Anda di halaman 1dari 53

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nya lah saya dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di RSUD Karawang, mengenai ALERGI DAN
IMUNOLOGI THT.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi. Namun
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan dan bimbingan semua pihak, sehingga kendala - kendala yang penulis hadapi dapat
teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada Dr. H. Yuswandi Affandi, Sp.THT dan Dr. M. Ivan Djajalaga, M.Kes, Sp.THT-
KL sebagai dokter pembimbing dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan THT-KL ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya dan para pembaca pada umumnya. Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
diharapkan dari para pembaca.


Karawang, 13 Januari 2013


Calvindra Leenesa, S.ked


2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.1
DAFTAR ISI2
BAB I PENDAHULUAN3
BAB II TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN5
BAB III ALERGI DAN IMUNOLOGI.28
BAB IV KASUS BAGIAN THT BERKAITAN DENGAN ALERGI DAN IMUNOLOGI.......31
BAB V KESIMPULAN.51
DAFTAR PUSTAKA52








3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Telinga, hidung dan tenggorokan dihubungkan satu sama lain oleh saluran yang dinamakan
saluran Eustachian tube. Oleh karena itu infeksi pada hidung dapat menyebar ke tenggorokan.

Biasanya telinga tidak memerlukan banyak perawatan. Kotoran telinga yang menumpuk pada
telinga bagian luar mengandung zat yang dapat membunuh bakteria dan mencegah infeksi. Ingat,
jangan memasukkan benda tajam ke dalam telinga karena dapat merusak gendang telinga dan
menyebabkan ketulian. Untuk membersihkan kotoran telinga yang menumpuk, gunakan sediaan
yang dapat dibeli di apotek. Jika telinga terasa tersumbat, periksakan ke dokter untuk
mendapatkan perawatan yang cukup. Jika kita sedang bepergian dengan kapal terbang, telinga
kadang-kadang merasa tidak enak. Hal ini disebabkan karena bagian dalam tidak sama dengan
tekanan pada telinga bagian luar. Keadaan ini menyebabkan telinga terasa tidak enak dan sakit
sampai telinga mengeluarkan bunyi pop dan tekanan menjadi seimbang. Untuk mencegah
tekanan yang berlainan, coba hisap permen atau menelan pada waktu kapal terbang meninggi
atau turun. Cara lain, anda dapat menekan hidung dari ke dua lubang hidung dan hembuskan
sampai telinga berbunyi. Hindari bepergian dengan kapal terbang jika anda sedang flu atau sakit
tenggorokan karena akan meningkatkan ketidakseimbangan tekanan pada telinga.

Pencegahan Gangguan Pendengaran/Kehilangan Pendengaran Pendengaran setiap orang
makin menurun dengan bertambahnya usia. Salah satu faktor penyebab adalah seringnya
terpapar suara keras dari lingkungan/sekeliling. Suara diukur dengan desibel. Lebih keras suara,
lebih tinggi desibelnya. Kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh suara keras yang
menyerang telinga bagian dalam akan sulit diperbaiki. Lebih keras suara, lebih cepat
menyebabkan kerusakan telinga yang tidak dapat diperbaiki. Hindari sedapat mungkin berada di
lingkungan dengan suara sangat keras. Jika anda bekerja di lingkungan yang selalu ada suara
4

keras, kenakan sumbatan telinga atau alat pembantu bicara (ear phone) untuk menjaga kesehatan
telinga anda. Diperkirakan paparan yang terus menerus terhadap suara yang keras (diatas 90
desibel) dapat merusak pendengaran. Suara yang terus menerus terdengar di telinga merupakan
tanda kerusakan pada telinga bagian dalam. Kondisi ini disebut Tinitus.
Sistem imun atau sistem pertahanan tubuh yang sangat unik. Sistem ini menjaga manusia
untuk dapat bertahan ditengah kepungan mikroba. Sistem imun merupakan salah satu sistem
yang menetukan tingkat kesehatan seseorang. Sistem imun juga dipengaruhi oleh makanan,
aktivitas, dan tingkat stres.
1.2.Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membantu memahami dasar-dasar imunologi
untuk kemudian mengembangkannya dan bersama dengan penyakit telinga, hidung dan
tenggorokan, sehingga kita dapat menggunakannya untuk peningkatan kesehatan masyarakat.










