Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit
1.1 Definis
Anemia hemolitik autoimun (AHA) atau autoimmune hemolytic anemia ialah suatu
anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya aotuantibodi terhadap eritrosit
sendiri sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis) eritrosit (Bakta, 2006).

Dan sebagian referensi ada yang menyebutkan anemia hemolitik autoimun ini
merupkan suatu kelainan dimana terdapat antibody terhadp sel -sel eritrosit
sehingga umur eritrosit memendek (Sudoyo.et all.,2006).

Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120 hari(umur
eritrosit normal). Hemolisis mungkin asymptomatic, tapi bila eritropoesistidak
dapat mengimbangi kecepatan rusaknya sel darah merah dapat terjadi anemia.
(Gurpreet, 2004)

1.2 Etiologi
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda yaitu faktor intrinsik
& faktor ekstrinsik.
a. Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit itu sendiri sel
eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:
Keadaan ini dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
1) Gangguan struktur dinding eritrosit
a) Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan oleh kelainan
membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini berlangsung ringan
sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala anemianya lebih menyolok
daripada dengan ikterusnya, sedangkan pada orang dewasa sebaliknya.
Suatu infeksi yang ringan saja sudah dapat menimbulkan krisis
aplastik. Kelainan radiologis tulang dapat ditemukan pada anak yang
telah lama menderita kelainan ini. Pada 40-80% penderita sferositosis
ditemukan kolelitiasis.
b) Ovalositosis (eliptositosis)

1
Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya berbentuk oval (lonjong).
Dalam keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-20%
saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum mendel.
Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-kadang
ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya dapat
mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
c) A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang menyebabkan
umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga kelainan bentuk
eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada
dinding sel.

2) Gangguan pembentukan nukleotida


Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya
pada panmielopatia tipe fanconi.
Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
a) Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
b) Defisiensi Glutation reduktas
c) Defisiensi Glutation
d) Defisiensi Piruvatkinase
e) Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
f) Defisiensi difosfogliserat mutase
g) Defisiensi Heksokinase
h) Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase

3) Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya
(95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya konsentrasi HbF akan
menurun, sehingga pada umur satu tahun telah mencapai keadaan yang
normal
Sebenarnya terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin
ini, yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin
abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain
b. Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin. Misal
talasemia

b. Faktor Ekstrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.

2
1) Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat
2) Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi yang
dibentuk oleh tubuh sendiri.
3) Infeksi, plasmodium, boriella

1.3 Tanda gejala


Kadang kadang Hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat, menyebabkan krisis
hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di tandai dengan:
1. Demam
2. Mengigil

3. Nyeri punggung dan lambung

4. Perasaan melayang

5. Penurunan tekanan darah yang berarti

Berdasarkan Tipenya :

a. Anemia hemolitik aotuimun tipe hangat:


Biasanya gejala anemia ini terjadi perlahan-lahan, ikterik, demam, dan ada yang
disertai nyeri abdomen, limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas
sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman dan juga bisa
dijumpai splenomegali pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat. Urin
berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Pada AHA paling tebanyak terjadi
yakni idiopatik splenomegali tarjadi pada50-60%, iketrik terjadi pada 40%,
hepatomegali 30% pasien san limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25% pasien
tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.
b. Anemia hemolitik aotoimun tipe dingin:
Pada tipe dingin ini sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin.Hemolisis berjalan
kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering juga terjadi
akrosinosis dan splenomegali. Pada cuaca dingin akan
menimbulkan meningkatnya penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri
sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada
tangan dan lengan.

1.4 Patofisiologi

3
Patofisiologi anemia hemolitik autoimun ini terjadi melalui aktifasi sistem
komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.6

