KEKURANGAN VITAMIN A
KMP220074
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan vitamin A?
2. Apa yang dimaksud dengan Kekurangan Vitamin A (KVA)?
3. Apa saja fungsi vitamin A?
4. Faktor risiko apa saja yang menyebabkan Kekurangan Vitamin A?
5. Apa penyebab terjadinya Kekurangan Vitamin A?
6. Bagaimana tanda-tanda/gelaja Kekurangan Vitamin A?
7. Apa akibat Kekurangan Vitamin A?
8. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan Kekurangan Vitamin A?
9. Apa saja sumber vitamin A?
10. Berapa Angka Kecukupan Gizi vitamin A?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian vitamin A
2. Untuk mengetahui pengertian Kekurangan Vitamin A (KVA)
3. Untuk mengetahui fungsi-fungsi vitamin A
4. Untuk mengetahui faktor risiko Kekurangan Vitamin A
5. Untuk mengetahui penyebab terjadinya Kekurangan Vitamin A
6. Untuk mengetahui tanda-tanda/gelaja Kekurangan Vitamin A
7. Untuk mengetahui akibat Kekurangan Vitamin A
8. Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan Kekurangan Vitamin A
9. Untuk mengetahui sumber vitamin A
10. Untuk mengetahui Angka Kecukupan Gizi vitamin A
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Vitamin A
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur kimianya
disebut retinol atau retina atau disebut juga dengan asam retinoat, terdapat pada
jaringan hewan dimana retinol 90-95% disimpan pada hati (Haryadi, 2009).
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin yang sangat diperlukan
oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan
untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit,
khususnya diare dan penyakit infeksi).
Vitamin A atau berdasarkan struktur kimianya dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
1. Retinol
Retinol dapat dimanfaatkan langsung oleh tubuh karena umumnya sumber
retinol diperoleh dari makanan hewani seperti telur, hati, minyak ikan yang
mudah dicerna dalam tubuh.
2. Betacaritine
Sering disebut pro-vitamin A, baru dapat dirasakan setelah mengalami proses
pengolahan menjadi retinol. Sumber betacarotene berasal dari makanan yang
berwarna orange atau hijau tua, seperti wortel, bayam, ubi kuning, mangga dan
pepaya.
Retinol atau Retinal atau juga Asam Retinoat, dikenal sebagai faktor pencegahan
xeropthalmia, berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur kepekaan rangsang
sinar pada saraf mata, Jumlah yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi
yang dianjurkan (KGA-2004) per hari 400 ug retinol untuk anak-anak dan dewasa 500
ug retinol.Tubuh menyimpan retinol dan betacarotene dalam hati dan mengambilnya
jika tubuh memerlukannya (Iskandar, 2012).
C. Fungsi Vitamin A
1. Penglihatan
Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Bila kita dari
cahaya terang diluar kemudian memasuki ruangan yang remang-remang cahayanya,
maka kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan
langsung dengan vitamin A yang tersedia didalam darah. Tanda pertama kekurangan
vitamin A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki penglihatan
yang kurang bila itu disebabkan karena kekurangan vitamin A (Melenotte et al., 2012).
2. Pertumbuhan dan Perkembangan
Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk
email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang
terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada anak–anak yang kekurangan vitamin
A, terjadi kegagalan dalam pertumbuhannya. Dimana vitamin A dalam hal ini berperan
sebagai asam retinoat (Tansuğ N, et al., 2010).
3. Reproduksi
Pembentukan sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur dan
perkembangan janin dalam kandungan membutuhkan vitamin A dalam bentuk retinol.
Hewan betina dengan status vitamin A rendah mampu hamil akan tetapi mengalami
keguguran atau kesukaran dalam melahirkan. Kemampuan retinoid mempengaruhi
perkembangan sel epitel dan kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan
diduga berpengaruh dalam pencegahan kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara
dan kandung kemih (Knutson dan Dame, 2011).
