Anda di halaman 1dari 14

Case Report Session

RHINOSINUSITIS KRONIS DENGAN POLIP NASAL

Oleh:

Hanifa Rahma 1840312006


Pritasa Muthia U 1840312462

Preseptor :
dr. Sukri Rahman, Sp. THT-KL (K) FICS

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROK BEDAH KEPADA DAN LEHER (THT-KL)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2018
DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 1

Case Report Session


Rhinosinusitis Kronis dengan Polip Nasal
Hanifa Rahma
Pritasa Muthia U

PENDAHULUAN ini dan meningkatkan kepuasan pasien dalam


A. Latar Belakang tatalaksana penyakit ini.1,2,3

Rhinosinusitis kronis didefinisikan sebagai Penyakit ini menjadi tantangan karena

inflamasi di hidung dan sinus paranasal yang sulitnya untuk mengontrol penyakit ini dan

bermanifestasi dengan dua gejala atau lebih, kemungkinan relaps yang sering. Manajemen

antara lain adanya discharge sekret nasal, dari rhinosinusitis kronis dengan polip pada

hidung tersumbat, nyeri atau rasa tertekan pada pasien meliputi kombinasi terapi obat, follow-up

wajah, dan gangguan penghidu. Rhinosinusitis yang hati-hati, dan operasi bedah bila perlu.

kronis adalah penyakit dengan prevalensi yang Strategi terapi sesuai dengan keadaan setiap

tinggi dan memiliki dampak yang signifikan baik pasien. Manajemen terapi yang biasanya

dalam kehidupan bermasyarakat dan kualitas dipakai adalah terapi kortikosteroid baik topikal

hidup seseorang terkait kesehatannya. dan sistemik yang disertai Functional

Rhinosinusitis kronis dikaitkan dengan Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Walaupun

pengeluaran biaya kesehatan yang cukup begitu, dari 15-87% pasien yang menjalani

substansial dan penurunan produktivitas operasi, ada kemungkinan penyakit relaps.

individu dan memengaruhi 11-12% populasi Sebuah manajemen tatalaksana yang baik

orang dewasa sehingga selain adanya dibutuhkan untuk mencegah terjadinya relaps

penurunan kualitas hidup, berkurangnya waktu dan meminimalisir efek medikasi.4

penduduk dalam pekerjaannya memengaruhi


pemasukan dari perusahaan dan negara. Pada B. Batasan Masalah

rhinosinusitis kronis, terjadi gangguan pada Penulisan case report session ini terbatas

hidung, sinus paranasal, dan jaringan limfoid pada definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi,

terkait. Polip nasal adalah inflamasi di jalan gejala klinis, diagnosis, komplikasi, tatalaksana,

nafas hidung yang biasanya bilateral dan serta prognosis rhinosinusitis kronis dengan

berasal dari sinus ethmoid, terjadi pada 1-4% polip nasal.

populasi masyarakat di Amerika Serikat. Polip


nasal biasanya diasosiasikan dengan C. Tujuan Penulisan

rhinosinusitis kronis walaupun juga diobservasi Tujuan penulisan case report session ini

bila ternyata merupakan variasi dari penyakit antara lain sebagai berikut:

lain seperti kista fibrosis atau keganasan. Jadi 1. Sebagai salah satu syarat dalam

bisa disimpulkan bahwa rhinosinusitis kronis menjalani kepaniteraan klinik di bagian

dengan polip nasal adalah keadaan dimana THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas

terdapat dua kondisi tersebut pada pasien dan Andalas Padang

adanya bukti objektif inflamasi kronis sinonasal. 2. Menambah pengetahuan tentang

Gejala dari keadaan ini meliputi rhinorea, rhinosinusitis kronis dengan polip nasal

kongesti hidung, gangguan penghidu, dan/atau


nyeri atau rasa tertekan di wajah yang sudah D. Metode Penulisan

berlangsung selama lebih dari 12 minggu. Ada Penulisan case report session ini

kebutuhan untuk mencegah terjadinya penyakit menggunakan metode tinjauan kepustakaan


