Anda di halaman 1dari 27

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Vitamin A
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur
kimianya disebut retinol atau retina atau disebut juga dengan asam retinoat,
terdapat pada jaringan hewan dimana retinol 90-95% disimpan pada hati
(Haryadi, 2009). Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin
yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar
dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya
tahan tubuh untuk melawan penyakit, khususnya diare dan penyakit infeksi).
Vitamin A atau berdasarkan struktur kimianya dibagi menjadi dua
bentuk, yaitu :
1. Retinol
Retinol dapat dimanfaatkan langsung oleh tubuh karena umumnya sumber
retinol diperoleh dari makanan hewani seperti telur, hati, minyak ikan
yang mudah dicerna dalam tubuh.
2. Betacaritine
Sering disebut pro-vitamin A, baru dapat dirasakan setelah mengalami
proses pengolahan menjadi retinol. Sumber betacarotene berasal dari
makanan yang berwarna orange atau hijau tua, seperti wortel, bayam, ubi
kuning, mangga dan pepaya.
Retinol atau Retinal atau juga Asam Retinoat, dikenal sebagai
faktor pencegahan xeropthalmia, berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel
dan pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf mata, Jumlah yang
dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (KGA-
2004) per hari 400 ug retinol untuk anak-anak dan dewasa 500 ug
retinol.Tubuh menyimpan retinol dan betacarotene dalam hati dan
mengambilnya jika tubuh memerlukannya (Iskandar, 2012).

1
B. Metabolisme Vitamin A
Saat dikonsumsi provitamin A (betakaroten) akan dilepaskan dari
protein di lambung. Retinil ester akan di hidrolase menjadi retinol di usus
halus, karena bentuk ini akan mudah diserap, retinol yang telah dicerna akan
diserap melalui usus halus dan diangkut bersama dengan kilomikron ke hati,
tempat retinol mulai disimpan sebagai retinil palmitat. Ketika diperlukan
retinol akan dilepaskan ke dalam darah sebagai retinol dalam gabungan
dengan retinol binding protein (RBP), suatu protein pengangkut spesifik
yang diurai oleh hati.
Dalam serum, kompleks RBP- retinol bergabung dengan transiterin,
suatu protein besar yang juga disintesis di hati. Retinol kemudian
dipindahkan dari serum dan digunakan oleh sel sasaran seperti fotoreseptor
retina dan sel epitel. Di dalam jaringan, retinol diikat oleh protein -protein
sel pengikat retinoid, yaitu cellular retinoid-binding protein I (CRBPI) dan
cellular retinoid-binding protein II (CRBPII). Pada kompleks ini, retinol
bisa saja diesterifikasi atau dioksidasi lebih lanjut dengan retinol menjadi
asam retinoik. dimana akhirnya terikat pada satu set faktor transkripsi di
dalam nukleus.
Retinol intraseluler di jaringan perifer juga bisa berkombinasi dengan
protein plasma pengikat retinol di dalam jaringan atau tergabung menjadi
ester retinyl di lipoprotein. Siklus antara organ penyimpanan utama seperti
hepar dan jaringan epitel yang membutuhkan vitamin A untuk diferensiasi
seluler merupakan siklus yang luas dan efisien.
Vitamin A yang tidak diabsorpsi di saluran cerna, diekskresikan di
feses, dan derivat metabolisme yang inaktif diekskresikan di urin. Ketika
asupan vitamin A rendah, efisiensi absorpsi tetap tinggi, pemecahan
karotenoid dipertinggi, plasma transport tetap ada di level normal,
mekanisme penggunaan dan recycling menjadi lebih efisien, dan ekskresi
menurun dengan nyata. Ketika asupan vitamin A tinggi, efisiensi absorpsi
dikurangi, transportasi vitamin A dalam plasma tetap sama, recycling
menjadi kurang efisien, oksidasi vitamin A meningkat, ekskresi bilier
meningkat dengan jelas, ekskresi urin dan fekal diaugmentasi.

2
Seorang anak dengan gizi dan asupan vitamin A yang minimal
mempunyai simpanan vitamin A yang sangat terbatas. Penurunan yang tiba-
tiba baik yang disebabkan akibat perubahan pola makan atau gangguan
absorbsi (seperti pada gastroenteritis), atau peningkatan tiba-tiba dari
kebutuhan metabolik (demam, khususnya campak, atau lonjakan
pertumbuhan) akan menyebabkan penurunan yang cepat dari cadaangan
yang terbatas itu. Jika simpanan retinol hati sangat tinggi manusia dapat
bertahan selama berbulan- bulan tanpa vitamin A dan tidak menderita
penyakit yang serius.
Adanya vitamin A yang tersimpan tergantung juga pada status gizi
anak secara umum. Anak dengan defisiensi protein dan malnutrisi berat
mengikat protein pengikat retinol dengan kecepatan yang sangat rendah.
Oleh karena itu kadar retinol serum dapat subnormal, walaupun simpanan
di hati tinggi. Selain itu, bila hati dalam keadaan sakit, tidak dapat
menyimpan retinol, atau membuat protein pengikat retinol sebanyak hati
normal (Iskandar, 2012).

3
Gambar 2.1. Skema metabolisme vitamin A (Iskandar, 2012)

C. Pengertian Kekurangan Vitamin A


Kekurangan Vitamin A adalah penyakit yang disebabkan oleh
kurangnya asupan vitamin A
yang memadai. Hal ini dapat
menyebabkan rabun senja,
xeroftalmia dan jika
kekurangan berlangsung parah
dan berkepanjangan akan
mengakibatkan keratomalasia
(Tadesse, Lisanu, 2009).
Sedangkan menurut
Arisman tahun 2012, Kurang
Vitamin A (KVA) merupakan
penyakit sistemik yang
merusak sel dan organ tubuh
dan menghasilkan metaplasi

4
keratinasi pada epitel, saluran nafas, saluran kencing dan saluran cerna.
Penyakit Kurang Vitamin A (KVA) tersebar luas dan merupakan penyebab
gangguan gizi yang sangat penting. Prevalensi KVA terdapat pada anak-
anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun 1960-an KVA
merupakan penyebab utama kebutaan pada anak
D. Fungsi Vitamin A
1. Penglihatan
Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya
remang. Bila kita dari cahaya terang diluar kemudian memasuki ruangan
yang remang-remang cahayanya, maka kecepatan mata beradaptasi
setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung dengan vitamin A
yang tersedia didalam darah. Tanda pertama kekurangan vitamin A
adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki
penglihatan yang kurang bila itu disebabkan karena kekurangan vitamin
A (Melenotte et al., 2012).

