Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN ANALISA SINTESA (DOPS)

DI RUANG IGD RSUD Dr. H. Moch Anshari Saleh Banjarmasin

Oleh :

MARIYANI, S.Kep

1614901110016

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN

BANJARMASIN, 2017
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit Cedera Kepala


I.1. Definisi
Cardiac myxoma adalah neoplasma jinak pada jantung yang mengandung
komponen sel-sel mesenkim bentuk stellata sampai spindle yang tersusun
dalam stroma yang edematous.

Cardiac Myxoma sering menunjukkan gejala yang tidak khas dan kadang-
kadang ditemukan secara insidentil selama pemeriksaan fisik.
Gejala yang dikeluhkan penderita selalu berhubungan dengan massa yang
tampak dengan pemeriksaan transthoracic echocardio graphy (TTE),
magnetic resonance imaging (MRI) ataupun dengan pemeriksaan computed
tomography scaning (CT scan). Oleh karena gejala yang ditimbulkan mirip
dengan kondisi kelainan jantung lainnya, hal ini merupakan tantangan bagi
klinisi untuk penangan yang lebih baik.
Tumor primer pada jantung merupakan jenis tumor yang jarang ditemukan
dalam dunia kedokteran, dengan angka kejadian 0,0017 hingga 0,19 persen.
Sepertiga dari jumlah tersebut merupakan jenis tumor jinak. Hampir
sebagian dari tumor jinak tersebut merupakan myxoma, selain myxoma
terdapat pula lipomas, papillary fibroelastoma, serta rhabdomyoma.
Myxoma merupakan jenis tumor primer jinak pada jantung yang sering
terjadi pada orang dewasa, sedangkan rhabdomyoma merupakan jenis tumor
primer yang sering ditemukan pada anak-anak. Myxoma merupakan tumor
jinak yang umumnya muncul pada atrium kiri, cardiac myxoma ini pertama
kali dijelaskan oleh para ahli pada tahun 1845. Sebelum tahun 1951,
diagnosis cardiac myxoma hanya dapat ditegakkan pada saat pemeriksaan
postmortem. Angiocardiografi saat ini merupakan pemeriksaan penunjang
yang sangat baik digunakan dalam mendiagnosis cardiac tumor. Pada tahun
1955 untuk pertama kalinya telah berhasil dilakukan eksisi tumor pada
atrium kiri dan hingga saat ini eksisi tumor merupakan terapi terbaik pada
tumor cardiac, dengan angka keberhasilan yang tinggi.
Myxoma merupakan tumor jinak yang umumnya muncul pada atrium kiri
yang dapat terjadi pada semua golongan usia, tetapi tumor ini umumnya
terjadi pada usia 30-60 tahun. Hampir 75 persen cardiac myxoma tumbuh
pada bagian atrium kiri dan 15 hingga 20 persen tumbuh pada atrium kanan.
Myxoma ini merupakan neoplasma endokrin yang biasanya muncul dari
endokardium ke ruang dalam jantung. Temuan klinis dari myxoma
ditentukan dari lokasi, ukuran, dan mobilitasnya. Sebagian besar pasien
datang dengan satu atau lebih dari trias embolism, obstruksi intrakardia, dan
gejala penyerta. Beberapa ditemukan tanpa gejala, biasanya yang memiliki
tumor ukuran kecil. Pada sebagian besar kasus cardiac myxoma, seringkali
dijumpai adanya sistolik serta diastolic murmur. Hal tersebut berdasarkan
atas lokasi serta mobilitas dari tumor itu sendiri. Hingga saat ini metode
operasi merupakan pilihan terapi pada cardiac myxoma. Setelah diagnosis
ditegakkan , harus segera dilakukan operasi karena besar kemungkinan
untuk terjadi komplikasi seperti emboli hingga kematian.