4. Fungsi Kekebalan
Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia. Dimana
kekurangan vitamin A dapat menurunkan respon antibody yang bergantung pada
limfosit yang berperan sebagai kekebalan pada tubuh seseorang (Almatsier, 2008).
5. Perkembangan Jantung
Defek kardiak dan cabang aorta diamati sebagai bagian dari sindroma kekurangan
vitamin A. singkat kata, peranan vitamin A dalam perkembangan jantung mamalia
meliputi pembentukan pipa pola jantung dan lingkaran, ruang dan katup saluran keluar,
trabekulasi ventrikel, diferensiasi kardiomiosit dan pengembangan pembuluh koroner
(Knutson dan Dame, 2011).
6. Perkembangan Ginjal dan Saluran Kencing
Kekurangan vitamin A pada kehamilan dapat berkorelasi dengan kekurangan jumlah
nefron sub-klinis dan sedikit defisit nefron yang tidak disadari pada saat lahir, tapi
mungkin bisa berkontribusi dalam jangka panjang terjadinya gagal ginjal dan hipertensi
(Knutson dan Dame, 2011).
7. Diafragma
Fungsi diafragma sebagai otot utama respirasi dan sebagai pembatas antara rongga
dada dan perut. Hernia diafragma kongenital (CDH) terjadi pada sekitar satu dari 3000
kelahiran, dan berhubungan dengan kematian neonatal yang tinggi. Vitamin A sangat
penting bagi perkembangan diafragma normal, dan telah disimpulkan bahwa gangguan
sinyal retinoid dapat berkontribusi pada etiologi dari gangguan manusia (Knutson dan
Dame, 2011).
8. Paru dan Saluran Nafas Atas serta Aliran Udara
Defek Respirasi termasuk agenesis paru kiri, hypoplasia paru bilateral, dan agenesis
esophagotracheal septum digambarkan dalam sindroma KVA awal namun
dikarakteristikkan sebagai kelainan yang jarang terjadi. Paru berkembang dari foregut
endoderm selama perekembangan awal embrio. RA dari mesoderm splanchnic di
sekitar endoderm foregut telah penting ditemukan untuk pembentukan tunas paru
primordial. Sebuah laporan terbaru di New England Journal of Medicine menunjukkan
bahwa, di daerah endemik dengan defisiensi vitamin A (retinol), anak-anak yang ibunya
menerima suplementasi vitamin A sebelum, selama, dan selama 6 bulan setelah
kehamilan memiliki fungsi paru-paru yang lebih baik ketika mereka diuji pada 9 sampai
11 tahun daripada anak-anak yang ibunya menerima suplemen beta karoten atau
plasebo. Selain itu, mereka menemukan bahwa periode di mana suplementasi dengan
vitamin A yang paling penting adalah dari kehamilan usia postnatal dari 6 bulan
(Knutson dan Dame, 2011).
D. Faktor Risiko Kekurangan Vitamin A
Sebagai permasalahan kesehatan masyarakat, defisiensi vitamin A terjadi didalam
lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi yang miskin dan penduduknya tinggal di
negara yang ekonomiya sedang berkembang serta mengalami transisi. Pengaruh relatif
faktor kasusal pada tingkat makro maupun mikro dapat sangat bervariasi antar negara
bahkan antar wilayah dalam negara yang sama. Oleh karena itu, kita harus memahami
kondisi setempat ketika membuat rancangan program intervensi yang tepat dan efektif
secepatnya untuk memperbaiki situasi tersebut. Walaupun begitu, ada beberapa faktor
resiko dibaliknya yang cenderung menandai sebagian besar situasi ketika defisiensi
vitamin A lazim ditemukan.
