Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA

DI RUANG IGD

Oleh :

MARIYANI, S.Kep

1614901110016

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN

BANJARMASIN, 2017
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit Cedera Kepala


I.1. Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak (Pierce & Neil. 2006). Trauma atau cedera kepala yang biasa dikenal
sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena baik
trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena
robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik,
serta edema serabral di sekitar jaringan otak. (Fransisca, 2008). Adapun
menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa


Trauma kepala adalah suatu injuri yang dapat melibatkan seluruh struktur
kepala mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan,
tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak
langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan
fungsi kepala, penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematiaan.

Klasifikasi cedera kepala (Brain Injury Association Of Michigan, 2005


dalam Asuhan Keperawatan Praktis, 2016)
Berdasarkan patologi:
1. Cedera kepala primer
Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan
integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang
menyebabkan kemtian sel.
2. Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih
lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak
terkendali, meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema
serebral, perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral,
iskemia serebral, hipotensi sistemik dan infeksi local atau sistemik.

Menurut jenis cedera


Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:

a. Cedera kepala terbuka


Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak
atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh
massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika
tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan
melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/
tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan
laserasi.

Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glasgown Coma Scale)


Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan
nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;

a. Ringan
1. GCS = 13 15
2. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit
3. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang

1. GCS = 9 12

2. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari

30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

3. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

` c. Berat

1. GCS = 3 8
2. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam.

3. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau


hematoma intracranial.

1.2 Etiologi
Menurut Satyanegara, 2010 dalam Asuhan Keperawatan Praktis, 2016
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi
deselerasi, coup-countre coup, dan cedera rotasional yaitu:
1.2.1 Cedera Akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak (misalnya alat pemukul menghantam kepala atau peluru
yang ditembakkan kekepala).
1.2.2 Cedera Deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek
diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil.
1.2.3 Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
1.2.4 Cedera Coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang cranial daan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul dibagian
belakang kepala.
1.2.5 Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan
atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya
pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga
tengkorak.

1.3 Tanda Gejala


Tanda gejala cedera kepala secara umum adalah:
1.3.1 Penurunan kesadaran
1.3.2 Keabnormalan pada sistem pernafasan
1.3.3 Penurunan reflek pupil, reflek kornea
1.3.4 Penurunan fungsi neurologis secara cepat
1.3.5 Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan
darah, bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi).
1.3.6 Pusing, vertigo
1.3.7 Mual dan muntah
1.3.8 Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisik Amnesia
1.3.9 Kejang

Menurut Smeltzer, suzanna, 2002 dalam Asuhan Keperawatan Praktis 2016


Pada pemeriksaan klinis biasanya yang dipakai untuk menentukan cedera
kepala menggunakan pemeriksaan CGS yang dikelompokkan menjadi
cedera kepala ringan, sedang dan berat. Nyeri yang menetap atau setempat,
biasanya menunjukkan adanya fraktur yaitu:
1. Fraktur kubah cranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur
2. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan
hidung
3. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah..

Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi antara lain:

1. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi ota
sesaat (pingsan <10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10 menit)
atau terdapat lesi neurologic yang jeas. Kontusio serebri sering terjadi
dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus remporal,
walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri dalam waktu beberapa jam atau haari, dapat berubah menjadi
perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi (Brain
Injury Association of Michigan).
3. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur
terbuka pada cranium (Brain Injury Association of Michigan).
4. Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya
adalah robeknya arteri meningea media. Ditandai dengan penurunan
kesadaran dengan ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan
(hemiparase/plegi, pupil anisokor, reflex patologis satu sisi). Gambaran
CT Scan area hiperdens dengan bentuk bikonvek atau letikuler diantara
2 sutura. Jika perdarahan >20 cc atau > 1 cm midline shift >5 mm
dilakukan operasi untuk menghentikan perdaarahan.
5. Subdural hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat
berasal dari Bridging vein, a/v cortical, sinus venous. Subdural
hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan
otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya peembuluh
darah vena, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi
dalam 48 jam 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala-gejalanya
adalah nyeri kepala, bingung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan
udem pupil, dan secara klinis adanya lateralisasi yang paling sering
berupa hemiparase/plegi. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan
gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi
jika perdarahan tebalnya >1 cm dan terjadi pergeseran garis tengah >5
mm.
6. SAH (Subarachnoid Hematom)
Merupakan perdarahan fokal di daerah subarachnoid.Gejala klinisnya
menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lsi
hiperdens yang mengikuti arah girus-girus serebri di daerah yang
berdekatan dengan hematom. Hanya diberikan terapi konservatif, tidak
memerlukan terapi operatif (Misulis KE, Head TC).
7. ICH (Intracerebral Hematom)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan
otak. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi perdarahan diantara
neuron otak yang relative normal. Indikasi dilakukan operasi adanya
daerah hiperdens, diameter >3 cm, perifer, adanya pergeseran garis
tengah.
8. Fraktur basis kranii (Misulis KE, Head TC)
Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal,
oksipital, sphenoid dan etmoid. Terbagi menjadi fraktur basis kranii
anterior dan posterior. Pada fraktur anterior melibatkan tulang etmoid
dan sphenoid, sedangkan pada fraktur posterior melibatkan tulang
temporal, oksipital dan beberapa bagian tulang sphenoid. Tanda terdapat
ffraktur basis kranii antara lain:
a. Ekimosis periorbital (Racoons eyes)
b. Ekimosis mastoid (Battles sign)
c. Keluar darah beserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
(rinore atau otore)
d. Kelumpuhan nervus cranial

