Anda di halaman 1dari 17

Vinil Kiran Kalaichelvan

04011381520193
Gamma 2017 (Beta 2015)

III. Analisis Masalah


1. Avril, anak laki-laki usia 3 tahun 8 bulan, BB 13 kg, PB 94cm, dibawa
berobat dengan keluhan pucat sejak 1 bulan SMRS disertai perut yang
makin membesar, tidak terdapat demam, mimisan, gusi berdarah, maupun
bintik merah di badan. Tidak terdapat BAB hitam maupun BAK merah.
Anak belum dibawa berobat.

a. Apa makna dari tidak ada BAB hitam dan BAK merah dengan keluhan pucat
yang dialami?

b. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin terhadap kasus?

Penderita thalasemia lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki yang berumur 6-15
tahun disebabkan adanya gejala klinis thalasemia yang sebenarnya sudah dapat diperiksa
pada umur 2 tahun, tetapi penderita baru datang berobat pada umur 4-6 tahun karena
adanya gejala seperti semakin pucat yang mengakibatkan penderitanya memerlukan
transfusi darah secara berkala seumur hidup.

c. Mengapa perut avril makin membesar sejak 1 bulan yang lalu?

Kerusakan sel darah merah akibat thalasemia dapat menyebabkan limpa dan hatti
harus bekerja lebih keras untuk menghancurkan sel darah yang rusak. Hal ini
mengkibatkan organ limpa semakin membesar. Jika limpa membesar, bukan hanya
sel darah rusak yang akan dihancurkan, melainkan juga darah yang sehat dari
pendonor.

2. Sejak 3 hari SMRS penderita bertambah pucat, tidak terdapat demam


maupun pendarahan. Penderita juga mengeluh perut tampak membesar dan

1
anak terlihat semakin lemas, anak dibawa berobat ke poliklinik RSMH dan
disarankan untuk dirawat inap.

a. Bagaimana tatalaksana awal sebagai dokter umum pada kasus?

Sebagai langkah awal pemeriksaan, dokter akan menanyakan gejala yang dialami
penderita. Kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk melihat
tanda-tanda anemia serta pembesaran organ limpa dan hati.
Dokter juga akan melakukan pemeriksaan darah untuk mendiagnosis thalasemia.
Beberapa jenis pemeriksaan darah yang akan dilakukan adalah:
• Hitung sel darah lengkap.
• Sediaan hapus darah tepi, dengan melihat gambaran sel darah di bawah
mikroskop.
• Analisis hemoglobin atau protein sel darah merah.
• Jumlah zat besi.
• Pemeriksaan gen atau DNA.
Dari seluruh pemeriksaan tersebut, dokter akan menentukan apakah anak
menderita thalasemia atau tidak, serta jenis thalasemia yang dialaminya.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

2
Riwayat pucat sebelumnya ada 1 tahun yang lalu, dirawat di RSUD OKU
selama 3 hari dan mendapat transfusi darah merah 1 kali. Riwayat paparan
zat kimia disangkal

Riwayat penyakit pada keluarga

Riwayat keluarga dengan pucat ada yaitu sepupu penderita yang sering
mendapatkan transfusi darah

a. Apa indikasi Avril mendapatkan transfusi darah?

Penderita thalasemia mayor perlu melakukan transfusi darah tiap beberapa


minggu. Sebelum transfusi darah dilakukan, darah penderita dan darah donor akan
dicocokkan untuk menghindari reaksi yang tidak diinginkan.
Meskipun diperlukan, transfusi darah yang dilakukan berulang kali dapat
menyebabkan penumpukan zat besi di dalam tubuh. Kondisi ini bisa menimbulkan
komplikasi berupa penyakit liver atau penyakit jantung.
Untuk mencegahnya, penderita perlu mendapatkan terapi kelasi. Obat yang
diberikan dalam terapi ini bisa dalam bentuk tablet maupun suntik, dan berfungsi
untuk menarik zat besi dari dalam tubuh. Contoh obatnya adalah deferiprone,
deferasirox, dan deferoxamine. Terapi kelasi akan dimulai satu atau dua tahun
setelah penderita menjalani transfusi darah rutin.