5

BAB II
TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Telinga

Anatomi telinga dibagi atas telinga luar,telinga tengah,telinga dalam:
1,2,3,5
Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran tympani. Telinga
luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun telinga terdiri
dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S,
dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang
telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan
rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari
tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut,
kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi
kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat
lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen (minyak telinga).
Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi.

Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal Telinga
1,2,3
6

Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
Batas luar : Membran timpani
Batas depan : Tuba eustachius
Batas Bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )
Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkap
bundar (round window) dan promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran
Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya berlapis
dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi
ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut umbo.
Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang
menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam 4
kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus
pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan
serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani.
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar
kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling
7

berhubungan . Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada
inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria yang
tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot
kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara. maleus,
inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang
disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga
tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

Membran Timpani
1,2,3

Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba
auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane
tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan.
Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk
mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka
dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan
yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran tympani.
Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
8

Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap.
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah
bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi
perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membrane vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane
basalis. Pada membran ini terletak organ corti.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria,
dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar
dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.

Gambar labirin bagian membrane labirin bagian tulang, Telinga Dalam
1,2,3,5


Koklea
Bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia panjangnya
35mm. koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi sumbunya. Sumbu
ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam koklea
bagian tulang dibagi dua oleh dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri dari lamina
spiralis ossea. Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, lamina spiralis membranasea.
Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi : skala vestibule (bagian atas) dan skala
timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea. Tempat ini dinamakan
helicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra ovale dan skala timpani berakhir pada
fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina spiralis membranasea kearah perifer atas,
9

terdapat membrane yang dinamakan membrane reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini,
terbentuk saluran yang dibatasi oleh:
1. membrane reissner bagian atas
2. lamina spiralis membranasea bagian bawah
3. dinding luar koklea
Saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane yang berisi
endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum spiralis.disini, terdapat stria vaskularis,
tempat terbentuknya endolimf.
Didalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada membarana basilaris
(lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya membrane basilaris dari basis koklea
sampai keatas bertambah dan lamina spiralis ossea berkurang. Nada dengan frekuensi tinggi
berpengaruh pada basis koklea. Sebaliknya nada rendah berpengaruh dibagian atas (ujung) dari
koklea.
Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane tektoria.
Membrane ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan alat persepsi pada alat
korti. Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang mengandung
rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimf.
Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus reunions.
Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani menimbulkan penonjolan
pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium.
Vestibulum
Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang juga berisi perilimf.
Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale) yang berhubungan dengan
membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam vestibulum,
terdapat gelembung-gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus. Gelembung-
gelembung sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama lain dengan perantaraan duktus
utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus yang berakhir pada suatu
10

lilpatan dari duramater, yang terletak pada bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini
dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu.
Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel penunjang
yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli. Sedangkan pada utrikulus,
dinamakan macula utrikuli.
Kanalis semisirkularisanlis
Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak lurus satu sama
lain. didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran yang terbenam dalam perilimf.
Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan antrum mastoideum dan tampak sebagai
tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis horizontalis (lateralis).
Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania media dan
tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia arkuata. Kanalis
semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis semi sirkularis superior. Kedua ujung yang
tidak melebar dari kedua kanalis semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan bermuara pada
vestibulum sebagai krus komunis.
Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis semisirkularis ossea.
Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis
membranasea terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat sel-
sel persepsi. Bagian ini dinamakan ampulla.
Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya pada Krista ampularis
yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari sel persepsi ini mengenai organ
yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla sehingga dapat
menutup seluruh ampulla.
Fisiologi pendengaran
1,2,3,4,5
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
11

pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi
pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area
39-40) di lobus temporalis.