2. Pertumbuhan dan Perkembangan


Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang
membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A,
pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada
anak–anak yang kekurangan vitamin A, terjadi kegagalan dalam

5
pertumbuhannya. Dimana vitamin A dalam hal ini berperan sebagai
asam retinoat (Tansuğ N, et al., 2010).
3. Reproduksi
Pembentukan sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur
dan perkembangan janin dalam kandungan membutuhkan vitamin
A dalam bentuk retinol. Hewan betina dengan status vitamin A rendah
mampu hamil akan tetapi mengalami keguguran atau kesukaran dalam
melahirkan. Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel
epitel dan kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga
berpengaruh dalam pencegahan kanker kulit, tenggorokan, paru-paru,
payudara dan kandung kemih (Knutson dan Dame, 2011).
4. Fungsi Kekebalan
Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada
manusia. Dimana kekurangan vitamin A dapat menurunkan respon
antibody yang bergantung pada limfosit yang berperan sebagai
kekebalan pada tubuh seseorang (Almatsier, 2008).
5. Perkembangan Jantung
Defek kardiak dan cabang aorta diamati sebagai bagian dari sindroma
kekurangan vitamin A. singkat kata, peranan vitamin A dalam
perkembangan jantung mamalia meliputi pembentukan pipa pola jantung
dan lingkaran, ruang dan katup saluran keluar, trabekulasi ventrikel,
diferensiasi kardiomiosit dan pengembangan pembuluh koroner
(Knutson dan Dame, 2011).
6. Perkembangan Ginjal dan Saluran Kencing
Kekurangan vitamin A pada kehamilan dapat berkorelasi dengan
kekurangan jumlah nefron sub-klinis dan sedikit defisit nefron yang tidak
disadari pada saat lahir, tapi mungkin bisa berkontribusi dalam jangka
panjang terjadinya gagal ginjal dan hipertensi (Knutson dan Dame,
2011).
7. Diafragma
Fungsi diafragma sebagai otot utama respirasi dan sebagai pembatas
antara rongga dada dan perut. Hernia diafragma kongenital (CDH) terjadi

6
pada sekitar satu dari 3000 kelahiran, dan berhubungan dengan kematian
neonatal yang tinggi. Vitamin A sangat penting bagi perkembangan
diafragma normal, dan telah disimpulkan bahwa gangguan sinyal
retinoid dapat berkontribusi pada etiologi dari gangguan manusia
(Knutson dan Dame, 2011).
8. Paru dan Saluran Nafas Atas serta Aliran Udara
Defek Respirasi termasuk agenesis paru kiri, hypoplasia paru
bilateral, dan agenesis esophagotracheal septum digambarkan dalam
sindroma KVA awal namun dikarakteristikkan sebagai kelainan yang
jarang terjadi. Paru berkembang dari foregut endoderm selama
perekembangan awal embrio. RA dari mesoderm splanchnic di sekitar
endoderm foregut telah penting ditemukan untuk pembentukan tunas
paru primordial. Sebuah laporan terbaru di New England Journal of
Medicine menunjukkan bahwa, di daerah endemik dengan defisiensi
vitamin A (retinol), anak-anak yang ibunya menerima suplementasi
vitamin A sebelum, selama, dan selama 6 bulan setelah kehamilan
memiliki fungsi paru-paru yang lebih baik ketika mereka diuji pada 9
sampai 11 tahun daripada anak-anak yang ibunya menerima suplemen
beta karoten atau plasebo. Selain itu, mereka menemukan bahwa periode
di mana suplementasi dengan vitamin A yang paling penting adalah dari
kehamilan usia postnatal dari 6 bulan (Knutson dan Dame, 2011).
E. Pengertian Kekurangan Vitamin A
Kekurangan Vitamin A adalah penyakit yang disebabkan oleh
kurangnya asupan vitamin A yang memadai. Hal ini dapat menyebabkan
rabun senja, xeroftalmia dan jika kekurangan berlangsung parah dan
berkepanjangan akan mengakibatkan keratomalasia (Tadesse, Lisanu,
2009).
Sedangkan menurut Arisman tahun 2012, Kurang Vitamin A (KVA)
merupakan penyakit sistemik yang merusak sel dan organ tubuh dan
menghasilkan metaplasi keratinasi pada epitel, saluran nafas, saluran
kencing dan saluran cerna. Penyakit Kurang Vitamin A (KVA) tersebar luas
dan merupakan penyebab gangguan gizi yang sangat penting. Prevalensi

7
KVA terdapat pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun
1960-an KVA merupakan penyebab utama kebutaan pada anak
F. Faktor Risiko Kekurangan Vitamin A
Sebagai permasalahan kesehatan masyarakat, defisiensi vitamin A terjadi
didalam lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi yang miskin dan
penduduknya tinggal di negara yang ekonomiya sedang berkembang serta
mengalami transisi. Pengaruh relatif faktor kasusal pada tingkat makro maupun
mikro dapat sangat bervariasi antar negara bahkan antar wilayah dalam negara
yang sama. Oleh karena itu, kita harus memahami kondisi setempat ketika
membuat rancangan program intervensi yang tepat dan efektif secepatnya
untuk memperbaiki situasi tersebut. Walaupun begitu, ada beberapa faktor
resiko dibaliknya yang cenderung menandai sebagian besar situasi ketika
defisiensi vitamin A lazim ditemukan.