HIPOTESIS
Avril, laki-laki usia 3 tahun 8 bulan dengan keluhan pucat disertai perut makin membesar
diduga menderita thalasemia mayor.

3
a. Apa algoritma penegakan diagnosis dari kasus?
Sebagai langkah awal pemeriksaan, dokter akan menanyakan gejala yang dialami
penderita. Kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk melihat
tanda-tanda anemia serta pembesaran organ limpa dan hati.
Dokter juga akan melakukan pemeriksaan darah untuk mendiagnosis thalasemia.
Beberapa jenis pemeriksaan darah yang akan dilakukan adalah:
• Hitung sel darah lengkap.
• Sediaan hapus darah tepi, dengan melihat gambaran sel darah di bawah
mikroskop.
• Analisis hemoglobin atau protein sel darah merah.
• Jumlah zat besi.
• Pemeriksaan gen atau DNA.
Dari seluruh pemeriksaan tersebut, dokter akan menentukan apakah anak
menderita thalasemia atau tidak, serta jenis thalasemia yang dialaminya.

b. Apa saja faktor risiko dari penyakit?

Ketika anak mengalami thalasemia, ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi,
yaitu:

1. Kelainan tulang
Tulang penderita thalasemia menjadi tipis dan rapuh (osteoporosis),
sehingga penderita berisiko untuk mengalami patah tulang. Kondisi ini
terjadi akibat sumsum tulang bekerja keras dalam menghasilkan sel darah,
sehingga rongga sumsum tulang melebar.

2. Pembesaran limpa

Kerusakan sel darah merah akibat thalasemia dapat menyebabkan limpa


harus bekerja lebih keras untuk menghancurkan sel darah yang rusak. Hal

4
ini mengkibatkan organ limpa semakin membesar. Jika limpa membesar,
bukan hanya sel darah rusak yang akan dihancurkan, melainkan juga darah
yang sehat dari pendonor.

3. Gangguan jantung

Thalasemia yang parah juga dapat menimbulkan gangguan jantung, seperti


gangguan irama jantung (aritmia) dan gagal jantung.

4. Pertumbuhan pada anak menjadi terhambat

Thalasemia dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi lambat. Selain


itu, anak juga akan terlambat mengalami pubertas.
Selain karena penyakitnya sendiri, komplikasi dapat terjadi akibat
penanganan thalasemia. Penderita thalasemia memerlukan transfusi darah
secara berulang, dan prosedur ini dapat menyebabkan penumpukan zat besi
di dalam tubuh. Kondisi ini akan menyebabkan kerusakan beberapa organ
tubuh, seperti jantung, hati, pankreas, atau tulang.

LEARNING ISSUE

ANEMIA HEMOLITIK
Hemolytic anemia atau anemia hemolitik adalah penyakit kurang darah
akibat penghancuran sel darah merah lebih cepat dibandingkan

5
pembentukannya. Penyakit ini perlu ditangani agar tidak terjadi komplikasi
pada jantung, seperti gangguan irama jantung atau gagal jantung.

Anemia hemolitik dapat dialami sejak lahir karena diturunkan dari orang tua atau
berkembang setelah lahir. Anemia hemolitik yang tidak diturunkan dapat dipicu
oleh penyakit, paparan zat kimia, atau efek samping obat-obatan.

Beberapa penyebab anemia hemolitik bisa disembuhkan dengan mengobati


penyebabnya. Akan tetapi, anemia hemolitik juga dapat terjadi secara
berkepanjangan (kronis), terutama yang disebabkan oleh faktor keturunan.

Gejala Anemia Hemolitik

Gejala anemia hemolitik bisa ringan di awal penyakit, kemudian memburuk secara
perlahan atau tiba-tiba. Gejalanya bervariasi pada setiap penderita, di antaranya:
• Pusing.
• Kulit pucat.
• Tubuh cepat lelah.
• Demam.
• Urine berwarna gelap.
• Kulit dan bagian putih mata menguning (penyakit kuning).
• Perut terasa tidak nyaman akibat organ limpa dan hati membesar.
• Jantung berdebar.