yang merujuk pada berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 2

sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus


TINJAUAN PUSTAKA superior.
1. Anatomi Sinus Paranasal7
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di
Sinus paranasal merupakan hasil
belakang sinus etmoid posterior dan dibagi
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
menjadi dua sekat oleh septum intersfenoid.
terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat
Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Sinus
pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila,
sfenoid dibatasi pada superior oleh fosa serebri
sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid
media dan kelenjar hipofisa, pada inferior oleh
kanan dan kiri. Sinus paranasal berasal dari
atap nasofaring, pada lateral oleh sinus
invaginasi mukosa rongga hidung dan
kavernosus dan a. Karotis interna, dan pada
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4
posterior oleh daerah pons.
bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar Kompleks osteomeatal (KOM) adalah
maksimal pada usia antara 15-18 tahun. daerah sempit dan rumit yang terdiri dari
infundibulum etmoid, resesus frontalis, bula
Sinus maksila merupakan sinus paranasal
etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
paling besar. Saat lahir sinus maksila bervolume
ostiumnya dan ostium sinus maksila.
6-8 ml dan mencapai ukuran 15 ml pada saat
dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Pada
dinding anterior sinus terdapat fasial os maksila
(fossa kanina), dinding posterior terdapat
permukaan infra-temporal maksila, dinding
medial terdapat dinding lateral rongga hidung,
dinding superior terdapat dasar orbita, dan
dinding inferior terdapat prosesus alveolaris an
palatum. Ostium sinus maksila terdapat di
sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid. Gambar 1. Hidung dan Sinus Paranasal

Sinus frontal terletak di os frontal mulai


terbentuk sejak bulan ke-empat fetus dan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat
dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang tipis dari orbita dan fossa
serebri anterior, sehingga infeksi mudah
menyebar pada daerah tersebut.

Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari


sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
Gambar 2. Sinus Paranasal
terdapat di dalam massa bagian lateral os
etmoid, yang terletak di antara konka media dan
2. Rhinosinusitis Kronis dengan Polip
dinding medial orbita. Berdasarkan letak, sinus
Nasal
etmoid dibagi menjadi dua yaitu sinus etmoidal
2.1 Definisi
anterior yang bermuara di meatus medius dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 3

Rhinosinusitis kronis adalah penyakit menyerang individu berusia 40-60 tahun


dengan inflamasi kronis dari hidung dan mukosa dengan usia rata-rata pasien 42 tahun. Pasien
sinus paranasal, meliputi spektrum gejala klinis wanita lebih mungkin mendapat terapi
yang bervariasi, fitur histologi dan inflamasinya, kortikosteroid sistemik saat operasi sinus dan
dan komorbid terkait. Manifestasi gejala mucul lebih sering dilakukan revisi operasi sinus.3
selama 12 minggu atau lebih, meliputi kongesti
nasal, hidung terasa penuh, rhinorea, rasa 2.3 Etiologi dan Patogenesis6
tertekan atau sakit pada wajah, dan gangguan Saat ini, ada beberapa hipotesis
penghidu dari hiposmia sampai anosmia. Bisa mengenai faktor-faktor lingkungan terkait
disertai batuk dan kelelahan. Rhinosinusitis etiologi dari rhinosinusitis kronis dengan polip
kronis dibagi menjadi dua kategori, berdasarkan nasal. Faktor-faktor ini bervariasi pada setiap
adanya polip nasal dan tidaknya pada pasien. pasien dan umumnya inflamasi mukosa yang
Polip nasal berasal dari inflamasi jaringan terjadi pada pasien dipicu oleh agen eksogen
meatus media yang mengalami edema, yang diinhalasi masuk ke hidung pasien. Terjadi
seringnya berasal dari sinus ethmoid. Sebagian interaksi antara host dengan lingkungan yang
besar polip nasal yang ditemukan pada pasien memengaruhi mukosa sinonasal. Faktor
bilateral, eosinofilik dan responsif terhadap lingkungan yang dianggap berpengaruh antara
terapi steroid.2,3,6 lain adalah alergen, toksin, dan mikroba yang
nantinya akan menginduksi terjadinya
2.2 Epidemiologi perubahan patofisiologis di sinus paranasal.
Kasus rhinosinusitis kronis lebih Namun begitu, respon pasien terhadap skin test
banyak ditemukan yang tidak disertai dengan dan adanya peningkatan immunoglobulin tidak
adanya polip nasal dan kemungkinan untuk terjadi pada semua pasien. Faktor lingkungan
dilakukan operasi pada pasien kurang, yang dipercaya sangat berpengaruh terhadap
sedangkan rhinosinusitis kronis yang disertai terjadinya penyakit ini adalah fungi dan bakteri,
dengan polip nasal meliputi 20-25% dari seluruh sedangkan dari faktor host sendiri adalah
kasus. Di Amerika Serikat, rhinosinusitis kronis adanya defek pada komponen sistem imun
diperkirakan terdapat 10 juta pasien dengan tubuh.
biaya tahunan mencapai 22 Miliar Dollar Fungi atau jamur di udara dihipotesis
Amerika. Jumlah operasi pasien rhinosinusitis merupakan salah satu etiologi dari penyakit ini.
kronis juga diperkirakan mencapai 500 ribu Dengan teknik spesialisasi khusus, dideteksi
setiap tahunnya. Hampir sepertiga pasien adanya mikroorganisme jamur pada semua
memerlukan operasi berulang bahkan bisa pasien kontrol yang sehat dan pasien
sampai belasan operasi karena jaringan yang rhinosinusitis kronis. Pada pasien rhinosinusitis
inflamasi tumbuh kembali. Berdasarkan insiden kronis, mukus nasalnya memicu migrasi
dan prevalensi penyakit, bisa disimpulkan eosinofil dan jamur Altenaria menyebabkan
bahwa rhinosinusitis kronis adalah penyakit terjadinya degranulasi eosinofil via reseptor
yang relaps dan remitten. Lebih banyak laki-laki protease. Disimpulkan bahwa Altenaria dan
yang menderita rhinosinusitis kronis dengan mungkin jamur lainnya saat dipresentasikan ke
polip nasal dibandingkan dengan perempuan. sel T memicu aktivasi respon sitokin dan
Tapi pasien perempuan lebih mungkin menarik eosinofil datang ke permukaan
menderita AERD (Aspirin-Exacerbated mukosa. Eosinofil akan menyerang jamur yang
Respiratory Disease).2,5 terinhalasi itu sebagai mekanisme pertahanan
Rhinosinusitis kronis dengan polip host. Terjadinya degranulasi dan kerusakan
nasal sendiri adalah penyakit yang umumnya jaringan kolateral akan memediasi munculnya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 4

