Diajukan sebagai salah syarat untuk mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik
Madya di SMF Telinga, Hidung dan Tenggorok Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura
Oleh:
PEMBIMBING:
dr. Agustin, Sp.THT-KL
dr. Rosmini, Sp.THT-KL
SMF THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERISTAS CENDERAWASIH
JAYAPURA – PAPUA
2020
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji, Lapkas dengan
judul “Sinusitis Frontalis Sinistra” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan Klinik Madya pada SMF THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah
Jayapura yang dilaksanakan pada:
Hari :
Tanggal :
Tempat :
Menyetujui
Penguji/ Pembimbing
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus
untuk membersihkan rongga hidung.1,
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di
rongga hidung melalui ostium masing-masing.3
Pada meatus medius yang merupakan ruang di antara konka
superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu
hiatus semilunaris sebagai muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan
ethmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan
IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika
pada foto anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.4
Sinus Paranasalis
Pemberian nama-nama sinus ini adalah sesuai dengan nama tulang-
tulang yang ditempatinya. Berikut merupakan penjelasan dari masing-
masing sinus :
a. Sinus frontalis
Sinus frontalis terletak antara tabula eksterna dan tabula interna ossis
frontalis, di belakang arkus supersiliaris dan akar hidung. Masing-masing
sinus berhubungan melalui duktus frontonasalis dengan infundibulum yang
bermuara di meatus nasalis medius.
b. Sinus ethmoidalis
Sinus ethmoidalis terdiri dari beberapa rongga kecil, sellulae
ethmoidalis, di dalam masa lateral tulang etmoidalis, antara kavitas nasal
dan orbita. Sellulae ethmoidalis anterior dapat berhubungan secara tidak
langsung dengan meatus nasalis medius melalui infundibulum. Sellulae
ethmoidalis posterior berhubungan langsung dengan meatus nasalis
superior.
c. Sinus sphenoidalis
Sinus sphenoidalis yang terpisah oleh sebuah sekat tulang, terletak di
dalam korpus ossis sphenoidalis dan dapat meluas ke dalam ala mayor dan
6
ala minor ossis sphenoidalis. Karena sinus sphenoidalis ini, korpus ossis
sphenoidalis mudah retak. Sinus sphenoidalis terpisah dari beberapa struktur
penting hanya oleh lembaran-lembaran tulang yang tipis : kedua nervus
optikus, chiasma optikus, hypophysis (glandula pituitaria), arteri karotis
interna, dan sinus kavernosus serta sinus sinus interkavernosi.
d. Sinus maksilaris
Sinus maksilaris adalah yang terbesar dari semua sinus paranasal.
Rongga rongga ini yang berbentuk seperti limas, menempati seluruh badan
masing-masing maksila. Puncak sinus maksilaris menjulang ke arah tulang
zigomatikum, bahkan seringkali memasukinya. Alas limas sinus membentuk
bagian inferior dinding lateral kavitas nasal. Atap sinus dibentuk oleh dasar
orbita, dan dasarnya yang sempit, dibentuk oleh bagian alveolar maksila.
Akar gigi atas, terutama akar kedua gigi molar pertama, seringkali
menimbulkan tonjolan seperti kerucut pada dasar sinus
Fungsi Sinus Paranasal
a. Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus dikatakan dapat berfungsi sebagai ruang yang mengatur
kelembaban udara inspirasi. Namun beberapa ahli keberatan terhadap teori
ini karena ternyata tidak ditemukan pertukaran udara yang definitif antara
sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus
kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga
dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.
b. Sebagai penahan suhu
Fungsi sinus sebagai penahan panas adalah melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan
organ-organ yang dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus dikatakan berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Hal ini terbantahkan karena ada yang
berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonator yang efektif.
7
d. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Sinus sebagai peredam perubahan tekanan udara dimana bila ada
perubahan tekanan yang besar dan mendadak, ini dapat terjadi misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus.
e. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis
2.4. Etiologi
Menurut Dhingra (2000), etiologi dari infeksi sinusitis meliputi :
a. Infeksi hidung
8
Mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung dan infeksi yang
berasal dari hidung dapat menyebar secara langsung atau melalui jalur
submucosallymphatics. Penyebab sinusitis akut secara umum adalah
rinitis virus yang diikuti invasi bakteri.
b. Berenang dan menyelam
Air yang terinfeksi bisa masuk ke bagian sinus melalui ostia.