Kapan harus ke dokter

Periksakan diri ke dokter bila mengalami gejala di atas, terutama bila terdapat
keluhan kulit dan mata menguning atau jantung berdebar.
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh penyakit autoimun atau efek samping
obat-obatan. Penting untuk kontrol ke dokter secara rutin bila menderita penyakit

6
autoimun atau minum obat tertentu untuk jangka panjang. Hal tersebut dilakukan
agar perkembangan penyakit dan efek samping obat dapat terpantau.

Penyebab Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik dapat diturunkan dari orang tua atau berkembang setelah lahir.
Beberapa penyebab anemia hemolitik yang dipicu oleh faktor keturunan adalah:
• Anemia sel sabit
• Sferositosis
• Ovalositosis
• Thalasemia
• Kekurangan enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD)
• Kekurangan enzim piruvat kinase

Sedangkan kondisi di luar faktor keturunan yang dapat menyebabkan anemia
hemolitik antara lain:
• Penyakit infeksi, seperti tipes, hepatitis, infeksi virus Epstein-Barr, atau
infeksi bakteri coli jenis tertentu.
• Penyakit autoimun, seperti anemia hemolitik autoimun (AIHA), lupus,
rheumatoid arthritis, dan kolitis ulseratif.
• Efek samping obat-obatan, seperti obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS),
paracetamol, dapsone, levodopa, metildopa, rifampicin, serta beberapa
jenis antibiotik, seperti levofloxacin, nitrofurantoin, penisilin, dan
sefalosporin.
• Penyakit kanker, terutama kanker darah.
• Gigitan ular berbisa.
• Keracunan arsenik atau keracunan timah.
• Menerima transfusi darah dari orang dengan golongan darah yang berbeda.
• Reaksi tubuh akibat operasi transplantasi organ.

7
Diagnosis Anemia Hemolitik

Dokter akan menanyakan gejala yang dialami pasien, riwayat kesehatannya, dan
apakah ada keluarga pasien yang menderita anemia. Setelah itu, dokter akan
memeriksa apakah kulit pasien pucat atau menguning, serta meraba dan menekan
perut pasien untuk memeriksa pembesaran organ hati atau limpa.
Bila pasien dicurigai menderita anemia hemolitik, dokter akan melakukan
pemeriksaan berikut:
• Hitung darah lengkap, untuk menghitung jumlah sel darah dalam tubuh.
• Pemeriksaan bilirubin, yaitu senyawa sisa dari proses penghancuran sel
darah merah, yang mengakibatkan penyakit kuning.
• Tes Coombs, untuk melihat kemungkinan antibodi menyerang sel darah
merah.
• Aspirasi sumsum tulang, untuk melihat bentuk dan tingkat kematangan sel
darah merah langsung dari ‘pabrik darah’.

Pengobatan Anemia Hemolitik

Pengobatan anemia hemolitik tergantung pada penyebabnya, tingkat keparahan,


usia dan kondisi kesehatan pasien, serta respons pasien terhadap obat. Beberapa
metode pengobatan yang dapat dilakukan oleh dokter antara lain:
• Suplemen asam folat dan suplemen zat besi.
• Obat imunosupresan, untuk menekan sistem kekebalan tubuh agar sel darah
merah tidak mudah hancur
• Suntik imunoglobulin (IVIG), untuk memperkuat kekebalan tubuh pasien.
• Transfusi darah, untuk menambah jumlah sel darah merah (Hb) yang
rendah pada tubuh pasien.
Pada kasus anemia hemolitik yang parah, dokter akan melakukan splenektomi atau
bedah pengangkatan limpa. Prosedur ini biasanya dilakukan ketika pasien tidak
merespons metode pengobatan di atas.