Myxoma merupakan jenis tumor primer jinak pada jantung yang sering
terjadi padaorang dewasa, yang umumnya muncul pada atrium kiri.
Miksoma adalah tumor jinak,dimana bentuk jantung biasanya tidak teratur
dan kepadatannya seperti jeli (agar-agar).50% dari tumor primer adalah
miksoma. 75% dari miksoma ditemukan di atrium kiri(bilik jantung yang
menerima darah yang kaya akan oksigen dari paru-paru). Miksomaadalah
tipe tumor jantung primer yang paling sering dijumpai pada seluruh
kelompokusia. Dapat muncul di segala usia, paling sering pada dekade
ketiga sampai keenam,dengan predileksi pada perempuan.
Tumor pada jantung dibagi menjadi 2 kelompok:
1. Tumor primer: berasal dari dalam jantung dan bisa terjadi pada bagian
manapundari jaringan jantung. Tumor ini bisa berupa kanker
atau nonkanker danbiasanya jarang terjadi.
2. Tumor sekunder: berasal dari bagian tubuh yang lain (biasanya paru-
paru,payudara, darah, dan kulit), yang menyebar ke jantung dan
selalu berupakeganasan. Tumor sekunder 30-40 kali lebih sering
ditemukan.
Hampir semua keganasan jantung primer adalah sarkoma, yang mungkin
terdiridari beberapa tipe histologis. Umumnya, tumor-tumor ini
dicirikan dengan memburuknya keadaan dengan cepat yang mengarah ke
kematian pasien dalam beberapa minggu atau bulan. Sarkoma umumnya
melibatkan sisi kanan jantung, dankarena pertumbuhan yang sangat cepat,
invasi ke ruang perikardial dan penyumbatanjantung atau vena kava sering
dijumpai. Sarkoma juga mungkin muncul pada bagiankiri jantung dan
mungkin disalahartikan sebagai miksoma.
Adapun tumor jinak lainnya yaitu lipoma. Lipoma mungkin tumbuh sampai
sebesar15 cm dan mungkin muncul dengan gejala karena interferensi
mekanik dengan fungsijantung, aritmia, atau gangguan konduksi, atau
sebagai abnormalitas siluet jantung padapemmeriksaan foto rontgen dada.
Rabdomioma dan fibroma, merupakan tumor-tumoryang paling sering
muncul pada bayi dan anak-anak, paling sering muncul padaventrikel dan
karena itu menunjukkan tanda-tanda dan gejala obstruksi mekanik.

1.2 Etiologi
Beberapa jenis miksoma cenderung diturunkan dalam keluarga (Herediter).
Miksoma yang bersifat herediter biasanyadi temukan pada pria muda pada
usia pertengahan 20 tahun. Miksoma yang bersifat herediter biasanya pada
wanita, seringkalipada usia antara 40-60 tahun.

Tumor yang berasal di beberapa bagian lain dari tubuh biasanya


paru-paru,payudara, darah, atau kulit, dan kemudian menyebar (metastasize)
ke jantung disebuttumor sekunder. Selalu bersifat kanker. Tumor jantung
sekunder pada jantung adalah 30 sampai 40 kali lebih sering terjadi
dibandingkan tumor jantung primer namun tetaptidak sering terjadi. Sekitar
10% orang yang menderita kanker paru-paru atau kanker payudara, kanker
kedua yang paling sering terjadi dan sekitar 75% orangdengan
melanoma malignant mengalami metastases ke jantung.

Baik tumor primer maupun sekunder bisa terjadi pada kantung yang
mengelilingijantung (pericardium). Tumor pada pericardium bisa
menekan (constrict) jantung,encegahnya untuk pengisian dengan baik.
Sakit di dada dan gagal jantung bisa terjadi.

