Anda di halaman 1dari 19

1.

SEBUTKAN KELUHAN UTAMA YANG DIRASAKAN SAAT


PASIEN DATANG KE POLI THT- KL

Keluhan
Telinga - Benda/hewan masuk ke telinga
- Keluar cairan dari liang telinga
- Berkurangnya kemampuan mendengar
- Nyeri telinga
- Telinga berdenging
- Pusing berputar
Hidung - Hidung tersumbat
- Gangguan penghidu
- Bersin-bersin
- Mimisan
- Benda asing di hidung
- Nyeri di daerah wajah

Tenggorokan - Nyeri tenggorok


- Nyeri menelan
- Sulit menelan
- Dahak di tenggorokan
- Suara serak
- Batuk
Kepala Leher - Benjolan di leher
- Sesak napas
- Nyeri kepala

2a. JELASKAN MEKANISME KELUHAN UTAMA DISFAGIA

FISIOLOGI PROSES MENELAN


Proses menelan merupakan proses yang kompleks, dimana setiap unsur yang
berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase:
1. Fase Oral
Terjadi secara sadar dari mulut ke faring
Terdiri dari dua fase:
Fase preparasi (persiapan)
Pembentukan bolus dari makanan yang dilakukan oleh gigi geligi,
lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva agar dapat mudah
ditelan.
Fase propulsif (mendorong)
Proses pendorongan makanan dari rongga mulut ke orofaring,
yaitu:
Bolus bergerak dari rongga mulut dorsum lidah di tengah
lidah (akibat kontraksi otot intrinsik lidah) kontraksi m. levator
veli palatini palatum mole terangkat bagian atas dinding
posterior faring terangkat bolus terdorong ke posterior karena
lidah terangkat ke atas dan terjadi penutupan nasofaring (kontraksi
m. levator veli palatini) kontraksi m. palatoglosus isthmus
faucium tertutup kontraksi m. palatofaring, sehingga bolus
makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.

2. Fase Faringeal
Terjadi secara involunter (tidak sadar) melalui faring
Proses fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu
perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus:
Faring dan laring bergerak keatas (kontraksi m. stilofaringeus, m.
salpingofaringeus, m. tirohioideus dan m. palatofaringeus) aditus
laring tertutup oleh epiglotis makanan tidak akan masuk ke saluran
nafas masuk esofagus.

3. Fase Esofageal
Fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke lambung oleh gerakan
peristaltik kontraksi involunter dari otot otot skeletal esofagus.
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup rangsang
bolus makanan pada akhir fase faringeal relaksasi m. cricofaringeus
introitus esofagus terbuka bolus makanan masuk ke dalam esofagus
setelah bolus makanan lewat sfingter akan berkontraksi lebih kuat,
melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat sehingga makanan
tidak akan kembali ke faring dan refluks dapat dihindari.

Gambar Fisiologi proses menelan

PATOFISIOLOGI DISFAGIA (GANGGUAN PROSES MENELAN)

Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang


berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor, yaitu:
1. Ukuran bolus makanan
2. Diameter lumen esofagus yang dilalui bolus
3. Kontraksi peristaltik esofagus
4. Fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bagian bawah
5. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuromuskuler
mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring
dan uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta persarafan intrinsik otot-otot
esofagus bekerja dengan baik, sehingga aktivitas motorik berjalan lancar.
Kerusakan pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas komponen
orofaring, otot lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas. Oleh karena otot
lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti
motor n. vagus, maka aktivitas peristaltik esofagus masih tampak pada kelainan di
otak. Relaksasi sfingter esofagus bagian bawah terjadi akibat peregangan
langsung dinding esofagus.
Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari fase
menelan yang dipengaruhinya.
a) Fase Oral
Gangguan pada fase oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan
fase pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian
lidah. Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan
padat dan permulaan menelan. Ketika meminum cairan, pasien mungkin
kesulitan dalam menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan.
Sebagai akibatnya, cairan tumpah terlalu cepat kedalam faring yang belum
siap, seringkali menyebabkan aspirasi.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase oral sebagai
berikut :
- Tidak mampu menampung makanan di bagian depan mulut karena
tidak rapatnya pengatupan bibir.
- Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut
karena berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah.
- Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan
oleh lidah dan koordinasinya.
- Tidak mampu mengatupkan gigi untuk mengurangi pergerakan
mandibula.
- Bahan makanan jatuh ke sulcus anterior atau terkumpul pada sulcus
anterior karena berkurangnya tonus otot bibir.
- Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut
karena dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah.
- Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan
atau berkurangnya sensibilitas mulut.
- Pencarian gerakan atau ketidakmampuan untuk mengatur gerakan
lidah karena apraxia untuk menelan.
- Lidah bergerak ke depan untuk mulai menelan karena lidah kaku.
- Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan
kekuatan lidah.
- Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah.
- Kontak lidah-palatum yang tidak sempurna karena berkurangnya
pengangkatan lidah.
- Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan
lidah ke atas.
- Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya
elevasi dan kekuatan lidah.
- Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease.
- Bolus tak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau
melekat pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan
linguavelar.
- Piecemeal deglutition.
- Waktu transit oral tertunda

