Anda di halaman 1dari 35

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

DOSEN PENGAMPU : NS. DIAH TIKA ANGGRAENI, M.KEP


DISUSUN OLEH :

DEWI SAPITRI 2010701033


ANDIRA KURNIA SUHENDI 2010701037
RIMA SITI FADILA 2010701043
BUNGA QOSIMAH RASEL 2010701058
ALYA RACHMAWATI 2010701059
LAILA NURHAFIZAH 2010701072
ALIFFIA NURJANAH 2010701078

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN PROGRAM DIPLOMA
2020/2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada dosen pengampu yaitu Ns. Diah Tika A, M.Kep selaku dosen dari mata kuliah
Keperawatan Anak karena telah membantu kelancaran dalam pembuatan makalah ini.
Penulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak. makalah ini dibuat dengan
judul “Penyakit paru obstruktif kronis”. Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat
memberikan informasi tentang sejarah keperawatan di Indonesia maupun di dunia.
Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Selain itu, penulis
berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan tercapainya tujuan dari
penulisan makalah ini.

Jakarta, 18 September 2020


Kelompok 1
DAFTAR ISI

1. DEFINISI PPOK

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN

3. PREVELENSI PPOK

4. ETIOLOGI PPOK

5. PENYEBAB PPOK

6. FAKTOR RISIKO PPOK

7. PATOFISIOLOGI PPOK

8. TANDA DAN GEJALA PPOK

9. PATOGENESIS DAN PATOLOGIS

10. MANIFESTASI KLINIS

11. KOMPLIKASI PPOK

12. PEMERIKSAAN PENUNJANG

13. PENATALAKSANAAN MEDIS

14. PENANGANAN PPOK

15. PATHWAY PPOK

16. PENCEGAHAN PPOK

17. DERAJAT PPOK

18. TERAPI FARMAKOLOGI


DEFINISI PPOK

Menurut Ikawati, (2016) Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakterisir
dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang biasa bersifat progresif dan terkait dengan adanya
respon inflamasi kronis saluran nafas dan paru – paru terhadap gas atau partikel berbahaya.

Menurut Hurst, (2016) Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan
obstruksi jalan nafas yang membatasi aliran udara, menghambat ventilasi yang terjadi ketika dua penyakit
paru terjadi pada waktu bersamaan: bronchitis kronis dan emfisema. Bronchitis kronis terjadi ketika ketika
bronkus mengalami inflamasi dan iritasi kronis. Pembengkakan dan produksi lendir yang kental
menghasilkan obstruksi jalan nafas besar dan kecil. Emfisema menyebabkan paru kehilangan
elastisitasnya, menjadi kaku dan tidak lentur dengan merangkap udara dan menyebabkan distensi kronis
pada alveoli.

Pola hidup masyarakat yang buruk merupakan penyebab utama penyakit penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) yaitu kebiasaan merokok masyarakat Indonesia. Karena setiap batang rokok mengandung ribuan
bahan kimia yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan maupun kerusakan paru. Kandungan tembakau
pada rokok juga merangsang inflamasi/peradangan, dan juga dapat merangsang produksi sputum sehingga
menyebabkan sumbatan pada saluran nafas (Chang, 2010).

pn
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM
PERNAFASAN
Anatomi sistem pernafasan

a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum
nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi).Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk
menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.

b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan,
terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang
leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung,
dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat
hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan ke
belakang lubang esofagus).

c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara,
terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di
bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya
disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan
makanan menutupi laring.

d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20
cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah
dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah
luar. Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh otot
polos.
e. Bronkus

Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian
vertebra torakalis IV dan V, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama.
Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3
cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2
cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus . Saluran besar yang
mempertahankan struktur serupa dengan yang dari trakea mempunyai diinding fibrosa berotot yang
mengandung bahan tulang rawan dan dilapisi epitelium bersilia. Dari vestibula berjalan beberapa infundibula
dan didalam dindingnya dijumpai kantong-kantong udara itu . Alirannnya bergerak lambat dan dipisahkan
dari udara dalam alveoli hanya oleh dua membran yang sangat tipis, maka pertukaran gas berlangsung
dengan difusi, yang merupakan fungsi pernafasan. Pembuluh darah yang dilukiskan sebagai arteri bronkialis
membawa darah berisi oksigen langsung dari aorta toraksika ke paru-paru guna memberi makan dan
menghantarkan oksigen kedalam jaringan paru-paru sendiri.Cabang akhir arteri-arteri ini membentuk pleksus
kapiler yang tampak jelas dan terpisah dari yang terbentuk oleh cabang akhir arteri pulmonaris, tetapi
beberapa dari kapiler ini akhirnya bersatu dalam vena pulmonaris dan darahnya kemudian dibawa masuk ke
dalam vena pulmonaris. Sisa darah itu dihantarkan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan ada yang
dapat mencapai vena cava superior. Bronkus yang bercabang dan beranting membentuk pohon bronkial,
merupakan jalan utama udara. Arteri bronkialis, keluar dari aorta dan menghantarkan darah arteri ke jaringan
paru-paru. Vena bronkialis, mengembalikan sebagian darah dari paru-paru ke vena kava superior. Pembuluh
limfe, yang masuk keluar paru-paru, sangat banyak. Semua pembuluh limfe yang menjelajahi struktur paru-
paru dapat menyalurkan kedalam kelenjar yang ada ditampuk paru-paru. Pleura viseralis erat melapisi paru-
paru, masuk kedalam fisura, dan dengan demikian memisahkan lobus satu dari yang lain. Pleura yang
melapisi iga-iga ialah pleura kostalis, bagian yang menutupi diafragma adalah pleura diafragmatika, dan
bagian yang terletak dileher ialah pleura servikalis. Pleura ini diperkuat oleh membran yang kuat bernama
membran suprapleuralis dan diatas membran ini terletak arteri subklavia. Diantara kedua lapisan pleura itu
terdapat sedikit eksudat untuk minyaki permukaannya dan menghindarkan gesekan antara paru-paru dan
dinding dada yang sewaktu bernafas bergerak. Dalam keadaan sehat kedua lapisan itu satu dengan yang lain
erat bersentuhan . uang atau rongga pleura itu hanyalah ruang yang tidak nyata, tetapi dalam keadaan tidak
normal atau cairan memisahkan kedua pleura itu dan ruang diantaranya menjadi jelas.
f. Paru-paru

Paru-paru ada dua, merupakan alat pernfasan utama. Paru-paru mengisi rongga dada. Terletak
disebelah kanan dan kiri dan ditengah dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah besarnya
dan struktur lainnya yang terletak didalam media stinum. Paru-paru adalah organ yang berbentuk
kerucut dengan apeks (puncak) diatas dan sedikit muncul lebih tinggi daripada clavikula didalam
dasar leher. Pangkal paru-paru duduk diatas landae rongga thoraks,diatas diafraghma. Paru-paru
mempunyai permukaan luar yang menyentuh iga-iga, permukaan dalam yang memutar tampuk
paru- paru, sisi belakang yang menyentuh tulang belakang,dan sisi depan yang menutup sebagian
sisi depan jantung.Paru-paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru
kanan mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Setiap lobus tersusun atas lobula.
Jaringan paru- paru elastis,berpori, dan seperti spons.

Fisiologi pernafasan

Fungsi paru-paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbondoksida . pada pernafasan melalui paru-
paru atau pernafasan eksterna,oksigen dipungut melalui hidung dan mulut pada waktu bernafas;
oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat behubungan erat dengan
darah didalamkapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran, yaitu membran alveoli
kapiler,yang memisahkan oksigen dari darah.
Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke
jantung. Dari sini dipompa didalam arteri kesemua bagian tubuh. Dan meninggalkan paru-
parupada tekanan oksigen100 mmHg dan padatingkat ini hemoglobinnya 95% jenuh oksigen. Di
dalam paru-paru,karbondioksida, salah satu hasil buangan metabolisme, menembus membran
alveoler kapiler darah ke alveoli, dan setelah melalui pipa bronkial dan trakea, dinapaskan keluar
melalui hidung dan mulut.Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan pulmoner atau
pernafasan eksterna :
1. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernafasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara
luar.
2. Arus darah melalui paru-paru.
3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga dalam jumlah tepat dapat mencapai
semua bagian tubuh.
4. Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler, CO2 lebih mudah
berdifusi daripada oksigen.
Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-paru menerima
jumlah tepat CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan, lebih banyak darah datang di paru-paru
membawa terlalu banyak CO2 dan terlampau sedikit O2; jumlah CO2 itu tidak dapat dikeluarkan,
maka konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini merangsang pusat pernafasan dalam
otak untuk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernafasan. Penambahan ventilasi ini
mengeluarkan CO2 dan memungut lebih banyak O2.

Pernafasan jaringan atau pernafasan interna,darah yang telah menjenuhkan hemoglobinnya dengan
oksigen (oksihemoglobin) mengitari seluruh tubuh dan akhirnya mencapai kapiler, di mana darah
bergerak sangat lambat. Sel jaringan memungut oksigen dari hemoglobin untuk memungkinkan
oksigen berlangsung, dan darah menerima, sebagai gantinya, hasil buangan oksidasi, yaitu
karbondioksida.Perubahan-perubahan berikut terjadi pada komposisi udara dalam alveoli, yang
disebabkan pernafasan eksterna dan pernafasan eksterna dan pernafasan interna atau pernafasan
jaringan. Udara yang dihembuskan jenuh dengan uap air dan mempunyai suhu yang sama dengan
badan (20 persen panas badan hilang untuk pemanasan udara yang dikeluarkan).

Daya muat udara oleh paru-paru,besar daya muat udara oleh paru-paru ialah 4.500 ml sampai 5000
ml atau 4½ sampai 5 liter udara. Hanya sebagian kecil dari udara ini, kira-kira 1/10-nya atau 500
ml adalah udara pasang surut (tidal air ), yaitu yang dihirup masuk dan diembuskan keluar pada
pernafasan biasa dengan tenang.Kapasitas vital,volume udara yang dapat dicapai masuk dan keluar
paru-paru pada penarikan napas paling kuat disebut kapasitas paru- paru. Diukurnya dengan alat
spirometer. Pada seorang laki-laki, normal 4-5 liter dan pada seorang perempuan ,3-4 liter.
Kapasitas itu berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti
paru-paru), dan kelemahan otot pernafasan.
PREVELENSI PENYAKIT
PARU OBSTRUKTIF KRONIS

WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO, 2017)


X
RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS, 2018)

Sekitar 600 juta orang di dunia diperkirakan mengidap penyakit PPOK dan 2 akan terus meningkat setiap
tahunnya serta 5% dari seluruh kematian di dunia atau 3,17 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun
2016 (WHO, 2017). Jumlah penderita PPOK di seluruh dunia mengalami peningkatan dari 227 juta kasus
pada tahun 1990 menjadi 384 juta kasus tahun 2010. Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat
dalam 30 tahun kedepan dan pada tahun 2030 di perkirakan ada 4,5 juta kematian setiap tahun akibat
PPOK Data yang ada menunjukkan bahwa morbiditas akibat PPOK meningkat dengan usia dan lebih
besar terjadi pada pria daripada wanita (GOLD, 2017).

Pada penyakit PPOK lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 83,17% pada daerah
di Mesir tahun 2012 sebesar 97,5%, di Taiwan tahun 2013 sebesar 57% dan pada di tahun 2014 Mesir
sebesar 95% dan di Korea Selatan tahun 2016 sebesar 72,36% (Sidabutar et al., 2012). Penyakit Paru
Obstruksi Kronis di Indonesia pada umur ≥30 tahun sebesar 508.330, pada laki-laki sebanyak 242.256 dan
pada perempuan penderita penyakit PPOK sebanyak 266.074 sedangkan prevalensi pada provinsi Nusa
Tenggara Timur sebanyak 10% dan untuk Provinsi Jawa Tengah prevalensi kejadian PPOK sebanyak
3,4% (Riskesdas, 2018).
ETIOLOGI PPOK

Faktor risiko PPOK di seluruh dunia yang paling banyak ditemui adalah merokok tembakau.
Selain jenis tembakau, (misalnya pipa, cerutu, dan ganja) juga merupakan faktor risiko PPOK.
PPOK tidak hanya berisiko bagi perokok aktif saja namun juga bisa berisiko bagi perokok
pasif yang terkenan pajanan asap rokok.

Selain itu faktor - faktor yang berpengaruh pada perjalanan dan perburukan PPOK antara lain:

1. Faktor genetik
2. Usia & jenis kelamin
3. Pertumbuhan dan perkembangan paru
4. Pajanan terhadap partikel, gas berbahaya
5. Faktor sosial ekonomi
6. Asma dan hipereaktivitas saluran napas
7. Bronkitis kronis
8. Infeksi berulang di saluran napas

Berdasarkan penelitian Oemiati (2013) menyatakan bahwa faktor risiko utama PPOK antara
lain merokok, polutan indoor, outdoor dan polutan di tempat kerja, selain itu ada juga faktor
risiko lain yaitu genetik, gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik. Data
Riskesdas 2013 berdasarkan karakteristik terlihat prevalensi PPOK semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding
perempuan (3,3%) dan mulai meningkat pada kelompok usia ≥ 25 tahun. Prevalensi PPOK
lebih tinggi di perdesaan (4,5%) dibanding perkotaan (3,0%) dan cenderung lebih tinggi pada
masyarakat dengan pendidikan rendah (7,9%) dan kuintil indeks kepemilikan terbawah (7,0%)

pn
PENYEBAB PPOK

Penyakit paru obstruktif kronis terjadi ketika saluran pernapasan dan paru-paru rusak serta
mengalami peradangan. Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko seseorang menderita
penyakit ini adalah:

Memiliki kebiasaan merokok atau sering terpapar asap rokok (perokok pasif)
Terpapar polusi udara, misalnya dari debu jalanan, asap dari kendaraan, atau asap pabrik dan
industri
Menderita penyakit asma, tuberkulosis, infeksi HIV, dan kelainan genetik yang menyebabkan
kekurangan protein alpha-1-antitrypsin (AAt)
Memiliki keluarga dengan riwayat PPOK
Berusia 40 tahun ke atas
Berjenis kelamin wanita
FAKTOR RISIKO PPOK

Menurut Wahid & Suprapto, (2013) terdapat beberapa etiologi/faktor risiko yang mempengaruhi
timbulnya penyakit PPOK, yang dapat dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor
host.
Faktor paparan lingkungan antara lain :
Rokok
Menurut Danusantoso, (2013) Merokok adalah salah satu penyebab utama terjadainya PPOK.
Komponen dari asap rokok dapat menyebabkan iritasi pada jalan nafas. Secara patologis rokok
berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus.
Infeksi
Eksasebasi bronchitis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian
menyebabkan infeksi sekunder bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Haemophilius
influenza dan Streptococcus pneumonia
Polusi
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab bersihan jalan nafas tidak efetif
pada PPOK, tetapi bila ditambah merokok risiko akan lebih tinggi. Zat – zat kimia juga dapat
menyebabkan PPOK adalah zat – zat pereduksi O2, zat – zat pengoksidasi seperti N2O,
hidrokarbon, aldehid, ozon.

Faktor risiko yang berasal dari host/pasien antara lain:


Usia
Usia semakin bertambah semakin besar risiko menderita PPOK. Pasien yang didiagnosa PPOK
sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar terjadi gangguan genetic berupa difisiensi α1-
antitripsin, yang merupakan penyebab dari beberapa kasus ppok. Namun kejadian ini hanya
dialami < 1% pasien PPOK.
Jenis kelamin
Laki – laki lebih berisiko terkena PPOK dibandingkan dengan wanita terkait dengan kebiasaan
merokok pada laki – laki. Namun terdapat kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada
wanita karena meningkatnya jumlah perokok wanita.
Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru – paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK, salah satunya
adalah difisiensi immunoglobulin A (IgA/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa kanak –
kanak seperti tuberculosis dan bronkiektasis.
PATOFISIOLOGI PPOK
Karakteristik utama PPOK adalah keterbatasan aliran udara sehingga membutuhkan waktu lebih
lama untuk pengosongan paru. Peningkatan tahanan jalan napas pada saluran napas kecil dan
peningkatan compliance paru akibat kerusakan emfisematus menyebabkan perpanjangan waktu
pengosongan paru. Hal tersebut dapat dinilai dari pengukuran Volume Ekspirasi Paksa detik pertama
(FEV1) dan rasio FEV1 dengan Kapasitas Vital Paksa (FEV1/FVC) (Masna dan Fachri, 2014).

Patofisiologi pada pasien PPOK menurut The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary
Disease 2017 sebagai berikut :
1. Keterbatasan aliran udara dan air trapping
2. Ketidaknormalan pertukaran udara
3. Hipersekresi mukus
4. Hipertensi pulmoner
5. Eksaserbasi
6. Gangguan sistemik

Patologi penyakit tersebut adalah :

BRONKITIS OBSTRUKSI KRONIS


Bronkitis obstruksi kronis merupakan akibat dari inflamasi


bronkus, yang merangsang peningkatan produksi mukus,
batuk kronis, dan kemungkinan terjadi luka pada lapisan
bronkus. Berbeda dengan bronkitis akut, manifestasi klinis
bronkitis kronis berlangsung minimal tiga bulan selama satu
tahun dalam dua tahn berturut-turut.

Bronkitis kronis ditandai dengan hal-hal berikut :


Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar submukosa
pada bronkus yang menyebabkan peningkatan produksi
mukus.
Peningkatan jumlah sel goblet yanag juga memproduksi
mukus.
Terganggunya fungsi silia, sehingga menurunkan
pembersihan mukus
EMFISEMA

Emfisema adalah gangguan yang berupa terjadinya kerusakan pada dinding alveolus. Kerusakan
tersebuat menyebabkan ruang udara terdistensi secara permanen. Akibatnya aliran udara akan
terhambat, tetapi bukan karena produksi mukus yang berlebih seperti bronchitis kronis.
Emfisema menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kapiler paru, serta penurunan perfusi
dan ventilasi oksigen lebih jauh emfisema merupakan akibat dari rusaknya dinding di antara
alveolus (septa), kolaps parsial pada jalan nafas, dan hilangnya kelenturan alveolus untuk
mengembang dan mengempis.


ASMA

Asma melibatkan proses peradangan kronis yang menyebabkan edema mukosa, sekresi mukus,
dan peradangan saluran nafas. Ketika orang dengan asma terpapar alergen ekstrinsik dan iritan
saluran napasnya akan meradang yang menyebabkan kesulitan napas, dada terasa sesak, dan
mengi. Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan fisiologi utama
pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di
bagian proksimal, perifer, parenkim, dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses
peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Pada bronkitis kronis
akan terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi saluran
pernafasan, hipertrofi otot polos serta distorsi yang diakibatkan fibrosis.
TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala yang biasa dialami pasien PPOK yang mengalami bersihan jalan napas
tidak efektif(Ikawati, 2016) sebagai berikut :

Batuk Kronis Selama 3


Bulan dalam Setahun

Produksi Sputum
Secara Kronis

Sesak Nafas
(Dispnea)

Lelah dan Lesu

Penurunan Toleransi Terhadap


Aktivitas Fisik ( cepat lelah, terengah-
engah)

pn
PATOGENESIS DAN PATOLOGIS

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk
keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme.
Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara
alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah
teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
(KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (FEV1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas
vital paksa (FEV1/FVC)

Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus


bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional
serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental
dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan
akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.

pn
PATOGENESIS DAN PATOLOGIS

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.
Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru.
Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan
(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi
seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap
rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Faktor dan elastase,
yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan

Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan
ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi
hipoksik pada arteriol
MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis pada PPOK menurut Mansjoer (2008) dan GOLD (2010) yaitu:
Malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-
batuk dan produksi dahak khususnya yang muncul di pagi hari. Nafas pendek sedang yang
berkembang menjadi nafas pendek, , sesak nafas akut, frekuensi nafas yang cepat,
penggunaan otot bantu pernafasan dan ekspirasi lebih lama daripada inspirasi.
KOMPLIKASI

a. Infeksi Saluran Nafas


Biasanya muncul pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Hal tersebut sebagai akibat
terganggunya mekanisme pertahanan normal paru dan penurunan imunitas. Oleh karena status pernafasan
sudah terganggu, infeksi biasanya akan mengakibatkan gagal nafas akut dan harus segera mendapatkan
perawatan di rumah sakit (Black, 2014).

b. Pneumothoraks Spontan
Pneumothoraks spontan dapat terjadi akibat pecahnya belb (kantong udara dalam alveoli) pada penderita
emfisema. Pecahnya belb itu dapat menyebabkan pneumothoraks tertutup dan membutuhkan pemasangan
selang dada (chest tube) untuk membantu paru mengembang kembali (Black, 20014).

c. Dypsnea
Seperti asma, bronchitis obstruktif kronis, dan emfisema dapat memburuk pada malam hari. Pasien sering
mengeluh sesak nafas yang bahkan muncul saat tidur (one set dyspnea) dan mengakibatkan pasien sering
terbangun dan susah tidur kembali di waktu dini hari.

d. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan tingkat PO2<55 mmHg dengan nilai saturasi O2<85%. Pada
awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap
lanjut akan timbul gejala seperti sianosis (Permatasari, 2016).

e. Asidosis Respiratori
Asidosis respiratori timbul akibat peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain,
nyeri kepala, fatigue, letargi, dizziness, dan takipnea. Asidosis respiratori yang tidak ditangani dengan
tepat dapat mengakibatkan dypsnea, psikosis, halusinasi, serta ketidaknormalan tingkah laku bahkan koma.

f. Kor Pulmonale
Kor pulmonale (yang disebut pula gagal jantung kanan) merupakan keadaan tarhadap hipertrofi dan
dilatasi ventrikel kanan, yang dapat terjadi akibat komplikasi sekunder karena penyakit pada struktur atau
fungsi paru-paru atau system pembuluh darah

pn
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Chest X-ray : dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar, peningkatan ruang udara
retrosternal, penurunan tanda vaskuler/bullae (emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskuler
(bronchitis), dan normal ditemukan saat periode remisi (asma) .
Uji Faal Paru Dengan Spirometri dan Bronkodilator (postbronchodilator) : berguna untuk menegakkan
diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosis pasien. Pemerikasaan ini
penting untuk memperlihatkan secara objektif adanya obstruktif saluran pernafasan dalam berbagai
tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah
inspirasi maksimal atau dapat disebut forced vital capacity (FVC). Spirometri juga berfungsi untuk
mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama atau disebut juga forced expiratory
volueme in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan
untuk menilai fungsi paruparu. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) secara khas akan
menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai dari rasio pengukuran FEV1/FVC <70%, maka
ini menunjukkan adanya pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
TLC (Total Lung Capacity) : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asma, menurun pada
penderita emfisema
Kapasitas Inspirasi : menurun pada penderita emfisema
ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO2 menurun dan PCO2 normal meningkat
(pada bronchitis kronis dan emfisema). Sering kali menurun pada asma dengan pH normal atau
asidosis, alkaiosis respiratori ringan sekunder akibat terjadinya hiperventilasi (emfisema sedang dan
asma)
Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronkus saat inspirasi, kolaps bronchial pada tekanan
ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar mukus (bronchitis) (Muttaqin, 2014)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah Lengkap : dapat menggambarkan adanya peningkatan hemoglobin


(emfisema berat) dan peningkatan eosinofil (asma) (Muttaqin, 2014).
Kimia Darah : menganalisis keadaan alpha 1-antitypsin yang kemungkinannya berkurang
pada emfisema primer (Muttaqin, 2014).
Sputum Kultur : pemeriksaan pada bakteriologi gram pada sputum pasien yang diperlukan
untuk mengetahui adanya pola kuman dan untuk menentukan jenis antibiotik yang paling
tepat. Infeksi saluran pernafasan yang berulang merupakan penyebab dari ekserbasi akut pada
penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Muttaqin, 2014).
Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi pemeriksaan ECG (Elektro Kardio Graph) yang
difungsikan untuk mengetahui adanya komplikasi yang terjadi pada organ jantung yang
ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
namun
PENATALAKSANAAN
PPOK

penatalaksanaan pada PPOK yaitu dengan terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi
non-farmakologi antara lain seperti berhenti merokok, rehabilitasi, melakukan aktivitas fisik, dan
vaksinasi. Penghentian merokok merupakan hal yang penting karena hal tersebut dapat
menurunkan gejala, dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Selain itu, perlu menghindari
polusi udara dan menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi. Terapi nonfarmakologis lainnya
yang perlu diberikan pada pasien PPOK adalah pemberian vaksinasi influenza. Pemberian vaksin
ini terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50 %

Menurut Black (2014) penatalaksanaan non medis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
meliputi :

a. Membersihkan sekret bronkus


Kebersihan paru diperlukanan untuk mengurangi resiko infeksi. Cara untuk membersihkan sekret
adalah dengan mengeluarkannya, dengan cara :
Batuk efektif
Batuk membantu memecah sekret dalah paru-paru sehingga lendir dapat dikeluarkan atau
diludahkan. Caranya pasien diposisikan duduk tegak dan menghirup nafas dalam lalu setelah 3 kali
nafas dalam, pada ekspirasi ketiga nafas dihembuskan dan dibatukkan.
Fisioterapi dada
Tindakan fisioterapi dada menurut Pangastuti, HS dkk (2019) meliputi : perkusi, vibrasi, dan
postural drainase. Tujuan dari intervensi ini adalah untuk membantu pasien bernafas dengan lebih
bebas dan membantu dalam pembersihan paru dari sekret yang menempel di saluran nafas.
Tindakan ini dilakukan bersamaan dengan tindakan lain untuk lebih mempermudah keluarnya
sekret, contoh : suction, batuk efektif, pemberian nebulizer dan pemberian obat ekspektoran.
Sebelum pasien dilakukan fisioterapi, terlebih dahulu evalusai kondisi pasien dan tentukan letak
dimana sekret yang tertahan untuk mengetahui bagian mana yang akan dilakukan fisioterapi dada.
PENATALAKSANAAN
PPOK

b. Bronkodilator
Bronkidilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan atau mengubah
variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada saluran
pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan
mengubah elastisitas paru. Bronkodilator berkerja dengan menurunkan hiperventilasi saat
istirahat dan beraktivitas, serta akan memperbaiki toleransi tubuh terhadap aktivitas. Pada kasus
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) kategori berat atau sangat berat sulit untuk
memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat.

c. Mendorong olahraga
Semua pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mendapat keuntungan dengan program
olahraga, yaitu meningkatkan toleransi tubuh terhadap aktvitas, menurunnya dypsnea dan
kelelahan. Olahraga tidak memperbaiki fungsi paru, tetapi olahraga dapat memperkuat otot
pernafasan.

d. Meningkatkan kesehatan secara umum


Cara lain adalah dengan memperbaiki pola hidup pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK), yaitu dengan menghindari rokok, debu, dan bahan kimia akibat pekerjaan, serta polusi
udara. Serta didukung dengan asupan nutrisi yang adekuat.
PENANGANAN PPOK
Berikut ini adalah beberapa metode penanganan PPOK:

1. Obat-obatan
Obat yang biasanya digunakan untuk meredakan gejala PPOK adalah obat hirup (inhaler) berupa:
Bronkodilator, seperti salbutamol, salmeterol dan terbutaline
Kortikosteroid, seperti fluticasone dan budesonide
Tergantung pada kondisi pasien, dokter dapat meresepkan obat-obatan di atas sebagai obat tunggal
atau obat kombinasi. Jika obat hirup belum dapat meredakan gejala PPOK, dokter akan
meresepkan obat minum berupa kapsul atau tablet. Obat yang dapat diberikan antara lain:
Teofilin, untuk mengurangi pembengkakan di saluran napas
Mukolitik, untuk mengencerkan dahak atau lendir
Penghambat enzim fosfodiesterase-4, untuk melegakan saluran napas
Kortikosteroid, untuk mengurangi peradangan saluran pernapasan
Antibiotik, jika terjadi tanda-tanda infeksi paru

2. Terapi oksigen
Terapi ini bertujuan untuk memberikan pasokan oksigen ke paru-paru. Pasien bisa menggunakan
tabung oksigen portabel yang bisa dibawa ke mana saja. Lamanya penggunaan tabung oksigen
tergantung pada kondisi pasien. Sebagian pasien hanya menggunakannya saat sedang beraktivitas
atau saat tidur. Namun, sebagian lain harus menggunakannya sepanjang hari.

3. Rehabilitasi paru
Rehabilitasi paru-paru atau fisioterapi dada bertujuan untuk mengajarkan pasien terapi fisik yang
sesuai dengan kondisinya, pola makan yang tepat, serta untuk memberikan dukungan secara
emosional dan psikologis.

4. Alat bantu napas


Jika gejalanya cukup serius, pasien harus menggunakan alat bantu napas yaitu mesin ventilator.
Ventilator adalah mesin pemompa udara yang akan membantu pasien bernapas. Ventilator
terhubung dengan saluran pernapasan pasien lewat selang yang dimasukkan hingga ke trakea
dengan cara intubasi.
PENANGANAN PPOK

5. Operasi
Operasi dilakukan pada pasien yang gejalanya tidak dapat diredakan dengan obat-obatan atau
terapi. Jenis operasi yang dapat dilakukan antara lain:

Operasi pengurangan volume paru-paru


Operasi ini bertujuan untuk mengangkat bagian paru-paru yang sudah rusak, sehingga jaringan
paru-paru yang sehat bisa berkembang.
Transplantasi paru-paru
Transplantasi paru-paru adalah operasi pengangkatan paru-paru yang rusak untuk diganti
dengan paru-paru sehat dari pendonor.
Bullektomi
Bullektomi adalah operasi untuk mengangkat kantong udara (bullae) yang terbentuk akibat
rusaknya alveolus, agar aliran udara menjadi lebih baik.

Selain penanganan di atas, ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pasien untuk
memperlambat kerusakan pada paru-paru, yaitu:

Menghentikan kebiasaan merokok dan menghindari paparan asap rokok


Menghindari polusi udara, seperti asap kendaraan atau pembakaran
Menggunakan pelembap udara ruangan (air humidifier)
Menjaga pola makan yang sehat, banyak minum, dan berolahraga secara rutin
Menjalani vaksinasi secara rutin, seperti vaksin flu dan pneumokokus
Memeriksakan diri ke dokter secara berkala agar kondisi kesehatan terpantau
PATHWAY
PPOK

pn
PENCEGAHAN PPOK

Berikut adalah beberapa langkah pencegahan bagi penderita ppok :

1. Berhenti merokok
Langkah pencegahan flare-up yang pertama adalah menghentikan penyebab utama PPOK.
Merokok adalah penyebab utama dari bronkitis dan emfisema, duet penyakit yang menjadi
penyebab PPOK. Apabila Anda adalah seorang perokok dan belum juga berhenti, sangatlah
penting untuk segera menghentikan kebiasaan itu.

Jika Anda tidak pernah merokok, jangan memulainya. Jika Anda adalah perokok, Anda harus
berhenti karena merokok dapat memperburuk PPOK. Meskipun Anda pernah merokok, berhenti
dapat membantu memperlambat perkembangan PPOK dan membatasi kerusakan paru. Risiko
merokok juga berlaku bagi perokok pasif. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO, 10% dari
kematian terkait rokok diakibatkan oleh asap rokok.

2. Memahami kondisi pasien


Mengenali tanda-tanda flare-up, eksaserbasi, alias perburukan gejala PPOK bisa menjadi salah
satu cara untuk mencegah PPOK yang kambuh semakin memburuk. Biasakan untuk mengetahui
tempat terdekat yang bisa Anda kunjungi jika sewaktu-waktu Anda mengalami kesulitan
bernapas. Menyimpan nomor telepon dokter ataupun orang terdekat lainnya untuk dimintai
bantuan juga merupakan suatu persiapan yang cerdas. Memeriksakan diri secara rutin juga bisa
membantu Anda mengantisipasi gejala PPOK yang mungkin muncul. Sampaikanlah pada dokter
apabila Anda mengalami gejala baru atau gejala yang memburuk, seperti demam.

Bawalah selalu catatan daftar teman atau anggota keluarga yang bisa dihubungi jika Anda perlu
untuk dibawa ke rumah sakit. Bawa selalu petunjuk arah ke klinik dokter atau rumah sakit
terdekat. Anda juga harus membawa daftar semua obat yang Anda gunakan dan memberikannya
ke dokter yang mungkin harus memberikan bantuan medis darurat.
PENCEGAHAN PPOK

3. Jaga kebersihan udara di lingkungan


Cara mencegah PPOK kambuh lainnya adalah dengan menghindari tempat-tempat yang penuh
dengan polusi, seperti asap rokok. Asap rokok dapat membuat paru-paru lebih rusak. Jenis polusi
udara lain, seperti asap knalpot kendaraan atau limbah pabrik, juga bisa mengiritasi paru-paru
Anda.

Jika Anda tinggal di dekat pabrik dan kualitas udaranya buruk, pastikan bahwa udara dalam
ruangan Anda bersih. Langkah pencegahan flare-up PPOK yang bisa Anda lakukan adalah
dengan menggunakan high-efficiency particulate air (HEPA) filter. Filter tersebut dapat
menyaring sampai 99 persen polutan udara dalam ruangan. Tips hidup sehat dengan PPOK untuk
meningkatkan kualitas udara dalam ruangan lainnya adalah menyingkirkan karpet dan
membersihkan ruangan dengan produk ramah lingkungan atau dengan pembersih alami seperti
air dan sabun, soda kue, dan cuka.

4. Ketahui riwayat keluarga


PPOK bisa jadi disebabkan oleh faktor genetik. Jika begini, keluarga Anda berisiko PPOK lebih
tinggi, apalagi jika ada anggota keluarga yang sudah kena PPOK. Jika benar, Anda harus
memeriksakan keluarga Anda untuk “gen PPOK”. Sebagai upaya pencegahan, Anda bisa
melakukan tes darah untuk menunjukkan apakah Anda membawa gen PPOK.

5. Lakukan vaksinasi
Flu dan pilek adalah hal yang umum terjadi dan tak memerlukan perlakuan khusus. Namun, bagi
orang dengan PPOK, ini dapat memperburuk kondisi saluran napas Anda yang memang sudah
terganggu.
Jika Anda memiliki PPOK, sebaiknya Anda melindungi diri dengan melakukan vaksinasi
influenza secara rutin setiap tahunnya. Dengan begitu, Anda akan mengurangi risiko terpapar
flu.
PENCEGAHAN PPOK

6. Makan makanan padat nutrisi


Terkadang, penderita PPOK tingkat lanjut tidak mendapatkan nutrisi yang mereka perlukan agar tetap sehat.
Bisa jadi, ini karena menurunnya nafsu makan atau sesak napas yang muncul saat makan, atau setelah makan.
Padahal, mendapatkan asupan makanan yang berigizi dan menghindari pantangan bisa membantu kondisi
Anda semakin baik. Ini juga jadi salah satu langkah pencegahan gejala PPOK Anda kambuh.
Gaya hidup yang bisa Anda lakukan untuk mencegah PPOK kambuh adalah makan dengan porsi lebih kecil
dan lebih sering mungkin bisa membantu mengatasi masalah ini. Dokter juga bisa menganjurkan suplemen
gizi untuk memastikan bahwa Anda mendapatkan nutrisi penting yang Anda butuhkan.

7. menjaga kebugaran
Meski penderita PPOK sering dan mudah mengalami sesak napas, bukan berarti mereka tak bisa berolahraga
sama sekali. Malah, penderita PPOK dianjurkan untuk tetap berolahraga dan melatih otot pernapasannya.
Kunci berolahraga untuk penderita PPOK adalah tidak boleh terlalu berat atau terlalu ringan. Selain
memperkuat otot-otot pernapasan, Anda juga membutuhkan olahraga untuk membakar lemak agar berat badan
Anda tetap terjaga sehingga tak menimbulkan masalah baru, seperti obesitas.

8. kelola stres
Orang yang hidup dengan penyakit yang melumpuhkan, seperti PPOK, terkadang kalah dengan rasa cemas,
stres, atau depresi. Itu sebabnya, mengelola stres bagi penderita PPOK adalah hal penting. Jika stres
mengganggu pola tidur Anda, lakukan tips tidur nyenyak khusus untuk penderita PPOK. Anda dapat memulai
kelola stres dengan mendiskusikan setiap masalah emosional dengan dokter atau petugas medis lainnya.
Jangan memendamnya sendirian karena itu bukanlah salah satu perilaku hidup sehat.

9. dapatkan dukungan dari keluarga dan teman


Keluarga dan teman adalah sumber bantuan yang berharga. Anggota keluarga dan mereka yang tercinta perlu
mendukung di setiap waktu, terutama jika pengobatan PPOK Anda sampai harus membutuhkan terapi oksigen.
Kehadiran orang terdekat juga penting saat penderita PPOK melakukan perjalanan ke berbagai tempat.
Menggunakan oksigen portabel di tempat umum bisa sulit untuk dihadapi karena itu adalah tanda jelas bahwa
Anda menderita kondisi ini. Karena itu, kehadiran orang lain sangat penting untuk membantu merawat Anda
dari PPOK.
DERAJAT PPOK

Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstruktif Lung Disiase
(GOLD) 2011.

1. Derajat I (Ringan): Gejala batuk kronis dan ada produksi sputum tapi tidak sering. Pada
derajat ini pasien tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
2. Derajat II (Sedang): Sesak nafas mulai terasa pada saat beraktifitas terkadang terdapat
gejala batuk dan produksi sputum. Biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya
pada derajat ini.
3. Derajat III (Berat): Sesak nafas terasa lebih berat, terdapat penurunan aktifitas, mudah
lelah, serangan eksaserbasi bertambah sering dan mulai memberikan dampak terhadap
kualitas hidup.
4. Derajat IV (PPOK Sangat Berat): Terdapat gejala pada derajat I, II dan III serta adanya
tanda-tanda gagal nafas atau gagal jantung kanan. Pasien mulai tergantung pada oksigen.
Kualitas hidup mulai memburuk dan dapat terjadi gagal nafas kronis pada saat terjadi
eksaserbasi sehingga dapat mengancam jiwa pasien.
TERAPI FARMAKOLOGI

Terapi farmakologi pada PPOK keadaan stabil berdasarkan kelompok atau populasi yang
sudah ditentukan

Populasi A, menggunakan bronkodilator dengan pilihan pertama SAMA atau SABA (jika
diperlukan). Pilihan kedua digunakan LAMA atau LABA atau SAMA dan SABA.
Sedangkan untuk pilihan alternative digunakan theophylline.

Populasi B menggunakan pilihan pertama LAMA atau LABA, pilihan kedua digunakan
LAMA dan LABA, serta pilihan alternative digunakan SABA dan/atau SAMA dan
theophylline.

Populasi C dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA, pilihan kedua
menggunakan LAMA dan LABA, sedangkan pilihan alternative dapat menggunakan
PDE4-inhibitor, SABA dan/atau SAMA, serta theophylline.

Populasi D dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA. Pilihan kedua
menggunakan beberapa pilihan obat yaitu ICS dan LAMA atau ICS+LABA dan LAMA
atau ICS+LABA dan PDE4 - inhibitor atau LAMA dan LABA atau LAMA dan PDE4-
inhibitor. Sedangkan untuk pilihan alternative dapat menggunakan corbocysteine, SABA
dan/atau SAMA, serta theophylline.
Keterangan : terapi pertama
1. Populasi A: pasien dengan terapi bronkodilator berdasarkan efek terhadap gejala sesak.
Dapat berupa obat kerja panjang dan kerja pendek. Pengobatan dapat dilanjutkan jika
memberikan efek positif.
2. Populasi B: terapi utama harus mengandung bronkodilator kerja panjang dan dikonsumsi
apabila gejala muncul. Pada pasien dengan gejala sesak berat pada monoterapi,
direkomendasikan menggunakan 2 jenis bronkodilator. Apabila bronkodilator yang kedua
tidak memberikan efek positif, dapat dikembalikan ke bronkodilator tunggal.
3. Populasi C: terapi utama harus mengandung bronkodilator kerja panjang tunggal.
Penggunaan LAMA sebagai pencegahan eksaserbasi. Pasien dengan eksaserbasi persisten,
memberikan efek positif apabila ditambahkan bronkodilator kedua kerja panjang
(LABA/LAMA) atau menggunakan beta2-agonis kerjang panjang dan kortikosteroid inhaler.
Pilihan pertama adalah LABA/LAMA, karena penggunaan ICS dapat meningkatkan risiko
pneumonia.
4. Populasi D: terapi dimulai dengan LABA/LAMA sebagai pencegahan eksaserbasi. Apabila
eksaserbasi tidak dapat diterapi dengan LABA/LAMA, maka dapat ditambahkan roflumilast
atau macrolide, dan stop ICS

Terapi Non-Farmakologi

Edukasi dan self managemen


Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien tetap berpikir positif dalam
mengahadapi penyakitnya. Selain itu, juga membantu pasien memodifikasi faktor risiko yang
dapat sebagai pencetus eksaserbasi. Pasien juga diharapkan dapat melakukan penanganan apabila
gejala muncul. Berdasarkan GOLD 2017, Kelompok A,B,C, dan D, dapat memodifikasi faktor
risiko, termasuk merokok, mengatur aktivitas fisik dan mengatur tidur dan pola hidup
sehat.Sedangkan khusus untuk Kelompok B dan D, harus dapat melakukan penanganan terhadap
gejala sesak, teknik konservasi energi dan management stress. Kelompok C dan D dapat
melakukan tindakan pencegahan terhadap faktor pemicu, monitoring dan menangani gejala
buruk, dan mempunyai rencana serta mengatur komunikasi dengan tenaga kesehatan. Kelompok
D harus mulai melakukan diskusi paliative dengan tenaga kesehatan.

Aktivitas fisik dan program rehabilitasi paru


Pada pasien dengan PPOK, terjadi penurunan aktivitas. Oleh karena itu perlu memilih aktivitas
agar tidak terjadi eksaserbasi melalui beberapa program.Program rehabilitasi paru, khusunya
pada kelompok B, C, D dapat mencegah proses teradinya eksaserbasi. Program rehabilitasi
termasuk pelatihan aktivitas fisik, konseling nutrisi, berhenti merokok, dan edukasi.Program
latihan fisik dapat mengurangi gejala yang muncul saat melakukan aktivitas berat serta dapat
meningkatkan efek kerja obat LABA/LAMA. Selain itu, aktivitas fisik aerobik dapat
meningkatkan kekuatan dan apabila difokuskan pada ekstremitas atas, dapat memperkuat otot
pernapasan inspirasi. Hal tersebut tentunya harus disesuaikan dengan terapi nutrisi.
Vaksinasi
Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23 direkomendasikan pada pasien dengan umur > 65 tahun.
PPSV23 juga direkomendasikan pada pasien PPOK umur muda dengan penyakit komorbid gagal
jantung kronik atau penyakit paru lainnya.

Terapi oksigen
Indikasi:
1. PaO2 <7,3 kPa (55mmHg) atau SaO2 <88% dengan atau tanpa hiperkapnia 2 kali dalam 3 minggu
2. PaO2 7,3 kPa (55 mmHg)- 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO2 88%, jika terdapat hipertensi pulmonal,
edema perifer yang mengarah pada gagal jantung kongestive, atau policitemia (HCT>55%).Terapi
ini harus dievaluasi 60-90 hari dengan analisa gas darah

Terapi ventilasi
Terapi ini diberikan pada pasien dengan hiperkapnia yang terjadi setiap hari dan sering hospitalisasi,
dimana terapi sistemik tidak menunjukkan perbaikan.

Intervensi bronkoskopi dan operasi


Indikasi dilakukan tindakan ini adalah:
1. Pasien dengan enfisema heterogen atau homogen dan signifikan refrakter hiperfentilasi, dimana
tindakan dilakukan untuk menurunkan volumen paru.
2. Pasien dengan bulla yang besar, dapat disarakan operasi bullektomi
3. Pasien PPOK sangat berat tanpa kontraindikasi, disarankan melakukan transplantasi paru
DAFTAR
PUSTAKA
Mengko, Cornelis Yohni. 2018. Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronis . Accessed Agustus
18, 2021. http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2128/1/KTI%20CORNELIS%20YOHNI%20MENGKO.pdf.
Rusdianto, Aris. 2017. Asuhan Keperawatan pada Klien Bronkitis dengan Ketidakefektifan Jalan Napas.
Accessed Agustus 18, 2021. file:///C:/Users/user/Downloads/ARIS.pdf.
Hikichi, et al. (2019). Pathogenesis of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Induced by
Cigarette Smoke. Journal of Thoracic Disease, 11(17), pp. S219–40.
National Health Service UK (2019). Health A to Z. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
Mayo Clinic (2020). Diseases & Conditions. COPD.
Faris, S. Healthline (2020). Recognizing Serious COPD Complications.
Story, C. Healthline (2018). Chronic Lung Disease: Causes and Risk Factors.
WebMD (2016). COPD (Chronic Obstrictive Pulmonary Disease).
Primary Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Primary Care | Proceedings of the
National Emphysema Foundation – Lifestyle Changes to Improve COPD Symptoms, Quality of Life. (2020).
Retrieved 4 June 2020
GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for Healthcare
Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease Inc.; 2017.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi
V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary
disease. In: Longo D, Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011. pp. 2151–2159.

Anda mungkin juga menyukai