1. Usia
Berbagai tingkat defisiensi vitamin A mulai dari bentuk subklinis
hingga bentuk malnutrisi dengan kebutaan yang berat (keratomalasia),
dapat terjadi pada setiap usia jika keadaannya cukup ekstrim. Namun
demikian, sebagai persoalan kesehatan masyarakat, defisiensi vitamin A,
khususnya defisiensi yang berat, akan menyerang anak-anak dalam usia
prasekolah. Keadaan ini terjadi karena kebutuhan vitamin A bagi
pertumbuhan pada anak-anak ini cukup tinggi. Sementara asupan
vitamin dari makanan seringkali rendah dengan tambahan beban pajanan
infeksi yang lebih besar. Insidens xeroftalmia kornea paling prevalen
pada anak-anak yang berusia 2-4 tahun. Pada anak-anak dibawah usia 12
bulan, penyakit kornea merupakan kejadian yang relatif jarang dijumpai
(terutama karena efek protektif pemberian ASI), tetapi keratomalasia
lebih sering terjadi diantara bayi-bayi yang hidup dalam kondisi sosial
ekonomi yang rendah.
Prevalensi xeroftalmia ringan, terutama buta senja (SN) dan bercak
bitot (XB) meningkat seiring usia hingga usia prasekolah dan keterkaitan
ini ternyata berbeda-beda diantara berbagai budaya terlepas dari angka

8
xeroftalmia yang spesifik menurut usia. Defisiensi vitamin A subklinis
juga sering ditemukan diantara anak-anak usia sekolah, remaja, dan
dewasa muda pada komunitas yang sama dan prevalensinya pada anak-
anak kecil cukup tinggi.
2. Gender
Pada orang dewasa yang sehat, kadar retinol plasma maupun RBP
(retinol-binding protein) ternyata berada pada level 20% lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan pada wanita, kendati signifikan fisiologi
perbedaan ini masih belum jelas. Walaupun begitu, laki-laki umumnya
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami buta senja dan bercak
Bitot dibandingkan perempuan selama usia prasekolah dan awal usia
sekolah. Perbedaan gender ini tidak begitu jelas dalam hal xeroftalmia
yang berat. Perbedaan pada budaya pemberian makan dan perawatan
antara anak laki-laki dan perempuan dalam sebagian populasi dapat
menkelaskan variasi menurut gender ketika hal ini diamati.
3. Status Fisiologi
Dengan meningkatnya kebutuhan vitamin A selama periode
pertumbuhan yang cepat, anak-anak kecil merupakan kelompok yang
paling rentan. Kebutuhan akan vitamin A juga meningkat selama masa
kehamilan dan menyusui; dengan demikian, ibu hamil dan menyusui
dalam populasi yang kehilangan haknya tidak mampu memenuhi
kebutuhan yang meningkat selama periode tertentu. Buta senja selama
kehamilan dan laktasi terutama sering ditemukan di Asia Selatan dengna
kejadian buta senja sebesar 15%-20% dari semua kehamilan dan
kemudian berulang kembali pada kehamilan berikutnya; keadaan ini
pada beberapa budaya dianggap sebagai bagian dari kehamilan.
Sejumlah penelitian juga memperlihatkan bahwa ASI dari ibu dnegan
status vitamin A yang buruk sering kali turut menyebabkan peningkatan
kerentanan pada bayi.
4. Diet
Penyebab dasar yang melandasi defisiensi vitamin A sebagai
permasalahan kesehatan masyarakat adlaha diet atau pola makan yang

9
kurang mengandung vitamin, baik senyawa karotenoidperformed aatau
provitamin A untuk memenuhi kebutuhan. Pada umumnya, ditempat
yang kondisi hidupnya buruk, diet seseorang akan bergantung pada
makanan nabati yang lebih murah tetapi secara hayati kurang
mengandung vitamin A (sebagai karotenoid). Populasi yang
mengonsumsi beras sebagai makanan pokok dan serat pangan dalam
kehidupan sehari-hari ternyata sangat berisiko untuk mengalami
defisiensi vitamin A. Dengan demikian, xeroftalmia lebih sering
ditemukan di Asia Selatan dan Asia Timur. Defisiensi vitamin A
subklinis umumnya terjadi ditempat yang kualitas makanannya relatif
rendah akibat kendala pada kemampuan mengakses makanan dan
ketersediaan makanan, khususnya makanan hewani.
Pemberian ASI, kualitas makanan tambahan, dan kualitas diet anak
semuanya merupakan faktor penting untuk mempertahankan status
vitamin A. Ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa anak-anak yang
mendapatkan ASI menghadapi kemungkinan yang lebih kecil untuk
mengalami defisiensi vitamin A jika dibandingkan dengan anak-anak
pada usia sama yang tidak memperoleh ASI. Lebih lanjut, peningkatan
frekuensi pemberian ASI juga memberikan efek protektif terhadap
xeroftalmia.
Banyak penelitian epidemiologi mendukung pemberian makanan
tambahan yang tepat dan tindakan ini ternyata dapat melindungi anak-
anak selama usia prasekolah terhadap xeroftalmia. Konsumsi buah yang
berwarna kuning (mangga dan pepaya) akan memberikan perlindungan
yang kuat pada anak berusia dua dan tiga tahun. Ketika pengaruh
pemberian ASI berkurang, sayuran yang berwarna hijau gelap
memainkan peranan yang lebih penting bagi anak-anak pada usia tiga
tahun keatas. Sesudah masa bayi, konsumsi rutin makanan hewani yang
mengandung vitamin A preformed ( telur, produk susu, ikan dan hati)
bersifat sangat protektif terhadap kesehatan anak. Sebaliknya, dalam usia
satu tahun pertama ketika anak disapih, anak-anak yang menderita
xeroftalmia ternyata lebih sedikit mendapat makanan yang kaya akan

