Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi jamur pada liang telinga luar (otomikosis) dapat menyebabkan reaksi radang.
Gejala pada otomikosis biasanya berupa gatal dan rasa penuh di liang telinga, tetapi sering
juga tanpa keluhan. Rasa gatal yang ditimbulkan menyebabkan penderita merasa ingin
menggaruk bagian dalam telinganya, yang dapat menyebabkan laserasi hingga terjadi
infeksi.1,2
Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen.3
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Gejalanya
antara lain hidung gatal, bersin, rinore, dan hidung tersumbat yang reversibel secara spontan
maupun dengan pengobatan.2
Faringitis merupakan peradangan pada dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, trauma, toksin, dan lain-lain. Faringitis kronik memiliki dua bentuk yaitu faringitis
kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi radang kronik yaitu
rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minuman beralkohol, inhalasi uap yang
merangsang mukosa faring, dan debu. Faktor lainnya adalah jika pasien sering bernapas
dengan mulut karena hidung tersumbat.2

Refluks gastroesofagus didefinisikan sebagai aliran retrograd isi lambung ke dalam


esofagus. Penyakit refluks gastroesofagus disebut sebagai refluks gastroesofagus patologik
atau refluks gastro esofagus simtomatik, merupakan kondisi kronik dan berulang, sehingga
menimbulkan perubahan patologik pada traktus aerodigestif atas dan organ lain diluar
esofagus.2
Manifestasi klinis PRGE di luar esofagus didefinisikan sebagai Refluks Ekstra Esofagus
(REE). Istilah Refluks Laringo Faring (RLF) adalah REE yang menimbulkan penyakit-
penyakit oral, faring, laring, dan paru. Pasien REE akibat PRGE sering datang ke ahli THT
dengan keluhan tenggorok rasa nyeri dan kering, rasa panas di pipi, sensasi ada yang
menyumbat (globus sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.

1
Diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan gangguan suara yang datang berobat ke dokter
THT diakibatkan oleh RLF.2

1.2 Maksud Penulis

Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan pembaca mengenai otomikosis, rhinitis
alergi, faringitis kronik, dan Laryngopharyngeal Reflux (LPR). Dengan harapan pembaca dapat
mengerti dan memahami seluk beluk dan perjalanan penyakit ini berdasarkan teori dan
membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di lapangan.

1.3 Tujuan Penulis


Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD Tarakan Jakarta.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telinga
2.1.1 Anatomi Telinga
Telinga adalah alat indra/panca indra yang memiliki fungsi untuk mendengar
suara yang ada di sekitar kita sehingga kita dapat mengetahui/ mengidentifikasi apa yang
terjadi di sekitar kita tanpa harus melihatnya dengan mata kepala kita sendiri. Orang yang tidak
bisa mendengar atau terdapat gangguan pada pendengaranya disebut tuli. Telinga manusia
terdiri atas tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga bagian dalam.2

Gambar. 1. Anatomi Telinga Manusia 1

Telinga Luar (Outer Ear)

Telinga bagian luar terdiri atas daun telinga (aurikula) dan liang telinga sampai
membran timpani. Rangka daun telinga ini terdiri dari tulang rawan elastik dan kulit yang
berfungsi untuk mengumpulkan getaran suara menuju saluran telinga luar. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan 1/3 bagian luar dengan rangka tulang rawan dan 2/3 bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjang liang telinga luar ini ±2,5-3 cm. Bagian ini
dipisahkan dari cavitas timpani oleh membrana tympanica, bagian ini dilapisi oleh kulit
yang dilengkapi glandula sebasea dan glandula seruminosa (modifikasi kelenjar apokrin

3
dengan menghasilkan serumen), dengan mempunyai fungsi sebagai resonator gelombang.
Serumen dan rambut telinga ini dapat mencegah masuknya benda asing ke dalam
telinga.2

Membran Timpani
Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars
tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah
lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti
epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan serat elastin yang berjalan secara radier di
bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.2
Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad
antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dan antrum mastoid. 1
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai
umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada
pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pada pukul 5 untuk membran timpani kanan.
Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran
timpani..2
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-belakang, untuk
menyatakan letak perforasi membran timpani.2

4
Gambar. 2. Membran Timpani 4

Telinga Tengah (Middle Ear)


Telinga bagian tengah ini dibatasi dan dimulai dari membran timpani (gendang
telinga) yang didalamnya terdapat rongga kecil berisi udara yang terdiri atas tulang-
tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan) dan stapes
(sanggurdi).

Telinga tengah berbentuk kubus dengan :

Batas luar : Membran timpani

Batas depan : Tuba Eustachius

Batas bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)

Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.

Batas atas : Tegmen timpani (meningen/otak)

Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan
promontorium.2

5
Gambar 3.Batas-batas Telinga Tengah.2

Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api.1
Kavum timpani terdapat tulang-tulang pendengaran, terbagi atas malleus
(hammer/martil), inkus (anvil/landasan), stapes (stirrup/pelana). Tulang pendengaran di
dalam telinga tengah saling berhubungan. Prossesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes
melekat pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-
tulang pendengaran merupakan persendian.1

Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal.
Atap mastoid adalah fosa kranii media. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad
antrum yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.1

Tuba eustachius.
Tuba eustachius seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan
kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm
berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak dibawah 9 bulan
adalah 17,5 mm.1

6
Fungsi Tuba Eustakhius adalah ventilasi, drenase sekret dan menghalangi masuknya
sekret dari nasofaring ke telinga tengah. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan di
telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. 1

Telinga Dalam (Inner Ear)

Bagian dalam telinga ini terdapat organ pendengaran yang terdiri atas koklea
(rumah siput) dan organ keseimbangan (vestibuler) yang terdiri atas kanalis semi
sirkularis, sakulus dan ultrikulus.2

Koklea ini terdiri atas dua ruangan atau saluran, canal vestibular bagian atas dan
canal timpanik pada bagian bawah. Kedua ruangan tersebut berisikan cairan perilimfe
dan dibatasi oleh duktus koklea. Sedangkan duktus koklea berisikan cairan endolimfe.
Pada bagian dasar duktus koklea inilah terdapat reseptor pendengaran yang disebut
dengan organ corti.2

Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus, dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel
rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh
silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan
berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya
dari otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada
reseptor. Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang
yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada
utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai satu ujung yang melebar membentuk
ampula dan mengandung sel-sel rambut Krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu
kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan
kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut Krista dan
merangsang sel reseptor.2

7
Gambar. 4. Koklea 4

2.1.2 Fisiologi dan Mekanisme Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan
tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan
melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan
gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area
39-40) di lobus temporalis.2

Ada lima langkah dalam proses mendengar, yaitu4 :

 Hantaran udara : sepanjang telinga luar sampai membrane timpani


 Hantaran tulang : sepanjang telinga tengah sampai telinga dalam
 Hantaran air : sampai Organ Corti
 Hantaran saraf : menuju otak
 Interpretasi : oleh otak

8
Gambar. 5. Mekanisme Pendengaran4

2.2 Hidung
2.2.1 Anatomi Hidung
Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung
(nares anterior). 1 Hidung terhubug dengan os frontale dan maksila melalui pangkal hidung
yang dibentuk ossa nasalia. Kulit pembungkus hidung tertambat erat pada dasar hidung dan
memiliki kelenjar sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada keadaan rhinophyma.5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis
os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang

9
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 2

Gambar 6. Anatomi Kerangka Hidung.2

Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi
yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. 2

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila
dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
2,5
kuadrangularis) dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral
hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung. 2

10
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. 2

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di
antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung. 2

Gambar 7. Dinding lateral kavum nasi.2

Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris
merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior
atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. 2

11
Vaskularisasi Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis superior dan a.
palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area). Pleksus kiesesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara
ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.2

Gambar 8. Vaskularisasi hidung.

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.ethmoidalis
anterior, yang merupakan ccabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N. V-1).2

12
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris n.maksila melalui
ganglion sfenopalatina.2
Ganglion sfenopalatina, selaian memberika persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf
sensoris dari n.maksilari (N. V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.2
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.2

2.2.2 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah:
1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humikifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanise imunologik lokal.
Udara inspirasi masuk melalui sistem respirasi lewat nares anterior, lalu naik keatas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di
hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada
musim digin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga
berkisar 37o C. Fungsi ini dimungkinkan oleh sebanyak-banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus,
bakteri, dan jamur yang terhirup bersama uadara akan disaring di hidung oleh rambut
(vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
2) fungsi pengidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu. Fungsinya untuk membedakan rasa manis dari berbagai
macam bahan, seperti strwaberi, jeruk, pisang, atau cokelat. Juga untuk membedakan rasa
asam dari cuka atau asam jawa.

13
3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran tuara sendiri melalui konduksi tulang. Kata dibentuk dari lidah, bibir,
dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
4) fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas.
5) refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
respon refleks bersin dan napas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan
sekresi kelenjar air liur, lambung, dan pankreas.2

2.3 Faring
2.3.1 Anatomi2
Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi :

1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring
yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan
kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring,
nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian
petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.2

2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah
tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

14
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan
otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan
gangguan n.vagus.
b. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil.
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. 1
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di
dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang
tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumpalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi
dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas
keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar. 2

3.Laringofaring
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi
untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut

15
menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke
esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat
muara esophagus. 1,2
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau
dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di
bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang
bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)
ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar
dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus
laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini
penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung. 2

16
Gambar 9. Faring dan Laring.

2.3.2 Fungsi Faring2


1) Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral, fase
faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke
faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu
transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja
(involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu
bolus makanan bergerak secara peristaltic di esofagus menuju lambung.
2) Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah
dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator
veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan
nasofaring m.levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper
mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold
of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 mavam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m,palatofaring
(bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior.
Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang
berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pda periode fonasi, tetapi ada

17
pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum.

