Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN PPOK

DISUSUN OLEH :

1. DITA APRIYANI : 20200011


2. WIDIA PUTRI : 20200001

DOSEN PENGAMPU:

Ns.Yasherly Bachri,S.KEP.,M.KEP

PRODI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat alloh SWT, karena atas berkat rahmat dan limpahan karunia
Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul GANGGUAN SISTEM
PERNAPASAN PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS).
Makalah ini disusun untuk membantu mengembangkan kemampuan pemahaman
pembaca terhadap GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN PPOK dengan upaya kesehatan,
pemahaman tersebut dapat dipahami melalui pendahuluan, pembahasan makalah, serta
penariakan kesimpulan dalam makalah ini.
Makalah gangguan sistem pernapasan ppok dengan upaya kesehatan disajikan dalam
konsep dan bahasa yang sederhana sehingga dapat membantu pembaca dalam memahami
makalah ini. Dengan makalah ini, di harapkan pembaca dapat memahami mengenai hak dan
kewajiban sebagai anggota warga Negara.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran dan kritik sangat saya
harapkan dari seluruh pihak dalam proses membangun mutu makalah ini.

Bukittinggi , 26 oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
BAB II ANATOMI FISIOLOGI...........................................................................................................5
1. Anatomi Fisiologi Paru-paru......................................................................................................5
2. Letak paru-paru..........................................................................................................................5
3. Pembuluh darah pada paru.........................................................................................................6
4. Kapasitas paru-paru...................................................................................................................6
BAB IV TINJAUAN TEORI................................................................................................................8
A. DEFINISI..................................................................................................................................8
B. KLASIFIKASI...........................................................................................................................8
BAB V ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PPOK.......................................................................18
A. PENGKAJIAN........................................................................................................................18
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN.............................................................................................18
C. INTERVENSI KEPERAWATAN...........................................................................................19
BAB VI WOC.....................................................................................................................................24
BAB VII PENUTUP...........................................................................................................................25
A. Kesimpulan..............................................................................................................................25
B. Saran........................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................26
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif,
artinya penyakitini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari
tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai
faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang
menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi
lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca.
Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen yang
memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain diluar
paru seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut
membuat perburukan makin lebih cepat terjadi. Untuk melakukan penatalaksanaan PPOK
perlu diperhatikan faktor-faktor tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara
paru-paru.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan
fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya
penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa observasi
beberapa waktu.
BAB II

ANATOMI FISIOLOGI

1. Anatomi Fisiologi Paru-paru


Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung
(gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan
endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah
terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah.
Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan
kanan).
Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :
a. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra superior, Lobus
media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus.
b. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap
lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus
superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen
yaitu;5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis,
dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi
menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.
Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi pembuluh-
pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah
bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-
cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang
diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.

2. Letak paru-paru.
Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum.
Pada bagian tengah iiu tcrdapal lampuk paiu-paru alau hilus Pada mediastinum depan
terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi
menjadi 2 (dua):
a. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus
paru-paru.
b. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan
normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang
kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki
permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana
sewaktu bernapas bergerak.

3. Pembuluh darah pada paru


Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal
ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang
ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi
ventrikel kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke
paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah "kaya oksigen" (oxyge-
nated) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif kekurangan oksigen.
Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis
membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-
cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu
membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding
alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding kapiler.
Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis dan
sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung
kiri (darah mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh
vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian paru-
paru mempunyai persediaan darah ganda.

4. Kapasitas paru-paru
Merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara didalamnya. Kapasitas
paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi
sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat tergantung pada beberapa hal:
Kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang,
b. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksima.l
Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter
c. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita
bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter)
d. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 - 18 x/menit, Anak-
anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan
tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah
cepat dan sebaliknya.
Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk menghembuskan napas
dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar biasa, akibat dari salah satu rangsangan baik yang
berasal dari luar bahan-bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan.
Bersin. Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir hidung, dalam
hal ini udara keluar dari hidung dan mulut.
BAB IV

TINJAUN TEORI

A. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah :
Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595).
Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk didalam COPD adalah emfisema paru-
paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain dari copd adalah "Chronic obstructive airway
disease " dan "Chronic Obstructive Lung Diseases (COLD)".