Fisiologi Pendengaran
1,4
2.2. Anatomi dan fisiologi hidung
Anatomi hidung

Anatomi hidung
12

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang
tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol
pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga
bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah
kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang
mudah digerakkan.
6
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks
disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu
dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian
tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela
dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan
dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela
adalah nares anterior atau nostril(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi
oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.
6
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum
disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh
septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,
disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.
6
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang
13

terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah
konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema
dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus
media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.
6
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus
frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus.
6
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar
diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis
dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap cavum nasi
adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa
olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf
khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina cribriformis os frontale
dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.
6
Perdarahan hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
6
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
14

3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis
eksterna.

Sistem Vaskularisasi Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh
truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernesus.




15

Persarafan hidung

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang
maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus
memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus
etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis
anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri
etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang
nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain
memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut
parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan
sedikit diatas ujung posterior konkha media.
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.


16

Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat
digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius
berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara
inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6
mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS. Fungsi hidung
terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara,
(3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut
membantuproses bicara,(7) Reflek nasal.
7

Sistem Mukosiliar
Histologi mukosa
6
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml.
Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari
palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina
propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.

Histologi mukosa hidung
Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada
vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis
semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia.
Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian
17

apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia.
Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal
merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau
kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk
lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak
11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah
mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan
memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia
menutupi 2/3 posterior kavum nasi.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada
tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia terbentuk dari dua
mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-
masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan
jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke)
dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia
bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke).
Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah
menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase.
ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya.
Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang
diduga neksin.
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m dan diameternya 0,1
m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia
18

atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah
tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia
merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini
membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian
mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding
dengan sel epitel gepeng.
Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan
perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih
kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan
superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada
cairan perisiliar dibawahnya.
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan
berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian
besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini.
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini
yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan
bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah,
gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut
lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang
dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya
pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial
yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura
1994).

19

Membrana basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah
lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril
retikulin.
Lamina propria
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas
empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan
media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini
terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan
saraf.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih
tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya.
Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui
ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut
lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi
mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan
mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia
yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase),
dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan
imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu
serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus
20

gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang
terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah
posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi
mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini
tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus
mukosa dan menimbulkan penyakit.
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus
dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus
komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral,
dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara
progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan
15 hingga 20 mm/menit.
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada
segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar
1 hingga 20 mm/menit.
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan
sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,
kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.
Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus
sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring.
Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.
Pemeriksaan fungsi mukosiliar
Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan
menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti
sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid
sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon,
bismuth trioxide.
21

Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini telah
dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974dan sampai sekarang banyak dipakai untuk
pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa
dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin.
Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan 1 cm di
belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara
periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai
sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai
waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna
dapat dilihat di orofaring.
Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit (1994) mendapatkan waktu
transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita sinusitis, waktu
transportasi mukosiliar adalah 16,6 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan nilai rata-rata
adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian mendapatkan nilai normal pada kontrol
adalah 7,61 menit untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria.
2.3. Anatomi dan fisiologi tenggorokan
Anatomi Tenggorokan
8
Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring
dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan
dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.


Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di
depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi
terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus fasialis.
Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi
bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.


Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal
prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk
22

olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah
belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.


Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan
terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan
cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar
submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot
lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher.
Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-
saraf penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada
kelenjar parotis.


Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring adalah suatu
kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit
dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus
setinggivertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui
koana,ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan
laring dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan
esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih empat belas
centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring
dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).


Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,
kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring
membuka kearah depan hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa
atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustachius kartilaginosa terdapat didepan lekukan
yangdisebut fosa rosenmuller. Otot tensor velipalatini, merupakan otot yang menegangkan
palatum dan membuka tuba eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.


Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal
dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arcus
faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari arkus faring posterior
23

disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian
posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus.