1.4 Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat
irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan
laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal
dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas
tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada
substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala
traumatik berat.

1.4.1 Proses Primer

Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera


primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson
difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang
diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan
tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang
bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses
primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung
pada daerah yang terkena.

1.4.2 Proses Sekunder

Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma


menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab
sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik,
hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti.
Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga
mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan
kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti
kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang
tergantung lokasi kerusakan.

Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang


lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain.
Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui
setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan
dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada
lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada
epilepsi lobus temporalis.

Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala


disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan
dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio
optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem
vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama
setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon
ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan
hipofisis.

Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan


melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya
menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga
disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat didalam batang otak.Batang otak dapat
mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder
akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena
kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi
unkus.

Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi


pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas
deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan
tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam
fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks
serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal.
Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang
menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang
dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan
timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada
gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi
respiratorik.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Satyanegara, 2010 dalam Asuhan Keperawatan Praktis, 2016
pemeriksaan penunjang diantaranya:
1.5.1 Foto polos tengkorak (skull X-ray)

1.5.2 Angiografi serebral

1.5.3 Pemeriksaan MRI

1.5.4 CT Scan: indikasi ct scan nyeri kepala atau muntah-muntah,


penurunan GCS lebih 1 point, adanya lateralisasi, bradikardi, (nadi
<60x/menit), fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai,
tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan luka tembus akibat
benda tajam atau peluru.

1.6 Komplikasi
1.6.1 Kerusakan saraf cranial

a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi
penderita anosmia.

b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma,
dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang
mengakibatkan kebutaan, terjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.

c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.

d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan
menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang
mengalami kerusakan.

e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya
cedera yang berat pada salah satu organtersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain.
1.6.2 Disfasia
Disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit sistem saraf pusat.
Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama,
rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak
ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.

1.6.3 Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya
berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
1.6.4 Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri
kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
1.6.5 Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan
oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising
pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau
pemeriksa dengan menggunakan
stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan
konjungtiva, diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri
pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
1.6.6 Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.

1.7 Penatalaksanaan medis


Penatalaksanaan medis yaitu diantaranya:
1.7.1 Tindakan terhadap peningkatan TIK
a. Pemantauan TIK dengan ketat
b. Oksigenasi adekuat
c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peningkatan tempat tidur pada bagian kepala
f. Bedah neuro
1.7.2 Tindakan pendukung lain
a. Dukung ventilasi
b. Pencegahan kejang
c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
d. Terapi antikonvulsan
e. CPZ untuk menenangkan pasien
f. NGT