Berenang atau menyelam di kolam renang yang mengandung air
tinggi klorin dikatakan berpengaruh terhadap peradangan pada sinus
hidung.
c. Trauma
Patah tulang atau luka yang hingga menembus sinus frontal, sinus
maksilaris dan sinus ethmoid memungkinkan terjadinya infeksi
langsung pada sinus mukosa. Barotrauma juga dapat diikuti infeksi
sinusitis.
d. Infeksi gigi
Hal ini berlaku pada sinus maksilaris. Infeksi sinus seringkali berasal
dari infeksi geraham atas.
e. Lingkungan
Angka kejadian sinusitis meningkat di daerah yang memiliki suhu
rendah dan lembab. Beberapa faktor seperti polusi udara, debu, asap,
dan kepadatan penduduk juga berpengaruh.
f. Kesehatan umum yang buruk
Sinusitis sangat meningkat berhubungan dengan kebiasaan kesehatan
masyarakat yang buruk. Beberapa penyakit diantaranya:
exanthematous fever (measles, chickenpox, whooping cough),
defisiensi nutrisi, dan penyakit sistemik ( diabetes, defisiensi sistem
imun).
g. Bakteriologi
Kebanyakan kasus sinusitis akut diawali dengan infeksi virus yang
kemudian dilanjutkan oleh invasi bakteri. Beberapa bakteri yang
dikatakan berperan dalam infeksi sinusitis supuratif akut diantaranya:
Strept. pneumoniae, H.influenzae, Moraxella catarrhalis, Strept.
9
pyogenes, Staph. Aureus, dan Kleb. pneumoniae. Organisme
anaerobik dan infeksi campuran sering ditemukan pada sinusitis
dentogen.
2.5.
2.7. Patofisiologi
Menurut (Thaariq, 2012), untuk memahami penyakit sinus, harus
mempunyai sejumlah pengetahuan konsep patofiologi dasar. Patofisologi
dari sinusitis terkait 3 faktor sebagai berikut :
10
a. Adanya obstruksi jalur drainase sinus
Obstruksi jalur drainase sinus dapat mencegah drainase mukus
normal. Ostium bisa tertutup oleh pembengkakan mukosa, ataupun
penyebab local lainnya. Ketika sudah muncul obstruksi komplit dari
ostium, akan ada peningkatan transien dalam tekanan intrasinus
diikuti oleh pembentukan tekanan negatif intrasinus.
b. Fungsi silia yang rusak
Fungi silia yang buruk bisa disebabkan berkurangnya sel epitel silia,
aliran udara yang tinggi, virus, bakteri atau siliatoksin dari
lingkungan, mediator inflamasi, berdempetannya 2 permukaan
mukosa, luka, dan sindrom Kartagener. Sindrom Kartagener terkait
dengan silia immobile, menyebabkan retensi dari sekresi sehingga
menjadi faktor predisposisi infeksi sinus.
c. Kualitas dan kuantitas mukus yang berubah
Komposisi mukus berubah dapat menyebabkan mukus memproduksi
viskositas lebih, transport ke ostium akan lebih pelan, dan lapisan gel
menjadi lebih tebal. Perubahan mukus ini akan mengganggu aktivitas
silia pada sinusitis akut, yang diperparah dengan penutupan ostium.
11
terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan dimana tanda-tanda radang
akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversibel,
dan dikatakan kronis bila durasi penyakit beberapa bulan sampai beberapa
tahun. Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi tipe rinogenik dan
dentogen, tipe rinogenik merupakan segala sesuatu yang dapat
menyebabkan hidung tersumbat dan menyebabkan sinusitis, sedangkan tipe
dentogen penyebabnya adalah kelainan gigi dan yang tersering adalah
infeksi pada geraham atas (Sambuda, 2008).