1. Aktifasi sistem komplemen


Sistem komplemen diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik dan jalur
alternatif . secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intraveskuler. Hal ini
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM, IgG1,IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin oleh karena
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel eritrosit pada suhu
dibawah suhu tubuh, sedangkan IgG disebut aglutinin hangat oleh karena
bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
a. Aktifasi komponen jalur klasik
Reaksi diawali dengan aktifasi C1 (suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit). C1 berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan
menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi reaksi pada jalur klasik. C1
akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi kompleks C4b,2b (C3-convertase).
C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami
perubaha konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan
partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi).
C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap
berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktifasi
C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5
convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan
C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks
penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu,
menyebabkan air dan ion masuk kedalam sel sehingga sel membengkak dan
ruptur.
b. Aktifasi komplemen jalur alternatif
Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan melekat
pada C3b, dan oleh D faktor B akan dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb
merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb
4
lalu akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan
dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5 akan
berperan dalam penghancuran membran.
2. Aktifasi mekanisme seluler
Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen
atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak tejadi aktifasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan
sel eritrosit yang diperantarai oleh sel. Immunoadherenceterutama yang
diperantarai oleh IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:

1. Bilirubin serum meningkat


2. Urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat.
3. Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam.
4. Gambaran peningkatan produksi eritrosit.
5. Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital.
6. hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang.

Gambaran rusaknya eritrosit:

1. morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom mikrositer,


target cell, sickle cell, sferosit.
2. fragilitas osmosis, otohemolisis.
3. umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling crom.
persentasi aktifikas crom dapat dilihat dan sebanding dengan umur eritrosit.
semakin cepat penurunan aktifikas Cr maka semakin pendek umur eritrosit

1.6 Penatalaksanaan

5
Lebih dari 200 jenis anemia hemolitik ada, dan tiap jenis memerlukan perawatan
khusus. Penderita dengan anemia hemolitik autoimun IgG atau IgM ringan kadang
tidak memerlukan pengobatan spesifik, tetapi kondisi lain di mana terdapat
ancaman jiwa akibat hemolitik yang berat memerlukan pengobatan yang intensif.
Tujuan pengobatan adalah mengembalikan nilai-nilai hematologis normal,
mengurangi proses hemolitik dan menghilangkan gejala dengan efek samping
minimal.

a. Terapi transfusi
1) Hindari transfusi kecuali jika benar-benar diperlukan, tetapi mereka mungkin
penting bagi pasien dengan angina atau cardiopulmonary terancam status.
2) Administer dikemas sel darah merah perlahan-lahan untuk menghindari stres
jantung.
3) Iron overload dari transfusi berulang-ulang untuk anemia kronis (misalnya,
talasemia atau kelainan sel sabit) dapat diobati dengan terapi khelasi.
Tinjauan sistematis baru-baru ini dibandingkan besi lisan chelator
deferasirox dengan lisan dan chelator deferiprone parenteral tradisional agen,
deferoxamine.

b. Menghentikan obat
1) Discontinue penisilin dan agen-agen lain yang dapat menyebabkan
hemolisis kekebalan tubuh dan obat oksidan seperti obat sulfa
2) Obat yang dapat menyebabkan hemolisis kekebalan adalah sebagai
berikut (lihat Referensi untuk daftar lebih lengkap) :
a) Penisilin
b) Sefalotin
c) Ampicillin
d) Methicillin
e) Kina
f) Quinidine
3) Kortikosteroid
Penderita dengan anemia hemolitik autoimun karena IgG mempunyai
respon yang baik terhadap pemberian steroid dengan dosis 2-
10mg/kgBB/hari. Bila proses hemolitik menurun dengan disertai
peningkatan kadar Hb (monitor kadar Hb dan retikulosit), maka dosis
kortikosteroid diturunkan secara bertahap.
Pemberian kortikosteroid jangak panjang perlu mendapat pengawasan
terhadap efek samping, dengan monitor kadar elektrolit, peningkatan