Usia
Berbagai tingkat defisiensi vitamin A mulai dari bentuk subklinis hingga bentuk
malnutrisi dengan kebutaan yang berat (keratomalasia), dapat terjadi pada setiap usia
jika keadaannya cukup ekstrim. Namun demikian, sebagai persoalan kesehatan
masyarakat, defisiensi vitamin A, khususnya defisiensi yang berat, akan menyerang
anak-anak dalam usia prasekolah. Keadaan ini terjadi karena kebutuhan vitamin A bagi
pertumbuhan pada anak-anak ini cukup tinggi. Sementara asupan vitamin dari
makanan seringkali rendah dengan tambahan beban pajanan infeksi yang lebih besar.
Insidens xeroftalmia kornea paling prevalen pada anak-anak yang berusia 2-4 tahun.
Pada anak-anak dibawah usia 12 bulan, penyakit kornea merupakan kejadian yang
relatif jarang dijumpai (terutama karena efek protektif pemberian ASI), tetapi
keratomalasia lebih sering terjadi diantara bayi-bayi yang hidup dalam kondisi sosial
ekonomi yang rendah.
Prevalensi xeroftalmia ringan, terutama buta senja (SN) dan bercak bitot (XB)
meningkat seiring usia hingga usia prasekolah dan keterkaitan ini ternyata berbeda-
beda diantara berbagai budaya terlepas dari angka xeroftalmia yang spesifik menurut
usia. Defisiensi vitamin A subklinis juga sering ditemukan diantara anak-anak usia
sekolah, remaja, dan dewasa muda pada komunitas yang sama dan prevalensinya
pada anak-anak kecil cukup tinggi.
Gender
Pada orang dewasa yang sehat, kadar retinol plasma maupun RBP (retinol-binding
protein) ternyata berada pada level 20% lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada
wanita, kendati signifikan fisiologi perbedaan ini masih belum jelas. Walaupun begitu,
laki-laki umumnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami buta senja dan
bercak Bitot dibandingkan perempuan selama usia prasekolah dan awal usia sekolah.
Perbedaan gender ini tidak begitu jelas dalam hal xeroftalmia yang berat. Perbedaan
pada budaya pemberian makan dan perawatan antara anak laki-laki dan perempuan
dalam sebagian populasi dapat menkelaskan variasi menurut gender ketika hal ini
diamati.
Status Fisiologi
Dengan meningkatnya kebutuhan vitamin A selama periode pertumbuhan yang cepat,
anak-anak kecil merupakan kelompok yang paling rentan. Kebutuhan akan vitamin A
juga meningkat selama masa kehamilan dan menyusui; dengan demikian, ibu hamil
dan menyusui dalam populasi yang kehilangan haknya tidak mampu memenuhi
kebutuhan yang meningkat selama periode tertentu. Buta senja selama kehamilan dan
laktasi terutama sering ditemukan di Asia Selatan dengna kejadian buta senja sebesar
15%-20% dari semua kehamilan dan kemudian berulang kembali pada kehamilan
berikutnya; keadaan ini pada beberapa budaya dianggap sebagai bagian dari
kehamilan. Sejumlah penelitian juga memperlihatkan bahwa ASI dari ibu dnegan status
vitamin A yang buruk sering kali turut menyebabkan peningkatan kerentanan pada
bayi.
Diet
Penyebab dasar yang melandasi defisiensi vitamin A sebagai permasalahan kesehatan
masyarakat adlaha diet atau pola makan yang kurang mengandung vitamin, baik
senyawa karotenoidperformed aatau provitamin A untuk memenuhi kebutuhan. Pada
umumnya, ditempat yang kondisi hidupnya buruk, diet seseorang akan bergantung
pada makanan nabati yang lebih murah tetapi secara hayati kurang mengandung
vitamin A (sebagai karotenoid). Populasi yang mengonsumsi beras sebagai makanan
pokok dan serat pangan dalam kehidupan sehari-hari ternyata sangat berisiko untuk
mengalami defisiensi vitamin A. Dengan demikian, xeroftalmia lebih sering ditemukan
di Asia Selatan dan Asia Timur. Defisiensi vitamin A subklinis umumnya terjadi
ditempat yang kualitas makanannya relatif rendah akibat kendala pada kemampuan
mengakses makanan dan ketersediaan makanan, khususnya makanan hewani.
