DI RUANG IGD
Oleh :
MARIYANI, S.Kep
1614901110016
BANJARMASIN, 2017
LAPORAN PENDAHULUAN
a. Ringan
1. GCS = 13 15
2. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit
3. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
1. GCS = 9 12
` c. Berat
1. GCS = 3 8
2. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam.
1.2 Etiologi
Menurut Satyanegara, 2010 dalam Asuhan Keperawatan Praktis, 2016
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi
deselerasi, coup-countre coup, dan cedera rotasional yaitu:
1.2.1 Cedera Akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak (misalnya alat pemukul menghantam kepala atau peluru
yang ditembakkan kekepala).
1.2.2 Cedera Deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek
diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil.
1.2.3 Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
1.2.4 Cedera Coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang cranial daan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul dibagian
belakang kepala.
1.2.5 Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan
atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya
pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga
tengkorak.
1. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi ota
sesaat (pingsan <10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10 menit)
atau terdapat lesi neurologic yang jeas. Kontusio serebri sering terjadi
dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus remporal,
walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri dalam waktu beberapa jam atau haari, dapat berubah menjadi
perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi (Brain
Injury Association of Michigan).
3. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur
terbuka pada cranium (Brain Injury Association of Michigan).
4. Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya
adalah robeknya arteri meningea media. Ditandai dengan penurunan
kesadaran dengan ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan
(hemiparase/plegi, pupil anisokor, reflex patologis satu sisi). Gambaran
CT Scan area hiperdens dengan bentuk bikonvek atau letikuler diantara
2 sutura. Jika perdarahan >20 cc atau > 1 cm midline shift >5 mm
dilakukan operasi untuk menghentikan perdaarahan.
5. Subdural hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat
berasal dari Bridging vein, a/v cortical, sinus venous. Subdural
hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan
otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya peembuluh
darah vena, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi
dalam 48 jam 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala-gejalanya
adalah nyeri kepala, bingung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan
udem pupil, dan secara klinis adanya lateralisasi yang paling sering
berupa hemiparase/plegi. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan
gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi
jika perdarahan tebalnya >1 cm dan terjadi pergeseran garis tengah >5
mm.
6. SAH (Subarachnoid Hematom)
Merupakan perdarahan fokal di daerah subarachnoid.Gejala klinisnya
menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lsi
hiperdens yang mengikuti arah girus-girus serebri di daerah yang
berdekatan dengan hematom. Hanya diberikan terapi konservatif, tidak
memerlukan terapi operatif (Misulis KE, Head TC).
7. ICH (Intracerebral Hematom)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan
otak. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi perdarahan diantara
neuron otak yang relative normal. Indikasi dilakukan operasi adanya
daerah hiperdens, diameter >3 cm, perifer, adanya pergeseran garis
tengah.
8. Fraktur basis kranii (Misulis KE, Head TC)
Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal,
oksipital, sphenoid dan etmoid. Terbagi menjadi fraktur basis kranii
anterior dan posterior. Pada fraktur anterior melibatkan tulang etmoid
dan sphenoid, sedangkan pada fraktur posterior melibatkan tulang
temporal, oksipital dan beberapa bagian tulang sphenoid. Tanda terdapat
ffraktur basis kranii antara lain:
a. Ekimosis periorbital (Racoons eyes)
b. Ekimosis mastoid (Battles sign)
c. Keluar darah beserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
(rinore atau otore)
d. Kelumpuhan nervus cranial
1.4 Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat
irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan
laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal
dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas
tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada
substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala
traumatik berat.
1.6 Komplikasi
1.6.1 Kerusakan saraf cranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi
penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma,
dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang
mengakibatkan kebutaan, terjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.
c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan
menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang
mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya
cedera yang berat pada salah satu organtersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain.
1.6.2 Disfasia
Disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit sistem saraf pusat.
Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama,
rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak
ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.
1.6.3 Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya
berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
1.6.4 Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri
kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
1.6.5 Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan
oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising
pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau
pemeriksa dengan menggunakan
stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan
konjungtiva, diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri
pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
1.6.6 Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
Pengkajian Kegawatdaruratan:
1. Primary Survey
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift
atau jaw thrust. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi dari leher.
2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
2. Secondary Survey
a. Fokus assessment
b. Head to toe assessment
2. Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
3. Brain (B3)
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi:
5. Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
6. Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Nyeri akut (00132)
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
nyeri berkurang atau dapat terkontrol, dengan kriteria:
Amin H, & Hardhi K. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Edisi Revisi Jilid 1.
Yogyakarta: Mediaction.
Pierce A. & Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ke-3. Alih Bahasa:
Vidhia Umami: Penerbit Erlangga.