manifestasi klinis rhinosinusitis kronis pada diasosiasikan dengan intoleransi aspirin. Terjadi
pasien. Namun, penemuan ini dianggap tidak penurunan sintesis prostaglandin anti-inflamasi
universal dan salah satu penelitian yang dan peningkatan sintesis leukotrien pro-
menggunakan antifungal gagal menunjukkan inflamasi. Eikosanoid dihipotesis juga
bukti bermakna dalam tatalaksana penyakit ini. memodulasi efek superantigen stafilokokus.
Bakteri juga dianggap sebagai salah Faktor lain dari host yang juga diduga
satu etiologi, dengan salah satu penelitian menyebabkan terjadinya penyakit ini adalah
dengan kultur mensugestikan, khususnya defek dari barrier fisik pada sistem imun pasien.
bakteri Staphylococcus aureus penting dalam Defek barrier imun pasien bisa menyebabkan
manifestasi penyakit ini. Bakteri Staphylococcus infiltrasi sel, berubahnya respon Th2, defek
aureus selain bisa mengkolonisasi permukaan pembersihan mukosiliar, dan peningkatan
juga mampu tinggal di dalam sel epitel dan kerentanan terhadap degradasi protease
makrofag pasien rhinosinusitis kronis. eksogen. Defek barrier bisa menyebabkan
Staphylococcus dianggap meningkatkan respon peningkatan akses masuk zat-zat asing ke
eosinofilik lokal, menurunkan tingkat metabolik dalam epitel
pasien menggunakan biofilm; matriks eksternal
yang terdiri dari polisakarida, protein, dan asam 2.4 Patofisiologi3
nukleat, sehingga tempat yang dipengaruhi Mekanisme yang mendasari terjadinya
biofilm ini menjadi tempat yang optimal untuk inflamasi sinonasal pada penyakit ini masih
pertumbuhan bakteri dan melindungi bakteri belum sepenuhnya terjelaskan. Seperti yang
dari antibiotik konvensional dan mekanisme sudah dijelaskan sebelumnya, adanya defek
pertahanan host. Pada pasien rhinosinusitis barrier pada epitel sinonasal dianggap bisa
kronis diperkirakan biofilm bakteri berkontribusi meningkatkan paparan terhadap antigen dari
terhadap penurunan respon pasien terhadap patogen yang terinhalasi yang pada akhirnya
antibiotik. Biofilm juga dianggap berperan dalam menginduksi terjadinya inflamasi.
menstimulasi respon inflamasi pada pasien
rhinosinusitis kronis. Selain S. aureus,
Pseudomonas aeruginosa, Streptoccoccus
pneumonia, Haemophilus influenza, and
Moraxella catarrhalis diketahui menghasilkan
biofilm.
Normalnya, sistem imun mukosa bisa
melindungi host dari kerusakan yang diinduksi
agen-agen infeksius dari lingkungan luar,
sehingga bila terjadi defek pada sistem ini bisa
menyebabkan terjadinya inflamasi kronis. Pada Gambar 3. Kolonisasi mikroba dan akumulasi
rhinosinusitis kronis, respon inflamasi menjadi sel imun bisa menyebabkan inflamasi, cedera
jaringan, dan hilangnya barrier
kronis diperkirakan karena respon yang
berlebihan atau karena stimulasi sistem imun Terjadinya defek barrier epitel pada pasien akan
yang terus menerus. menyebabkan penurunan resistensi epitel,
Defek jalur eikosanoid, molekul sinyal hilangnya koneksi intraselular dan peningkatan
yang disekresikan sel-sel imun dari permeabilitas jaringan. Namun begitu alasan
metaabolisme asam arakidonik dianggap terjadinya defek pada barrier epitel masih belum
berkontribusi sebagai penyebab munculnya diketahui. Diduga faktor ekstrinsik menginduksi
rhinosinusitis kronis dengan polip nasal dan kerusakan barrier epitel. Pada pasien

