Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

Pasien Pria Usia 36th Dengan Diagnosis Sinusitis Frontalis Sinistra

Diajukan sebagai salah syarat untuk mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik
Madya di SMF Telinga, Hidung dan Tenggorok Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Oleh:

Danang Jaya Pamungkas, S.Ked 2019086016405


Eka Panji Priambodo Padmoasusilo, S.Ked 2019086016296
Niluh Ayu Mutiara Ariyanti, S.Ked, S.S. 2019086016424

PEMBIMBING:
dr. Agustin, Sp.THT-KL
dr. Rosmini, Sp.THT-KL

SMF THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERISTAS CENDERAWASIH
JAYAPURA – PAPUA
2020

1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji, Lapkas dengan
judul “Sinusitis Frontalis Sinistra” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan Klinik Madya pada SMF THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah
Jayapura yang dilaksanakan pada:
Hari :
Tanggal :
Tempat :

Menyetujui
Penguji/ Pembimbing

dr. Agustina, Sp.THT-KL

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dan merupakan
penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari hari, bahkan
dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
seluruh dunia. Menurut Gluckman, kuman penyebab sinusitis akut
tersering adalah Streptococcus pneumonia dan Haemophilus infuenza yang
ditemukan pada 70% kasus. Secara epidemiologi yang paling sering
terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya dari sinusitis adalah
komplikasi ke orbita dan intrakranial, komplikasi ini terjadi akibat
tatalaksana yang in-adekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat
dihindari.1
Sinusitis menjadi masalah kesehatan penting hampir di semua
negara dan angka prevalensinya makin meningkat tiap tahunnya.
Sebanyak 24-31 juta kasus sinusitis ditemukan di United States. Sinusitis
paling sering dijumpai dan termasuk 10 penyakit termahal karena
membutuhkan biaya pengobatan cukup besar.1 Prevalensi sinusitis di
Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian tahun 1996 dari sub bagian
Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat jalan
ditemukan 50 persen penderita sinusitis kronik. Pada tahun 1999,
penelitian yang dilakukan bagian THT FKUI-RSCM bekerjasama dengan
Ilmu Kesehatan Anak, menjumpai prevalensi sinusitis akut pada penderita
Infeksi Saluran Nafas Atas (ISNA) sebesar 25 persen. Angka tersebut
lebih besar dibandingkan data di negara-negara lain.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang
kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang
sinus paranasal, sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus
sfenoid. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal
antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu,
(3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5)

3
peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus
untuk membersihkan rongga hidung.1,

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah penyebab permasalahan pada kasus?
2. Apakah diagnosa pada kasus sudah tepat?
3. Apakah penatalaksanaan yang dilakukan pada kasus sudah tepat?

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Sinusitis


Sinusitis merupakan salah satu penyakit hidung yang sering terjadi di
masyarakat, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan
kesehatan tersering di seluruh dunia. Sinusitis itu sendiri merupakan
inflamasi pada mukosa sinus paranasal. Penyebarannya dapat diawali
dengan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Sinusitis dikatakan multisinusitis bila mengenai beberapa sinus, dan
pansinusitis jika mengenai hampir semua sinus.

2.2. Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
untuk dideskripsikan karena bentuknya yang bervariasi pada setiap individu.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang sinus
paranasal, sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal


Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior
dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus

5
sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di
rongga hidung melalui ostium masing-masing.3
Pada meatus medius yang merupakan ruang di antara konka
superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu
hiatus semilunaris sebagai muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan
ethmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan
IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika
pada foto anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.4
Sinus Paranasalis
Pemberian nama-nama sinus ini adalah sesuai dengan nama tulang-
tulang yang ditempatinya. Berikut merupakan penjelasan dari masing-
masing sinus :
a. Sinus frontalis
Sinus frontalis terletak antara tabula eksterna dan tabula interna ossis
frontalis, di belakang arkus supersiliaris dan akar hidung. Masing-masing
sinus berhubungan melalui duktus frontonasalis dengan infundibulum yang
bermuara di meatus nasalis medius.
b. Sinus ethmoidalis
Sinus ethmoidalis terdiri dari beberapa rongga kecil, sellulae
ethmoidalis, di dalam masa lateral tulang etmoidalis, antara kavitas nasal
dan orbita. Sellulae ethmoidalis anterior dapat berhubungan secara tidak
langsung dengan meatus nasalis medius melalui infundibulum. Sellulae
ethmoidalis posterior berhubungan langsung dengan meatus nasalis
superior.
c. Sinus sphenoidalis
Sinus sphenoidalis yang terpisah oleh sebuah sekat tulang, terletak di
dalam korpus ossis sphenoidalis dan dapat meluas ke dalam ala mayor dan

6
ala minor ossis sphenoidalis. Karena sinus sphenoidalis ini, korpus ossis
sphenoidalis mudah retak. Sinus sphenoidalis terpisah dari beberapa struktur
penting hanya oleh lembaran-lembaran tulang yang tipis : kedua nervus
optikus, chiasma optikus, hypophysis (glandula pituitaria), arteri karotis
interna, dan sinus kavernosus serta sinus sinus interkavernosi.
d. Sinus maksilaris
Sinus maksilaris adalah yang terbesar dari semua sinus paranasal.
Rongga rongga ini yang berbentuk seperti limas, menempati seluruh badan
masing-masing maksila. Puncak sinus maksilaris menjulang ke arah tulang
zigomatikum, bahkan seringkali memasukinya. Alas limas sinus membentuk
bagian inferior dinding lateral kavitas nasal. Atap sinus dibentuk oleh dasar
orbita, dan dasarnya yang sempit, dibentuk oleh bagian alveolar maksila.
Akar gigi atas, terutama akar kedua gigi molar pertama, seringkali
menimbulkan tonjolan seperti kerucut pada dasar sinus
Fungsi Sinus Paranasal
a. Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus dikatakan dapat berfungsi sebagai ruang yang mengatur
kelembaban udara inspirasi. Namun beberapa ahli keberatan terhadap teori
ini karena ternyata tidak ditemukan pertukaran udara yang definitif antara
sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus
kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga
dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.
b. Sebagai penahan suhu
Fungsi sinus sebagai penahan panas adalah melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan
organ-organ yang dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus dikatakan berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Hal ini terbantahkan karena ada yang
berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonator yang efektif.