6
nafsu makan, kenaikan berat badan, gangguan tumbuh kembang, serta
risiko terhadap infeksi.
c. Splenektomi dapat menjadi pilihan pertama pengobatan dalam beberapa jenis
anemia hemolitik, seperti spherocytosis turun-temurun. Diimunisasi terhadap
infeksi dengan organisme dikemas, seperti Haemophilus influenzae dan
Streptococcus pneumoniae, sejauh sebelum prosedur mungkin.
1) Dalam kasus lain, seperti di AIHA, splenektomi dianjurkan bila langkah-
langkah lain telah gagal.
2) Splenektomi biasanya tidak dianjurkan dalam gangguan hemolitik seperti
anemia hemolitik agglutinin dingin.
3) Diimunisasi terhadap infeksi dengan organisme dikemas, seperti
Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae, sejauh sebelum
prosedur mungkin.
d. Gammaglobulin intravena
Pemberian gammaglobulin intravena dengan dosis 2g/kgBB pada penderita
anemia hemolitik autoimun dapat diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid.
e. Plasmafaresis untuk pengobatan anemia hemolitik autoimun yang disebabkan
oleh IgG kurang efektif bila dibandingkan dengan hemolitik yang disebabkan
oleh IgM meskipun sifatnya hanya sementara
f. Penanganan gawat darurat:
Atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, perbaiki fungsi
ginjal. Jika terjadi penurunan hemoglobin berat perlu diberi diberi transfusi
namun dengan pengawasan ketat. Transfusi yang diberikan berupa washed red
cell untuk mengurangi beban antibodi. Selain itu juga diberi steroid parenteral
dosis tinggi atau hiperimun untuk menekan aktivitas makrofag.
g. Terapi suportif-simptomatik:
Bertujuan untuk menekan proses hemolisis terutama dilimfa dengan jalan
splenektomi (operasi pengangkatan limfa). Selain itu perlu juga diberi asam
folat 0,15-0,3mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
h. Terapi kausal:
Mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini idiopatik
(tidak diketahui penyebabnya) dan herediter (bawaan) sehingga sulit untuk
ditangani. Pada thalasemia, transplantasi sumsum tulang bisa dilakukan

7
Pathway

Kegagalan
produksi SDM
Defisiensi B12, oleh sum-sum Destruksi SDM
asam folat, berlebih Perdarahan/hemofil
tulang
besi ia

Penurunan
SDM

Hb berkurang

Anemia

Suplai O2 dan
nutrisi ke jaringan

Gastro Hipoksia SS
intestinal P
Penurun Mekanisme an
Reaksi antar
an kerja aerob
saraf

Peristalti Kerja Asam Pusing


k lambung laktat
menurun menurun ATP
Makana berkurang MK :
n sulit As.
Kelelahan Energi untuk - Nyeri
dicerna Lambung
membentuk - Gangguan
meningkat Rasa
antibodi
8 Nyaman
Anoreksia

mual
MK :
MK : Intoleran
Konstipa si MK :
si Resiko
MK : infeksi
Ketidakseimbang
an nutrisi kurang
dari kebutuhan

II. Rencana asuhan klien dengan gangguan


2.1 Pengkajian
1) Biodata :
a) Nama
b) Umur
c) Jenis kelamin
d) Pendidikan
e) Nomo reg

2) Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan dahulu
- Kemungkinan klien pernah terpajan zat-zat kimia atau mendapatkan
pengobatan seperti anti kanker,analgetik dll
- Kemungkinan klien pernah kontak atau terpajan radiasi dengan kadar
ionisasi yang besar
- Kemungkinan klien kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung as.
Folat,Fe dan Vit12.
- Kemungkinan klien pernah menderita penyakit-penyakit infeksi
- Kemungkinan klien pernah mengalami perdarahan hebat
b) Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit anemia dapat disebabkan olen kelainan/kegagalan genetik yang
berasal dari orang tua yang sama-sama trait sel sabit
c) Riwayat kesehatan sekarang
- Klien terlihat keletihan dan lemah
- Muka klien pucat dan klien mengalami palpitasi
- Mengeluh nyeri mulut dan lidah
3) Kebutuhan dasar
a) Pola aktivitas sehari-hari
- Keletihan,malaise,kelemahan
- Kehilangan produktibitas : penurunan semangat untuk bekerja
b) Sirkulasi