2.4 Esofagus
2.4.1 Anatomi
Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke lambung.
Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Di mulai dari batas bawah tulang rawan
krikoid atau setinggi vertebra C.VI, berjalan sepanjang leher, mediastinum superior dan
posterior, di depan vertebra servikal dan torakal, dan berakhir pada orifisium kardia lambung
setinggi vertebra Th.XI. Melintas melalui hiatus esofagus diafragma setinggi vertebra Th.X.2
Esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tak berkeratin yang tebal dan memiliki dua
sfingter yaitu sfingter atas dan sfingter bawah. Sfingter esofagus atas merupakan daerah
bertekanan tinggi dan daerah ini berada setinggi kartilago krikoid. Fungsinya mempertahankan
tonus, kecuali ketika menelan, bersendawa dan muntah. Meskipun sfingter esofagus atas bukan
merupakan barrier pertama terhadap refluks, namun dia berfungsi juga untuk mencegah refluks
keluar dari esofagus proksimal menuju ke hipofaring.2
Sfingter bawah esophagus panjangnya kira-kira 3 cm, dapat turun 1-3 cm pada
pernafasan normal dan naik sampai 5 cm pada pernafasan dalam, merupakan daerah bertekanan
tinggi yang berada setinggi diafragma. Sfingter ini berfungsi mempertahankan tonus waktu
menelan dan relaksasi saat dilalui makanan yang akan memasuki lambung serta mencegah
refluks. Relaksasi juga diperlukan untuk bersendawa.
Menurut letaknya esofagus terdiri dari beberapa segmen :2
1) Segmen servikalis 5-6 cm ( C.VI-Th. I )
2) Segmen torakalis 16-18 cm ( Th. I-V )
3) Segmen diafragmatika 1-1,5 cm ( Th. X )
4) Segmen abdominalis 2,5-3 cm ( Th. XI )

Esofagus memiliki beberapa daerah penyempitan :


1) Daerah krikofaringeal, setinggi C. VI
Daerah ini disebut juga Bab el Mandeb/Gate of Tear, merupakan bagian yang
paling sempit, mudah terjadi perforasi sehingga paling ditakuti ahli esofagoskopi.

18
2) Daerah aorta, setinggi Th. IV
3) Daerah bronkus kiri, setinggi Th. V
4) Daerah diafragma, setinggi Th. X .

2.4.2 Fisiologi Menelan


Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut, (1) pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter mencegah terhamburnya
bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring
pada saat respirasi, (4) mencegah masuknya maknan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring, (5) kerjasama yang baik dari otot-otot rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke
arah lambung, (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan di mulut, faring
dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan.6
Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase : fase oral, fase faringeal dan fase esofageal.
a) Fase Oral
Fase oral terjadi secara “sadar”. Makanan yang telah dikunyah dan dengan liur
akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut melalui
dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah. 6
Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum
lidah diperluas, palatum mole terangkat dan pada bagian atas dinding posterior
faring (Passavants ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena
lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring
sebagai akibat kontraksi m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi
m.palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi
m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut. 6
b) Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh
kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring. 6
Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi
m.ariepiglotika dan m.aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini juga terjadi

19
penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan,
sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya
bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus
piriformis sudah dalam keadaan lurus. 6

Gambar 10. Fisiologi Menelan


c) Fase Esofageal
Fase esofageal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esophagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup. Dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringal, maka terjadi relaksasi
m.krikofaring, sehingga introitus esophagus terbuka dan bolus makanan masuk ke
dalam esophagus.
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat,
melebihi tonus introitus esophagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak
akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari.
Gerak bolus makanan di esophagus bagian atas masih dipengaruhi oleh kontraksi
m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus mkanan
akan didorong ke distal ole gerakan peristaltik esophagus.
Dalam keadaan istirahat sfingter esophagus bagian bawah selalu tertutup dengan
tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga tidak
akan terjadi regurgitasi isi lambung.
Pada akhir fase esofagal sfingter ini akan terbuka secara reflek ketika dimulainya
peristaltik esophagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal.
Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup
kembali.6

20
2.5 Otomikosis
2.5.1 Definisi

Otomikosis, atau juga dikenal dengan otitis eksterna jamur adalah suatu infeksi
jamur pada saluran pendengaran (kanalis auditorius) eksterna beserta komplikasi terkait
yang kadang-kadang melibatkan telinga tengah. Hal ini terjadi karena keseimbangan lipid
/ asam pelindung telinga telah hilang. Meski jarang mengancam kehidupan, penyakit ini
adalah entitas yang menantang dan membuat frustrasi bagi pasien dan ahli terapi
otolaring karena sering memerlukan perawatan dan follow-up jangka panjang. Meskipun
demikian, bisa terjadi kekambuhan.7,8

Fungi atau jamur bisa menjadi penyebab primer dari otomikosis atau bisa
disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebagian besar pasien otomikosis mengeluhkan gatal
parah yang menyebabkan rasa sakit, kehilangan pendengaran, dan bisa menyebabkan
perforasi membran timpani.7,8

Aspergillus niger dan Candida albicans adalah penyebab jamur yang paling
sering ditemukan, spektrum yang luas dari jamur lain bisa juga menyebabkan otomikosis.
Berbagai faktor telah diusulkan sebagai faktor predisposisi untuk otomikosis, termasuk
iklim lembab, adanya serumen, instrumentasi telinga, host yang immunocompromised,
dan belakangan, peningkatan penggunaan sediaan antibiotik / steroid topical. Penggunaan
antibiotik yang luas dan terkadang tidak perlu untuk pengobatan otitis media dan otitis
externa dikaitkan dengan peningkatan prevalensi otomikosis yang penting. Pertumbuhan
berlebih sekunder dari jamur adalah komplikasi penggunaan antibiotika spektrum luas
seperti kuinolon.9

2.5.2 Etiologi

Infeksi ini disebabkan oleh beberapa spesies dari jamur yang bersifat saprofit,
terutama Aspergillus niger. Agen penyebab lainnya meliputi A. flavus, A. fumigatsi,
Scopulariopsis, Penicillium, dan Candida Spp. Aspergillus niger dilaporkan sebagai
penyebab paling terbanyak dari otomikosis ini, diikuti dengan Candida.8

21
Table 1. Spektrum jamur yang di-isolasi dari pasien dengan otomikosis8

Gambar 11. Gambaran dari hasil otoskopi otomikosis

Terdapat perbedaan agen penyebab terjadinya otomikosis pada pasien kelompok


immunocompromised dan pada pasien kelompok immunocompetent. Di antara individu
yang immunocompetent, 64,3% disebabkan oleh Aspergillus niger, 8,6% oleh Candida,
dan 2,9% oleh spesies Penicillium. Di antara immunocompromised; 53% kasus
disebabkan oleh spesies Candida 30% Aspergillus niger.9

22
Immunocopromised Immunocompetent

Grafik 1. Isolasi Jamur (%) pada kelompok pasien immunocompromised dan kelompok
immunocompetent.10

2.5.3 Epidemiologi

Otomikosis biasanya terjadi pada remaja dan dewasa dengan rentang usia 21-40
tahun dan jarang pada anak-anak. Otomikosis lebih sering pada laki-laki dibandingkan
pada perempuan.7

Grafik 2. Distribusi Jenis Kelamin10

Grafik 3. Distribusi Umur10

23
Angka insidensi otomikosis tidak diketahui, tetapi sering terjadi pada daerah
dengan cuaca yang panas, juga paparan dari pekerjaan maupun orang orang yang senang
traveling, dan sebagainya. Otomikosis ini lebih sering dijumpai pada daerah dengan
cuaca panas, dan banyak literatur menyebutkan otomikosis berasal dari negara tropis dan
subtropis.8

Grafik 4. Insidens otomikosis sesuai Musim 9

2.5.4 Faktor Presdiposisi

Grafik 5. Faktor Predisposisi.10

Faktor predisposisi terjadinya otitis eksterna, dalam hal ini otomikosis


kelembaban yang tinggi, peningkatan temperatur, dan trauma lokal yang biasanya sering
disebabkan oleh kapas telinga (cotton buds), masuknya air selama berenang, pengobatan
obat tetes telinga dengan antibiotic, steroid topical dan penyakit sistemik seperti diabetes
dan hipertensi.

Serumen sendiri memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang berfungsi menekan
pertumbuhan bakteri dan jamur. Kelembaban, kehangatan, dan pH asam kanal
pendengaran eksternal memberikan persyaratan pertumbuhan ideal untuk jamur.
Aspergilli memiliki kisaran pH optimum 5,7 dan laju pertumbuhan maksimum pada suhu

24
37 ° C dan ini kondusif untuk semua spesies Aspergillus yang diisolasi dalam penelitian
ini. Didukung oleh predileksi jamur untuk tumbuh di sepertiga bagian dalam saluran
pendengaran eksternal.8

Olah raga air misalnya berenang dan berselancar sering dihubungkan dengan
keadaan. Bisa juga disebabkan oleh adanya prosedur invasif pada telinga. Perenang
sering hadir dengan otitis eksterna dan otomikosis akut. Risiko otitis externa dilaporkan
lima kali lebih besar pada perenang dibandingkan pada perokok. Panas, kelembaban, dan
air menyebabkan pembengkakan stratum korneum pada kulit.

Kelembaban dari berenang atau mandi meningkatkan maserasi pada kulit kanal
pendengaran yang menyebabkan kerusakan penghalang pelindung serumen dan
menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri dan jamur Aspergillus dan
Candida spp.Air yang tercemar berhubungan dengan otitis eksterna bakteri dan jamur.
Untuk mencegah otitis eksterna akut, penting bagi pasien untuk menghindari berenang
atau menggunakan alat pelindung, termasuk karet komersial atau penyumbat telinga
silikon.8

Beberapa pasien dengan penyakit kulit umum, seperti psoriasis atau dermatitis
atopik, diobati dengan steroid topical selama bertahun-tahun bisa memicu timbulnya
otitis eksterna jamur, kebanyakan pada bagian auricle dan di kanal
pendengaran.Penggunaan antibiotik yang luas dan terkadang tidak perlu untuk
pengobatan otitis media dan otitis externa dikaitkan dengan peningkatan prevalensi
otomikosis yang penting. Pertumbuhan berlebih sekunder dari jamur adalah komplikasi
penggunaan antibiotika spektrum luas seperti kuinolon. 7,8

Sering membersihkan dan mencegah kelembaban dengan mengeringkan saluran


telinga dengan pengering rambut setelah setiap periode berenang sangat dianjurkan.
Membersihkan saluran telinga dengan aplikator ujung kapas harus dihindari karena
menimbulkan trauma pada kulit dan gendang telinga dan membahayakan penghalang
mekanis (mechanical barrier) dari saluran telinga.8

Kulit yang menutupi kanal pendengaran eksternal serupa dengan bagian tubuh
yang lain, namun terkena atmosfir oleh saluran masuk kecil. Dengan kata lain, disposisi

25
anatomis kanal pendengaran eksternal mensimulasikan tabung kultur yang dilapisi
dengan kulit yang memberikan kondisi ideal untuk pertumbuhan jamur dan bakteri.
Penyimpangan anatomi lebih lanjut seperti penyempitan kanal juga dapat menjadi
predisposisi otomikosis.8

Aplikasi minyak kelapa untuk telinga meningkatkan terjadinya insidens


otomikosis. Minyak kelapa telah dilaporkan bersifat sporostatik dan oleh karena itu dapat
membantu mempertahankan viabilitas konidia jamur yang disimpan di telinga luar lama
dan secara tidak langsung berkontribusi pada terjadinya otomikosis. Demikian pula
penggunaan minyak sawi dikaitkan dengan tingginya kejadian otomikosis.

