PENDAHULUAN
1
Diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan gangguan suara yang datang berobat ke dokter
THT diakibatkan oleh RLF.2
Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan pembaca mengenai otomikosis, rhinitis
alergi, faringitis kronik, dan Laryngopharyngeal Reflux (LPR). Dengan harapan pembaca dapat
mengerti dan memahami seluk beluk dan perjalanan penyakit ini berdasarkan teori dan
membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di lapangan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telinga
2.1.1 Anatomi Telinga
Telinga adalah alat indra/panca indra yang memiliki fungsi untuk mendengar
suara yang ada di sekitar kita sehingga kita dapat mengetahui/ mengidentifikasi apa yang
terjadi di sekitar kita tanpa harus melihatnya dengan mata kepala kita sendiri. Orang yang tidak
bisa mendengar atau terdapat gangguan pada pendengaranya disebut tuli. Telinga manusia
terdiri atas tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga bagian dalam.2
Telinga bagian luar terdiri atas daun telinga (aurikula) dan liang telinga sampai
membran timpani. Rangka daun telinga ini terdiri dari tulang rawan elastik dan kulit yang
berfungsi untuk mengumpulkan getaran suara menuju saluran telinga luar. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan 1/3 bagian luar dengan rangka tulang rawan dan 2/3 bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjang liang telinga luar ini ±2,5-3 cm. Bagian ini
dipisahkan dari cavitas timpani oleh membrana tympanica, bagian ini dilapisi oleh kulit
yang dilengkapi glandula sebasea dan glandula seruminosa (modifikasi kelenjar apokrin
3
dengan menghasilkan serumen), dengan mempunyai fungsi sebagai resonator gelombang.
Serumen dan rambut telinga ini dapat mencegah masuknya benda asing ke dalam
telinga.2
Membran Timpani
Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars
tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah
lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti
epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan serat elastin yang berjalan secara radier di
bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.2
Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad
antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dan antrum mastoid. 1
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai
umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada
pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pada pukul 5 untuk membran timpani kanan.
Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran
timpani..2
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-belakang, untuk
menyatakan letak perforasi membran timpani.2
4
Gambar. 2. Membran Timpani 4
Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan
promontorium.2
5
Gambar 3.Batas-batas Telinga Tengah.2
Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api.1
Kavum timpani terdapat tulang-tulang pendengaran, terbagi atas malleus
(hammer/martil), inkus (anvil/landasan), stapes (stirrup/pelana). Tulang pendengaran di
dalam telinga tengah saling berhubungan. Prossesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes
melekat pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-
tulang pendengaran merupakan persendian.1
Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal.
Atap mastoid adalah fosa kranii media. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad
antrum yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.1
Tuba eustachius.
Tuba eustachius seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan
kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm
berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak dibawah 9 bulan
adalah 17,5 mm.1
6
Fungsi Tuba Eustakhius adalah ventilasi, drenase sekret dan menghalangi masuknya
sekret dari nasofaring ke telinga tengah. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan di
telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. 1
Bagian dalam telinga ini terdapat organ pendengaran yang terdiri atas koklea
(rumah siput) dan organ keseimbangan (vestibuler) yang terdiri atas kanalis semi
sirkularis, sakulus dan ultrikulus.2
Koklea ini terdiri atas dua ruangan atau saluran, canal vestibular bagian atas dan
canal timpanik pada bagian bawah. Kedua ruangan tersebut berisikan cairan perilimfe
dan dibatasi oleh duktus koklea. Sedangkan duktus koklea berisikan cairan endolimfe.
Pada bagian dasar duktus koklea inilah terdapat reseptor pendengaran yang disebut
dengan organ corti.2
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus, dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel
rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh
silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan
berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya
dari otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada
reseptor. Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang
yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada
utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai satu ujung yang melebar membentuk
ampula dan mengandung sel-sel rambut Krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu
kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan
kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut Krista dan
merangsang sel reseptor.2
7
Gambar. 4. Koklea 4
8
Gambar. 5. Mekanisme Pendengaran4
2.2 Hidung
2.2.1 Anatomi Hidung
Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung
(nares anterior). 1 Hidung terhubug dengan os frontale dan maksila melalui pangkal hidung
yang dibentuk ossa nasalia. Kulit pembungkus hidung tertambat erat pada dasar hidung dan
memiliki kelenjar sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada keadaan rhinophyma.5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis
os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
9
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 2
Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi
yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. 2
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila
dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
2,5
kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral
hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung. 2
10
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. 2
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di
antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung. 2
Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris
merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior
atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. 2
11
Vaskularisasi Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis superior dan a.
palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area). Pleksus kiesesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara
ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.2
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.ethmoidalis
anterior, yang merupakan ccabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N. V-1).2
12
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris n.maksila melalui
ganglion sfenopalatina.2
Ganglion sfenopalatina, selaian memberika persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf
sensoris dari n.maksilari (N. V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.2
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.2
13
3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran tuara sendiri melalui konduksi tulang. Kata dibentuk dari lidah, bibir,
dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
4) fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas.
5) refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
respon refleks bersin dan napas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan
sekresi kelenjar air liur, lambung, dan pankreas.2
2.3 Faring
2.3.1 Anatomi2
Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi :
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring
yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan
kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring,
nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian
petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.2
2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah
tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
14
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan
otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan
gangguan n.vagus.
b. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil.
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. 1
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di
dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang
tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumpalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi
dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas
keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar. 2
3.Laringofaring
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi
untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut
15
menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke
esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat
muara esophagus. 1,2
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau
dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di
bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang
bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)
ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar
dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus
laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini
penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung. 2
16
Gambar 9. Faring dan Laring.
17
pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum.
2.4 Esofagus
2.4.1 Anatomi
Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke lambung.
Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Di mulai dari batas bawah tulang rawan
krikoid atau setinggi vertebra C.VI, berjalan sepanjang leher, mediastinum superior dan
posterior, di depan vertebra servikal dan torakal, dan berakhir pada orifisium kardia lambung
setinggi vertebra Th.XI. Melintas melalui hiatus esofagus diafragma setinggi vertebra Th.X.2
Esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tak berkeratin yang tebal dan memiliki dua
sfingter yaitu sfingter atas dan sfingter bawah. Sfingter esofagus atas merupakan daerah
bertekanan tinggi dan daerah ini berada setinggi kartilago krikoid. Fungsinya mempertahankan
tonus, kecuali ketika menelan, bersendawa dan muntah. Meskipun sfingter esofagus atas bukan
merupakan barrier pertama terhadap refluks, namun dia berfungsi juga untuk mencegah refluks
keluar dari esofagus proksimal menuju ke hipofaring.2
Sfingter bawah esophagus panjangnya kira-kira 3 cm, dapat turun 1-3 cm pada
pernafasan normal dan naik sampai 5 cm pada pernafasan dalam, merupakan daerah bertekanan
tinggi yang berada setinggi diafragma. Sfingter ini berfungsi mempertahankan tonus waktu
menelan dan relaksasi saat dilalui makanan yang akan memasuki lambung serta mencegah
refluks. Relaksasi juga diperlukan untuk bersendawa.