Meskipun banyak teori telah diajukan mengenai etiologi cardiac myxoma,


histogenesis yang tepat masih belum diketahui dengan pasti. Dahulu
dipercaya munculnya cardiac myxoma berasal dari mural thrombus. Tetapai
ada perbedaan yang substansial antara myxoma dengan thrombus. Meskipun
mural thrombus cenderung muncul pada individu dengan penyakit jantung
tetapi dapat muncul pada banyak tempat di dalam jantung, sedangkan
myxoma konsisten dalam lokasi yaitu pada fossa ovalis.
Studi lebih jauh membuktikan bahwa secara histologi myxoma tidak
tersusun dari jaringan ikat fibrous yang ditunjukkan dengan adanya
stratifikasi yang merupakan gambaran klasik mural thrombus. Cardiac
myxoma juga dapat dibedakan dengan mural thrombus melalui studi kultur
jaringan. Bukti ini mendukung myxoma adalah suatu neoplasma, maka
dibuatlah konsensus bahwa cardiac myxoma bukanlah suatu mural
thrombus, tetapi suatu neoplasma.

Hal yang mendorong terjadinya transformasi neoplastik hingga saat ini


belum jelas diketahui. Meskipun faktor genetik sudah diketahui memegang
peranan penting dalam myxoma familial, faktor genetik belum dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada kasus cardiac myxoma sporadik. Studi
yang dilakukan saat ini menunjukkan adanya kemungkinan infeksi sebagai
etiologi. Li et al, melaporkan adanya bukti infeksi herpes simplex virus 1
(HSV-1) pada 70% kasus bedah reseksi pada cardiac myxoma sporadik.

Dengan tanpa melihat apa yang mendasari terjadinya cardiac myxoma, studi
tentang morfologi, ultrastruktur dan immunoperoksidase dilakukan untuk
mempelajari sel-sel neoplasma ini yang merupakan sel-sel primitif yang
diduga berasal dari sel-sel multipoten mesenkim.

1.3 Tanda Gejala


Gangguan konstitusional, seperti lelah, demam, bercak kemerahan,
artralgia, mialgia, dan penurunan berat badan, dan juga kelainan
laboratorium seperti anemia danpeningkatan laju endap darah dan serum C-
reaktif protein, serta kadar globulin, telah di temukan pada banyak pasien,
tergantung dari letak dan ukuran tumor, dugaan infeksi (contoh: endokarditis
dan demam rematik), gangguan imunologis (contoh: reumatoidartritis,
vaskulitis, atau penyakit gangguan kolagen), atau kelainan maligna
lainnya.Anemia biasanya normokromik atau hipokromik, namun anemia
hemolitik juga bisaterjadi karena destruksi mekanis oleh tumor, polisitemia
juga pernah dilaporkan terjadi.Temuan yang jarang didapatkan adalah
leukositosis, trombositopenia, sianosis,clubbing, dan fenomena Raynaud's.
Penelitian terakhir menemukan bahwa produksi danpelepasan sitokin
interleukin 6 oleh tumor bertanggung jawab terhadap terjadinya
peradangan dan manifestasi autoimun. Pada suatu kasus, gejala sistemik
menghilangsetelah pengangkatan tumor dilakukan.
1.4 Patofisiologi
Myxoma merupakan neoplasma endokrin yang biasanya muncul dari
endokardiumke ruang dalam jantung. Sel yang menyokong myxoma
diperkirakan berasal dari selmesenkim multipotensial yang merupakan
residu embrionik selama septasi jantung dandiferensiasi menjadi sel endotel,
sel otot polos, angioblas, fibroblas, sel kartilago, danmioblas. Prevalensi
myxoma pada septum atrium masih belum diketahui secara pasti.Rata-rata
pertumbuhan myxoma belum diketahui namu biasanya muncil dengan
pertumbuhan yang relatif cepat. Terdapat satu laporan yang mengatakan
terdapat myxoma pada atrium kiri yang tidak berubah dalam 28 bulan.
Myxoma jantung yang berpotensi maligna masih diragukan, tetapi beberapa
laporan bahwa terdapat material myxoma yang terembolisasi.

