Anda di halaman 1dari 43

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Anatomi Adenoid
Jaringan limfoid nasofaring dan orofaring tersusun atas adenoid, tonsils, lateral bands
jaringan limfoid di dinding faring posterior dan membentuk sebuah cincin yang disebut
cincin Waldeyer sesuai dengan nama ahli anatomi Jerman yang menemukannya. Adenoid
atau tonsil faring merupakan sebuah massa di jaringan piramidal yang memiliki dasar yang
terletak di dindi nasofaring posterior dan apeks yang menusuk ke arah septum nasi. adenoid
berlapis-lapis dalam serangkaian lipatan dengan beberapa kripta namun tidak disertai
kompleks kripta seperti yang terdapat pada tonsil palatina. Jaringan epitelnya adalah epitel
pseudostratified bersilia dan diinfiltrasi oleh folikel limfoid.

Suplai darah berasal dari arteri palatina asenden yakni cabang arteri fasialis, arteri faringeal
asenden, cabang faringeal dari arteri maxillaris interna, arteri canalis pterygoid, dan cabang
cervical asenden dari arteri trunkus thyrocervicalis. Drainase vena melalui plexus faring
dan plexus pterygoideus yang akan mengalirkan darah ke vena fasialis dan jugularis
interna. Saraf yang menginvervasi berasal dari nervus glossopharyngeal dan nervus vagus.
Pengaliran limfatik dilakukan ke nodus retropharyngeal dan upper deep cervical node ()

1
2.2 Fisiologi dan Imunologi Adenoid

Adenoid merupakan bagian dari sistem imun sekunder. Adenoid duduk di traktus
respiratorius dan traktus gastrointestinalis, menempati posisi yang dapat diekspos oleh
antigen dari udara maupun makanan. Lipatan adenoid yang terpajan oleh antigen akan
ditransfer melalui lapisan epitel. Struktur imunologis dari adenoid terbagi ke dalam empat
kompartemen, yakni: reticular crypt epithelium, area ekstrafolikular, mantle zone of the
lymphoid follicle, dan germinal center of the lymphoid follicle. Membran sel dan antigen
presenting cell (APC) terlibat dalam proses transportasi antigen melalui lapisan epitel dan
mempresentasikannya pada sel T-helper. Ketika suatu saat terdapat antigen yang cukup
banyak, sel B di germinal zone of the lymphoid follicle akan terstimulasi untuk
berdiferensiasi dan memproduksi antibodi. Adenoid terlibat dalam kebanyakan produksi
IgA, yang kemudian ditransportasikan ke permukaan untuk menyediakan proteksi imun
lokal. Perlu diingat bahwa adenoid yang mengalami kelainan tetap bertindak sebagai
struktur yang normal seperti jaringan limfoid lainnya, dengan fungsi yang tetap, yaitu
produksi antobodi (IgA lokal, IgG serta IgM sistemik). Efek dari adenotonsilektomi pada
fungsi imun tidak diketahui secara pasti. Namun terdapat beberapa bukti pada anak yang
sebelumnya diimunisasi dengan imunisasi oral untuk polio, titer antibodi anak tersebut
menurun setelah dilakukannya adenotonsilektomi. Begitu juga pada anak-anak yang
sebelumnya memeiliki riwayat adenotonsilektomi, terdapat keterlambatan dan penurunan
respon imun pada vaksinasi polio berdasarkan antibodi IgA pada virus polio. Ukuran
normal adenoid pada usia yang berbeda sulit untuk dipastikan. Studi yang telah dilakukan
selama ini banyak menggunakan teknik foto lateral, namun kadang dilakukan dengan
teknik lateral cephalometric. Ukuran jalan napas bervariasi selama tidur dan menangis dan
hal ini merupakan fisiologis. Hal ini juga berhubungan dengan posisi mulut dan pergerakan
dari palatum molle. Jeans dkk (1981) menunjukkan bahwa pertumbuhan jaringan lunak
dari postnasal space mewakili pertumbuhan adenoid yang melebihi nasofaring antara usia
3 sampai 5,5 tahun dengan reduksi resultan pada jalan napas nasofaring. Setelah itu,
pertumbuhan dari nasofaring meningkat ketika jaringan lunak relatif tidak berubah dan
dengan demikian jalan napas meningkat. Terdapat perbedaan yang signifikan pada area
rata-rata nasofaring antara pria dan wanita selama proses pertumbuhan, walaupun akan
menjadi persis sama mulai dari usia 13 tahun. Perbedaan kedua jenis kelamin tersebut
dalam nasopharyngeal soft tissues hanya signifikan pada usia 5 tahun dan perbedaan jalan
napas hanya signifikan pada usia di atas 13 tahun.4 Penelitian yang sangat hati-hati