7
d. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Sinus sebagai peredam perubahan tekanan udara dimana bila ada
perubahan tekanan yang besar dan mendadak, ini dapat terjadi misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus.
e. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis

2.3. Gejala Klinis


Sinusitis memiliki beberapa gejala dimana biasanya penderita yang
mengalami sinusitis akut akan mengeluh hidung tersumbat disertai
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen yang seringkali turun ke
tenggorokan, selain itu pula dapat disertai dengan gejala sistemik seperti
demam dan lesu. Jika penderita terkena sinusitis maksilaris maka akan
merasakan nyeri pada daerah pipi, pada sinusitis etmoidalis nyeri dirasakan
dibelakang kedua bola mata, jika pada sinusitis frontalis penderita biasanya
mengeluh nyeri pada dahi dan penderita yang menderita sinusitis
sphenoidalis nyeri yang dirasakan pada bagian vertex, dan sering kali pada
rahang serta telinga.
Beberapa gejala lain dari sinusitis adalah sakit kepala,
hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan
sesak pada anak. Pada sinusitis kronik sangat sulit untuk didiagnosis karena
gejalanya tidak khas, paling sering akan terjadi sakit kepala kronik, batuk
kronik, gangguan tenggorokan dan gangguan akibat sumbatan kronik muara
tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis, bronkiektasis dan yang
penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati

2.4. Etiologi
Menurut Dhingra (2000), etiologi dari infeksi sinusitis meliputi :
a. Infeksi hidung

8
Mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung dan infeksi yang
berasal dari hidung dapat menyebar secara langsung atau melalui jalur
submucosallymphatics. Penyebab sinusitis akut secara umum adalah
rinitis virus yang diikuti invasi bakteri.
b. Berenang dan menyelam
Air yang terinfeksi bisa masuk ke bagian sinus melalui ostia.
Berenang atau menyelam di kolam renang yang mengandung air
tinggi klorin dikatakan berpengaruh terhadap peradangan pada sinus
hidung.
c. Trauma
Patah tulang atau luka yang hingga menembus sinus frontal, sinus
maksilaris dan sinus ethmoid memungkinkan terjadinya infeksi
langsung pada sinus mukosa. Barotrauma juga dapat diikuti infeksi
sinusitis.
d. Infeksi gigi
Hal ini berlaku pada sinus maksilaris. Infeksi sinus seringkali berasal
dari infeksi geraham atas.
e. Lingkungan
Angka kejadian sinusitis meningkat di daerah yang memiliki suhu
rendah dan lembab. Beberapa faktor seperti polusi udara, debu, asap,
dan kepadatan penduduk juga berpengaruh.
f. Kesehatan umum yang buruk
Sinusitis sangat meningkat berhubungan dengan kebiasaan kesehatan
masyarakat yang buruk. Beberapa penyakit diantaranya:
exanthematous fever (measles, chickenpox, whooping cough),
defisiensi nutrisi, dan penyakit sistemik ( diabetes, defisiensi sistem
imun).
g. Bakteriologi
Kebanyakan kasus sinusitis akut diawali dengan infeksi virus yang
kemudian dilanjutkan oleh invasi bakteri. Beberapa bakteri yang
dikatakan berperan dalam infeksi sinusitis supuratif akut diantaranya:
Strept. pneumoniae, H.influenzae, Moraxella catarrhalis, Strept.

9
pyogenes, Staph. Aureus, dan Kleb. pneumoniae. Organisme
anaerobik dan infeksi campuran sering ditemukan pada sinusitis
dentogen.
2.5.

2.6. Faktor Predisposisi


a. Obstruksi ventilasi dan drainase sinus
Secara umum sinus memiliki ventilasi yang baik dan mensekresikan
jumlah mukus yang sedikit. Gerakan silia menyebabkan ostia sinus
mengalir menuju ke dalam rongga hidung. Setiap faktor yang
berhubungan dengan fungsi tersebut dapat menyebabkan sinusitis
dimana terjadinya statis pada sekresi sinus. Beberapa diantaranya
adalah:
 Tampon hidung.
 Deviasi septum.
 Turbinasi hipertropik.
 Edema pada ostia sinus karena alergi atau alergi rinitis .
 Polip hidung.
 Struktur yang abnormal dari sinus ethmoidalis.
 Neoplasma jinak atau ganas pada nasal.
b. Sekresi statis rongga hidung
Ekresi hidung normal mengalir ke nasofaring karena perbedaan
kekentalan (biasanya karena cyctic fibrosis) atau dapat juga karena
obstruksi ( adenoid, atresia choanal).
c. Serangan sinusitis sebelumnya
Serangan sinusitis kembali dapat menyebabkan pertahanan lokal sinus
mukosa rusak.

