Anda di halaman 1dari 40

BST

RHINOSINUSITIS KRONIK

Oleh:
Argo Fauzan, S. Ked. 04081882225004
Subhan Ramadhani Putra, S. Ked. 04081882225002
Vinil Kiran Kalaichelvan, S. Ked. 04084882225004

Pembimbing:
dr. Wifaqi Oktaria, Sp THT-KL

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


RSUD SITI FATIMAH
2023
Outline

01 Pendahuluan 04 Analisis Kasus

02 Status Pasien

03 Tinjauan Pustaka
01

PENDAHULUAN
PENDAHULUAN

Rinosinusitis Kronik (RSK) adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala
inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal yang menetap berupa hidung tersumbat,
lendir hidung mukopurulen, nyeri wajah, gangguan menghidu atau batuk selama lebih dari 12
minggu. Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat dan
merupakan masalah kesehatan yang bermakna yang mengenai 5% sampai 12% pada populasi
umum. Klasifikasi rhinosinusitis menurut The European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps (EPOS) didasarkan kepada gejala klinis disertai dengan adanya tanda inflamasi
mukosa hidung berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. 1
Diagnosis RSK masih menjadi tantangan karena gejala rhinosinusitis memiliki kemiripan dengan
penyakit inflamasi hidung lain seperti rhinitis alergi serta belum diterapkannya pemeriksaan baku emas
penunjang diagnosis. RSK juga memberikan dampak pada kualitas hidup pasien. Melalui penelitian pada
tahun 2006 pada sekelompok pasien RSK melaporkan bahwa nilai rata-rata gangguan akibat gejala RSK yang
dialami yaitu 7.8 dari skala (VAS) Visual Analog Scale.1
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat timbul karena kejadian RSK seperti erosi dan ekspansi tulang
karena mulokel atau polip hidung, osteitis dan pembentukan tulang metaplastic dan kadang - kadang
neuropati optic. Namun, masalah utama RSK yaitu gangguan dari kualitas hidup pasien dan gangguan pada
kemampuan bekerja pasien sehingga berdampak pada kinerja pasien maupun interaksi sosial. Di Tiongkok
Tenggara, pasien RSK mengunjungi dokter 4,5 kali lebih banyak dan menyebabkan kehilangan 11,7 hari kerja
atau sekolah lebih banyak daripada orang – orang tanpa RSK.1,2
02

STATUS PASIEN
IDENTIFIKASI ANAMNESIS
Nama : Tn. KI
Usia : 40 tahun Keluhan Utama: Demam sejak 1 bulan lalu
Jenis Kelamin : Laki-laki Keluhan Tambahan: Nyeri gigi selama 1 bulan
Bangsa : Indonesia
Alamat : Palembang
Agama : Islam
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 1 bulan pasien mengeluh deman. Demam terus menerus dan berulang 2-3
kali setahun. Sering ada pilek dan juga bersin kalau dingin. Pasien juga menderita sakit gigi
selama sebulan. Sering keringat dingin. Sering keluar hingus dan hidung nya kadang
tersumbat. Pasien juga mengeluh sakit kepala sebelah kanan terus menerus selama seminggu.
Sejak 1 hari SMRS, pasien mengeluhkan hidung tersumbat dan sering keluar cairan
dari hidungnya. Nyeri pada wajah sebelah kanan ada. Demam ada, hilang timbul. Keluhan
pada telinga disangkal. Keluhan sesak nafas disangkal. Riwayat sakit tenggorokan
sebelumnya disangkal. Pasien kemudian berobat ke dokter spesialis THT-KL Rumah Sakit
Siti Fatimah untuk tatalaksana lebih lanjut.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hidung berdarah disangkal
- Riwayat tonsilitis disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat diabetes melitus disangkal

Riwayat Pengobatan
- Pasien menggunakan antibiotic untuk pengobatan tetapi pasien lupa nama
obatnya.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
- Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalikus Jantung
Keadaan umum : tampak sakit sedang : iktus kordis tidak terlihat
Inspeksi
Kesadaran : compos mentis Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Suhu : 37,0oC Perkusi : batas jantung normal
Pernafasan : 20x/menit Auskultasi : BJ I & II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
SpO2 : 99%
Pulmo
Inspeksi    : Statis simetris kanan=kiri, dinamis tidak ada yang tertinggal
Palpasi    : Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi    : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi    : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), rhonki (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, spider nevi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal 4x/menit
Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Ekstremitas
LAMPIRAN

- Gambar endoskopi nasal dan auricular


V. DIAGNOSIS KERJA VII. TATALAKSANA

Rinosinusitis Kronis A. Non Farmakologis


- Rencana konsul ke dokter gigi

VI. DIAGNOSIS BANDING B. Farmakologis


- Amoxicilin 500mg tiap 8 jam PO
1. Rinosinusitis Kronis
2. Rhinitis alergi
VIII.Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
03

TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Cavum Nasi dan Sinus Paranasales
3.1.1. Anatomi Cavum Nasi
Cavum nasi adalah celah irregular yang terdapat diantara palatum dari cavum oris dan
basis cranii. Bagian bawah cavum nasi yang paling lebar dan dalam secara vertikal adalah
regio sentralnya, dipisahkan oleh septum nasi menjadi cavum nasi dextra dan sinistra. Pintu
masuk dari cavum nasi adalah nares, dan di posterior akan masuk ke nasopharynx melalui
choana. Hampir seluruh bagian dari cavum nasi dilapisi oleh mukosa kecuali area vestibulum
nasi yang dilapisi oleh kulit. Mukosa cavum nasi melekat pada periosteum dan perikondrium
dari tulang yang membentuk cavum nasi dan tulang rawan dari hidung. 3
Mukosa cavum nasi juga melapisi struktur-struktur yang berhubungan dengan cavum
nasi seperti: nasopharynx di posteriornya, sinus paranasales di superior dan lateralnya, dan
sacus lacrimalis dan konjungtiva di superiornya. Bagian 2/3 inferior mukosa cavum nasi
adalah area respirasi dan 1/3 superiornya adalah area olfaktori. Area respirasi dari cavum nasi
mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis semu bersilia dengan sel banyak sel goblet. Ada
banyak kelenjar seromukus dalam lamina propria dari mukosa hidung. Sekresinya membuat
permukaannya menjadi lengket sehingga bisa menjebak partikel-partikel yang terdapat di
udara yang terinspirasi. Film mukosa terus-menerus digerakkan oleh aksi siliar (eskalator
mukosiliar) ke arah posterior ke nasofaring dengan kecepatan 6 mm per menit. 3
Dinding lateral dari cavum nasi tidak rata karena adanya tiga conchae yaitu: concha nasi superior, medius, dan
inferior. Conchae nasi ini berjalan dengan arah inferimedial. Tiga conchae nasalis ini membentuk 4 celah untuk
jalannya udara yaitu :3
1. Recessus sphenoethmoidalis yang terdapat di atas concha nasi superior menerima muara dari sinus
sphenoidalis.
2. Meatus nasi superior yang terletak diantara concha nasi superior dan medius menerima muara dari sinus
ethomidalis posterior.
3. Meatus nasi medius yang terletak diantara concha nasi medius dan inferior lebih panjang dan lebar
dibandingkan dengan meatus nasi superior. Bagian anterosupereriornya menuju ke infundibulum
ethmoidalis, lubang yang berhubungan sinus frontalis lewat ductus frontonasalis. Ductus frontonasalis
kemudian bermuara pada suatu celah semisirkular yaitu hiatus semilunaris. Bulla ethmoidalis, elevasi bulat
yang terletak lebih tinggi dari hiatus semilunar (terlihat saat concha nasi medius diangkat). Bulla dibentuk
oleh cellulae etmoidalis medius, yang membentuk sinus ethmoidal. Sinus maxillaris menuangkan isinya juga
kebagian posterior hiatus semilunar.
4. Meatus nasi inferior yang terletak di bawah concha nasi inferior
merupakan saluran berbentuk horizontal. Ductus nasolacrimalis dari sacuslacrimalis bermuara pada bagian
Sinus paranasales adalah rongga yang terdapat dalam tulang-
tulang ethmoidalis, sphenoidalis, frontalis, dan maxillaris. Nama-
nama sinus sesuai dengan nama tulangnya. Sinus frontalis terletak
diantara facies interna dan externa ossis frontalis, posterior dari
arcus superciliaris dan atap dari hidung. Dimensi rata-rata sinus
frontal orang dewasa adalah: tinggi 3,2 cm; lebar 2,6 cm;
Sinus Paranasales
kedalaman 1,8 cm. Masing-masing biasanya memiliki bagian depan
yang membentang ke atas di atas bagian medial alis, dan bagian
orbit yang memanjang kembali ke bagian medial atap orbit.
Masing-masing sinus frontalis menuangkan isinya ke dalam hiatus
semilunaris dari meatus nasi medius. Sinus frontalis mendapatkan
innervasi dari nerus supra orbitalis (N. V1).3
Definisi

Rhinosinusitis adalah peradangan simtomatis


pada sinus paranasales dan cavum nasi. Istilah
rhinosinusitis lebih sering dipakai daripada sinusitis,
oleh karena sinusitis selalu diikuti juga dengan adanya
peradangan pada mukosa cavum nasi. Rhinosinusitis
dibagi menjadi dua berdasarkan durasinya yaitu akut
Rhinosinusitis
dan kronis. Disebut akut jika durasinya kurang dari 4
Kronis
minggu, atau kronis jika durasinya berlangsung selama
12 minggu atau lebih.4
Etiologi dan Patogenesis