Vaskularisasi
8
Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal
daricabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang palatine
superior.


Persarafan
8
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.
Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis.
Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar
untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang
n.glossofaringeus.


Kelenjar Getah Bening
8
Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu superior,media dan inferior.
Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening
servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar
getah bening servikal dalam bawah.

Berdasarkan letak, faring dibagi atas:
Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid
pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi
mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui
oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena
jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.
9
24


Anatomi faring dan struktur sekitarnya
Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.
9

a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot
posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan
n.vagus.
9
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu
ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan
merupakan kapsul yang sebena-benarnya.
9


25

c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.
9

Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual
yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil
biasanya melekat pada dasar lidah.
9
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam
kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan.
9

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil
a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
9

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
9
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat
meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.
9

Laringofaring (hipofaring)
9
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis
berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan)
26

dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat
muara esofagus.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-
kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)
ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar
dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
2
Nervus
laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini
penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.

Fisiologi Tenggorokan
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan untuk
artikulasi.
8
Proses menelan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring
secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya
bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah:
pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum
mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan
laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi.
27

Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui
orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus
dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan
otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan
melalui esofagus dan masuk ke lambung.
9
Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.
Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan
m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring
superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole
ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh
tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama
m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan
ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.
9
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada
pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan
dengan gerakan palatum.
9







28

BAB III
ALERGI DAN IMUNOLOGI

3.1. Sistem Imunitas Tubuh
10, 11, 12, 13

Yang dimaksudkan dengan sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan
tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya
yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Berbagai bahan organik
dan anorganik, baik yang hidup maupun yang mati asal hewan, tumbuhan, jamur, bakteri, virus,
parasit, berbagai debu dalam polusi, uap, asap dan lain-lain iritan, ditemukan dalam lingkungan
hidup sehingga setiap saat bahan-bahan tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan
berbagai penyakit bahkan kerusakan jaringan. Selain itu, sel tubuh yang menjadi tua dan sel yang
bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diingini dan perlu disingkirkan.
Kemampuan tubuh untuk menyingkirkan bahan asing yang masuk ke dalam tubuh
tergantung dari kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen
yang terdapat pada permukaan bahan asing tersebut dan kemampuan untuk melakukan reaksi
yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki oleh komponen-komponen
sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh tubuh,
misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limpa, timus, sistem saluran nafas, saluran
cerna dan organ-organ lain. Sel-sel yang terdapat dalam jaringan ini berasal dari sel induk dalam
sumsum tulang yang berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, kemudian beredar dalam tubuh
melalui darah, sistem limfatik, serta organ limfoid yang terdiri dari timus dan sumsum
tulang (organ limfoid primer ), dan limpa, kelenjar limfe dan mukosa ( organ limfoid
sekunder ), dan dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan
fungsi masing-masing.



