. Beberapa alat yang direkomendasikan
American College of Surgeons dapat digunakan untuk imobilisasi pre-hospital
adalah hard backboard, rigid cervical collar, dan pita pengikat. Imobilisasi ini
dapat mengurangi gerakan sehingga menurunkan morbiditas, karena gerakan
patologis (trauma) pada servikal menyebabkan kerusakan pada medula
spinalis atau radiks saraf. Teknik imobilisasi dan penanganan pasien pre-
hospital yaitu tulang belakang harus dilindungi selama manajemen pasien
dengan trauma multipel. Posisi ideal adalah imobilisasi seluruh tulang
belakang posisi netral dengan permukaan yang keras. Dapat dilakukan secara
manual, servikal collar semi rigid, side head support dan pengikat. Pindahkan
pasien secara hati-hati menggunakan logroll technique untuk mencegah
displacement ke arah lateral. Papan spine direkomendasikan, juga dapat
digunakan bantal, head blocks. Traksi untuk mendapatkan dan
mempertahankan alignment yang baik, imobilisasi eksternal untuk stabilisasi
sementara dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder4
Sasaran jangka panjang adalah penanganan komplikasi gastrointestinal
(ileus, konstipasi), genitourinarius (urinary tract infection, hidronefrosis),
dermatologi (dekubitus), dan muskuloskeletal (fraktur, nyeri akut dan kronis).
5

b. Traksi dan imobilisasi


Pada fraktur sevikal dengan malalignment, sebelum terapi definitif,
dilakukan pemasangan servikal traksi dengan Crutchfield traction atau Halo

13
Tong Traction dengan beban sesuai dengan level kerusakan segmen
servikalnya. Halo vest sering digunakan sebagai alat definitf eksternal fiksasi
untuk cedera spinal servikal. Philadelphia collar bersifat semi rigid, sintetik
foam brace dimana pada dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi
membebaskan rotasi6.
c. Medikamentosa
Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal adalah golongan
kortikosteroid. Steroid berfungsi memperbaiki cedera medula spinalis dan
diberikan pada 8 jam pertama setelah cedera. Methylprednisolon dapat
menurunkan respon inflamasi dengan menekan migrasi
polymorphonuclear (PMN) dan menghambat peningkatan permeabilitas
vaskular. Dosis yang diberikan 30 mg/kgbb intravena dalam 15 menit
pertama diikuti 45 menit berikutnya dengan dosis 5,4 mg/kgbb/jam selama
23 jam4.
d. Bedah
Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena
deformitas tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan
dekompresi. Tujuan terapi awal adalah untuk dekompresi medula spinalis
dengan memperbaiki diameter sagital normal dari kolumna vertebralis.
Berkurangnya dislokasi baik parsial atau komplit juga akan mengurangi
nyeri. Dislokasi yang disertai instabilitas tulang belakang memerlukan
tindakan reposisi dan stabilisasi4.
Pembedahan darurat dilakukan bila terdapat gangguan neurologis
progresif akibat penekanan dan pada luka tembus. Pembedahan akan
mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit tetapi tidak harus dilakukan
sebagai tindakan darurat. Pasien dengan kompresi sekunder dari herniasi
diskus akibat trauma harus segera didekompresi. Cedera medula spinalis
akibat osteofit, penebalan ligamen flavum, atau stenosis tidak memerlukan
operasi segera. Terdapat 3 indikasi utama untuk melakukan tindakan
operasi yaitu untuk dekompresi elemen saraf, koreksi deformitas, dan
stabilisasi segmen 5

14
Gambar 6. Gambaran radiologis fraktur cervical
Imaging Cervical trauma

Gambar 7. Gambaran radiologis fraktur cervical


Imaging Cervical trauma

e. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya
komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke
masyarakat. Tim rehabilitasi yang diperlukan terdiri dari dokter (ahli
bedah saraf, ahli bedah tulang), perawat, fisioterapis, petugas sosial,
psikolog, ahli terapi kerja3.
Program rehabilitasi dapat dibagi 2 tahap. Tahap pertama pada fase
akut yaitu semasa pasien dalam pengobatan yang intensif, terutama
dikerjakan oleh perawat dan fisioterapis. Tindakan yang dilakukan pada
tahap ini adalah latihan, masase, memelihara jalan nafas, merawat
gangguan miksi dan defekasi. Tahap kedua adalah rehabilitasi jangka