Pemberian ASI, kualitas makanan tambahan, dan kualitas diet anak semuanya
merupakan faktor penting untuk mempertahankan status vitamin A. Ada bukti jelas
yang menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan ASI menghadapi
kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami defisiensi vitamin A jika dibandingkan
dengan anak-anak pada usia sama yang tidak memperoleh ASI. Lebih lanjut,
peningkatan frekuensi pemberian ASI juga memberikan efek protektif terhadap
xeroftalmia.
Banyak penelitian epidemiologi mendukung pemberian makanan tambahan
yang tepat dan tindakan ini ternyata dapat melindungi anak-anak selama usia
prasekolah terhadap xeroftalmia. Konsumsi buah yang berwarna kuning (mangga dan
pepaya) akan memberikan perlindungan yang kuat pada anak berusia dua dan tiga
tahun. Ketika pengaruh pemberian ASI berkurang, sayuran yang berwarna hijau gelap
memainkan peranan yang lebih penting bagi anak-anak pada usia tiga tahun keatas.
Sesudah masa bayi, konsumsi rutin makanan hewani yang mengandung vitamin A
preformed ( telur, produk susu, ikan dan hati) bersifat sangat protektif terhadap
kesehatan anak. Sebaliknya, dalam usia satu tahun pertama ketika anak disapih, anak-
anak yang menderita xeroftalmia ternyata lebih sedikit mendapat makanan yang kaya
akan vitamin A secara teratur dibandingkan dengan anak anak yang tidak menderita
xeroftalmia. Konsumsi sayuran berwarna hijau gelap ataubuah dan sayuran yang
berwarna kuning disertai dengan penurunan risiko xeroftalmia sebesar 4-6 kali lipat,
sementara efek konsumsi telur, daging, ikan, dan susu yang hanya dilakukan sekali-kali
disertai dengan peningkatan risiko sebesar 2-3 kali lipat . Pola makan pada saudara
kandung yang usianya lebih muda pada dua tahun pertama kehidupannya ternyata
serupa dengan pola makan kasus xeroftalmia dalam keluarga yang sama; Kenyataan
ini mencerminkan buruknya diet secara kronis pada rumah tangga yang berisiko tinggi.
Defisiensi vitamin A paling sering ditemukan pada polpulasi penduduk; yang
mengonsumsi sebagian kebutuhan vitamin A mereka dari sumber karotenoid
provitamin dengan sedikit lemak yang terkandung dalam makanan mereka.
Kebiasaan makan yang spesifik menurut budaya dan sejumlah tabuh atau
larangan dalam pemberian makanan anak, remaja dan ibu hamil serta menyusui sering
kali membatasi konsumsi makanan yang berpotensi sebagai sumber vitamin A yang
baik. Namun demikian, kurangnya komsumsi yang kaya akan vitamin A bukan berarti
ketersediaan makanan tersebut dalam sebuah rumah tangga juga mengalami
kekurangan. Bagaimana anak-anak mengkomsumsi makanan dan dengan siapa anak-
anak itu makan, dapat memperngaruhi resikonya untuk terkena defisiensi vitamin A.
Sejumlah penelitian egnoghrafi secara rinci dilaksanakan oleh kelompok Johns Hopkins
University dan lainnya memperlihatkan bahwa anak-anak desa di Nepal memiliki
peluang dua kali lebih besar untuk mengkomsumsi sayuran, buah, kacang-kacangan,
daging atau ikan serta produk susu ketika mereka makan bersama keluarga
dibandingkan ketika mereka makan sendiri. Ironisnya, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pola kaum ibu memastikan kecukupan makanan bagi anak-anak mereka pada
sebagian budaya dapat menjadi factor predisposisi untuk terjadinya difisiensi vitamin A
pada ibu sendiri. Sebagai contoh, para ibu hamil di Nepal yang menderita buta senja
ternyata mengalami penurunan peluang sepenuhnya untuk mengkomsumsi makanan
yang kaya akan vitamin A, khususnya selama musim kemarau yang kering akan langka
panga. Di Indonesia, ketika terjadi krisis ekonomi, para ibu telah mengorbankan asupan
telur mereka demi memenuhi kebutuhan giza anaka-anaknya.