2
dilakukan oleh Linder-Aronson (1970), yang menilai hubungan antara ukuran adenoid dan
nasofaring dengan gejala obstruksi nasal. Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa
pembesaran adenoid dapat menyebabkan mouth breathing. Obstruksi yang terjadi dapat
disimpulkan bahwa hal ini berhubungan dengan tipe tulang wajah tertentu. Penelitian yang
telah dilakukan tampak mendukung hipotesis bahwa adenoid mempengaruhi cara bernapas
yang mana akan mempengaruhi pertumbuhan gigi anak. Hibbert dan Whitehouse (1978)
melaporkan korelasi radiologi lateral dengan ukuran adenoid. Johnson, Murray, dan Maran
(1983) mengindikasikan adanya kekeliruan yang tidak dipisahkan dari teknik ini. Foto
sefalometrik lateral telah direkomendasikan untuk menilai ukuran adenoid dan ruang jalan
napas post nasal dengan akurat. Penelitian pada ukuran adenoid secara klinis dan radiologis
dan korelasinya dengan volume adenoid telah dilakukan oleh Maw, Jeans, dan Fernando
pada tahun 1981. Hal ini mengkonfirmasi temuan dari Hibbert dan Tweedie (1977) yang
menemukan adanya korelasi ekstrim antara berat adenoid dengan volumenya. Jeans,
Fernando, dan Maw (1981) melaporkan penelitian radiologis berdasarkan persetujuan antar
peneliti untuk memperkirakan akurasi dari pengukuran pembesaran adenoid. Quarnberg
(1981) menunjukkan bahwa hubungan antara adenoid yang besar dan kejadian otitis media
akut pada anak-anak usia di bawah 4 tahun. Dia juga menunjukkan hubungan yang serupa
dengan bayangan radiologis pada sinus maksillaris. Hal ini kemungkinan menandakan
kedua faktor ini mungkin saja bertanggungjawab pada prolongasi otitis media akut.
McNicholl (1983) mendemonstrasikan kelainan nasal pada sutura vomeroethmoid pada
anak dengan otitis media efusi. Hal ini kemungkinan dapat menyebabkan adanya turbulensi
pada ruang postnasal. Todd (1984) mencatat adanya tuba eustachii yang besar pada pasien
dengan otitis media dan palatoschisis bila dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi,
diameter tuba eustachiii lebih kecil pada pasien dengan otitis media efusi dan penyakit
alergi jalan napas. Obstruksi dan adenoid Adenoid cenderung menyumbat tuba eustachii
dan juga bertindak sebagai fokus infeksi dari mana organisme tersebut akan berjalan ke
tuba. Akan tetapi, kontroversi terus berlanjut sebagaimana fungsi sebenarnya dari adenoid
pada otitis media supuratif akut maupun efusi telinga tengah non-supuratif. Maw (1985)
menunjukkan bahwa adenoidektomi bermanfaat untuk menuntaskan efusi telinga tengah,
walaupun usia anak mungkin lebih signifikan, sebagaimana anak usia di atas 6 tahun
menunjukkan bersihan yang lebih baik daripada anak di bawah 6 tahun. Hal ini dapat
dibantah dengan adanya adenoid, pada fungsi tuba eustachii yang masih baik, memainkan
peran yang hampir mirip pada otitis media supuratif akut. Pada 1963, McKee dua penelitian
menunjukkan adanya bukti efektivitas adenoidektomi secara signifikan menurunkan
3
insidensi otitis media supuratif akut. Menariknya, dia juga menunjukkan bahwa
adenoidektomi itu sendiri sama efektifnya dalam mengurangi otitis media supuratif akut
bila dibandingkan adenoidotonsilektomi. Obstruksi nasal Tidak diragukan lagi bahwa
adenoid yang besar dapat menyebabkan obstruksi nasal parsial maupun total dan
menyebabkan dengkuran, hyponasal speech, dan memaksa anak-anak untuk bernapas
melalui mulut. Akan tetapi terdapat penyebab lain dari obstruksi nasal dan mouth breathing,
dan adenoidektomi tidak bermanfaat pada kasus ini. Salah satu sumber mencatat bahwa
anak dengan open lip posture, yakni bibir yang renggang pada saat istirahat, secara otomatis
diasumsikan sebagai mouth breather. Faktanya, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
hal ini bukan bagian dari masalah dan open lip posture mungkin saja tidak berpengaruh
sama sekali pada pernapasan. Pada tahun 1969, Rasmus dan Jacobs menunjukkan bahwa
anak-anak yang secara klinis diduga sebagai mouth breathers dengan adanya open lip
posture, memiliki air flow yang serupa dengan anak normal. Efek adenoid pada telinga
Konsep klasik adalah pembesaran adenoid, yang kemungkinan berhubungan dengan
infeksi, menyebabkan peningkatan insidensi otitis media akut dan otitis media non
supuratif (glue ear). Hal ini telah didemonstrasikan baik dengan teknik radiologis
(Bluestone, 1971) maupun dengan penelitian tekanan (Bluestone, 1975a, b). Secara
mekanik adenoid dapat menyumbat muara tuba eustachii dan adenoidektomi dapat
mengurangi sumbatan tersebut. Pandangan alternatif adalah bahwa adenoid mungkin
bertanggung jawab pada otitis media rekuren dan otitis media efusi hanya pada proporsi
yang kecil pada anak-anak. Jika adenoid benar-benar bertanggung jawab, sangat sulit untuk
menjelaskan adanya kelainan telinga pada anak dengan adenoid yang kecil dan pada anak
yang telah dilakukan adenoidektomi. Namun penelitian terkontrol yang membahas
penyakit telinga dan adenoidektomi tidak menyelesaikan pertanyaan ini. Secara umum,
penelitian terkontrol menunjukkan bahwa adenoidektomi memiliki pengaruh yang sedikit
pada kejadian otitis media akut (Rynnel-Dagloo, Ahlbom and Schiratzki, 1978). Dua
penelitian terkontrol menunjukkan beberapa manfaat dari adenoidektomi pada anak dengan
otitis media efusi (Maw, 1983; Bulman, 7 Brook and Berry, 1984) namun penelitian lain
menunjukkan tidak adanya manfaat adenoidektomi (Rynnel-Dagloo, Ahlboom and
Schiratzki, 1978; FiellauNicholajsen, Falbe-Hansen and Knudstrup, 1980; Roydhouse,
1980; Widemar et al, 1986).

4
2.3 Anatomi dan Fisiologi Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal (Rusmarjono, 2010).
Untuk keperluan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring, orofaring,
dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas faring, yang
tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian
tengah faring, meluas dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada
orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada dasar lidah.
Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas yang
terpisah dari saluran pencernaan bagian atas (Adams, 1997).

2.4 Anatomi Nasofaring


Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di
sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital, sebelah
anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah
inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak pada
dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas belakang
orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago Eustachius
(Ballenger, 1997).
Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting (Adams, 1997) :
♣ Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
♣ Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.
♣ Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago tuba
Eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
♣ Koana posterior rongga hidung.

5
♣ Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
♣ Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.
♣ Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.
♣ Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Nasofaring

Batas-batas nasofaring :
♣ Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia.
♣ Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas ini
bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
6
♣ Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dextra dan sinistra oleh os vomer.
♣ Posterior : vertebra cervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa
bagian atas.
♣ Lateral : mukosa lanjutan dari mukosa di bagian superior dan posterior, muara tuba
Eustachii, fossa Rosenmuller (Ballenger, 1997).

2.5 Anatomi Orofaring


Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal (Rusmarjono, 2010).
Orofaring termasuk cincin jaringan limfoid yang sirkumferensial, disebut cincin
Waldeyer. Bagian cincin Waldeyer adalah jaringan adenoid, tonsila palatina, tonsila lingual,
dan folikel limfoid pada dinding posterior faring (Adams, 1997).

Gambar 2.2 Anatomi Tonsil

1) Tonsilla Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tiap tonsilla ditutupi membran

7
mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring. Permukaannya
tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang
berjumlah 6-20 kripte. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsillaris, daerah yang
kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Permukaan lateral tonsilla ditutupi
selapis jaringan fibrosa yang disebut “Capsula” tonsilla palatina, terletak berdekatan
dengan tonsilla lingualis (Norhidayah, 2010; Rusmarjono, 2010).
Tonsil dibatasi oleh :
♣ Lateral : muskulus konstriktor faring superior
♣ Medial : ruang orofaring
♣ Anterior : muskulus palatoglosus
♣ Posterior : muskulus palatofaringeus
♣ Superior : palatum mole
♣ Inferior : tonsil lingual (Norhidayah, 2010)

Gambar 2.3 Tonsilla Palatina

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripte tonsila. Epitel yang melapisi permukaan tonsila palatina
mempunyai daya tahan yang lebih baik daripada jenis epitel yang lain dimana mukosa
tonsila palatina ini selalu mendapat gesekan dalam tubuh sehingga memerlukan
perlindungan yang lebih baik agar lebih tahan terhadap trauma. Banyak limfanodulus
terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di
dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan

8
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang
jalur pembuluh limfatik (Norhidayah, 2010).
Kripte pada tonsila palatina dalam dan bercabang-cabang dan terdapat kripte dalam
jumlah yang banyak. Pada kripte ini bermuara kelenjar-kelenjar submukosa yang terdapat
di sekitar tonsil (Norhidayah, 2010).
Fossa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang
tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX, yaitu nervus
glosofaringeal (Norhidayah, 2010).
Vaskularisasi tonsil diperoleh dari arteri yang terutama masuk melalui polus
caudalis, tapi juga bisa melalui polus cranialis. Melalui polus caudalis : rr. tonsillaris a.
dorsalis linguae, a. palatina ascendens dan a. facialis. Melalui polus cranialis : rr.
tonsillaris a. pharyngica ascendens dan a. palatina minor. Semua cabang-cabang tersebut
merupakan cabang dari a. carotis eksterna (Moore, 2002).
Darah venous dari tonsil terutama dibawa oleh r. tonsillaris v. lingualis dan di
sekitar kapsula tonsillaris membentuk pleksus venosus yang mempunyai hubungan
dengan pleksus pharyngealis. Vena paratonsillaris dari palatum mole menuju ke bawah
lewat pada bagian atas tonsillar bed untuk mengalirkan darah ke dalam pleksus
pharyngealis (Moore, 2002).
Cairan limfe dialirkan ke lnn. submaxillaris, lnn. cervicalis superficialis dan
sebagian besar ke lnn. cervicalis profundus superior, terutama pada limfonodi yang
terdapat di dorsal angulus mandibular (lnn. tonsillaris). Nodus paling penting pada
kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus yang terletak di bawah dan belakang
angulus mandibulae (Moore, 2002).
Tonsil bagian bawah mendapat persarafan dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves (Moore, 2002).
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil
adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen,
interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang
immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area, yaitu epitel sel retikular, area

9
ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid, dan pusat germinal pada folikel limfoid
(Norhidayah, 2010).
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama, yaitu 1)
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Norhidayah,
2010).