15
panjang dengan tujuan mengembalikan penderita kembali ke masyarakat,
yang meliputi menyiapkan keadaan mental penderita agar tetap dapat
berkarya walaupun cacat, edukasi pada penderita dan keluarga tentang
perawatan di rumah, latihan cara makan, berpakaian, miksi dan defekasi,
latihan menggunakan alat bantu, alih pekerjaan sesuai dengan kondisi
penderita.3
 Terapi fisik dilakukan untuk pemulihan ROM (range of motion) dan
meningkatkan kemampuan mobilitas. Hal terpenting adalah memperkuat
otot ekstremitas atas, juga menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh.
Otot ekstremitas atas biasanya lebih parah dari ekstremitas bawah, maka
pasien akan kesulitan untuk menggunakan alat bantu berjalan yang
membutuhkan bantuan tangan.3

16
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas pasien
Nama : Tn. A
Umur : 45 Tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Tanggal masuk : 20 November 2018
Ruangan : Teratai
Alamat : Jl. Tombolotutu

ANAMNESIS
Keluhan Utama : kedua kaki tidak bisa digerakkan dan mati rasa
Anamnesis Terpimpin :
Pasien rujukan rumah sakit Suaka Insan Banjarmasin masuk rumah sakit
dengan keluhan lemas seluruh badan dan tidak bisa menggerakkan kedua kaki
sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengatakan bahwa pada Tanggal 1 agustus 2018
pasien dijatuhi buah kelapa sawit dengan berat 30 kg saat sedang panen, dimana
buah menimpah kepala pasien dan lehernya, pada saat itu pasien tidak sadarkan
diri dan dibawa ke rumah sakit Suaka Insan di Banjarmasin. Pasien masih dapat
berkomunikasi dengan baik dan ingat kejadian, pasien mengeluh tidak dapat
menggerakkan kedua kaki, pasien mengeluh kedua tungkainya pun mati rasa dari
dada hingga telapak kaki. Keluhan tersebut dirasakan bersamaan dengan
kelumpuhan pada kedua kaki. pasien tidak ada riwayat mual (-), muntah (-),
demam (-), BAB dan BAK Biasa.
Riwayat penyakit sebelumnya:
Pasien riwayat Post operasi Laminectomy dan Posterior Stabilisasi di rumah
sakit Suaka Insan Banjarmasin 6 Agustus 2018.

17
Riwayat penyakit dalam keluarga :
Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes mellitus atau alergi dalam keluarga,
tidak ada anggota keluarga yang mengeluh hal serupa.
Anamnesis Sistem :

 Sistem serebrospinal : kedua kaki tidak dapat digerakkan dan mati


rasa
 Sistem kardiovaskular : tidak ada keluhan
 Sistem respirasi : tidak ada keluhan
 Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
 Sistem musculoskletal : tidak ada keluhan
 Sistem integumentum : tidak ada keluhan
 Sistem urogenital : tidak ada keluhan

STATUS GENERALISATA

Keadaan umum : Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 140/100 mmhg Pernafasan : 21x/menit

Nadi : 92x/menit Suhu : 36,4C

PEMERIKSAAN FISIK

Kepala : Normocephali

Konjungtiva :Anemis +/+, sklera ikterik -/-

Pupil : isokor +/+

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening -/-

18
Thoraks

Paru-paru

Inspeksi : pergerakan simetris bilateral, tidak ada jejas

Palpasi : vocal fremitus sama bilateral

Perkusi : sonor +/+

Auskultasi : bunyi nafas vesikuler +/+, Rh-/-, wh-/-

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V midclavicula sinistra

Perkusi : redup

Auskultasi : bunyi jantung S1/S2 reguler

Abdomen

Inspeksi : bentuk kesan cembung

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Perkusi : timpani diseluruh kuadran abdomen

Palpasi : nyeri tekan epigastrium(+),ginjal teraba +/+, hepar dan lien tidak
teraba

Ekstremitas

Superior : akral hangat +/+, edema -/-

Inferior : akral hangat +/+, edema +/+

19
Pemeriksaan tambahan :

Pemeriksaan Neurologis :

a. Sistem Motorik
1. Kekuatan Otot :
Ekstremitas Dextra Sinistra
atas 4 4
bawah 0 0

2. Myotome
Spinal Level Myotome
C5 Shoulder abduction N
C6 Elbow extension N
Wrist extensors
C7 Elbow extensor -
And wrist flexion
C8 Finger flexion and -
thumb extension
T1 Finger abduction -

3. Refleks
a) Biceps : Normal
b) Triceps : Tidak Normal
b. Sistem Sensorik
Pemeriksaan sensorik mengalami gangguan setinggi T5, dimana pasien
tidak merasakan adanya setntuhan mulai dari telapak kaki sampai setinggi
payudara. Serta pada tangan bagian medial ekstremitas atas kehilangan
sensasi sensibilitas.