12
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah : pemeriksaan foto kepala dengan
berbagai posisi yang khas, pemeriksaan CT-Scan, pemeriksaan MRI,
pemeriksaan USG. Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli
radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi,
kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasalis dan struktur tulang
sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.11
Pemeriksaan Foto Kepala
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri
atas berbagai macam posisi antara lain:
a. Foto kepala posisi Caldwell
Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang
midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak
pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada
dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus
pada film dan membentuk 150 ̊ kaudal. 11
13
Gambar 10. Foto lateral
c. Foto kepala posisi Water’s
Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus membentuk sudut 37 ̊ dengan
film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus
maksilaris dapat dievaluasi sepenuhnya. Foto Water’s umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut
terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sfenoid dengan baik. 11
14
Gambar 13. Foto posisi submentoverteks
Pemeriksaan CT-Scan
CT scan sinus bidang koronal telah menjadi metode pencitraan standar
internasional untuk mengevaluasi sinus paranasal yang terkena sinusitis.
Pemeriksaan harus mencakup penilaian terhadap pola, batas, dan
kemungkinan penyebab penyakit, serta rincian anatomi yang relevan dan
diperlukan untuk perencanaan penatalaksanaan.6,9
Pada sinusitis akut dapat dilihat tingkat air-fluid, penebalan mukosa,
dan completeopacification sinus. Apabila terdapat darah di sinus karena
trauma ini mungkin dapat meniru air fluid level dalam sinus, namun mudah
dibedakan dengan pengukuran kepadatan. 11
Dalam sinusitis kronis, sinus etmoid umumnya terlibat. Temuan
meliputi penebalan mukosa, completeopacification, remodeling tulang dan
penebalan karena osteitis, dan poliposis. 6,9
15
Gambar 14. Foto CT scan posisi Gambar 15. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan coronal menggambarkan sinusitis
Sinusitis jamur. Jaringan lunak pada sisi kanan sinus
menempati sinus maksilaris spenoethmodal.
kanan dan ethmoid dengan
daerah hyperattenuating pusat
khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena
terkikis.
Pemeriksaan MRI
Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria
standar diagnosis sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus klinis
yang dicurigai dapat menjadi komplikasi, terutama pada pasien dengan
komplikasi intrakranial dan infeksi yang besifat extension atau pada mereka
yang suspek superior sagittal venous thrombosis. 9
MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak
membantu dalam mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor
dari inflamasi pada jaringan sekitar dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-
weighted, membran edema dan lendir jelas terlihat hiperintens.9
16
Gambar 16. Foto MRI Gambar 17. Foto MRI
menggambarkan sinusitis menggambarkan sinusitis
ethmodal bilateral. ethmodal dengan ekstensi
intrakranial dan juga perluasan
ke orbit kiri.
17
telah menjadi alat yang handal dalam diagnosis sinusitis maksilaris akut.
Namun, kontroversi masih ada mengenai keandalan ultrasonografi dalam
mendeteksi retensi cairan atau pembengkakan mukosa pada pasien dengan
rinosinusitis polypous kronis atau dalam transantrally operated-on maxillary
sinuses.9
Ultrasonografi memiliki beberapa keterbatasan dalam diagnosis
sinusitis tetapi ultrasonografi juga dapat menunjukkan hasil diagnosa positif
dengan adanya cairan antral, tapi sonogram tidak mendefinisikan penyebab
cairan. Sonogram tidak bisa memberikan informasi tentang detil tulang, dan
sulit mendiagnosis sinus apa yg terkena. Ultrasonografi juga tidak dapat
digunakan untuk membedakan penyakit sinus dari bakteri, virus, jamur, dan
penyebab alergi.
2.11. Diagnosis
Anamnesis merupakan salah satu cara diagnosis penderita sinusitis
selain dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik penderita sinusitis dapat dilakukan dengan rinoskopi
anterior dan posterior, dan sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
naso-endoskopi. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada
sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior
( pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid). Pada penderita yang
mengalami sinusitis akut akan ditemukan edema, terlebih pada anak akan
sering ditemukan pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pada penderita sinusitis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan
foto polos atau CT-scan. Foto polos posisi Waters, PA dan lateral,
umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus
maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-
cairan ( air fluid level) atau penebalan mukosa. CT-scan sinus merupakan
gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan
sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang
diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-
18
operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Soepardi,
dkk,2007).
Pemeriksaan transiluminasi akan memberikan informasi objektif atas
kondisi sinus maksilaris dan frontalis. Pada pemeriksaan dapat diperhatikan
jika sinus normal, akan terdapat : (1) refleks pupil merah, (2) bayangan sinar
bulan sabit yang sesuai dengan posisi kelopak mata bawah, (3) sensasi sinar
dalam mata jika kelopak mata tertutup (Thaariq, 2012).