2.5.5 Patofisiologi

Otomikosis berkaitan dengan histologi dan fisiologi kanalis auditorius eksternus.


Pada interior resesus timpani, bagian medial sampai isthmus cenderung mengumpulkan
sisa keratin dan serumen, dan merupakan area yang sulit dibersihkan.11

Terdapat 4 proses yang dapat menyebabkan infeksi pada liang telinga yaitu
obstruksi serumen yang menyebabkan retensi air, hilangnya serumen akibat pembersihan
yang berlebih atau terpapar air terus menerus, trauma, dan perubahan pH di permukaan
liang telinga luar. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi kemunculan otomikosis
seperti faktor sistemik (gangguan imunitas, penggunaan kortikosteroid, sitostatika, dan
neoplasia), riwayat otitis bakterial, OMSK, dan mastoidektomi radikal sebelumnya.

Dermatomikosis di area tubuh lain juga dapat menjadi faktor predisposisi, karena
kemungkinan jamur di bagian tubuh terinokulasi ke liang telinga luar dan menyebabkan
otomikosis. Retensi air menyebabkan peningkatan kelembapan di permukaan liang
telinga luar sehingga jamur dapat mudah berproliferasi dan tingginya kelembapan juga
dapat mengabrasi epitel sehingga mudah diinvasi oleh jamur.11
Hilangnya serumen akibat pembersihan liang telinga yang berlebihan atau karena
terlalu sering terbilas air juga menghilangkan serumen yang memiliki fungsi proteksi dari
jamur dan organisme lainnya sehingga invasi oleh jamur patogen mudah terjadi di liang
telinga luar. Trauma dan perubahan pH juga menyediakan kondisi terbaik untuk jamur
berkembang biak di permukaan kulit liang telinga luar.11

26
Invasi hifa dan spora dari jamur patogen pada kulit liang telinga luar
menyebabkan proses peradangan yang ditandai dengan nyeri, panas, eritema, dan gatal.
Hifa yang tumbuh di dalam liang telinga juga menyebabkan rasa penuh dan tidak nyaman
di dalam telinga.11

2.5.6 Gejala Klinis

Gejala otomikosis meliputi pruritis (rasa gatal di telinga), rasa penuh di telinga,
otorrhoea (cairan yang keluar dari telinga), otalgia (rasa nyeri di telinga), dan gangguan
pendengaran. Kehilangan pendengaran yang berhubungan dengan otomikosis biasanya
dikarenakan akumulasi debris jamur. 8
Otoskopi seringkali menunjukkan miselia, memastikan diagnosis. Liang telinga
luar dapat terlihat eritem dan debris jamur dapat terlihat putih, abu-abu atau hitam. Pasien
biasanya telah diberikan obat antibakterial yang tidak memberikan respon signifikan.
Diagnosis dapat dipastikan dengan mengidentifikasi elemen jamur pada preparat KOH
atau dengan biakan jamur positif.8
Gejala klinik yang dapat ditemui hampir sama seperti gejala otitis eksterna pada
umumnya yakni otalgia dan otorrhea sebagai gejala yang paling banyak dijumpai,
kemudian diikuti dengan kurangnya pendengaran, rasa penuh pada telinga dan gatal.Pada
liang telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi oleh skuama, dan kelainan ini ke
bagian luar akan dapat meluas sampai muara liang telinga dan daun telinga sebelah
dalam.Tempat yang terinfeksi menjadi merah dan ditutupi skuama halus.8

2.5.7 Diagnosis Banding


Otomikosis kadang-kadang sulit untuk dibedakan dari otitis eksterna bentuk lain,
terutama otitis eksterna difus. Infeksi campuran kadang-kadang terjadi. Menurut
penelitian, dalam mendeteksi koinfeksi bakteri di antara 44 kasus dari total 82 kasus.
Umumnya terisolasi bakteri termasuk Staphylococci koagulase negatif, Pseudomonas sp,
Staphylococcus aureus, E.coli, dan Klebsiella sp. Infeksi jamur juga dapat berkembang
pada otitis media supuratif kronis.1

27
2.5.8 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan telinga yang dicurigai otomikosis, didapati adanya akumulasi
debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih dan panjang
dari permukaan kulit, hilangnya pembengkakan signifikan pada dinding kanalis, dan area
melingkar dari jaringangranulasi diantara kanalis eksterna atau pada membran timpani.8
Terdapat perbedaan pada gambaran klinis otomikosis yang disebabkan oleh aspergillosis
dan kandidiasis. Aspergillosis ditandai dengan kelembapan ringan pada inflamasi (mild
moist inflammation) saluran telinga dalam. Lumen dilapisi lembaran keratin besar yang
memiliki tampilan kertas tisu basah (wet tissue-paper appearance). Candida biasanya
menyebabkan edema dan maserasi kanal telinga yang dalam. Lumen bisa terdapat dengan
bahan seperti dadih (curd-like material).8

2.5.9 Klasifikasi Otomikosis12


(I) Otomikosis primer. Otomikosis hadir di kanalis pendengaran eksternal secara
imunokompeten dan dengan adanya membran timpani utuh dan tidak adanya
patologi telinga eksternal atau tengah lainnya.
a. Tanpa otitis eksterna. Jelas tidak adanya tanda klinis otitis externa pada saat
presentasi seperti di dinding kanal amen atau stenosis kanal audiens.
b. Dengan otitis eksterna. Adanya tanda klinis otitis eksterna, bila tidak ada
manifestasi klinis otitis eksterna sebelum presentasi berlangsung. Pada otitis
eksterna disebabkan otomikosis dan bukan sebaliknya.

(II) Otomikosis sekunder. Otomikosis hadir di kanalis pendengaran eksternal atau


telinga tengah bersamaan dengan riwayat dan / atau ada otitis media atau externa,
trauma, atau telinga pasca operasi atau dengan riwayat dan / atau infomasi jamur
yang ada di bagian lain tubuh.
a. Tanpa immunocompromise. Tidak ada HIV, diabetes mellitus, atau penyakit
granulomatosa atau kondisi immunocompromised lain yang terdeteksi oleh
penelitian laboratorium.
b. Dengan immunocompromise. Adanya kondisi immunocompromised apapun
yang terdeteksi oleh penelitian laboratorium

28
2.5.10 Mycology

Pemeriksaan laboratorium
1. Preparat langsung: Skuama dari kerokan kulit liang telinga diperiksa dengan
KOH akan tampak hifa-hifa lebar, berseptum, dan kadang-kadang dapat
ditemukan spora-spora kecil dengan diameter 2-3 μm.
2. Pembiakan: Skuama dibiakkan pada media agar saboraud, dan didiamkan pada
suhu kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni filament
berwarna putih. Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung
hifa dapat ditemukan sterigma dan spora berjejer melekat pada permukaannya.12

Pemeriksaan langsung (Mikroskopik )


Sampel diterapkan pada slide kaca dan diolah dengan tetes 15% sampai 30%
potasium hidroksida (KOH) yang mengandung brighteners optik Blankophor P
Fluessig® (Bayer AG) atau Calcofluor White (Sigma Aldrich GmbH, Tandkinchen,
Jerman). Slide diperiksa dengan mikroskop fluoresensi pada 330 sampai 390 nm.
Pewarnaan Giemsa dan Gram dapat dilakukan. Hifa mekar tempa, kadang-kadang
dengan kepala berbuah Aspergillus, pseudohyphae, atau sel ragi, biasa ditemukan pada
spesimen blankophored puing-puing dari kanal pendengaran. Sampel histologis Giemsa
atau Gram bernoda akan mendeteksi banyak sel epitel hiper-keratosis, terkadang
parakeratotik, beberapa leukosit, dan hifa jamur atau blastospora ragi.12

Gambar 12. Hasil pemeriksaan mikroskopik A. Niger (A-3) dan A. Flavus (B-3).12

29
Kultur (Pembiakan)

Spesimen harus diinokulasi langsung ke dalam dua tabung agar-agar glukosa


Sabour-aud atau piring untuk kultur jamur. Satu tabung /piring diinkubasi pada 37 ° C
dan yang lainnya pada suhu kamar (22 ° C) selama 14 hari. Cetakan harus disubkultur
pada Czapek atau agar malt. Media agar mengandung sikloheksimida dan kloramfenikol
(agar Mycosel, BD Diagnostic Systems, Heidelberg, Jerman) harus digunakan untuk
dermatofit. Isolat ragi harus diidentifikasi dengan menggunakan produksi spora yang
berbeda pada agar beras dan asimilasi gula. Semua patogen harus diklasifikasikan sesuai
dengan sistem dermatofit - jamur ragi (DYM).13

Identifikasi cepat terhadap patogen jamur dari sampel tulang mastoid atau cairan
serebrospinal oleh reaksi rantai polimerase pada pasien dengan infeksi jamur invasif
sangat dianjurkan.13

Pengobatan harus diarahkan secara khusus terhadap spesies jamur untuk


mencegah pengembangan resistensi; Untuk mendeteksi ini, pengujian kerentanan in vitro
(agar difusi dan pengenceran agar) harus dilakukan saat perlakuan antijamur sistemik
digunakan. Konsentrasi lokal agen antijamur topikal diterapkan tidak dapat didefinisikan
atau direproduksi. 13