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 5

rhinosinusitis dengan polip nasal ditemukan ada faktor yang memperingan atau memperberat
peningkatan onkostatin M, bagian dari IL-6, serta riwayat pengobatan yang sudah
yang bisa mengganggu junction, menurunkan dilakukan.9 Beberapa keluhan/gejala yang
tahanan barrier dan menginduksi permeabilitas dapat diperoleh melalui anamnesis dapat dilihat
jaringan. Terdapat juga peningkatan transporter pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut
ion epitel, Pendrin, yang bisa meningkatkan EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat
produksi mukus, dan peningkatan mukus menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
Muc5AC, mengindikasikan adanya gangguan
1) Obstruksi nasal
pembersihan mukosiliar dan penurunan dari
sekresi protein pertahanan antimikroba. Semua
Keluhan buntu hidung pasien biasanya
ini bisa menginduksi paparan yang lama bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis
terhadap patogen dan memicu berkembangnya sampai dengan sensasi terasa penuh daerah
respon inflamasi kronis.
hidung dan sekitarnya
Terjadi disregulasi sistem imun host
yang ditandai dengan peningkatan protein 2) Sekret / discharge nasal
granul eosinofil, IL-5, dan protein kemotaktik
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
eosinofil. Selain itu, ditemukan juga peningkatan
basophil, sel limfoid, sel mast, dan sitokin tipe-2 3) Abnormalitas penciuman
yang meliputi IL-5 dan IL-13. Kejadian spesifik
dan persinyalan yang menginisiasi respon ini Fluktuasi penciuman berhubungan dengan
masih belum diketahui dengan pasti. rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan
Tidak semua polip nasal mempunyai karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius
penampilan histologis yang sama, penelitian dengan / tanpa alterasi degeneratif pada
pada pasien dari Eropa dan Asia menunjukkan mukosa olfaktorius
hasil yang berbeda. Pada pasien Asia yang
4) Nyeri / tekanan fasial
tinggal di Asia, pada polipnya IL-5 dan
eosinofilnya lebih sedikit bila dibandingkan Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan
dengan pasien Eropa, tetapi ada peningkatan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik
IFN-γ pada pasien Asia. Oleh karena itu, faktor keluhan lebih difus dan fluktuatif.
genetik mungkin memiliki pengaruh terhadap
patologi penyakit ini 2.4.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang diperlukan berupa:


2.4 Diagnosis
2.4.1 Anamnesis a) Hidung dan Sinus Paranasal bagian
luar
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat
diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala b) Rinoskopi anterior
yang ada pada kriteria diatas, mengingat
patofisiologi rinosinusitis kronik yang kompleks. Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara

Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,

virus, adanya latar belakang alergi atau mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral

kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung hidung dan konkha inferior harus diperiksa

dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit dengan cermat.

yang lengkap.8 Informasi lain yang perlu


c) Rinoskopi posterior
berkaitan dengan keluhan yang dialami
penderita mencakup durasi keluhan, lokasi,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 6

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan


posterior penting pada pasien untuk meniai membantu memperlancar kesuksesan operasi
koana, mukosa, muara tuba eustachius, yang dilakukan.10,11,12 Pada dasarnya yang
adenoid, post nasal drip, atau adanya massa ingin dicapai melalui terapi medikamentosa
tumor adalah kembalinya fungsi drainase ostium
sinus dengan mengembalikan kondisi normal
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
rongga hidung.10,11

Pemeriksaan penunjang yang penting


Jenis terapi medikamentosa yang digunakan
adalah foto polos atau CT Scan. Foto polos
untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada
dengan posisi Waters, PA dan lateral, secara
orang dewasa antara lain:9,10,11,12,13
umum hanya mampu menilai kondisi sinus-
sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. 1. Antibiotika, merupakan
modalitas tambahan pada
Transiluminasi, merupakan pemeriksaan
rinosinusitis kronik mengingat
sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus
terapi utama adalah
maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila
pembedahan. Jenis antibiotika
terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus
yang digunakan adalah
kanan dan kiri Kelainan yang akan terlihat yaitu
antibiotika spektrum luas
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid
antara lain:
level), atau penebalan mukosa.7
a. Amoksisilin + asam
CT Scan pada sinus merupakan gold
klavulanat
standard untuk diagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinusi, b. Sefalosporin:
adanya penyakit dalam hidung, dan sinus cefuroxime, cefaclor,
secara keseluruhan dan perluasannya.7 cefixime