2.12. Terapi
2.13. Komplikasi
Ssinusitis merupakan penyakit hidung yang cukup berbahaya, dimana
dapat menyebabkan komplikasi diantaranya sebagai berikut:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus merupakan salah satu komplikasi orbita dari sinusitis,
dimana merupakan penonjolan mata keluar orbita, biasanya
merupakan manifestasi penyakit lain. Sinusitis maksila akut dan
kronis jarang berkomplikasi eksoftalmus kecuali jika infeksinya sudah
19
meluas ke dalam rongga retrobulbar karena terjadi flebitis. Pada
etmoiditis akut dan kronis dapat juga menyebabkan eksoftalmus
akibat perluasan infeksi melalui lamina papirasea. Tumor sinus etmoid
jarang ditemukan.
b. Nyeri orbita
Nyeri orbita merupakan penyerta dari sinusitis, dimana nyeri di mata
dapat merupakan gejala sinusitis maksila akut atau sinusitis frontalis
sedangkan sinusitis maksila kronis lebih jarang menyebabkan nyeri
orbita. Nyeri orbita meningkatkan infeksi meluas ke dalam orbita
melalui dasar sinus frontal atau karena flebitis. Sinusitis frontal kronis
dan tumor jinak atau ganas dapat menyebabkan nyeri orbita jika sudah
meluas ke daerah tersebut.
c. Pembengkakan kelopak mata
Sinusitis akut, etmoid, atau frontal seringkali menyebabkan
pembengkakan pada kelopak mata. Edema yang terjadi pada kelopak
mata ini mempunyai tekstur lunak tanpa adanya titik atau daerah yang
nyeri tekan. Gerakan bola mata dan pengelihatan tidak terganggu
namun jika proses peradangan sinus ini meluas ke dalam orbita dapat
berbahaya seperti halnya selulitis orbita. Pada umumnya, kelopak
mata atas lebih bengkak pada sinusitis frontal. Pada etmoiditis
pembengkakan terjadi pada kedua kelopak mata dan kelopak bawah
dapat lebih bengkak pada perluasan infeksi dari sinus maksila.
d. Selulitis dan abses orbita
Selulitis dapat terjadi sebagai respon terhadap salah satu kelainan
peradangan di sinus maksilaris. Mula-mula didapati edema peradangn
pada satu atau kedua kelopak mata disertai nyeri. Dengan makin
berlanjutnya penyakit timbul eksoftalmus, kemosis konjungtiva,
gangguan gerakan mata yang progresif dan juga didapati gangguan
pengelihatan. Pada saat ini penderita biasanya dalam keadaan sakit
berat dengan demam tinggi dan nyeri hebat, dimana kedaan ini harus
mendapat penanganan dengan cepat karena keadaan terburuk dapat
menyebabkan kebutaan.
20
e. Osteomielitis dari maksila superior
Pada maksila superior seringkali mengalami osteomielitis akut.
Osteomielitis diawali dengan nekrotik pada kantung gigi, dimana
nekrotik akan meluas ke dinding antrum maksila, membentuk pus
yang keluar ke dalam hidung dan mulut. Lederer berpendapat bahwa
osteomielitis yang timbul bersamaan ini terjadi akibat infeksi vena
bukan merupakan penyebabnya. Pendapatnya ini berdasarkan
penyelidikan serial yang diteliti pada autopsy satu kasus, Osteomielitis
pada bayi dapat disebabkan karena infeksi hidung dan sinusitis.
f. Pneumokel
Suatu pneumokel adalah pengumpulan udara dengan tekanan di
jaringan. Udara biasanya lepas dari defek di dinding tulang sinus
frontal dan berkumpul di jaringan sekitar sinus. Jika hal ini terjadi di
dahi, berakibat pneumokel eksterna. Jika defek di dinding posterior,
terjadi pneomokel interna atau intrakranial. Suatu pneumokel dapat
timbul sebagai akibat fraktur, trauma, operasi, celah kongenital, defek,
atau nekrosis tulang. Nekrosis tulang dapat terjadi karena sifilis,
osteomielitis, sinusitis, dan lain-lain.