Menurut letaknya esofagus terdiri dari beberapa segmen :2
1) Segmen servikalis 5-6 cm ( C.VI-Th. I )
2) Segmen torakalis 16-18 cm ( Th. I-V )
3) Segmen diafragmatika 1-1,5 cm ( Th. X )
4) Segmen abdominalis 2,5-3 cm ( Th. XI )
18
2) Daerah aorta, setinggi Th. IV
3) Daerah bronkus kiri, setinggi Th. V
4) Daerah diafragma, setinggi Th. X .
19
penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan,
sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya
bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus
piriformis sudah dalam keadaan lurus. 6
20
2.5 Otomikosis
2.5.1 Definisi
Otomikosis, atau juga dikenal dengan otitis eksterna jamur adalah suatu infeksi
jamur pada saluran pendengaran (kanalis auditorius) eksterna beserta komplikasi terkait
yang kadang-kadang melibatkan telinga tengah. Hal ini terjadi karena keseimbangan lipid
/ asam pelindung telinga telah hilang. Meski jarang mengancam kehidupan, penyakit ini
adalah entitas yang menantang dan membuat frustrasi bagi pasien dan ahli terapi
otolaring karena sering memerlukan perawatan dan follow-up jangka panjang. Meskipun
demikian, bisa terjadi kekambuhan.7,8
Fungi atau jamur bisa menjadi penyebab primer dari otomikosis atau bisa
disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebagian besar pasien otomikosis mengeluhkan gatal
parah yang menyebabkan rasa sakit, kehilangan pendengaran, dan bisa menyebabkan
perforasi membran timpani.7,8
Aspergillus niger dan Candida albicans adalah penyebab jamur yang paling
sering ditemukan, spektrum yang luas dari jamur lain bisa juga menyebabkan otomikosis.
Berbagai faktor telah diusulkan sebagai faktor predisposisi untuk otomikosis, termasuk
iklim lembab, adanya serumen, instrumentasi telinga, host yang immunocompromised,
dan belakangan, peningkatan penggunaan sediaan antibiotik / steroid topical. Penggunaan
antibiotik yang luas dan terkadang tidak perlu untuk pengobatan otitis media dan otitis
externa dikaitkan dengan peningkatan prevalensi otomikosis yang penting. Pertumbuhan
berlebih sekunder dari jamur adalah komplikasi penggunaan antibiotika spektrum luas
seperti kuinolon.9
2.5.2 Etiologi
Infeksi ini disebabkan oleh beberapa spesies dari jamur yang bersifat saprofit,
terutama Aspergillus niger. Agen penyebab lainnya meliputi A. flavus, A. fumigatsi,
Scopulariopsis, Penicillium, dan Candida Spp. Aspergillus niger dilaporkan sebagai
penyebab paling terbanyak dari otomikosis ini, diikuti dengan Candida.8
21
Table 1. Spektrum jamur yang di-isolasi dari pasien dengan otomikosis8
22
Immunocopromised Immunocompetent
Grafik 1. Isolasi Jamur (%) pada kelompok pasien immunocompromised dan kelompok
immunocompetent.10
2.5.3 Epidemiologi
Otomikosis biasanya terjadi pada remaja dan dewasa dengan rentang usia 21-40
tahun dan jarang pada anak-anak. Otomikosis lebih sering pada laki-laki dibandingkan
pada perempuan.7
23
Angka insidensi otomikosis tidak diketahui, tetapi sering terjadi pada daerah
dengan cuaca yang panas, juga paparan dari pekerjaan maupun orang orang yang senang
traveling, dan sebagainya. Otomikosis ini lebih sering dijumpai pada daerah dengan
cuaca panas, dan banyak literatur menyebutkan otomikosis berasal dari negara tropis dan
subtropis.8
Serumen sendiri memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang berfungsi menekan
pertumbuhan bakteri dan jamur. Kelembaban, kehangatan, dan pH asam kanal
pendengaran eksternal memberikan persyaratan pertumbuhan ideal untuk jamur.
Aspergilli memiliki kisaran pH optimum 5,7 dan laju pertumbuhan maksimum pada suhu
24
37 ° C dan ini kondusif untuk semua spesies Aspergillus yang diisolasi dalam penelitian
ini. Didukung oleh predileksi jamur untuk tumbuh di sepertiga bagian dalam saluran
pendengaran eksternal.8
Olah raga air misalnya berenang dan berselancar sering dihubungkan dengan
keadaan. Bisa juga disebabkan oleh adanya prosedur invasif pada telinga. Perenang
sering hadir dengan otitis eksterna dan otomikosis akut. Risiko otitis externa dilaporkan
lima kali lebih besar pada perenang dibandingkan pada perokok. Panas, kelembaban, dan
air menyebabkan pembengkakan stratum korneum pada kulit.
Kelembaban dari berenang atau mandi meningkatkan maserasi pada kulit kanal
pendengaran yang menyebabkan kerusakan penghalang pelindung serumen dan
menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri dan jamur Aspergillus dan
Candida spp.Air yang tercemar berhubungan dengan otitis eksterna bakteri dan jamur.
Untuk mencegah otitis eksterna akut, penting bagi pasien untuk menghindari berenang
atau menggunakan alat pelindung, termasuk karet komersial atau penyumbat telinga
silikon.8
Beberapa pasien dengan penyakit kulit umum, seperti psoriasis atau dermatitis
atopik, diobati dengan steroid topical selama bertahun-tahun bisa memicu timbulnya
otitis eksterna jamur, kebanyakan pada bagian auricle dan di kanal
pendengaran.Penggunaan antibiotik yang luas dan terkadang tidak perlu untuk
pengobatan otitis media dan otitis externa dikaitkan dengan peningkatan prevalensi
otomikosis yang penting. Pertumbuhan berlebih sekunder dari jamur adalah komplikasi
penggunaan antibiotika spektrum luas seperti kuinolon. 7,8
Kulit yang menutupi kanal pendengaran eksternal serupa dengan bagian tubuh
yang lain, namun terkena atmosfir oleh saluran masuk kecil. Dengan kata lain, disposisi
25
anatomis kanal pendengaran eksternal mensimulasikan tabung kultur yang dilapisi
dengan kulit yang memberikan kondisi ideal untuk pertumbuhan jamur dan bakteri.