Meskipun tidak adanya metode standar untuk pengujian Antijamur yang


diaplikasikan secara topikal, beberapa penulis telah menerbitkan artikel tentang
modifikasi yang berbeda dari metode Standar Laboratorium Klinis dan Standar
Laboratorium Klinik, metode MCT-A dan M38-A. Melakukan uji kepekaan terhadap
antijamur membutuhkan staf laboratorium berpengalaman yang berpengalaman.
Kolaborasi yang baik antara ahli mikrobiologi dan dokter sangat penting. Semua tes yang
tersedia secara komersial hanya sesuai untuk pengujian kerentanan obat antijamur
sistemik dan didasarkan pada standar CLSI. Standar Eropa yang dikembangkan oleh
European Committee on Antimicrobial Susceptibility Testing (EUCAST) dan standar
German Deutsches Institut für Normung (DIN) belum diterima secara luas. Standarisasi
uji kepekaan antimikotik yang diterapkan secara topikal sangat penting dan akan
membantudokter menentukan pengobatan yang relevan untuk otomikosis.13

30
Gambar 13. Hasil kultur jamur. (a) Aspergillus niger menggambarkan black colonies
(pepper effect). (b) Aspergillus fumigates (c) Candida.13

Histopatologi

Spesimen bedah pasien yang diduga mastoiditis atau kolesteatoma harus diperiksa
secara histologis. Pewarnaan khusus untuk jamur harus dilakukan, termasuk asam
periodik-Schiff, metenamine-silver Grocott-Gomori, dan brighteners konvensional. Studi
histologis telah menunjukkan tingkat peradangan yang disebabkan oleh pertumbuhan
jamur di telinga pasien yang terkena. 13

Pasien imunokompeten biasanya memiliki infeksi superfisial dan kolonisasi kronis


pada epitel kanal pendengaran dan kolesteatoma. Gambaran histologis mencakup
karakteristik berikut:

• Hifa jamur, kebanyakan dari Aspergillus, dapat diamati pada stratum korneum epitel
meatal kanal pendengaran, tanpa adanya inflamasi pada jaringan subepitel.

• Pasien dengan otitis media mungkin juga menunjukkan peradangan hiperplastik


(polipoid) kronis pada mukosa telinga tengah.

• Hifa jamur diamati di rongga telinga tengah atau antara lamellae kolesteatoma horny,
atau keduanya.

• Tidak ada respons seluler inflamasi yang menyertai hifa Asula.

• Pertumbuhan mycelium invasif di pembuluh darah atau tulang tidak diamati. 13

Otitis eksterna ganas/ malignant (otomikosis invasif akut dan kronis invasif)
berkembang pada pasien dengan imunosupresi. Bentuk-bentuk ini sering dikaitkan

31
dengan infeksi jamur pada telinga tengah (mastoiditis), jarang di telinga bagian dalam,
dan dasar tengkorak. 13

Otitis externa ganas/ malignant dimulai sebagai infeksi jaringan lunak kanal
pendengaran dan menyebar ke dasar tengkorak dan mastoid. Kanal pendengaran
memiliki jaringan polipoid dan granulasi yang lembut, seringkali dengan nekrosis epitel
mei dan jaringan subepitel, dengan banyak hifa jamur yang dikelilingi granulosit. Erosi
tulang dapat terungkap di sepanjang kanal pendengaran eksternal. Membran timpani
menebal, sering nekrotik, dan disusupi granulosit dan banyak hifa jamur. Selaput mukosa
telinga tengah dan sel mastoid mengandung sel-sel inflamasi disertai pertumbuhan
miselium invasif di pembuluh darah dan tulang. Hifa jamur dapat diamati pada rongga
timpani, arteri karotid interna, dan saraf wajah. 13

2.5.11 Tatalaksana

Pengobatan ditujukan untuk menjaga agar liang telinga tetap kering, jangan
lembab, dan disarankan untuk tidak mengorek-ngorek telinga dengan barang-barang yang
kotor seperti korek api, garukan telinga, atau kapas. Kotoran-kotoran telinga harus sering
dibersihkan.7
Pengobatan yang dapat diberikan seperti: Larutan asam asetat 2-5 % dalam
alkohol, larutan lodium povidon 5%. Akhir-akhir ini yang sering dipakai adalah fungisida
topikal spesifik, seperti preparat yang mengandung nistatin, ketokonazol, klotrimazol,
dan anti jamur yang diberikan secara sistemik.7
Pengobatan melibatkan penghapusan faktor predisposisi. Solusi antibiotik topikal
harus dihentikan. Kuku pasien harus diperiksa untuk menyingkirkan onikomikosis.
Fungicidal drops adalah bentuk pengobatan yang paling popular. Clotrimazol memiliki
antibakteri efek , dan ini merupakan keuntungan tambahan saat mengobati infeksi jamur
bakteri campuran. Fungicidal cream dengan ketokonazol atau uconazol juga bisa
diterapkan. Persiapan yang tersedia dan biasanya efektif untuk Candida adalah tolnaftale,
tersedia di atas meja untuk perawatan kaki atlet.14
Pada kasus refrakter otomikosis yang jarang terjadi karena HIV atau keadaan
immunocompromised lainnya, atau dalam kondisi yang mengancam jiwa, antijamur
parenteral seperti amfoterisin B atau tolna dapat digunakan.14

32
Tabel 2. Penyebab paling sering otomikosis dan terapinya.14

Azoles adalah agen sintetis yang mengurangi konsentrasi ergosterol, sterol penting dalam
membran sitoplasma normal. Mereka adalah kelas dari cincin heterosiklik nitrogen beranggota
lima yang mengandung setidaknya satu atom noncarbon, nitrogen, belerang atau oksigen lainnya.
Clotrimazol adalah azole topikal yang paling banyak digunakan. Tampaknya menjadi salah satu
agen paling efektif.7,14

Untuk pengelolaan otomikosis, dengan tingkat efektivitas yang dilaporkan bervariasi dari
95% sampai 100% pada kebanyakan studi kecuali satu studi yang melaporkan tingkat efikasi
yang lebih rendah sebesar 50%. Clotrimazol memiliki efek antibakteri, dan ini merupakan
keuntungan tambahan saat mengobati infeksi bakteri bakterial. Hal ini dianggap bebas dari efek
ototoxic. Tidak ada laporan bukti klinis adanya toksisitas klotrimazol. Clotrimazol tersedia
sebagai bedak, lotion, dan larutan.

33
Ketokonazol dan flukonazol adalah zat antifenol azole yang memiliki spektrum
aktivitas yang luas. Keluarga komponen kimia ini efektif dalam merawat agen etiologi
yang paling umum dari Otomikosis. Ketokonazol telah menunjukkan efikasi 95-100% in
vitro terhadap spesies Aspergillus dan Candida albicans; Ini tersedia sebagai krim 2%..
Flukonazol topikal telah dilaporkan efektif pada 90% kasus dalam beberapa seri.
Suspensi flukonazol tersedia dengan flukonazol 350 mg atau 1400 mg. Setelah dilakukan
rekonstitusi dengan 24 ml air suling atau air murni (USP), masing-masing suspensi yang
dilarutkan mengandung 10 mg atau 40 mg flukonazol. Krim miconazole 2% juga
menunjukkan tingkat efikasi 90%. Bifonazol adalah agen antijamur yang umum
digunakan pada tahun 1980an. Potensi antijamur larutan bifonazol 1% telah dilaporkan
serupa dengan klotrimazol dan mikonazol; Namun, itu bervariasi dari spesies ke spesies.
Bifonazol dan turunannya menghambat pertumbuhan sebagian besar jamur dengan
khasiat hingga 100%.

Nistatin adalah antibiotik makrolida polyene yang menghambat sintesis sterol


dalam membran sitoplasma. Banyak jamur dan ragi sensitif terhadap nistatin, termasuk
spesies Candida. Keuntungan utama nistatin adalah fakta bahwa ia tidak diserap di kulit
utuh. Nistatin tidak tersedia sebagai persiapan otic; Namun bisa disiapkan sebagai solusi
atau penangguhan untuk pengobatan otomikosis. Nistatin dapat diberikan sebagai krim,
salep, atau bedak. Tingkat keampuhan yang dilaporkan bervariasi dari 50% sampai 80%.

Amfoterisin B adalah anggota keluarga poliena. Ini telah digantikan oleh agen
yang lebih aman dalam banyak kasus namun masih digunakan, terlepas dari efek
sampingnya, untuk infeksi jamur yang mengancam jiwa. Nong pada tahun 1999
melaporkan bahwa Aspergillus dan Candida albicans peka terhadap penggunaan
amfoterisin B seperti ditunjukkan pada uji kerentanan antijamur.2

Tolnaftate bertindak dengan mendistorsi hifa dan menghambat pertumbuhan


miselium jamur yang rentan yang menyebabkan infeksi kulit, termasuk tinea pedis (kaki
atletik), tinea cruris (jock itch), dan ringwormit. Telah direkomendasikan pada kasus
otomikosis refrakter, dan terbukti non-ototoxic. Tolnaftate tersedia sebagai solusi 1%
yang dapat dengan mudah ditanamkan ke telinga.

34
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada upaya untuk menggunakan
Mercurochrome, antiseptik topikal yang terkenal, untuk mengobati otomikosis. Seiring
dengan merthiolate (thimerosal), mercurochrome tidak lagi disetujui oleh FDA karena
mengandung merkuri. Mercurochrome telah digunakan secara khusus untuk kasus yang
dilaporkan di lingkungan lembab dengan tingkat efikasi yang dilaporkan antara 95,8%
dan 100%.