2.5 Tatalaksana c. Florokuinolon :


Tujuan utama dalam terapi ciprofloksasin
rinosinusitis adalah mempercepat
d. Makrolid : eritromisin,
penyembuhan dan mencegah komplikasi.
klaritromisin,
Prinsip pengobatannya ialah membuka
azitromisin
sumbatan di KOM sehingga drainase dan
ventilasi sinus-sinus pulih.
e. Klindamisin

Terapi medikamentosa memegang peranan f. Metronidazole


dalam penanganan rinosinusitis kronik yakni
berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan 2. Antiinflamatori dengan
penderita, membantu dalam diagnosis menggunakan kortikosteroid
rinosinusitis kronik (apabila terapi topikal atau sistemik.
medikamentosa gagal maka cenderung
Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, polip nasi dan rinosinusitis
mometason fungal alergi.

a. Kortikosteroid sistemik, 3. Terapi penunjang lainnya meliputi:


banyak bermanfaat pada
rinosinusitis kronik dengan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 7

a. Dekongestan oral/topikal 1978. Indikasi tindakan


yaitu golongan agonis α- FESS adalah: Sinusitis
adrenergik (semua sinus paranasal)
akut rekuren atau kronis,
b. Antihistamin
Poliposis nasi, Mukokel

c. Stabilizer sel mast, sodium sinus paranasal, Mikosis

kromoglikat, sodium sinus paranasal, Benda

nedokromil asing, Osteoma kecil,


Tumor (terutama jinak, atau
d. Mukolitik pada beberapa tumor
ganas), Dekompresi orbita /
e. Antagonis leukotrien
n.optikus, Fistula likuor

f. Imunoterapi serebrospinalis dan


meningo ensefalokel,
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi Atresia koanae,
dengan salin, olahraga, Dakriosistorinotomi, Kontrol
avoidance terhadap iritan dan epistaksis, Tumor pituitari,
nutrisi yang cukup ANJ, tumor pada skull base

Terapi Pembedahan 2.6 Komplikasi


Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai
yang sering terjadi dan seringkali membahayakan
dengan tindakan sederhana dengan peralatan yang
nyawa penderita, namun seiring berkembangnya
sederhana sampai operasi menggunakan peralatan
teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut
canggih endoskopi.14 Beberapa jenis tindakan
dapat dihindari.1 Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa
pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik
polip nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita,
tanpa polip nasi ialah:13,14
oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.13
a. Sinus maksila:Irigasi sinus 1.1. Komplikasi orbita :
(antrum lavage), Nasal a) Selulitis periorbita
antrostomi, Operasi b) Selulitis orbita
Caldwell-Luc c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
b. Sinus etmoid: 1.2. Komplikasi oseus/tulang: Osteomielitis
Etmoidektomi intranasal, (maksila dan frontal)
eksternal dan transantral 1.3. Komplikasi endokranial:
a) Abses epidural / subdural
c. Sinus frontal: Intranasal,
b) Abses otak
ekstranasal, Frontal sinus
c) Meningitis
septoplasty, Fronto-
d) Serebritis
etmoidektomi
e) Trombosis sinus kavernosus
d. Sinus sfenoid: Trans nasal, 1.4. Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi :
Trans sfenoidal abses glandula lakrimalis, perforasi septum
nasi, hilangnya lapangan pandang,
e. FESS (functional mukokel/mukopiokel, septikemia.
endoscopic sinus surgery),
dipublikasikan pertama kali 2.7 Prognosis
oleh Messerklinger tahun

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 8

Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya - Riwayat dirawat selama 10 hari karena asma
penanganan yang diberikan. Semakin cepat maka pada tahun 2009
prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta - Riwayat perdarahan dari hidung sebelumnya
obat-obat simptomatis bersama dengan penanganan tidak ada
faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang - Riwayat luka sukar berhenti tidak ada
baik - Riwayat hipertensi sebelumnya tidak diketahui
- Riwayat konsumsi obat jantung/pengencer
LAPORAN KASUS darah sebelumnya tidak ada
3.1 Identitas Pasien - Riwayat DM ada terkontrol
Nama : Tn.II - Riwayat pandangan ganda dan bengkak di
Tanggal pemeriksaan : 10 September 2018 leher tidak ada
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki 3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Alamat : Teluk Bayur Tidak ada keluarga pasien yang pernah menderita
Suku Bangsa : Minangkabau penyakit seperti ini sebelumnya