Penyimpangan anatomi lebih lanjut seperti penyempitan kanal juga dapat menjadi
predisposisi otomikosis.8
2.5.5 Patofisiologi
Terdapat 4 proses yang dapat menyebabkan infeksi pada liang telinga yaitu
obstruksi serumen yang menyebabkan retensi air, hilangnya serumen akibat pembersihan
yang berlebih atau terpapar air terus menerus, trauma, dan perubahan pH di permukaan
liang telinga luar. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi kemunculan otomikosis
seperti faktor sistemik (gangguan imunitas, penggunaan kortikosteroid, sitostatika, dan
neoplasia), riwayat otitis bakterial, OMSK, dan mastoidektomi radikal sebelumnya.
Dermatomikosis di area tubuh lain juga dapat menjadi faktor predisposisi, karena
kemungkinan jamur di bagian tubuh terinokulasi ke liang telinga luar dan menyebabkan
otomikosis. Retensi air menyebabkan peningkatan kelembapan di permukaan liang
telinga luar sehingga jamur dapat mudah berproliferasi dan tingginya kelembapan juga
dapat mengabrasi epitel sehingga mudah diinvasi oleh jamur.11
Hilangnya serumen akibat pembersihan liang telinga yang berlebihan atau karena
terlalu sering terbilas air juga menghilangkan serumen yang memiliki fungsi proteksi dari
jamur dan organisme lainnya sehingga invasi oleh jamur patogen mudah terjadi di liang
telinga luar. Trauma dan perubahan pH juga menyediakan kondisi terbaik untuk jamur
berkembang biak di permukaan kulit liang telinga luar.11
26
Invasi hifa dan spora dari jamur patogen pada kulit liang telinga luar
menyebabkan proses peradangan yang ditandai dengan nyeri, panas, eritema, dan gatal.
Hifa yang tumbuh di dalam liang telinga juga menyebabkan rasa penuh dan tidak nyaman
di dalam telinga.11
Gejala otomikosis meliputi pruritis (rasa gatal di telinga), rasa penuh di telinga,
otorrhoea (cairan yang keluar dari telinga), otalgia (rasa nyeri di telinga), dan gangguan
pendengaran. Kehilangan pendengaran yang berhubungan dengan otomikosis biasanya
dikarenakan akumulasi debris jamur. 8
Otoskopi seringkali menunjukkan miselia, memastikan diagnosis. Liang telinga
luar dapat terlihat eritem dan debris jamur dapat terlihat putih, abu-abu atau hitam. Pasien
biasanya telah diberikan obat antibakterial yang tidak memberikan respon signifikan.
Diagnosis dapat dipastikan dengan mengidentifikasi elemen jamur pada preparat KOH
atau dengan biakan jamur positif.8
Gejala klinik yang dapat ditemui hampir sama seperti gejala otitis eksterna pada
umumnya yakni otalgia dan otorrhea sebagai gejala yang paling banyak dijumpai,
kemudian diikuti dengan kurangnya pendengaran, rasa penuh pada telinga dan gatal.Pada
liang telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi oleh skuama, dan kelainan ini ke
bagian luar akan dapat meluas sampai muara liang telinga dan daun telinga sebelah
dalam.Tempat yang terinfeksi menjadi merah dan ditutupi skuama halus.8
27
2.5.8 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan telinga yang dicurigai otomikosis, didapati adanya akumulasi
debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih dan panjang
dari permukaan kulit, hilangnya pembengkakan signifikan pada dinding kanalis, dan area
melingkar dari jaringangranulasi diantara kanalis eksterna atau pada membran timpani.8
Terdapat perbedaan pada gambaran klinis otomikosis yang disebabkan oleh aspergillosis
dan kandidiasis. Aspergillosis ditandai dengan kelembapan ringan pada inflamasi (mild
moist inflammation) saluran telinga dalam. Lumen dilapisi lembaran keratin besar yang
memiliki tampilan kertas tisu basah (wet tissue-paper appearance). Candida biasanya
menyebabkan edema dan maserasi kanal telinga yang dalam. Lumen bisa terdapat dengan
bahan seperti dadih (curd-like material).8
28
2.5.10 Mycology
Pemeriksaan laboratorium
1. Preparat langsung: Skuama dari kerokan kulit liang telinga diperiksa dengan
KOH akan tampak hifa-hifa lebar, berseptum, dan kadang-kadang dapat
ditemukan spora-spora kecil dengan diameter 2-3 μm.
2. Pembiakan: Skuama dibiakkan pada media agar saboraud, dan didiamkan pada
suhu kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni filament
berwarna putih. Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung
hifa dapat ditemukan sterigma dan spora berjejer melekat pada permukaannya.12
Gambar 12. Hasil pemeriksaan mikroskopik A. Niger (A-3) dan A. Flavus (B-3).12
29
Kultur (Pembiakan)
Identifikasi cepat terhadap patogen jamur dari sampel tulang mastoid atau cairan
serebrospinal oleh reaksi rantai polimerase pada pasien dengan infeksi jamur invasif
sangat dianjurkan.13
30
Gambar 13. Hasil kultur jamur. (a) Aspergillus niger menggambarkan black colonies
(pepper effect). (b) Aspergillus fumigates (c) Candida.13
Histopatologi
Spesimen bedah pasien yang diduga mastoiditis atau kolesteatoma harus diperiksa
secara histologis. Pewarnaan khusus untuk jamur harus dilakukan, termasuk asam
periodik-Schiff, metenamine-silver Grocott-Gomori, dan brighteners konvensional. Studi
histologis telah menunjukkan tingkat peradangan yang disebabkan oleh pertumbuhan
jamur di telinga pasien yang terkena. 13
• Hifa jamur, kebanyakan dari Aspergillus, dapat diamati pada stratum korneum epitel
meatal kanal pendengaran, tanpa adanya inflamasi pada jaringan subepitel.
• Hifa jamur diamati di rongga telinga tengah atau antara lamellae kolesteatoma horny,
atau keduanya.
Otitis eksterna ganas/ malignant (otomikosis invasif akut dan kronis invasif)
berkembang pada pasien dengan imunosupresi. Bentuk-bentuk ini sering dikaitkan
31
dengan infeksi jamur pada telinga tengah (mastoiditis), jarang di telinga bagian dalam,
dan dasar tengkorak. 13
Otitis externa ganas/ malignant dimulai sebagai infeksi jaringan lunak kanal
pendengaran dan menyebar ke dasar tengkorak dan mastoid. Kanal pendengaran
memiliki jaringan polipoid dan granulasi yang lembut, seringkali dengan nekrosis epitel
mei dan jaringan subepitel, dengan banyak hifa jamur yang dikelilingi granulosit. Erosi
tulang dapat terungkap di sepanjang kanal pendengaran eksternal. Membran timpani
menebal, sering nekrotik, dan disusupi granulosit dan banyak hifa jamur. Selaput mukosa
telinga tengah dan sel mastoid mengandung sel-sel inflamasi disertai pertumbuhan
miselium invasif di pembuluh darah dan tulang. Hifa jamur dapat diamati pada rongga
timpani, arteri karotid interna, dan saraf wajah. 13
2.5.11 Tatalaksana
Pengobatan ditujukan untuk menjaga agar liang telinga tetap kering, jangan
lembab, dan disarankan untuk tidak mengorek-ngorek telinga dengan barang-barang yang
kotor seperti korek api, garukan telinga, atau kapas. Kotoran-kotoran telinga harus sering
dibersihkan.7
Pengobatan yang dapat diberikan seperti: Larutan asam asetat 2-5 % dalam
alkohol, larutan lodium povidon 5%. Akhir-akhir ini yang sering dipakai adalah fungisida
topikal spesifik, seperti preparat yang mengandung nistatin, ketokonazol, klotrimazol,
dan anti jamur yang diberikan secara sistemik.7
Pengobatan melibatkan penghapusan faktor predisposisi. Solusi antibiotik topikal
harus dihentikan. Kuku pasien harus diperiksa untuk menyingkirkan onikomikosis.