10
vitamin A secara teratur dibandingkan dengan anak anak yang tidak
menderita xeroftalmia. Konsumsi sayuran berwarna hijau gelap ataubuah
dan sayuran yang berwarna kuning disertai dengan penurunan risiko
xeroftalmia sebesar 4-6 kali lipat, sementara efek konsumsi telur, daging,
ikan, dan susu yang hanya dilakukan sekali-kali disertai dengan
peningkatan risiko sebesar 2-3 kali lipat . Pola makan pada saudara
kandung yang usianya lebih muda pada dua tahun pertama kehidupannya
ternyata serupa dengan pola makan kasus xeroftalmia dalam keluarga
yang sama; Kenyataan ini mencerminkan buruknya diet secara kronis
pada rumah tangga yang berisiko tinggi. Defisiensi vitamin A paling
sering ditemukan pada polpulasi penduduk; yang mengonsumsi sebagian
kebutuhan vitamin A mereka dari sumber karotenoid provitamin dengan
sedikit lemak yang terkandung dalam makanan mereka.
Kebiasaan makan yang spesifik menurut budaya dan sejumlah tabuh
atau larangan dalam pemberian makanan anak, remaja dan ibu hamil
serta menyusui sering kali membatasi konsumsi makanan yang
berpotensi sebagai sumber vitamin A yang baik. Namun demikian,
kurangnya komsumsi yang kaya akan vitamin A bukan berarti
ketersediaan makanan tersebut dalam sebuah rumah tangga juga
mengalami kekurangan. Bagaimana anak-anak mengkomsumsi makanan
dan dengan siapa anak-anak itu makan, dapat memperngaruhi resikonya
untuk terkena defisiensi vitamin A. Sejumlah penelitian egnoghrafi
secara rinci dilaksanakan oleh kelompok Johns Hopkins University dan
lainnya memperlihatkan bahwa anak-anak desa di Nepal memiliki
peluang dua kali lebih besar untuk mengkomsumsi sayuran, buah,
kacang-kacangan, daging atau ikan serta produk susu ketika mereka
makan bersama keluarga dibandingkan ketika mereka makan sendiri.
Ironisnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola kaum ibu
memastikan kecukupan makanan bagi anak-anak mereka pada sebagian
budaya dapat menjadi factor predisposisi untuk terjadinya difisiensi
vitamin A pada ibu sendiri. Sebagai contoh, para ibu hamil di Nepal yang
menderita buta senja ternyata mengalami penurunan peluang sepenuhnya

11
untuk mengkomsumsi makanan yang kaya akan vitamin A, khususnya
selama musim kemarau yang kering akan langka panga. Di Indonesia,
ketika terjadi krisis ekonomi, para ibu telah mengorbankan asupan telur
mereka demi memenuhi kebutuhan giza anaka-anaknya.
5. Pola Penyakit
Keterkaitan antara penyakit infeksi dan status vitamin A merupakan
persoalan kompleks yang telah ditinjau secara luas. Difisiensi vitamin A
akan meningkatkan risiko morbiditas penyakit infeksi dan sebaliknya,
penyakit infeksi merupakan predisposisi terjadinya difisiensi vitamin A.
Beberapa jenis infekssi seperti diare, infeksi pernafasan, dan campak
akan disertai bentuk tertentu difisiensi vitamin A yang dapat berupa
penurunan kadar retinol serum atau peningkatan resiko xeroktalmia.
Selanjutnya, frekuensi, durasi, dan intensitas penyakit infeksi secara
langsung atau tidak langsung turut meningkatkan keretangan terhadap
keadaan difisiensi vtamin A.
Keberaradaan KEP akan lebih meningkatkan resiko xeroktalmia yang
urutan intensitasnya hamper sama seperti penyakit diare dan pernafasan.
Protein pengikat retinol (RBP; RETINOL BINDING PROTEIN) dapat
menurun ketika KEP sehingga mengurangi ketersediaan vitamin A
dalam darah. Selama episode penyakit infeksi, penurunan kadar vitamin
A dalam serum menggambarkan secara parsial respon yang tidak spesifik
terhadap keadaan demam ketika sintesis RBP yang juga merupakan
protein fase akut yang negative itu berkurang. Kadar retinol dalam serum
kembali normal setelah terjadi kesembuhan.
Cacing usus seperti Giardia serta Ascaris juga dilaporkan sebagai
penyebab penurunan absorpsi vitamin A, dengan demikian dapat turut
menimbulkan defisiensi vitamin A. Salah satu laporan tidak berhasil
memperlihatkan kehilangan vitamin A sesudah pemberian oral vitamin
A kepada anak-anak yang menderita askariasis. Walaupun begitu, infeksi
parasit harus diatasi ketika kita menghadapi populasi dengan persoalan
defisiensi, dapat disertai dengan xeroftalmia.
6. Kondisi sosioekonomi

12
Dalam pengertian kesehatan masyarakat. Kemiskinan terutama terjadi
penyebab defisiensi vitamin, sekalipun tidak selalu demikian,. Pada
umumnya, defisiensi vitamin A ditemukan terutama di negara-negara
yang perekonomiannya relatif miskin. Sejumlah penelitaian
memperlihatkan bahwa keluarga di negara-negara yang
perekonomiannya relatif memiliki lahan yang lebih sempit, kondisi
perumahan yang lebih buruk, hewan peliharaan yang lebih sedikit, dan
kemampuan ekonomi yang lebih rendah (diukur berdasarkan lebih
sedikitnya barang yang dimiliki seperti radio, arloji, atau sepeda).
Meskipun indikator status sosioekonomi yang rendah ditemukan (di
Bangladesh) berkaitan dengan risiko xeroftalmia yang 1,5-2,3 kali lebih
tnggi, namun karakteristik ini tidak selalu dengan sendirinya
meramalkan kejadian xeroftalmia. Tingkat pendidikan yang rendah pada
ayah atau ibu dalam keadaan ini dapat dibedakan, merupakan faktor
risiko yang lain.
7. Pengelompokan
Kejadian defisiensi vitamin A cenderung mengelompok
(clustering) ketinbang tersebar secara rata. data dari berbagai negara
menunjukkan bahwa tanda-tanda klinis defisiensi mengelompok i dalam
provinsi atau Kabupaten, Kecamatan, Desa dan bahkan rumah tangga.
Memperlihatkan pengelompokan defisiensi vitami A berdasrkan distrik
di Bangladesh. Pengelompokkan di dalam negara pada dasarnya
berhubungan denga faktor ekologi serta budaya yang semakin diperparah
oleh infrastruktur yang tidak dibangun dengan baik, dan
pengelompokkan di dalam rumah tangga serta masyarakat terjadikarena
praktik-praktik serta lingkungan yang tidak kondusif bagi pola makan
dankesehatan yang memadai. Bukti menunjukkan bahwa
besaran pengelompokkan didalam rumah tangga jauh melebihi didalam
desa, dan bahwa faktor rumah tangga inilah yang menjelaskan banyak
tentang pengelompokkan ini ketimbang penyakit infeksi. Identifikasi
kelompom-kelompok defisiensi vitamin A dapat memfasilitasi
implementasi program intervensi dan jika seorang anak ditemukan