Pola Penyakit
Keterkaitan antara penyakit infeksi dan status vitamin A merupakan persoalan
kompleks yang telah ditinjau secara luas. Difisiensi vitamin A akan meningkatkan risiko
morbiditas penyakit infeksi dan sebaliknya, penyakit infeksi merupakan predisposisi
terjadinya difisiensi vitamin A. Beberapa jenis infekssi seperti diare, infeksi pernafasan,
dan campak akan disertai bentuk tertentu difisiensi vitamin A yang dapat berupa
penurunan kadar retinol serum atau peningkatan resiko xeroktalmia. Selanjutnya,
frekuensi, durasi, dan intensitas penyakit infeksi secara langsung atau tidak langsung
turut meningkatkan keretangan terhadap keadaan difisiensi vtamin A.
Keberaradaan KEP akan lebih meningkatkan resiko xeroktalmia yang urutan
intensitasnya hamper sama seperti penyakit diare dan pernafasan. Protein pengikat
retinol (RBP; RETINOL BINDING PROTEIN) dapat menurun ketika KEP sehingga
mengurangi ketersediaan vitamin A dalam darah. Selama episode penyakit infeksi,
penurunan kadar vitamin A dalam serum menggambarkan secara parsial respon yang
tidak spesifik terhadap keadaan demam ketika sintesis RBP yang juga merupakan
protein fase akut yang negative itu berkurang. Kadar retinol dalam serum kembali
normal setelah terjadi kesembuhan.
Cacing usus seperti Giardia serta Ascaris juga dilaporkan sebagai penyebab
penurunan absorpsi vitamin A, dengan demikian dapat turut menimbulkan defisiensi
vitamin A. Salah satu laporan tidak berhasil memperlihatkan kehilangan vitamin A
sesudah pemberian oral vitamin A kepada anak-anak yang menderita askariasis.
Walaupun begitu, infeksi parasit harus diatasi ketika kita menghadapi populasi dengan
persoalan defisiensi, dapat disertai dengan xeroftalmia.
Kondisi sosioekonomi
Dalam pengertian kesehatan masyarakat. Kemiskinan terutama terjadi
penyebab defisiensi vitamin, sekalipun tidak selalu demikian,. Pada
umumnya, defisiensi vitamin A ditemukan terutama di negara-negara yang
perekonomiannya relatif miskin. Sejumlah penelitaian memperlihatkan bahwa keluarga
di negara-negara yang perekonomiannya relatif memiliki lahan yang lebih sempit,
kondisi perumahan yang lebih buruk, hewan peliharaan yang lebih sedikit, dan
kemampuan ekonomi yang lebih rendah (diukur berdasarkan lebih sedikitnya barang
yang dimiliki seperti radio, arloji, atau sepeda). Meskipun indikator status
sosioekonomi yang rendah ditemukan (di Bangladesh) berkaitan dengan risiko
xeroftalmia yang 1,5-2,3 kali lebih tnggi, namun karakteristik ini tidak selalu dengan
sendirinya meramalkan kejadian xeroftalmia. Tingkat pendidikan yang rendah pada
ayah atau ibu dalam keadaan ini dapat dibedakan, merupakan faktor risiko yang lain.