2.7. Patofisiologi
Menurut (Thaariq, 2012), untuk memahami penyakit sinus, harus
mempunyai sejumlah pengetahuan konsep patofiologi dasar. Patofisologi
dari sinusitis terkait 3 faktor sebagai berikut :

10
a. Adanya obstruksi jalur drainase sinus
Obstruksi jalur drainase sinus dapat mencegah drainase mukus
normal. Ostium bisa tertutup oleh pembengkakan mukosa, ataupun
penyebab local lainnya. Ketika sudah muncul obstruksi komplit dari
ostium, akan ada peningkatan transien dalam tekanan intrasinus
diikuti oleh pembentukan tekanan negatif intrasinus.
b. Fungsi silia yang rusak
Fungi silia yang buruk bisa disebabkan berkurangnya sel epitel silia,
aliran udara yang tinggi, virus, bakteri atau siliatoksin dari
lingkungan, mediator inflamasi, berdempetannya 2 permukaan
mukosa, luka, dan sindrom Kartagener. Sindrom Kartagener terkait
dengan silia immobile, menyebabkan retensi dari sekresi sehingga
menjadi faktor predisposisi infeksi sinus.
c. Kualitas dan kuantitas mukus yang berubah
Komposisi mukus berubah dapat menyebabkan mukus memproduksi
viskositas lebih, transport ke ostium akan lebih pelan, dan lapisan gel
menjadi lebih tebal. Perubahan mukus ini akan mengganggu aktivitas
silia pada sinusitis akut, yang diperparah dengan penutupan ostium.

2.8. Tipe Sinusitis


Sinusitis dibagi menjadi beberapa tipe, dimana diberikan nama
berdasarkan sinus yang terkena peradangan. Sinusitis frontalis jika
peradangan terjadi pada sinus frontalis dan menyebabkan nyeri pada daerah
frontalis, sinusitis maksilaris jika peradangan yang terjadi pada sinus
maksilaris menyebabkan nyeri pada daerah belakang dan atas mata, begitu
pula seterusnya sinusitis ethmoidalis peradangan pada sinus etmoid, dan
sinusitis sphenoidalis peradangan terjadi pada sinus sphenoidalis yang
menyebabkan nyeri pada daerah belakang mata, tetapi lebih sering pada
vertex kepala. Jika berdasarkan durasi penyakit, sinusitis dapat dibagi
menjadi tipe akut (kurang dari 4 minggu), subakut (4 sampai 8 minggu) dan
kronis (lebih dari 8 minggu). Sinusitis akut terjadi beberapa hari sampai
beberapa minggu dan terdapat tanda-tanda radang akut, sinusitis subakut

11
terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan dimana tanda-tanda radang
akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversibel,
dan dikatakan kronis bila durasi penyakit beberapa bulan sampai beberapa
tahun. Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi tipe rinogenik dan
dentogen, tipe rinogenik merupakan segala sesuatu yang dapat
menyebabkan hidung tersumbat dan menyebabkan sinusitis, sedangkan tipe
dentogen penyebabnya adalah kelainan gigi dan yang tersering adalah
infeksi pada geraham atas (Sambuda, 2008).

2.9. Pemeriksaan Fisik


Untuk melihat tanda-tanda klinis dapat dilakukan pemeriksaan :1,2
a. Rhinoskopi anterior, tampak mukosa hidung hiperemis dan edema,
terlihat pus pada meatus nasi media.
b. Rhinoskopi posterior, tampak sekret kental di nasofaring (post nasal
drip).
c. Transiluminasi. Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit yang
terang di bawah mata, dan bila ada sinusitis, sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna
apabila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram
dibandingkan sisi yang normal
Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis 9,10
Mayor Minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala
Sekret nasal dan post nasal purulen Batuk
Demam (fase akut) Rasa lelah
Kongesti nasal Halitosis (bau mulut)
Obstruksi nasal Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan /penuh pada
telinga

Untuk mengakkan diagnosis sinustis memerlukan dua kriteria mayor


atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien, dengan
gejala lebih dari 7 hari.
2.10. Pemeriksaan Radiologi

12
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah : pemeriksaan foto kepala dengan
berbagai posisi yang khas, pemeriksaan CT-Scan, pemeriksaan MRI,
pemeriksaan USG. Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli
radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi,
kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasalis dan struktur tulang
sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.11
Pemeriksaan Foto Kepala
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri
atas berbagai macam posisi antara lain:
a. Foto kepala posisi Caldwell
Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang
midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak
pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada
dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus
pada film dan membentuk 150 ̊ kaudal. 11

Gambar 9. Foto posisi Caldwell


b. Foto kepala lateral
Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar
kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris
berhimpit satu sama lain.1

13
Gambar 10. Foto lateral
c. Foto kepala posisi Water’s
Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus membentuk sudut 37 ̊ dengan

film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus

maksilaris dapat dievaluasi sepenuhnya. Foto Water’s umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut

terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sfenoid dengan baik. 11

Gambar 11. Foto posisi Waters Gambar 12. Foto posisi


mulut terbuka Waters
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien
menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film.
Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital melalui sella turcica
kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis dan dinding
posterior sinus maksilaris. 11

14
Gambar 13. Foto posisi submentoverteks

Pemeriksaan foto polos kepala air fluid level merupakan gambaran


yang paling umum pada sinusitis bakteri akut dan umumnya tidak terlihat
dalam bentuk lain dari sinusitis. Pemeriksaan ini paling baik dan paling
utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-
unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus
paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang
sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan
pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.11

Pemeriksaan CT-Scan
CT scan sinus bidang koronal telah menjadi metode pencitraan standar
internasional untuk mengevaluasi sinus paranasal yang terkena sinusitis.
Pemeriksaan harus mencakup penilaian terhadap pola, batas, dan
kemungkinan penyebab penyakit, serta rincian anatomi yang relevan dan
diperlukan untuk perencanaan penatalaksanaan.6,9
Pada sinusitis akut dapat dilihat tingkat air-fluid, penebalan mukosa,
dan completeopacification sinus. Apabila terdapat darah di sinus karena
trauma ini mungkin dapat meniru air fluid level dalam sinus, namun mudah
dibedakan dengan pengukuran kepadatan. 11
Dalam sinusitis kronis, sinus etmoid umumnya terlibat. Temuan
meliputi penebalan mukosa, completeopacification, remodeling tulang dan
penebalan karena osteitis, dan poliposis. 6,9

15
Gambar 14. Foto CT scan posisi Gambar 15. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan coronal menggambarkan sinusitis
Sinusitis jamur. Jaringan lunak pada sisi kanan sinus
menempati sinus maksilaris spenoethmodal.
kanan dan ethmoid dengan
daerah hyperattenuating pusat
khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena
terkikis.