20
Pemeriksaan Lokalis

Look : kulit kemerahan pada bagian punggung bawah pasien

Feel : nyeri tekan pada area lesi

Move : Kelemahan pada ektremitas atas dan kelumpuhan pada ekstremitas bawah

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium : tanggal 20/11/2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Darah rutin :

Leukosit 19,5 103/ul 4,5-13

Eritrosit 4,47 106/ul 3,8-5,2

Hemoglobin 11,6 g/dl 12,8-16,8

Hematokrit 35,9 % 35-47

Trombosit 340 103/ul 154-442

Clothing Time 9 menit 4-12

Bleeding Time 2 menit 1-4

Glucose Sewaktu 145 mg/dl 80-199

Ureum 26 mg/dl 18-55

Creatinin 0,97 mg/dl 0,70-1,30

Kimia klinik: Non reaktif

HbsAg

21
Foto lumbosacral 2/8/2018)

Kesan : tampak para lumbal muscle spasme

CT-Scan Servico Thorakal (2/8/2018)

22
Kesan :Multiple Level Servical fractur pada C5-C6 bilateral Interfacetal
Dislocation kesan Cord Injury

Resume

Pasien laki-laki umur 45 tahun rujukan rumah sakit Suaka Insan


Banjarmasin masuk rumah sakit dengan keluhan paraplegia (+) sejak 3 bulan yang
lalu, pasien mengatakan bahwa pada Tanggal 1 agustus 2018 pasien dijatuhi buah
kelapa sawit dengan berat 30 kg saat sedang panen, dimana buah menimpah
kepala pasien dan lehernya. Pasien riwayat Post operasi Laminectomy dan
Posterior Stabilisasi di rumah sakit Suaka Insan Banjarmasin 6 Agustus 2018.
Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos Mentis, tekanan darah : 140/100
mmhg, pernafasan : 21x/menit, Nadi: 92x/menit,Suhu : 36,4C.

Pada pemeriksaan motorik pasien didapatkan kekuatan otot pasien pada


ekstremitas atas dextra 4, sinistra 4, ekstremitas bawah dextra o, sinistra o. Pada
pemeriksaan motorik didapatkan pasien tidak mampu menggerakkan kedua
kakinya, dan tidak mampu untuk mengektensikan siku dan fleksikan tangan. Pada
pemeriksaan refleks didapatkan refleks biceps normal dan refleks triceps tidak
ada. (Tidak ada refleks). Pada pemeriksaan sensorik pasian tidak merasakan
sensasi sentuhan dan nyeri mulai dari dada setinggi payudara sampai telapak kaki,
serta bagian lateral dari ekstremitas atas pasien.

Diagnosa : Fraktur Disloc Cervical C6-7 Frankle A post laminectomy + disability


posterior + Paraplegia.

Penatalaksanaan :

Medikamentosa :

- Ivfd RL 20 tpm
- Ceftriaxon 1 gr/12 jam
- Ranitidin 50mg/12jam
- Neurodex 2 x 1

23
Non Medikamentosa

- Operasi dekompresi laminektomi dan stabilisasi posterior

24
Foto kontrol 8/8/2018

Kesan : tampak terpasang internal fixasi pada cervical 5- thorakal 1 dengan posisi
baik.

Follow up

Hari/
tangg Subjektif objektif assesment penanganan
al
Pasien mengeluh TD: 140/80 Fraktur - Ivfd RL 20 tpm
nyeri pada bagian N: 84x/m Disloc - Ceftriaxon 1
belakang, susah R: 18x/m Cervical C6- gr/12 jam
buang air besar sejak S: 36,6°C 7 Frankle A - Ranitidin
21/11
1 minggu, BAK post 50mg/12jam
/2018
lancar, lemas laminectomy - Neurodex 2 x 1
seluruh tubuh + disability
posterior +
Paraplegia.
Sakit kepala, TD: 130/80 Fraktur - Ivfd RL 20 tpm
Mengeluh sesak N: 81x/m Disloc - Ceftriaxon 1
nafas, susah BAB, R: 24x/m Cervical C6- gr/12 jam
BAK biasa. S: 37,2 °C 7 Frankle A - Ranitidin
22/9/
post 50mg/12jam
2018
laminectomy - Neurodex 2 x 1
+ disability
posterior +
Paraplegia.
Mengeluh sesak TD: 120/70 Fraktur - Ivfd RL 20 tpm
23/9/ nafas, susah BAB, N: 78x/m Disloc - Ceftriaxon 1
2018 BAK biasa R: 20x/m Cervical C6- gr/12 jam
S: 36,6 °C 7 Frankle A - Ranitidin