B. KLASIFIKASI
Dalam Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah
sebagai berikut:
1. Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling
sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
a. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :
1) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
2)  Alergi
3) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll.
Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai
beberapa alat tubuh, yaitu :
1) Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun
pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah
terjadi.
2) Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat
menyerang dinding bronchus.
3) Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi
dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lender bronchus
sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri.
a. Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali
sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas,
biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan
mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama
beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut.
Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun
non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon
inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan
bronchospasme.
Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami :
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana
akan meningkatkan produksi mucus
2) Mukus lebih kental
3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus.
Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan dan
meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,
kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus
akan meningkat.
4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan
normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi
hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas,
terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap
pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi
alveolar, hypoxia dan asidosis.
6) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan: ratio ventilasi perfusi abnormal
timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga
meningkatkan nilai PaCO2.
7) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi
polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi
sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.
8) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV
dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang
akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF.
1. Emfisema paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan
anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara
bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai
dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara
(alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak
termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai "overinflation".
a. Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu:
Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan
alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat
hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil
menjadi kollaps atau menyempit.
1) Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.
Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali
kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.
2) Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk
membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada
pemeriksaan X ray.
3) Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak
akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas

b. Tipe Emfisema
Terdapat tiga tipe dari emfisema :
1) Emfisema Centriolobular. Merupakan tipe yang sering muncul,
menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada region paru atas.
Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar
tetap bersisa.
2) Emfisema Panlobular (Panacinar). Merusak ruang udara pada seluruh
asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama
disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.
3) Emfisema Paraseptal. Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang
mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal
emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar
timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.
Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner,
seringkali Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.
c. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding
alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara
alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil.
Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang
alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini
akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada "dead space" atau area yang
tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan
terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen
dan karbon dioksida.
Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi
penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat
emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal
kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan
merokok.

2. Asma
a. Definisi
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea
dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Bruner &
Suddarth, 2002)
b. Patofisiologis
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel
mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen
dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator)
seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi
yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan
membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non
alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi,
latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas
diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis.
Selain itu, reseptor a- dan b-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor a adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi;
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor b-adrenergik yang dirangsang.
Keseimbangan antara reseptor a- dan b-adrenergik dikendalikan terutama oleh
siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor –alfa mengakibatkan
penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta-
mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator
kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa
penyekatan b-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik
rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot
polos.
3. Bronkiektasis
a. Defenisi
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus;
aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas;
dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran
nodus limfe. (Bruner & Suddarth).
b. Patofisiologi
Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat
menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat
batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus
bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru,
yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya
setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih
sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya
menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis).
Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru
yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan
penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume
residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang
diinspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.
c. Manifestasi Klinis
1) Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat
banyak
2) Jari tabuh, karena insufisiensi pernapasan
3) Riwayat batuk berkepanjangan dengan sputum yang secara konsisten
negatif terhadap tuberkel basil.
A. ETIOLOGI
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-
faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi peru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling
memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
B. PATOFISIOLOGI
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia
yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit
bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah
oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi
oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya
fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti
fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi
bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis.
Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis),
yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah
masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam
alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping).
Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala
akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan
ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru:
ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan
(Brannon, et al, 1993).
C. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
1. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).
2. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:


1. Kelemahan badan
2. Batuk
3. Sesak napas
4. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
5. Mengi atau wheeze
6. Ekspirasi yang memanjang
7. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
8. Penggunaan otot bantu pernapasan
9. Suara napas melemah
10. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
11. Edema kaki, asites dan jari tabuh
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologist
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut
adalah bayangan bronkus yang menebal.
2) Corak paru yang bertambah
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan
bula.
2) Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink
puffer.
3) Corakan paru yang bertambah
2. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR
yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat
penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal)
atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR,
sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada
stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran
napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena
permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis.
Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga
menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia
menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah
satu penyebab payah jantung kanan.
4. Pemeriksaaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1
dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium darah lengkap
E. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase
akut, tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi
lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai
dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau
pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
kontroversial.
5. Pengobatan simtomatik
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan
dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
BAB V

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PPOK

A. PENGKAJIAN
Pengkajian mencakup pengumpulan informasi tentang gejala-gejala terakhir
juga manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang
bisa digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang jelas
dari proses penyakit :
1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan ?
2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea? Jenis aktivitas apa?
3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
4. Kapan selama siang hari pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
6. Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan kondisinya?
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan; pertanyaan yang
patut dipertimbangkan untuk mendapatkan data lebih lanjut termasuk :
1. Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
2. Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya?
3. Apakah pasien mengkonstriksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
4. Apakah pasien menggunakan otot-otot aksesori pernapasan selama
pernapasan?
5. Apakah tampak sianosis?
6. Apakah vena leher pasien tampak membesar?
7. Apakah pasien mengalami edema perifer?
8. Apakah pasien batuk?
9. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
10. Bagaimana status sensorium pasien?
11. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi
perfusi
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan
posisi.
7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman
terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi,
ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak
mengetahui sumber informasi.
Masalah kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk:
1. Gagal/insufisiensi pernapasan
2. Hipoksemia
3. Atelektasis
4. Pneumonia
5. Pneumotoraks
6. Hipertensi paru
7. Gagal jantung kanan