13
dengan xeroftalmia, saudara kandungnya harus ditangani sebagai kasus
suspect defisiensi vitamin A pula.

G. Penyebab Terjadinya Kekurangan Vitamin A


Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya
cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya
kadar serum vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai
kebutuhan metabolik bagi mata.Vitamin A diperlukan retina mata untuk
pembentukan rodopsin dan pemeliharaan diferensiasi jaringan epitel.
Gangguan gizi kurang vitamin A dijumpai pada anak-anak yang terkait dengan
: kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya asupan makanan sumber vitamin
A dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak diberi kolostrum dan disapih lebih
awal, pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A. Pada anak yang
mengalami kekurangan energi dan protein, kekurangan vitamin A terjadi selain
karena kurangnya asupan vitamin A itu sendiri juga karena penyimpanan dan
transpor vitamin A pada tubuh yang terganggu.
Kelompok umur yang terutama mudah mengalami kekurangan vitamin A
adalah kelompok bayi usia 6-11 bulan dan kelompok anak balita usia 12-59
bulan (1-5 tahun). Sedangkan yang lebih berisiko menderita kekurangan
vitamin A adalah bayi berat lahir rendah kurang dari 2,5 kg, anak yang tidak
mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun, anak yang
tidak mendapat makanan pendamping ASI yang cukup, baik mutu maupun
jumlahnya, anak kurang gizi atau di bawah garis merah pada KMS, anak yang
menderita penyakit infeksi (campak, diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan,
anak dari keluarga miskin, anak yang tinggal di dareah dengan sumber vitamin
A yang kurang, anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan
imunisasi di posyandu maupun puskesmas, serta anak yang kurang/jarang
makan makanan sumber vitamin A.
Terjadinya kekurangan vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor dalam
hubungan yang kompleks seperti halnya dengan masalah kekurangan kalori
protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya juga rendah
dalam protein, lemak dan hubungannya antara hal-hal ini merupakan faktor

14
penting dalam terjadinya kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin A bisa
disebabkan seorang anak kesulitan mengonsumsi vitamin A dalam jumlah
yang banyak, kurangnya pengetahuan orang tua tentang peran vitamin A dan
kemiskinan. Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang difortifikasi bukan
hal yang mudah bagi penduduk yang miskin. Karena, harga pangan yang
difortifikasi lebih mahal daripada pangan yang tidak difortifikasi.
Pembedahan pada usus atau pankreas juga akan memberikan efek
kekurangan vitamin A. Bayi-bayi yang tidak mendapat ASI mempunyai risiko
lebih tinggi untuk menderita kekurangan vitamin A , karena ASI merupakan
sumber vitamin A yang baik. Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi
pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, gangguan absorpsi
karena kekurangan asam empedu (Suhardjo, 2002).
Penyebab lain KVA pada balita dikarenakan kurang makan sayuran dan
buah-buahan berwarna serta kurang makanan lain sumber vitamin A seperti :
daun singkong, bayam, tomat, kangkung, daun ubi jalar, wortel, daun pepaya,
kecipir, daun sawi hijau, buncis, daun katu, pepaya, mangga, jeruk, jambu biji,
telur ikan dan hati. Akibatnya menurun daya tahan tubuh terhadap serangan
penyakit (Depkes RI, 2005).
H. Patofisiologi
Vitamin A memiliki dua peran di metabolisme okuler. Pertama di retina,
vitamin A tersedia sebagai prekursor terhadap pigmen visual fotesensitif yang
berpartisipasi dalam inisiasi impuls saraf dari fotoreseptor. Kedua, vitamin A
dibutuhkan untuk sintesis RNA dan glikoprotein sel epitel konjungtiva, yang
membantu memelihara stroma kornea, dan mukosa konjungtiva.
Pada retina terdapat 2 sistem fotoreseptor yang berbeda, sel kerucut dan
sel batang. Sel batang bertanggung jawab terhadap penglihatan dalam situasi
cahaya yang redup atau rendah, sedangkan sel kerucut bertanggung jawab
penglihatan berwarna dan situasi cahaya yang terang. Vitamin A merupakan
kekuatan utama dari pigmen visual kedua macam sel ini. Perbedaannya terletak
pada jenis protein yang terikat pada retinol. Pada sel batang, bentuk aldehid
dari vitamin A (retinol) dan protein opson bergabung membentuk rhodopsin
yang merupakan pigmen fotosensitif (Depkes RI, 2005).

15
I. Gejala dan Tanda Kekurangan Vitamin A
KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari
organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain.
Akan tetapi gambaran gangguan secara fisik dapat langsung terlihat oleh
mata. Kelainan kulit pada umumnya terlihat pada tungkai baeah bagian depan
dan lengan atas bagian belakang, kulit nampak kering dan bersisik. Kelainan
ini selain diebabkan oleh KVA dapat juga disebabkan kekurangan asam lemak
essensial, kurang vitamin golongan B atau KEP.
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA
yang telah berlangsung lama. gejala tersebut akan lebih cepat muncul jika
menderita penyaki campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.Gejala
klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
1. Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina.
Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang
remang-remang setelah lama berada di cahaya yang terang. Penglihatan
menurun pada senja hari, dimana penderita tidak dapat melihat lingkungan
yang kurang cahaya.
2. Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat
atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan
permukaan kasar dan kusam.