8
Komplikasi Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik yang tidak ditangani dengan baik dapat memicu komplikasi
berbahaya, antara lain:
• Gangguan irama jantung
• Kelainan otot jantung (kardiomiopati)
• Gagal jantung

Pencegahan Anemia Hemolitik

Pencegahan anemia hemolitik tergantung pada penyebabnya. Pada pasien anemia


hemolitik yang disebabkan oleh efek samping obat-obatan, pencegahannya dapat
dilakukan dengan menghindari obat yang memicu penyakit ini.
Anemia hemolitik juga bisa dilakukan dengan mencegah infeksi, yaitu dengan:
• Menghindari kontak langsung dengan orang yang sedang terkena infeksi.
• Menjauhi kerumunan orang banyak jika memungkinkan.
• Mencuci tangan dan menggosok gigi secara rutin.
• Menghindari konsumsi makanan mentah atau setengah matang.
• Menjalani vaksinasi flu tiap tahun.
Anemia hemolitik yang disebabkan oleh faktor keturunan tidak dapat dicegah.
Tetapi jika Anda atau keluarga Anda menderita anemia hemolitik akibat faktor
keturunan, Anda dapat menjalani konsultasi genetik guna mengetahui seberapa
besar peluang penyakit ini diturunkan ke anak Anda.

9
THALASEMIA

Thalasemia adalah kelainan darah yang diturunkan dari orang tua. Kelainan
ini membuat penderitanya mengalami anemia atau kurang darah.

Kurang darah yang dialami penderita thalasemia akan menimbulkan keluhan cepat
lelah, mudah mengantuk, hingga sesak napas. Akibatnya, aktivitas penderita
thalasemia akan terganggu.
Thalasemia perlu diwaspadai, terutama thalasemia yang berat (mayor), karena
dapat menyebabkan komplikasi berupa gagal jantung, pertumbuhan terhambat,
gangguan hati, hingga kematian.

Gejala Thalasemia
Thalasemia merupakan penyakit keturunan yang menyebabkan gangguan
produksi sel darah merah, sehingga sel darah merah lebih cepat dihancurkan. Oleh
karena itu, penderita thalasemia akan mengalami gejala kurang darah atau anemia.
Gejala anemia tersebut antara lain:
• Kulit pucat
• Mudah lelah

10
• Terlihat lemah
• Pusing
• Tidak nafsu makan
• Sulit berkonsentrasi
• Mudah marah
• Jantung berdebar
• Sesak napas

Selain kurang darah, terdapat beberapa kelainan yang dapat dialami oleh penderita
thalasemia, seperti:
• Penyakit kuning.
• Kelainan bentuk wajah, seperti tupai.
• Perut membengkak, akibat pembesaran organ limpa (splenomegali) dan
pembesaran hati (hepatomegali).
Keparahan dan kapan gejala muncul tergantung pada jenis thalasemia yang
dialami. Gejala thalasemia kebanyakan muncul dalam 2 tahun pertama kehidupan,
tetapi bisa juga sudah muncul sejak lahir. Bayi yang menderita thalasemia berat
bahkan dapat meninggal di dalam kandungan atau beberapa saat setelah dilahirkan.
Thalasemia pada anak akan mengakibatkan berbagai keluhan berikut:
• Mudah lelah ketika bermain
• Rewel
• Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
• Keterlambatan waktu puber
Thalasemia juga bisa muncul saat remaja, dewasa, atau bahkan tidak timbul gejala
sama sekali. Namun perlu diingat, walaupun tidak muncul gejala, penderita tetap
bisa menurunkan thalasemia kepada anaknya kelak.

Kapan Harus ke Dokter

11
Penderita thalasemia, termasuk yang tidak mengalami gejala, perlu mendiskusikan
kondisi ini dengan pasangan dan berkonsultasi dengan dokter sebelum
memutuskan untuk menikah dan memiliki keturunan.
Dokter akan melakukan tes darah dan pemeriksaan genetik pada calon pengantin
atau calon orang tua, untuk mendeteksi thalasemia beserta jenisnya. Setelah
hasilnya keluar, dokter akan menginformasikan kemungkinan anak mengalami
thalasemia dan cara mengatasinya.
Anak yang terlihat mengalami salah satu atau beberapa gejala anemia perlu
diperiksakan ke dokter anak secepatnya, agar kondisi anak tidak makin parah dan
tidak timbul komplikasi.
Thalasemia merupakan kelainan darah yang mengakibatkan anemia berulang,
sehingga penanganannya juga berkepanjangan. Penderita thalasemia perlu
melakukan kontrol rutin ke dokter untuk mencegah komplikasinya.