Fungicidal drops adalah bentuk pengobatan yang paling popular. Clotrimazol memiliki
antibakteri efek , dan ini merupakan keuntungan tambahan saat mengobati infeksi jamur
bakteri campuran. Fungicidal cream dengan ketokonazol atau uconazol juga bisa
diterapkan. Persiapan yang tersedia dan biasanya efektif untuk Candida adalah tolnaftale,
tersedia di atas meja untuk perawatan kaki atlet.14
Pada kasus refrakter otomikosis yang jarang terjadi karena HIV atau keadaan
immunocompromised lainnya, atau dalam kondisi yang mengancam jiwa, antijamur
parenteral seperti amfoterisin B atau tolna dapat digunakan.14
32
Tabel 2. Penyebab paling sering otomikosis dan terapinya.14
Azoles adalah agen sintetis yang mengurangi konsentrasi ergosterol, sterol penting dalam
membran sitoplasma normal. Mereka adalah kelas dari cincin heterosiklik nitrogen beranggota
lima yang mengandung setidaknya satu atom noncarbon, nitrogen, belerang atau oksigen lainnya.
Clotrimazol adalah azole topikal yang paling banyak digunakan. Tampaknya menjadi salah satu
agen paling efektif.7,14
Untuk pengelolaan otomikosis, dengan tingkat efektivitas yang dilaporkan bervariasi dari
95% sampai 100% pada kebanyakan studi kecuali satu studi yang melaporkan tingkat efikasi
yang lebih rendah sebesar 50%. Clotrimazol memiliki efek antibakteri, dan ini merupakan
keuntungan tambahan saat mengobati infeksi bakteri bakterial. Hal ini dianggap bebas dari efek
ototoxic. Tidak ada laporan bukti klinis adanya toksisitas klotrimazol. Clotrimazol tersedia
sebagai bedak, lotion, dan larutan.
33
Ketokonazol dan flukonazol adalah zat antifenol azole yang memiliki spektrum
aktivitas yang luas. Keluarga komponen kimia ini efektif dalam merawat agen etiologi
yang paling umum dari Otomikosis. Ketokonazol telah menunjukkan efikasi 95-100% in
vitro terhadap spesies Aspergillus dan Candida albicans; Ini tersedia sebagai krim 2%..
Flukonazol topikal telah dilaporkan efektif pada 90% kasus dalam beberapa seri.
Suspensi flukonazol tersedia dengan flukonazol 350 mg atau 1400 mg. Setelah dilakukan
rekonstitusi dengan 24 ml air suling atau air murni (USP), masing-masing suspensi yang
dilarutkan mengandung 10 mg atau 40 mg flukonazol. Krim miconazole 2% juga
menunjukkan tingkat efikasi 90%. Bifonazol adalah agen antijamur yang umum
digunakan pada tahun 1980an. Potensi antijamur larutan bifonazol 1% telah dilaporkan
serupa dengan klotrimazol dan mikonazol; Namun, itu bervariasi dari spesies ke spesies.
Bifonazol dan turunannya menghambat pertumbuhan sebagian besar jamur dengan
khasiat hingga 100%.
Amfoterisin B adalah anggota keluarga poliena. Ini telah digantikan oleh agen
yang lebih aman dalam banyak kasus namun masih digunakan, terlepas dari efek
sampingnya, untuk infeksi jamur yang mengancam jiwa. Nong pada tahun 1999
melaporkan bahwa Aspergillus dan Candida albicans peka terhadap penggunaan
amfoterisin B seperti ditunjukkan pada uji kerentanan antijamur.2
34
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada upaya untuk menggunakan
Mercurochrome, antiseptik topikal yang terkenal, untuk mengobati otomikosis. Seiring
dengan merthiolate (thimerosal), mercurochrome tidak lagi disetujui oleh FDA karena
mengandung merkuri. Mercurochrome telah digunakan secara khusus untuk kasus yang
dilaporkan di lingkungan lembab dengan tingkat efikasi yang dilaporkan antara 95,8%
dan 100%.
Gentian Violet biasanya disiapkan sebagai solusi lemah (misalnya 1%) dalam air.
Telah digunakan sejak tahun 1940-an untuk mengobati otomikosis karena ini adalah
pewarna anilin dengan aktivitas antiseptik, anti-inflamasi, antibakteri, dan antijamur. Ini
masih digunakan di beberapa negara, dan disetujui oleh FDA. Studi melaporkan tingkat
keberhasilan hingga 80%.2
Gambar 14. Otomikosis pada telinga kanan yang telah mendapat terapi.14
2.5.12 Komplikasi
35
konsekuensi inokulasi jamur pada aspek medial dari telinga luar ataupun
merupakan ekstensi langsung infeksi tersebut dari kulit sekitarnya.13
2.5.13 Prognosis
Umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada saat
terapi dengan anti jamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses resolusi
(penyembuhan) yang baik secara imunologi. Bagaimanapun juga, resiko
kekambuhan sangat tinggi, jika faktor yang menyebabkan infeksi sebenarnya
tidak dikoreksi, dan fisiologi lingkungan normal dari kanalis auditorius eksternus
masih terganggu.2
2.6.1 Definisi
Rhinitis alergi terjadi jika suatu antigen terhadap seorang pasien telah
mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung:
reseptor histamin H1, adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2, kolinoseptor,
reseptor histamin H2 dan reseptor iritan. Dari semua ini yang terpenting adalah
reseptor histamin H1, dimana bila terangsang oleh histamine akan meningkatkan
tahanan jalan napas hidung, meneybabkan bersin, gatal, dan rinore.2
36
2.6.2. Patofisiologi
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. 2
37
5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll.
Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 2
Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan
rhinorrhea. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada
hidung dan bersin-bersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi
hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf
sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris menghasilkan
sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis
dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.2
38
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : 2
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi
gejala asma bronkial dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing ke dalam
tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :2
1. Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.2
2. Respons sekunder :
39
3. Respons tertier :
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh. 2
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama
pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala
alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik
pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan. 2
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
40
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.2
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.2
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.2
2.6.3 Gejala
Rhinitis alergi biasanya mulai timbul pada masa kanak-kanak dan ditandai
adanya gejala obstruksi hidung, bersin-bersin, gatal hidung yang disertai dengan
adanya allergic salute, keluarnya sekret yang deras dan bentuknya cair. Sering
ditemukan adanya post nasal drip sampai kadang disertai anosmia. 15
2.6.4 Diagnosis
1.Anamnesis
41
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi
pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. 2
2. Pemeriksaan Fisik
3.Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
42
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. 2
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge
Test”). 2
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.
Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
43
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 2
2.6.4 Penatalaksanaan
Gambar 15. Logaritma penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO inititive ARIA.2
Medikamentosa
44
Antihistamin
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok
pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda
dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia
medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 16
Dekongestan
45
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset
obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu lama.16
Antikolinergik
Kortikosteroid
Lainnya
46
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 16
Operatif
Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 16
2.6.7 Komplikasi
Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.2
47
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi.
Faktor predisposisi poses radang kronik di faring ini ialah :
1. Infeksi persisten di sekitar faring. Pada rhinitis dan sinusitis kronik, mukus
purulen secara konstan jatuh ke faring dan menjadi sumber infeksi yang konstan.
Tonsilitis kronik dan sepsis dental juga bertanggung jawab dalam menyebabkan
faringitis kronik dan odinofagia yang rekuren.
2. Bernapas melalui mulut. Bernapas melalui mulut akan mengekspos faring ke
udara yang tidak difiltrasi, dilembabkan dan disesuaikan dengan suhu tubuh
sehingga menyebabkan lebih mudah terinfeksi. Bernapas melalui mulut biasa
disebabkan oleh :
a. Obstruksi hidung
b. Obstruksi nasofaring
c. Gigi yang menonjol
d. Kebiasaan.
3. Iritan kronik. Merokok yang berlebihan, mengunyah tembakau, peminum minuma
keras. Makanan yang sangat pedas
4. Polusi lingkungan. Asap atau lingkungan yang berdebu atau uap industri
5. Faulty voice production. 2
2.7.1.1 Gejala2
Rasa gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan dari tenggorokan.
Batuk serta perasaan mengganjal di tenggorokan.
2.7.1.2 Terapi2
48
Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia
larutan nitras argenti atau dengan listrik. Pengobatan simptomatis diberikan obat
kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau
ekspektoran.Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati. 2
2.7.2.1 Gejala
Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pada
pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa kering. 2
2.7.2.2 Terapi
2.8.1 Definisi
49
Dikenal berbagai istilah LPR seperti GERD supraesofagus, GERD
atipikal, komplikasi ekstra esofagus dari GERD, refluks laryngeal, gastrofaringeal
refluks, refluks supraesofageal dan refluks ekstraesofageal.2
2.8.2 Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai PRGE, namun di
Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM
menunjukkan peningkatan prevalensi PRGE dari 6 % pada tahun 1997 menjadi 26
% pada tahun 2002, dan didapatkan pria lebih banyak mengalami PRGE daripada
wanita.17
Tingginya gejala refluks pada populasi di negara Barat diduga disebabkan
karena faktor diet dan meningkatnya obesitas.8 Refluks Laringofaring terjadi pada
4% - 10% pasien dengan PRGE/ GERD. 17
Pada studi yang dilakukan Bor dkk. seperti yang dikutip oleh Aras dkk.
bahwa pada pasien asma dan kontrol prevalensi GERD (rasa terbakar di dada/
regurgitasi satu kali dalam seminggu) adalah 25,4 % dan 19,4%, dan tidak
didapatkan adanya perbedaan yang signifikan dari prevalensi asma dan atau
obstruksi saluran napas pada pasien dengan dan tanpa GERD. 17
Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan kasus GERD
dihubungkan dengan peningkatan gejala- dan tanda pada laring . Kejadian GERD
berkisar antara 7%-25% per suatu populasi, dimana sekitar 4%-10% pasien
tersebut mencari pengobatan pada spesialis THT akibat keluhan yang
dihubungkan dengan GERD. Telah diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan
gangguan suara yang datang berobat ke dokter THT diakibatkan oleh RLF yang
merupakan manifestasi ekstra esophagus dari GERD.2
2.8.3. Etiologi
Penyebab dari LPR di antaranya adalah:
50
Menurunnya tekanan LES karena hiatus hernia, diet (lemak, coklat, mint,
produk susu, dll), tembakau, alkohol, obat-obatan (teofilin, nitrat, dopamine,
narkotik, dll).
Motilitas esofagus yang abnormal karena penyakit neuromuskular,
laringektomi, etanol.
Penurunan resistensi mukosa karena radioterapi rongga mulut, radioterapi
esofagus, xerostomia.
Penurunan salivasi
Pengosongan lambung yang tertunda/lambat karena obstruksi, diet (lemak),
tembakau, dan alkohol.
Peningkatan tekanan intraabdominal karena kehamilan, obesitas, makan yang
berlebihan, minuman karbonasi.
Hipersekresi asam lambung atau pepsin karena stress, obat-obatan, alkohol,
diet. 17
2.8.4. Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada
saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran
retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada
atau sangat rendah (<3 mmHg).tekanan LES pada individu normal 25-35
mmHg.17
PRGE merupakan peristiwa multifaktorial. Refluks gastroesofageal pada
pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :17
1) Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
2) Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan
3) Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya
tonus LES menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
51
peningkatan tekanan intraabdomen. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus
LES diantaranya adalah :
a. Adanya hiatus hernia (dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan
untuk bersihan asam hari esophagus serta menurunkan tonus LES)
b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya)
c. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan
lain-lain.
d. Faktor hormonal (Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone
dapat menurunkan tonus LES)
Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang
diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera
langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung pada refluxate. Laring
lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus karena tidak mempunyai
mekanisme pertahanan ekstrinsik dan instrinsik seperti esophagus. Terdapat
beberapa teori yang mencetuskan respon patologis karena cairan refluks ini :
1. Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh cairan
refluks yang mengandung asam dan pepsin. Beberapa penelitian telah
menyimpulkan bahwa cairan asam dan pepsin merupakan zat berbahaya
bagi laring dan jaringan sekitarnya. Pepsin merupakan enzim proteolitik
utama lambung. Aktivitas optimal pepsin terjadi pada pH 2,0 dan tidak
aktif dan bersifat stabil pada pH 6 tetapi akan aktif kembali jika pH dapat
kembali ke pH 2,0 dengan tingkat aktivitas 70% dari sebelumnya.17
2. Asam lambung pada bagian distal esofagus akan merangsang refleks vagal
sehingga akan mengakibatkan bronkokontriksi, gerakan mendehem
(throat clearing) dan batuk kronis. Lama kelamaan akan menyebabkan
lesi pada mukosa. Mekanisme keduanya akan menyebabkan perubahan
patologis pada kondisi laring. Bukti lain juga menyebutkan bahwa
rangsangan mukosa esofagus oleh cairan asam lambung juga akan
menyebabkan peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan
gangguan pernafasan. Cairan lambung tadi menyebabkan refleks vagal
52
eferen sehingga terjadi respons neuroinflamasi mukosa dan dapat saja
tidak ditemukan inflamasi di daerah laring. 17
Dalam suatu penelitian, dikatakan bahwa agen spesifik yang bertanggung
jawab pada gejala THT dan patologi laring masih belum diketahui pasti dan masih
banyak diperdebatkan. Beberapa menyebutkan adanya komposisi asam lambung
seperti asam dan pepsin, serta komposisi duodenum seperti asam empedu dan
enzim pancreas tripsin menyebabkan keluhan THT akibat GERD.