2) Tonsilla Pharingeal (Adenoid)


Adenoid merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid
yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur
seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya.
Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal
sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus (Norhidayah, 2010).
Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring, berbatasan dengan kavum nasi
dan sinus paranasalis pada bagian anterior, serta kompleks tuba Eustachius – telinga
tengah – kavum mastoid pada bagain lateral. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fossa Rosenmuller
dan orifisium tuba Eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak.
Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian
akan mengalami regresi (Norhidayah, 2010).
Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a.carotis eksternal,
beberapa cabang minor berasal dari a.maxilaris interna dan a.fasialis. Innervasi sensible
merupakan cabang dari n.glosofaringeus dan n.vagus. Anatomi mikro dan makroskopik
dari adenoid menggambarkan fungsinya dan perbedaannya dengan tonsila palatina.
Adenoid adalah organ limfoid yang mengalami invaginasi dalam bentuk lipatan yang
dalam, hanya terdiri beberapa kripte berbeda dengan tonsila palatine yang memiliki
jumlah kripte lebih banyak (Moore, 2002).

10
Gambar 2.4 Tonsilla Pharingeal (Adenoid)

Fungsi adenoid adalah bagian dari imunitas tubuh. Adenoid merupakan jaringan
limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA
sebagai bagian penting sistem pertahanan tubuh lini terdepan dalam memproteksi tubuh
dari invasi mikroorganisme dan molekul asing (Handokho, 2011).
Proses imunologi pada adenoid dimulai ketika bakteri, virus, atau antigen makanan
memasuki nasofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen adenoid
pertama sebagai barrier imunologis. Kemudian terjadi absorbsi secara selektif oleh
makrofag, sel HLA dan sel M dari tepi adenoid. Antigen selanjutnya diangkut dan
dipresentasikan ke sel T pada area ekstra-folikuler dan ke sel B pada sentrum
germinativum oleh follicular dendritic cells – FDC (Handokho, 2011).

11
Interaksi antara sel T dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC bersama
dengan IL-1 akan mengakibatkan aktivasi sel T yang ditandai oleh pelepasan IL-2 dan
ekspresi reseptor IL-2. Antigen bersama-sama dengan sel Th dan IL-2, IL-4, IL-6 sebagai
aktivator dan promotor bagi sel B untuk berkembang menjadi sel plasma. Sel plasma akan
didistribusikan pada zona ekstrafolikuler yang menghasilkan immunoglobulin (IgG 65%,
IgA 20%, sisanya IgM, IgD, IgE) untuk memelihara flora normal dalam kripte individu
yang sehat (Handokho, 2011).
Secara histologis, adenoid tersusun atas 3 jenis epitel pada permukaannya, yaitu
epitel kolumnar bertingkat dengan silia, epitel berlapis skuamous dan epitel transisional.
Infeksi kronik atau pembesaran adenoid cenderung akibat peningkatan proporsi epitel
berlapis skuamous (aktif untuk proses antigen) dan berkurangnya epitel respirasi (aktif
untuk klirens mukosilier) (Handokho, 2011).

3) Tonsilla Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinis merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus
(Rusmarjono, 2010).

2.6 Hipertrofi Adenoid

Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding posterior
nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin Waldeyer. Secara fisiologik
pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami hipertrofi. Adenoid ini membesar pada anak
usia 3 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Apabila
sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang
akan mengakibatkan sumbatan pada koana dan tuba Eustachius (Rusmarjono, 2010).
Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi (1) fasies
adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen), arkus faring tinggi
yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang bodoh; (2) faringitis dan
bronkitis; serta (3) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga menimbulkan
sinusitis kronik. Obstruksi dapat mengganggu pernapasan hidung dan menyebabkan perbedaan

12
dalam kualitas suara. Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang
dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik. Akibat hipertrofi adenoid juga dapat
menimbulkan retardasi mental, pertumbuhan fisik berkurang, gangguan tidur dan tidur ngorok.
Hipertrofi adenoid juga dapat menyebabkan beberapa perubahan dalam struktur gigi dan
maloklusi (Adams, 1997; Rusmarjono, 2010).

Gambar 2.5 Gambaran Obstructive Sleep Apnea

2.6.1 Etiologi
Etiologi pembesaran adenoid dapat diringkas menjadi 2, yaitu secara fisiologis dan faktor
infeksi. Secara fisiologis, adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya, yaitu 3-7
tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menimbulkan gejala.
Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren
pada saluran pernapasan atas (ISPA). Hipertrofi adenoid terjadi akibat adenoiditis yang
berulang kali antara usia 4-14 tahun (Bull, 2002).

2.6.2 Patofisiologi
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin Waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4
tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil)
merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen.
Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam
respon imun humoral maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid

13
dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respon terhadap
kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen (Bull, 2002).
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan tersumbatnya
jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernapas,
sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid juga dapat
menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara.
Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba Eustachius yang akhirnya
menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba Eustachius yang
tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan (Bull, 2002).
Penyebab utama hipertrofi jaringan adenoid adalah infeksi saluran napas atas yang
berulang. Infeksi dari bakteri-bakteri yang memproduksi beta-lactamase, seperti Streptoccocus
Beta Hemolytic Group A (SBHGA), Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis,
Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae, apabila mengenai jaringan adenoid
akan menyebabkan inflamasi dan hipertrofi. Jaringan adenoid yang seharusnya mengecil secara
fisiologis sejalan dengan pertambahan usia, menjadi membesar dan pada akhirnya menutupi
saluran pernapasan atas. Hambatan pada saluran pernapasan atas akan mengakibatkan
pernapasan melalui mulut dan pola perkembangan sindrom wajah adenoid (Handokho, 2011;
Rahbar, 2004).
Menurut Linder-Arosson (2000), sindrom wajah adenoid diakibatkan oleh penyumbatan
saluran napas atas kronis oleh karena hipertrofi jaringan adenoid. Penyumbatan saluran napas
atas kronis menyebabkan kuantitas pernapasan atas menjadi menurun, sebagai penyesuaian
fisiologis penderita akan bernapas melalui mulut. Pernapasan melalui mulut menyebabkan
perubahan struktur dentofasial yang dapat mengakibatkan maloklusi, yaitu posisi rahang bawah
yang turun dan elongasi, posisi tulang hyoid yang turun sehingga lidah akan cenderung ke
bawah dan ke depan, serta meningginya dimensi vertikal (Handokho, 2011; Rahbar, 2004).
Faktor etiologi lainnya dari sindroma wajah adenoid adalah inflamasi mukosa hidung,
deviasi septum nasalis, anomali kogenital dan penyempitan lengkung maksila. Gambaran
skematis mengenai etiologi sindrom wajah adenoid akan diuraikan pada bagan berikut ini
(Handokho, 2011).

