Anda di halaman 1dari 27

Referat

BRONKIEKTASIS

Oleh :
Vinil Kiran Kalaichelvan, S. Ked
04084882225004

Pembimbing :
dr. Rouly Pola Pasaribu, SpPD, K-P

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat :
BRONKIEKTASIS
Oleh:
Vinil Kiran Kalaichelvan, S. Ked 04084882225004

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang periode 27 Maret s.d 18 Juni 2023

Palembang, Mei 2023

dr. Rouly Pola Pasaribu, SpPD, K-P


KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “Bronkiektasis”. Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan
Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMH Palembang.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.
Rouly Pola Pasaribu, SpPD, K-P selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan arahan selama penyusunan referat ini, serta semua pihak
yang telah membantu sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penulisan ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi perbaikan di masa yang
akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita

Palembang, Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................................ii

KATA PENGANTAR................................................................................................iii

DAFTAR ISI...............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................3

2.1 Anatomi dan Fisiologi..........................................................................................3


2.2 Definisi.................................................................................................................6
2.3 Epidemiologi........................................................................................................7
2.4 Etiologi.................................................................................................................7
2.5 Patofisiologi.........................................................................................................9
2.6 Diagnosis............................................................................................................11
2.7 Klasifikasi..........................................................................................................16
2.8 Diagnosis Banding.............................................................................................16
2.9 Tatalaksana........................................................................................................17
2.10 Prognosis..........................................................................................................20
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi


(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berlangsung kronik,
persisten atau ireversibel. Dilatasi tersebut menyebabkan berkurangnya aliran udara
dari dan ke paru-paru. Dengan alasan ini, bronkiektasis digolongkan dalam penyakit
paru obstruktif kronik yang bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan
dan mudah kolaps, lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak,
gangguan pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-
kadang hemoptisis.1,2
Batuk kronis yang produktif dapat terjadi pada hampir 90% pasien dengan
bronkiektasis. Sesak napas atau dispnea merupakan ciri lain dari bronkiektasis.
Dispnea dapat terjadi pada 34% sampai 75% pasien bronkiektasis. Dispnea ini dapat
disertau wheezing atau tidak. Hemoptisis atau batuk darah ada hal yang umum dan
dapat terjadi pada sebanyak 50% pasuen. Hemoptisis episodik dengan sedikit atau
tidak adanya produksi sputum (bronkiektasis kering) biasanya merupkaan gejala sisa
dari TB paru.3,4
Saat ini, bronkiektasis adalah salah satu dari tiga penyakit radang saluran napas
kronis yang paling umum bersama dengan PPOK dan asma. Prevalensi bronkiektasis
dekade terakhir ditemukan berkisar antara 67 hingga 566 kasus per 100.000
penduduk di Eropa dan Amerika Utara. Kasus meningkat 1200 per 100.000 penduduk
di pada kelompok usia 40 tahun atau lebih di Cina. 5 Temuan Riskesdas tahun 2013
menunjukkan bahwa prevalensi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di
Indonesia pada masyarakat usia lebih dari 30 tahun sebesar 3,70%, dengan angka
prevalensi tertinggi di Provinsi Nusa Timur Tenggara (10%) dan terendah di
Lampung (1,40%). Usia rata-rata pasien PPOK adalah 56 (+11.30), 55,8% pasien
adalah perempuan, dan 22,90% adalah perokok.6
Standar kompetensi dokter umum pada kasus bronkiektasis adalah 3B dan
merupakan gawat darurat oleh sebab itu lulusan dokter mampu membuat diagnosis

1
klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien.
Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya dan mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi


Secara anatomi, traktus respiratori terdiri atas saluran napas bagian atas
( hidung, faring, laring) dan saluran napas bagian bawah (trakea, bronkus, bronkiolus,
duktus alveolus, alveoli.7 Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Cabang
utama bronkus kanan dan kiri akan bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus
segmentalis. Percabangan ini berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang
ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu
bronkiolus yang tidak mengandung alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai
diameter kurang lebih 1 mm. Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit
fungsional dari paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris
dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki
diameter 0,5 sampai 1 cm.7,8

Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh


kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu
tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan
cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai
lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat
inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh sel
pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik
utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi
ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme
inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi elastisitas paru
menjadi dasar patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya.8

3
Gambar 2.1 Traktus respiratori bawah.10

Struktur dan fungsi saluran napas normal


 Sel epitel permukaan
Sel epitel permukaan pada saluran intrapulmoner pada dasarnya dibentuk oleh
dua tipe sel, yaitu sel silia dan sel sekretori. Sel sekretori dibagi menjadi subtipe

4
berdasarkan penampakan mikroskopik (misalnya Sel clara, goblet dan serous ). Selain
musin, sel sekretori juga melepaskan beberapa molekul antikmikroba (sebagai contoh
defensin, lisosim, dan IgA), molekul immunomodulator (sekretoglobin dan sitokin)
dan molekul pelindung (protein trefoil dan heregulin), semuanya ini tergabung dalam
mukus.9
 Kelenjar submukosa
Pada saluran napas besar (diameter lumen >2mm), kelenjar submukosa
berkontribusi pada sekresi musin (gambar 2). Kelenjar dihubungan dengan lumen
saluran napas oleh duktus silia superfisial yang mendorong sekresi keluar dan duktus
kolektus nonsilia profundus. Kelenjar sumukosa berlokasi diantara otot polos dan
kartilago. Sel mukous membentuk 60% volume kelenjar. Sel serous yang berlokasi
didistal, membentuk 40% volume kelenjar, mensekresi proyeoglikan dan protein
antimikroba. Pada keadaan patologi, volume kenjar submukosa dapat meningkat
melebihi volume normal.9
 Lapisan mukosa (lapisan lendir)
Lendir melapisi seluruh saluran napas, dimana kandungan terbanyaknya
adalah cairan, dengan kerakteristik fisik solid. Kandungan normal mukus adalah 97%
air dan 3 % solid (musin, protein nonmusin, garam, lemak dan sel debris).9

Mekanisme klirens saluran napas


Pertama, mukus didorong ke proksimal saluran napas oleh gerakan silia, yang
akan membersihkan partikel-partikel inhalasi, patogen dan menghilangkan bahan-
bahan kimia yang mungkin dapat merusak paru. Musin polimerik secara terus-
menerus disintesis dan disekresikan untuk melapisi lapisan mukosa. Kecepatan
normal silia 12 sampai 15x/detik, menghasilkan kecepatan 1mm/menit untuk
membersihkan lapisan mukosa. Kecepatan mucociliary clearance meningkat dalam
keadaan hidrasi tinggi. Dan kecepatan gerakan silia meningkat oleh aktivitas
purinergik, adrenergik, kolinergik dan reseptor agonis adenosin, serta bahan iritan
kimia. Mekanisme kedua, adalah dengan mengeluarkan mukus dengan refleks batuk.
Batuk disebabkan oleh stimulasi aferen vagal di saluran udara intrapulmoner atau

5
laring dan faring). Dispnea disebabkan ketika lendri menyumbat aliran udara dengan
menempati lumen. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gangguan pembersihan lendir
yaitu batuk, suara napas bronkial, ronkhi, dan mengi. Meskipun batuk berkontribusi
dalam membersikan mukus pada penyakit dengan peningkatan produksi mukus atau
gangguan fungsi silia, ini dapat menyulitkan gejala.9

Gambar 2.2 Struktur dan fungsi saluran napas yang bekerja dalam mekanisme
klirens saluran napas.9

II.2 Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik,
persisten dan ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-
perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot-otot
polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena

6
umumnya adalah bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya
jarang.1
Bronkiektasis bukan merupakan penyakit primer, tetapi lebih merupakan akibat
obstruksi atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh berbagai penyebab. Jika sudah
terbentuk, bronkiektasis akan menimbulkan kompleks gejala yang didominasi oleh
batuk dan pengeluaran sputum purulent dalam jumlah yang besar.11