b) Fase Faringeal
Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasien mungkin
tidak akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk
mempertahankan hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil
makanan biasanya tertahan pada valleculae atau sinus pyriform setelah
menelan. Dalam kasus kelemahan atau kurangnya koordinasi dari otot-otot
faringeal, atau pembukaan yang buruk dari sphincter esofageal atas, pasien
mungkin menahan sejumlah besar makanan pada faring dan mengalami
aspirasi aliran berlebih setelah menelan.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal sebagai
berikut :
- Penundaan menelan faringeal.
- Penetrasi Nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan
velofaringeal.
- Pseudoepiglottis (setelah total laryngectomy) lipata mukosa pada
dasar lidah.
- Osteofit Cervical.
- Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena
pengurangan kontraksi bilateral faringeal.
- Sisa makanan pada vallecular karena berkurangnya pergerakan
posterior dari dasar lidah.
- Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau
lipatan faringeal.
- Sisa makanan pada puncak jalan napas karena berkurangnya elevasi
laring.
- Penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan
napas.
- Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring.
- Stasis atau residu pada sinus pyriformis karena berkurangnya tekanan
laringeal anterior.
c) Fase Esophageal
Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan dan
minuman di dalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat disebabkan
oleh obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan pembukaan
Sphincter esophageal bawah.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan pada fase esophageal
sebagai berikut :
- Aliran balik Esophageal-ke-faringeal karena kelainan esophageal.
- Tracheoesophageal fistula.
- Zenker diverticulum.
- Reflux
d) Aspirasi
Aspirasi adalah masuknya makanan atau cairan melalui pita suara.
Seseorang yang mengalami aspirasi beresiko tinggi terkena pneumonia.
Beberapa faktor mempengaruhi efek dari aspirasi : banyaknya, kedalaman,
keadaan fisik benda yang teraspirasi, dan mekanisme pembersihan paru.
Mekanisme pembersihan paru antara lain kerja silia dan reflek batuk.
Aspirasi normalnya memicu refleks batuk yang kuat. Jika ada gangguan
sensoris, aspirasi dapat terjadi tanpa gejala.

b. PEMERIKSAAN PASIEN DENGAN DISFAGIA


Anamnesis

Untuk menegakkan diagnosis diperlukan anamnesis yang cermat untuk


menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan terjadinya
disfagia. Jenis makanan yang menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi
kelainan yang terjadi. Pada disfagia mekanik, mula-mula kesulitan menelan hanya
terjadi waktu menelan makanan padat. Bolus makanan tersebut kadang-kadang
perlu didorong air dan pada sumbatan yang lebih lanjut, cairan pun akan menjadi
sulit ditelan. Bila sumbatan ini terjadi secara progressif dalam beberapa bulan,
maka harus dicurigai adanya proses keganasan di esophagus. Sebaliknya pada
disfagia motorik, yaitu pada pasien akalasia dan spasme difus esophagus, keluhan
sulit menelan makanan padat dan cairan terjadi pada waktu bersamaan.