14
ISPA berulang Deviasi septum nasi Penyempitan
lengkung maksilla

Inflamasi Hipertrofi
mukosa hidung adenoid Penyempitan
lubang hidung

Berkurangnya pernapasan
melalui hidung

Terjadi pernapasan
melalui mulut

Turunnya posisi Turunnya Sikap kepala


mandibula posisi lidah mendongak

Sindrom Wajah Adenoid

Gambar 2.6 Patofisiologi Sindrom Wajah Adenoid


2.6.3 Patogenesis

Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4
tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil)
merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang menfagosit kuman-kuman patogen.
Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam
respon imun humoral maupun selular, seperti pada epitel kripta, folikel limfoid, dan bagian
ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap
kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen . Adenoid dapat
membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan tersumbatnya jalan udara yang
melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernafas sebagai
akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi
pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara (PP PERHATI KL, 2016).

15
Gambar 2.7 Pembesaran adenoid dan proses obstruksi

Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius (gambar 2)


yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba
eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan.

2.6.4 Gejala Klinis

♣ Obstruksi Nasi
Pembesaran adenoid dapat menyumbat parsial atau total respirasi hidung sehingga terjadi
ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak akan terus bernapas melalui mulut.
Beberapa peneliti menunjukkan korelasi statistik antara pembesaran adenoid dan
kongesti hidung dengan rinoskopi anterior.

♣ Sleep Apnea
Sleep apnea pada anak berupa adanya episode apnea saat tidur dan hipersomnolen pada
siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia dan bradikardi. Episode apnea dapat
terjadi akibat adanya obstruksi, sentral atau campuran.

Gambar 2.8 Gejala Obstruksi Saluran Napas Atas

16
♣ Facies Adenoid
Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid mempunyai
tampak muka yang karakteristik. Tampakan klasik tersebut meliputi :
Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang pendek. Namun sering
juga muncul pada anak-anak yang minum susu dengan menghisap dari botol dalam
jangka panjang. Hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/hipoplastik, sudut alveolar
atas lebih sempit, dan arkus palatum lebih tinggi.

♣ Efek Pembesaran Adenoid Pada Telinga


Hubungan pembesaran adenoid atau adenoiditis rekuren dengan otitis media efusi telah
dibuktikan baik secara radiologis maupun berdasarkan penelitian tentang tekanan oleh
Bluestone. Otitis media efusi merupakan keadaan dimana terdapat efusi cairan di telinga
tengah dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Hal ini dapat terjadi
akibat adanya sumbatan pada tuba Eustachius. Keadaan alergik juga sering berperan
sebagai faktor tambahan dalam timbulnya efusi cairan di telinga tengah (Rahbar, 2004;
Rusmarjono, 2010; Handokho, 2011).

2.6.5 Penegakkan Diagnosis

Anamnesis

Pasien dengan hipertrofi adenoid biasanya datang dengan keluhan rhinore, kualitas
suara yang berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal berupa pernapasan lewat mulut yang
kronis (chronic mouth breathing), mendengkur, bisa terjadi gangguan tidur (obstructive sleep
apnea), tuli konduktif (merupakan penyakit sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga
tengah yang persisten) dan facies adenoid.

Apabila sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi
hipertrofi adenoid yang akan mengabatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba eustachius
serta gejala umum. Akibat sumbatan koana maka pasien akan bernapas lewat mulut sehingga
terjadi:
a. Jika berlangsung lama menyebabkan palatum durum lengkungnya menjadi tinggi dan
sempit, area dentalis superior lebih sempit dan memanjang daripada arcus dentalis inferior
hingga terjadi malocclusio dan overbite (gigi incisivus atas lebih menonjol ke depan).
b. Wajah penderita kelihatannya seperti anak yang bodoh, dan dikenal sebagai facies
adenoid.

17
c. Mouth breathing juga menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dan kelembabannya
kurang, sehingga mudah terjadi infeksi saluran pernafasan bagian bawah.
d. Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren maupun otitis
medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi ketulian.
e. Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.

Gambar 2.9 Facies adenoid

Secara umum telah diakui bahwa anak-anak dengan pembesaran adenoid memiliki
karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal dan pertumbuhan
maksilla akibat mouth breathing. Gambaran wajah ini terdiri dari:
(1) postur bibir yang terbuka dengan gigi insisivus atas yang menonjol serta bibir atas yang
lebih pendek;
(2) hidung yang kurus, maksilla yang sempit dan hipoplastik, alveolar atas yang sempit, dan
high-arched palate.
Kelainan pertumbuhan ini dikarenakan kelainan oklusi cross bite dan open bite.

Pada penelitian yang lebih terperinci dan hati-hati yang dilakukan oleh LinderAronson (1970)
menunjukkan hubungan yang sangat erat antara mouth breathing, pembesaran adenoid dan
kelainan dental, serta maksilla. Alasan alternatif adalah bahwa kelainan rahang atas ini didapat
dari variasi normal (Tulley, 1964). Sangat mungkin bahwa ukuran normal adenoid pada
inherited hypoplastic maxilla akan meningkatkan gejala yang tidak terdapat pada maksilla
normal. Hubungan kausatif antara pembesaran adenoid dan kelainan maksilla tidak pernah
diteliti.
Pernapasan mulut dan rhinitis yang terus menerus merupakan gejala yang paling khas.
Pernapasan mulut dapat muncul hanya selama tidur, terutama bila anak tidur terlentang, bila

18
mendengkur, kemungkinan juga terjadi. Dengan adanya hipertrofi adenoid yang berat, selama
siang hari mulut juga akan terbuka, dan membran mukosa mulut serta bibir menjadi kering.
Nasofaringitis kronis dapat terjadi secara konstan ada, atau sering berulang. Kualitas suara
berubah menjadi suara hidung, serak. Pernapasan sangat menusuk hidung, indra pengecap
serta penciuman pun terganggu. Batuk yang mengganggu dapat muncul terutama di malam
hari, akibat dari drainase nanah ke dalam faring bawah atau iritasi laring dengan udara inspirasi
yang belum dipanasi dan dilembabkan oleh aliran melalui hidung. Gangguan pendengaran
lazim dijumpai. Otitis media kronis dapat terkait dengan hipertrofi adenoid yang terinfeksi dan
blokade orifisium tuba eustachii. Pernapasan mulut kronis memberi kecenderungan
lengkungan palatum tinggi, sempit, dan mandibula memanjang. Seringkali ada rujukan dari
ortodontis untuk melakukan pemeriksaan obstruksi hidung dan adenoidektomi.
Sejumlah kecil anak kecil dengan pembesaran adenoid (juga tonsil) yang nyata tidak
mampu bernapas dengan mulut selama waktu tidur. Mereka mendengus dan mendengkur
keras dan sering menampakkan tanda-tanda kegawatan pernapasan, seperti retraksi interkostal
dan pelebaran lubang hidung. Anak ini berisiko mengalami insufisiensi pernapasan (hipoksia,
hiperkapnea, asidosis) selama waktu tidur. Apnea obstruktif saat tidur dapat terjadi, dan pada
beberapa dari anak ini berkembang hipertensi arteri pulmonalis dan akhirnya, kor pulmonale.
Pembesaran jaringan limfoid saluran pernapasan atas dengan akibat kor pulmonale telah
dihubungkan dengan hipersensitivitas susu sapi dalam sejumlah anak pada umur prasekolah.
Anak yang amat gemuk (misalnya sindrom Prader-Willi) dan pada anak dengan lidah besar
atau terletak sebelah posterior (misalnya sindrom Pierre Robin) dapat juga berkembang
obstruksi saluran pernapasan atas pada saat tidur, sehingga menyerupai sindrom hipertrofi
adenoid. Penderita sindrom Down sering menderita makroglosia, pembesaran tonsil, dan
anomali dasar tengkorak, yang membuatnya rentan terhadap obstruksi.
Sebuah penelitian mengklasifikasikan hipertrofi adenoid menurut

gejalanya antara lain sebagai berikut:

- Mendengkur (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1–2 malam dalam seminggu, grade 2 = 3–
5 malam dalam seminggu, dan grade 3 = 6–7 malam dalam seminggu),
- Hidung tersumbat (chronic mouth breathing) (grade 0 = tidak ada, grade 1 = ¼ hingga
½ hari, grade 2 = ½ hingga ¾ hari, dan grade 3 = ¾ hingga sehari penuh)
- Sleep apnea (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1–2 malam dalam seminggu, grade 2 = 3–
5 malam dalam seminggu, dan grade 3 = 6–7 malam dalam seminggu),

19
- Otitis media (grade 0 = tidak ada, grade 1=1–3 episode per tahun, grade 2 = 4–6 episode
per tahun, dan grade3 = lebih dari 6 episode per tahun), serta
- faringitis rekuren (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1–3 episode per tahun, grade 2 = 4–6
episode per tahun, dan grade3 = lebih dari 6 episode per tahun).

Pemeriksaan Fisik

Langsung:

• Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah palatum molle di


retraksi.
• Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle waktu mengucapkan
"i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut fenomena palatum molle
yang negatif Tidak langsung:
• Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah orofaring dinamakan
rhinoskopi posterior.
• Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang mempunyai sistem lensa
dan prisma dan lampu diujungnya, dimasukkan lewat cavum nasi, seluruh nasofaring
dapat dilihat.

Pemeriksaan klinis yang dilakukan pada anak dengan obstruksi nasal kebanyakan tidak
dapat dipercaya. Pemeriksaan cavum nasi yang dilakukan dengan rinoskopi anterior dapat
terlihat normal atau dapat menunjukkan peningkatan sekresi, hipertrofi, maupun kongesti
(hiperemis atau kebiruan) di konka. Murray (1972) menunjukkan korelasi positif antara
pembesaran adenoid dan kongesti nasal pada pemeriksaan rinoskopi anterior, dan ketika
hubungan ini mungkin saja benar pada beberapa orang anak, hal ini juga tampak pada
gambaran rinoskopi anterior anak-anak dengan rinitis alergi. Pada beberapa anak, pemeriksaan
nasofaring dengan kaca laring dapat mengidentifikasi adenoid yang besar. Akan tetapi, pada
beberapa orang anak pemeriksaan dengan kaca laring ini tidak mungkin dilakukan. Cara yang
paling mungkin untuk mengidentifikasi ukuran adenoid ini adalah dengan menggunakan foto
lateral. Foto radiologi ini akan memberikan pengukuran absolut dari adenoid dan juga dapat
memberikan taksiran hubungannya dengan ukuran jalan napas. Hal ini adalah metode terbaik
untuk menentukan apakah adenoidektomi dapat memperbaiki gejala obstruksi nasal.

20
Pemeriksaan penunjang

a. Foto polos

Ukuran adenoid biasanya dideteksi dengan menggunakan foto polos true lateral. Hal
ini memiliki kekurangan karena hanya menggambarkan ukuran nasofaring dan massa adenoid
dua dimensi. Namun, Holmberg dan LinderAronson (1979) menemukan hubungan yang
signifikan antara ukuran adenoid yang diukur pada foto kepala lateral dan adenoid yang diukur
secara klinis menggunakan nasofaringoskopi.
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam mendiagnosis
hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang postnasal kadang sulit dilihat
pada anak-anak, dan dengan pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan
derajat obstruksi.
Terdapat beberapa metode untuk mengukur besar adenoid, antara lain yang pernah
diteliti adalah:
1. Ketebalan adenoid

Ketebalan adenoid, seperti yang dideskripsikan oleh Johannesson, didefinisikan sebagai jarak
yang diukur (mm) tegak lurus dari tuberkel faring di basis cranii ke
puncak adenoid dengan menggunakan cavum x-ray. Skema ditunjukkan oleh gambar 4 dan
7C.

Gambar 4. Skema tebal adenoid menurut Johannesson. PT: Tonsil faring


(adenoid), NF: nasofaring

2. Rasio jalan napas dan palatum molle

Rasio jalan napas dan palatum molle, seperti yang dideskripsikan oleh Cohen dan Konak,
merupakan perbandingan antara lebar kolom udara (AC) antara palatum dan titik
kelengkungan tertinggi adenoid dan ketebalan palatum molle (SfP; 10 mm di bawah palatum

21
durum atau 5 mm pada anak < 3 tahun) dengan menggunakan cavum x-ray. Adenoid disebut
sebagai kecil, ketika kolom udara lebih sempit daripada ketebalan palatum; medium, ketika
kolom udara sempit namun lebih lebar dari setengah tebal palatum; dan besar, ketika kolom
udara lebih sempit dari setengah tebal palatum. Skema ditunjukkan oleh gambar 5 dan 7B.
Sementara itu, Cohen dan Konak mengkategorikan adenoid ke dalam 3 kelompok berdasarkan
perhitungan pada skema, yakni:
Kecil : AC/SfP ≥ 1,0

Medium : 0,5 ≤ AC/SfP < 1,0

Besar : AC/SfP < 0,5

Gambar 5. Metode Cohen dan Konak. A. Pengukuran dilakukan 10 mm dari posterior


nasal spine B. Gambaran adenoid yang besar.

3. Rasio adenoid-nasofaring (rasio A/N)

Rasio adenoid-nasofaring, yang diusulkan oleh Fujioka dkk, didefinisikan sebagai rasio antara
ketebalan adenoid (A) dengan nasofaring (N) dengan menggunakan cavum x-ray. Di mana A
adalah garis tepi anterior tulang basiooksipital yang tegak lurus ke puncak tonsil faring
(adenoid); dan N adalah jarak antara bagian posterosuperior dari palatum durum dan tepi
anterior dari sinkondrosis sfenooksipital. Skema ini ditunjukkan oleh gambar 6 dan 7A.
Adapun kategori menurut Fujioka adalah:
A/N ≤ 0,8 : normal

A/N > 0,8 : pembesaran

22
Gambar 6. Skema adenoid-nasofaring menurut Fujioka dkk. A: adenoid, N:
nasofaring.

4. Persentase oklusi jalan napas

Persentase oklusi jalan napas yang diukur dengan lateral neck soft tissue radiographs
(LNXR), yang dinilai sebagai rasio tebal adenoid yang didefinisikan oleh Johanneson dengan
jarak dari tuberkel faring di basis cranii ke permukaan superior dari palatum molle. Skema ini
ditunjukkan oleh gambar 7D. Adapun klasifikasi menurut persentase oklusi jalan napas, yang
juga ditunjukkan oleh gambar 8, adalah:
Grade I: Besar adenoid kurang dari 25% dari jalan napas nasofaring

Grade II: Adenoid sebesar 25% hingga 50% dari jalan napas nasofaring Grade III:
Adenoid sebesar 50% hingga 75% dari jalan napas nasofaring Grade IV: Besar adenoid
lebih dari 75% jalan napas nasofaring.