Pada penelitian in vivo, didapatkan pajanan asam lambung dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian subglotic, namun kerusakan yang lebih
hebat terlihat pada kombinasi pajanan asam lambung serta pepsin. Observasi yang
sama dilakukan pada pajanan asam serta pajanan kombinasi asam dan pepsin
terhadap esophagus, dan didapatkan hasil yang sama yaitu kerusakan yang lebiih
berat terjadi pada pajanan asam lambung disertai pepsin. Namun belum
didapatkan hasil peneliatian mengenai efek asam empedu serta tripsin pada
patologi laring.
Pada akhir-akhir ini terdapat penelitian yang menyebutkan teori dari
patofisiologi LPR. yang menyebutkan adanya fungsi proteksi dari enzim carbonic
anhydrase. Enzim ini akan menetralisir asam pada cairan refluks. Pada keadaan
epitel laring normal kadar enzim ini tinggi. Terdapat hubungan yang jelas antara
kadar pepsin di epitel laring dengan penurunan kadar protein yang memproteksi
laring yaitu enzim carbonic anhydrase dan squamous epithelial stress protein
Sep70. Pasien LPR menunjukkan kadar penurunan enzim ini 64% ketika
dilakukan biopsy jaringan laring. 17
2.8.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PRGE sangat bervariasi dan gejalanya sering sukar
dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal. Gejala
refluks gastroesofageal dapat tipikal dan atipikal. Gejala tipikal atau klasik pada
orang dewasa adalah :2
1. Rasa nyeri/tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa
nyeri ini biasanya di deskripsikan sebagai rasa panas di dada yang terjadi
setelah makan (postprandial heart burn), rasa terbakar/panas menjalar ke
53
atas sampai tenggorok atau mulut 1-2 jam setelah makan atau setelah
mengangkat berat atau posisi membungkuk. Rasa nyeri/panas ini kadang-
kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan),
mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Odinofagia (rasa sakit pada
saat menelan makanan) bias timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus
yang berat.
2. Regurgitasi isi lambung secara spontan ke esophagus atau mulut.
Bila kedua gejala terjadi bersamaan, diagnosis PRGE dapat ditegakkan
lebih dari 90%.
Gejala atipikal merupakan manifestasi dari refluks ekstra esophagus,
termasuk : Nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain), asma,
bronchitis, batuk kronik (yang disebaban oleh aspirasi), pneumonia
rekuren, suara serak, laryngitis posterior kronik, sensasi sukar menelan,
otalgia, sariawan, cegukan dan erosi email gigi.2
2.8.6 Diagnosis
54
mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan seperti ini membantu penegakan
diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang dengan keluhan yang
tidak pasti.
Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92%
ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol
ditenggarai sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah,
kelemahan tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan
merangsang sekresi lambung
Belafsky, et al mengembangkan suatu sistem penilaian diagnostik, yaitu
Reflux Symptom Index (RSI) untuk membantu dokter menilai derajat relatif
dari gejala LPR saat penilaian awal dan setelah pengobatan. Ada 9 gejala
refluks (Reflux Symptom Index/RSI) yang dapat digunakan untuk menentukan
adanya gejala LPR dan derajat sebelum dan sesudah terapi. Gejala yang sering
muncul seperti suara serak, mendehem, penumpukan dahak di tenggorok atau
post nasal drip, sukar menelan, batuk setelah makan, sulit bernafas atau
tersedak, batuk yang sangat mengganggu, rasa mengganjal dan rasa panas di
tenggorok, nyeri dada atau rasa asam naik ke tenggorok. Gejala tersering pada
LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan rasa mengganjal di tenggorok
(globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma laring ditemukan riwayat LPR 58%
dan stenosis subglotik 56%.Skor RSI adalah 0-45 dengan skor ≥ 13 curiga
LPR. RFS ≥ 7 dianggap memiliki LPR. 17
55
Gambar 16. RSI
56
2) Pemeriksaan Fisik
Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura
posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis subglotik
dan karsinoma laring.Untuk melihat gejala LPR pada laring dan pita suara
perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling bermakna seperti adanya
eritema, edema dan hipertrofi komissura posterior. 17
3) Pemeriksaan Penunjang
Laringoskopi fleksibel
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR.
Biasanya yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih
57
sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan laringoskop
rigid.2
Monitor pH 24 jam di faringoesofageal
Pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double probe pH
monitoring yang merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR.
Pertama kali diperkenalkan oleh Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini
dianjurkan pada keadaan pasien dengan keluhan LPR tetapi pada
pemeriksaan klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif
dalam mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat
membedakan adanya refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan
dibawah sehingga dapat menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan
pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman dan dapat
ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%.Hal ini dikarenakan pola
refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya
hidup sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan.
Pemeriksaan ini hanya dapat menilai refluks asam sedangkan refluks non
asam tidak terdeteksi. Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak
respons terhadap pengobatan supresi asam. 2
Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai pemeriksaan
awal pada pasien suspek PRGE dengan manifestasi penyakit
otolaringologi dan tidak merupakan prasyarat untuk memulai terapi
medic.
Indikasi Pemeriksaan endoskopi :
Pasien dengan gejala tanda bahaya, antara lain disfagia, odinofagia,
berat badan menurun, anemia, perdarahan gastrointestinal untuk
menyingkirkan kelainan traktus gastrointestinal atas, metaplasia Barret
dan komplikasi lain.
Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medik, pasien yang
mengalami gejala lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis dan hasil
terapi.
58
Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam penegakan
diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar 30% pada kasus
LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika kita temukan
gambaran garis melingkar “barret” dengan atau tanpa adanya inflamasi
esofagus. 2
Pemeriksaan videostroboskopi
Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber cahaya
xenon yang diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat
dilihat dengan gerakan lambat. 2
Pemeriksaan laringoskopi langsung
Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan
operasi. Dapat melihat secara langsung struktur laring dan jaringan
sekitarnya serta dapat dilakukan tindakan biopsy.2
2.8.7 Penatalaksanaan
Meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan gaya
hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi funduplikasi.17
a) Modifikasi diet dan gaya hidup
Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang tepat agar
terapi berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai pencegahan refluks
cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR. Pasien akan mengalami
pengurangan keluhan dengan perubahan diet dan gaya hidup sehat. Misalnya pola
diet yang dianjurkan pada pasien seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum
berbaring, pengurangan porsi makan, hindari makanan yang menurunkan tonus
otot sfingter esofagus seperti makanan pedas, berlemak, gorengan, kopi, soda,
alkohol, mint, coklat buahan dan jus yang asam, cuka, mustard dan tomat.