Pemeriksaan MRI
Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria
standar diagnosis sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus klinis
yang dicurigai dapat menjadi komplikasi, terutama pada pasien dengan
komplikasi intrakranial dan infeksi yang besifat extension atau pada mereka
yang suspek superior sagittal venous thrombosis. 9
MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak
membantu dalam mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor
dari inflamasi pada jaringan sekitar dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-
weighted, membran edema dan lendir jelas terlihat hiperintens.9

16
Gambar 16. Foto MRI Gambar 17. Foto MRI
menggambarkan sinusitis menggambarkan sinusitis
ethmodal bilateral. ethmodal dengan ekstensi
intrakranial dan juga perluasan
ke orbit kiri.

Gambar 18. Foto MRI Gambar 19. Foto MRI axial


menggambarkan sinusitis menggambarkan sinusitis yg
ethmodal kanan dengan ekstensi menyebabkan extensi
intraorbital. intraorbital kanan dengan
perpindahan M. Rectus
medialis ke arah medial.
Pemeriksaan USG
Secara umum, ultrasonografi belum dianggap berguna dalam
diagnosis sinusitis. Namun, beberapa karya yang diterbitkan telah
menunjukkan bahwa USG menjadi lebih akurat daripada MRI atau
radiografi polos dalam mendiagnosis sinusitis maksilaris. Ultrasonografi

17
telah menjadi alat yang handal dalam diagnosis sinusitis maksilaris akut.
Namun, kontroversi masih ada mengenai keandalan ultrasonografi dalam
mendeteksi retensi cairan atau pembengkakan mukosa pada pasien dengan
rinosinusitis polypous kronis atau dalam transantrally operated-on maxillary
sinuses.9
Ultrasonografi memiliki beberapa keterbatasan dalam diagnosis
sinusitis tetapi ultrasonografi juga dapat menunjukkan hasil diagnosa positif
dengan adanya cairan antral, tapi sonogram tidak mendefinisikan penyebab
cairan. Sonogram tidak bisa memberikan informasi tentang detil tulang, dan
sulit mendiagnosis sinus apa yg terkena. Ultrasonografi juga tidak dapat
digunakan untuk membedakan penyakit sinus dari bakteri, virus, jamur, dan
penyebab alergi.

2.11. Diagnosis
Anamnesis merupakan salah satu cara diagnosis penderita sinusitis
selain dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik penderita sinusitis dapat dilakukan dengan rinoskopi
anterior dan posterior, dan sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
naso-endoskopi. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada
sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior
( pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid). Pada penderita yang
mengalami sinusitis akut akan ditemukan edema, terlebih pada anak akan
sering ditemukan pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pada penderita sinusitis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan
foto polos atau CT-scan. Foto polos posisi Waters, PA dan lateral,
umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus
maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-
cairan ( air fluid level) atau penebalan mukosa. CT-scan sinus merupakan
gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan
sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang
diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-

18
operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Soepardi,
dkk,2007).
Pemeriksaan transiluminasi akan memberikan informasi objektif atas
kondisi sinus maksilaris dan frontalis. Pada pemeriksaan dapat diperhatikan
jika sinus normal, akan terdapat : (1) refleks pupil merah, (2) bayangan sinar
bulan sabit yang sesuai dengan posisi kelopak mata bawah, (3) sensasi sinar
dalam mata jika kelopak mata tertutup (Thaariq, 2012).

2.12. Terapi

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis


akut bakterial, dimana antibiotik berfungsi untuk menghilangkan infeksi
dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka
dapat diberikan amoksisilin klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2.
Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik
sudah hilang. Pemberian antibiotik pada penderita sinusitis kronik harus
disesuaikan. Pemberian antihistamin pada penderita tidak rutin diberikan,
karena antihistamin memiliki sifat antikolinergik yang dapat menyebabkan
sekret menjadi lebih kental. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement
therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat dan jika
penderita menderita alergi berat maka imunoterapi harus dipertimbangkan

2.13. Komplikasi
Ssinusitis merupakan penyakit hidung yang cukup berbahaya, dimana
dapat menyebabkan komplikasi diantaranya sebagai berikut:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus merupakan salah satu komplikasi orbita dari sinusitis,
dimana merupakan penonjolan mata keluar orbita, biasanya
merupakan manifestasi penyakit lain. Sinusitis maksila akut dan
kronis jarang berkomplikasi eksoftalmus kecuali jika infeksinya sudah