Infeksi Jamur
Jamur mengandung protease intrinsik yang dapat menginduksi sitokin via aktivasi
reseptor PAR pada berbagai jenis sel, mungkin melalui respon T Helper tipe 2. Ekstrak
jamur dapat menghambat sinyal JAK-STAT1 pada epitel, efek yang dapat menghambat
Th1 dan meningkatkan respons Th2. Jamur juga kemungkinan memainkan peran kunci
dalam sinusitis jamur alergi klasik. Terakhir, dinding sel jamur mengandung chitin,
yang telah terbukti menginduksi respons Th2 pada beberapa model manusia dan hewan,
namun peran rhinosinusitis kronis yang masih belum jelas. Saat ini, sebagian besar
peneliti menduga bahwa jamur kemungkinan berperan penting dalam etiologic
rhinosinusitis.5
Infeksi Bakteri
Berdasarkan teknik kultur, telah lama menemukan peranan penting dari bakteri
Staphylococcus aureus pada rhinosinusitis kronis. Selain kolonisasi permukaan,
Staphylococcus juga mampu berada di dalam sel epitel dan makrofag pasien
rhinosinusitis. Dalam keadaan normal, bakteri termasuk Staphylococcus menerima
respons pertahanan inang inflamasi Th17. Salah satu kesulitan untuk mendukung
hipotesis bakteri sebagai salah etiologi terjadinya rhinosinusitis kronis adalah kesulitan
dalam menjelaskan respons Th2 yang terlihat pada jaringan pasien yang refrakter. 5
Patogenesis
Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi
viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis
mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan
drainase dan aerasi.5
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus anterior
(frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transport mukus dan
debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan
bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang sangat
berperan bagi terjadinya rhinosinusitis kronik. Namun demikian, kedua faktor yang lainnya
juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor
diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang
berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan
Stagnasi mukosa pada sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan berbagai
patogen. Tahap awal sinusitis sering merupakan infeksi virus yang umumnya berlangsung
hingga 10 hari dan itu benar-benar sembuh dalam 99% kasus. Namun, sejumlah kecil pasien
dapat berkembang menjadi infeksi bakteri akut sekunder yang umumnya disebabkan oleh
bakteri aerobic (yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis). Awalnya, sinusitis akut yang dihasilkan hanya melibatkan satu jenis bakteri
aerobik. Dengan adanya infeksi yang persistensi, flora campuran dari organisme dan kadang
kala jamur berkontribusi terhadap pathogenesis rhinosinusitis kronis. Sebagian besar kasus
sinusitis kronis disebabkan oleh sinusitis akut yang tidak diobati atau tidak merespons
pengobatan.
Gambar 3. Siklus Patologi Rhinosinusitis Kronis.
3.2.3. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan
terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus,
adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan
dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang
memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Keluhan
subjektif yang dapat menjadi dasar RSK adalah : 6
- Obstruksi nasal

Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya.

- Sekret/discharge nasal

Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip

- Abnormalitas penciuman

Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rhinosinusitis kronik yang mungkin


disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan/tanpa alterasi
degenerative pada mukosa olfaktorius.

- Nyeri/tekanan fasial

Hal ini lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rhinosinusitis akut, pada
3.2.4. Terapi

Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rhinosinusitis kronik yakni


berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rinosinusitis kronik dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. 6
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
pada orang dewasa antara lain:7
1. Antibiotik : Amoksisilin, sefalosporin, metronidazole
2. Antiinflamasi : Kortikosteroid
3. Terapi penunjang : Antihistamin, mukolitik.
3.2.5. Prognosis
Karena sifatnya yang persisten, sinusitis kronis dapat menjadi penyebab morbiditas
yang signifikan. Jika tidak ditangani, dapat menurunkan kualitas hidup dan produktivitas
orang yang terkena.
Perawatan medis dini untuk sinusitis kronis biasanya menghasilkan hasil yang
memuaskan. Functional endoscopic sinus surgery (FESS) memulihkan kesehatan sinus
dengan pengurangan gejala yang lengkap atau sedang pada 80% hingga 90% pasien
dengan sinusitis kronis berulang.
04

ANALISIS KASUS
ANALISIS KASUS
DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Sayed AA, Agu RU, Massoud E. Models for the study of nasal and sinus physiology in
health and disease: A review of the literature. Laryngoscope Investig Otolaryngol [Internet].
2017 Dec;2(6):398–409. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29299515

2. Brook I. Chronic Sinusitis [Internet]. 2017. Available from:


https://emedicine.medscape.com/article/232791-overview

3. Sperber GH. Book review. J Anat [Internet]. 2006 Mar;208(3):393–393. Available from:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1469-7580.2006.00537.x
4. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Ashok Kumar K, Kramper M, et al.
Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis. Otolaryngol Neck Surg [Internet]. 2015
Apr;152(S2). Available from: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1177/0194599815572097

5. Lam K, Schleimer R, Kern RC. The Etiology and Pathogenesis of Chronic Rhinosinusitis: a
Review of Current Hypotheses. Curr Allergy Asthma Rep [Internet]. 2015 Jul 5;15(7):41. Available
from: http://link.springer.com/10.1007/s11882-015-0540-2

6. Fokkens W, Lund V, Mullol J, European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps group.
European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2007. Rhinol Suppl [Internet].
2007;20:1–136. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17844873

7. Marple BF, Stankiewicz JA, Baroody FM, Chow JM, Conley DB, Corey JP, et al. Diagnosis and
management of chronic rhinosinusitis in adults. Postgrad Med. 2009;121(6):121–39.
THANK YOU!

Anda mungkin juga menyukai