Gentian Violet biasanya disiapkan sebagai solusi lemah (misalnya 1%) dalam air.
Telah digunakan sejak tahun 1940-an untuk mengobati otomikosis karena ini adalah
pewarna anilin dengan aktivitas antiseptik, anti-inflamasi, antibakteri, dan antijamur. Ini
masih digunakan di beberapa negara, dan disetujui oleh FDA. Studi melaporkan tingkat
keberhasilan hingga 80%.2

Gambar 14. Otomikosis pada telinga kanan yang telah mendapat terapi.14

2.5.12 Komplikasi

Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah perforasi dari


membran timpani dan otitis media serosa, tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi,
dan cenderung sembuh dengan pengobatan. Patofisiologi dari perforasi membran
timpani mungkin berhubungan dengan nekrosis avaskular dari membran timpani
sebagai akibat dari trombosis pada pembuluh darah. Angka insiden terjadinya
perforasi membran yang dilaporkan dari berbagai penelitian berkisar antara 12-16 %
dari seluruh kasus otomikosis. Tidak terdapat gejala dini untuk memprediksi
terjadinya perforasi tersebut, keterlibatan membran timpani sepertinya merupakan

35
konsekuensi inokulasi jamur pada aspek medial dari telinga luar ataupun
merupakan ekstensi langsung infeksi tersebut dari kulit sekitarnya.13

2.5.13 Prognosis
Umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada saat
terapi dengan anti jamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses resolusi
(penyembuhan) yang baik secara imunologi. Bagaimanapun juga, resiko
kekambuhan sangat tinggi, jika faktor yang menyebabkan infeksi sebenarnya
tidak dikoreksi, dan fisiologi lingkungan normal dari kanalis auditorius eksternus
masih terganggu.2

2.6 Rinitis Alergi

2.6.1 Definisi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi


alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE. 2

Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik


atau allergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi
paparan, polesan genetic dari individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh
pejamu.2

Rhinitis alergi terjadi jika suatu antigen terhadap seorang pasien telah
mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung:
reseptor histamin H1, adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2, kolinoseptor,
reseptor histamin H2 dan reseptor iritan. Dari semua ini yang terpenting adalah
reseptor histamin H1, dimana bila terangsang oleh histamine akan meningkatkan
tahanan jalan napas hidung, meneybabkan bersin, gatal, dan rinore.2

36
2.6.2. Patofisiologi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan


tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. 2

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. 2

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13.


IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine.
Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL

37
5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll.
Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 2

Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan


rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular
Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan
berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin
seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca
dan kelembapan udara yang tinggi. 2

Mekanisme terjadinya nasal allergy syndrome pada rhinitis alergi :

Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan
rhinorrhea. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada
hidung dan bersin-bersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi
hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf
sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris menghasilkan
sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis
dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.2

38
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : 2

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya


tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass)
serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi
gejala asma bronkial dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing ke dalam
tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :2

1. Respons primer :

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.2

2. Respons sekunder :

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan


ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respons tertier. 2

39
3. Respons tertier :

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh. 2

2.6.2 Klasifikasi Rhinitis Alergi

Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat


berlangsungnya, yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak


dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh
karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala
klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai
lakrimasi). 2

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama
pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala
alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik
pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan. 2

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau


kurang dari 4 minggu.2

40
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.2

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.2

2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.2

2.6.3 Gejala

Rhinitis alergi biasanya mulai timbul pada masa kanak-kanak dan ditandai
adanya gejala obstruksi hidung, bersin-bersin, gatal hidung yang disertai dengan
adanya allergic salute, keluarnya sekret yang deras dan bentuknya cair. Sering
ditemukan adanya post nasal drip sampai kadang disertai anosmia. 15

Pada pemeriksaan fisik ditemukan gambaran klasik seperti edema konka


inferior yang berwarna kebiruan, sekret yang cair seperti air. Polip hidung jarang
ditemukan dan jika ditemukan perlu dipikirkan kemungkinan fibrosis kistik. Dan
ciri rhinitis alergi yang penting adalah tes kulit dan tes RAST hampir selalu
positif. Dalam sekret dapat sering ditemukan eosinofil. Pemeriksaan radiologik
sinus paranasal memperlihatkan gambaran edema ringan sampai sedang dan
biasanya tidak disertai adanya cairan.15

2.6.4 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1.Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi


dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau

41
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi
pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. 2

2. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat


atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 2

3.Pemeriksaan Penunjang

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi

42
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.

Rhinitis alergi dapat bersifat musiman atau perenial (terus menerus),


sehingga hasil bisa tidak menunjukkan rhinitis alergi jika pemeriksaan dilakukan
di luar musim pada penderita rhinitis alergi musiman. Hasil pemeriksaan pada
penderita rhinitis perenial biasanya pada pasien yang alergi terhadap debu, jamur,
binatang peliharaan yang dipelihara di rumah, dapat memberikan hasil positif
setiap waktu dalam skin test. Pengobatan yang relatif baru yaitu beklometason,
sejenis steroid topikal baru yang sedikit sekali diabsorbsi, sepertinya pengobatan
baik untuk rhinitis alergi baik musiman atau perenial.2

In Vivo :

Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. 2

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge
Test”). 2

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.
Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien

43
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 2

2.6.4 Penatalaksanaan

Umumnya rhinitis alergi berespon baik terhadap pengobatan dengan


antihistamin dan dekongestan. Bahkan respon terhadap kortikosteroid dan natrium
kromolin biasanya sangat baik, imunoterapi biasanya efektif namun hanya
digunakan ketika pengobatan lain gagal.2

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan


allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi alergen. 2

Gambar 15. Logaritma penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO inititive ARIA.2

Medikamentosa

44
Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja


secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. 16

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin


generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini
antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin
generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,
antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif). 16

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok
pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda
dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia
medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 16

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai


dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 16

Dekongestan

45
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset
obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu lama.16

Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine


HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-
12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari
obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 16

Antikolinergik

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat


untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor. 16

Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat


respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat
sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons
fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis. 16

Lainnya

46
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 16

Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan bahwa


pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam mengatasi
gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. 16

Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),


konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.16

Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 16

2.6.7 Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

 Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.2

 Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.2


 Sinusitis paranasal.2

2.7 Faringitis Kronik2

47
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi.
Faktor predisposisi poses radang kronik di faring ini ialah :

1. Infeksi persisten di sekitar faring. Pada rhinitis dan sinusitis kronik, mukus
purulen secara konstan jatuh ke faring dan menjadi sumber infeksi yang konstan.
Tonsilitis kronik dan sepsis dental juga bertanggung jawab dalam menyebabkan
faringitis kronik dan odinofagia yang rekuren.
2. Bernapas melalui mulut. Bernapas melalui mulut akan mengekspos faring ke
udara yang tidak difiltrasi, dilembabkan dan disesuaikan dengan suhu tubuh
sehingga menyebabkan lebih mudah terinfeksi. Bernapas melalui mulut biasa
disebabkan oleh :
a. Obstruksi hidung
b. Obstruksi nasofaring
c. Gigi yang menonjol
d. Kebiasaan.
3. Iritan kronik. Merokok yang berlebihan, mengunyah tembakau, peminum minuma
keras. Makanan yang sangat pedas
4. Polusi lingkungan. Asap atau lingkungan yang berdebu atau uap industri
5. Faulty voice production. 2

2.7.1 Faringitis Kronik Hiperplasia2

Pada faringitis kronik hiperplasia terjadi perubahan mukosa dinding posterior


faring.Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasia.Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular.

2.7.1.1 Gejala2

Rasa gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan dari tenggorokan.
Batuk serta perasaan mengganjal di tenggorokan.

2.7.1.2 Terapi2

48
Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia
larutan nitras argenti atau dengan listrik. Pengobatan simptomatis diberikan obat
kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau
ekspektoran.Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati. 2

2.7.2 Faringitis Kronik Atropi

Faringitis kronik atropi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi.


Pada rhinitis atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya,
sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. 2

2.7.2.1 Gejala

Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pada
pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa kering. 2

2.7.2.2 Terapi

Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik


atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.2

2.8 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dan Laryngopharingeal Reflux (LPR)

2.8.1 Definisi

GERD (gastroesophageal reflux disease) adalah suatu keadaan patologis


sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai
gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.1
Laryngopharingeal Reflux (LPR) adalah salah satu manifestasi refluks
ekstra esofagus dimana terjadi aliran balik asam lambung ke daerah laring,
faring, trakea dan bronkus yang menyebabkan kontak dengan jaringan pada
traktus aerodigestif atas yang menimbulkan jejas pada laringofaring dan saluran
napas bagian atas, dengan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring dan
paru.2

49
Dikenal berbagai istilah LPR seperti GERD supraesofagus, GERD
atipikal, komplikasi ekstra esofagus dari GERD, refluks laryngeal, gastrofaringeal
refluks, refluks supraesofageal dan refluks ekstraesofageal.2

2.8.2 Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai PRGE, namun di
Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM
menunjukkan peningkatan prevalensi PRGE dari 6 % pada tahun 1997 menjadi 26
% pada tahun 2002, dan didapatkan pria lebih banyak mengalami PRGE daripada
wanita.17
Tingginya gejala refluks pada populasi di negara Barat diduga disebabkan
karena faktor diet dan meningkatnya obesitas.8 Refluks Laringofaring terjadi pada
4% - 10% pasien dengan PRGE/ GERD. 17
Pada studi yang dilakukan Bor dkk. seperti yang dikutip oleh Aras dkk.
bahwa pada pasien asma dan kontrol prevalensi GERD (rasa terbakar di dada/
regurgitasi satu kali dalam seminggu) adalah 25,4 % dan 19,4%, dan tidak
didapatkan adanya perbedaan yang signifikan dari prevalensi asma dan atau
obstruksi saluran napas pada pasien dengan dan tanpa GERD. 17
Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan kasus GERD
dihubungkan dengan peningkatan gejala- dan tanda pada laring . Kejadian GERD
berkisar antara 7%-25% per suatu populasi, dimana sekitar 4%-10% pasien
tersebut mencari pengobatan pada spesialis THT akibat keluhan yang
dihubungkan dengan GERD. Telah diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan
gangguan suara yang datang berobat ke dokter THT diakibatkan oleh RLF yang
merupakan manifestasi ekstra esophagus dari GERD.2