9
- Palpitasi,takikardia,mur mur sistolik,kulit dan membran mukosa
( konjungtiva,mulut,farink dan bibir) pucat
- Sklera : biru atau putih seperti mutiara
- Pengisian kapiler melambat atau penurunan aliran darah keperifer dan
vasokonstriksi (kompensasi)
- Kuku : mudah patah,berbentuk seperti sendok
- Rambut kering,mudah putus,menipis dan tumbuh uban secara prematur
c) Eliminasi
Diare dan penurunan haluaran urin
d) Integritas ego
Depresi,ansietas,takut dan mudah tersinggung
e) Makanan dan cairan
- Penurunan nafsu makan
- Mual dan muntah
- Penurunan BB
- Distensi abdomen dan penurunan bising usus
- Nyeri mulut atau lidah dan kesulitan menelan
f) Higiene
Kurang bertenaga dan penampilan tidak rapi
g) Neurosensori
- Sakit kepala,pusing,vertigo dan ketidak mampuan berkonsentrasi
- Penurunan penglihatan
- Gelisah dan kelemahan
h) Nyeri atau kenyamanan
Nyeri abdomen samar dan sakit kepala
i) Pernafasan
Nafas pendek pada istirahat dan aktivitas (takipnea,ortopnea, dan dispnea)
j) Keamanan
Gangguan penglihatan,jatuh,demam dan infeksi
k) Seksualitas
- Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
- Hilang libido
- Impoten
4) Pemeriksaan diagnostik
a) Jumlah darah lengakap (JDL) : Hb dan Ht menurun

10
b) Jumlah eritrosit menurun
c) Bilirubin serum ( tak tergonjugasi) : meningkat
d) Tes schilling : penurunan ekskresi Vit12 di urin
e) Guaiak : mungkin positif untuk darah pada urin dan feses

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Nyeri akut (00132) Hal 469
2.1.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
munculakibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan
dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the study
of Pain): awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan.
2.2.2 Batasan karakteristik:
1. Perubahan tekanan darah
2. Perubahan frekuensi jantung
3. Perubahan frekuensi pernapasan
4. Mengekspresikan perilaku (misalnya gelisah, merengek, menangis)
5. Sikap melindungi area nyeri
6. Fokus menyempit (misalnya gangguan persepsi nyeri, hambatan proses
berpikir,penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
7. Indikasi nyeri yang dapat diamati
8. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
9. Melaporkan nyeri secara verbal
10. Gangguan tidur
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Agen cidera (fisik, biologis, kimiawii)

Diagnosa 2: ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


2.2.4 Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
2.2.5 Batasan karakteristik
Berat badan 20% atau lebih dibah rentang berat badan ideal
Bising usus hepraktif
Penekanan pada abdomen
Diare
Gangguan sensasi rasa
Kelemahan otot pengunyah
Kelemahan otot untuk menelan

11
Kerapuhan kapiler
Kram abdomen
Nyeri abdomen
Tonos otot menurun
Pembuluh kapiler rapuh
2.2.6 Faktor yang berhubungan
Peningkatan metabolesme tubuh
Penurunan nafsu makan akibat sesak nafas sekunder terhadap penekanan
struktur abdomen.
Factor biologis
Factor ekonomi
Gangguan psikososial
Ketidakmampuan mencerna makan
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : Nyeri akut
2.3.3 Tujuan dan Kriteria hasil
NOC:
a) Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap kemudahan fisik
psikologis
b) Pengendalian nyeri: tindakan individu untuk mengendaikan nyeri
c) Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau dilaporkan
Tujuan/criteria hasil
- Memperlihatkan pengendaian nyeri, yang dibuktikan oleh indicator
sebagai berikut:
a) tidak pernah
b) jarang
c) kadang-kadang
d) sering
e) selalu

Indikator 1 2 3 4 5
Mengenali awitan nyeri
Menggunakan tindakan
pencegahan
Melaporkan nyeri dapat
dikendaikan

Menunjukan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut:


1. sangat berat
2. berat
12
3. sedang
4. ringan
5. tidak ada

Indicator 1 2 3 4 5
Ekspresi nyeri pada wajah
Gelisah atau ketegangan otot
Durasi episode nyeri
Merintih dan menangis
Gelisah

a) memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk


mencapai kenyamanan
b) mempertahankan nyeri pada .atau kurang (dengan skala 0-10)
c) melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
d) mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan untuk memodifikasi

factor tersebut
e) melaporkan nyeri kepada pelayan kesehatan
f) melaporkan pola tidur yang baik

2.3.4 Intervensi Keperwatan dan rasional


Intervensi NIC
- Pengkajian
a) Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk

mengumpulkan informasi pengkajian


b) Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.
c) Gunakan bagan alir nyeri untuk mementau peredaan nyeri oleh analgesic dan

kemungkinan efek sampingnya


d) Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri

dan respon pasien


e) Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai usia dan tingkat
perkembangan pasien
f) Manajemen nyeri:
g) lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,
awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan factor
presipitasinya
h) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang
tidak mampu berkomunikasi efektif