BAB III
LAPORAN KASUS
21
1.1. IDENTITAS
No. Rekam Medis : 32 02 04
Initial : Tn. AM
Tanggal Lahir / Umur : 05- 11- 1985 (36 th)
Alamat : Argapura
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan Terakhir : Strata 1
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Status Pernikahan : Menikah
1.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri pada dahi sebelah kiri
22
Riwayat trauma (-). Riwayat kejang (-). Riwayat stroke (-). Riwayat
infeksi TBC (-). Riwayat hepatitis (-). Riwayat low back pain (-). Riwayat
osteoarthritis (-). Riwayat kelainan tulang belakang (-). Riwayat operasi
pada punggung (-). Riwayat tumor/keganasan (-). Riwayat konsumsi obat-
obatan (-)
23
Mata : udem palpebra -/-
konjungtiva anemis -/-
sklera ikterik -/-
eksoftalmus -/-
pupil isokor Ø 3mm/3mm
refleks cahaya +/+
Hidung : sekret (-), bau (-)
Telinga : sekret (-) perdarahan (-)
Mulut : tidak dievaluasi
STATUS THT
Pemeriksaan Telinga
Telinga Dextra Sinistra
Tragus pain - -
24
Auricula dbn dbn
Canalis aurikularis dbn dbn
Membran timpani dbn dbn
Rinne Test
Weber test tidak dievaluasi
Shwabach test
Pemeriksaan Hidung
Hidung Dextra Sinistra
Dorsum nasi - -
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Cavum nasi - -
Chonca Pucat Pucat
Mukosa Udem Udem
Meatus Nasalis - -
Discharge - -
Test provokasi - -
Test posisional - -
Test transluminasi - -
Lain-lain Secret(+) Sekret (+)
Pemeriksaan Tenggorok
25
Leher
KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak ada pembesaran
JVP : tidak meningkat
Thorax
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : redup di ICS IV MCL D s/d ICS V MCL S
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Pulmo
kanan kiri
Inspeksi retraksi - -
gerak nafas tertinggal - -
Palpasi taktil fremitus N N
deviasi trakea - -
nyeri tekan - -
Perkusi sonor sonor
Auskultasi vesikuler + +
rhonki - -
wheezing - -
Abdomen
Inspeksi : datar, tampak tato pada perut
Auskultasi : bising usus (+), 3-4 kali/15 detik
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, hipostesia
hepar dan lien tidak teraba membesar
Genitalia : dalam batas normal, terpasang DC, hematuri (-)
Extremitas
Superior : akral hangat dan kering, anemis, edema -/-
Inferior : akral hangat dan kering, anemis, edema -/-, hipostesia
26
Sikap Tubuh : dbn
Gerakan Abnormal : -
Cara Berjalan : dbn
Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : tidak dievaluasi
Brudzinski I : tidak dievaluasi
Brudzinski II : tidak dievaluasi
Brudzinki III : tidak dievaluasi
Brudzinski IV : tidak dievaluasi
Kernig’s Sign : tidak dievaluasi
Laseque : tidak dievaluasi
Nervus Cranialis
N. I daya penghidu normal normal
N. III ptosis - -
gerakan bola mata normal normal
N. IV strabismus divergen - -
strabismus konvergen - -
N. V menggigit - -
membuka mulut - -
sensibilitas normal normal
27
N. X bersuara normal normal
menelan normal normal
Status Motorik
5555 5555 n n
Kekuatan Tonus
5555 5555 n n
Refleks + + Refleks - -
Fisiologis + + Patologis - -
Status Sensorik
Ext Ext Ext Ext
Fungsi Rangsang Sup Sup Inf Inf
D S D S
Rasa Suhu intact intact - -
Eksteroseptif Rasa Raba intact intact - -
Rasa Nyeri intact intact - -
Rasa Gerak
Rasa Sikap
Propioseptif intact intact - -
Rasa Getar
Rasa Tekan
Foto Waters
28
Kesan:
Sinus frontalis bilateral berselubung terutama sebelah kiri
Sinus maksilaris bilateral sedikit berselubung
Dinding antrum menebal
Tidak tampak penebalan concha
Septum nasi di tengah
Tidak tampak garis fraktur
Kesimpulan :
Sinusitis frontalis bilateral
Sinusitis maksilaris bilateral
1.6. DIAGNOSA
Sinusitis Frontalis Sinistra
1.7. PENATALAKSANAAN
Cefixim 200mg 2x1
Ceterizin 2x1 tab
Ibuprofen 400mg 2x1 tab
Loratadine 10mg 1x1 tab pagi hari.