3.2 Anamnesis 3.2.5 Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan


Seorang pasien laki - laki berumur 54 tahun rawatan Kebiasaan
bangsal THT-KL RSUP DR.M Djamil Padang pada Pasien pernah bekerja sebagai pekerja pabrik karet
tanggal 10 September 2018 dengan:
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.2.1 Keluhan Utama 3.3.1 Status Generalis
Gangguan penciuman pada hidung sejak 7 bulan yang Keadaan Umum : Sakit sedang
lalu Kesadaran : CMC
Tekanan darah : tidak diperiksa
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Frekuensi nadi : 74 x/menit
- Gangguan penciuman pada hidung sejak 7 Frekuensi nafas : 16 x/menit
bulan yang lalu. Suhu : afebril
- Gangguan penciuman dirasakan semakin
memburuk sejak 3 bulan sebelum masuk 3.3.2 Pemeriksaan Fisik
rumah sakit Kepala : tidak ada kelainan
- Hidung terasa tersumbat dan memburuk pada Mata
pagi hari Konjungtiva : tidak anemis
- Sekret kuning kehijauan keluar dari hidung Sklera : tidak ikterik
- Post nasal drip ada Leher : tidak ada pembesaran KGB
- Riwayat hidung berdarah tidak ada Toraks
- Pipi terasa penuh ada Jantung : dalam batas normal
- Nyeri di wajah tidak ada Paru : dalam batas normal
- Sakit kepala ada Abdomen : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Bersin-bersin di pagi hari Ekstremitas : tidak ada kelainan, edem (–)
- Riwayat trauma dan alergi tidak ada
- Nyeri menelan tidak ada 3.3.3 Status Lokalis THT
- Gangguan pendengaran tidak ada 1. Telinga
- Riwayat pemakaian obat semprot hidung Pemeriksaa Kelainan Dekstra Sinistra
n
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 9

Kel Tidak Tidak Mastoid Fistel Tidak Tidak


Daun kongenital ada ada ada ada
telinga Trauma Tidak Tidak Sikatrik Tidak Tidak
ada ada ada ada
Radang Tidak Tidak Nyeri Tidak Tidak
ada ada tekan ada ada
Kel. Tidak Tidak Nyeri Tidak Tidak
Metabolik ada ada ketok ada ada
Nyeri tarik Tidak Tidak Rinne (+) ( +)
ada ada Tes garpu Schwabac Sama Sama
Nyeri Tidak Tidak tala h dengan dengan
tekan ada ada pemeriks pemeriks
tragus a a
Cukup Cukup Cukup Weber Tidak terdapat
Dinding lapang (N) lapang lapang(N lateralisasi
liang telinga (N) ) Kesimpula Telinga normal
Sempit - - n
Hiperemis Tidak Tidak Audiometri Tidak Tidak
ada ada dilakukan dilakukan
Edema Tidak Tidak Timpanometri Tidak Tidak
ada ada dilakukan dilakukan
Massa Tidak Tidak
ada ada
Ada / Tidak Tidak 2. Hidung
Serumen Tidak ada ada Pemeriksaan Kelainan
Bau - - Deformitas Tidak ada
Warna - - Kelainan Tidak ada
Jumlah - - Hidung luar kongenital
Jenis - - Trauma Tidak ada
Radang Tidak ada
Membran timpani Massa Tidak ada
Warna Putih Putih
Reflek 3. Sinus paranasal
Normal Normal
Utuh cahaya Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Bulging - - Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Retraksi - - Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Atrofi - -
Sklerotik - + 4. Rinoskopi Anterior
Jumlah Pemerik Dekstra Sinistra
- -
Perforasi perforasi ssaan
Jenis - - Vestibul Vibrise Ada Ada
Kuadran - - um Radang Tidak ada Tidak ada
Pinggir - - Cukup - -
Tanda Tidak Tidak Kavum lapang (N) Sempit Sempit
radang ada ada nasi Sempit - -
Lapang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 10

Lokasi KN KN Edem - -
Jenis Mukoid Mukoid Jaringan - -
Sekret Jumlah Sedikit Sedikit granulas
Bau - - i
Konka Ukuran Eutrofi Eutrofi Ukuran Eutrofi Eutrofi
inferior Warna Hiperemis Pucat Konka inferior Warna Hiperemis Pucat
Permukaan Licin Licin Permuk Licin Licin
Edema - - aan
Ukuran Ada Polip Ada Polip Edem - -
Konka Warna Hiperemis Pucat Adenoid Ada/tida Tenang Tenang
media Permukaan Licin Licin k