29

3.2. Pembagian Sistem Imun
Terdapat 2 sistem imun yaitu sistem imun nonspesifik dan spesifik yang mempunyai
kerja sama yang erat dan yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain, sistem imun ini
semuanya terdiri dari bermacam-macam sel leukosit ( sel darah putih ).
a. Sistem imun nonspesifik, disebut demikian karena telah ada dan berfungsi sejak lahir dan
merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme,
serta dapat memberikan respon langsung terhadap antigen. Sel-selnya terdiri dari sel makrofag,
sel NK ( Natural Killer ) dan sel mediator.
b. Sistem imun spesifik, membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum
dapat memberikan responnya atau dengan kata lain sistem ini dapat menghancurkan benda asing
yang berbahaya bagi tubuh yang sudah dikenal sebelumnya ( spesifik ). Sel-selnya terdiri dari
sel-sel limfosit T dan B.
Sistem imun spesifik terdiri dari sel limfosit , merupakan kunci pengontrol sistem imun.
Sebetulnya sistem ini dapat bekerja sendiri tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Terdapat 2
macam yaitu: sistem imun spesifik humoral ( sel B ), menghasilkan antibodi yang berfungsi
sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler virus dan bakteri, sedangkan sistem imun
spesifik seluler ( sel T ) untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur,
parasit dan keganasan.
3.3. Lintas Arus Sel Limfosit
Sel limfosit berdiferensiasi dan menjadi matang di organ limfoid primer untuk kemudian
masuk dalam sirkulasi darah. Sel B diproduksi dan menjadi matang dalam sumsum tulang
sebelum masuk dalam darah dan organ limfoid sekunder. Prekusor sel T meninggalkan sumsum
tulang, menjadi matang dalam timus sebelum bermigrasi ke organ limfoid sekunder.
Limfosit yang sudah ada dalam organ limfoid sekunder tidak tinggal di sana, tetapi
bergerak dari organ limfoid yang satu ke organ limfoid yang lain, saluran dalam sistem limfatik
dan darah ( GAMBAR ). Dari sirkulasi limfosit memasuki organ limfoid sekunder atau rongga-
rongga organ dan kelenjar limfe. Resirkulasi tersebut terjadi terus menerus. Keuntungan dari
resirkulasi limfosit tersebut ialah bahwa sewaktu terjadi infeksi alamiah, akan banyak limfosit
berpapasan dengan antigen asal mikroorganisme. Keuntungan lain dari resirkulasi limfosit ialah
30

bahwa bila ada organ limfoid misalnya limpa yang defisit limfosit karena infeksi, radiasi atau
trauma, limfosit dari jaringan limfoid lainnya melalui sirkulasi akan dapat dikerahkan ke dalam
organ limfoid tersebut dengan mudah. Hanya iradiasi yang mengenai seluruh tubuh akan dapat
menghentikan pertumbuhan sel sistem imun seluruhnya.
Pada keadaan normal ada lintas arus limfosit aktif terus menerus melalui kelenjar limfe,
tetapi bila ada antigen masuk, arus limfosit dalam kelenjar limfe akan berhenti sementara. Sel
yang spesifik terhadap antigen ditahan dalam kelenjar limfe untuk menghadapi antigen tersebut
dan hal ini akan menimbulkan kelenjar bengkak yang sering terjadi pada infeksi.
3.4. Sitokin atau Interleukin
Pada reaksi imunologik banyak substansi yang bekerja serupa hormon yang
dilepaskan oleh sel leukosit, yang berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur respon
imunologi lokal maupun sistemik terhadap rangsangan dari luar. Substansi tersebut secara umum
dikenal dengan nama sitokin, yang kemudian pada tahun 1979 nama yang disepakati adalah
interleukin ( IL ) yang berarti adanya komunikasi antar sel leukosit.
Sitokin yang diproduksi dan bekerja sebagai mediator pada imunitas nonspesifik
misalnya IFN ( interferon ), TNF ( Tumor Necrotic Faktor ) dan IL-1 sedang yang lainnya
terutama berperanan pada imunitas spesifik. Pada yang akhir sitokin bekerja sebagai pengotrol
aktivasi, proliferasi dan diferensiasi sel. Produksi sel sistem imun dikontrol oleh sitokin yang
juga mengatur hematopoiesis yang secara kolektif disebut Colony Stimulating Factor ( CSF ).
Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam komunikasi interseluler yang sangat
poten. Dewasa ini lebih dari 100 jenis sitokin yang sudah diketahui.





31

BAB IV
KASUS BAGIAN THT BERKAITAN DENGAN ALERGI DAN
IMUNOLOGI

4.1. Rinitis Alergi
14, 15, 16

Pengertian rinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis
alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati, Kasakeyan,
Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.


32

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et al,
2001).
Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau,
serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
ikan dan udang.
33


Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan
lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.

Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini,
Coico, Sunshine, 2000).
34

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk
ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding
sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-
CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel
goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
35

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel
goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang
tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat
berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
36

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara
atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan
tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan
yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008).
Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis
(Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda
hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung
akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat
dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.
37

Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk
edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda
pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia
submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus
dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah,
kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5
kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,
dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
38

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap
di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain
itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung
tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna
pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat
adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.
Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya
seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE
total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya.
39

Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut
diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu
lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam
2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif).
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat
kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil
diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa,
budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).
40

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung
lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel
inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel,
hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif, terutama pada
anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia
sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan
menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas
sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
4.2. Tonsilitis
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang mengandung sel
limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B danT
pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem
imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen
presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan
41

sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
42

Dua fungsi utama tonsil; menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai
organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Kartika, 2008).
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua
sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi.
Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh
melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi
untuk membantu melawan infeksi (Edgren, 2002). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5
cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal
sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri
atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan
jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid) (Kartika, 2008). Lokasi tonsil sangat
memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid.
Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun (Amarudin, 2007).
Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang
menetap (Chan, 2009). Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut
yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap
untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut
kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan (Colman, 2001).
43

Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik diperlukan untuk menegakkan diagnosa penyakit
ini. Pada Tonsilitis Kronis tonsil dapat terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk
menentukan diagnosa seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar limfe, dan
bertambahnya jumlah kripta pada tonsil (Brodsky, 2006).
Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara aerogen yaitu
droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke
tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan (Farokah, 2003).
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna (Colman, 2001).
Pada pendera Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta hemolitikus
grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C,
Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes (Boeis, 1989). Penelitian Abdulrahman AS,
Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil
adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela
(Abdulrahman, 2008).
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan bakteri gram
positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian
diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan
kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli
(Suyitno dan Sadeli, 1995).
44

Determinan pada penderita Tonsilitis Kronis
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun
lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis. Pada
penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara
relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis (Kvestad, 2005).
a. Umur
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit
yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia
kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas (Edgren, 2004).
Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis
adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % (Hannafort, 2004). Sedangkan Kisve
pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %)
pada kelompok usia 5-14 tahun (Kisve, 2009).
b. Jenis Kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657 data
penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%) (Sing,
2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita
Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin
wanita (Awan , 2009).
45

c. Suku
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang dilakukan
di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%, Malay
25%, Iban 20%, dan Chinese 14% (Sing, 2007)
Patologi
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh
semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman
dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun
(Farokah, 2003).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula (Rusmarjono, 2006).
Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi
Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak
tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa
kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil
(Undaya, 1999)
46

Gejala klinis
Gejala klinis Tonsilitis Kronis yaitu: 1) Sangkut menelan. Dalam penelitiaa mengenai
aspek epidemiologi faringitis mendapatkan dari 63 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 41,3%
diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan utama (Timbo, 1998). 2) Bau mulut
(halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta tonsil. Pada penelitian tahun 2007 di Sao
Paulo Brazil, mendapatkan keluhan utama halitosis atau bau mulut pada penderita Tonsilitis
Kronis didapati terdapat pada 27% penderita (Dalrio, 2007). 3) Sulit menelan dan sengau pada
malam hari (bila tonsil membesar dan menyumbat jalan nafas) (Dhingra, 2008; Shnayder, 2008).
4) Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5) Butiran putih pada tonsil (Brodsky, 2006).
Pemeriksaan
Dari pemeriksaan dapat dijumpai:
Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di tengah.Standart untuk
pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio
tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri.
T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil, T1: <25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4: >75%
(Brodsky, 2006). Sedangkan menurut Thane dan Cody menbagi pembesaran tonsil atas T1: batas
medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior uvula. T2: batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula. T3: batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula. T4: batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih (Cody, 1993)
47

Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil (Dhingra, 2008)
Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju
(Dhingra, 2008).
Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, merupakan tanda
penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil (Dhingra, 2008).
Dari hasil penelitian yang melihat hubungan antara tanda klinis dengan hasil pemeriksaan
histopatologis dilaporkan bahwa tanda klinis pada Tonsilitis Kronis yang sering muncul adalah
kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami
perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan
pembesaran kelenjar limfe submandibula (Primara, 1999). Disebutkan dalam penelitian lain
bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan
yang menurun, palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya
hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran
kelenjar limfe jugulodigastrik maka diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan (Dass, 1988).
Untuk menegakkan diagnosa penyakit Tonsilitis Kronis terutama didapatkan berdasarkan hasil
anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik yang didapatkan dari penderita (Kurien, 2000).
48