19
meluas ke dalam rongga retrobulbar karena terjadi flebitis. Pada
etmoiditis akut dan kronis dapat juga menyebabkan eksoftalmus
akibat perluasan infeksi melalui lamina papirasea. Tumor sinus etmoid
jarang ditemukan.
b. Nyeri orbita
Nyeri orbita merupakan penyerta dari sinusitis, dimana nyeri di mata
dapat merupakan gejala sinusitis maksila akut atau sinusitis frontalis
sedangkan sinusitis maksila kronis lebih jarang menyebabkan nyeri
orbita. Nyeri orbita meningkatkan infeksi meluas ke dalam orbita
melalui dasar sinus frontal atau karena flebitis. Sinusitis frontal kronis
dan tumor jinak atau ganas dapat menyebabkan nyeri orbita jika sudah
meluas ke daerah tersebut.
c. Pembengkakan kelopak mata
Sinusitis akut, etmoid, atau frontal seringkali menyebabkan
pembengkakan pada kelopak mata. Edema yang terjadi pada kelopak
mata ini mempunyai tekstur lunak tanpa adanya titik atau daerah yang
nyeri tekan. Gerakan bola mata dan pengelihatan tidak terganggu
namun jika proses peradangan sinus ini meluas ke dalam orbita dapat
berbahaya seperti halnya selulitis orbita. Pada umumnya, kelopak
mata atas lebih bengkak pada sinusitis frontal. Pada etmoiditis
pembengkakan terjadi pada kedua kelopak mata dan kelopak bawah
dapat lebih bengkak pada perluasan infeksi dari sinus maksila.
d. Selulitis dan abses orbita
Selulitis dapat terjadi sebagai respon terhadap salah satu kelainan
peradangan di sinus maksilaris. Mula-mula didapati edema peradangn
pada satu atau kedua kelopak mata disertai nyeri. Dengan makin
berlanjutnya penyakit timbul eksoftalmus, kemosis konjungtiva,
gangguan gerakan mata yang progresif dan juga didapati gangguan
pengelihatan. Pada saat ini penderita biasanya dalam keadaan sakit
berat dengan demam tinggi dan nyeri hebat, dimana kedaan ini harus
mendapat penanganan dengan cepat karena keadaan terburuk dapat
menyebabkan kebutaan.

20
e. Osteomielitis dari maksila superior
Pada maksila superior seringkali mengalami osteomielitis akut.
Osteomielitis diawali dengan nekrotik pada kantung gigi, dimana
nekrotik akan meluas ke dinding antrum maksila, membentuk pus
yang keluar ke dalam hidung dan mulut. Lederer berpendapat bahwa
osteomielitis yang timbul bersamaan ini terjadi akibat infeksi vena
bukan merupakan penyebabnya. Pendapatnya ini berdasarkan
penyelidikan serial yang diteliti pada autopsy satu kasus, Osteomielitis
pada bayi dapat disebabkan karena infeksi hidung dan sinusitis.
f. Pneumokel
Suatu pneumokel adalah pengumpulan udara dengan tekanan di
jaringan. Udara biasanya lepas dari defek di dinding tulang sinus
frontal dan berkumpul di jaringan sekitar sinus. Jika hal ini terjadi di
dahi, berakibat pneumokel eksterna. Jika defek di dinding posterior,
terjadi pneomokel interna atau intrakranial. Suatu pneumokel dapat
timbul sebagai akibat fraktur, trauma, operasi, celah kongenital, defek,
atau nekrosis tulang. Nekrosis tulang dapat terjadi karena sifilis,
osteomielitis, sinusitis, dan lain-lain.

BAB III
LAPORAN KASUS

21
1.1. IDENTITAS
No. Rekam Medis : 32 02 04
Initial : Tn. AM
Tanggal Lahir / Umur : 05- 11- 1985 (36 th)
Alamat : Argapura
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan Terakhir : Strata 1
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Status Pernikahan : Menikah

1.2. ANAMNESIS

Keluhan Utama
Nyeri pada dahi sebelah kiri

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dating dengan keluhan nyeri pada dahi sebelah kiri yang dirasakan
sejak bulan oktober 2020. Bentukan nyeri seperti berdenyut yang timbul
pada pukul 10.00- 15.00 WIT terus meneerus dengan intensitas nyeri yang
berbeda. Nyeri yang ditimbulkan sedang namun menganggu aktivitas.
Nyeri pada dahi sebelah kiri terasa sakit bila dahi ditekan saat serangan
timbil, namun jika tidak serangan dahi tidak terasa sakit biarpun ditekan.
Keluhan membaik dengan diuap air panas. Pasien sering flu dan riwayat
flu berulang, namun pasien jarang minum obat saat flu kambuh. Bila flu
kambuh cairan dari hidung bening, tidak berwarna hijau dan encer.
Pencetus flu terkadang udara dingin dan debu meskipun tidak selalu. Nyeri
kepala (-), batuk (-), saklit tenggorok (-), demam (-), mual (-), muntah (-).
pasien mengaku kurang tidue dan banyak pikiran akibat beban kerja.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pada tahun 2007 pasien mengeluh sakit kepala sebelah kiri kurang lenih 6
bulan hilang timbul. Setelah dilakukan CT-SCAN didiagnosa Sinusitis
Frontalis Simistra dan telah mengalami pengobtan di RS DOK II.
Kemudian kambuh kembali pada bulan oktober 2020. Riwayat hipertensi
(-). Riwayat DM (-). Riwayat penyakit jantung (-). Riwayat asma (-).

22
Riwayat trauma (-). Riwayat kejang (-). Riwayat stroke (-). Riwayat
infeksi TBC (-). Riwayat hepatitis (-). Riwayat low back pain (-). Riwayat
osteoarthritis (-). Riwayat kelainan tulang belakang (-). Riwayat operasi
pada punggung (-). Riwayat tumor/keganasan (-). Riwayat konsumsi obat-
obatan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat stroke disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat infeksi TBC disangkal
Riwayat osteoporosis disangkal
Riwayat kejang disangkal
Riwayat Sosial dan Lingkungan
Pasien bekerja sebagai PNS, makan 3 kali sehari, merokok (+), komsumsi
alkohol (-), pengunaan obat-obatan disangkal.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Denyut Nadi : 82 kali/menit
Laju Nafas : 20 kali/menit
Suhu Tubuh : 36.7 ˚C
Saturasi Oksigen : 98%
Pemeriksaan Khusus
 Kepala
Bentuk : oval , simetris
Rambut : hitam, keriting, tipis

23
Mata : udem palpebra -/-
konjungtiva anemis -/-
sklera ikterik -/-
eksoftalmus -/-
pupil isokor Ø 3mm/3mm
refleks cahaya +/+
Hidung : sekret (-), bau (-)
Telinga : sekret (-) perdarahan (-)
Mulut : tidak dievaluasi