23
Gambar 7. Metode untuk menilai pembesaran adenoid pada lateral neck radiography A. Rasio
adenoid dan nasofaring oleh Fujioka dkk B. Rasio jalan napas dan palatum molle oleh Cohen
dan Konak C. Ketebalan adenoid oleh Johannesson D. Persentase oklusi jalan napas, diukur
dari rasio ketebalan adenoid dan jarak tuberkel faring-permukaan superior palatum molle.

Gambar 8. Foto sefalograf lateral pada 3 anak dengan mouth breathing kronis, gambar
menunjukkan perbedaan tingkatan obstruksi jalan napas yang dihubungkan dengan ukuran
adenoid. A. Grade I pada anak perempuan usia 12 tahun 3 bulan. B. Grade II pada anak laki-
laki usia 4 tahun 4 bulan. C. Grade III anak usia 4 tahun 9 bulan yang juga memiliki morfologi
khas gigi dan long face syndrome.

24
5. Faring Superior

Faring superior, yang didefinisikan oleh McNamara (gambar 9), adalah jarak terpendek (mm)
antara satu titik pada batas superior palatum molle dan satu titik pada tepi tonsil faring
(adenoid). McNamara pun mengkategorikannya ke dalam dua kategori jalan napas, yakni:
Non obstructive : SP > 5 mm

Apparently obstructive : SP ≤ 5 mm

Gambar 9. Skema faring superior menurut McNamara.

Foto cavum x-ray sering digunakan oleh ahli telinga, hidung, dan tenggorokan, ketika
ahli ortodonsia lebih sering menggunakan foto sefalometrik lateral. Walaupun hal ini
merupakan dua jenis foto yang berbeda, foto ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk
mengevaluasi jalan napas nasofaring.
Namun penilaian ukuran adenoid dengan menggunakan foto polos lateral dianggap
kontroversial, bahkan manfaatnya untuk penentuan adenoidektomi pada beberapa kasus juga
dipertanyakan. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Mlynarek dkk, menunjukkan
bahwa persentase oklusi jalan napas yang menggunakan foto lateral memiliki korelasi yang
tinggi bila dihubungkan dengan gejala klinis penderita. Bila seluruh sistem pengkategorian
dibandingkan, metode pengukuran dari McNamara memiliki kemampuan yang paling baik
dalam hal subyektivitas pemeriksa, dan dimungkinkan untuk tidak terjadi kesalahpahaman
antar pemeriksa. Meskipun demikian terdapat korelasi signifikan antara volume adenoid
absolut yang ditemukan pada saat pembedahan dengan skor obstruksi nasal, dan hasil
pemeriksaan radiologis. Bagaimanapun juga, metode sefalometrik, dengan pengukuran
adenoid dan lebar jalan napas post nasal yang hati-hati perlu dilakukan, sesuai dengan
pengalaman pemeriksa.

25
Pemeriksaan hipertrofi adenoid harus dilakukan dengan hati-hati. Perubahan posisi
pasien, seperti halnya tipe pernapasan pada saat pengambilan foto, memiliki efek yang
signifikan pada penampang jaringan lunak nasofaring, seperti ditunjukkan oleh gambar 10.
Oleh karena itu, foto dua dimensi dapat menjadi sangat tidak akurat untuk mendeteksi
pembesaran adenoid dan dapat menyebabkan perbedaan pendapat antar pemeriksa.

Gambar 10. Foto polos leher lateral yang dilakukan pada anak yang sama dengan gambar 7,
namun dengan mulut terbuka. Tampak perbedaan penampang adenoid.

b. CT Scan dan MRI

CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari hipertrofi
adenoid seperti kista maupun tumor. Gambaran hipertrofi adenoid yang terdapat pada CT scan
dan MRI adalah gambaran densitas/intensitas rendah tanpa adanya central midline cyst
(gambar 11).

Gambar 11. MRI dan CT scan nasofaring.


A. potongan axial MRI T1 pada nasofaring B. potongan sagittal CT scan yang
menunjukkan soft tissue shadow pada nasofaring

26
c. Endoskopi

Endoskopi cukup membantu dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid, infeksi adenoid,


dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), serta untuk menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi
nasal. Adapun ukuran adenoid diklasifikasikan menurut klasifikasi Clemens et al, yang mana
adenoid grade I adalah ketika jaringan adenoid mengisi sepertiga dari apertura nasal posterior
bagian vertikal (choanae), grade II ketika mengisi sepertiga hingga dua per tiga dari koana,
grade III ketika mengisi dua per tiga hingga obstruksi koana yang hampir lengkap dan grade
IV adalah obstruksi koana sempurna.

Gambar 12. A. Gambaran endoskopi adenoid pada orang dewasa B. Gambaran


CT scan potongan aksial pada pasien yang sama, menunjukkan adenoid yang kontak dengan
konka inferior
(PP PERHATI KL, 2016).

2.6.6 Tatalaksana
Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk infeksi kronis
adenoid. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik dalam jangka waktu yang
panjang untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil membunuh bakteri. Sebenarnya, banyak
kuman yang mengalami resistensi pada penggunaan antibiotik jangka panjang. Beberapa
penelitian menerangkan manfaat dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi
adenoid. Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat mengecilkan
adenoid (sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut akan
terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau otitis media yang
rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekurensi.
Indikasi adenoidektomi adalah:

27
1. Sumbatan

• Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut

• Sleep apnea

• Gangguan menelan

• Gangguan berbicara

• Kelainan bentuk wajah dan gigi (facies adenoid)

2. Infeksi

• Adenoiditis berulang/kronik

• Otitis media efusi berulang/kronik

• Otitis media akut berulang

3. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas

Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai
kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
mempertimbangkan "manfaat dan risiko". Keadaan tersebut antara lain:
1. Gangguan perdarahan

2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

3. Anemia

4. Infeksi akut yang berat

2.6.7 Komplikasi
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan adenoid kurang
bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerusakan dinding belakang faring. Bila
kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba
Eustachius dan akan timbul tuli konduktif (Rusmarjono, 2010).

2.6.8 Prognosis

28
Adenotonsilektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan individu.
Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna, kerusakan akibat cor
pulmonal tidak menetap dan sleep apnea dan obstruksi jalan napas dapat diatasi (Adams, 1997).

2.7 Tonsilitis

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s tonsil)
(Soepardi, 2007). Sedangkan menurut Reeves (2001) tonsilitis merupakan inflamasi atau
pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.

2.7.1. Anatomi

Tonsil Palatina

Tonsil palatina terdiri dari jaringan padat limfoid yang merupakan bagian dari cincin
Weldayer (Viswanatha, 2011). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 1,75- 2,50 cm , dengan
lebar 1,5- 2,0 cm. Pada anak-anak di bawah usia lapan lebih besar yaitu dari 2,5-3,0 cm panjang
dan lebarnya adalah 1,5-2,5 cm. Masing – masing tonsil mempunyai 8 – 20 kripta yang terdiri
dari jaringan connective tissue seperti jaringan limpoid dan berisi sel limpoid
(Balasubramaniam, 2007).
Biasanya kripta adalah tubular dan hampir selalu memanjang dari dalam tonsil sampai
ke kapsul tonsil pada permukaan luarnya. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama
dengan epitel permukaan medial. Saluran kripta kearah luar biasanya bertambah luas.Secara
klinis terlihat bahwa kripta merupakan sumber infeksi baik secara lokal maupun umum karena
dapat berisi sisa makanan, epitel yang terlepas dan juga bakteri (Ballenger JJ, 2001).
Fosa Tonsilaris

Fosa tonsilaris atau sinus tonsilaris terletak diantara 2 buah plika yaitu plika anterior dan
posterior.Plika anterior dibentuk oleh otot palatoglosus, sedangkan plika posterior di bentuk
oleh otot palatofaringeus.Bagian luar tonsil dilindungi oleh kapsul yang dibentuk oleh fasia
faringobasilaris dan dilateral oleh fasia bukofaringeal (Beasley, 1997 dan Balasubramanian,
2009).