Waktu dan perjalanan disfagia dapat memberikan gambaran yang lebih jelas
untuk diagnostik. Disfagia yang hilang dalam beberapa hari dapat disebabkan oleh
peradangan disfagia yang terjadi dalam beberapa bulan disertai dengan
penurunan berat badan harus dicurigai kearah keganasan. Bila keluhan ini terjadi
bertahun-tahun untuk makanan padat perlu dipikirkan kelainan yang bersifat
jinak. Lokasi sumbatan didaerah dada dapat menunjukan kelainan esophagus di
daerah torakal, tetapi bila sumbatan terasa di leher, kelainan dapat di faring atau
esophagus bagian servikal. Bila terdapat gejala lain yang menyertai disfagia
seperti masuknya cairan ke hidung saat minum menunjukan adanya kelumpuhan
otot faring
Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan daerah leher ditujukan untuk melihat dan meraba adanya massa
tumor atau pembesaran kelenjar limfa yang dapat menekan esophagus. Rongga
mulut diperiksa untuk tanda peradangan orofaring dan tonsil selain adanya massa
tumor yang dapat menggangu proses menelan. Pemeriksaan otot lidah dan arkus
faring untuk kelumpuhan karena adanya gangguan pusat menelan maupun saraf
otak nV, n VII, nIX, nX dan n XII. Selain itu perlu juga diperiksa apakah ada
pembesaran jantung sebelah kiri, elongasi aorta, tumor bronkus kiri dan
pembesaran limfa mediastinum.

Pemeriksaan orofaring:

a. Alat dan Bahan


i. Head lamp
ii. Tongue spatel
b. Teknik Pemeriksaan
i.Pasien duduk tegak, kemudian diminta untuk membuka mulut.
Dengan menggunakan headlamp amati mulut dan rongga mulut
pasien.
ii. Minta lah pasien untuk menggerakan lidah untuk menilai
kekuatan otot-otot lidah
iii. Minta pasien untuk membuka mulut lebih lebar, dengan tongue
spatel, tekan 2/3 bagian anterior lidah, amati dinding belakang
faring dan tonsil.
c. Yang harus dinilai:
Mulut: nilai bibir, palatum, gusi dan gigi geligi, lihat apakah kelenjar
saliva masih berfungsi, amati dinding mulut, arcus palatoglossus dan arcus
palatopharyngeus.
Lidah: amati bentuk lidah, gerakan lidah, adakah massa maupun
pembesaran, apakah ada selaput.
Dinding belakangfaring: hiperemis, licin atau tidak, apakah terdapat
jaringan granulasi, apakah ada sekret
Tonsil : amati ukuran tonsil, warna tonsil, pelebaran kripte, adakah detritus
d. Interpretasi hasil
Mulut: bibir simetris/tidak, palatum utuh/ ada cleft, gigi geligi: ada caries
dentis/tidak, dinding mulut basah
Lidah: ditemukan/tidak paralysis otot-otot intrinsik maupun ekstrinsik
lidah, tidak ada selaput
Dinding belakang faring: hiperemis/tidak, licin/berbenjol-benjol,
ditemukan jaringan granulasi/tidak, ditemukan sekret/tidak

Laringoskopi indirek
a. Bahan dan alat :
Lampu kepala
Lampu spirtus
Kaca laring
Kasa
b. Teknik Pemeriksaan
i. Penderita duduk tegak, kepala atau dagi dikedepankan sedikit,
diminta membuka mulut untuk melihat faring dan menentukan kira-
kira ukuran kaca laring yang dipakai. Ukuran ini penting, karena
kaca yang terlalu besar akan menyentuh tonsil atau dinding faring.
ii. Tangan kiri memegang kain kasa untuk memegang lidah, sedangkan
tangan kanan memegang kaca yang telah dipanasi dan telah
dikontrol panasnya dengan punggung tangan. Penderita diminta
menjulurkan lidah,yang kemudian dipegang dengan ibu jari dan jari
tengah yang telah dialasikain kasa, sementara jari telunjuk menahan
bibir atas.
iii. Kaca dimasukkan secara hati-hati hingga berada posisi dekat
dinding posterior orofaring, jangan sampai menyentuh bagian
posterior lidah, tonsil atau dinding faring sehingga menyebabkan
refleks muntah.Posisi kaca laring yang benar apabila bayangan
permukaan posterior epiglottis dan aditus tampak pada kaca dengan
jelas.
iv. Dengan seksama, diamati bayangan laring pada kaca.
Pemeriksaanini hendaknya dilakukan dengan sistematis. Mulai dari
superior yaitu epiglotis kemudian ke inferior sampai dinding depan
trakea. Pengamatan meiliputi kedua sisi apakah simetris atau tidak.
Pemeriksaan dimulaidengan penderita bernafas biasa, inspirasi
dalam, dan penderita dimintamengatakan aaaa. Bagian-bagian
yang dapat dilihat dengan laringoskopi indirek adalah radiks
lingua,valekula epiglotika, epiglotis, tuberkulum epiglotikum, plika
ventrikularis, plika vokalis, rima glotis, plika ariepiglotika, sinus
piriformis, tuberkullum kuneiforme, tuberkulum kornikulatum,
hiporing.
v. Yang dinilai:
Epiglotis
Valekula epiglotika
Epiglotis
Plika vokalis
Rima glotis
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang berupa foto polos esophagus dan dengan kontras dapat
digunkan untuk membantu menegakkan diagnosis kelainan esophagus. Dengan
fluoroskopi, dapat dilihat kelenturan dinding eofagus, adanya gangguan peristaltic
penekanan lumen esophagus dari luar, isi lumen esophagus dan kelainan mukosa
esophagus. Pemeriksaan dengan kontras dapat dilakukan untuk melihat karsinoma
stadium dini. Esofagoskopi dilakukan untuk melihat langsung isi lumen
esophagus dan keadaan mukosanya, jenis alat ini dibagi menjadi dua, rigid dan
flexible.
c. DIAGNOSIS BANDING DISFAGIA
Algoritma pemilahan disfagia berdasarkan simptom
t