Dilanjutkan dengan Rhinos 2x 1
29
BAB IV
PEMBAHASAN
30
udara dingin tidak selalu menimbulkan flu. Bila flu kambuh cairan yang keluar dari hidung
bening, tidak berwarna hijau dan encer serta tidak berbau busuk. Saat flu juga tidak terdapat
gatal pada mata. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi, baik alergi makanan, debu,
obat-obatan, udara dingin dll. Pasien juga menyangkal memiliki penyakit asma dan
menyangkal riwayat alergi pada keluarga. Untuk memastikan apakah mungkin ada riwayat
alergi yang tidak diketahui pasien, ditanyakan riwayat pemeriksaan alergi. Pasien menjawab
tidak pernah dilakukan Skin Prick Test ataupun tes alergi lainnya untuk memastikan pasien
bebas alergi. Selain itu, pasien juga merupakan perokok aktif yang menghabiskan sekitar 3-4
bungkus rokok atau 48-64 batang rokok per minggu. Pasien juga sempat didiagnosis sinusitis
pada tahun 2007 silam, dan telah selesai menjalani pengobatan hingga mengaku bebas
sinusitis selama lebih dari 10 tahun. Namun gejala kembali muncul pada bulan Oktober 2020.
Berdasarkan pengakuan pasien, terdapat beberapa faktor risiko sinusitis, yaitu
merokok dan riwayat flu lama dan berulang yang bisa mengarah kepada kecurigaan rhinitis
alergi. Pada pasien yang merokok, baik perokok aktif dan pasif berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya rhinosinusitis karena asap rokok menyebabkan epitel sinonasal
melepaskan mediator inflamasi. Saat merokok, hawa panas yang dihisap juga dapat
merangsang organ di sekitar hidung sehingga menimbulkan iritasi dan memperbesar
kemungkinan timbulnya sinusitis. Asap rokok juga dapat meningkatkan IgE spesifik maupun
IgE total. Asap rokok dapat mengganggu klirens mukosiliar dan mengakibatkan inflamasi
yang mirip seperti alergi bahkan pada orang yang nonatopi.
Rinitis alergi yang tidak dikontrol dengan baik dapat mempermudah terjadinya
rinosinusitis. Kejadian rinosinusitis meningkat seiring bertambahnya kasus rinitis alergi. Hal
ini disebabkan karena pembengkakan mukosa hidung pada rinitis alergi di ostium sinus dapat
mengganggu ventilasi bahkan menyumbat ostium sinus, yang mengakibatkan retensi sekret
mukus dan infeksi. Rinitis alergi tidak hanya menunjukkan tanda inflamasi pada mukosa
hidung saja, tetapi juga inflamasi kronis mukosa sinus, terutama pada rinitis alergi persisten
yang profil inflamasinya terlihat lebih hebat dibandingkan rinitis alergi intermiten.
Pada sinusitis frontalis dapat dijumpai adanya pembengkakan supraorbital. Setelah
dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien juga dijumpai adanya sedikit pembengkakan pada
region supraorbital. Pemeriksaan fisik pada tanggal 23 November dengan melakukan palpasi
di sinus frontalis, pasien mengaku sudah tidak terasa nyeri. Selain itu pada inspeksi dan
palpasi tidak didapatkan adanya tanda-tanda inflamasi. Hal ini mungkin diakibatkan karena
pasien telah menjalani pengobatan sejak tanggal 9 November 2020 (2 minggu yang lalu) dan
31
telah melakukan fisioterapi sebanyak dua kali dari target lima kali. Pasien mengalami
perbaikan yang cepat.
Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak memadai, makanan
yang tak memadai, reaksi atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi. Gejala
berupa kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca
nasal (post nasal drip), gangguan penciuman dan pengecapan. Pada pasien ini sinusitis sudah
diderita sejak tahun 2007 (13 tahun yang lalu) dan kambuh lagi sejak bulan oktober 2020.
Namun gejala sinusitis kronik yang dijumpai tidak khas, yaitu kongesti atau obstruksi hidung
dengan sekret hidung yang bening, tidak berwarna hijau dan encer. Sementara nyeri kepala,
gangguan penciuman dan pengecapan disangkal. Dugaan sinusitis kronik berulang diperkuat
dengan pengakuan pasien yang pernah didiagnosa sinusitis pada lokasi yang sama, yaitu dahi
sebelah kiri pada tahun 2007 setelah melakukan CT-SCAN kepala, namun hasil foto lama
(tahun 2007) tidak dapat dilampirkan karena tidak dibawa oleh pasien.