STATUS THT

Gambar pasien tampak depan

Gambar pasien tampak samping

Pemeriksaan Telinga
Telinga Dextra Sinistra
Tragus pain - -

24
Auricula dbn dbn
Canalis aurikularis dbn dbn
Membran timpani dbn dbn
Rinne Test
Weber test tidak dievaluasi
Shwabach test

Pemeriksaan Hidung
Hidung Dextra Sinistra
Dorsum nasi - -
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Cavum nasi - -
Chonca Pucat Pucat
Mukosa Udem Udem
Meatus Nasalis - -
Discharge - -
Test provokasi - -
Test posisional - -
Test transluminasi - -
Lain-lain Secret(+) Sekret (+)

Nyeri Tekan Wajah (-)

Pemeriksaan Tenggorok

Labialis (tidak dievaluasi)


Palatum (tidak dievaluasi)
Glosus (tidak dievaluasi)
Ginggiva (tidak dievaluasi)
Pharing (tidak dievaluasi)
Tonsil (tidak dievaluasi)
Uvula (tidak dievaluasi)
Lain-lain (tidak dievaluasi)

25
 Leher
KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak ada pembesaran
JVP : tidak meningkat
 Thorax
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : redup di ICS IV MCL D s/d ICS V MCL S
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Pulmo
kanan kiri
Inspeksi retraksi - -
gerak nafas tertinggal - -
Palpasi taktil fremitus N N
deviasi trakea - -
nyeri tekan - -
Perkusi sonor sonor
Auskultasi vesikuler + +
rhonki - -
wheezing - -

 Abdomen
Inspeksi : datar, tampak tato pada perut
Auskultasi : bising usus (+), 3-4 kali/15 detik
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, hipostesia
hepar dan lien tidak teraba membesar
 Genitalia : dalam batas normal, terpasang DC, hematuri (-)
 Extremitas
Superior : akral hangat dan kering, anemis, edema -/-
Inferior : akral hangat dan kering, anemis, edema -/-, hipostesia

1.4. Status Neurologis

26
Sikap Tubuh : dbn
Gerakan Abnormal : -
Cara Berjalan : dbn
 Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : tidak dievaluasi
Brudzinski I : tidak dievaluasi
Brudzinski II : tidak dievaluasi
Brudzinki III : tidak dievaluasi
Brudzinski IV : tidak dievaluasi
Kernig’s Sign : tidak dievaluasi
Laseque : tidak dievaluasi

 Nervus Cranialis
N. I daya penghidu normal normal

N. II daya penglihatan normal normal


pengenalan warna normal normal
lapang pandang normal normal

N. III ptosis - -
gerakan bola mata normal normal

N. IV strabismus divergen - -
strabismus konvergen - -

N. V menggigit - -
membuka mulut - -
sensibilitas normal normal

N. VI gerakan mata ke lateral normal normal

N. VII kedipan mata normal normal


mengerutkan dahi simetris simetris
menutup mata normal normal
mengembungkan pipi normal normal

N. VIII tes rinne tidak tidak


tes schwabach dievaluasi dievaluasi
tes weber

N. IX refleks muntah normal

27
N. X bersuara normal normal
menelan normal normal

N. XI memalingkan wajah sulit sulit


dinilai dinilai

N. XII sikap lidah normal normal


artikulasi normal normal

 Status Motorik
5555 5555 n n
Kekuatan Tonus
5555 5555 n n

Refleks + + Refleks - -
Fisiologis + + Patologis - -

 Status Sensorik
Ext Ext Ext Ext
Fungsi Rangsang Sup Sup Inf Inf
D S D S
Rasa Suhu intact intact - -
Eksteroseptif Rasa Raba intact intact - -
Rasa Nyeri intact intact - -
Rasa Gerak
Rasa Sikap
Propioseptif intact intact - -
Rasa Getar
Rasa Tekan

1.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan Laboratorium (tidak dievaluasi)

 Foto Waters

28
Kesan:
 Sinus frontalis bilateral berselubung terutama sebelah kiri
 Sinus maksilaris bilateral sedikit berselubung
 Dinding antrum menebal
 Tidak tampak penebalan concha
 Septum nasi di tengah
 Tidak tampak garis fraktur
Kesimpulan :
 Sinusitis frontalis bilateral
 Sinusitis maksilaris bilateral

1.6. DIAGNOSA
Sinusitis Frontalis Sinistra

1.7. PENATALAKSANAAN
Cefixim 200mg 2x1
Ceterizin 2x1 tab
Ibuprofen 400mg 2x1 tab
Loratadine 10mg 1x1 tab pagi hari.
Dilanjutkan dengan Rhinos 2x 1