Penyuluhan untuk pasien/keluarga


a) Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus diminum,

frekuensi, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan interaksi

13
obat, kewaspadaan khusus saat mengkonsumsi obat tersebut dan nama orang yang
harus dihubungi bila mengalami nyeri membandel.
b) Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada perawat jika peredaan nyeri tidak

dapat dicapai
c) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan

tawarkan strategi koping yang ditawarkan


d) Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesic narkotik atau oploid (resiko
ketergantungan atau overdosis)
e) Manajemen nyeri:
f) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan

berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur


g) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (relaksasi, distraksi, terapi)

Aktivitas kolaboratif
a) Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate yang terjadwal (missal,

setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA


b) Manajemen nyeri:
c) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat
d) Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat ini

merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien dimasa lalu

Perawatan dirumah
a) Intervensi di atas dapat disesuaikan untuk perawatan dirumah
b) Ajarkan klien dan keluarga untuk memanfaatkan teknologi yang diperlukan dalam

pemberian obat

Untuk bayi dan anak-anak


a) Waspadai bahwa sama halnya dengan orang dewasa, bayi pun sensitive terhadap

nyeri, gunakan anastetik topical sebelum melakukan pungsi vena, untuk bayi baru
lahir gunakan sukrosa oral
b) Untuk mengkaji nyeri pada anak yang masih kecil, gunakan skala nyeri wajah atau
skala nyeri bergambar lainnya

Untuk lansia
a) Perhatikan bahwa lansia mengalami peningkatan sensitivitas terhadap efek analgesic

opiate, dengan efek puncak yang lebih tinggi dan durasi peredaan nyeri yang lebih
lama
b) Perhatikan kemungkinan interaksi obat-obat dan obat penyakit pada lansia, karena
lansia sering mengalami penyakit multiple dan mengonsumsi banyak obat
c) Kenali bahwa nyeri bukan bagian dari proses norma penuaan
d) Pertimbangkan untuk menurunkan dosis opioid dari dosis biasanya untuk lansia,
karena lansia lebih sensitive terhadap opioid
14
e) Hindari penggunaan meperidin (demerol) dan propoksifen (darvon) atau obat lain
yang dimetabolisme diginjal
f) Hindari penggunaan obat dengan waktu paruh yang panjang karena yang

meningkatkan kemungkinan toksisitas akibat akumulasi obat


g) Ketika mendiskusikan nyeri, pastikan pasien dapat mendengar suara saudara dan

dapat melihat tulisan yang ada diskala nyeri


h) Ketika memberikan penyuluhan mengenai medikasi, ulangi informasi sesering
mungkin, tinggalkan informasi tertulis untuk pasien
i) Kaji interaksi obat termasuk obat bebas

2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil:


Nutritional Status : food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
- Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
- Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
- Tidak ada tanda tanda malnutrisi
- Tidak terjadi penurunan berat badan
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional:
Nutrition Management
1. Kaji adanya alergi makanan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.
3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
4. Berikan substansi gula
5. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
6. Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
7. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
8. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
9. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
10. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.

Nutrition Monitoring
1. BB pasien dalam batas normal
2. Monitor adanya penurunan berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
4. Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
5. Monitor lingkungan selama makan
6. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
7. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
8. Monitor turgor kulit
9. Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
10. Monitor mual dan muntah
11. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
15
12. Monitor makanan kesukaan
13. Monitor pertumbuhan dan perkembangan

II. Daftar Pustaka


Sudoyo W. Aru, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2009. p.1152-1159, 1379-1389.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. EGC. Jakarta

Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Ed 3. Jakarta: Media


Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. p. 550-552

Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC

Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta :


EGC

16
Handayani Wiwik dan Andi Sulistyo. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika

Moss PAH, Pettit JE, Hoffbrand AV. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta :EGC;
2005.h.51-63

Thomas J, Monaghan T. Buku saku oxford pemeriksaan fisik & keterampilan praktis.
Jakarta: EGC; 2012

Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik


hematologi. Jakarta : Biro Publikasi FK UKRIDA; 2009

Banjarmasin, 03 April 2017

17
Preseptor akademik, Preseptor klinik,

(............................................................) (............................................................)

18

Anda mungkin juga menyukai