Gambar 2.2. Xerosis konjunctiva


3. Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah tanda-
tanda XI A ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti busa
sabun atau keju terutama celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan
penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada
penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan prevalensi
16
kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda pada
XI B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva,
konjunctiva tampak menebal, berlipat dan berkerut.

Gambar 2.3. Xerosis konjungtiva dan Bercak Bitot (busa)


4. Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai
kornea, kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
5. Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak seperti
bubur dan dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi
kornea.Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan
prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat
menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat
mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-
tahap awal xeroftalmia.

Gambar 2.4. Ulserasi Kornea

17
6. Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak menjadi
putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh
akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita
menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi
cangkok kornea.

Gambar 2.4. Xeroftalmia scar


7. Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B, X2
biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada
stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati
karena dalam beberapa hari bisa menjadi keratomalasia. X3A dan X3 B bila
diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat
menyebabkan kebutaan total bila lesi pada kornea cukup luas sehingga
menutupi seluruh kornea.Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah
memenuhi kebutuhan vitamin A yang cukup untuk tubuh serta mencegah
penyakit infeksi. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum
(Wardani, 2012).

Gambar 2.5. Fundus Xeroftalmik


J. Dampak Kekurangan Vitamin A pada Manusia

18
Tubuh memerlukan asupan vitamin yang cukup sebagai zat pengatur dan
memperlancar proses metabolisme dalam tubuh. Sebagai vitamin yang larut
dalam lemak, vitamin A membangun sel-sel kulit dan memperbaiki sel-sel
tubuh, menjaga dan melindungi mata, menjaga tubuh dari infeksi, serta
menjaga pertumbuhan tulang dan gigi. Karena fungsi tersebut, vitamin A
sangat bagus dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Vitamin A
juga berperan dalam epitil, misalnya pada epitil saluran pencernaan dan
pernapasan serta kulit. Vitamin A berkaitan erat dengan kesehatan mata.
Vitamin A membantu dalam hal integritas atau ketahanan retina serta
menyehatkan bola mata. Vitamin A fungsinya tak secara langsung mengobati
penderita minus, tapi bisa menghambat minus. Kekurangan vitamin A
menyebabkan mata tak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan cahaya
yang masuk dalam retina. Sebagai konsekuensi awal terjadilah rabun senja,
yaitu mata sulit melihat kala senja atau dapat juga terjadi saat memasuki
ruangan gelap. Bila kekurangan vitamin A berkelanjutan maka anak akan
mengalami xerophtalmia yang mengakibatkan kebutaan. Selain itu kekurangan
vitamin A menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi bakteri dan virus. Tanpa
vitamin A, sistem pertahanan tubuh akan hilang.Ini memicu tubuh rentan
terserang penyakit.
Vitamin A bisa terserap dalam tubuh yang kondisinya baik. Anak usia
balita sangat rentan kekurangan vitamin A karena kondisi tubuhnya rentan
terhadap penyakit, seperti diare atau infeksi pencernaan. Untuk itu peran ibu
sangat penting dalam menjaga ketahanan tubuh bayi yakni dengan memberikan
ASI eksklusif, agar mempunyai ketahanan tubuh yang cukup.Kebutuhan
vitamin A yang cukup dalam tubuh, dapat diketahui dengan cara menganalisis
makanan yang dikonsumsi sehari-hari dan melihat kondisi tubuh. Jika tubuh
anak sering terkena penyakit, seperti diare, busung lapar atau gangguan saluran
pernapasan, maka secara otomatis, asupan vitamin A-nya kurang (Zulkarnaen,
2012).
Selain itu, dampak kekurangan Vitamin A bagi balita antara lain:
1. Hemarolopia atau kotok ayam (rabun senja).

19
2. Frinoderma, pembentukan epitelium kulit tangan dan kaki terganggu,
sehingga kulit tangan dan kaki bersisik.
3. Pendarahan pada selaput usus, ginjal dan paru-paru.
4. Kerusakan pada bagian putih mata mengering dan kusam (Xerosis
konjungtiva), bercak seperti busa pada bagian putih mata (bercak bitot),
bagian kornea kering dan kusam (Xerosis kornea), sebagian hitam mata
melunak ( Keratomalasia ), Seluruh kornea mata melunak seperti bubur
(Ulserasi Kornea) dan Bola mata mengecil / mengempis (Xeroftahalmia
Scars).

5. Terhentinya proses pertumbuhan.


6. Terganggunya pertumbuhan pada bayi.
7. Mengakibatkan campak yang berat yang berkaitan dengan adanya
komplikasi pada anak-anak serta menghambat penyembuhan. (Melenotte et
al,2012)
Namun demikian perlu juga diperhatikan bahwa pemberian dosis Vitamin
A yang terlalu tinggi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan akibat yang
kurang baik antara lain:
1. Hipervitaminosis A pada anak-anak dapat menimbulkan anak tersebut
cengeng, pada sekitar tulang yang panjang membengkak, kulit kering dan
gatal-gatal.

20
2. Hipervitaminosis pada orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mual-mual
dan diare. (Sugiarno, 2010).
K. Diagnosis
Defisiensi vitamin A dapat didiagnosa dengan karakteristik manifestasi
klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan kadar vitamin A serum yang
kurang dari 200ug/L dan karotennoid kurang dari 500ug/L. Dark adaptation
test dapat berguna dalam diagnosis. Xerosis konjungtiva dapat dideteksi
dengan pemeriksaan mikroskopik. Pemeriksaan apusan mata
direkomendasikan untuk diagnostik. Vitamin A dan serum retinol diperiksa
menggunakan High Performance Liquid Cromatography (HPLC) (Depkes
RI, 2009).
L. Pengobatan dan Pencegahan Kekurangan Vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat
diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat
dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meni ngkatkan daya tahan tubuh untuk
melawan penyakit misalnya campak, diare, dan penyakit infeksi lain) (Depkes
RI, 2009).
Pada ibu hamil dan menyusui, vitamin A berperan penting untuk
memelihara kesehatan ibu selama masa kehamilan dan menyusui. Buta senja
pada ibu menyusui, suatu kondisi yang kerap terjadi karena kurang vitamin A
(KVA). Berhubungan erat pada kejadian anemia pada ibu, kekurangan berat
badan, kurang gizi, meningkatnya resiko infeksi dan penyakit reproduksi, serta
menurunkan kelangsungan hidup ibu hingga dua tahun setelah melahirkan
(Dinkes Jateng, 2007)
Semua anak, walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik
dan tinggal di Negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas
dalam tubuhnya (hanya cukup memenuhi kebutuhan untuk sekitar dua minggu).
Di Negara berkembang, pada bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi sangat
bergantung pada vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh sebab itu, sangatlah
penting bahwa ASI mengandung cukup vitamin A. Anak-anak yang sama sekali
tidak mendapatkan ASI akan beresiko lebih tinggi terkena Xeropthalmia
dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI walau hanya dalam