Anjuran lain seperti menurunkan berat badan jika berat badan pasien berlebihan,
hindari pakaian yang ketat, stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring 10-
20cm dan mengurangi stress. Jika merokok dianjurkan berhenti karena akan
merangsang refluks. Hindari pakaian yang terlalu sempit terutama celana, korset
dan ikat pinggang. Hindari olahraga seperti angkat berat, berenang, jogging dan
59
yoga setelah makan. Tinggikan kepala jika ada gejala refluks nokturnal seperti
suara serak, tidak nyaman di tenggorok, dan batuk di pagi hari. Batasi konsumsi
daging merah, mentega, keju, telur dan bahan mengandung kafein. Hindari selalu
makanan gorengan, makanan tinggi lemak, bawang, tomat, buahan dan jus yang
asam, soda, bir, alcohol. 17
b) Medikamentosa
Proton Pump Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan
terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks. Cara
kerja PPI dengan menurunkan kadar ion hydrogen cairan refluks tetapi tidak
dapat menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan refluks
asam lambung sampai lebih dari 80%. Rekomendasi dosis adalah 2 kali dosis
GERD dengan rentang waktu 3 sampai 6 bulan. Salah satu kepustakaan
menyebutkan rentang waktu pengobatan dapat sampai 6 bulan atau lebih dengan
menggunakan PPI 2 kali sehari untuk memperbaiki laring yang cedera. Dalam
penelitian sebelumnya Omeprazole disebut sebagai derivat PPI yang ampuh
ternyata akhir-akhir ini Lansoprazole dan Pantoprazole dianggap lebih maksimal
dalam menekan asam lambung. Kemudian zat proteksi mukosa, sukralfat
misalnya dapat digunakan untuk melindungi mukosa dari cedera akibat asam dan
pepsin. Promotility Agents, obat ini bekerja dengan cara meningkatkan tekanan
LES (lower esophagus spincters), meningkatkan pengosogan lambung dan dapat
meningkatkan mekanisme pembersihan esophagus, Metoclopramid 10/15 mg.
Pemeriksaan sedianya dilakukan rutin setiap 3 bulan yang berguna memantau
gejala atau mencari penyebab lain jika tidak terjadi perbaikan. 17
c) Terapi Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier pada
daerah pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah refluks seluruh
isi gaster kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus
menerus minum obat atau dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk
menekan asam lambung. Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah
funduplikasi laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya
tanpa komplikasi, perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti mengenai
60
anatomi esofagus serta menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka
komplikasi dapat ditekan. Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama pada kasus
LPR. 17
2.8.8 Komplikasi
LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti
faringitis, sinusitis, asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan
keganasan laring. Salah satu komplikasi yang patut diwaspadai dan mengancam
nyawa adalah stenosis laring. Riwayat LPR ditemukan pada 75% pasien stenosis
laring dan trakea. 17
2.8.9 Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup.
Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan
laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan
omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat,
sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2
kali sehari selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.17
61
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
KEPANITERAAN KLINIK
Nim : 1120116328
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. J Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 29 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Pekerja Konveksi Pendidikan : SMA
Alamat : Angke Indah No.363 Status menikah : Menikah
ANAMNESA
Diambil secara : autoanamnesis
Pada tanggal : 17 Juli 2017 Jam : 12.00 WIB
62
Keluhan utama
Telinga nyeri dan gatal sejak 7 hari SMRS.
Keluhan tambahan
Telinga terasa berdengung dan pendengarannya telinga kanan berkurang sejak 1 hari
SMRS.
Pasien mengatakan terkadang pilek namun tidak sering tanpa disertai hidung
mampat. Pilek biasanya dirasakan pada pagi hari, namun keluhan ini tidak begitu
mengganggu aktivitas sehari-hari. Jika sedang pilek, ingus yang keluar encer, berwarna
bening disertai keluhan gatal pada hidung dan mata berair. Keluhan bersin-bersin
disangkal pasien.
Pasien mengaku tenggorokannya sering kering dan gatal. Pasien juga sering
mengalami batuk tanpa dahak dan sering mendehem. Saat pagi suara pasien sering serak.
Tidak ada keluhan nyeri saat menelan. Pasien juga sering merasakan sakit pada ulu hati
63
jika telat makan. Pasien sering mengkonsumsi makanan pedas dan gorengan. Pola makan
pasien tidak teratur. Pasien belum pernah melakukan pengobatan untuk keluhan nyeri ulu
hatinya.
Riwayat sosial
Pola makan pasien tidak teratur, pasien tidak merokok dan mengkonsumsi
minuman beralkohol. Lingkungan rumah pasien padat penduduk, lingkungan kerja pasien
banyak debu. Pasien menggunakan masker saat bekerja.
Pemeriksaan Fisik
TELINGA
Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
anotia (-), atresia (-), fistula (-), anotia (-), atresia (-), fistula
bat’s ear (-), lop’s ear (-), (-), bat’s ear (-), lop’s ear (-),
cryptotia (-), satyr ear (-) cryptotia (-), satyr ear (-)
Tanda Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-),
(-), hipertermi (-), functio laesa hiperemis (-), hipertermi (-),
(-), edema (-) functio laesa (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
64
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), hematoma (-), laserasi (-),
abses (-), sikatriks (-), massa (- abses (-), sikatriks (-), massa
), hiperemis (-), nyeri (-), (-), hiperemis (-), nyeri (-),
hipertermi (-), edema (-) hipertermi (-), edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), hipertermi (-), Massa (-), hiperemis (-),
massa (-), nyeri (-), edema (-), odem (-), nyeri (-), abses (-),
abses (-), hipertemi (-)
Liang telinga Lapang, edema (-), stenosis (-), Lapang, edema (-), stenosis
atresia (-), furunkel (-), jar. (-), atresia (-), furunkel (-),
granulasi (-), hiperemis (-), jar. granulasi (-), hiperemis
secret (-), serumen(-), laserasi (-), sekret (-), serumen (-
(-), hifa (+), perdarahan aktif (- ),massa (-), hifa (-),
), clotting (-), debris (+) perdarahan aktif (-), clotting
(-)
Tes Penala
Dextra Sinistra
Kesan : pada telinga kanan pasien mengalami tuli konduktif dengan penala 512 Hz.
65
HIDUNG
Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump nose (-),
agenesis (-), hidung bifida (-), agenesis (-), hidung bifida (-),
atresia nares anterior (-), tidak atresia nares anterior (-), tidak
ada deformitas. ada deformitas.
Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), massa Hiperemis (-), nyeri (-), massa
(-), functio laesa (-) (-), functio laesa (-)
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-), Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-),
maxillaris krepitasi (-) krepitasi (-)
Cavum Nasi sekret (+), massa (-), krusta (- sekret (+), massa (-), krusta (-
), benda asing (-), edema (-), ), benda asing (-), edema (-),
pendarahan(-), pendarahan (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis (-), Hipertrofi (-), hiperemis (-),
livide (+), edema (+) livide (+), edema (+)
Meatus nasi inferior sekret (-), massa (-), edema (-) sekret (-), massa (-), edema (-)
Konka Medius Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (+), hiperemis (-), livide (+),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)
Meatus nasi medius sekret (-), massa (-), edema (-) sekret (-), massa (-), edema (-)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), Deviasi (-), spina (-),
hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),
perforasi (-), crista (-) perforasi (-), crista (-)
66
RINOPHARING
PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
FARING
Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (+), ulkus (-), perdarahan
aktif (-), clotting (-), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-),
ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-),
memanjang (-), edema (-).
Gigi : caries (+).
LARING
67
Arytenoids : Tidak dilakukan
Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan
palpasi.
Skor RSI : 15
Sering mendehem 4
Kesukara menelan 0
Kesukaran bernafas 0
68
RESUME
Ny. J usia 29 tahun datang dengan keluhan otalgia dan pruritus pada telinga kanan
sejak 7 hari SMRS. Pasien juga merasakan adanya tinitus dan pendengarannya telinga
kanan berkurang sejak 1 hari SMRS. Pada 7 hari SMRS pasien sudah berobat ke klinik
dan diberikan asam mefenamat serta antibiotik. Pasien sering membersihkan telinga
menggunakan cotton buds.
Pasien mengaku tidak ada keluhan pada hidung saat ini. Pasien memiliki riwayat
bersin tiap pagi atau setiap terkena debu dan udara dingin. Pasien sering mengalami pilek
pada pagi hari dengan sekret serosa yang keluar dari hidung disertai keluhan pruritus
pada hidung dan mata berair.
Pasien mengaku tenggorokannya sering kering dan gatal. Pasien juga sering
mengalami batuk tanpa dahak dan sering mendehem. Saat pagi suara pasien sering serak.
Pasien juga sering merasakan sakit pada ulu hati jika telat makan. Pasien sering
mengkonsumsi makanan pedas dan gorengan. Pola makan pasien tidak teratur.
Pasien memiliki riwayat ottorhea pada telinga kanan 3 bulan yang lalu dan
mendapatkan obat tetes dari poli klinik.
Kedua orang tua pasien memiliki hipertensi.
Pola makan pasien tidak teratur, lingkungan kerja pasien banyak debu. Pasien
menggunakan masker saat bekerja.
Telinga
Kanan : bentuk telinga normotia, liang telinga lapang tertutup debris (+), hifa (+)
Kiri : bentuk telinga normotia, liang telinga tampak lapang, membran timpani
utuh, reflex cahaya diarah jam 7.
Tes penala : pada telinga kanan pasien mengalami penurunan pendengaran
dengan penala 512 Hz.
69
Hidung
- Mukosa konka inferior kanan dan kiri livid dan edema, Mukosa konka media
livid.
Tenggorok
- Pada pemeriksaan faring dinding posterior tidak rata dan tampak granul.
- Dinding posterior faring tampak hiperemis
Pemeriksaan Fisik:
Tampak debris dan hifa yang menutupi liang telinga kanan
Tes penala terdapat penurunan pendengaran pada telinga kanan
70
Tenggorokan sering kering dan gatal.
Pemeriksaan Fisik :
- LPR
Dasar yang mendukung :
Didapatkan Reflux symptom index (RSI) sebesar 15 (≥ 13).
Pasien merasa ada yang mengganjal di tenggorok, sering mendehem, suara
serak, sering sakit di ulu hati, sering makan makanan pedas dan gorengan.
Differential Diagnosis
- Otitis Eksterna Difusa
71
Tenggorokan kering
Tenggorokan tebal
Mulut berbau
Faring tidak ditutupi lender kental
Pemeriksaan KOH
Tes audiometri
Lariongoskopi
Skin Prick test
Penatalaksanaan
Medika Mentosa :
72
Prognosis
Otomikosis AD
Ad vitam : Bonam
Ad vitam : Bonam
Ad vitam : Bonam
LPR
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam
73
KESIMPULAN
74
DAFTAR PUSTAKA
1. Boies, L. R. Penyakit telinga luar: BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-
6. Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta: 1997.h.76-9.
2. Soepardi E.A. Iskandar N.I. Bashiruddin J. dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-7. 2012.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. Kridel RWH, Kelly PE, MacGregor AR. The nasal septum. In: Cummings,
C.W., et al. Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Ed. Philadelphia:
Mosby; 2005. P.1001.
4. Dhingra PL. Anatomy of ear. In: Disease of ear, nose and throat. Fourth
edition. Elsevier. New Delhi. 2007.p.5-9.
5. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h.
34-41.
6. Guyton, A.C & Hall, J.E. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam
Saluran Pencernaan. Dalam : Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
edisi 11. EGC. Jakarta. 2007. Hal. 821-831
7. Raymundo M, Sam J.Daniel. Ototopical antifungals and otomycosis,
International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology. 2008, 453-459
8. Prasad CS, Kotigadde S, Prabhu P. Primary Otomycosis in the Indian
Subcontinent: Predisposing Factors, Microbiology, and Classification,
International Journal of Microbiology. Department of Otolaryngology,
Manipal University. 2014. India
9. Jackman, R. Ward, M. April, J. Bent, Topical antibiotic induced otomycosis,
International Journal of Otorhinolaryngology. 69 (2005) 857—860.
10. Satish H.S, Vismanatha B. A Clinical Study of Otomycosis. IOSR Journal of
Dental and Medical Scienes. 2013
11. Anwar K, Gohar MS. Otomycosis, clinical features, predisposing factors and
treatment implications. Di unduh dari
http;//dx.doi.org/10.12669/pjms.303.html tanggal 27 Juni 2017
75
12. Metwally A, Mubarak H, Gamea A. Epidemiology,Causative agents and risk
factors affecting human otomycosis infections. Turkish Journal of Medical
Sciences. 2015 45:820-826
13. Polak A, Jäckel A, Noack A, Kappe R. Agar sublimation test for the in vitro
determination of the antifungal activity of morpholine derivatives. Mycoses
2004;47:184-92.
14. T.Ho,J.T.Vrabec,D.Yoo,andN.J.Coker,“Otomycosis:clinical features and
treatment implications,” Otolaryngology: Head and Neck Surgery, vol. 135,
no. 5, pp. 787–791, 2006
15. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [
cited 2015 March 9 ]. Available from URL: http://www.medscape.com
76