d. Obat-Obatan Neurotropik (roboransia)

a. Vitamin B1( tiamin) : merupakan salah satu jenis vitamin yang memiliki peranan

penting dalam menjaga kesehatan kulit dan membantu mengkonversi karbohidrat

menjadi energi yang diperlukan tubuh. Di samping itu, vitamin B1 juga

membantu proses metabolisme protein dan lemak. Kurangnya vitamin B1 akan

menyebabkan gangguan pada kulit, seperti kulit kering dan bersisik. Tubuh juga

dapat mengalami beri-beri, gangguan saluran pencernaan, jantung, dan sistem

saraf. Vitamin B1 dapat di peroleh dari gandum, nasi, daging, susu, telur, dan

tanaman kacang-kacangan.

Farmakodinamik :

Tiamin pirofosfat adalah bentuk aktif tiamin yang berfungsi

sebagai koenzim dalam karboksilasi asam piruvat dan asam ketoglutarat.


Peningkatan asam piruvat dalam darah merupakan salah satu tanda

defisiensi tiamin.

Pada dosis kecil atau dosis terapi tiamin tidak memperlihatkan efek

farmakodinamik yang nyata. Pada pemberian IV secara cepat dapat terjadi

efek langsung pada pembuluh darah perifer berupa vasodilatasi ringan,

disertai penurunan tekanan darah perifer berupa vasodilatasi ringan,

disertai penurunan tekanan darah yang bersifat sementara. Meskipun

tiamin berperan dalam metabolisme karbohidrat, pemberian dosis besar

tidak mempengaruhi kadar gula darah. Dosis toksik pada hewan coba

adalah 125-350 mg/kgBB secara IV kira-kira 40 kali pemberian oral. Pada

manusia reaksi toksik setelah pemberian parenteral biasanya karena reaksi

alergi.

Farmakokinetik :

Setelah pemberian parenteral absorpsi berlangsung cepat dan

sempurna. Absopsi per oral berlangsung dalam usus halus dan deodenum,

maksimal 8-15 mg/hari yang dicapai dengan pemberian oral sebanyak 40

mg. Dalam satu hari sebanyak 1mg tiamin mengalami degradasi di

jaringan tubuh. Jika asupan jauh melebihi jumlah tersebut, maka zat ini

akan dikeluarkan melalui urin sebagai tiamin atau piridimin.

Sediaan dan Indikasi:

Tiamin HCl (vitamin B1, aneurin HCl) tersedia dalam bentuk

tablet 5-500 mg, Larutan steril 100-200 mg untuk penggunaan parenteral,

dan eliksir mengandung 2-25 mg tiamin tiap ml.


Tiamin diindikasikan pada pencegahan dan pengobatan defisiensi

tiamin dengan dosis 2-5 mg/hari untuk pencegahan defisiensi dan 5-10 mg

tiga kali sehari untuk pengobatan defisiensi. Dosis lebih besar secara

parenteral diindikasikan untuk kasus berat, akan tetapi respon tidak

meningkat dengan dosis lebih dari 30 mg/hari.