Penyebab Thalasemia

Thalasemia terjadi akibat kelainan genetik. Gen yang mengalami kelainan (mutasi)
adalah gen yang menghasilkan komponen sel darah merah (hemoglobin). Kondisi
ini menyebabkan gangguan produksi sel darah merah yang sehat, sehingga sel
darah merah akan lebih cepat dihancurkan. Kondisi ini membuat penderita
thalasemia mengalami anemia atau kurang darah.
Jika salah satu orang tua memiliki kelainan genetik yang menyebabkan thalasemia,
anak yang dilahirkan berisiko mengalami thalasemia jenis ringan (thalasemia
minor). Namun jika kedua orang tua memiliki kelainan genetik ini, anak yang
dilahirkan berisiko mengalami thalasemia yang berat, yaitu thalasemia mayor.
Selain berdasarkan tingkat keparahannya, thalasemia juga dapat dibagi menjadi 2
jenis berdasarkan rantai gen yang rusak, yaitu thalasemia alfa dan thalasemia beta.

Pencegahan Thalasemia

12
Thalasemia tidak dapat dicegah karena kelainan ini diturunkan secara genetik.
Untuk mencegah agar thalasemia tidak diturunkan ke anak, sebaiknya pasangan
yang akan menikah melakukan konsultasi dengan dokter. Hal ini dilakukan
terutama bagi pasangan yang memiliki anggota keluarga penderita thalasemia.
Dokter akan melakukan pemeriksaan darah guna mengetahui adanya kelainan
genetik yang bisa diturunkan kepada anak setelah menikah. Pada pasangan yang
membawa gen thalasemia, dokter mungkin akan menganjurkan prosedur bayi
tabung untuk mencegah thalasemia diturunkan kepada anak.

Diagnosis Thalasemia

Sebagai langkah awal pemeriksaan, dokter akan menanyakan gejala yang dialami
penderita. Kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk melihat
tanda-tanda anemia serta pembesaran organ limpa dan hati.
Dokter juga akan melakukan pemeriksaan darah untuk mendiagnosis thalasemia.
Beberapa jenis pemeriksaan darah yang akan dilakukan adalah:
• Hitung sel darah lengkap.
• Sediaan hapus darah tepi, dengan melihat gambaran sel darah di bawah
mikroskop.
• Analisis hemoglobin atau protein sel darah merah.
• Jumlah zat besi.
• Pemeriksaan gen atau DNA.
Dari seluruh pemeriksaan tersebut, dokter akan menentukan apakah anak
menderita thalasemia atau tidak, serta jenis thalasemia yang dialaminya.

Pemeriksaan pada Ibu Hamil

Selain pemeriksaan ketika anak sudah dilahirkan, pemeriksaan thalasemia juga


dapat dilakukan sejak anak masih di dalam kandungan. Pemeriksaan ini dilakukan

13
bila janin dicurigai mengalami thalasemia. Pemeriksaan thalasemia pada janin
dapat dilakukan dengan:
Chorionic villus sampling
Tes ini dilakukan dengan mengambil sampel jaringan plasenta untuk dianalisis.
Chorionic villus sampling dapat dilakukan saat kehamilan mencapai minggu ke-
11.
Aminocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban dan dilakukan
saat kehamilan sudah memasuki minggu ke-16.

Pengobatan Thalasemia

Pengobatan thalasemia ditentukan berdasarkan tipe dan tingkat keparahan


thalasemia. Penderita thalasemia minor biasanya tidak membutuhkan penanganan
khusus. Sedangkan penderita thalasemia mayor membutuhkan penanganan
berupa:
Transfusi Darah Berulang
Penderita thalasemia mayor perlu melakukan transfusi darah tiap beberapa
minggu. Sebelum transfusi darah dilakukan, darah penderita dan darah donor akan
dicocokkan untuk menghindari reaksi yang tidak diinginkan.
Meskipun diperlukan, transfusi darah yang dilakukan berulang kali dapat
menyebabkan penumpukan zat besi di dalam tubuh. Kondisi ini bisa menimbulkan
komplikasi berupa penyakit liver atau penyakit jantung.
Untuk mencegahnya, penderita perlu mendapatkan terapi kelasi. Obat yang
diberikan dalam terapi ini bisa dalam bentuk tablet maupun suntik, dan berfungsi
untuk menarik zat besi dari dalam tubuh. Contoh obatnya adalah deferiprone,
deferasirox, dan deferoxamine. Terapi kelasi akan dimulai satu atau dua tahun
setelah penderita menjalani transfusi darah rutin.
Transplantasi Sumsum Tulang