21
jangka waktu tertentu. Berbagai studi yang dilakukan mengenai vitamin A ibu
nifas memperlihatkan hasil yang berbeda-beda.
Anak-anak usia enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A
setelah melahirkan, menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus
demam pada anak-anak tersebut dan waktu kesembuhan yang lebih cepat saat
mereka terkena ISPA. Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak,
berisiko mengalami KVA karena pada masa tersebut ibu membutuhkan vitamin
A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan produksi ASI.
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui
proses Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling
aman. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan
dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi kapsul vitamin A masih bersifat
rintisan.
Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada
pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi :
Tabel 2.1. Jadwal terapi Xeroftalmia (Sommer, 1995)

Waktu Pemberian Dosis Vitamin A

Segera setelah diagnosis:

Usia < 6 bulan 50 000 IU

Usia 6-12 bulan 100 000 IU

Usia > 12 bulan 200 000 IU

Hari berikutnya Sama sesuai dosis diatas

Minimal 2 minggu berikutnya Sama sesuai dosis diatas

1. Bayi usia kurang dari 6 bulan diberikan vitamin A dengan dosis 50.000 IU.
2. Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis
100.000 SI (warna biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak
pada bulan Februari dan Agustus.
3. Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis
200.000 SI (warna merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak
pada bulan Februari dan Agustus.
22
4. Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul
vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi
memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI (Depkes RI, 2009).
5. Wanita hamil : suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama
kehamilan sebagai bagian dari antenatal care rutin untuk mencegah
maternal and infant morbidity dan mortality. Namun, pada daerah dimana
terdapat masalah kesehatan publik yang berat yang berkaitan dengan
kekurangan vitamin A, maka suplementasi vitamin A direkomendasikan
untuk mencegah rabun senja. Secara khusus, wanita hamil dapat
mengkonsumsi hingga 10,000 IU vitamin A setiap harinya atau vitamin A
hingga 25,000 IU setiap minggu. Suplementasi dapat dilanjutkan hingga 12
minggu selama kehamilan hingga melahirkan. Hal ini perlu ditekankan
bahwa WHO mengidentifikasi populasi berisiko sebagai mereka yang
prevalensi menderita rabun senja ≥5% pada wanita hamil atau ≥5% pada
anak – anak yang berusia 24–59 bulan.( McGuire, 2012)
6. Ibu nifas: suplementasi vitamin A pada ibu nifas tidaklah direkomendasikan
untuk mencegah morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi. ( McGuire S.
2012)

Kekurangan makan makanan bergizi yang berlarut-larut, selain membuat


orang menjadi kurus juga kekurangan vitamin-vitamin, termasuk kekurangan
vitamin A. penyakit usus yang menahun akan mengakibatkan penyerapan
vitamin A dari usus terganggu. Untuk melakukan pengobatan harus berobat pada
dokter dan biasanya dokter akan memberikan suntikan vitamin A setiap hari
sampai gejalanya hilang. Untuk mencegah kekurangan vitamin A makanlah
pepaya, wortel dan sayur-sayuran yang berwarna ( Hassan, 2008).
Program nasional pemberian suplemen vitamin A adalah upaya penting
untuk mencegah kekurangan vitamin A di antara anak-anak Indonesia. Tujuan
Program ini adalah untuk mendistribusikan kapsul vitamin A pada semua anak
di seluruh wilayah Indonesia dua kali dalam satu tahun. Setiap Februari dan
Agustus, kapsul vitamin A didistribusikan secara gratis kepada semua anak yang
mengunjungi Posyandu dan Puskesmas. Vitamin A yang terdapat dalam kapsul

23
tersebut cukup untuk membantu melindungi anak-anak dari timbulnya beberapa
penyakit yang pada gilirannya akan membantu menyelamatkan penglihatan dan
kehidupan mereka ( Maryam, 2010 ).
Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam satu sampai
dua minggu. Dianjurkan bila diagnosa defisiensi vitamin A ditegakkan maka
berikan vitamin A 200.000 IU peroral dan pada hari kesatu dan kedua. Belum
ada perbaikan maka diberikan obat yang sama pada hari ketiga. Biasanya diobati
gangguan proteinkalori mal nutrisi dengan menambah vitamin A, sehingga perlu
diberikan perbaikan gizi ( Maryam, 2010 ).
M. Pencegahan
1. Meningkatkan asupan makanan yang mengandung vitamin A
Asupan makanan yang inadekuat terhadap vitamin A dapat dimulai
dengan cepatnya penghentian pemberian ASI, kemudian disusul dengan
kurangnya asupan makanan yang kaya karoten atau Vitamin A. Dengan
pemberian ASI kemudian setelah usia 6 bulan anak diberi makanan kaya
provitamin A seperti buah mangga, pepaya, sayuran berdaun hijau gelap,
dan dari sumber hewani seperti kuning telur, ayam dan hati akan secara
signifikan mengurangi terjadinya defisiensi vitamin A. Sayuran hijau
merupakan sumber yang tidak mahal dan yang paling banyak
mengandung vitamin A.
2. Suplemntasi vitamin A
Suplementasi secara periodik dapat bermanfaat untuk memberikan
kuantitas vitamin A yang besar yang dapat disimpan sebagai cadangan di
hepar. Suplementasi oral retinil palmitat 110 mg atau 66 mg retinil asetat
(200.000 IU vitamin A) dan setengah dosis untuk anak usia 6-11 tahun
setiap 4-6 bulan dapat melindungi anak dari defisiensi vitamin A.
Vitamin A dapat diberikan sebagai kapsul atau cairan. Kecuali pada
anak yang mengalami xerophtalmia, kurang energi protein (kwashiorkor)
dan beberapa penyakit berat, penting untuk dipastikan vitamin A tidak
diberikan melebihi batas dosis yang aman. Pada saat ini, interval
pemberian vitamin A yang telah ditetapkan adalah 4-6 bulan ( Sommer,
1995 ).