29
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis sinusitis dititikberatkan pada diagnosis klinis berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Untuk menegakkan diagnosis sinustis
memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada
pasien, dengan gejala lebih dari 7 hari, satu diantaranya harus berupa sumbatan (kongesti
hidung) atau munculnya sekret hidung dengan atau tanpa nyeri (tekan) pada wajah atau
gangguan fungsi penghidu. Diagnosis sinusitis pada anak-anak ditegakkan berdasarkan dua
atau lebih gejala, satu diantaranya harus berupa sumbatan (kongesti hidung) atau munculnya
sekret hidung dengan atau tanpa nyeri tekan wajah atau batuk. Gejala tersebut harus didukung
pula dengan hasil pemeriksaan penunjang yang positif.
Gejala yang didapatkan pada pasien ini yaitu tiga gejala mayor, seperti nyeri atau rasa
tertekan pada wajah, kongesti nasal dan obstruksi nasal yang dirasakan kembali sejak bulan
Oktober 2020. Sementara gejala lain seperti sakit kepala, rasa lemas, demam, nyeri
tenggorok, batuk, dan halitosis disangkal pasien. Pada sinusitis frontalis, gejala subyektif
yang didapat berupa nyeri kepala yang khas, yaitu nyeri yang berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan
mereda hingga menjelang malam. Pasien juga biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri
bila disentuh. Pada pasien ini ditemui gejala subyektif yang sama, yaitu nyeri dan rasa
tertekan yang dirasakan berlokasi di atas alis mata, yaitu dahi sebelah kiri. Nyeri paling
dirasakan pada siang hari hingga sore menjelang malam, yaitu dari jam 10.00 sampai jam
15.00. Bentukan nyeri seperti berdenyut dengan intensitas nyeri yang berbeda. Nyeri yang
ditimbulkan sedang namun pasien mengaku jika muncul rasa nyeri cukup menganggu
aktivitas. Nyeri pada dahi sebelah kiri terasa sakit bila dahi ditekan saat serangan timbul,
namun jika tidak serangan dahi tidak terasa sakit biarpun ditekan. Keluhan membaik dengan
di uap air panas.
Beberapa faktor risiko sinusitis seperti merokok, flu, penggunaan dekongestan nasal
spray dalam waktu lama, obstruksi nasal seperti deviasi septum, polip, abnormalitas tulang
wajah, pembengkakan adenoid, cleft palate, dan tumor. Faktor risiko lainnya seperti alergi,
penyakit kronik tertentu: kistik fibrosis, infeksi HIV, diabetes dll, dan trauma kepala. Saat
ditanyakan kemungkinan faktor risiko sinusitis, pasien mengaku sering mengalami flu
berulang dengan waktu munculnya gejala flu tidak menentu dan faktor pemicu yang tidak
pasti, seperti kadang flu dapat dipicu oleh udara dingin dan debu, namun terkadang terpapar

30
udara dingin tidak selalu menimbulkan flu. Bila flu kambuh cairan yang keluar dari hidung
bening, tidak berwarna hijau dan encer serta tidak berbau busuk. Saat flu juga tidak terdapat
gatal pada mata. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi, baik alergi makanan, debu,
obat-obatan, udara dingin dll. Pasien juga menyangkal memiliki penyakit asma dan
menyangkal riwayat alergi pada keluarga. Untuk memastikan apakah mungkin ada riwayat
alergi yang tidak diketahui pasien, ditanyakan riwayat pemeriksaan alergi. Pasien menjawab
tidak pernah dilakukan Skin Prick Test ataupun tes alergi lainnya untuk memastikan pasien
bebas alergi. Selain itu, pasien juga merupakan perokok aktif yang menghabiskan sekitar 3-4
bungkus rokok atau 48-64 batang rokok per minggu. Pasien juga sempat didiagnosis sinusitis
pada tahun 2007 silam, dan telah selesai menjalani pengobatan hingga mengaku bebas
sinusitis selama lebih dari 10 tahun. Namun gejala kembali muncul pada bulan Oktober 2020.
Berdasarkan pengakuan pasien, terdapat beberapa faktor risiko sinusitis, yaitu
merokok dan riwayat flu lama dan berulang yang bisa mengarah kepada kecurigaan rhinitis
alergi. Pada pasien yang merokok, baik perokok aktif dan pasif berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya rhinosinusitis karena asap rokok menyebabkan epitel sinonasal
melepaskan mediator inflamasi. Saat merokok, hawa panas yang dihisap juga dapat
merangsang organ di sekitar hidung sehingga menimbulkan iritasi dan memperbesar
kemungkinan timbulnya sinusitis. Asap rokok juga dapat meningkatkan IgE spesifik maupun
IgE total. Asap rokok dapat mengganggu klirens mukosiliar dan mengakibatkan inflamasi
yang mirip seperti alergi bahkan pada orang yang nonatopi.
Rinitis alergi yang tidak dikontrol dengan baik dapat mempermudah terjadinya
rinosinusitis. Kejadian rinosinusitis meningkat seiring bertambahnya kasus rinitis alergi. Hal
ini disebabkan karena pembengkakan mukosa hidung pada rinitis alergi di ostium sinus dapat
mengganggu ventilasi bahkan menyumbat ostium sinus, yang mengakibatkan retensi sekret
mukus dan infeksi. Rinitis alergi tidak hanya menunjukkan tanda inflamasi pada mukosa
hidung saja, tetapi juga inflamasi kronis mukosa sinus, terutama pada rinitis alergi persisten
yang profil inflamasinya terlihat lebih hebat dibandingkan rinitis alergi intermiten.
Pada sinusitis frontalis dapat dijumpai adanya pembengkakan supraorbital. Setelah
dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien juga dijumpai adanya sedikit pembengkakan pada
region supraorbital. Pemeriksaan fisik pada tanggal 23 November dengan melakukan palpasi
di sinus frontalis, pasien mengaku sudah tidak terasa nyeri. Selain itu pada inspeksi dan
palpasi tidak didapatkan adanya tanda-tanda inflamasi. Hal ini mungkin diakibatkan karena
pasien telah menjalani pengobatan sejak tanggal 9 November 2020 (2 minggu yang lalu) dan

31
telah melakukan fisioterapi sebanyak dua kali dari target lima kali. Pasien mengalami
perbaikan yang cepat.
Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak memadai, makanan
yang tak memadai, reaksi atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi. Gejala
berupa kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca
nasal (post nasal drip), gangguan penciuman dan pengecapan. Pada pasien ini sinusitis sudah
diderita sejak tahun 2007 (13 tahun yang lalu) dan kambuh lagi sejak bulan oktober 2020.
Namun gejala sinusitis kronik yang dijumpai tidak khas, yaitu kongesti atau obstruksi hidung
dengan sekret hidung yang bening, tidak berwarna hijau dan encer. Sementara nyeri kepala,
gangguan penciuman dan pengecapan disangkal. Dugaan sinusitis kronik berulang diperkuat
dengan pengakuan pasien yang pernah didiagnosa sinusitis pada lokasi yang sama, yaitu dahi
sebelah kiri pada tahun 2007 setelah melakukan CT-SCAN kepala, namun hasil foto lama
(tahun 2007) tidak dapat dilampirkan karena tidak dibawa oleh pasien.
Pemeriksaan CT-scan adalah teknik pencitraan yang dianjurkan untuk sinusitis.
Pemeriksaan CT-scan dilakukan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan setelah
mendapatkan terapi yang adekuat atau pada sinusitis kronis. Pemeriksaan CT-scan berguna
untuk menegakkan diagnosis sinusitis jamur invasif akut atau alergi serta untuk
menyingkirkan diagnosis lain seperti tumor. CT-scan harus dilakukan sebelum tindakan
operasi sinus endoskopik terutama bila ada komplikasi sinusitis yang melibatkan area
periorbital atau intrakranial. CT-scan yang disarankan adalah dengan potongan setebal 3-4
mm yang kemudian dapat dievaluasi gambaran opak pada sinus, air-fluid level, penebalan
mukosa (>4 mm), dan displacement dinding sinus.
Pada pemeriksaan penunjang sinusitis selain CT scan, bisa juga dilakuan pemeriksaan
lain yang lebih sederhana seperti pemeriksaan transluminasi, selain itu dapat juga dengan foto
radiologi. Pada foto radiologi, sinusitis ditandai dengan gambaran opak difus pada rongga
sinus, penebalan mukosa (>4 mm), atau adanya air fluid level. Pada foto Water pasien yang
diambil tanggal 10 November 2020, ditemukan gambaran pada sinus frontalis sinistra berupa
perselubungan dengan gambaran penebalan dari mukosa yang nampak lebih radio-opaque
difus pada rongga sinus frontalis sinistra dibandingkan yang sebelah kanan. Foto waters
terbaru menunjukkan terdapat pula sinusitis bilateral pada sinus maksilaris. Untuk
mengetahui visualisasi etmoid yang lebih jelas pada foto rontgen dapat dilakukan posisi
Caldwell, sementara untuk evaluasi sinus adenoid dan sfenoid dilakukan posisi lateral.
Namun pada pasien hanya dilakukan foto rontgen dengan posisi waters untuk mengevaluasi
lebih jelas sinus frontal dan maksila.  
32
Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dengan konka yang pucat dan
edem mucosa. Pengobatan sinusitis kronik dilakukan secara konservatif dengan antibiotik
selama 10 hari, dekongestan lokal dan sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang
pendek selama 10 hari di daerah sinus yang terkena, pungsi dan irigasi sinus. Antibiotik dan
dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, dimana antibiotik
berfungsi untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan
ostium sinus. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik
sudah hilang. Pemberian antibiotik pada penderita sinusitis kronik harus disesuaikan.
Pemberian antihistamin pada penderita tidak rutin diberikan, karena antihistamin memiliki
sifat antikolinergik yang dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Irigasi sinus
maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat
bermanfaat dan jika penderita menderita alergi berat maka imunoterapi harus
dipertimbangkan.
Pada pasien ini diberikan antibiotik cefixime 200mg 2x1, antihistamin Ceterizine 10mg
2x1 dan loratadine 10mg 1x1, ibuprofen 40mg 2x1 tab, serta dilanjutkan dengan dekongestan
sistemik yaitu Rhinos 2x1 (loratadin dihentikan). Pasien juga direncanakan menjalani terapi
rehabilitasi medik berupa diatermi di daerah sinus frontalis dan maksilaris selama masing-
masing 20 menit sebanyak lima kali. Sampai minggu ke dua menjalani pengobatan, pasien
menunjukkan dampak positif.

33
BAB V
KESIMPULAN

Diagnosis sinusitis dititikberatkan pada diagnosis klinis berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Gejala yang didapatkan pada pasien
ini yaitu tiga gejala mayor. Untuk mengakkan diagnosis sinustis memerlukan dua
kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien, dengan
gejala lebih dari 7 hari. Beberapa faktor risiko sinusitis pada pasien, yaitu merokok,
riwayat flu lama dan berulang dan terdapat riwayat sinusitis sebelumnya.
Pada sinusitis frontalis, gejala subyektif yang didapat berupa nyeri kepala yang
khas, yaitu nyeri yang berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang
malam. Pasien juga biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh. Pada
pasien ini ditemui gejala subyektif yang sama, yaitu nyeri dan rasa tertekan yang
dirasakan berlokasi di atas alis mata, yaitu dahi sebelah kiri. Pada sinusitis frontalis
dapat dijumpai adanya pembengkakan supraorbital. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
yaitu CT-scan, pemeriksaan transluminasi, dan foto radiologi. Pengobatan sinusitis
kronik dilakukan secara konservatif. Pada pasien ini diberikan pengobatan pasien
menunjukkan dampak positif.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Hall dan Collmans Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and Neck
Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 – 53.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL February 2010. Rhinitis and Sinusitis. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 125: S103–15.
3. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 th Ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.pp.150-154.
4. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor.
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
5. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
6. Rosenfeld RM. Picirrilo JF. Chandrasekhar SS. Brook I. Kumar KA. Kramper M.
Orlandi RR. Et al. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2015. 152 : (2S).p.1-24.
7. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p.81-91.
8. Desrosiers M. Evans GA. Keith PK. Wright ED, Kaplan A, Ciavarella A. Doyle PW,
Javer AR, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011. 7:2.p.1-38.
9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM,
Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia,
PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.
10. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p 2-9
11. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment.
British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118.

35

Anda mungkin juga menyukai