25
post 50mg/12jam
laminectomy - Neurodex 2 x 1
+ disability -
posterior +
Paraplegia
Mengeluh sesak Fraktur - - Ivfd RL 20 tpm
nafas, susah BAB, TD: 120/70 Disloc - Ceftriaxon 1
BAK biasa N: 78x/m Cervical C6- gr/12 jam
R: 20x/m 7 Frankle A - Ranitidin
24/9/
S: 36,5 °C post 50mg/12jam
2018
laminectomy - Neurodex 2 x 1
+ disability
posterior +
Paraplegia
Mengeluh sesak TD: 110/80 Fraktur - Ivfd RL 20 tpm
nafas, susah BAB, N: 80x/m Disloc - Ceftriaxon 1
BAK biasa R: 20x/m Cervical C6- gr/12 jam
S: 36,5 °C 7 Frankle A - Ranitidin
25/9/
post 50mg/12jam
2018
laminectomy - Neurodex 2 x 1
+ disability
posterior +
Paraplegia

26
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien laki-laki umur 45 tahun. Pasien laki-laki umur 45 tahun rujukan


rumah sakit Suaka Insan Banjarmasin masuk rumah sakit dengan keluhan
paraplegia (+) sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengatakan bahwa pada Tanggal 1
agustus 2018 pasien dijatuhi buah kelapa sawit dengan berat 30 kg saat sedang
panen, dimana buah menimpah kepala pasien dan lehernya. Pasien riwayat Post
operasi Laminectomy dan Posterior Stabilisasi di rumah sakit Suaka Insan
Banjarmasin 6 Agustus 2018. Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos
Mentis, tekanan darah : 140/100 mmhg, pernafasan : 21x/menit, Nadi:
92x/menit,Suhu : 36,4C.

Pada pemeriksaan motorik pasien didapatkan kekuatan otot pasien pada


ekstremitas atas dextra 4, sinistra 4, ekstremitas bawah dextra o, sinistra o. Pada
pemeriksaan motorik didapatkan pasien tidak mampu menggerakkan kedua
kakinya, dan tidak mampu untuk mengektensikan siku dan memfleksikan tangan.
Pada pemeriksaan refleks didapatkan refleks biceps normal dan refleks triceps
tidak ada. (Tidak ada refleks). Pada pemeriksaan sensorik pasian tidak merasakan
sensasi sentuhan dan nyeri mulai dari dada setinggi payudara sampai telapak kaki,
serta bagian medial dari ekstremitas atas pasien.

Pada cedera medulla spinalis dapat didapatkan keluhan berupa kelemahan,


kelumpuhan, kesemutan, kehilangan refleks pada bagian tubuh yang
persarafannya terganggu akibat adanya lesi pada medulla spinalis pada segmen
tersebut. Cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi dua berdasarkan
etiologinya yaitu cedera medulla spinalis traumatik dan non traumatik.

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis(2):


1. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis. Definisi cedera medula spinalis

27
traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam
defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board
of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal
Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur,
dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
2. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera
medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik,
penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.

Cedera Medula Spinalis


Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke
susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh
tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris,
gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan
dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun
permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut
sebagai cedera medula spinalis.

Ada beberapa manifestasi lesi traumatik pada medulla spinalis,


diantaranya :

1. Komosio medulla spinalis


Suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis hilang sementara akibat
suatu trauma dengan atau tanpa disertai dislokasi atau fraktur. Sembuh
sempurna tanpa gejala sisa. Kerusakan yang mendasarinya berupa edema,
perdarahan perivascular kecil dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada
inspeksi makroskopis tidak ada kelainan.