b. Vitamin B6 atau piridoksin : merupakan vitamin yang esensial bagi pertumbuhan

tubuh. Selain itu, vitamin ini juga berperan dalam metabolisme nutrisi dan

memproduksi antibodi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap antigen atau

senyawa asing yang berbahaya bagi tubuh. Vitamin ini merupakan salah satu jenis

vitamin yang mudah didapatkan karena vitamin ini banyak terdapat di dalam

beras, jagung, kacang-kacangan, daging, dan ikan. Kekurangan vitamin dalam

jumlah banyak dapat menyebabkan kulit pecah-pecah, keram otot, dan insomnia

Farmakodinamik :

Pemberian piridoksin secara dan parenteral tidak menunjukkan

efek farmakodinamik yang nyata. Dosis sangat besar yaitu 3-4 g/kgBB

dapat menyebabkan kejang dan kematian pada hewan coba, tetapi dosis

kurang dari ini umumnya tidak menimbulkan efek yang jelas. Piridoksal

fosfat dalam tubuh merupakan koenzim yang berperan penting dalam

metabolisme berbagai asam amino, diantaranya dekarboksilasi,

transaminasi dan rasemisasi triptofan, asam-asam amino yang bersulfur

dan asam amino hidroksida

Farmakokinetik :
Piridoksin, piridoksaldan piridoksamin mudah diabsopsi melalui

saluran cerna. Metabolit terpenting dari ketiga bentuk tersebut adalah 4-

asam piridoksat. Ekskresi melalui urin terutama dalam bentuk 4-asam

piridoksat dan piridoksal.

Sedian dan Indikasi:

Piridoksin tersedia sebagai tablet piridoksin HCl 10-100 mg dan sebagai

larutan steril 100mg/ml piridoksin HCl untuk injeksi. Selain untuk

mencegah dan mengobati defisiensi vitamin B6, vitamin ini diberikan

bersama vitamin B lainnya atau sebagai multivitamin untuk pencegahan

dan pengobatan defisiensi vitamin B kompleks. Pemberiannya pada wanita

yang menggunakan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen

dibenarkan, karena kemungkinan terjadinya defisiensi piridoksin pada

wanita tersebut. Piridoksin juga dilaporkan dapat memperbaiki gejala

keilosis, dermatitis seboroik, glositis dan stomatitis yang tidak

memberikan respon terhadap tiamin, riboflavin dan niasin serta dapat

mengurangi gejala-gejala yang menyertai tegangan prehaid (premenstrual

tension). Piridoksin diindikasikan untuk anemia yang responsif terhadap

piridoksin yang biasanya sideroblastik dan mungkin disebabkan kelainan

genetik. Sebaliknya pemakaian piridoksin hendaknya dihindarkan pada

penderita yang mendapat levadopa.

c. Vitamin B12 (kobalamin) : berperan sebagai koenzim bagi konversi

metilmalonil-koA menjadi suksinil koA. Hal ini merupakan reaksi yang penting

dalam lingkup konversi propionat menjadi siklus asam sitrat. Dengan demikian
kobalamin berperan dalam proses glukoneogenesis. Vitamin B12 atau

sianokobalamin merupakan jenis vitamin yang hanya khusus diproduksi oleh

hewan dan tidak ditemukan pada tanaman. Oleh karena itu, vegetarian sering kali

mengalami gangguan kesehatan tubuh akibat kekurangan vitamin ini. Vitamin ini

banyak berperan dalam metabolisme energi di dalam tubuh. Vitamin B12 juga

termasuk dalam salah satu jenis vitamin yang berperan dalam pemeliharaan

kesehatan sel saraf, pembentukkan molekul DNA dan RNA, pembentukkan

platelet darah. Telur, hati, dan daging merupakan sumber makanan yang baik

untuk memenuhi kebutuhan vitamin B12

Farmakokinetik :

Vitamin ini disimpan dalam jumlah besar terutama di hati, pada

orang dewasa rata-rata simpanan vitamin B12 secara keseluruhan sebesar

3000-5000 g. Hanya sedikit sekali jumlah vitamin B12 yang biasanya

hilang dalam urine dan feses. Karena kebutuhan normal vitamin B12

setiap harinya sekitar 2g, maka akan membutuhkan waktu 5 tahun untuk

menghabiskan semua simpanan vitamin B12 yang ada. Vitamin B12

dalam jumlah fisiologis diabsopsi hanya setelah vitamin ini bergabung

dengan faktor intrinsik, suatu glikoprotein yang disekresi oleh sel-sel

parietal dari mukosa lambung. Faktor intrinsik ini bergabung dengan

deodenum, dan kompleks vitamin B12. Faktor instrinsik selanjutnya di

absopsi di ileum distal oleh sistem transport yang diperantarai oleh

reseptor yang sangat spesifik. Kekurangan vitamin B12 pada manusia

sangat sering disebabkan oleh mal absopsi vitamin B12, sebagai akibat
dari hilangnya faktor intrinsik atau hilangnya atau malfungsi dari

mekanisme absopsi spesifik dalam ileum distal.

