Anda di halaman 1dari 5

A.

Diagnosis

Penegakan diagnosis rinosinusitis ditegakan berdasarkan anamensis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis (Oendari, et al., 2019)

Keluhan utama yang sering ditemukan pada rinosinusitis adalah:

a. Hidung tersumbat

b. Hidung beringus mukopurulen, terasa ada ingus di belakang hidung

(post nasal drip)

c. Nyeri pada wajah dan nyeri saat penekanan pada wajah, serta

d. Penurunan fungsi penciuman

e. Keluhan tambahan lainnya dapat berupa: batuk, bau mulut atau

halitosis, nyeri di daerah gusi atau gigi rahang atas, nyeri tenggorokan,

otalgia dan kepala

f. Adanya kondisi komorbid yang perlu diperhatikan, seperti: diabetes

melitus status immunocompromised, penyakit paru, kelainan

konegnital. Hal tersebut perlu dikenal untuk tatalaksana yang baik

g. Riwayat atopi atau rinitis alergi musiman perlu ditanyakan

h. Riwayat trauma hidung atau wajah sebelumnya, operasi wajah, operasi

sinonasal, juga perlu ditanyakan yang mungkin mempengaruhi

perjalanan penyakitnya

i. Mengetahui riwayat obat-obatan yang digunakan, pengobatan alergi

sebelumnya, dekongestan anastesi local; perlu diperhatikan


j. Mengetahui kondisi sosial pasien seperti paparan asap rokok, kondisi

di rumah dan tempat kerja, dan lingkungan. Hal tersebut penting untuk

penanganan pasien dalam konseling

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior didapatkan tanda khas

antara lain adanya push di meatus medius (pada sinusitis maksila dan

etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid

posterior dan sphenoid). Pada rinitis akut mukosa edema dan hiperemis.

Pada anak sering pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius

(Soepardi et al., 2016). Pada palpasi didapatkan nyeri tekan di daerah

wajah, pipi, kelopak mata bawah atau sekitar dahi (Oendari et al., 2019).

Pada rhinitis alergi, dengan rinoskopi anterior didapatkan mukosa

edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang

banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejala

spesifik lain pada anak adalah bayangannya gelap di daerah bawah mata

yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (allergic

shinner). Selain itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung

karena gatal dengan punggung tangan (allergic salute). Keadaan

menggosok hidung ini lama-kelamaan akan mengakibatkan timbulnya

garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah (allergic crease).

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga

akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi atau (facies

adenoid). Dinding posterior faring tampak granular dan edema


(cobblestone appereance) serta dinding lateral faring menebal. Lidah

tampak seperti gambaran peta (geographic tongue) (Soepardi et al., 2016).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Nasoendoskopi

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat memperlihatkan: sekret

mukopurulen dari meatus medius atau meatus superior, edema dan

hiperemis mukosa hidung dan sinus paranasal/konkha, terlihat post

nasal drip, terdapat polip, serta kelainan anatomi hidung yang menjadi

predisposisi terjadinya rhinosinusitis, misalnya: deviasi septum,

konkha paradoksikal, edema proses unsinatus, hipertrofi konka

inferior, terdapat ostium asesorius (Oendari et al., 2019).

b. Foto Polos / Rongten Sinus Paranasal

Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal atas

berbagai macam posisi, antara lain: posisi Waters dan posisi

anteroposterior atau Caldwell. Hasil pemeriksaan memperlihatkan

kemungkinan: air fluid level di sinusmaksila, masa radiopoak pada

sinus conca septum deviasi (Oendari et al., 2019). Foto polos posisi

Waters, PA, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-

sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat

perselubungan, batas udara cairan (air fluid level) atau penebalan

mukosa (Soepardi et al., 2016).

c. CT Scan dan MRI

CT dan MRI merupakan pemeriksaan radiologi yang diperlukan

untuk megevaluasi sinus paranasal. Teknik potongan lintang (cross


sectional) ini memungkinkan untuk visualisasi multiplanar serta

memiliki resolusi struktur anatomi dan lesi kecil yang baik

dibandingkan dengan radiografi foto polos. CT Scan lebih dipilih

untuk memperlihatkan rinosinusitis dengan gambaran struktur

kompleks osteomeatal lebih detail. Sedangkan MRI lebih dipilih bila

ada kecurigaan massa jaringan lunak. Hasil CT Scan pada rinosinusitis

(kronik terutama) dapat berupa: penebalan mukosa di sinus paranasal,

penyempitan ostium sinus oleh kompleks osteomeatal, septum deviasi,

hipertrofi konkha, dan suspek massa (Oendari et al., 2019).

Pemeriksaan CT Scan merupakan satu baku emas untuk evaluasi

kelainan pada daerah paranasal. Potongan koronal 3 mm tanpa kontras

dapat memberikan gambaran anatomi tulang yang menjelaskan.

Gambaran CT Scan yang berhubungan dengan rinosinusitis dapat

berupa adanya gambaran opak pada kavum sinus paranasal, gambaran

air fluid level, dan penebalan mukosa sedang sampai berat (Oendari et

al., 2019). Namun karena harga yang mahal, CT Scan pada

rinosinusitis dilakukan setelah pemberian maksimal medikamentosa

gagal atau tidak memberikan perbaikan, pada rinosinusitis dengan

komplikasi, atau pra operasi sebagai panduan operator saat melakukan

operasi sinus (Soepardi et al., 2016).

d. Kutur dan Resistensi

Pemeriksaan kultur dan resistensi dilakukan dengan aspirasi sinus,

tidak dianjurkan apus dari sekret cavum nasi. Pemeriksaan kultur

meatus media dipandu endoscopy adalah setara dengan hasil kultur


dari aspirasi sinus maksilaris. Pemeriksaan ini bertujuan utnuk

mendapatkan antibotik yang tepat guna (Oendari et al., 2019; Soepardi

et al., 2016)

B. Prognosis (PERHATI-KL, 2015).

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

C. Kesimpulan

1. Penegakan diagnosis rinosinusitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang.

2. Prognosis rinosinusitis baik.

DAFTAR PUSTAKA

Oendari, Apriani, Ardy Wildan, Atika, Dian Azzzahrah, Fiona Amelia,


Hanifah Rahmani Nursanti, et al. 2019. IDC Indonesian Doctors’s
Compendium 2019. Jakarta: Primer Koperasi IDI.
PERHATI-KL. 2015. Panduan Praktik Klinis, Panduan Praktik Klinis
Tindakan, Clinical Patway Dibidang Telinga Hidung Tenggorok-
Kepala Leher. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia.
Soepardi, Efianty Arsyad, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi
Restuti. 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbitan
FKUI.

Anda mungkin juga menyukai