2.8.3. Etiologi
Penyebab dari LPR di antaranya adalah:

50
 Menurunnya tekanan LES karena hiatus hernia, diet (lemak, coklat, mint,
produk susu, dll), tembakau, alkohol, obat-obatan (teofilin, nitrat, dopamine,
narkotik, dll).
 Motilitas esofagus yang abnormal karena penyakit neuromuskular,
laringektomi, etanol.
 Penurunan resistensi mukosa karena radioterapi rongga mulut, radioterapi
esofagus, xerostomia.
 Penurunan salivasi
 Pengosongan lambung yang tertunda/lambat karena obstruksi, diet (lemak),
tembakau, dan alkohol.
 Peningkatan tekanan intraabdominal karena kehamilan, obesitas, makan yang
berlebihan, minuman karbonasi.
 Hipersekresi asam lambung atau pepsin karena stress, obat-obatan, alkohol,
diet. 17
2.8.4. Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada
saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran
retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada
atau sangat rendah (<3 mmHg).tekanan LES pada individu normal 25-35
mmHg.17
PRGE merupakan peristiwa multifaktorial. Refluks gastroesofageal pada
pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :17
1) Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
2) Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan
3) Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya
tonus LES menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya

51
peningkatan tekanan intraabdomen. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus
LES diantaranya adalah :
a. Adanya hiatus hernia (dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan
untuk bersihan asam hari esophagus serta menurunkan tonus LES)
b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya)
c. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan
lain-lain.
d. Faktor hormonal (Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone
dapat menurunkan tonus LES)
Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang
diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera
langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung pada refluxate. Laring
lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus karena tidak mempunyai
mekanisme pertahanan ekstrinsik dan instrinsik seperti esophagus. Terdapat
beberapa teori yang mencetuskan respon patologis karena cairan refluks ini :
1. Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh cairan
refluks yang mengandung asam dan pepsin. Beberapa penelitian telah
menyimpulkan bahwa cairan asam dan pepsin merupakan zat berbahaya
bagi laring dan jaringan sekitarnya. Pepsin merupakan enzim proteolitik
utama lambung. Aktivitas optimal pepsin terjadi pada pH 2,0 dan tidak
aktif dan bersifat stabil pada pH 6 tetapi akan aktif kembali jika pH dapat
kembali ke pH 2,0 dengan tingkat aktivitas 70% dari sebelumnya.17
2. Asam lambung pada bagian distal esofagus akan merangsang refleks vagal
sehingga akan mengakibatkan bronkokontriksi, gerakan mendehem
(throat clearing) dan batuk kronis. Lama kelamaan akan menyebabkan
lesi pada mukosa. Mekanisme keduanya akan menyebabkan perubahan
patologis pada kondisi laring. Bukti lain juga menyebutkan bahwa
rangsangan mukosa esofagus oleh cairan asam lambung juga akan
menyebabkan peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan
gangguan pernafasan. Cairan lambung tadi menyebabkan refleks vagal

52
eferen sehingga terjadi respons neuroinflamasi mukosa dan dapat saja
tidak ditemukan inflamasi di daerah laring. 17
Dalam suatu penelitian, dikatakan bahwa agen spesifik yang bertanggung
jawab pada gejala THT dan patologi laring masih belum diketahui pasti dan masih
banyak diperdebatkan. Beberapa menyebutkan adanya komposisi asam lambung
seperti asam dan pepsin, serta komposisi duodenum seperti asam empedu dan
enzim pancreas tripsin menyebabkan keluhan THT akibat GERD.
Pada penelitian in vivo, didapatkan pajanan asam lambung dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian subglotic, namun kerusakan yang lebih
hebat terlihat pada kombinasi pajanan asam lambung serta pepsin. Observasi yang
sama dilakukan pada pajanan asam serta pajanan kombinasi asam dan pepsin
terhadap esophagus, dan didapatkan hasil yang sama yaitu kerusakan yang lebiih
berat terjadi pada pajanan asam lambung disertai pepsin. Namun belum
didapatkan hasil peneliatian mengenai efek asam empedu serta tripsin pada
patologi laring.
Pada akhir-akhir ini terdapat penelitian yang menyebutkan teori dari
patofisiologi LPR. yang menyebutkan adanya fungsi proteksi dari enzim carbonic
anhydrase. Enzim ini akan menetralisir asam pada cairan refluks. Pada keadaan
epitel laring normal kadar enzim ini tinggi. Terdapat hubungan yang jelas antara
kadar pepsin di epitel laring dengan penurunan kadar protein yang memproteksi
laring yaitu enzim carbonic anhydrase dan squamous epithelial stress protein
Sep70. Pasien LPR menunjukkan kadar penurunan enzim ini 64% ketika
dilakukan biopsy jaringan laring. 17
2.8.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PRGE sangat bervariasi dan gejalanya sering sukar
dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal. Gejala
refluks gastroesofageal dapat tipikal dan atipikal. Gejala tipikal atau klasik pada
orang dewasa adalah :2
1. Rasa nyeri/tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa
nyeri ini biasanya di deskripsikan sebagai rasa panas di dada yang terjadi
setelah makan (postprandial heart burn), rasa terbakar/panas menjalar ke

53
atas sampai tenggorok atau mulut 1-2 jam setelah makan atau setelah
mengangkat berat atau posisi membungkuk. Rasa nyeri/panas ini kadang-
kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan),
mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Odinofagia (rasa sakit pada
saat menelan makanan) bias timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus
yang berat.
2. Regurgitasi isi lambung secara spontan ke esophagus atau mulut.
Bila kedua gejala terjadi bersamaan, diagnosis PRGE dapat ditegakkan
lebih dari 90%.
Gejala atipikal merupakan manifestasi dari refluks ekstra esophagus,
termasuk : Nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain), asma,
bronchitis, batuk kronik (yang disebaban oleh aspirasi), pneumonia
rekuren, suara serak, laryngitis posterior kronik, sensasi sukar menelan,
otalgia, sariawan, cegukan dan erosi email gigi.2
2.8.6 Diagnosis

Ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan


pemeriksaan Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi pemeriksaan
penunjang sering digunakan untuk menegakkan diagnosis. 17
1) Riwayat Penyakit (Anamnesis)
Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling nyata dan utama.
Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi lain seperti
keadaan alergi dan kebiasaan merokok. Gerakan paradox dari pita suara dan
spasme laring juga dapat dikarenakan LPR sehingga perlu ditanyakan apakah
pasien mempunyai masalah pernafasan dan perubahan suara. Asma dan
sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR. Refluks sering dianggap sebagai
faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang asam lambungnya
dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan perbaikan keluhan pada
kasus asma 78%. 17
Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti rasa
seperti terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Riwayat mengkonsumsi
obat gastritis seperti antasida perlu ditanyakan serta riwayat suka

54
mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan seperti ini membantu penegakan
diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang dengan keluhan yang
tidak pasti.
Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92%
ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol
ditenggarai sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah,
kelemahan tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan
merangsang sekresi lambung
Belafsky, et al mengembangkan suatu sistem penilaian diagnostik, yaitu
Reflux Symptom Index (RSI) untuk membantu dokter menilai derajat relatif
dari gejala LPR saat penilaian awal dan setelah pengobatan. Ada 9 gejala
refluks (Reflux Symptom Index/RSI) yang dapat digunakan untuk menentukan
adanya gejala LPR dan derajat sebelum dan sesudah terapi. Gejala yang sering
muncul seperti suara serak, mendehem, penumpukan dahak di tenggorok atau
post nasal drip, sukar menelan, batuk setelah makan, sulit bernafas atau
tersedak, batuk yang sangat mengganggu, rasa mengganjal dan rasa panas di
tenggorok, nyeri dada atau rasa asam naik ke tenggorok. Gejala tersering pada
LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan rasa mengganjal di tenggorok
(globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma laring ditemukan riwayat LPR 58%
dan stenosis subglotik 56%.Skor RSI adalah 0-45 dengan skor ≥ 13 curiga
LPR. RFS ≥ 7 dianggap memiliki LPR. 17

55
Gambar 16. RSI

Gambar 17. RFS

56
2) Pemeriksaan Fisik
Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura
posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis subglotik
dan karsinoma laring.Untuk melihat gejala LPR pada laring dan pita suara
perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling bermakna seperti adanya
eritema, edema dan hipertrofi komissura posterior. 17

Gambar 18. Hipertrofi komissura Posterior

Gambar 19. Reflux Laryngitis.

3) Pemeriksaan Penunjang
 Laringoskopi fleksibel
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR.
Biasanya yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih

57
sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan laringoskop
rigid.2
 Monitor pH 24 jam di faringoesofageal
Pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double probe pH
monitoring yang merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR.
Pertama kali diperkenalkan oleh Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini
dianjurkan pada keadaan pasien dengan keluhan LPR tetapi pada
pemeriksaan klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif
dalam mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat
membedakan adanya refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan
dibawah sehingga dapat menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan
pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman dan dapat
ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%.Hal ini dikarenakan pola
refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya
hidup sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan.
Pemeriksaan ini hanya dapat menilai refluks asam sedangkan refluks non
asam tidak terdeteksi. Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak
respons terhadap pengobatan supresi asam. 2
 Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai pemeriksaan
awal pada pasien suspek PRGE dengan manifestasi penyakit
otolaringologi dan tidak merupakan prasyarat untuk memulai terapi
medic.
Indikasi Pemeriksaan endoskopi :
 Pasien dengan gejala tanda bahaya, antara lain disfagia, odinofagia,
berat badan menurun, anemia, perdarahan gastrointestinal untuk
menyingkirkan kelainan traktus gastrointestinal atas, metaplasia Barret
dan komplikasi lain.
 Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medik, pasien yang
mengalami gejala lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis dan hasil
terapi.