Pemeriksaan CT-scan adalah teknik pencitraan yang dianjurkan untuk sinusitis.
Pemeriksaan CT-scan dilakukan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan setelah
mendapatkan terapi yang adekuat atau pada sinusitis kronis. Pemeriksaan CT-scan berguna
untuk menegakkan diagnosis sinusitis jamur invasif akut atau alergi serta untuk
menyingkirkan diagnosis lain seperti tumor. CT-scan harus dilakukan sebelum tindakan
operasi sinus endoskopik terutama bila ada komplikasi sinusitis yang melibatkan area
periorbital atau intrakranial. CT-scan yang disarankan adalah dengan potongan setebal 3-4
mm yang kemudian dapat dievaluasi gambaran opak pada sinus, air-fluid level, penebalan
mukosa (>4 mm), dan displacement dinding sinus.
Pada pemeriksaan penunjang sinusitis selain CT scan, bisa juga dilakuan pemeriksaan
lain yang lebih sederhana seperti pemeriksaan transluminasi, selain itu dapat juga dengan foto
radiologi. Pada foto radiologi, sinusitis ditandai dengan gambaran opak difus pada rongga
sinus, penebalan mukosa (>4 mm), atau adanya air fluid level. Pada foto Water pasien yang
diambil tanggal 10 November 2020, ditemukan gambaran pada sinus frontalis sinistra berupa
perselubungan dengan gambaran penebalan dari mukosa yang nampak lebih radio-opaque
difus pada rongga sinus frontalis sinistra dibandingkan yang sebelah kanan. Foto waters
terbaru menunjukkan terdapat pula sinusitis bilateral pada sinus maksilaris. Untuk
mengetahui visualisasi etmoid yang lebih jelas pada foto rontgen dapat dilakukan posisi
Caldwell, sementara untuk evaluasi sinus adenoid dan sfenoid dilakukan posisi lateral.
Namun pada pasien hanya dilakukan foto rontgen dengan posisi waters untuk mengevaluasi
lebih jelas sinus frontal dan maksila.
32
Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dengan konka yang pucat dan
edem mucosa. Pengobatan sinusitis kronik dilakukan secara konservatif dengan antibiotik
selama 10 hari, dekongestan lokal dan sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang
pendek selama 10 hari di daerah sinus yang terkena, pungsi dan irigasi sinus. Antibiotik dan
dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, dimana antibiotik
berfungsi untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan
ostium sinus. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik
sudah hilang. Pemberian antibiotik pada penderita sinusitis kronik harus disesuaikan.
Pemberian antihistamin pada penderita tidak rutin diberikan, karena antihistamin memiliki
sifat antikolinergik yang dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Irigasi sinus
maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat
bermanfaat dan jika penderita menderita alergi berat maka imunoterapi harus
dipertimbangkan.
Pada pasien ini diberikan antibiotik cefixime 200mg 2x1, antihistamin Ceterizine 10mg
2x1 dan loratadine 10mg 1x1, ibuprofen 40mg 2x1 tab, serta dilanjutkan dengan dekongestan
sistemik yaitu Rhinos 2x1 (loratadin dihentikan). Pasien juga direncanakan menjalani terapi
rehabilitasi medik berupa diatermi di daerah sinus frontalis dan maksilaris selama masing-
masing 20 menit sebanyak lima kali. Sampai minggu ke dua menjalani pengobatan, pasien
menunjukkan dampak positif.
33
BAB V
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Hall dan Collmans Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and Neck
Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 – 53.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL February 2010. Rhinitis and Sinusitis. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 125: S103–15.
3. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 th Ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.pp.150-154.
4. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor.
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
5. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
6. Rosenfeld RM. Picirrilo JF. Chandrasekhar SS. Brook I. Kumar KA. Kramper M.
Orlandi RR. Et al. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2015. 152 : (2S).p.1-24.
7. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p.81-91.
8. Desrosiers M. Evans GA. Keith PK. Wright ED, Kaplan A, Ciavarella A. Doyle PW,
Javer AR, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011. 7:2.p.1-38.
9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM,
Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia,
PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.
10. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p 2-9
11. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment.
British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118.
35