Setelah di absorpsi, vitamin B12 diangkut ke berbagai sel-sel tubuh

terikat pada glokoprotein plasma, transcobalamin II. Kelebihan vitamin

B12 ditranspor ke hati untuk disimpan. Jumlah vitamin B12 yang

signifikan dieksresi dalam urine hanya jika jumlah vitamin B12 yang

sangat besar diberikan secara parenteral, melebihi kapasitas pengikatan

trasncobalamin tersebut (50-100 g).

Sediaan dan indikasi :

Vitamin B12 diindikasikan untuk penderita defisiensi vitamin B12,

misalnya anemia perniciosa. Pada penderita tanpa komplikasi perbaikan

subyektif dan obyektif cepat diperoleh. Karena kausa tidak dihilangkan

(kekurangan FIC tidak diperbaiki), penderita memerlukan terapi seumur

hidup.

Dosis untuk defisiensi B12 : oral atau sublingual 2 dd 1 mg selama 1

bulan, pemeliharaan 1 mg sehari. Profilaksis dalam multivitamin 1-10 mcg

sehari, i.m 0,5-1 mg/minggu, pemeliharaan 1 mg setiap 2 bulan.

Vitamin B12 tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian oral

dan larutan untuk suntikan. Penggunaan oral pada anemia perniciosa

kurang bermanfaat dan biasanya terapi oral lebih mahal dibanding terapi

parenteral. Sediaan oral dapat bermanfaat sebagai suplemen diit, namun

kecil manfaatnya untuk penderita yang kekurangan faktor intrinsik atau

penderita dengan gangguan ileum, karena absorpsi secara difusi tidak


dapat diandalkan sebagai terapi efektif. Maka cara pemberian yang terbaik

adalah secara IM atau SK yang disuntikkan dalam.

Defisiensi kobalamin ditandai dengan gangguan hematopoesis,

gangguan neurologi, kerusakan sel epitel, terutama epitel saluran cerna,

dan debilitas umum. Defisiensi ini dapat didiagnosis dengan mengukur

kadar vitamin B12 dalam plasma dan dengan uji fungsi lambung.

Defisiensi vitamin B12 pada orang dewasa lebih sering disebabkan oleh

gangguan absorpsinya, misalnya pada defisiensi vitamin B12 yang klasik

yang disebut anemia perniciosa Addison. Pada penyakit tersebut terjadi

kegagalan sekresi faktor intrinsik castle (FIC) oleh sel parietal lambung

yang berfungsi dalam absorpsi vitamin B12 di ileum. Selain itu sekresi

FIC juga dapat berkurang pada kerusakan mukosa lambung oleh berbagai

sebab. Gangguan fungsi ataupun struktur pada ileum, penyakit pankreas

dan adanya infestasi parasit dalam usus dapat pula menyebabkan defisiensi

vitamin B12.
DAFTAR PUSTAKA

Charles et al. (2007). Oral Cavity/Pharings/Esophagus in: Cumming


Otholarhyngology, Head, And Neck Surgery 4th Edition.USA: Elsevier,
pp: 62-3.

Bambang , S. S. 1992. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga,


Hidung,Tenggorok dan Kepala Leher . Semarang : Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.

Goyal RK (2010). Disfagia. Dalam: Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit


Dalam (Harrison's Principles of Internal Medicine) Volume 1. USA: EGC,
pp: 239-241.

Hayes C. Peter, dkk. Segi Praktis Gastroenterologi dan Hepatologi. 1988.


Binarupa Aksara: Jakarta.

Michael R. Evaluating dysphagia. Am Fam Physician. 2000 Jun 15;61(12):3639-


3648. (Diunduh : Oktober 2017)

Nafrialdi, Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Paik NJ (2012). Dysphagia. http://emedicine.medscape.com/article/324096-


overview#aw2aab6b3. (Diunduh: Oktober 2017).

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (2007). Disfagia. Dalam:


Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL Edisi Keenam. Jakarta: FK UI, pp:
276-302.

Anda mungkin juga menyukai