Pengelompokan
Kejadian defisiensi vitamin A cenderung mengelompok (clustering) ketinbang
tersebar secara rata. data dari berbagai negara menunjukkan bahwa tanda-tanda klinis
defisiensi mengelompok i dalam provinsi atau Kabupaten, Kecamatan, Desa dan
bahkan rumah tangga. Memperlihatkan pengelompokan defisiensi vitami A berdasrkan
distrik di Bangladesh. Pengelompokkan di dalam negara pada dasarnya berhubungan
denga faktor ekologi serta budaya yang semakin diperparah oleh infrastruktur yang
tidak dibangun dengan baik, dan pengelompokkan di dalam rumah tangga serta
masyarakat terjadikarena praktik-praktik serta lingkungan yang tidak kondusif bagi pola
makan dankesehatan yang memadai. Bukti menunjukkan bahwa
besaran pengelompokkan didalam rumah tangga jauh melebihi didalam desa, dan
bahwa faktor rumah tangga inilah yang menjelaskan banyak tentang pengelompokkan
ini ketimbang penyakit infeksi. Identifikasi kelompom-kelompok defisiensi vitamin A
dapat memfasilitasi implementasi program intervensi dan jika seorang anak ditemukan
dengan xeroftalmia, saudara kandungnya harus ditangani sebagai kasus suspect
defisiensi vitamin A pula.
a. Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis 100.000 SI (warna
biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.
b. Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis 200.000 SI
(warna merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari
dan Agustus.
c. Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul vitamin A
dosis 200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi memperoleh vitamin A yang
cukup melalui ASI (Depkes RI, 2009).
d. Wanita hamil : suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama kehamilan sebagai
bagian dari antenatal care rutin untuk mencegah maternal and infant morbidity dan
mortality. Namun, pada daerah dimana terdapat masalah kesehatan publik yang berat
yang berkaitan dengan kekurangan vitamin A, maka suplementasi vitamin A
direkomendasikan untuk mencegah rabun senja. Secara khusus, wanita hamil dapat
mengkonsumsi hingga 10,000 IU vitamin A setiap harinya atau vitamin A hingga 25,000
IU setiap minggu. Suplementasi dapat dilanjutkan hingga 12 minggu selama kehamilan
hingga melahirkan. Hal ini perlu ditekankan bahwa WHO mengidentifikasi populasi
berisiko sebagai mereka yang prevalensi menderita rabun senja ≥5% pada wanita
hamil atau ≥5% pada anak – anak yang berusia 24–59 bulan.( McGuire, 2012)
e. Ibu nifas: suplementasi vitamin A pada ibu nifas tidaklah direkomendasikan untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi. ( McGuire S. 2012)
I. Sumber Vitamin A
Pada umumnya kecukupan Vitamin A pada orang dewasa didapat dari makanan
yang di konsumsi setiap hari. Demikian juga bagi anak anak selain didapat dari
makanan juga dari suplemen Vitamin A. sedangkan bagi bayi yang berumur kurang
dari 6 bulan kebutuhan Vitamin A diperoleh dari Air Susu Ibu (Sugiarno. 2010). ASI
tetap menjadi sumber yang penting dari vitamin A dan karoten (zat gizi yang banyak
terdapat secara alami dalam buah-buahan dan sayur-sayuran). Karoten dapat
membantu sistem kekebalan tubuh. Hati, telur, dan keju merupakan sumber-sumber
vitamin A yang baik. Vitamin A juga terdapat dalam beta-karoten serta karotenoid
lainnya. Tubuh manusia dapat mensintesa vitamin A dari karoten atau pro vitamin A
yang terdapat di sayuran dan buah-buahan yang berwarna, seperti wortel, tomat, apel,
semangka, dan sebagainya. (Dinkes Jateng, 2007)
Kadar Vitamin A dalam air susu sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis makanan
yang dikonsumsi selama menyusui. Untuk itu bagi ibu nifas dianjurkan banyak
mengkonsumsi sayuran terumata yang banyak mengandung Vitamin A. (Sugiarno.