II.3 Epidemiologi
Bronkiektasis merupakan penyebab utama kematian pada negara yang kurang
berkembang. Terutama pada negara yang sarana medis dan terapi antibiotika terbatas.
Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita dengan umur rata-rata 39 tahun,
terbanyak pada usia 60 – 80 tahun. Sebab kematian yang terbanyak pada
bronkiektasis adalah karena gagal napas. Lebih sering terjadi pada perempuan
daripada laki-laki, dan yang bukan perokok.12

II.4 Etiologi
Bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga
bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat. Petunjuk untuk etiologi
yang mendasari sering diberikan dengan pola keterlibatan paru-paru. Bronkiektasis
fokal mengacu pada perubahan bronkiektasis di area lokal paru-paru dan dapat
disebabkan dari obstruksi jalan napas-baik ekstrinsik (misalnya, akibat kompresi oleh
limfadenopati yang berdekatan atau massa parenkim) atau intrinsik (misalnya, karena
tumor saluran napas atau aspirasi benda asing tubuh, jalan napas bekas luka/stenotik,
atau atresia bronkial dari bawaan keterbelakangan jalan napas). Bronkiektasis difus
ditandai dengan perubahan bronkiektasis yang meluas ke seluruh paru dan sering
muncul dari proses penyakit sistemik atau infeksi yang mendasarinya.13
1. Kelainan kongenital
Bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor genetik atau
faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan penting.
Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya mengenai hampir seluruh cabang

7
bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu, bronkiektasis kongenital
biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital seperti Fibrosis kistik,
Kertagener Syndrome, William Campbell syndrome, Mounier-Kuhn Syndrome,
dll.1,13
2. Kelainan didapat
Bronkietasis yang didapat sering berkaitan adanya infeksi sebelumnya dan
adanya obstruksi bronkus. 1

Tabel 2.1 Etiologi bronkiektasis dan pemeriksaan penunjang yang dianjurkan.13


Lokasi paru
Etiologi Pemeriksaan
yang terkena
Fokal Obstruksi (aspirasi benda X-ray dada, CT dada,
asing, massa tumor) bronkoskopi
Difus Infeksi (bakterial, bukan Pemeriksaan gram sputum, dan
bakteri Tuberkulosis) kultur sputum untuk bakteri
tahan asam dan jamur. Jika tidak
ditemukan, maka dengan
bronchoalveolar washing
Defisiensi imun (hipo Hitung darah lengkap dengan
gammaglobulinemia, HIV diferensial; imunoglobulin
infeksi, bronkiolitis pengukuran; tes HIV
obliterans setelah paru-paru
transplantasi)
Penyebab genetik (fibrosis Pengukuran klorida kadar
kistik, sindrom Kartagener, keringat (untuk kistik fibrosis),
α1 defisiensi antitripsin) α1 tingkat antitripsin; saluran
hidung atau pernapasan sikat/
biopsi (untuk diskinetik/ sindrom
silia imotil); pengujian genetik
Penyebab autoimun atau Pemeriksaan klinis dengan
rheu matologic (rheu matoid pemeriksaan sendi hati-hati,
arthritis, Sjögren’s pengujian serologis (contohnya
sindrom, peradangan faktor rheumatoid). Pertibangkan
penyakit usus); penyakit pemeriksaan untuk alergi
yang dimediasi imun (alergi Aspergilosis bronkopulmoner,
bronkopulmoner terutama di pasien dengan

8
aspergilosis) refrakter asma.
Aspirasi rekuren Tes fungsi menelan
dan neuromuskuler umum
kekuatan
Lain-lain (kuku kuning Berdasarkan kondisi klinis
sindrom, traksi bron
chiectasis dari fibrosis
postradiasi atau idiopatik
fibrosis paru)
Idiopatik Ekslusi dari penyebab lainnya