58
Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam penegakan
diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar 30% pada kasus
LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika kita temukan
gambaran garis melingkar “barret” dengan atau tanpa adanya inflamasi
esofagus. 2
 Pemeriksaan videostroboskopi
Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber cahaya
xenon yang diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat
dilihat dengan gerakan lambat. 2
 Pemeriksaan laringoskopi langsung
Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan
operasi. Dapat melihat secara langsung struktur laring dan jaringan
sekitarnya serta dapat dilakukan tindakan biopsy.2

2.8.7 Penatalaksanaan
Meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan gaya
hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi funduplikasi.17
a) Modifikasi diet dan gaya hidup
Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang tepat agar
terapi berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai pencegahan refluks
cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR. Pasien akan mengalami
pengurangan keluhan dengan perubahan diet dan gaya hidup sehat. Misalnya pola
diet yang dianjurkan pada pasien seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum
berbaring, pengurangan porsi makan, hindari makanan yang menurunkan tonus
otot sfingter esofagus seperti makanan pedas, berlemak, gorengan, kopi, soda,
alkohol, mint, coklat buahan dan jus yang asam, cuka, mustard dan tomat.
Anjuran lain seperti menurunkan berat badan jika berat badan pasien berlebihan,
hindari pakaian yang ketat, stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring 10-
20cm dan mengurangi stress. Jika merokok dianjurkan berhenti karena akan
merangsang refluks. Hindari pakaian yang terlalu sempit terutama celana, korset
dan ikat pinggang. Hindari olahraga seperti angkat berat, berenang, jogging dan

59
yoga setelah makan. Tinggikan kepala jika ada gejala refluks nokturnal seperti
suara serak, tidak nyaman di tenggorok, dan batuk di pagi hari. Batasi konsumsi
daging merah, mentega, keju, telur dan bahan mengandung kafein. Hindari selalu
makanan gorengan, makanan tinggi lemak, bawang, tomat, buahan dan jus yang
asam, soda, bir, alcohol. 17
b) Medikamentosa
Proton Pump Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan
terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks. Cara
kerja PPI dengan menurunkan kadar ion hydrogen cairan refluks tetapi tidak
dapat menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan refluks
asam lambung sampai lebih dari 80%. Rekomendasi dosis adalah 2 kali dosis
GERD dengan rentang waktu 3 sampai 6 bulan. Salah satu kepustakaan
menyebutkan rentang waktu pengobatan dapat sampai 6 bulan atau lebih dengan
menggunakan PPI 2 kali sehari untuk memperbaiki laring yang cedera. Dalam
penelitian sebelumnya Omeprazole disebut sebagai derivat PPI yang ampuh
ternyata akhir-akhir ini Lansoprazole dan Pantoprazole dianggap lebih maksimal
dalam menekan asam lambung. Kemudian zat proteksi mukosa, sukralfat
misalnya dapat digunakan untuk melindungi mukosa dari cedera akibat asam dan
pepsin. Promotility Agents, obat ini bekerja dengan cara meningkatkan tekanan
LES (lower esophagus spincters), meningkatkan pengosogan lambung dan dapat
meningkatkan mekanisme pembersihan esophagus, Metoclopramid 10/15 mg.
Pemeriksaan sedianya dilakukan rutin setiap 3 bulan yang berguna memantau
gejala atau mencari penyebab lain jika tidak terjadi perbaikan. 17
c) Terapi Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier pada
daerah pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah refluks seluruh
isi gaster kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus
menerus minum obat atau dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk
menekan asam lambung. Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah
funduplikasi laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya
tanpa komplikasi, perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti mengenai

60
anatomi esofagus serta menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka
komplikasi dapat ditekan. Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama pada kasus
LPR. 17
2.8.8 Komplikasi
LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti
faringitis, sinusitis, asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan
keganasan laring. Salah satu komplikasi yang patut diwaspadai dan mengancam
nyawa adalah stenosis laring. Riwayat LPR ditemukan pada 75% pasien stenosis
laring dan trakea. 17

2.8.9 Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup.
Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan
laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan
omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat,
sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2
kali sehari selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.17

61
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Senin/ 3 Agustus 2015

SMF PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Fariska Tanda tangan

Nim : 1120116328

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Stivina A, Sp.THT-KL

Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Andri SpKJ, FAPM

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. J Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 29 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Pekerja Konveksi Pendidikan : SMA
Alamat : Angke Indah No.363 Status menikah : Menikah

ANAMNESA
Diambil secara : autoanamnesis
Pada tanggal : 17 Juli 2017 Jam : 12.00 WIB

62
Keluhan utama
Telinga nyeri dan gatal sejak 7 hari SMRS.

Keluhan tambahan
Telinga terasa berdengung dan pendengarannya telinga kanan berkurang sejak 1 hari
SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Sejak 7 hari SMRS, pasien merasa telinga kanannya nyeri dan gatal. Selain itu
pasien juga merasakan telinga kanan berdengung dan pendengarannya berkurang sejak 1
hari SMRS. Keluhan keluar cairan dari dalam telinga disangkal. Pada telinga kiri tidak
ditemukan adanya keluhan. Pasien sebelumnya pernah datang ke klinik pada 7 hari
SMRS dan mendapatkan obat asam mefenamat dan antibiotik. Setelah meminum obat
tidak dirasakan adanya perbaikan. Pasien memiliki kebiasaan mengorek telinga
menggunakan cotton buds. Pasien tidak memiliki kebiasaan berenang.
Pasien tidak merasakan adanya lendir pada hidung maupun sumbatan pada hidung.
Pasien tidak merasakan hidung gatal, bersin-bersin atau adanya gangguan fungsi
penghidu. Pasien memiliki riwayat bersin tiap pagi atau setiap terkena debu dan udara
dingin dan membaik pada saat dilakukan anamnesis. Rasa nyeri di pipi maupun dahi
disangkal oleh pasien pada saat ini. Pasien tidak mengeluhkan sering sakit kepala ataupun
adanya nyeri di pipi atau di bawah kelopak mata. Tidak ada keluhan gigi berlubang pada
pasien saat ini.

Pasien mengatakan terkadang pilek namun tidak sering tanpa disertai hidung
mampat. Pilek biasanya dirasakan pada pagi hari, namun keluhan ini tidak begitu
mengganggu aktivitas sehari-hari. Jika sedang pilek, ingus yang keluar encer, berwarna
bening disertai keluhan gatal pada hidung dan mata berair. Keluhan bersin-bersin
disangkal pasien.

Pasien mengaku tenggorokannya sering kering dan gatal. Pasien juga sering
mengalami batuk tanpa dahak dan sering mendehem. Saat pagi suara pasien sering serak.
Tidak ada keluhan nyeri saat menelan. Pasien juga sering merasakan sakit pada ulu hati

63
jika telat makan. Pasien sering mengkonsumsi makanan pedas dan gorengan. Pola makan
pasien tidak teratur. Pasien belum pernah melakukan pengobatan untuk keluhan nyeri ulu
hatinya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat keluar cairan dari telinga 3 bulan yang lalu dan
mendapatkan obat tets dari poli klinik.
Riwayat maag, alergi, asma, trauma, kencing manis, darah tinggi, kolesterol, dan
batuk kronis disangkal.

Riwayat penyakit keluarga


Kedua orang tua pasien memiliki riwayat darah tinggi.
Riwayat kencing manis, kolesterol, batuk kronis, dan alergi pada keluarga pasien
disangkal.

Riwayat sosial
Pola makan pasien tidak teratur, pasien tidak merokok dan mengkonsumsi
minuman beralkohol. Lingkungan rumah pasien padat penduduk, lingkungan kerja pasien
banyak debu. Pasien menggunakan masker saat bekerja.

Pemeriksaan Fisik
TELINGA
Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
anotia (-), atresia (-), fistula (-), anotia (-), atresia (-), fistula
bat’s ear (-), lop’s ear (-), (-), bat’s ear (-), lop’s ear (-),
cryptotia (-), satyr ear (-) cryptotia (-), satyr ear (-)
Tanda Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-),
(-), hipertermi (-), functio laesa hiperemis (-), hipertermi (-),
(-), edema (-) functio laesa (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

64
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), hematoma (-), laserasi (-),
abses (-), sikatriks (-), massa (- abses (-), sikatriks (-), massa
), hiperemis (-), nyeri (-), (-), hiperemis (-), nyeri (-),
hipertermi (-), edema (-) hipertermi (-), edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), hipertermi (-), Massa (-), hiperemis (-),
massa (-), nyeri (-), edema (-), odem (-), nyeri (-), abses (-),
abses (-), hipertemi (-)
Liang telinga Lapang, edema (-), stenosis (-), Lapang, edema (-), stenosis
atresia (-), furunkel (-), jar. (-), atresia (-), furunkel (-),
granulasi (-), hiperemis (-), jar. granulasi (-), hiperemis
secret (-), serumen(-), laserasi (-), sekret (-), serumen (-
(-), hifa (+), perdarahan aktif (- ),massa (-), hifa (-),
), clotting (-), debris (+) perdarahan aktif (-), clotting
(-)

Membran Timpani Sulit dinilai Intak, suram, Reflek cahaya


(+) arah jam 7, hiperemis (-
),retraksi (-), buldging (-)

Tes Penala
Dextra Sinistra

Rinne Positif Positif

Weber Lateralisasi ke dextra

Schwabach Memanjang Sama dengan pemeriksa

Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz

Kesan : pada telinga kanan pasien mengalami tuli konduktif dengan penala 512 Hz.

65
HIDUNG

Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump nose (-),
agenesis (-), hidung bifida (-), agenesis (-), hidung bifida (-),
atresia nares anterior (-), tidak atresia nares anterior (-), tidak
ada deformitas. ada deformitas.

Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), massa Hiperemis (-), nyeri (-), massa
(-), functio laesa (-) (-), functio laesa (-)

Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-), Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-),
maxillaris krepitasi (-) krepitasi (-)

Vestibulum Tampak bulu hidung, laserasi Tampak bulu hidung, laserasi


(-), sekret (-), furunkel (-), (-), sekret (-), furunkel (-),
krusta (-), hiperemis (-), krusta (-), hiperemis (-),
hipertermi (-), nyeri (-), massa hipertermi (-), nyeri (-), massa
(-) (-)

Cavum Nasi sekret (+), massa (-), krusta (- sekret (+), massa (-), krusta (-
), benda asing (-), edema (-), ), benda asing (-), edema (-),
pendarahan(-), pendarahan (-)

Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis (-), Hipertrofi (-), hiperemis (-),
livide (+), edema (+) livide (+), edema (+)

Meatus nasi inferior sekret (-), massa (-), edema (-) sekret (-), massa (-), edema (-)

Konka Medius Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (+), hiperemis (-), livide (+),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)

Meatus nasi medius sekret (-), massa (-), edema (-) sekret (-), massa (-), edema (-)

Septum nasi Deviasi (-), spina (-), Deviasi (-), spina (-),
hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),
perforasi (-), crista (-) perforasi (-), crista (-)

66
RINOPHARING

 Koana : Tidak dilakukan


 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

 Sinus frontalis kanan : Tidak dilakukan


 Sinus frontalis kiri : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kanan : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kiri : Tidak dilakukan

FARING

Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (+), ulkus (-), perdarahan
aktif (-), clotting (-), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-),
ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-),
memanjang (-), edema (-).
Gigi : caries (+).

