Anda di halaman 1dari 27

REFERAT FAAL PARU

PATOFISIOLOGI PERNAPASAN

Disusun oleh:
dr. Yuris Hikman Karunia
2007601040004

Pembimbing:
Dr.Nurrahmah Yusuf,Sp.P(K)

PESERTA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 PULMONOLOGI


DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH 2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

Abstrak…………………………………………………………………………….1

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3

2.1. Anatomi Sistem Pernapasan..........................................................................3


2.2. Histologi Sistem Pernapasan.........................................................................4
2.3. Fisiologi Sistem Pernapasan..........................................................................5
2.4. Patofisiologi Pernapasan................................................................................7
2.4.1. Asma Bronkial........................................................................................7
2.3.3. PPOK....................................................................................................10
2.3.4. Gagal Jantung.......................................................................................12
2.3.5. Gagal Ginjal..........................................................................................13
2.3.6. Ketoasidosi Diabetikum.......................................................................15
2.3.7. Tuberkulosis Paru.................................................................................18
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24

2
ABSTRAK

Sistem pernapasan merupakan hal penting pada manusia.Paru-paru merupakan bagian dari
sistem pernapasan.Fungsi utama paru-paru sebagai tempat pertukaran oksigen dalam
darah.Oleh sebab itu, tidak terlepas adanya gangguan pada organ ini. Dalam perjalanannya,
terdapat berbagai keadaan yang menyebabkan gangguan pada proses pernapasan normal.
Gangguan yang terjadi dapat diklasifikasikan menjadi gangguan obstruksi, restriksi dan
campuran ada beberapa keadaan yang menyebabkan gangguan pernapasan seperti Asma
bronkial,ppok,tbc,gagal jantung gagal ginjal dan ketoasidosis diabetik

ABSTRAK

The respiratory system is important in humans. The lungs are part of the respiratory
system. The main function of the lungs is as a place for the exchange of oxygen in the
blood. Therefore, there is a disturbance in this organ. Along the way, there are various
conditions that cause disturbances in the normal breathing process. Disorders that occur
can be classified into obstruction, restriction and mixed disorders, there are several
conditions that cause respiratory disorders such as bronchial asthma, COPD, tuberculosis,
heart failure, kidney failure and diabetic ketoacidosis.

3
BAB I
PENDAHULUAN

Pernapasan merupakan mekanisme yang bertujuan menyediakan oksigen untuk


jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida sebagai produk sisa keluar dari tubuh.
Rangkaian peristiwa dalam pernapasan dimulai dari ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
merupakan proses aliran udara masuk (inspirasi) dan keluar antara atmosfer dengan alveoli
pada paru (ekspirasi). Berbagai hal berkontribusi dalam proses pernapasan termasuk
perbedaan tekanan udara atmosfer dan intraparu, perbedaan tekanan parsial pada vaskular,
diameter lumen saluran napas.1–3 Struktur makroskopis (anatomi) dan mikroskopis
(histologi) juga memberikan peran sehingga proses pernapasan dalam berjalan.

Dalam perjalanannya, terdapat berbagai keadaan yang menyebabkan gangguan pada


proses pernapasan normal. Gangguan yang terjadi dapat diklasifikasikan menjadi gangguan
obstruksi, restriksi dan campuran. Obstruksi merupakan gangguan hambatan jalan napas
akibat menyempitnya diameter lumen jalan napas, hal ini terjadi pada penyakit asma dan
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).4–7 Sedangkan gangguan campuran umumnya
terdapat pada penyakit tuberkulosis (TB) paru dan PPOK. Pada gangguan organ lain yaitu
jantung dan ginjal juga dapat mempengaruhi paru-paru melalui proses gangguan asam-basa
dan tekanan hidrostatis.8–11

Pada referat ini memberikan penjelasan mengenai proses patofisiologi pernapasan


pada berbagai penyakit yang terkait. Referat ini bertujuan untuk memberikan pemahanan
lebih lanjut mengenai perubahan fisiologis ditingkat seluler.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Pernapasan


Sistem pernapasan terdiri dari saluran pernapasan dan paru-paru. Saluran pernapasan
itu sendiri terdiri dari saluran nafas atas dan saluran nafas bawah.12,13
a) Saluran nafas atas terdiri atas :
- Vestibulum nasi, merupakan area didalam cavum nasi yang terletak tepat
dibelakang nares.
- Cavum nasi merupakan rongga hidung, terbagi menjadi kiri dan kanan oleh
septum nasi. Cavum nasi mempunyai organ bernama concha nasalis. Bagian
superior dari cavum nasi terdapat nervus olfaktorius sebagai indera penciuman.
- Faring, terdiri atas nasofaring, orofaring dan laringofaring.
- Laring adalah organ yang berperan sebagai sfingter pelindung pada pintu masuk
jalan nafas dan berperan dalam pembentukan suara melalui plica vocalis.
b) Saluran nafas bawah :
- Trakea adalah sebuah tabung cartilaginosa dan membranosa, merupakan terusan
laring setentang vertebrae cervicalis 6 dan berakhir pada carina yang akan
bercabang menjadi bronkus prinsipalis.
- Bronkus prinsipalis merupakan percabangan trakea. Bronkus prinsipalis dekstra
meninggalkan trakea dengan sudut 25o dengan panjang 2,5cm dan sinistra 45o
dengan garis vertikal dengan panjang 5cm.
- Bronkus lobaris
- Bronkus segmentalis
- Bronkus terminalis
- Bronkiolus respiratorius
- Duktus alveolaris
- Saccus alveolaris
- Alveolus

5
c) Anatomi paru-paru
Paru-paru adalah organ pernapasan utama, memiliki struktur menyerupai spon elastis
memiliki luas permukaan bagian dalam yang sangat luas untuk pertukaran gas. Bronkus
segmentalis akan bercabang-cabang menjadi bronkus terminalis di dalam paru-paru, yang
dindingnya semakin menipis. Bronkus terminalis membelah menjadi bronkiolus yang
memiliki diameter kurang dari 1 mm dan tidak memiliki tulang rawan serta berakhir pada
alveolus. Alveolus memiliki bentuk seperti kantung kecil berdinding tipis yang terbuka
pada salah satu sisinya sehingga seperti busa atau mirip sarang lebah. Alveolus diselubungi
oleh banyak kapiler darah sehingga memungkinkan adanya difusi gas pernapasan di
dalamnya.12,13
Paru-paru berada disamping kiri dan kanan rongga mediastinum yang berada tepat
ditengah dada yang berisi jantung dan pembuluh darah besar. Paru-paru memiliki bentuk
kerucut dan diliputi oleh lapisan pleura. Paru kanan memiliki ukuran yang lebih besar
daripada paru kiri dan dibagi oleh fissura oblique dan fissura horizontalis menjadi tiga
lobus; lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Paru kiri dibagi oleh satu fissura
oblique menjadi dua lobus superior dan lobus inferior. Hal tersebut dimungkinkan akibat
jantung sebagian besar berada dibagian kiri sehingga mendesak paru kiri.12,13
Pleura merupakan lapisan tipis yang melindungi dan membantali paru-paru, jaringan
ini memproduksi cairan pleura yang bertindak layaknya sebuah pelumas, memungkinkan
paru-paru bergerak bebas tanpa hambatan dirongga dada saat bernafas. Pleura terbagi atas
2 macam, yaitu pleura parietalis dan visceralis.12,13