29
Gambar 2.10:Tonsila Palatina dan struktur sekitarnya

Dikutip dari: The University of Queensland

Perdarahan Tonsil

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina
asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri
lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah
tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri
palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.Vena-
vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.Aliran balik
melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal (Wiatrak BJ,
2005).

30
Gambar 2.11 :Vaskularisasi Tonsil
Dikutip dari: Netter, 2008

Sistem Limfatik Faring dan Tonsil

Sistem pembuluh limfatik dari tonsil menembus fasia bukofaringeal dan melalui bagian
atas kelenjar servikal (Beasley, 2001).
Persarafan Tonsil

Terutama melalui N.Palatina Mayor dan Minor (cabang N V) dan saraf

Lingualis (cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena
N IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui “Jacobson’s
Nerve” (Snell, 2006).

2.7.2. Fisiologi

Tonsil palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem
pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk
ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila
pathogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear akan mengenal dan
mengeliminasi antigen (Farokah,2003). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda
asing dan patogen,selanjutnya membawanya ke sel limfoid.
Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3-10 tahun. (Amarudin, 2007). Tonsil
merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit
yang sudah disensitasi.Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan

31
mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitasi
sel limfosit T dengan antigen spesifik (Kartika, 2008).Tonsil bertindak sebagai filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus.
Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi bagi membantu
melawan infeksi (Edgren, 2002).Tonsil merupakan jaringan limfoid yang di dalamnya terdapat
sel limfoid yang mengandung sel limfosit, 0.1-0.2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang
dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55%-
75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membrane), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik).
Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG (Kartika, 2008).

2.7.3. Embriologi Tonsil (Sadler, 2004 )

Tonsil terbentuk dari lapisan endodermal pada minggu ketiga sampai dengan minggu
kedelapan pada masa embriologi. Embrio manusia memiliki lima pasang kantong faring.
Masing-masing kantong akan membentuk organ penting lainnya.

Gambar 2.12. Embriologi Tonsil

Dikutip dari: Sadler, 2004

32
Lapisan epitel kedua dari kantong faring berproliferasi dan membentuk tunas yang akan
menembus ke jaringan mesenkim di sekitarnya. Selanjutnya tunas-tunas tersebut akan dilapisi
oleh jaringan mesodermal sehingga membentuk primordial dari tonsila palatina. Selama bulan
ketiga dan kelima, tonsil akan dikelilingi oleh jaringan limfatik. Bagian kantong yang tertinggal
akan ditemukan pada saat dewasa sebagai fosa tonsilaris.

2.7.4. Tipe Tonsil

Ada tiga jenis tonsil, yaitu (Matini,2005):

• Tonsil Palatina terdiri daripada tonsil palatina kiri dan kanan terletak di posterior, margin
inferior dari rongga mulut, di sepanjang batas dengan faring.
• Tonsil Faring yang juga sering disebut juga dengan adenoid, terletak pada posterior,
superior dinding nasofaring.
• Tonsil Lingual; terletak jauh pada epitel mukosa meliputi dasar (bagian faring)
lidah. Karena lokasinya, biasanya tidak terlihat kecuali terinfeksi dan bengkak.

2.7.5. Klasifikasi Tonsilitis

Ada tiga jenis utama dari tonsilitis, yaitu:

• Tonsilitis akut - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh salah satu bakteri atau
virus.Infeksi ini biasanya sembuh sendiri (Eunice, 2014).
• Subakut tonsilitis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh Actinomyces bakteri -
organisme anaerob yang bertanggungjawab untuk keadaan suppuratif pada tahap infeksi.
Infeksi ini bisa bertahan antara tiga minggu dan tiga bulan (Eunice, 2014).
• Tonsilitis kronis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri yang dapat
bertahan jika tidak diobati (Eunice, 2014).

2.7.6 Definisi

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan terutama
pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan
atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut (Palandeng, Tumbel,
Dehoop, 2014).Tonsilitis kronis timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa
jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat (Soepardi et al.,2007).

33
2.7.7. Etiologi

Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus pyogenes (GABHS),


Epstein-Barr virus (EBV),sitomegalovirus, adenovirus, dan virus campak merupakan
penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan tonsilitis akut.Bakteri menyebabkan 15-30
persen kasus faringotonsilitis; GABHS adalah penyebab tonsilitis bakteri yang paling banyak
(American Academy of Otolaryng ology — Head and Neck Surgery, 2011).
Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada tonsilitis akut, dan
yang paling sering adalah bakteri gram positif namun terkadang bakteri berubah menjadi
bakteri golongan gram negatif. Pada hasil penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis
bakteri penyebab tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alpha, Staphylococcus aureus,
Streptokokus β hemolitikus grup A, Enterobakter, Streptokokus pneumonie, Pseudomonas
aeroginosa, Klebsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus epidermidis (Suyitno S, Sadeli S,
1995 dalam Farokah, 2005).

2.7.8. Faktor Risiko

Yang merupakan faktor risiko:

• Eksposi kepada orang yang terinfeksi;

• Eksposi kepada asap rokok;

• Paparan asap beracun, asap industri dan polusi udara lainnya;

• Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

• Kanak-kanak; remaja dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas;

• Stres;

• Traveler

• Mulut yang tidak higiene

• Kondisi ko-morbid yang mempengaruh sistem imun seperti


hayfever,alergi,kemoterapi,infeksi Epstein-barr virus (EBV),infeksi herpes simplexvirus
(HSV),infeksi sitomegalovirus (CMV) dan infeksi human immune virus (HIV) atau
acquired immune deficiency syndrome (AIDS) (Sasaki, 2008; Jain et al., 2001; Lewy,
2008).
• Jenis kelamin. Lebih sering terjadi pada wanita (Abouzied, 2010).

34
2.7.9 Patofisiologi

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang
akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh
detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa dengan submandibula (Soepardi, 2007). Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Akibat dari proses ini akan terjadi
pembengkakan atau pembesaran tonsil ini, nyeri menelan, disfagia. Kadang apabila terjadi
pembesaran melebihi uvula dapat menyebabkan kesulitan bernafas.Apabila kedua tonsil
bertemu pada garis tengah yang disebut kissing tonsils dapat terjadi penyumbatan pengaliran
udara dan makanan. Komplikasi yang sering terjadi akibat disfagia dan nyeri saat menelan,
penderita akan mengalami malnutrisi yang ditandai dengan gangguan tumbuh kembang,
malaise, mudah mengantuk (Stephanie, 2011). Pembesaran adenoid mungkin dapat
menghambat ruang samping belakang hidung yang membuat kerusakan lewat udara dari
hidung ke tenggorokan, sehingga akan bernafas melalui mulut.Bila bernafas terus lewat mulut
maka mukosa membrane dari orofaring menjadi kering dan teriritasi, adenoid yang mendekati
tuba eustachus dapat meyumbat saluran mengakibatkan berkembangnya otitis media (Reeves,
Charlene, 2001 ).