LARING

Epiglottis : Tidak Dilakukan

Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan

67
Arytenoids : Tidak dilakukan

Ventricular band : Tidak dilakukan

Pita suara : Tidak dilakukan

Rima glotis : Tidak dilakukan

Cincin trachea : Tidak dilakukan

Sinus Piriformis : Tidak dilakukan

Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan
palpasi.

Skor RSI : 15

Suara serak/ problem suara 2

Sering mendehem 4

Lendir di tenggorok (PND) 0

Kesukara menelan 0

Batuk setelah makan atau berbaring 2

Kesukaran bernafas 0

Batuk yang mengganggu 0

Rasa mengganjal di tenggorok 4

Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 3


pencernaan, regurgitasi asam

68
RESUME

Dari anamnesa yang di dapat keluhan :

Ny. J usia 29 tahun datang dengan keluhan otalgia dan pruritus pada telinga kanan
sejak 7 hari SMRS. Pasien juga merasakan adanya tinitus dan pendengarannya telinga
kanan berkurang sejak 1 hari SMRS. Pada 7 hari SMRS pasien sudah berobat ke klinik
dan diberikan asam mefenamat serta antibiotik. Pasien sering membersihkan telinga
menggunakan cotton buds.
Pasien mengaku tidak ada keluhan pada hidung saat ini. Pasien memiliki riwayat
bersin tiap pagi atau setiap terkena debu dan udara dingin. Pasien sering mengalami pilek
pada pagi hari dengan sekret serosa yang keluar dari hidung disertai keluhan pruritus
pada hidung dan mata berair.
Pasien mengaku tenggorokannya sering kering dan gatal. Pasien juga sering
mengalami batuk tanpa dahak dan sering mendehem. Saat pagi suara pasien sering serak.
Pasien juga sering merasakan sakit pada ulu hati jika telat makan. Pasien sering
mengkonsumsi makanan pedas dan gorengan. Pola makan pasien tidak teratur.
Pasien memiliki riwayat ottorhea pada telinga kanan 3 bulan yang lalu dan
mendapatkan obat tetes dari poli klinik.
Kedua orang tua pasien memiliki hipertensi.
Pola makan pasien tidak teratur, lingkungan kerja pasien banyak debu. Pasien
menggunakan masker saat bekerja.

Dari pemeriksaan di dapatkan :

Telinga

 Kanan : bentuk telinga normotia, liang telinga lapang tertutup debris (+), hifa (+)
 Kiri : bentuk telinga normotia, liang telinga tampak lapang, membran timpani
utuh, reflex cahaya diarah jam 7.
 Tes penala : pada telinga kanan pasien mengalami penurunan pendengaran
dengan penala 512 Hz.

69
Hidung

- Mukosa konka inferior kanan dan kiri livid dan edema, Mukosa konka media
livid.

Tenggorok

- Pada pemeriksaan faring dinding posterior tidak rata dan tampak granul.
- Dinding posterior faring tampak hiperemis

Working diagnosa (WD)


- Otomikosis AD
Dasar yang mendukung:
Anamnesis
 Adanya rasa penuh dan gatal di telinga kanan
 Adanya penurunan pendengaran pada telinga kanan

Pemeriksaan Fisik:
 Tampak debris dan hifa yang menutupi liang telinga kanan
 Tes penala terdapat penurunan pendengaran pada telinga kanan

- Suspek Rinitis Alergi Intermiten Ringan


Dasar yang mendukung:
 Riwayat bersin jika terkena debu dan udara dingin
 Sering mengalami pilek saat pagi hari dengan secret yang bening dan
cair disertai gatal dan mata berair.
 Gejala tersebut tidak sampai mengganggu aktivitas sehari-hari
Pemeriksaan Fisik :
 Pada rhinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior tampak
livide dan edem, mukosa konka media tampak livid.

- Faringitis Kronik Hiperplastik


Dasar yang mendukung :

70
 Tenggorokan sering kering dan gatal.

Pemeriksaan Fisik :

 Pemeriksaan faring dinding posterior tidak rata dan tampak granul,


serta hiperemis.

- LPR
Dasar yang mendukung :
 Didapatkan Reflux symptom index (RSI) sebesar 15 (≥ 13).
 Pasien merasa ada yang mengganjal di tenggorok, sering mendehem, suara
serak, sering sakit di ulu hati, sering makan makanan pedas dan gorengan.

Differential Diagnosis
- Otitis Eksterna Difusa

Dasar yang mendukung :

 Adanya nyeri pada telinga


 Penurunan pendengaran
 Riwayat keluar cairan dari telinga
- Rinitis Vasomotor
Dasar yang mendukung :
 Bersin – bersin jika terkena debu dan dingin
 Tidak mengganggu aktivitas sehari-hari

Dasar yang tidak mendukung :

 Tidak ada hidung mampet yang bergantian sesuai posisi pasien


 Disertai gejala pada mata
 Rinore tidak mukoid
 Rasa gatal pada hidung
- Faringitis Kronik Atrofi
Dasar yang mendukung :

71
 Tenggorokan kering

Dasar yang tidak mendukung :

 Tenggorokan tebal
 Mulut berbau
 Faring tidak ditutupi lender kental

Rencana pemeriksaan lanjutan

 Pemeriksaan KOH
 Tes audiometri
 Lariongoskopi
 Skin Prick test

Penatalaksanaan

Medika Mentosa :

Otomikosis : larutan asam asetat 2% dalam alcohol

Rinitis Alergi intermiten ringan : Antihistamin : Loratadine 10 mg x 1 sehari

Faringitis kronik hiperplastik : obat kumur

LPR : Lanzoprazole 30 mg x 2 sehari.

Non Medika Mentosa :

 Menjaga kebersihan telinga dan hidung


 Menjaga kesehatan tubuh dengan meminum vitamin dan makanan bergizi
 Istirahat cukup
 Menggunakan masker saat melakukan perkerjaan yang kontak dengan debu
 Minum yang cukup
 Hindari makanan pedas, bersantan, berminyak, alcohol, dll. Yang membuat
naiknya asam lambung.

72
Prognosis

Otomikosis AD

Ad vitam : Bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam


Ad fungtionam : Dubia ad bonam

Suspek Rinitis Alergi Interminten Ringan

Ad vitam : Bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam


Ad fungtionam : Dubia ad bonam

Faringitis Kronik Hiperplastik

Ad vitam : Bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam


Ad fungtionam : Dubia ad bonam

LPR
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

73
KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa pasien


menderita otomikosis AD, suspek rhinitis alergi intermiten ringan, faringitis kronis
hiperplastik, dan Laryongpharyeal Refluks (LPR).
Diagnosa tersebut didukung dengan adanya rasa gatal dan nyeri pada telinga
kanan pasie, dan ditemukannya debris dan hifa pada liang telinga pasien untuk
otomikosis. Untuk suspek rinitis alergi diketahui bahwa pasien sering bersin jika terkena
debu dan udara dingin, mengalami pilek saat pagi hari dengan secret yang bening dan
cair disertai gatal dan mata berair dan gejala tersebut tidak sampai mengganggu aktivitas
sehari-hari. Pada pemeriksaan fisik rhinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior
tampak livide dan edem, mukosa konka media tampak livid. Untuk gejala faringitis
kronik hiperpastik tenggorokan sering kering dan gatal. Pada pemeriksaan faring dinding
posterior tidak rata dan tampak granul, serta hiperemis. Untuk LPR didapatkan Reflux
symptom index (RSI) sebesar 15 (≥ 13). Pasien merasa ada yang mengganjal di
tenggorok, sering mendehem, suara serak, sering sakit di ulu hati, sering makan makanan
pedas dan gorengan.

74
DAFTAR PUSTAKA

1. Boies, L. R. Penyakit telinga luar: BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-
6. Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta: 1997.h.76-9.
2. Soepardi E.A. Iskandar N.I. Bashiruddin J. dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-7. 2012.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. Kridel RWH, Kelly PE, MacGregor AR. The nasal septum. In: Cummings,
C.W., et al. Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Ed. Philadelphia:
Mosby; 2005. P.1001.
4. Dhingra PL. Anatomy of ear. In: Disease of ear, nose and throat. Fourth
edition. Elsevier. New Delhi. 2007.p.5-9.
5. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h.
34-41.
6. Guyton, A.C & Hall, J.E. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam
Saluran Pencernaan. Dalam : Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
edisi 11. EGC. Jakarta. 2007. Hal. 821-831
7. Raymundo M, Sam J.Daniel. Ototopical antifungals and otomycosis,
International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology. 2008, 453-459
8. Prasad CS, Kotigadde S, Prabhu P. Primary Otomycosis in the Indian
Subcontinent: Predisposing Factors, Microbiology, and Classification,
International Journal of Microbiology. Department of Otolaryngology,
Manipal University. 2014. India
9. Jackman, R. Ward, M. April, J. Bent, Topical antibiotic induced otomycosis,
International Journal of Otorhinolaryngology. 69 (2005) 857—860.
10. Satish H.S, Vismanatha B. A Clinical Study of Otomycosis. IOSR Journal of
Dental and Medical Scienes. 2013
11. Anwar K, Gohar MS. Otomycosis, clinical features, predisposing factors and
treatment implications. Di unduh dari
http;//dx.doi.org/10.12669/pjms.303.html tanggal 27 Juni 2017

75
12. Metwally A, Mubarak H, Gamea A. Epidemiology,Causative agents and risk
factors affecting human otomycosis infections. Turkish Journal of Medical
Sciences. 2015 45:820-826
13. Polak A, Jäckel A, Noack A, Kappe R. Agar sublimation test for the in vitro
determination of the antifungal activity of morpholine derivatives. Mycoses
2004;47:184-92.
14. T.Ho,J.T.Vrabec,D.Yoo,andN.J.Coker,“Otomycosis:clinical features and
treatment implications,” Otolaryngology: Head and Neck Surgery, vol. 135,
no. 5, pp. 787–791, 2006
15. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [
cited 2015 March 9 ]. Available from URL: http://www.medscape.com

16. tonsilitis, Prof.Dr franklin junior MD,2007 may,center unit


otorhinolaryngology head and neck surgery 15th edition. Available on URL :
www.emedicine.com
17. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.

76

Anda mungkin juga menyukai