Kadang-kadang myxoma dapat terinfeksi, yang mana dalam hal ini,


embolisasisistemik menjadi ancaman bahaya. Pada satu kasus, vegetasi
pada myxoma dapatdideteksi melalui ekokardiografi, dan temuan ini
dikonfirmasi dengan pembedahan.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Hingga saat ini metode operasi merupakan pilihan terapi pada cardiac
myxoma.Setelah diagnosis ditegakkan, harus segera dilakukan operasi
karena besar kemungkinanuntuk terjadi komplikasi seperti emboli hingga
kematian. Pada beberapa kasus, myxomadapat dengan mudah dihilangkan
karena bentuknya yang bertangkai. Setelah dilakukansternotomi, eksisi
tumor dapat segera dilakukan dengan menggunakan mild general dandeep
topical hypothermia, cardioplegic cardiac arrest, dan cardiopulmonary
bypass. Dasar dari tangkai serta bagian yang menebal yang berdekatan
dengan septuminteratria dapat dengan segera dihilangkan, kemudian
dilakukan penutupan dari atrialseptal defect dengan penjahitan secara
langsung apabila kerusakan terlalu luas dapatdigunakan pericardial atau
Dacron Patch. Seluruh bagian dari jantung harus dievaluasidengan baik
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya multifocal tumor. Bila
ditemukan adanya kerusakan mekanik dari katup jantung atau perlekatan
tumor padakatup jantung maka dapat dilakukan annuloplasty atau dengan
prosthetic valve

Prognosis jangka pendek dan jangka panjang umumnya baik, angka


kematian pascapembedahan ialah 0-3 persen. Setelah pembedahan, myxoma
sangat mungkin untukterjadi kembali. Sejak tahun 1967, telah terjadi 35
kasus myxoma berulang yang dilaporkan. Sebagian besar kejadian
myxoma berulang tersebut dapat terdiagnosissetelah 4 tahun pertama paska
pembedahan. Secara keseluruhan, resiko untuk terjadinya myxoma berulang
12 hingga 22 persen pada familial myxoma.

1.6 Komplikasi
1.6.1 Kerusakan saraf cranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi
penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma,
dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang
mengakibatkan kebutaan, terjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.
c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan
menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang
mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya
cedera yang berat pada salah satu organtersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain.
1.6.2 Disfasia
Disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit sistem saraf pusat.
Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama,
rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak
ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.

1.6.3 Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya
berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
1.6.4 Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri
kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
1.6.5 Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan
oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising
pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau
pemeriksa dengan menggunakan
stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan
konjungtiva, diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri
pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
1.6.6 Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
1.7 Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis yaitu diantaranya:
1.7.1 Tindakan terhadap peningkatan TIK
a. Pemantauan TIK dengan ketat
b. Oksigenasi adekuat
c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peningkatan tempat tidur pada bagian kepala
f. Bedah neuro
1.7.2 Tindakan pendukung lain
a. Dukung ventilasi
b. Pencegahan kejang
c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
d. Terapi antikonvulsan
e. CPZ untuk menenangkan pasien
f. NGT