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
a. Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien
b. Intervensi keperawatan:
1) Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
2) Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan
diafragmatik dan batuk.
3) Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau
IPPB
4) Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan
malam hari sesuai yang diharuskan.
5) Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol,
suhu yang ekstrim, dan asap.
6) Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada
dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum,
kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada,
keletihan.
7) Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
8) Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap
influenzae dan streptococcus pneumoniae.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
a. Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien
b. Intervensi:
1) Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir
dirapatkan.
2) Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode
istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya
berdasarkan tingkat toleransi pasien.
3) Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika
diharuskan.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi
perfusi
a. Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas
b. Intervensi keperawatan:
1) Deteksi bronkospasme saat auskultasi .
2) Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
3) Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat
dan waspada kemungkinan efek sampingnya.
4) Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu
mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
5) Pantau pemberian oksigen.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
a. Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari
aktivitas yang mungkin.
b. Intervensi keperawatan:
1) Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.
2) Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3
menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
3) Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan
treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti
berjalan perlahan.
4) Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan
berdasarkan pada status fungsi dasar.
5) Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program
latihan spesifik terhadap kemampuan pasien.
6) Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama
menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.
7) Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring
lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
8) Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien
melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan
istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
9) Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu
diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.
5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual
muntah.
a. Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
b. Intervensi keperawatan:
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan
makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2) Auskultasi bunyi usus
3) Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
4) Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
5) Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
6) Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
7) Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan
posisi.
a. Tujuan: Kebutuhan tidur terpenuh.
b. Intervensi keperawatan:
1) Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.
2) Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga
untuk melakukan tindakan tersebut.
3) Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
4) Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
5) Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.
7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
a. Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri
b. Intervensi:
1) Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas
seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.
2) Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak
dekat, istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan
dispnea berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi.
3) Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.
8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman
terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
a. Tujuan: Klien tidak terjadi kecemasan
b. Intervensi keperawatan:
1) Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada
perawat.
2) Jangan tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.
3) Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat
mengalami sesak.
9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi,
ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
a. Tujuan: Pencapaian tingkat koping yang optimal.
b. Intervensi keperawatan:
1) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat
yang ditujukan pada pasien.
2) Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala
3) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi
pasien.
4) Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.
5) Tingkatkan harga diri klien.
6) Rencanakan terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang
sangat menumpuk.
10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak
mengetahui sumber informasi.
a. Tujuan: Klien meningkat pengetahuannya.
b. Intervensi keperawatan:
1) Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka
pendek; ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya.
2) Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi
tentang sumber-sumber kelompok.
BAB VI

WOC
BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi, setelah melakukan diskusi dan mencari buku sumber literatur yang
dapatdipercaya, bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu
kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-
paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595).
Penyakit Paru Obstruktif kronik merupakan penyakit yang menyerang sistem
respirasi dengan gangguan emfisema, asma, atau bisa ke duanya. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan seseorang itu menderita penyakit
paru obstruktif kronik seperti usia, jenis kelamin, gen atau keturunan, gangguan
sistem pernafasan lain, merokok, dan lingkungan.
Peran kita sebagai perawat tentunya sesuai dengan gejala dan diagnosa pada
pasien, seperti memberikan terapi oksigen pada tidak efektifnya jalan nafas,
memberikan obat penenang dan penghindar rasa nyeri serta kolaborasi dengan
tenaga medis lainnya.

B. Saran
Berusaha dan selalu bekerja sama akan membawa kita menuju keberhasilan
dalam menyelesaikan masalah dan mengerjakan tugasserta melakukan tugas
dengan penuh tanggung jawab akan membuat kita semakin menjadi dewasa dan
mandiri.
DAFTAR PUSTAKA

Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.
Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta: Balai
penerbit FKUI
Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3,
Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin
Asih, edisi 6, Jakarta: EGC
G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.
Gofton, Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page :
346-379.
Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging,
second edition, Churchil Livingstone, page :122.
Harrison : Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page : 1491-1493.
Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta8.20003,
hal :1347-1353.

Anda mungkin juga menyukai