2.2 Histologi Sistem Pernapasan


Secara mikroskopis sistem pernapasan dibagi menjadi zona konduksi yang terdiri
atas saluran pernapasan ekstrapulmoner maupun intrapulmoner dan zona respiratori
merupakan tempat terjadinya difusi. Saluran pernapasan ekstrapulmoner meliputi trakea,
bronkus dan bronkiolus besar dilapisi oleh epitel bertingkat semu bersilia dengan
mengandung banyak sel goblet. Zona respiratorik terdiri atas bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris, saccus alveolaris dan alveolus. Di alveolus tidak terdapat sel goblet dan
dilapisi epitel selapis gepeng.14
Bagian konduksi sistem pernapasan terdiri atas rongga hidung, faring, laring, trakea,
bronkus dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Agar tenjamin saluran nafas yang lebih
besar dan selalu terbuka, maka saluran ini ditunjang oleh tulang rawan hialin. Trakea
dilingkari oleh cincin tulang rawan hialin bentuk C. Serat elastis dan otot polos, yang
6
disebut otot trakealis menghubungkan ruang diantara ujung-ujung tulang rawan hialin.
Semakin dalam percabangan bronkus maka cincin tulang rawan hialin berganti menjadi
lempeng tulang rawan hialin. Bronkiolus pada zona konduksi dilapisi epitel bertingkat
semua bersilia dengan sel goblet, seperti pada trakea dan bronkus. Sejalan dengan
berkurangnya ukuran saluran epitel ini memendek menjadi epitel selapis bersilia.
Permukaan epitel pada saluran pernapasan disusun oleh dua sel utama, yaitu epitel bersilia
dan sel sekretorik. Sel sekretorik dibagi menjadi beberapa subtipe seperti clara, goblet dan
sel serous. Selain mensekresikan mukus, sel sekretorik juga mensekresikan berbagai
molekul antimikroba seperti defensin, lisozim dan IgA. Pada saluran nafas besar (diameter
lumen > 2 mm), kelenjar submukosa juga berperan dalam sekresi mukus. Lapisan gel
mukus merupakan lapisan gel yang terdapat pada saluran nafas, terdiri atas sebagian besar
cairan yang memiliki karakteristik padat yang diproduksi sel sekretorik. Lapisan gel mukus
ini bertindak sebagai barier fisik terhadap kebanyakan patogen.14

2.3 Fisiologi Pernapasan


Rangkaian peristiwa dalam pernapasan dimulai dari ventilasi, difusi dan perfusi.
Ventilasi merupakan proses aliran udara masuk (inspirasi) dan keluar antara atmosfer
dengan alveoli pada paru (ekspirasi). Proses ventilasi dapat terjadi oleh karena
pengembangan paru yang dapat dicapai melalui dua cara, yaitu pergerakan ke atas atau ke
bawah diafragma dan pergerakan otot diantara tulang iga. Selama inspirasi terjadi
penurunan diafragma sehingga paru-paru mengembang dan udara masuk ke dalam paru-
paru. Ekspirasi terjadi akibat relaksasi diafragma menyebabkan rekoil paru dan dinding
dada menekan paru-paru sehingga udara keluar dari paru-paru. 1–3 Terdapat tiga tekanan
penting yang berperan dalam proses ventilasi, yaitu:
1. Tekanan atmosfer adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer
pada benda di permukaan bumi. Tekanan ini berkisar 1 atm atau 760 mmHg.
2. Tekanan intra-alveolus adalah tekanan didalam alveolus. Karena alveolus
berhubungan dengan atmosfer melalui saluran nafas maka udara akan mengalir
menuruni gradien tekanan sampai tercapai keadaan seimbang.
3. Tekanan intrapleura adalah tekanan didalam kantung pleura. Tekanan ini lebih
rendah dari tekanan atmosfer yaitu sekitar 756 mmHg.

7
Gambar 2.1 Proses inspirasi dan ekspirasi3
Tekanan intra-alveolus selalu berubah menuju tekanan yang sama dengan tekanan
atmosfer yaitu pada 760 mmHg lebih besar dari pada tekanan intrapleura yang 756 mmHg,
sehingga tekanan yang menekan keluar dinding paru lebih besar daripada tekanan yang
mendorong ke dalam. Perbedaan tekanan antara intraalveolus dengan intrapleura ini
mendorong paru untuk meregang dan paru selalu dipaksa mengembang untuk mengisi
rongga thoraks. Karena udara mengalir mengikuti penurunan gradien tekanan, sesuai
dengan Hukum Boyle yang menyatakan bahwa pada suhu konstan, tekanan yang
ditimbulkan oleh suatu gas berbanding terbalik dengan volume gas. Sewaktu inspirasi oleh
karena kontraksi otot diafragma dan otot interkostal eksterna, rongga dada mengembang
(volume meningkat) maka tekanan intra-alveolus akan menurun 1 mmHg menjadi 759
mmHg yang pada akhirnya udara akan masuk ke paru menuruni gradien tekanan. Ekspirasi
terjadi kebalikannya, tekanan intra-alveolus meningkat 761 mmHg sehingga udara keluar.1
Ekspirasi merupakan suatu proses pasif karena terjadi akibat rekoil elastik paru
ketika otot inspirasi melemas, tanpa kontraksi otot maupun pengeluaran energi. Ekspirasi
dapat menjadi aktif untuk mengosongkan paru secara tuntas dan cepat, misalnya selama
berolahraga. Ekspirasi menjadi aktif apabila otot-otot ekspirasi berkontraksi untuk
mengurangi volume rongga thoraks. Otot ekspirasi terpenting adalah otot dinding abdomen
dan otot ekspirasi lain adalah otot interkostal internal.1–3
Resistensi saluran nafas dapat menentukan kecepatan aliran udara. Resistensi saluran
nafas terutama ditentukan oleh jari-jari saluran nafas penghantar. Saluran nafas memiliki

8
jari-jari yang cukup besar sehingga resistensi pun rendah, hal ini menyebabkan cukup
hanya diciptakan gradient tekanan yang sangat kecil sebesar 1 mmHg untuk mencapai
kecepatan aliran udara masuk dan keluar yang memadai. Keadaan normal ukuran saluran
nafas dapat diubah-ubah oleh sistem saraf otonom untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Sebagai contoh saat stimulasi saraf parasimpatis akan menyebabkan bronkokonstriksi
untuk meningkatkan resistensi dan bronkodilatasi saat distimulasi oleh saraf simpatis.1
Difusi adalah proses antara oksigen dan karbon dioksida antara alveoli paru dengan
darah kapiler. Paru-paru berfungsi sebagai tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Oksigen masuk melalui saluran nafas sampai alveoli. Disinilah terjadi proses pertukaran
gas. Proses utama yang menyebabkan oksigen bisa bertukar dengan karbon dioksida saat
bernafas adalah gradien tekanan parsial, yaitu perbedaan tekanan yang ditimbulkan secara
independen oleh suatu gas dalam campuran gas. Terdapat gradien tekanan parsial antara
udara alveolus dan darah kapiler paru. Sifat suatu gas akan selalu berdifusi menuruni
gradien tekanan parsialnya yang lebih rendah.1–3
Tekanan parsial oksigen (Po2) di alveolus rerata bernilai 100 mmHg. Ventilasi secara
terus menerus mengganti oksigen di alveolus dan mengeluarkan karbon dioksida sehingga
tekanan parsial antara darah kapiler dan alveolus dipertahankan. Darah yang akan bertukar
dengan alveolus baru kembali dari jaringan tubuh relatif kekurangan oksigen dengan Po 2
40 mmHg dan relatif banyak karbon dioksida dengan Pco2 46 mmHg. Karena Po2
dialveolus 100 mmHg lebih tinggi daripada tekanan parsial oksigen darah maka oksigen
akan berdifusi menuruni gradient tekanan parsialnya, sedangkan karbon dioksida darah
yang memiliki Pco2 46 mmHg akan berdifusi dengan karbon dioksida pada alveolus yang
memiliki Pco2 40 mmHg. Setelah terjadi pertukaran gas, darah arteri sistemik akan
memiliki Po2 100 mmHg dan Pco2 40 mmHg.1–3

2.4 Patofisiologi Pernapasan


2.4.1 Asma Bronkial
Terdapat dua fase episode asma yaitu fase awal dan fase akhir. Pada fase awal
diinisiasi oleh antibodi immunoglobulin E (IgE) yang diproduksi oleh sel plasma. Antibodi
tersebut merespon pemicu tertentu (alergen) dan terikat pada sel mast dan basophil. Sel
mast banyak ditemukan baik pada dinding dan lumen saluran napas dan alveolus. Selain
IgE, sel mast juga dapat diaktifkan oleh komplemen C3a, C4a, C5a dan Substansi P. Sel
mast sangat sensitif dan dimediasi oleh peningkatan inositol trifosfat dan ion kalsium
ekstraseluler. Dalam 30 detik setelah aktivasi, akan terjadi degranulasi disertai pelepasan
9
sitokin. Histamine bekerja pada reseptor H1 pada otot polos bronkus sehingga dapat
berkontraksi, sedangkan reseptor H2 menyebabkan produksi mukus. Prostaglandin
merupakan derivate asam arakidonat yang merupakan bronkokonstriktor poten. Sitokin-
sitokin tersebut akan membuat sel otot polos pada jalan napas berkontraksi sehingga jalan
napas menjadi sempit.4,5
Eosinophil banyak ditemukan bersamaan dengan sel mast di submukosa. Produk
utamanya adalah pembentukan leukotriene (LTB4 dan LTC3) melalui jalur lipooksigenase
juga merupakan bronkokonstriktor poten. Sel limfosit T helper 2 (Th2) dan limfosit B juga
memainkan peran dimana produksi interleukin (IL-4, IL-5, IL-13) yang akan
mempertahankan reaksi inflamasi yang terjadi. IL-4 dan IL-5 akan mempertahankan
basophil dan eosinophil, sedangkan IL-13 berkaitan dengan proses remodeling, fibrosis
dan hyperplasia. Dalam beberapa jam kemudian akan memasuki fase akhir, dimana
eosinophil, basophil, neutrofil dan sel T berkumpul pada sistem respirasi yang akan
memicu bronkokonstriksi dan menyebabkan inflamasi.4,5

Gambar 2.2 Patofisiologi asma5

10
Selama induksi serangan asma yang terencana, subjek asma merespon secara berbeda
terhadap peregangan (dengan mengambil inspirasi yang dalam) dibandingkan dengan
subjek non-asma. Pada paru normal inspirasi dalam menyebabkan relaksasi otot polos jalan
napas yang memperbaiki bronkokonstriksi, sedangkan pada subjek asma otot polos jalan
napas gagal merespon atau bahkan berkontraksi, memperburuk bronkokonstriksi. Alasan
kekakuan pasif sel otot polos ini tidak sepenuhnya dipahami tetapi tampaknya melibatkan
perubahan struktural pada sel tempat protein kontraktil berlabuh.5
Penyempitan jalan napas selama fase akhir, atau pada asma berat, disebabkan oleh
inflamasi jalan napas. Banyak sitokin yang dilepaskan selama serangan asma memiliki
efek pada permeabilitas pembuluh darah, menyebabkan edema epitel dan membran basal.
Enzim protease memecah arsitektur epitel normal menghasilkan cacat pada penghalang
epitel, menyebabkan peradangan lebih lanjut dan akhirnya pelepasan epitel dari membran
basal. Akhirnya, hipersekresi mukus dan gangguan pembersihan mukosiliar keduanya
merupakan ciri asma yang dikenali dan ini berkorelasi dengan obstruksi yang terlihat pada
masing-masing pasien. Perubahan ketebalan lapisan saluran napas ini diterjemahkan ke
dalam pengurangan yang signifikan dalam luas penampang saluran napas, dan dengan
demikian peningkatan besar dalam resistensi. Lendir, sel inflamasi dan debris epitel
menyebabkan obstruksi jalan napas kecil, pembatasan aliran senyawa dan mencegah batuk
efektif.5
Aktivasi berulang jalur inflamasi pada asma mengarah pada upaya tubuh untuk
memperbaiki jaringan yang bersangkutan. Di paru-paru, ini menghasilkan perubahan
morfologis pada otot polos jalan napas dan epitel pernapasan. Hipertrofi dan hiperplasia sel
otot polos jalan napas menyebabkan penebalan dinding saluran napas bahkan ketika otot
rileks, dan memperburuk penyempitan saluran napas yang terjadi dengan kontraksi otot
karena tingkat pemendekan otot yang lebih rendah sekarang menyebabkan pengurangan
lumen saluran napas yang lebih besar. Terjadi hiperplasia sel goblet, memperburuk
hipersekresi mukus yang terlihat pada inflamasi saluran napas. Akhirnya, pada pasien
asma, terjadi penebalan lamina retikularis membran basal epitel dan perubahan matriks
ekstraseluler, yang pada akhirnya mengakibatkan deposisi kolagen dan hilangnya fungsi
paru-paru dalam jangka panjang. Sebagian besar perubahan struktural ini dirangsang oleh
sitokin Th2, khususnya IL-13. Signifikansi klinis remodeling saluran napas pada asma
tidak diketahui, tetapi remodeling diyakini bertanggung jawab atas penurunan jangka
panjang fungsi paru yang terlihat pada beberapa pasien asma, dan hiperplasia otot polos
jalan napas yang meluas lebih sering terjadi pada kasus asma yang fatal. Remodeling jalan

11
napas mungkin dimulai sebelum asma menjadi parah dan meskipun mengurangi
peradangan saluran napas dengan steroid dapat menunda remodeling, obat yang berguna
secara klinis untuk membalikkan perubahan struktural masih belum ditemukan.5

2.4.2 PPOK
Tidak seperti asma, dimana obstruksi jalan napas biasanya intermiten, PPOK
ditandai dengan keterbatasan aliran udara kronis progresif bersama dengan eksaserbasi
intermiten, terutama di musim dingin. Eksaserbasi ini bervariasi dari gejala yang sedikit
memburuk hingga kerusakan yang mengancam jiwa, biasanya disebabkan oleh virus. atau
infeksi bakteri, dan berhubungan dengan peningkatan resistensi saluran napas dan
hiperinflasi yang menyebabkan dispnea.5,6
Baik asma maupun PPOK dicirikan secara patologis oleh penyempitan dan
peradangan saluran napas, tetapi penyebab dan perjalanan klinis kedua penyakit tersebut
sangat berbeda. Peningkatan pemahaman tentang patologi PPOK dan asma telah
mengungkap berbagai perbedaan utama antara keduanya. Dipercaya bahwa sekitar 10%
pasien memiliki campuran dari dua proses penyakit, dan ada beberapa bukti terbaru bahwa
pasien yang menderita asma berat di masa kanak-kanak lebih mungkin mengembangkan
PPOK di kemudian hari, menunjukkan etiologi yang umum pada beberapa individu.5

Gambar 2.3 Perbedaan asma dan PPOK5


Mekanisme seluler yang mendasari peradangan saluran napas pada PPOK
berhubungan dengan merokok, dengan aktivasi neutrofil dan makrofag lebih dominan
daripada eosinofil dan sel mast yang terlihat pada asma. Aktivasi neutrofil yang diinduksi

12
infeksi atau merokok menyebabkan pelepasan beberapa enzim protease, termasuk elastase
neutrofil, yang mendegradasi elastin paru yang menyebabkan hilangnya elastisitas jaringan
paru-ciri khas PPOK. Merokok juga menginduksi stres oksidatif di saluran udara, yang
diperburuk pada pasien dengan PPOK oleh spesies oksigen reaktif yang dihasilkan oleh
sel-sel inflamasi yang diaktifkan dan sitokin. Tiga perubahan patofisiologi yang
menyebabkan PPOK: emfisema, hipersekresi mukus pada saluran napas besar, dan
obstruksi jalan napas kecil.5–7
Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran permanen rongga udara distal
bronkiolus terminal disertai dengan kerusakan dinding alveolus. Prosesnya dimulai dengan
pembesaran lubang interalveolar normal, diikuti dengan penghancuran seluruh septum
alveolar dan berpotensi melibatkan kerusakan struktural pada bronkiolus terminal.
Ventilasi dan perfusi akan berkurang pada area emfisema yang akan menyebabkan area
“dead space”. Hilangnya luas permukaan alveolar dengan emfisema mengganggu
kapasitas difusi paru dan mengurangi compliant paru. Pada paru emfisematous terjadi
ventilasi kolateral yang lebih luas. Hal itu mungkin memiliki efek menguntungkan dalam
mencegah paru-paru emfisematous dari kolaps ketika terjadi obstruksi jalan napas, karena
ventilasi dapat berlanjut dari jaringan paru-paru yang berdekatan. Akhirnya, hilangnya
jaringan elastis yang terkandung dalam septa alveolar mengurangi elastisitas jaringan paru
yang berkontribusi pada penutupan saluran udara kecil, terutama selama ekspirasi.5,7
Terdapat proses remodeling yang ekstensif pada PPOK, yaitu hyperplasia epitel dan
deposit kolagen pada tunika adventitia dari dinding jalan napas. Pada beberapa pasien
remodeling ini menjadi penebalan permanen dinding jalan napas sehingga lumen mengecil
dan terjadi obstruksi. Hyperplasia epitel akan memperbanyak jumlah sel goblet sehingga
produksi mukus terlampau banyak. Infeksi saluran napas berulang dan merokok akan
memperparah hal tersebut. Hambatan jalan napas yang diakibatkan kombinasi pengecilan
lumen dan hilangnya kemampuan rekoil paru / compliant paru. Berbeda dengan inspirasi,
ekspirasi merupakan proses yang pasif sehingga hambatan pada saat ekspirasi akan
menuntun pada ekspirasi inkomplit sehingga terdapat udara yang terperangkap
(hiperinflasi paru). Hiperinflasi paru cenderung menentang penutupan jalan napas
ekspirasi, tetapi juga menyebabkan penurunan yang signifikan dalam efisiensi otot-otot
pernapasan. Secara khusus, diafragma menjadi tergeser ke kaudal mengurangi zona aposisi
dan pada PPOK derajat yang parah diafragma mendatar, menyebabkan sebagian besar
aktivitas otot menentang sisi berlawanan dari diafragma atau menarik tulang rusuk bawah

13
ke dalam agak ke luar. Pada waktunya, hiperinflasi paru menjadi permanen dengan
perluasan dinding dada (barrel chest) dan pendataran diafragma yang ireversibel.5,7
2.4.3 Gagal jantung
Pada kebanyakan pasien gagal jantung gejala klinis diakibatkan oleh disfungsi
ventrikel kiri, yaitu ditandai dengan berkurangnya fraksi ejeksi. Fraksi ejeksi merupakan
penanda klinis penting dalam penentuan terapi. Sedangkan, edema paru yang terjadi
bersamaan dengan acute decompensated heart failure terjadi akibat disregulasi
homeostatis cairan paru dan tekanan yang membuat pergerakan cairan menuju alveolus.8
Edema paru yang terjadi pada gagal jantung merupakan bentuk edema non-inflamasi
yang terjadi akibat gangguan gaya Starling. Kondisi normal tekanan pada kapiler paru
adalah 6-13 mmHg, sehingga faktor apapun (termasuk faktor kardiogenik) yang
menyebabkan meningkatnya tekanan tersebut dapat menyebabkan edema paru. Alveolus
secara normal bebas dari cairan karena tekanan negatif pada ruang interstisial
ekstraalveolar, sehingga ketika terdapat peningkatan tekanan akan meningkatkan tekanan
vena pulmoner selanjutnya akan meningkatkan tekanan kapiler pulmoner, hal tersebut akan
membuat cairan mengisi ruang interstisial ekstraalveolar dan pada akhirnya cairan akan
terakumulasi di alveolus.9

2.4.4 Gagal ginjal


Kerusakan pada ginjal dapat mempengaruhi paru-paru melalui mekanisme gangguan
asam-basa dan keseimbangan cairan. Pada keadaan akut maupun kronis, ginjal dapat
berperan sebagai penyebab utama maupun tambahan pada kelainan paru melalui produksi
dan/atau penurunan mediator tertentu. Pada pasien yang sakit parah (critically ill)
gangguan paru berupa acute respiratory distress syndrome (ARDS).10 Interaksi ginjal dan
paru dijelaskan sebagai berikut:
a. Hiperkapnia dan respon ginjal
Paru-paru merupakan asal dari rantai transportasi oksigen, memainkan peran
penting dalam menjaga pengiriman oksigen dan eliminasi karbon dioksida.
Pengaturan keseimbangan asam-basa sistemik adalah proses integratif dan dinamis
yang melibatkan pertukaran gas, faktor eksogen dan metabolisme dalam interaksi
konstan dengan mekanisme pengasaman oleh ginjal. Gangguan gas darah dan
respons pengasaman ginjal adalah interaksi paru-ginjal yang paling jelas secara
fisiologis.10

14
Pada fase awal hiperkapnia, faktor ekstrarenal penting dalam buffer pH,
meskipun ada bukti penyesuaian ginjal bahkan selama fase awal ini. Hal ini berbeda
dengan hiperkapnia kronis dimana ginjal memainkan peran utama dalam
menstabilkan pH dan mekanisme pengasaman ginjal penting untuk perubahan PCO2.
Pada hiperkapnia kronis, peningkatan bikarbonat plasma dapat menyebabkan
peningkatan bertahap PCO2 tanpa penundaan. Hal ini berbeda dengan gagal napas
akut, yang dapat menyebabkan dekompensasi penuh keseimbangan asam-basa.10
b. Gangguan gas darah dan aliran darah ke ginjal
Aliran darah sistemik dikendalikan oleh sistem kardiovaskular, dengan
mekanisme lokal yang mengatur aliran darah regional dan karenanya pengiriman
oksigen ke organ individu. Di ginjal, umpan balik miogenik dan tubuloglomerular
memediasi autoregulasi aliran darah ginjal (RBF). Ginjal memiliki tingkat konsumsi
oksigen yang tinggi per gram jaringan, kedua setelah jantung, membuat ginjal sangat
sensitif terhadap cedera hipoksia. Konsumsi oksigen ginjal tergantung pada interaksi
kompleks faktor, termasuk aktivitas metabolisme (misalnya, peningkatan permintaan
karena mekanisme kompensasi ginjal terhadap hiperkapnia sistemik), yang
mempengaruhi laju filtrasi glomerulus (GFR), keseimbangan glomerulotubular, dan
reabsorpsi natrium. Regulator neurohormonal yang terkenal (angiotensin II, oksida
nitrat, saraf adrenergik) mengatur vasoreaktivitas dan menentukan keseimbangan
antara oksigen dan suplai/permintaan substrat metabolik.10,11
Respon vasodilatasi ginjal tumpul atau tidak ada dapat mempengaruhi
mekanisme kompensasi ginjal dan perjalanan penyakit ginjal. Terlepas dari relevansi
klinisnya, hubungan antara gangguan pertukaran gas dan RBF hanya mendapat
sedikit perhatian. Pasien dengan gangguan pernapasan kronis sering mengalami
retensi cairan dengan edema dan/atau kongesti paru. Mekanisme yang mendasari
retensi cairan belum sepenuhnya dijelaskan, tetapi temuan patofisiologi yang paling
umum adalah penurunan RBF, biasanya disertai dengan penurunan kemampuan
untuk mengekskresikan natrium.10,11
Pada acute kidney injury (AKI) ditingkat seluler, epitel tubulus ginjal memainkan
peran mendasar dalam mengatur proses inflamasi. Selama AKI, mewakili situs utama
cedera dan kematian sel, mengkatalisasi mediator sirkulasi pada peradangan / stres
oksidatif lokal dan sistemik melalui sejumlah mekanisme, termasuk proses epigenetik.
Paru-paru sangat rentan terhadap cedera karena jaringan kapilernya yang luas dan AKI
telah terbukti mempengaruhi fungsi paru-paru (misalnya, peningkatan regulasi produksi
15
sitokin, gangguan metabolisme oksida nitrat, perdagangan leukosit, peningkatan
permeabilitas vaskular, perdarahan paru, dan penurunan ekspresi kanal natrium epitel paru,
natrium-kalium ATPase dan aquaporin 5, yang penting untuk pembersihan cairan di
alveolar). IL-6 mungkin merupakan mediator proinflamasi cedera paru yang paling baik
dijelaskan setelah AKI.10,15

Gambar 2.4 Hubungan AKI dengan paru-paru10


Studi eksperimental menyoroti pelepasan sistemik molekul terkait kerusakan yang
berasal dari sel ginjal nekrotik dan caspase-dependent, tumor nekrosis factor receptor-1
yang dimediasi apoptosis paru dan disfungsi barier mikrovaskuler. Mungkin bukti paling
meyakinkan yang menghubungkan paru-paru dan ginjal adalah bahwa kedua organ
tampaknya memiliki kanal air dan garam yang serupa, dan furosemide dapat mencegah
16
sekresi cairan alveolar aktif dengan menghambat kotransporter natrium-kalium-klorida 1,
hal ini mungkin menjelaskan aksi furosemide yang cepat dan tidak bergantung pada
diuresis pada edema paru.10
Edema paru yang diakibatkan oleh chronic kidney disease terjadi karena
berkurangnya massa ginjal sehingga terjadi hipertrofi struktural dan fungsional nefron.
Proses perubahan ini dimediasi oleh molekul vasoaktif dan faktor pertumbuhan. Kondisi
ini menyebabkan hiperfiltrasi yang diikuti dengan peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Hiperfiltrasi yang terjadi di glomerolus menyebabkan molekul besar
seperti albumin melewati filtrasi hingga kadarnya menurun di pembuluh darah. Penurunan
kadar albumin ini menyebabkan terlepasnya cairan pengikat di pembuluh darah sehingga
terjadi ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler sehingga menimbulkan
edema.11
Peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal juga berkontribusi
terhadap kejadian hiperfiltrasi. Pada akhirnya, hiperfiltrasi menyebabkan lebih banyak area
nefron yang mengalami sklerosis, yang mengakibatkan kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan tekanan osmotik dan tekanan onkotik intravaskular di seluruh tubuh,
termasuk di area vaskular intrapulmonal. Penurunan fungsi paru pada pasien gagal ginjal
dengan edema paru menyebabkan sesak napas yang tidak berkurang dengan istirahat.
Kebutuhan oksigen seluler meningkat sehingga jantung akan meningkatkan curah jantung
yang menyebabkan denyut jantung semakin tinggi.11

2.4.5 Ketoasidosis diabetik


Kehadiran ketoasidosis diabetik (KAD) disertai dengan beberapa gangguan
elektrolit, metabolisme dan asam basa yang mempengaruhi sistem pernapasan. Penurunan
kadar ion, seperti kalium dan fosfat, mempengaruhi otot-otot pernapasan yang
menyebabkan gagal napas akut. Penurunan tekanan osmotik koloid meningkatkan kadar air
pada paru, menyebabkan edema paru nonkardiogenik dan penurunan komplians paru.
Sebagai mekanisme kompensasi, adanya asidosis metabolik akan menyebabkan
hiperventilasi.16
Kalium, magnesium dan fosfor adalah ion intraseluler yang konsentrasi serumnya
menurun sebagai akibat langsung dari hiperglikemia dan ketoasidosis (kalium), atau
sebagai akibat dari koreksi asidosis dengan insulin (magnesium dan fosfor).16,17
A. Pasien yang dirawat karena KAD biasanya memiliki defisit total kalium tubuh rata-rata
300 hingga 600 mEq. Diuresis osmotik dipicu oleh hiperglikemia akibat kekurangan
17
insulin. Dalam upaya untuk mempertahankan osmolalitas, ginjal akan menahan ion
natrium dengan mengorbankan ion kalium. Selanjutnya, bila terjadi asidosis, ion
hidrogen dari nukleus bikarbonat akan diserap kembali dengan pengeluaran kalium.
Ketika kadar kalium turun di bawah 2,5 mg/dL, kelemahan otot menaik yang parah
dapat terjadi. Kelemahan otot dapat mempengaruhi otot-otot pernapasan yang
menyebabkan gagal napas akut, dan kebutuhan ventilasi mekanis.
B. Magnesium mengatur kadar kalsium intraseluler, mempengaruhi tonus otot polos.
Karena perannya dalam mengatur tonus otot polos, defisiensi magnesium telah
dikaitkan dengan hipertensi sistemik, eksitabilitas neuromuskular, bronkokonstriksi,
vasospasme koroner, dan kejang.
C. Asidosis menyebabkan perpindahan kalium ke dalam CES dan hiperglikemia
menyebabkan fosfaturia melalui diuresis osmotik, yang pada akhirnya akan
menyebabkan hipofosfatemia. Namun, pasien KAD akan hadir dengan konsentrasi
fosfor normal karena pergeseran ke dalam CES terkait dengan konsentrasi volume
CES. Kelemahan otot akut yang disebabkan oleh hipofosfatemia pada KAD telah
dikaitkan dengan kegagalan pernapasan hiperkapnia dan ventilasi mekanis yang
berkepanjangan pada pasien yang sakit kritis.
Adanya asidosis metabolik biasanya akan menimbulkan respon pada pola
pernafasan. Pengurangan bikarbonat serum dan pH akan mengakibatkan hiperventilasi dan
pengurangan karbon dioksida (CO2), sebagian mencegah penurunan pH dan konsentrasi
bikarbonat lebih lanjut. Kompensasi respiratorik untuk asidosis metabolik akan
menyebabkan penurunan CO2 arteri sebesar 1,2 mmHg untuk setiap penurunan 1 meq/L
serum bikarbonat. Respon respiratorik biasanya dimulai dalam 30 menit setelah onset
asidosis metabolik dan umumnya selesai dalam 12-24 jam. Namun, jeda kompensasi
respiratorik dapat terjadi ketika asidosis respiratorik berkembang dengan cepat; lebih dari 4
meq/L penurunan bikarbonat dalam waktu kurang dari 6-12 jam.16
Terdapat batas kemampuan paru-paru untuk mengkompensasi asidosis metabolik.
Bahkan dengan konsentrasi bikarbonat serum di bawah 6 meq/L, kadar CO2 tidak dapat
turun lebih rendah dari 8-12 mmHg. Selanjutnya, durasi kompensasi pernapasan dibatasi
oleh kelelahan otot pernapasan. Awalnya, pasien akan mengalami takipnea, yang
meningkatkan laju pernapasan, yang menyebabkan penurunan konsentrasi CO2. Dengan
perkembangan asidosis, pernapasan berkembang menjadi hiperpnea, yang meningkatkan
volume tidal, dan akhirnya, pasien akan mengembangkan pola pernapasan yang dalam,
cepat dan agonal, yang disebut pernapasan Kussmaul's. Setelah pasien dengan KAD

18
mengembangkan respirasi Kussmaul, mereka mencapai titik kelelahan otot pernapasan,
dan ventilasi mekanis harus dipertimbangkan. Selanjutnya, pasien dengan KAD akan
sangat "lapar udara" sebelum intubasi dan berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan
ARDS karena hiperpnea. Ventilasi mekanis pada pasien ini sangat sulit, karena strategi
perlindungan paru, dengan volume tidal yang rendah dan tekanan transpulmonal yang
terkontrol, harus dipertahankan, sambil mencoba meningkatkan ventilasi semenit sampai
asidosis metabolik benar-benar terkoreksi.16
Ada dua jenis edema paru yang telah dijelaskan dapat terjadi pada pasien dengan
KAD: Satu terkait dengan peningkatan tekanan vena paru dan lainnya terkait dengan
peningkatan permeabilitas kapiler paru dijelaskan sebagai berikut16,17
A. Edema paru akibat peningkatan tekanan vena pulmonal
Juga dikenal sebagai edema paru hidrostatik, biasanya ada pada presentasi KAD,
dikoreksi selama pengobatan dan lebih sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal yang
bersamaan. Terjadinya overload sirkulasi dan edema paru dengan peningkatan tekanan
vena pulmonal merupakan akibat dari perpindahan volume cairan yang melimpah ke
kompartemen ekstraseluler. Pergeseran cairan ini terjadi sebagai akibat dari akumulasi zat
terlarut di kompartemen ekstraselular akibat hiperglikemia. Oleh karena itu, koreksi
hiperglikemia akan menggeser cairan kembali ke dalam sel, juga mengoreksi edema paru
hidrostatik. Namun, beberapa pasien mungkin memerlukan hemodialisis dan ventilasi
mekanis.16,17
Kemungkinan berkembangnya edema paru hidrostatik selama episode KAD
ditentukan oleh tingkat keparahan hiperglikemia dan oleh status volume sebelum
terjadinya KAD. Jumlah cairan yang ditransfer dari sel ke ruang ekstraselular berbanding
lurus dengan perubahan konsentrasi glukosa serum. Status volume cairan pasien pada saat
onset hiperglikemia juga merupakan penentu volume yang akan bergeser ke ruang
ekstraseluler. Pasien dengan edema ekstremitas bawah dan/atau edema anasarka telah
terbukti menggeser jumlah cairan yang lebih besar dan memiliki insiden edema paru yang
lebih tinggi, dibandingkan pasien yang euvolemik ketika menjadi hiperglikemik. Meskipun
edema paru hidrostatik telah dijelaskan lebih sering pada pasien dengan penyakit ginjal
lanjut, ada beberapa kasus yang dilaporkan pada pasien dengan DKA yang
mengembangkan edema paru tanpa disfungsi ginjal.16,17
B. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
Juga dikenal sebagai edema paru non-hidrostatik, jenis edema paru ini disebabkan
oleh perubahan pada tingkat histologis epitel alveolar. Pada pasien diabetes, ada penebalan
19
epitel alveolus dan membran basal kapiler paru, yang menguatkan adanya mikroangiopati
paru. ARDS dapat berkembang selama KAD atau selama pengobatannya dan lebih sering
dan parah daripada edema paru hidrostatik. Mekanisme ARDS pada KAD tidak
sepenuhnya dipahami. Penjelasan yang paling diterima adalah aktivasi limfosit dan
pelepasan sitokin, terutama interleukin-1, yang kadar serumnya jauh lebih tinggi selama
pengobatan KAD.16,17

2.4.6 Tuberkulosis paru


Penurunan fungsi paru paska TB dapat melibatkan obstruksi aliran udara dan/atau
defek ventilasi restriktif, serta gangguan pertukaran gas. Gangguan aliran udara dapat
dideteksi dengan spirometri. Gangguan pertukaran gas ditentukan dengan mengukur
kapasitas difusi paru-paru untuk karbon monoksida (DLCO). Obstruksi aliran udara
dikaitkan dengan penurunan kapasitas untuk mengeluarkan udara keluar dari paru-paru dan
mungkin karena penyempitan saluran udara yang disebabkan oleh peradangan. Sebaliknya,
restriksi mungkin terkait dengan berkurangnya kemampuan untuk menghirup sepenuhnya
akibat fibrosis luas dan pengerasan parenkim paru. Manifestasi paru dari pneumonia
dimediasi, sebagian, oleh mekanisme imunitas dan heterogenitas defisit paru pada TB
mungkin terkait dengan variabilitas dalam respon host terhadap MTB.18

Gambar 2.5 Mekanisme dan gambaran radiologis kelainan paru paska TB18
A. Obstruksi jalan napas

20
Gejala yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas termasuk dispnea,
penurunan kapasitas latihan dan bronkitis kronis. Besarnya obstruksi jalan napas
biasanya diukur dengan mengukur volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1).
Penurunan FEV1 mungkin terkait dengan beberapa mekanisme patologis yang
mendasarinya. Kavitas paru dapat melenyapkan atau mendistorsi saluran udara, yang
menyebabkan obstruksi aliran udara. Dalam sebuah studi tentang perubahan serial pada
struktur paru dan fungsi paru, pasien dengan kavitas memiliki FEV1 yang secara
signifikan lebih rendah pada awal dan pada 1 bulan setelah memulai pengobatan TB
dibandingkan dengan pasien tanpa kavitas. Selain itu, penyebaran bronkogenik
merupakan ciri khas TB paru dimana bahan kaseosa yang dilepaskan selama
disintegrasi kavitas melewati dinding bronkus. Selanjutnya, kerusakan komponen
elastis dan otot dari dinding bronkus mengakibatkan bronkiektasis, yang berhubungan
dengan obstruksi aliran udara, terdeteksi lebih sering pada pasien dengan kavitas (64%)
dibandingkan mereka yang tidak (11%).18
Bronkiektasis adalah distorsi permanen saluran udara yang menjadi predisposisi
morbiditas seumur hidup dengan episode berulang produksi sputum purulen,
hemoptisis dan kadang-kadang berkembang menjadi pneumonia. Bronkiektasis sebagai
sekuel dari TB paru telah lama diketahui dan dapat bertahan atau memburuk meskipun
pengobatan TB telah selesai. Namun pemahaman tentang mekanisme yang mendorong
perubahan struktural tersebut dan obstruksi aliran udara terkait setelah TB masih
buruk.18
B. Restriksi paru
Pasien juga menderita rastriksi paru, dimana gejala umumnya meliputi nyeri dada,
batuk, dan sesak napas. Restriksi didefinisikan baik sebagai penurunan FVC dan/atau
peningkatan rasio FEV1/FVC. Meskipun obstruksi aliran udara pada TB telah
mendapat perhatian terbesar, pola campuran obstruksi aliran udara/restriktif adalah
bentuk disfungsi paru yang paling umum. Perubahan struktural paru akibat perbaikan
jaringan paru yang menyimpang (misalnya distorsi bronkovaskular, pita fibrotik, dan
penebalan pleura) dapat menjelaskan hambatan aliran udara pada pasien TB.18
C. Penurunan kapasitas difusi
Terdapat bukti gangguan pertukaran gas pada awal penyakit TB. Penurunan
DLCO mungkin karena pengurangan luas permukaan untuk pertukaran gas setelah
alveolitis atau "pneumonia lipoid", yang terjadi selama kavitasi. Meskipun DLCO
membaik dengan pengobatan, beberapa individu mungkin mengalami gangguan difusi
21
dan ventilasi/perfusi yang tidak sesuai secara permanen, yang mengakibatkan
hipoksemia kronis. Terapi oksigen jangka panjang diketahui dapat meningkatkan hasil
pada pasien PPOK dengan gagal napas hipoksemia kronis yang parah. Saat ini hanya
ada sedikit informasi tentang prevalensi hipoksemia berat pada penderita TB.18

Gambar 2.6 Mediator imun yang terlibat pada remodeling dan penurunan fungsi paru
paska TB18
Sistem imun host merespons mikobakterium (MTB) yang menginfeksi dan memicu
pembentukan granuloma selama infeksi primer. Granuloma adalah struktur yang sangat
terorganisir yang terdiri dari banyak jenis sel imun (misalnya makrofag, neutrofil, sel
Natural Killer dan sel T dan B) yang mengelilingi inti nekrotik kaseosa dari makrofag
alveolar yang terinfeksi MTB. Granuloma secara tradisional dianggap sebagai pelindung
host dengan mengasingkan dan mencegah penyebaran MTB, tetapi penelitian yang
menggunakan hewan model untuk TB telah menunjukkan bahwa granuloma dapat
kondusif untuk proliferasi dan penyebaran MTB. Namun, penelitian pada manusia
menunjukkan bahwa kavitasi berasal dari pneumonia lipid selama pasca TB primer. Lesi
pneumonia lipid ini dapat berkembang menjadi area pneumonia kaseosa sebagai akibat
dari nekrosis kaseosa. Selama nekrosis kaseosa, sel-sel alveolar dihancurkan, bersama

22
dengan struktur di dekatnya seperti pembuluh darah dan bronkus. Namun, serat elastik
dinding dan pembuluh alveolus tampak tetap utuh. Jaringan nekrotik ini mulai melunak
dan pecah-pecah dan akhirnya dikeluarkan melalui batuk (hemoptisis). Ruang berisi gas
yang dikelilingi oleh kapsul kolagen pada gilirannya menggantikan jaringan paru normal
setelah kavitasi.18
Meskipun mekanisme imun yang tepat yang mendasari nekrosis kaseosa tidak
sepenuhnya dipahami, respons imun yang kuat mungkin memainkan peran penting.
Fenomena Koch telah dijelaskan, di mana tikus yang terinfeksi MTB diobati dengan
vaksin bacillus Calmette-Guerin (BCG) rekombinan yang melepaskan sitokin (misalnya
tumour necrosis factor (TNF)-α) yang terbukti mengurangi bakteri load dalam vaksin pra-
infeksi model. Pengobatan pasca infeksi dengan BCG-TNF-α memperburuk patologi paru
tanpa mengurangi beban MTB pada tikus ini. Reaksi ini dapat dijelaskan, sebagian, oleh
respon imun spesifik MTB yang dimediasi sel-T, mengingat bahwa menipisnya sel-T
CD4+ pada tikus yang diimunisasi menghambat reaksi ini. Studi ini juga menyoroti peran
penting TNF-α dalam melanggengkan nekrosis. Selain respons imun yang berlebihan dan
merusak jaringan yang diarahkan pada mikobakteri yang layak dan tidak dapat hidup,
disregulasi metabolisme lipid inang baru-baru ini dihipotesiskan untuk mempengaruhi
nekrosis kaseosa.18
Matrix metalloproteinases (MMPs) adalah keluarga dari 25 protease kuat yang dapat
mendegradasi komponen matriks ekstraseluler dan mungkin merupakan pusat cedera paru
terkait TB. MMPs dapat mempromosikan berbagai tahap remodeling paru-paru selama TB.
Analisis transkriptomik dari biopsi lesi dari pasien TB menunjukkan peningkatan dramatis
jaringan yang merusak jaringan yang mencakup ekspresi gen MMP-1 dan MMP-9. Lebih
lanjut, pasien TB dengan radiografi dada yang menunjukkan keterlibatan paru yang luas
memiliki kadar MMP-1 8,5 kali lipat lebih tinggi dalam bronchoalveolar lavage (BAL)
dibandingkan pasien dengan keterlibatan paru yang lebih sedikit. MMP diatur secara ketat
pada tingkat transkripsi dan pematangan proteolitik serta oleh penghambat jaringan
metalloproteinase (TIMPs). Juga, disregulasi pada MMPs/TIMPs ditunjukkan dalam
plasma dan cairan pernapasan pasien dengan TB aktif. Dengan demikian, ekspresi dan
aktivitas MMP tanpa hambatan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang pada
akhirnya berkontribusi pada penurunan fungsi paru paska TB. Beberapa MMP lain telah
terlibat dalam melanggengkan cedera paru terkait TB. Misalnya, MMP-8 dan MMP-9 yang
diturunkan dari neutrofil dikaitkan dengan penyakit kavitas pada pasien TB. Temuan awal

23
ini sejalan dengan peran destruktif jaringan MMP-8, MMP-3 dan -12 juga dapat
menyebabkan cedera paru-paru selama TB.18
TNF-α adalah pengatur utama respon imun pejamu terhadap TB dengan efek
pleiotropik. Pembersihan patogen intraseluler melalui aktivasi makrofag adalah peran
pelindung inang yang penting dari TNF-α. Sitokin ini juga dapat mempromosikan
apoptosis. Apoptosis adalah mode kematian sel non-inflamasi yang menghilangkan sel
yang terinfeksi; namun, apoptosis yang diinduksi TNF-α tampaknya kurang optimal untuk
kontrol MTB. Selain itu, MTB dapat merangsang ekspresi inhibitor TNF-α, soluble TNF-
receptor II (sTNF-RII), dan menghindari apoptosis. Tingkat TNF-α yang rendah mungkin
bermasalah, karena hal ini telah terbukti menyebabkan aktivasi makrofag yang tidak
efisien dan mengurangi aktivitas mikrobisida. Dengan replikasi MTB tanpa hambatan,
peradangan dan nekrosis yang berlebihan dapat terjadi. Sebaliknya, peningkatan kadar
TNF-α dapat mendorong nekrosis melalui induksi spesies oksigen reaktif (ROS)
mitokondria, meskipun pertumbuhan MTB berkurang. Sifat hiper-inflamasi kematian sel
nekrotik pada akhirnya dapat menyebabkan kavitasi dan kerusakan jaringan paru-paru.
Sebagai catatan, rasio TNF-α yang lebih tinggi terhadap sTNF-RI dan sTNF-RII
berkorelasi dengan ukuran rongga yang lebih besar. Selain itu, TNF-α diperlukan untuk
ekspresi MMP-1 dan MMP-9 oleh jaringan sel epitel monosit-bronkial. Secara bersama-
sama, TNF-α mungkin mempotensiasi kerusakan jaringan dalam berbagai cara selama
TB.18
Selain TNF-α, peningkatan kadar IL-6, IL-8 dan IL-12 di BAL telah berkorelasi
dengan rongga, penebalan dinding bronkus dan pita fibrotik pada pasien TB aktif. Dalam
studi TB paru lainnya, beberapa sitokin dibandingkan antara pasien yang diklasifikasikan
sebagai responden awal atau lambat berdasarkan perbaikan radiografi dada setelah 2 atau 6
bulan pengobatan TB, masing-masing. Responden terlambat memiliki tingkat IL-1β, TNF-
α dan IFN-γ yang lebih tinggi dibandingkan responden awal, yang melibatkan sitokin ini
pada cedera jaringan paru. Khususnya, kadar TNF-α dapat meningkat dengan cepat setelah
pengobatan TB. Mengingat bahwa tingkat sitokin inflamasi sangat dinamis segera setelah
memulai pengobatan TB, remodeling paru mungkin berlangsung selama dan setelah
pengobatan TB selesai.18

24
BAB III
KESIMPULAN

Serangkaian proses yang terjadi pada fisiologi pernapasan dapat terganggu dan
menyebabkan gangguan pernapasan. Penyempitan diameter lumen saluran napas pada
asma dan PPOK serta kerusakan parenkim paru akibat infeksi TB dapat mengganggu
pernapasan. Namun tidak hanya penyakit pada paru-paru yang dapat mempengaruhi
pernapasan, pernapasan juga sangat erat kaitannya dengan sistem kardiovaskular dimana
sistem organ jantung, pembuluh dan ginjal (kardio-renal) memainkan pernanan penting.
Pada gangguan sistem kardio-renal, gangguan keseimbangan asam-basa dan gangguan
tekanan hidrostatis akan menyebabkan edema paru, yaitu terkumpulnya cairan pada
alveolus sehingga mengganggu proses pertukaran udara. Selain itu, gangguan metabolik
(hiperglikemia) juga mempengaruhi pernapasan melalui jalur yang sama sehingga
menimbulkan pola pernapasan Kussmaul.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. The Respiratory System. In: Human Physiology: From Cells to


Systems. 9 th. USA: Cengage Learning; 2016:445.
2. Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. Respiratory Physiology. In:
Ganong’s Review of Medical Physiology. 25th ed. New York: McGraw and Hill
Education; 2016:619-668.
3. Guyton A, Hall JE. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12th ed.
McGraw and Hill; 2014.
4. Sinyor B, Concepcion Perez L. Pathophysiology Of Asthma. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021:1.
ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551579.
5. Lumb AB. Airways Disease. In: Nunn’s Applied Respiratory Physiology. 2nd ed. ;
2017:389-405.
6. Reilly SO. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Am J off Lifestyle Med.
2017;11(4):296-302. doi:10.1177/1559827616656593.
7. Agarwal A, Raja A, Brown B. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021:1.
ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559281.
8. King KC, Goldstein S. Congestive Heart Failure And Pulmonary Edema. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021:1.
ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554557.
9. Iqbal MA, Gupta M. Cardiogenic Pulmonary Edema. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021:1.
ncbi.nih.nlm.gov/books/NBK544260.
10. Husain-syed F, Slutsky AS, Ronco C. Lung – Kidney Cross-Talk in the Critically Ill
Patient. Am J Respir Crit Care Med. 2016;194(4):402-414.
doi:10.1164/rccm.201602-0420CP
11. Widiastuti, Dewi RTK, Murti B, et al. The Correlation between Disease Stage and
Pulmonary Edema Assessed with Chest X-Ray in Chronic Kidney Disease Patients.

26
Imaging Med. 2018;13(1):1-6.
12. Snell RS. Saluran Pernapasan Atas dan Bawah Serta Struktur yang Terkait. In:
Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC; 2012:34-226.
13. Wineski LE. Snell’s Clinical Anatomy by Regions. New York: Wolters Kluwer;
2018.
14. Eroschenko VP. Sistem Pernapasan. In: Atlas Histologi DiFiore Dengan Korelasi
Fungsional. 11th ed. Jakarta: EGC; 2012:345-366.
15. Farha N, Munguti C. A Dramatic Presentation of Pulmonary Edema Due to Renal
Failure. Kansas J Med. 2020;13:56-57.
16. Moraes AG De, Surani S. Effects of diabetic ketoacidosis in the respiratory system.
World J Diabetes. 2019;10(1):16-22. doi:10.4239/wjd.v10.i1.16
17. Konstantinov NK, Rohrscheib M, Agaba EI, Dorin RI, Murata GH, Antonios H.
Respiratory failure in diabetic ketoacidosis. World J Diabetes. 2015;6(8):1009-
1023. doi:10.4239/wjd.v6.i8.1009
18. Ravimohan S, Kornfeld H, Weissman D, Bisson GP. Tuberculosis and lung
damage : from epidemiology to pathophysiology. Eur Respir Rev. 2018;27:1-20.
doi:10.1183/16000617.0077-2017

27

Anda mungkin juga menyukai