Menurut Satyanegara, 2010 dalam Asuhan Keperawatan Praktis 2016 yaitu


1.7.1 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-rinsip ABC (Airway,
Breating- Circulation). Keadaan dimana hipoksemia, hipotensi,
anemia akan cenderung memperhebat peninggian TIK dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
1.7.2 Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada
kesempatan pertama
1.7.3 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan dibagian tubuh lainnya.
1.7.4 Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil,reflek okulosefalik dan reflex okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah
peenderita rendah (syok).
1.7.5 Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya
1.7.6 Pemberian pengobatan seperti: antiedemaserebri, anti kejang, dan
natrium bikarbonat.
1.7.7 Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti: sken tomografi computer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
1.8 Pathway Cedera Kepala
II. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Cedera Kepala
1.1 Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan
system persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis, riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial.
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: Letih, lelah, malaise, perubahan kesadaran dan kehilangan
keseimbangan sakit kepala yang hebat pada saat perubahan postur
tubuh/aktivitas. Keterbatasan akibat keadaan.
b. Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi
Tanda: Hipertensi, denyutan vaskuler (misalnya daerah temporal), pucat,
wajah tampak kemerahan.
c. Integritas Ego
Gejala:
a) Perasaan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidak berdayaan, depresi.
b) Peka rangsangan selama nyeri kepala
c) Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu.
d. Makanan/cairan
Gejala:
a) Makan-makanan yang tinggi kandungan vasoaktifnya, misalnya
kafein, coklat, daging berlemak.
b) Mual/muntah, anoreksia
c) Penurunan berat badan
e. Neurosensori
Gejala:
a) Pusing, disorientasi, tidak mampu berkonsentrasi
b) Riwayat cedera kepala yang baru terjadi, trauma, infeksi intracranial
c) Kraniotomy
d) Penurunan tingkat kesadaran
e) Status mental: mengobservasi penampilan klien dan tingkah laku
f) Perubahan visual, sensitive terhadap cahaya/suara yang keras.
g) Kelemahan progresif/paralisi satu sis temporer
Tanda:
a) Perubahan pola bicara/prosespikir
b) Mudah terangsang,peka terhadap stimulus
c) Penurunan reflek tendon dalam papiledema
f. Nyeri/Kenyamanan
Karakteristik tergantung pada jenis sakit kepala:
Pascatraumatik: beratdan biasanya bersifat kronis, kontiniu atau
intrmiten, setempat atau umum, intensitas beragam, diperburuk oleh
gangguan emosional, perubahan posisi tubuh.
Tanda: Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah, respon
emosional/perilaku tak terarah, gelisah.
g. Interaksi social:
Gejala: perubahan dalam tanggung jawab peran/interaksi social yang
berhubungan dengan penyakit.
h. Ventilasi
Pada cedera kepalatertutup disarankan untuk melakukan hiperventilasi
manual dengan memberikan oksigen.
i. Hipotermi
Penurunan laju metabolisme serebral akan oksigen menyebabkan
penurunan darah serebral.

Pengkajian Kegawatdaruratan:

1. Primary Survey
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift
atau jaw thrust. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi dari leher.

b. Breathing dan ventilation


Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.

c. Circulation dan hemorrhage control


1) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. Observasi dalam hitungan detik
untuk dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.

2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.

e. Exposure dan Environment control


Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

2. Secondary Survey
a. Fokus assessment
b. Head to toe assessment

2.1.1 Riwayat keperawatan


2.1.1.1 Anamnesis: Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan
terjadi pada usia muda), jenis kelamin (banyak laki-laki,
karena sering ngebut-ngebutan dengan motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register,
diagnosis medis.
2.1.1.2 Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk
meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh
dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
2.1.1.3 Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma
langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat
kesadaran menurun (GCS <15), konvulsi, muntah, takipnea,
sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala,
paralisis, akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya
liquor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan perubahan di dalam intracranial.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif,
dan koma.Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang
mengantar klien (bila klien tidak sadar) tentang penggunaan
obat-obatan adiktif dan penggunaan alcohol yang sering
terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
2.1.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes
mellitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat
antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adikti, konsumsi
alcohol berlebihan.
2.1.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang mendertita
hipertensi dan diabetes mellitus.
2.1.1.6 Pengkajian Psiko-Sosial-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri).

Adanya perubahan hubungan dalam peran karena klien


mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan
bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa
tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif.

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah


keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien,
karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dan
yang tidak sedikit. Cedera kepala memerlukan biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat
mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang
akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam
hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis didalam sistem dukungan individu.

2.1.2 Pemeriksaan fisik


Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6)
dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Keadaan
umum pasien yaitu dimana pada keadaan cedera kepala umumnya
mengalami penurunan tingkat kesadaran (cedera kepala ringan GCS
14-15, cedera kepala sedang GCS 9-13, cedera kepala berat GCS
kurang dari 8) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
1. Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
(kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
2. Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
3. Brain (B3)
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi:
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
4. Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5. Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
6. Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.

2.1.3 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, urine, kimia darah,
analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral,
seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent
Tengkorak maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi: dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid.
7. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intracranial.