Edema Ada Ada Muara tuba Tertutup - -

Cukup Cukup Lurus eustachius secret

lurus/devia Edem - -
si mukosa

Permukaan Licin Lokasi - -

Warna Merah Ukuran - -


Septum
muda Massa Bentuk - -

Spina - Permuk - -

Krista - aan

Abses - Post Nasal Ada/tida Ada Ada

Perforasi - Drip k

Lokasi Konka Konka Media Jenis - -

Media
Bentuk Soliter Soliter 6. Orofaring dan mulut

Ukuran Sebesar Sebesar jarum pentul Pemeriks Kelainan Dekstra Sinistra

biji jagung aan

Permukaan Licin Licin Trismus -

Massa Warna Pucat Putih abu-abu Uvula Posisi -

Konsistensi Lunak Lunak Edema -

Mudah Mudah Mudah Bifida -

digoyang Simetris/tidak Simetris

Pengaruh - + Palatum Warna Merah muda

vasokonstri mole + Edem -

ktor Arkus Bercak/eksud -


Faring at

5. Rinoskopi Posterior Dinding Warna Merah muda

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra faring Permukaan Licin

Cukup Sempit Sempit Ukuran T1 T1


Warna Merah Merah
Koana lapang
(N) muda muda

Sempit Permukaan Rata Rata

Lapang Tonsil Muara kripti Tidak Tidak


Melebar Melebar
Warna Merah muda Merah
Mukosa muda

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 11

Detritus Tidak Tidak Ada Subglotis/trak Sekret - -


Ada ea
Eksudat - - Sinus Massa - -
Perlengketan - - piriformis Sekret - -
dengan pilar Valekula Massa - -
Warna Merah Merah Sekret ( - -
Peritonsil muda muda jenisnya )
Edema - -
Abses - -
Lokasi - -
Bentuk - - 3.4 Pemeriksaan Laboratorium
Tumor Ukuran - - (23-8-2018)
Permukaan - - Hb : 15,9 gr/dl
Konsistensi - - Leukosit : 5.650/mm3
Gigi Karies/Radiks - - Trombosit : 208.000/mm3
Kesan - Hematokrit : 46%
Warna Merah muda PT/APTT : 10,5/30,0 detik
Bentuk Normal Kesan : APTT kurang dari nilai rujukan
Lidah Deviasi -
Massa - (10-9-2018)
Gula darah puasa : 198 mg/dl

7. Laringoskopi Indirek Gula darah 2 jam PP : 263 mg/dl

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra Ureum : 17 mg/dl

Bentuk Normal Normal Kreatinin : 0,9 mg/dl

Warna Merah Merah muda Natrium : 138 mg/dl

Epiglotis muda Kalium : 4,3 mg/dl


Klorida : 106 mg/dl
Edema - -
SGOT : 20 u/l
Pinggir Rata Rata
SGPT : 44 u/l
rata/tidak
Kesan : Hiperglikemia, SGPT
Massa - -
meningkat
Warna Merah Merah muda
Ariteniod muda
3.5 Diagnosis
Edema - -
Rhinosinusitis kronis + polip nasi bilateral + DM tipe II
Massa - -
Gerakan Simetris simetris
3.6 Diagnosis Banding
Warna Merah Merah muda
-
Ventrikular muda
band Edema - -
3.7 Pemeriksaan Anjuran
Massa - -
CT scan kavum nasi
Warna Putih Putih
Plica vokalis Gerakan Simetris simetris
3.8 Terapi
Pingir Normal normal
- Pro FESS + Polipectomy
medial
- Nacl 0,9% cuci hidung 3x20 cc
Massa - -
Massa - - 3.9 Prognosis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 12

- Quo ad vitam : Bonam kronis bila gejala dirasakan selama 12 minggu atau
- Quo ad sanam : Bonam lebih. Gangguan penghidu pada pasien merupakan
salah satu gejala mayor dari rhinosinusitis.3
3.10 Resume
Dari pemeriksaan, didapatkan keadaan umum
Dari pemeriksaan, didapatkan keadaan umum
pasien tampak sakit sedang dengan vital sign dalam
pasien tampak sakit sedang dengan vital sign dalam
batas normal. Pada pemeriksaan fisik, telinga tampak
batas normal. Pada pemeriksaan fisik, telinga tampak
liang telinga cukup lapang dan membran timpani utuh.
liang telinga cukup lapang dan membran timpani utuh.
Pemeriksaan mulut dan tenggorok menunjukkan hasil
Pemeriksaan mulut dan tenggorok menunjukkan hasil
pemeriksaan dalam batas normal. Pada pemeriksaan
pemeriksaan dalam batas normal. Pada pemeriksaan
hidung kavum nasi dekstra dan sinistra sempit, terdapat
hidung kavum nasi dekstra dan sinistra sempit, terdapat
sekret mukoid, dan terdapat massa di kedua kavum
sekret mukoid, dan terdapat massa di kedua kavum
nasi. Massa soliter dengan konsistensi lunak, berwarna
nasi. Massa soliter dengan konsistensi lunak, berwarna
pucat dan putih abu-abu serta mudah digoyang.
pucat dan putih abu-abu serta mudah digoyang.
Terdapat PND pada pasien.
Terdapat PND pada pasien.