2010)
Vitamin A sangat penting bagi kesehatan kulit, kelenjar, serta fungsi mata.
Sekalipun pada waktu lahir bayi memiliki simpanan vitamin A, Vitamin A adalah salah
satu zat gizi esensial yang tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh manusia. Untuk
memperolehnya harus diambil dari sumber diluar tubuh terutama dari sumber alam,
seperti bahan sereal, umbi, biji-bijian, sayuran, buah-buahan, hewani dan bahan-bahan
olahan lainnya.(Desi & Dwi, 2009)
A. Kesimpulan
a. Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin yang sangat diperlukan
oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik)
dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan
penyakit, khususnya diare dan penyakit infeksi).
b. Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah penyakit yang
disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin A yang memadai. Hal ini dapat
menyebabkan rabun senja,xeroftalmia dan jika kekurangan berlangsung parah dn
berkepanjangan akan mengakibatkan keratomalasia.
c. Selain berfungsi pada sistem penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan dan
perkembangan, reproduksi, dan pencegahan kanker, vitamin A juga berfungsi
dalam sistem kekebalan (anti infeksi).
d. Faktor risiko kekurangan vitamin A adalah usia, gender, status fisiologis, diet, pola
penyakit, kondisi sosialekonomi, dan pengelompokan.
e. Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan
vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum
vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik
bagi mata.
f. KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan vitamin A pada hati dan organ-
organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis yang
diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik bagi mata. Gejala klinis KVA
pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
Buta senja = XN.
Xerosis konjunctiva = XI A.
Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B.
Xerosis kornea = X2.
Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B.
Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea.
Xeroftalmia Fundus (XF).
g. Kekurangan vitamin A menyebabkan mata tak dapat menyesuaikan diri terhadap
perubahan cahaya yang masuk dalam retina. Sebagai konsekuensi awal terjadilah
rabun senja, yaitu mata sulit melihat kala senja atau dapat juga terjadi saat
memasuki ruangan gelap. Bila kekurangan vitamin A berkelanjutan maka anak
akan mengalami xerophtalmia yang mengakibatkan kebutaan.
h. Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses
Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman. Namun
disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. Selain
itu kegiatan konsumsi kapsul vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu
penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A
dosis tinggi.
i. Hati, telur, dan keju merupakan sumber-sumber vitamin A yang baik. Vitamin A
juga terdapat dalam beta-karoten serta karotenoid lainnya. Tubuh manusia dapat
mensintesa vitamin A dari karoten atau pro vitamin A yang terdapat di sayuran dan
buah-buahan yang berwarna, seperti wortel, tomat, apel, semangka, dan
sebagainya.
j. Halati (2006) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi (AKG) anak balita sekitar
350 Retinol Ekuivalen (RE). Angka ini dihitung dari kandungan vitamin A dalam
makanan nabati atau hewani yang dikonsumsi.
B. Saran
Timbulnya berbagai penyakit akibat kekurangan vitamin A karena kurangnya
perhatian terhadap kesehatan masing-masing individu dan keluarga. Maka untuk
mencegah ataupun menanggulangi terjadinya peningakatan kekurangan vitamin A,
penulis menyarankan untuk lebih banyak mengomsumsi buah-buahan, biji-
bijian, sayur-sayuran dan juga hewani yang banyak mengandung vitamin A. Dengan
demikian, akan mengurangi resiko terjadinya penyakit akibat kekurangan Vitamin A.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2012. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang. Proyek peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Desi dan Dwi 2009. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta. Nuha Medika.
Departemen Kesehatan RI, Konsumsi Kapsul Vitamin A pada Ibu Nifas.
Maryam,Siti dkk (2010). Asuhan Keperawatan pada Lansia. Trans Info Medika, Jakarta.
Muhilal, et al. Vitamin A Fortified Monosodium Glutamat and Health, Growth, and
Survival of Children: a Controlled Field Trial. Am J Clin Nutr2008,48: 1271-76