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Nyeri akut (00132)
2.2.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
munculakibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau
digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International
Association for the study of Pain): awitan yang tiba-tiba atau lambat
dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan.
2.2.2 Batasan karakteristik:
1. Perubahan tekanan darah
2. Perubahan frekuensi jantung
3. Perubahan frekuensi pernapasan
4. Mengekspresikan perilaku (misalnya gelisah, merengek,
menangis)
5. Sikap melindungi area nyeri
6. Fokus menyempit (misalnya gangguan persepsi nyeri, hambatan
proses berpikir,penurunan interaksi dengan orang dan
lingkungan)
7. Indikasi nyeri yang dapat diamati
8. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
9. Melaporkan nyeri secara verbal
10. Gangguan tidur
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Agen cidera (fisik, biologis, kimiawi)

Diagnosa 2: Resiko kekurangan volume cairan (00028)


1.2.4 Definisi
Beresiko mengalami dehidrasi vascular, selular, atau intraseluler.
1.2.5 Batasan Karakteristik
Subyektif
Haus
Objektif
1. Perubahan status mental
2. Penurunan turgor kulit dan lidah
3. Kulit dan membrane mokusa kering
4. Hematokrit meningkat
5. Suhu tubuh meningkat
6. Peningkatan frekuensi nadi
7. Penurunan tekanan darah
8. Penurunan volume dan tekanan nadi
9. Kelemahan
Faktor resiko
1. Kehilangan volume cairan aktif
2. Penyimpangan yang mempengaruhi asupan cairan
3. Kehilangan cairan melalui rute abnormal

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Nyeri akut (00132)
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
nyeri berkurang atau dapat terkontrol, dengan kriteria:

1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu


menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri).
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intenitas, frekuensi dan tanda
nyeri).
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
2.3.2 Intervensi Keperawatan dan rasional
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakter, durasi, frekuensi, dan faktor presipitasi
Rasional: membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen
nyeri dan keefektipan program.

2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan


Rasional: dapat mengidentifikasi nyeri klien

3. Jelaskan penyebab nyeri


Rasioanal: meningkatkan pengetahuan dan mengurangi nyeri

4. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas


dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
Rasioanal: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan
kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.

5. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.


Rasional: Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Diagnosa 2: Resiko kekurangan volume cairan (00028)


2.3.3 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau
dehidrasi, membran mokusa lembab, integritas kulit baik, dan nilai
elektrolit dalam batas normal
Kriteria hasil:
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urin
normal, HT normal
2. Tekanan darah, nadi,suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
4. Elastisitas torgur kulit baik
5. Membran mokusa lembab
6. Tidak ada rasa haus berlebihan
2.3.3 Intervensi Keperawatan dan rasional
1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
Rasional: untuk mengetahui keseimbangan cairan yang sudah
masuk dan keluar
2. Monitor status hidrasi (kelembapan membrane mokusa, nadi,
tekanan darah, dan ortostatik)
Rasional: Mengetahui tanda-tanda dehidrasi

3. Monitor vital sign


Rasional: Mengetahui perkembangan perubahan vital sign dan
untuk mengidentifikasi defisit volume cairan.
4. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan
Rasional: mengetahui balance cairan yang masuk kedalam tubuh
5. Kolaborasi : Berikan cairan parenteral sesuai indikasi
Rasional: cara parenteral membantu memenuhi kebutuhan nuitrisi
tubuh.

III. Daftar Pustaka


IV. Reynen Klaus. 1995. Review Article: Cardiac Myxomas. New England
Journal of
V. Medicine. Dec. 14.
VI. 2. Wyne Ahraaz. . 2008. Feature Article : A Look at Cardiac Myxoma.
UWOMJ 77(2).
VII. 3. Ergunez Kazim and Yetkin Ufuk. 2008. Scientific letter : Diagnosis
and Surgical
VIII. Treatment Modalities in Cardiac Myxomas. Anadolu Kardiyol Derg.
p. 379-380.
IX. Desen, Wan. Pengertian Umum Tumor. Dalam: Buku Ajar Onkologi Klinis
Edisi 2. Fakultas
X. Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta: 2007;3-7

Banjarmasin, Januari 2017

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(.....) (..)

Anda mungkin juga menyukai