28
2. Kontusio medulla spinalis
Merupakan gangguan fisiologis dengan kerusakan makroskopis dan
mikroskopis medulla spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan, perubahan
neuron, reaksi peradangan.
3. Laserasio medulla spinalis
Terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas medulla spinalis.
Biasanya akibat luka tembak, luka bacok, fraktur/ dislokasi.
4. Kompresi medulla spinalis
Dapat terjadi akibat dislokasi vertebrae atau perdarahan epidural subdural.
Gambaran klinisnya nyeri radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi
akibat kompresi pada radiks saraf tepi.
5. Hemiseksi medulla spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak/ bacok pada medulla spinalis.
Gambaran klinisnya merupakan sindrom brown sequard yaitu setinggi lesi
terdapat kelumpuhan LMN ipsilatera pada otot- otot yang disarafi oleh
motorneuron yang terkena hemiseksi.
6. Transeksi medulla spinalis
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal
maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak, yaitu :
a. Semua gerak otot pada bagian dibawah lesi akan hilang fungsinya
secara mendadak dan menetap
b. Semua sensibilitas daerah dibawah lesi kan menghilang
c. Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan
hilang

penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian


berikut seperti:
- Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum
posterior)
- Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
- Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

29
- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi,
seperti disfagia)

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level


dan completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan
neurologis lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir
dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan
klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai
dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat.
Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya
preservasi dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis, termasuk
pada segmen sakral yang paling rendah. Penilaian tingkat dan komplit atau
tidaknya suatu cedera medula spinalis memungkinkan prognosa untuk dibuat. Jika
lesi yang terjadi adalah komplit, kemungkinan penyembuhan jauh lebih kecil
dibandingkan dengan lesi inkomplit. Menurut ASIA (American Spinal Injury
Association) klasifikasi dari lesi yaitu :

a. Complete : Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai


segmen S4-S5
b. Incomplete : fungsi sensorik normal tapi fungsi motorik terganggu
sampai segmen S4-S5
c. Incomplete : fungsi motorik di bawah level terganggu, tapi otot-otot
motorik utama masih punya kekuatan < 3
d. Incomplete : fungsi motorik di bawah level terganggu, tapi otot-otot
motorik utama masih punya kekuatan > 3
e. Normal : fungsi motorik dan sensorik normal

Berdasarakan pada data- data tersebut diatas, maka pada pasien ini
didapatkan keluhan kelumpuhan dan mati rasa pada kedua kaki termasuk dalam
level komplet (frankle A) , dengan diawali dengan adanya trauma medulla
spinalis. Trauma medulla spinalis pada kasus ini diakibatkan oleh adanya

30
kompresi pada tulang vertebrae cervikal 5 dan cervikal 6. Kompresi pada kasus
ini menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis yang jenisnya adalah transeksi
medulla spinalis, karena adanya gejala yang sesuai dengan lesi jenis ini yaitu
hilangnya kemampuan motorik dibawah tingkat lesi, hilangnya sensasi sensorik
dibawah tingkat lesi, dan hilangnya semua refleks dibawah tingkat lesi. Pada
kasus ini karena lesi berada pada segmen vertebrae cervikal 5 dan cervikal 6,
maka terjadi gangguan pada fungsi neurologis dibawah tingkat lesinya yaitu
kelumpuhan pada kedua kaki dan pada lengan tidak mampu untuk
mengekstensikan kedua siku, serta hilangnya fungsi sensorik pada kedua kaki
setinggi dada sampai telapak kaki.
Pada pasien ini telah dilakukan tindakan dekompresi laminektomi dan
stabilisasi posterior pada tulang spinalis. Dekompresi laminektomi adalah
tindakan pembedahan dengan cara mengurangi penekanan pada lamina agar gejala
yang ditimbulkan karena stenosis spinal berkurang dan tidak terjadi lagi. Ada lima
tindakan dekompresi, yaitu: diskektomi (membuang diskus), flavektpmi
(membuang ligamentum flavum), laminektomi (membuang sebagian atau seluruh
lamina), foraminatomi (membebaskan foramen syaraf), dan facetektomi
(membuang sendi facet).

Gambar 1.1 Dekompresi Laminectomy

31
Gambar 1.2 Disabilitasi Posterior

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Noor, Zairin. 2012. Gangguan Muskuloskeletal. Salemba Medika . Jakarta


2. Fenstermaker RA. 2015. Acute Neurologic Management of the Patient with
Spinal Cord Injury. Urologic Clinic of NorthAmerica 20:413-421.
3. Alexander R, Proctor H. Advanced Trauma Life Support Course for
Physicians. 2014; 21-22.
4. Patel Pradip R. Lecture Notes Radiologi, Edisi kedua. Jakarta : Erlangga.
2007
5. Florian, et al. 2018. From ISNCSCI to outcomes: Exploring topics in injury
and dysfunction of the spinal cord. The Journal of Spinal Cord Medicine.
http://www.tandfonline.com/loi/yscm20. Viewed 16 desember 2018.
6. De Jong. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.

33

Anda mungkin juga menyukai