Pemeriksaan penunjang; Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan
mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen
disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat
(Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan
tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan
tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak
dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta
hemolitikus diukuti Staflokokus aureus ( Kurien, 2000).
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480 spesimen
tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang
infiltrasi limfosit, adanya Ugras abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal
tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa
Tonsilitis Kronis (Ugras, 2008).
49


50

Penatalaksanaan; Medikamentosa, yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian
antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin
dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis) (Adam, 1997; Lee, 2008).
Operatif, dengan tindakan tonsilektomi (Adam, 1997; Lee, 2008). Pada penelitian Khasanov et al
mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa
sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari
penderita mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi (Khasanov et al, 2006).
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner terhadap 15.788
penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah
itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%)
penderita dirujuk ke rumah sakit ( Hannaford, 2005).











51

BAB V
KESIMPULAN

Respon imun terjadi sebagai akibat peristiwa yang menyangkut antigen, limfosit,
antibodi, limfokin, mediator kimia & sel efektor untuk melindungi manusia dari bahan-bahan
asing yang merugikan serta menyingkirkan jaringan mati atau rusak.
Tujuan utama respon imun adalah; demi kebaikan manusia, namun kadang-kadang terjadi
penyimpangan fungsi karena kelebihan & kekurangan reaksinya. Kekurangan menyebabkan
mudah infeksi & ketidakmampuan tubuh menghilangkan bahan berbahaya. Kelebihan dapat
terjadi proses peradangan yang tidak diperlukan dan memicu penyakit autoimun.









52

DAFTAR PUSTAKA
1. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran Akibat
Obat ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala &
Leher.Edisi IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2007,halaman 9-15,53-56.
2. Anatomi fisiologi telinga. Available from : http://arispurnomo.com/anatomi-fisiologi-
telinga
3. Telinga : Pendengaran dan sistem vestibular. Available from :
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://webschoolsoluti
ons.com/patts/systems/ear.htm
4. Adams,G.L.1997.Obat-obatan ototoksik.Dalam:Boies,Buku Ajar Penyakit
THT,hal.129.EGC,Jakarta.
5. Andrianto,Petrus.1986.Penyakit Telinga,Hidung dan Tenggorokan,75-
76.EGC,Jakarta
6. Anatomi dan fisiologi hidung. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
7. Anatomi dan fisiologi system pernapasan. Available from :
http://fraxawant.wordpress.com/2008/07/16/anatomi-dan-fisiologi-sistem-pernapasan/
8. Difteri. Available from http://www.scribd.com/doc/44244704/Refrat-Difteri-Sari
9. Difteri tonsil. Available from http://www.scribd.com/doc/36494895/difteri-tonsil
10. Husband,A.J.1995. The immune system and integrated homeostasis. Immunology
and Cell Biologi, 73:377-382.
11. Roit, I.M.1991. Essential Immunology, 7nd ed. Blackwell Scientific Publication.
London.
12. Suriasumantri, J,S. 1998. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar
Harapan.
13. Tizard, I. 1992. Veterinary Immunology, 4
th
ed. Saunder College Publishing.
Philadelphia.
14. Wallace DV, Dykewicz MS, Bernstein DI, Blessing-Moore J, Cox L, Khan DA, et al.
The diagnosis and management of rhinitis: an updated practice parameter. J Allergy
Clin Immunol. 2008 Aug:122(2).
53

15. Frew AJ. Allergen immunotherapy. J Allergy Clin Immunol. 2010 Feb;125(2 Suppl
2):S306-13.
16. Greiner AN, Hellings PW, Rotiroti G, Scadding GK. Allergic rhinitis. Lancet.
2011;378(9809):2112-2122.

Anda mungkin juga menyukai