14
Prosedur ini dilakukan untuk menggantikan sumsum tulang yang terkena
thalasemia. Sumsum tulang yang akan ditransplantasikan diambil dari pendonor
yang sehat dan cocok dengan penderita, agar sumsum tulang ini dapat
menghasilkan sel darah yang normal.
Sayangnya, risiko prosedur ini cukup serius, yaitu penolakan tubuh penderita
terhadap sumsum tulang donor. Itulah sebabnya manfaat dan risiko pengobatan
thalasemia dengan transplantasi sumsum tulang perlu didiskusikan secara
mendalam dengan dokter. Prosedur ini biasanya hanya dianjurkan pada thalasemia
yang sudah parah.
Operasi Pengangkatan Limpa
Prosedur operasi pengangkatan limpa (splenektomi) dilakukan jika organ limpa
sudah sangat membesar, karena pembesaran organ limpa (splenomegali) akan
memperparah anemia yang dialami penderita.
Namun sebelum operasi, penderita akan diminta untuk melakukan vaksinasi,
seperti vaksinasi untuk penyakit hepatitis B, pneumonia, dan meningitis. Hal ini
dilakukan karena penderita akan lebih berisiko untuk mengalami infeksi setelah
organ limpanya diangkat.
Menerapkan Pola Hidup Sehat
Penderita thalasemia perlu menjalani pola hidup sehat, dan dianjurkan untuk
mengonsumsi makanan rendah lemak, sayuran, dan buah-buahan. Penderita
sebaiknya membatasi makanan yang mengandung zat besi, seperti daging sapi dan
ati ayam.
Olahraga secara rutin juga penting untuk dilakukan. Namun, sebaiknya
konsultasikan dulu ke dokter mengenai jenis olahraga yang aman serta
intensitasnya.
Untuk melindungi diri dari infeksi, penderita dianjurkan untuk rajin mencuci
tangan dan membatasi interaksi dengan orang sakit. Perlindungan ini dibutuhkan
terutama untuk penderita yang sudah menjalani operasi pengangkatan limpa.

Komplikasi Thalasemia

15
Ketika anak mengalami thalasemia, ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi,
yaitu:

1. Kelainan tulang
Tulang penderita thalasemia menjadi tipis dan rapuh (osteoporosis),
sehingga penderita berisiko untuk mengalami patah tulang. Kondisi ini
terjadi akibat sumsum tulang bekerja keras dalam menghasilkan sel darah,
sehingga rongga sumsum tulang melebar.

2. Pembesaran limpa

Kerusakan sel darah merah akibat thalasemia dapat menyebabkan limpa


harus bekerja lebih keras untuk menghancurkan sel darah yang rusak. Hal
ini mengkibatkan organ limpa semakin membesar. Jika limpa membesar,
bukan hanya sel darah rusak yang akan dihancurkan, melainkan juga darah
yang sehat dari pendonor.

3. Gangguan jantung

Thalasemia yang parah juga dapat menimbulkan gangguan jantung, seperti


gangguan irama jantung (aritmia) dan gagal jantung.
4. Pertumbuhan pada anak menjadi terhambat

Thalasemia dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi lambat. Selain


itu, anak juga akan terlambat mengalami pubertas.
Selain karena penyakitnya sendiri, komplikasi dapat terjadi akibat
penanganan thalasemia. Penderita thalasemia memerlukan transfusi darah
secara berulang, dan prosedur ini dapat menyebabkan penumpukan zat besi

16
di dalam tubuh. Kondisi ini akan menyebabkan kerusakan beberapa organ
tubuh, seperti jantung, hati, pankreas, atau tulang.

https://media.neliti.com/media/publications/189081-ID-hubungan-jenis-
kelamin-dan-domisili-deng.pdf
https://www.alodokter.com/thalassemia/gejala
https://www.alodokter.com/anemia-hemolitik

17

Anda mungkin juga menyukai