2.7.10. Gejala Klinis

Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007),yang merupakan gejala klinis:

• Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit
sampai sakit menelan.
• Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam
subfebris, nyeri otot dan persendian.

• Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis),
edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis),
tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis),plika tonsilaris anterior hiperemis dan
pembengkakan kelenjar limfe regional.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar
dengan permukaanyang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kriptus terisi oleh

35
detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering di tenggorokan dan
nafas berbau.
Menurut Adams ( 2001 ) yang merupakan gejala klinis:

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin
tampak, yakni:
• Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar,
kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
• Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan
ditutup eksudat yang purulen.
Menurut (Adam et al., 2000; Sasaki, 2008) yang merupakan gejala klinis:

• Sakit kepala

• Malaise

• Demam

• Sakit saat menelan (Disfagia)

• Halitosis

• Kurangnya nafsu makan

• Mual dan muntah

• Pembesaran atau terjadinya tenderness pada kelenjar getah bening servikal serta sakit
telinga disebabkan persarafan yang sama kepada kedua telinga serta tenggorokan

36
Gambar 2.13 :Gambaran Gejala Klinis Tonsilitis

2.7.11. Diagnosis

Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut:

1. Anamnesa

Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada
tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada
sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.

2. Pemeriksaan fisik pasien dengan tonsilitis dapat menemukan:

• Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi pus.

• Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju.
• Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat menyebabkan
tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan petechiae palatal.
• Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan pembesaran tonsil
yang obstruktif.
• Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.

• Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).

• Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses peritonsilar.

37
• Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke telinga
mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.
• Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring,
tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada
tonsil. (American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2014).
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar
(hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada dewasa, kripte
melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula
(Aritomoyo D, 1980 dalam Farokah, 2005).Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam
ukuran T1 – T4:
• T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior –
uvula.
• T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½ jarak
anterior – uvula.
• T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior – uvula.
• T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau
lebih.
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat
menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat
menyebabkan kor polmunale.Gejala klinis sleep obstructive apnea lebih sering ditemui pada
anak – anak (Akcay, 2006).

38
Gambar 2.14: Gambaran Pembesaran Tonsil

Dikutip dari: Lalwani,2012.

2.7.12.Pemeriksaan penunjang

Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi streptokokus


Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini lebih mahal daripada kultur
agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih cepat. RADT memiliki akurasi 93% dan
spesifisitas > 95% dibandingkan dengan kultur darah. Hasil tes false positive jarang berlaku.
Identifikasi yang cepat dan pengobatan pasien dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis
yang disebabkan oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat diperkenalkan (Bisno et
al., 2002).
Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab tenggorokan dan
kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi sebanyak 41% pada swab
dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora normal yang terdeteksi adalah sebanyak
58,9% pada swab dibandingkan 9,59% di tonsil core. [Hasil dari penelitian ini meyokong hasil
dari penelitian Kurien, et al.,(2000)],yang menemukan patogen pada 55% dari swab
tenggorokan dan 72,5% dari kultur core (Yousef et al.,2014 ).

39
2.7.13. Penatalaksanaan

Medikamentosa

Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik,
obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak memberikan
hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama
sekurangnya 10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau
sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamisin
(Soepardi et al., 2007). Penggunaan terapi antibiotika amat disarankan pada pasien tonsilitis
kronis dengan penyakit kardiovaskular (Shishegar dan Ashraf, 2014). Obstruksi jalan nafas
harus ditatalaksana dengan memasang nasal airway device, diberi kortikosteroid secara
intravena dan diadministrasi humidified oxygen. Pasien harus diobservasi sehingga terbebas
dari obstruksi jalan nafas (Udayan et al., 2014).
Operatif

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan
serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al., 2007). Pada penelitian Vivit Sapitri mengenai
karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasi tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher
Jambi dari bulan Mei-Juli 2013 didapatkan data bahawa dari 30 orang, ditemukan penderita
tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi terbanyak pada rentang usia antara 5-14 tahun
yaitu 15 orang (50%), jenis kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu 17 orang (56,7%),
semua keluhan utamanya adalah nyeri pada tenggorok/ sakit menelan sebanyak 30 orang
(100%), indikasi tonsilektomi terbanyak adalah indikasi relatif sebanyak 22 orang (73,3%)
yaitu terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat
(Sapitri, 2013). Tonsilektomi juga merupakan tatalaksana yang diaplikasikan untuk Sleep-
Disordered Breathing (SDB) serta untuk tonsilitis rekuren yang lebih sering terjadi pada anak
–anak (Shishegar dan Ashraf, 2014).
Indikasi tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.Dulu diindikasikan untuk
terapi tonsilitis kronik dan berulang.Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan
hipertrofi tonsil. Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck
Surgery (AAO-HNS) tahun 2011 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi:

40
1. Indikasi absolut

• Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas,disfagia berat,gangguan


tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
• Abses peritonsilar yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali
jika dilakukan fase akut.
• Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

• Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.

2. Indikasi relatif

• Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan
medik yang adekuat.
• Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik.
• Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
3. Kontra-indikasi

• Riwayat penyakit perdarahan

• Risiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol

• Anemia

• Infeksi akut

2.7.14. Komplikasi

Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu:

• Abses peritonsil

Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptokokus grup A. Paling
sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala adalah malaise yang bermakna,
odinofagia yang berat dan trismus (Mansjoer, 2000).
• Otitis media akut

Infeksis dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustachi) dan
mengakibatkan otitis media yang dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada
ruptur spontan gendang telinga (Soepardi et al., 2007).

41
• Mastoiditis akut

Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebar infeksi ke dalam sel-sel mastoid
(Mansjoer, 2000).
• Laringitis

Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx. Peradangan
ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakteri, lingkungan, maupun
karena alergi (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
• Sinusitis

Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih dari sinus
paranasal.Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang
terdiri dari membran mukosa. (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
• Rinitis

Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx (Reeves,
Roux, Lockhart, 2001).
Menurut American Academy of Otolaryngology, komplikasi dari tonsilitis adalah
kesulitan bernapas, kesulitan menelan ,sleep apnea, sakit tenggorokan, sakit telinga, infeksi
telinga, bau mulut, perubahan suara serta peritonsillar abses yang lebih sering terjadi pada
orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak.

2.7.15. Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih
nyaman.Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat.Gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi
bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu
infeksi pada telinga dan sinus.Pada kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari
infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia (Edgren, 2002).

2.7.16. Pencegahan

Menurut Efiaty Arsyad Soepardi (2010), kemungkinan seseorang menderita penyakit itu
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keturunan, lingkungan, dan pola makan individu

42
tersebut. Dalam hal ini pola makan memiliki peran yang sangat besar terhadap kesehatan
seseorang, tidak terkecuali dengan tonsilitis. Selain itu menjaga kebersihan makan dan minum,
kebiasaan berkumur atau menggosok gigi minimal 2 kali sehari dan mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan juga sangatlah penting untuk menghilangkan patogen dan kuman-kuman
yang menempel ditangan yang tidak kita sadari selama beraktivitas sehari-hari. Orang – orang
yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah
penyebaran infeksi pada orang lain. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan
tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun
sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah
infeksi berulang ( Edgren, 2002 ).

43

Anda mungkin juga menyukai