II.5 Patofisiologi
Patofisiologi pada kebanyakan bronkiektasis dapat terjadi oleh dua mekanisme
yaitu:
1) Didahului oleh faktor infeksi bakterial pada bronkus atau paru.
Peradangan menyebabkan destruksi otot, jaringan elastik dan tulang rawan
dinding bronkus oleh mukopus yang terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan
dinding bronkus.1 Mukopus mengandung produk-produk neutrofil yang bisa merusak
jaringan paru (protease serin, elastase, kolagenase), oksida nitrit, sitokin inflamasi
(IL8) dan substansi yang menghambat gerakan silia dan mucociliary clearance.
Terjadi mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi mekanik bronkus yang telah lunak
oleh pengaruh proteolitik. Inflammatory insult yang pertama akan diikuti oleh
kolonisasi bakteri yang akan menyebabkan kerusakan bronkus lebih lanjut dan
predisposisi untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran yang tidak terputus.
Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru sekitarnya
menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah sehingga terjadi distorsi.
Distensi juga bisa diperberat oleh atelektasis paru sekitar bronkus yang
menyebabkan bronkus mendapatkan tekanan intratorakal yang lebih besar.14
2) Didahului oleh adanya obstruksi bronkus.
Obstruksi pada bronkus dapat disebabkan oleh tuberculosis kelenjar limfe pada
anak, karsinoma bronkus, korpus alienum dalam bronkus yang mana akan dikuti
terbentuknya bronkietasis. Pada bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi

9
dan destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis. Pada bronkiektasis didapat,
pada keadaan yang amat jarang, dapat terjadi atau timbul sesudah masuknya bahan
kimia korosif (biasanya bahan hidrokarbon) ke dalam saluran napas, dan karena
terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan lambung ke dalam paru.1 Pada
bronkiektasis, keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal
berikut : 1) adanya kerusakan dinding bronkus, 2) adanya kerusakan fungsi bronkus,
dan 3) adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya. Kerusakan
dinding bronkus berupa dilatasi dan distorsi dinding bronkus, kerusakan elemen
elastis, tulang rawan, otot-otot polos, mukosa dan silia, kerusakan tersebut akan
menimbulkan stasis sputum, gangguan ekspektorasi, gangguan refleks batuk dan
sesak napas.1,13

Perubahan morfologi bronkus yang mengalami bronkiektasis antara lain1 :


a. Dinding Bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses
inflamasi yang sifatnya destruktif dan reversibel. Pada pemeriksaan patologi
anatomi sring ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta
terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-
otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis, pembuluh-pembuluh darah dan
tulang rawan bronkus.
b. Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel
menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan terjadi sebukan hebat
sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan
terjadi pengelupasan, ulserasi dan pernanahan.
c. Jaringan Paru Peribronkial
Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara lain
berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura.
Pada keadaan yang berat, jaringan paru distal bronkietasis akan diganti oleh
jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.

10
Gambar 2.3 Perubahan morfologi lapisan dinding bronkus pada bronkiektasis.14

II.6 Diagnosis
Diagnosis bronkiektasis dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien tergantung pada luas dan
beratnya penyakit, lokasi kelainannya, dan ada atau tidak adanya komplikasi
lanjut.
a. Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif
berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronchitis kronik,
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi
hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun tidur. Kalau tidak ada
infeksi sekunder sputumnya purulent, dapat memberikan bau mulut yang
tidak sedap (fetor ex ore). Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman
anaerob, akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk.1,2
b. Hemoptisis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis.
Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai
pembuluh darah (pecah) dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi
bervariasi, mulai yang yang paling ringan (streaks of blood) sampai
perdarahan yang massif yaitu apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat

11
hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis ( daerah
berasal dari peredaran darah sistemik).1,2
c. Demam Berulang
Perjalanan penyakit bronkiektasis bersifat kronik sehingga sering mengalami
infeksi berulang.1
d. Sesak Napas (Dispnea)
Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan sesak napas.
Timbul dan beratnya sesak napas tergantung pada seberapa luasnya
bronchitis kronik yang terjadi serta sebarapa jauh timbulnya kolaps paru dan
destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang (ISPA),
yang biasanya menimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang menimbulkan
sesak napas tadi.1,2
e. Nyeri dada pleuritik
Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada 46% pasien pada
sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder pada batuk kronik,
tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut.2

2. Pemeriksaan Fisik
Kelainan paru yang timbul tergantung pada beratnya serta tempat kelainan
bronkiektasis terjadi, dan kelainannya apakah local atau difus. Pada pemeriksaan
fisis paru kelainannya harus dicari pada tempat-tempat predisposisi. Pada
bronkiektasis biasanya ditemukan ronki basah yang jelas pada lobus bawah paru
yang terkena dan keadaanya menetap dari waktu ke waktu, atau ronki basah ini
hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang
lain. Apabila bagian paru yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat,
dapat menimbulkan kelainan berikut : terjadi retraksi dinding dada dan
berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi penggeseran
mediastinum ke daerah paru yang terkena. Bila terdapat komplikasi pneumonia
akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan pneumonia. Wheezing sering

12
ditemukan apabila terjadi obstruksi bronkus. Pada kasus berat dan lanjut dapat
ditemukan tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun payah jantung kanan.1,2
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi rutin
Kelainan laboratorium pada pasien ini umumnya tidak khas. Pada
keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat ditemukan
polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran darahnya normal.
Sering-sering ditemukan anemia, yang menunjukkan adanya infeksi kronik
atau ditemukannya leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi supuratif.1
b. Foto Polos Thoraks
Pada foto toraks bronkiektasis dapat terlihat dengan adanya gambaran
tram track, densitas garis paralel, densitas berbentuk ring, dan gambaran
struktur tubuler ; gambaran-gambaran tersebut mencerminkan dinding
bronkial yang mengalami penebalan dan dilatasi abnormal. Semakin difus
gambaran bronkiektasis akan tampak gambaran hiperinflasi dan oligemia
sejalan dengan obstruksi saluran napas kecil yang berat. Foto toraks berperan
dalam kecurigaan awal bronkiektasis, follow up dalam penatalaksanaan
bronkiektasis, dan penanganan pada saat eksaserbasi.15,16
1. Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat
mencapai diameter 1 cm). Dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin
sehingga membentuk gambaran “honey comb appearance” atau
“bounches of grapes”. Bayangan cincin tersebut menunjukkan kelainan
yang terjadi pada bronkus.16

13
Gambar 2.4. Tampak Ring Shadow pada bagian bawah paru yang menandakan
adanya dilatasi bronkus.16

2. Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru. Bayangan ini
terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang dipisahkan
oleh daerah berwarna hitam. Gambaran seperti ini sebenarnya normal
ditemukan pada daerah parahilus. Tramline shadow yang sebenarnya
terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah parahilus.15,16

Gambar 2.5. Tramline shadow terlihat diantara bayangan jantung.16

14
c. CT-Scan Thoraks
Pemeriksaan CT-scan toraks juga berguna untuk diagnosis dan
mengelola komplikasi. Diagnosis banding bronkiektasis secara las dapat
diketahui dengan mempertimbangkan lokasi anatomis dan distribusi patologi
berdasarkan pemeriksaan HRCT. Pedoman terkini dari BTS (British Thoracic
Society) merekomendasikan HRCT sebagai standar pemeriksaan untuk
diagnosis dan sat eksaserbasi, namun tidak untuk pemeriksaan follow up
rutin.17
Kurangnya bronchial tapering atau tram like appearance adalah
gambaran bronkiektasis yang sering dijumpai pada lapangan tengah paru.
Tanda-tanda lain yang ditemukan pada bronkiektasi termasuk penebalan
dinding bronkial, impaksi mukoid, dan air trapping. Minor volume loss dapat
terlihat pada fase awal bronkiektasis, sedang area kolaps yang lebih berat
sebagai akibat dari mucous plugging pada penyakit yang lebih lanjut. Bercak
konsolidasi kadang ditemukan pada infeksi sekunder. Penebalan dining
bronkus dapat disebabkan oleh inflamasi saluran napas, hipertrofi otot polos,
dan proliferasi fibroblastik. Penebalan bronkus minor juga dapat ditemui
pada individu normal, asma, perokok, dan infeksi saluran napas bawah.17