24
Tabel 2.2. Jadwal vitamin A dosis profilaksis ( Sommer, 1995 ).
Individu Dosis Oral Waktu

Usia 0-6 bulan 13,75 mg retinil palmitat (25 1-3 kali hingga usia 6 bulan

000 IU) Sekali tiap 4-6 bulan

Usia 6-11 bulan 55 mg retinil palmitat (100 000

IU) Sekali tiap 4-6 bulan

Usia > 12 bulan 110 mg retinil palmitat (200

000 IU)

N. Sumber Vitamin A
Pada umumnya kecukupan Vitamin A pada orang dewasa didapat dari
makanan yang di konsumsi setiap hari. Demikian juga bagi anak anak selain
didapat dari makanan juga dari suplemen Vitamin A. sedangkan bagi bayi yang
berumur kurang dari 6 bulan kebutuhan Vitamin A diperoleh dari Air Susu Ibu
(Sugiarno. 2010). ASI tetap menjadi sumber yang penting dari vitamin A dan
karoten (zat gizi yang banyak terdapat secara alami dalam buah-buahan dan
sayur-sayuran). Karoten dapat membantu sistem kekebalan tubuh. Hati, telur,
dan keju merupakan sumber-sumber vitamin A yang baik. Vitamin A juga
terdapat dalam beta-karoten serta karotenoid lainnya. Tubuh manusia dapat
mensintesa vitamin A dari karoten atau pro vitamin A yang terdapat di sayuran
dan buah-buahan yang berwarna, seperti wortel, tomat, apel, semangka, dan
sebagainya. (Dinkes Jateng, 2007)
Kadar Vitamin A dalam air susu sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis
makanan yang dikonsumsi selama menyusui. Untuk itu bagi ibu nifas dianjurkan
banyak mengkonsumsi sayuran terumata yang banyak mengandung Vitamin A.
(Sugiarno. 2010)
Vitamin A sangat penting bagi kesehatan kulit, kelenjar, serta fungsi mata.
Sekalipun pada waktu lahir bayi memiliki simpanan vitamin A, Vitamin A
adalah salah satu zat gizi esensial yang tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh
manusia. Untuk memperolehnya harus diambil dari sumber diluar tubuh
terutama dari sumber alam, seperti bahan sereal, umbi, biji-bijian, sayuran, buah-
buahan, hewani dan bahan-bahan olahan lainnya.(Desi & Dwi, 2009)
25
O. Angka Kecukupan Gizi Vitamin A
Halati (2006) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi (AKG) anak balita
sekitar 350 Retinol Ekuivalen (RE). Angka ini dihitung dari kandungan vitamin
A dalam makanan nabati atau hewani yang dikonsumsi. Sebagai gambaran,
angka 350 RE terdapat pada tiga butir telur atau 250 gram bayam. Jadi seorang
anak balita memenuhi kecukupan gizi vitamin A jika ia mengonsumsi tiga telur
atau 250 gram bayam dalam sehari. Tapi, tentu saja, seorang anak akan bosan
jika terus menerus diberi telur dan bayam, apalagi dalam jumlah besar.
Terdapat banyak sayuran dan buah yang mengandung vitamin A. Sayuran
dan buah yang mengandung AKG dalam jumlah besar, lebih dari 150 RE/100
gr, adalah pepaya, bayam, kangkung, wortel, ubi jalar, mangga, dan sebagainya.
Sementara sumber makanan nabati dengan kandungan vitamin A lebih rendah,
sekitar 1-60 RE/100 gr, terdapat pada jagung, semangka, tomat, pisang,
belimbing, dan sejenisnya. Untuk sumber makanan hewani, kandungan vitamin
A dalam jumlah besar terdapat pada telur, daging ayam dan hati. Sedangkan
ikan, susu segar, dan udang memiliki kandungan vitamin A tergolong kecil.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Arisman. 2012. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Proyek peningkatan Penelitian
Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

2. Desi dan Dwi 2009. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta. Nuha
Medika. Departemen Kesehatan RI, Konsumsi Kapsul Vitamin A pada Ibu
Nifas.

3. Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

4. Haryadi, Hendri. 2011 . Makalah Kekurangan Vitamin A “Ilmu Gizi”. Diakses


dari http://handri-haryadi.blogspot.com

5. Iskandar, Zulkarnaen. 2012. Kekurangan Vitamin A. Diakses dari


http://kuliahiskandar.blogspot.com.

6. Maryam,Siti dkk (2010). Asuhan Keperawatan pada Lansia. Trans Info Medika,
Jakarta.

7. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Dinas Kesehatan


Pemerintah Provinsi Jawa Tengah 2007.

8. Sugiamo. 2010. “Defesiensi Vitamin A”


http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-sugiamg0-5116-2-
bab2.pdf

9. Muhilal, et al. Vitamin A Fortified Monosodium Glutamat and Health, Growth,


and Survival of Children: a Controlled Field Trial. Am J Clin Nutr2008,48:
1271-76

10. Sediaoetama,Achmad Djaeni.2004. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan


Profesi.Jakarta : Dian Rakyat

11. Sommer, Alfred. Vitamin A deficiency and Its Consequences A Field Guide To
Detection and Control.1995. Penerbit: WHO
12.

27

Anda mungkin juga menyukai