Massa yang berwarna pucat disebabkan


DISKUSI
karena aliran darah ke massa sedikit dan banyak cairan
Seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun di dalamnya. Massa ditemukan di konka media, sesuai
rawatan bangsal THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan tempat asal tumbuh polip yang banyak berasal
pada tanggal 10 September 2018 dengan rhinosinusitis
dari sinus ethmoid dan meatus media.7
kronis + polip nasi bilateral + DM tipe II. Diagnosis
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien didiagnosis dengan rhinosinusitis
kronis + polip nasi bilateral + DM tipe II. Pada pasien
Pasien datang dengan keluhan gangguan dilakukan cuci hidung dan rencana FESS dan
penciuman pada hidung sejak ± 7 bulan sebelum polypectomy. Cuci hidung merupakan terapi inisial
masuk rumah sakit. Gangguan penciuman dirasakan pada pasien rhinosinusitis kronis. Tujuan terapi pada
semakin memburuk sejak 3 bulan sebelum masuk rhinosinusitis adalah untuk mempercepat
rumah sakit. Karena keluhannya, pasien lalu dirujuk ke
penyembuhan dan mencegah terjadinya perburukan
RSUP dr. M. Djamil Padang. Dari hidung pasien keluar serta komplikasi. FESS adalah tindakan operasi terkini
sekret berwarna kuning kehijauan, yang disertai rasa untuk rhinosinusitis kronis. Indikasi dilakukannya
penuh di pipi. Pasien juga merasakan adanya cairan
tindakan ini adalah pada sinusitis kronis yang tidak
yang mengalir ke tenggorokan. Tidak ada nyeri pada membaik walaupun telah diberikan terapi yang adekuat,
wajah. pada sinusitis kronis yang disertai kista, adanya polip
ekstensif dan bila ada komplikasi. Pada pasien,
Pasien memiliki riwayat sesak nafas dan
rhinosinusitis kronisnya disertai dengan polip bilateral,
dirawat selama 10 hari pada tahun 2009. Pasien
oleh karena itu direncanakan tindakan FESS. Karena
memiliki riwayat penyakit DM tipe II. Pasien mengaku
pasien memiliki DM, pasien dikonsulkan ke bagian
rutin meminum obatnya. Pasien sudah diberikan obat
Interne dan dianjurkan untuk diet dan diberikan
semprot hidung. Pasien pernah bekerja sebagai buruh
novorapid injeksi agar gula darah pasien menurun dan
pabrik karet.
kondisi pasien baik sebelum operasi.3,7
Dari anamnesis, riwayat pekerjaan pasien
sebagai buruh pabrik karet dan terpajan abu selama
bertahun-tahun bisa memicu terjadinya inflamasi yang DAFTAR PUSTAKA
kronis. Proses inflamasi ini bisa merusak barrier epitel
1. Avdeeva K, Fokkens W (2018). Precision
sinonasal dan mendisregulasi sistem imun pasien. Medicine in Chronic Rhinosinusitis with Nasal
Gejala yang dirasakan pasien sudah berlangsung Polyps. Curr Alergy Asthma. 18 (4):25.
selama 7 bulan. Rhinosinusitis diklasifikasikan sebagai

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DOKTER MUDA THT-KL PERIODE SEPTEMBER- OKTOBER 2018 13

2. Schleimer RP (2017). Immunopathogenesis of penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:


Chronic Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Annu Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65.
Rev Pathol. 12: 331-357.
11. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus
3. Stevens WW, Schleimer RP, Kern RC (2017). disease. In Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ,
Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. J eds. Diseases of the sinuses diagnosis and
Allergy Clin Immuno Pract. 4 (4): 565-572. management. Hamilton: BC Decker Inc,2001;155-
165.
4. Gelardi M, Iannuzzi L, De Giossa M, Taliente S,
De Candia N, Quaranta N, De Corso E, etc 12. Chiu AG, Becker DG. Medical management of
(2017). Non-surgical management of chronic chronic rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis
rhinosinusitis with nasal polyps based on clinical- from microbiology to management. New York:
cytological grading: A precision medicine-based Taylor & Francis, 2006; 219-229.
approach. Acta Otorhinolaryngol Ital. 37 (1): 38-
13. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European
45.
position paper on rhinosinusitis and nasal polyps.
5. Stevens WW, Lee RJ, Schleimer RP, Cohen NA Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
(2016). Chronic Rhinosinusitis Pathogenesis. J
14. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis.
Allergy Clin Immunol. 136 (6): 1442-1453.
In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S,
6. Lam K, Schleimer R, Kem RC (2015). The JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
Etiology and Pathogenesis of Chronic perkembangan terkini diagnosis dan
Rhinosinusitis: A review of current hypotheses. penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Curr Allergy Asthma Rep. 15 (7): 41. Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 67-74.

7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti


RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.

8. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In


Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S,
JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 17-23.

9. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid


rhinosinusitis: Classification, diagnosis and
treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands
SD, eds. Head & Neck Surgery – Otolaryngology.
4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2006; 406-416.

10. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada


rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah
lengkap perkembangan terkini diagnosis dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai