Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

STASE KMB (KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH)


KONSEP PENYAKIT SINUSITIS MAKSILARIS
DI RUANG THT/MATA RSUD ULIN BANJARMASIN

OLEH
SITI RAHBIAH
1614901110116

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN PROFESI NERS A


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2016/2017
LAPORAN PENDAHULUAN
SINUSITIS MAKSILARIS

I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Sinusitis berasal dua kata yaitu sinus dan itis. Akhiran umum dalam
kedokteran itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu
peradangan sinus.

Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput


lender sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan
pembentukan cairan atau kerusakan tulang dibawahnya. Sinus paranasal
adalah rongga-rongga yang terdapat pada tulang-tulang diwajah. Terdiri dari
sinus frontal (di dahi), sinus etmoid (pangkal hidung), sinus maksila (pipi
kanan dan kiri), sinus sfenoid (dibelakang sinus etmoid) Efiaty, 2007.

Sinusitis maksilaris adalah dua rongga berisi udara yang merelung dalam
tulang wajah, dibagian pipi. Sinusitis dibagi menjadi :
1.1.1 Akut (berlangsung kurang dari 4 minggu)
1.1.2 Sub akut (berlangsung antara 4-12 minggu)
1.1.3 Kronik (berlangsung lebih dari 12 minggu)

1.2 Etiologi
Sinusitis maksilaris disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu genetik,
kondisi kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi. Faktor lingkungan
yaitu infeksi bakteri, trauma, medikamentosa, tindakan bedah. Terjadinya
sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan
gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang.
Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang
atau menyelam. Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis
adalah kelainan anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis
alergi.

1.3 Manifestasi Klinis


Gejala sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri kepala, wajah
terasa bengkak dan penuh, gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak
(sewaktu naik atau turun tangga), nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk,
sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan berbau busuk.

Gambaran klinis yang sering dijumpai pada sinusitis maksilaris kronik berupa
hidung tersumbat, sekret kental, cairan mengalir di belakang hidung, hidung
berbau, indra pembau berkurang, dan batuk.
Kriteria Saphiro dan Rachelefsky:
1.3.1 Gejala Mayor:
1.3.1.1 Rhinorea purulen
1.3.1.2 Drainase Post Nasal
1.3.1.3 Batuk
1.3.2 Gejala Minor:
1.3.2.1 Demam
1.3.2.2 Nyeri Kepala
1.3.2.3 Foeter ex oral
Dikatakan sinusitis maksilaris jika ditemukan 2 gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 atau lebih gejala minor.

1.4 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) didalam kompleks osteo-meatal. Sinus
dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus
dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous
profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri
maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat- zat yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk
dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya


sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi
ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus.

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman
akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk
gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium
menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga
terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai
tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk
dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia,
obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan
akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan


dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi
hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis
dan menyebabkan sinusitis.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1.5.1 Rinoskopi anterior : Mukosa merah, mukosa bengkak, mukopus di
meatus medius.
1.5.2 Rinoskopi posterior : Mukopus nasofaring
1.5.3 Nyeri tekan pipi sakit
1.5.4 Transiluminasi : kesuraman pada sisi sakit
1.5.5 X foto sinus paranasalis : kesuraman, gambaran airfluidlevel,
penebalan mukosa

1.6 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akuat atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah :
1.6.1 Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan sinus maksila.
1.6.2 Kelainan orbita
Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainannya dapat berupa edema palpebra, selulitis
orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi
trombosis sinus kavernosus.
1.6.3 Kelainan itrakranial
Meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis
sinus kavernosus.
1.6.4 Kelainan paru
Bronkitis kronis, bronkietasis dan dapat juga timbul asma bronckial.

1.7 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala, memberantas infeksi, dan
menghilangkan penyebab. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara
konservatif dan pembedahan. Pengobatan konservatif terdiri dari :
1.7.1 Istirahat yang cukup dan udara di sekitarnya harus bersih dengan
kelembaban yang ideal 45-55%.
1.7.2 Antibiotika yang adekuat paling sedikit selama 2 minggu
1.7.3 Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri
1.7.4 Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan
lebih dari pada 5 hari karena dapat terjadi rebound congestion dan
rhinitis medikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan
terlalu lama dapat timbul rasa nyeri, rasa terbakar, dan rasa kering
karena atrofi mukosa dan kerusakan silia.
1.7.5 Antihistamin jika ada faktor alergi
1.7.6 Kortikosteroid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang
cukup parah.
Pengobatan operatif dilakukan hanya jika ada gejala sakit yang kronis, otitis
media kronik, bronchitis kronis, atau ada komplikasi seperti abses orbita atau
komplikasi abses intracranial. Prinsip operasi sinus ialah untuk memperbaiki
saluran sinus paranasalis yaitu dengan cara membebaskan muara sinus dari
sumbatan. Operasi dapat dilakukan dengan alat sinoskopi (1-ESS =
functional endoscopic sinus surgery). Teknologi ballon sinuplasty digunakan
sebagai perawatan sinusitis. Teknologi ini, sama dengan Balloon Angioplasty
untuk jantung, menggunakan kateter balon sinus yang kecil dan lentur
(fleksibel) untuk membuka sumbatan saluran sinus, memulihkan saluran
pembuangan sinus yang normal dan fungsi-fungsinya. Ketika balon
mengembang, ia akan secara perlahan mengubah struktur dan memperbesar
dinding-dinding dari saluran tersebut tanpa merusak jalur sinus.

II. Rencana Asuhan Klien dengan sinusitis maksilaris


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
2.1.1.1 Keluhan utama :
Biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, malaise, dan
nyeri tenggorokan.
2.1.1.2 Riwayat penyakit dahulu :
Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung
atau trauma, Pernah mempunyai riwayat penyakit THT,
Pernah menderita sakit gigi geraham.
2.1.1.3 Riwayat keluarga :
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga klien
yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien
sekarang.
2.1.1.4 Riwayat Psikososial :
Intrapersonal yaitu perasaan yang dirasakan klien
(cemas/sedih), interpersonal : hubungan klien dengan orang
lain sangat baik.
2.1.1.5 Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat : Untuk
mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping.
b) Pola nutrisi dan metabolisme : biasanya nafsu makan klien
berkurang karena terjadi gangguan pada hidung.
c) Pola istirahat dan tidur : selama di rumah sakit klien merasa
tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.
d) Pola Persepsi dan konsep diri : klien sering pilek terus
menerus dan berbau menyebabkan konsep diri menurun.
e) Pola sensorik : daya penciuman klien terganggu karena
hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen,
serous, mukopurulen).
2.1.1.6 Pemeriksaan fisik
a) Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda-tanda vital,
kesadaran.
b) Pemeriksaan fisik data fokus hidung : nyeri tekan pada
sinus, rinoskopi (mukosa merah dan bengkak).

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi berlebihan
sekunder akibat proses inflamasi.
2.2.1 Definisi
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari
saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas
2.2.2 Batasan Karakteristik
Tidak ada batuk
Suara napas tambahan
Perubahan frekuensi napas
Perubahan irama napas
Sputum dalam jumlah berlebihan
Batuk yang tidak efektif
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Obstruksi jalan nafas : spasme jalan nafas, mokus dalam jumlah
berlebihan, eksudat dalam jalan alveoli.
Diagnosa 2 : Nyeri akut b.d iritasi jalan napas atas sekunder akibat infeksi
2.2.4 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial.
2.2.5 Batasan Karakteristik
Perubahan frekuensi pernapasan
Gangguan tidur
2.2.6 Faktor yang berhubungan
Agen cedera (mis : biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi berlebihan
sekunder akibat proses inflamasi.
2.3.1 Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali efektif.
2.3.2 Kriteria Hasil : Jalan napas kembali normal terutama hidung dan klien
bernapas tidak lagi melalui mulut.
2.3.3 Intervensi Keperawatan dan Rasional
a) Kaji penumpukkan sekret yang ada.
R/ Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya.
b) Kaji pasien untuk posisi semi fowler, misalnya : Peninggian
kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi
pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
c) Pertahankan posisi lingkungan minimum, misalnya debu, asap dan
bulu bantal yang berhubungan dengan kondisi individu.
R/ Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger
episode akut.
d) Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan
mengontrol pernapasan.

Diagnosa 2 : Nyeri akut b.d iritasi jalan napas atas sekunder akibat infeksi
2.3.4 Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
2.3.5 Kriteria Hasil : Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan
berkurang atau hilang, klien tidak menyeringai kesakitan
2.3.6 Intervensi Keperawatan dan Rasional
a) Kaji tingkat nyeri klien dengan Provokatif, Quality, Region,
Severity, Thine.
R/ Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan
selanjutnya.
b) Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya.
R/ Dengan mengetahui sebab dan akibat nyeri diharapkan klien
berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri.
c) Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi.
R/Dengan tehnik distraksi dan relaksasi klien dapat
mempraktekkannya bila mengalami nyeri sehingga nyerinya dapat
berkurang.
d) Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien.
R/ Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien.
e) Kolaborasi untuk penggunaan analgetik.
R/ Dapat mengurangi nyeri.

III. Daftar Pustaka


Efiaty, Nurbaiti, Jenny, Ratna. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher edisi ke 6. FKUI, 2007

Herlman, T. Heather.2012. NANDA International Diagnosis Keperawatan :


Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC

Soepardi Efiaty Arsyad, Dkk, 2007, edisi 6, Buku ajar ilmu keperawatan
telingahidung tenggorok kepala dan leher,Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Wilkinson. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC. Jakarta:
EGC

Banjarmasin, April 2017


Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(..) ()

Anda mungkin juga menyukai