Gambar 2.6 Tampak bronkiektasis dengan penebalan dan dilatasi dinding bronkus
(tanda panah merah) dan Mucous plugging (tanda panah hitam) di lobus medius paru
kanan.17

15
II.7 Klasifikasi
Berdasarkan tingkatan penyakit :
Tingkatan penyakit bervariasi dari ringan sampai berat. Brewis membagi
tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi 3 derajat, yaitu:
 Bronkiektasis ringan
Ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi sesudah demam
(ada infeksi sekunder), produksi sputum terjadi dengan perubahan posisi tubuh,
biasanya terdapat hemoptisis sangat ringan, pasien tampak sehat, fungsi paru normal
dan foto dada normal.1
 Bronkiektasis sedang
Ciri klinis: batuk-batuk produktif terjadi setiap saat, sputum timbul setiap saat
(umumnya hijau dan jarang mukoid, serta bau mulut busuk), sering ada hemoptisis.
Pada pemeriksaan fisik paru sering ditemukan ronki basah kasar pada daerah paru
yang terkena, gambaran foto dada boleh dikatakan masih normal.1
 Bronkiektasis berat
Ciri klinis: batuk-batuk produktif dengan sputum banyak berwarna kotor dan
berbau. Sering ditemukan adanya pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura.
Sering ditemukan jari tabuh. Bila ada obstruksi saluran napas akan dapat ditemukan
adanya dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru. Umumnya pasien mempunyai
keadaan umum kurang baik. Sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit, infeksi
mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul pneumonia, septikemia, abses metastasis,
kadang-kadang terjadi amiloidosis. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ronki
basah kasar pada daerah terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan : 1).
Penambahan bronkovaskular marking, 2). Multiple cysts containing fluid levels
(honey comb appearance).1

II.8 Diagnosis Banding


 Bronkitis kronik
 Tuberkulosis paru (penyakit ini dapatr disertai kelainan anatomis paru berupa
bronkiektasis)

16
 Abses paru (terutama bila telah ada hubungannya dengan bronkus besar)
 Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya : karsinoma paru, adenoma paru
dan sebagainya
 Fistula bronkopleural dengan empyema.1

II.9 Tatalaksana
1. Pengobatan Konservatif
Pengelolaan umum
Pengelolaan ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi:
a. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien seperti membuat
ruangan hangat dan tidak kering, mencegah atau menghentikan paparan asap
rokok, serta menghindari debu dan asap
b. Memperbaiki drainase sekret bronkus
Cara yang baik dikerjakan sebagai berikut :
 Melakukan drainase postural secara terus-menerus untuk mengurangi
gejala yaitu selama 10-20 menit, 2-4 kali sehari.
 Mencairkan sputum yang kental dengan cara inhalasi uap air panas,
menggunakan obat mukolitik, dan perbaikan hidrasi tubuh
 Mengatur posisi tempat tidur pasien.
 Mengontrol infeksi saluran napas dengan mengonsumsi antibiotik yang
sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan.1,2

Pengelolaan khusus
a. Kemoterapi
Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan:1). Secara kontinyu untuk
mengontrol infeksi bronkus (ISPA), 2). Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi
akut pada bronkus/paru, atau 3). Keduanya. Kemoterapi disini mengunakan obat
antibiotik tertentu. Pemilihan antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya
berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik. Antibiotik hanya
diberikan kalau diperlukan saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut.
Antibiotik diberikan selama 7-10 hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa

17
antibiotik, samapai kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi
warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (putih jernih).
Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang berpendapat bahwa kemoterapi
dengan antibiotik ini apabila berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah
sputum dan gejala lainnya terutama pada saat ada eksaserbasi akut, tetapi keadaan
ini hanya bersifat sementara.1,2
b. Drainase sekret dengan bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan pasien.
Keperluannya antara lain adalah untuk 1). Menentukan darimana asal sekret, 2).
Mengidentifikasi lokali stenosis atau obstruksi bronkus, dan 3). Menghilangkan
obstruksi bronkus dengan sustion drainage daerah obstruksi tadi (misalnya pada
pengobatan atelektasis paru).1

Pengobatan simtomatik
Pengobatan ini hanya diberikan jika timbul gejala yang mungkin menganggu
atau membahayakan pasien.
1. Pengobatan obstruksi bronkus
Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji faal
paru (% VEP1 < 70%) dapat diberikan obat bronkodilator. Sebaiknya sewaktu
dilakukan uji faal paru dan diketahui adanya tanda obstruksi saluran napas sekaligus
dilakukan tes terhadap obat bronkodilator. Apabila hasil tes bronkodilator positif,
pasien perlu diberikan obat bronkodilator tersebut.1,2
2. Pengobatan hipoksia
Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu terjadinya
eksaserbasi akut) perlu diberikan oksigen. Apabila pada pasien telah terdapat
komplikasi bronkitis kronik, pemberian oksigen harus hati-hati, harus dengan aliran
rendah (cukup 1 liter/menit).1,2

3. Pengobatan hemoptisis

18
Hemoptisis yang mengancam kehidupan (lebih dari 600 ml darah per hari)
dapat terjadi pada pasien dengan bronkiektasis. Apabila perdarahan cukup banyak
(masif), mungkin merupakan perdarahan arterial yang memerlukan tidakan operatif
segera untuk menghentikan perdarahannya, dan sementara harus diberikan transfusi
darah untuk menggantikan darah yang hilang.1,2
4. Pengobatan demam
Pada psein dengan eksaserbasi akut sering terdapat demam, terlebih jika
terjadi septikemia. Pada keadaan ini selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai,
dosis cukup, perlu ditambahkan abat antipiretik lainnya.1

Pembedahan
Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tetapi tidak
menghilang. Tujuan dari operasi pengangkatan tumor termasuk menghilangkan tumor
obstruktif atau residu dari benda asing, pengangkatan segmen atau lobus yang paling
rusak dan diduga berkontribusi terhadap eksaserbasi akut, sekret yang sangat kental,
impaksi lendir. Pengambilan daerah yang memiliki perdarahan abnormal yang tidak
terkontrol, dan pengambilan dari paru rusak yang dicurigai menyembunyikan
organisme seperti M. MDR-TB atau avium M. complex. Tiga pusat bedah telah
menggambarkan pengalaman mereka dengan operasi tersebut selama dekade terakhir,
dengan rata-rata tindak lanjut empat sampai enam tahun. Mereka telah mencatat
perbaikan dalam gejala di lebih dari 90 % pasien, dengan mortalitas perioperatif
kurang dari 3 %.3
Indikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel
yang tidak berespon terhadap tindakan konservatif yang adekuat, dan pasien
bronkiektasis yang terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis
masif. Kontraindikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis dengan PPOK, pasien
bronkiektasis berat dan pasien dengan komplikasi korpulmonum kronik
dekompensata.1,2

19
II.10 Prognosis
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada etiologi, frekuensi
eksaserbasi, berat ringannya penyakit, serta luasnya penyakit saat pasien berobat
pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif ataupun pembedahan)
dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus yang berat dan tidak diobati,
prognosisnya buruk, survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien
tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan, hemoptisis dan
lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronkitis kronik berat dan difus
biasanya disabilitasnya ringan.1,13