Menurut Satyanegara, 2010 dalam Asuhan Keperawatan Praktis 2016 yaitu


1.7.1 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-rinsip ABC (Airway,
Breating- Circulation). Keadaan dimana hipoksemia, hipotensi,
anemia akan cenderung memperhebat peninggian TIK dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
1.7.2 Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada
kesempatan pertama
1.7.3 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan dibagian tubuh lainnya.
1.7.4 Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil,reflek okulosefalik dan reflex okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah
peenderita rendah (syok).
1.7.5 Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya
1.7.6 Pemberian pengobatan seperti: antiedemaserebri, anti kejang, dan
natrium bikarbonat.
1.7.7 Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti: sken tomografi computer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
1.8 Pathway Cedera Kepala
II. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Cedera Kepala
1.1 Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan
system persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis, riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial.
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: Letih, lelah, malaise, perubahan kesadaran dan kehilangan
keseimbangan sakit kepala yang hebat pada saat perubahan postur
tubuh/aktivitas. Keterbatasan akibat keadaan.
b. Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi
Tanda: Hipertensi, denyutan vaskuler (misalnya daerah temporal), pucat,
wajah tampak kemerahan.
c. Integritas Ego
Gejala:
a) Perasaan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidak berdayaan, depresi.
b) Peka rangsangan selama nyeri kepala
c) Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu.
d. Makanan/cairan
Gejala:
a) Makan-makanan yang tinggi kandungan vasoaktifnya, misalnya
kafein, coklat, daging berlemak.
b) Mual/muntah, anoreksia
c) Penurunan berat badan
e. Neurosensori
Gejala:
a) Pusing, disorientasi, tidak mampu berkonsentrasi
b) Riwayat cedera kepala yang baru terjadi, trauma, infeksi intracranial
c) Kraniotomy
d) Penurunan tingkat kesadaran
e) Status mental: mengobservasi penampilan klien dan tingkah laku
f) Perubahan visual, sensitive terhadap cahaya/suara yang keras.
g) Kelemahan progresif/paralisi satu sis temporer
Tanda:
a) Perubahan pola bicara/prosespikir
b) Mudah terangsang,peka terhadap stimulus
c) Penurunan reflek tendon dalam papiledema
f. Nyeri/Kenyamanan
Karakteristik tergantung pada jenis sakit kepala:
Pascatraumatik: beratdan biasanya bersifat kronis, kontiniu atau
intrmiten, setempat atau umum, intensitas beragam, diperburuk oleh
gangguan emosional, perubahan posisi tubuh.
Tanda: Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah, respon
emosional/perilaku tak terarah, gelisah.
g. Interaksi social:
Gejala: perubahan dalam tanggung jawab peran/interaksi social yang
berhubungan dengan penyakit.
h. Ventilasi
Pada cedera kepalatertutup disarankan untuk melakukan hiperventilasi
manual dengan memberikan oksigen.
i. Hipotermi
Penurunan laju metabolisme serebral akan oksigen menyebabkan
penurunan darah serebral.

Pengkajian Kegawatdaruratan:

1. Primary Survey
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift
atau jaw thrust. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi dari leher.

b. Breathing dan ventilation


Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.

c. Circulation dan hemorrhage control


1) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. Observasi dalam hitungan detik
untuk dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.

2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.

e. Exposure dan Environment control


Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

2. Secondary Survey
a. Fokus assessment
b. Head to toe assessment

2.1.1 Riwayat keperawatan


2.1.1.1 Anamnesis: Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan
terjadi pada usia muda), jenis kelamin (banyak laki-laki,
karena sering ngebut-ngebutan dengan motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register,
diagnosis medis.
2.1.1.2 Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk
meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh
dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
2.1.1.3 Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma
langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat
kesadaran menurun (GCS <15), konvulsi, muntah, takipnea,
sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala,
paralisis, akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya
liquor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan perubahan di dalam intracranial.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif,
dan koma.Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang
mengantar klien (bila klien tidak sadar) tentang penggunaan
obat-obatan adiktif dan penggunaan alcohol yang sering
terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
2.1.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes
mellitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat
antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adikti, konsumsi
alcohol berlebihan.
2.1.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang mendertita
hipertensi dan diabetes mellitus.
2.1.1.6 Pengkajian Psiko-Sosial-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri).

Adanya perubahan hubungan dalam peran karena klien


mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan
bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa
tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif.

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah


keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien,
karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dan
yang tidak sedikit. Cedera kepala memerlukan biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat
mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang
akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam
hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis didalam sistem dukungan individu.

2.1.2 Pemeriksaan fisik


Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6)
dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Keadaan
umum pasien yaitu dimana pada keadaan cedera kepala umumnya
mengalami penurunan tingkat kesadaran (cedera kepala ringan GCS
14-15, cedera kepala sedang GCS 9-13, cedera kepala berat GCS
kurang dari 8) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
1. Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
(kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.

2. Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).

3. Brain (B3)
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi:

a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,


konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
4. Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.

5. Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.

6. Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.

2.1.3 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, urine, kimia darah,
analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral,
seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent
Tengkorak maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi: dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid.
7. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intracranial.

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Nyeri akut (00132)
2.2.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
munculakibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau
digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International
Association for the study of Pain): awitan yang tiba-tiba atau lambat
dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan.
2.2.2 Batasan karakteristik:
1. Perubahan tekanan darah
2. Perubahan frekuensi jantung
3. Perubahan frekuensi pernapasan
4. Mengekspresikan perilaku (misalnya gelisah, merengek,
menangis)
5. Sikap melindungi area nyeri
6. Fokus menyempit (misalnya gangguan persepsi nyeri, hambatan
proses berpikir,penurunan interaksi dengan orang dan
lingkungan)
7. Indikasi nyeri yang dapat diamati
8. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
9. Melaporkan nyeri secara verbal
10. Gangguan tidur
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Agen cidera (fisik, biologis, kimiawi)

Diagnosa 2: Resiko kekurangan volume cairan (00028)


2.2.4 Definisi
Beresiko mengalami dehidrasi vascular, selular, atau intraseluler.
2.2.5 Batasan Karakteristik
Subyektif
Haus
Objektif
1. Perubahan status mental
2. Penurunan turgor kulit dan lidah
3. Kulit dan membrane mokusa kering
4. Hematokrit meningkat
5. Suhu tubuh meningkat
6. Peningkatan frekuensi nadi
7. Penurunan tekanan darah
8. Penurunan volume dan tekanan nadi
9. Kelemahan
Faktor resiko
1. Kehilangan volume cairan aktif
2. Penyimpangan yang mempengaruhi asupan cairan
3. Kehilangan cairan melalui rute abnormal

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Nyeri akut (00132)
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
nyeri berkurang atau dapat terkontrol, dengan kriteria:

1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu


menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri).
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intenitas, frekuensi dan tanda
nyeri).
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
2.3.2 Intervensi Keperawatan dan rasional
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakter, durasi, frekuensi, dan faktor presipitasi
Rasional: membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen
nyeri dan keefektipan program.

2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan


Rasional: dapat mengidentifikasi nyeri klien

3. Jelaskan penyebab nyeri


Rasioanal: meningkatkan pengetahuan dan mengurangi nyeri

4. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas


dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
Rasioanal: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan
kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.

5. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.


Rasional: Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Diagnosa 2: Resiko kekurangan volume cairan (00028)


2.3.3 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau
dehidrasi, membran mokusa lembab, integritas kulit baik, dan nilai
elektrolit dalam batas normal
Kriteria hasil:
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urin
normal, HT normal
2. Tekanan darah, nadi,suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
4. Elastisitas torgur kulit baik
5. Membran mokusa lembab
6. Tidak ada rasa haus berlebihan
2.3.3 Intervensi Keperawatan dan rasional
1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
Rasional: untuk mengetahui keseimbangan cairan yang sudah
masuk dan keluar
2. Monitor status hidrasi (kelembapan membrane mokusa, nadi,
tekanan darah, dan ortostatik)

Rasional: Mengetahui tanda-tanda dehidrasi

3. Monitor vital sign


Rasional: Mengetahui perkembangan perubahan vital sign dan
untuk mengidentifikasi defisit volume cairan.
4. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan
Rasional: mengetahui balance cairan yang masuk kedalam tubuh
5. Kolaborasi : Berikan cairan parenteral sesuai indikasi
Rasional: cara parenteral membantu memenuhi kebutuhan nuitrisi
tubuh.

III. Daftar Pustaka


Judith M.W., Nancy, R.A. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 9.
Jakarta: EGC.

Amin H, & Hardhi K. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Edisi Revisi Jilid 1.
Yogyakarta: Mediaction.

Fransisca, B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Heather, H.T. 2014. Nanda Internasional DIAGNOSA KEPERAWATAN


Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Pierce A. & Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ke-3. Alih Bahasa:
Vidhia Umami: Penerbit Erlangga.

Banjarmasin, Januari 2017

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,


(.....) (..)

Anda mungkin juga menyukai