20
BAB III
KESIMPULAN

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi


bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik. Saat ini, bronkiektasis
adalah salah satu dari tiga penyakit radang saluran napas kronis yang paling umum
bersama dengan PPOK dan asma. Prevalensi tertinggi banyak ditemukan pada jenis
perempuan dibandingkan laki-laki, resiko meningkat pada orang-orang berusia >40
tahun. Penyebab pasti penyakit ini sulit ditentukan dan paling banyak bersifat
idiopatik. Manifestasi klinis bronkiektasis antara lain batuk kronis, peningkatan
produksi sputum, sesak napas atau dispnea, dan dapat disertai dengan hemoptisis.
Dari hasil pemeriksaan fisik, dapat ditemukan retraksi dinding dada dan jari tabuh
pada saat inspeksi, serta ditemukan bunyi ronkhi basah dan wheezing saat
pemeriksaan auskultasi. Dari hasil pemeriksaan penunjang dapat ditemukan
leukositosis pada pemeriksaan hematologi, honeycomb appearance pada pemeriksaan
foto polos thoraks, serta dilatasi bronkus dan mucous plugging pada pemeriksaan CT-
Scan thoraks. Penatalaksanaan bronkiektasis meliputi tatalaksana konservatif dan
pengobatan simtomatik. Prognosis pasien bergantung pada kondisi klinis saat pasien
datang berobat pertama kali, namun survival rate menurun pada kasus berat dan tidak
diobati.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmatullah, Pasiyan. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I.
Jakarta: Interna Publishing.
2. O’Regan AW, Berman JS. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease 7 th
Edition. Editor James D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins.
Philadelphia. 2004. hal 255-274.
3. Barker, A. (2002). Bronchiectasis. The New English Journal of Medicine ,
1383-1393.

4. Emmons, Ethan E; Talavera, Francisco; Oulette, Daniel R. 2012.


Bronchiectasis. 2012. (https://emedicine.medscape.com/article/296961-
overview#a1, diakses 9 Mei 2023)

5. Guan, Wei J; Han, Xiao R; Carillo, David d; Garcia, Miguel M. 2019. The
Significant Global Economic Burden of Bronchiectasis: a Pending Matter.
European Respiratory Journal, 53 (2) 1802392; DOI:
10.1183/13993003.02392-2018
6. Firdausi, Nurul Layl; Artanti, Kurnia D; Li, Chung Y. 2021. Analysis of Risk
Factors Affecting the Occurrence of Chronic Obstructive Pulmonary Disease
in Indonesia. Periodic Epidemiology Journal, 9(1) 18-25; DOI:
10.20473/jbe.v9i12021.18–25
7. Patwa, A., & Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory system
relevant to anaesthesia. Indian journal of anaesthesia, 59(9), 533–541.
https://doi.org/10.4103/0019-5049.165849
8. Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor
Hartanto Huriawati, dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-740
9. Fahy, J.V. and Dickey, B.F. (2010) Airway Mucus Function and Dysfunction.
The New England Journal of Medicine, 363, 2233-2247.

22
http://dx.doi.org/10.1056/NEJMc1014719
10. Netter, Frank. 2016. Atlas Anatomi Manusia Edisi 6. Philadelphia: Saunders
Elsevier
11. Maitra, A., & Kumar, V. (2007). Paru dan Saluran Napas Atas. In V. Kumar,
R. Cotran, & S. Robbins, Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
12. Rademacher, J., & Welte, T. (2011). Bronchiectasis-Diagnosis and
Treatment. Deutsches Ärzteblatt International.
13. Baron, Rebecca M; Barshak, Miriam B. 2015. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 19th Edition: Bronchiectasis. United States: McGraw Hill
Education
14. Daviskas, E. (2010). Pathogenesis and Diagnosis of Bronchiectasis.
Melbourne: Dept of Respiratory and Sleep Medicine, Monash Medical Centre.
15. Luce C, Alexander AB, Ronald LE. 2009. Bronchiectasis. AJR, 193(1) 158-
71
16. Eng P, Cheah FK. 2005. Interpreting Chest X rays. New York: Cambridge
University Press.

23

Anda mungkin juga menyukai