Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

Gambaran Radiologi pada Diagnosis Sinusitis

Disusun oleh :

Anak Agung Ayu Mita Astari

11-2016-311

Pembimbing :

dr. Lisa Haryanto, Sp.Rad

Kepaniteraan Ilmu Radiologi

Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

2017

0
Kata Pengantar

Om Swastyastu
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karuniaNya sehingga referat ilmu radiologi dengan judul Gambaran Radiologi pada
Penegakan Diagnosis Sinusitis dapat selesai. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan kepaniteraan ilmu radiologi di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus.

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
banyak pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan referat ini, terutama kepada dr. Lisa
Haryanto, Sp. Rad, yang turut membimbing penulis selama kepaniteraan radiologi periode 29
mei-10 juni 2017 di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Penulis memohon
maaf apabila ada kesalahan dalam pemilihan kata-kata ataupun penulisan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Terima kasih.

Kudus, Juni 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................................1

Daftar isi....................................................................................................................................2

BAB I

Pendahuluan...............................................................................................................................3

BAB II

Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal......................................................................................4

Sinusitis......................................................................................................................................8

Peranan Foto Rotgen pada Sinusitis.........................................................................................10

Peranan CT scan pada Sinusitis................................................................................................13

BAB III

Kesimpulan...............................................................................................................................19

Daftar Pustaka..........................................................................................................................20

2
BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah salah satu kondisi yang paling umum yang dihadapi oleh dokter
perawatan primer. Sinusitis adalah peradangan dari mukosa sinus paranasal. Sinus paranasal
merupakan rongga-rongga disekitar hidung dengan bentuk bervariasi dan terdiri dari empat
pasang sinus, yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus etmoidalis, dan sinus sfenoidalis. 1
Berdasarkan waktunya, sinusitis dibagi menjadi akut, subakut, dan kronik. Sinusitis akut
apabila peradangan berlangsung sampai 4 minggu, sinusitis subakut apabila peradangan
berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan, sinusitis kronik apabila peradangan berlangsung
lebih dari 3 bulan.1-3

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior dan posterior, naso-endoskopi
sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Didapatkan tanda khas berupa
adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksilaris, etmoidalis anterior dan frontalis)
atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoidalis). Pemeriksaan
penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Dengan CT nonkontras gambar
dapat menentukan anatomi hidung jauh lebih tepat. Penebalan mukosa, polip, dan kelainan
sinus lainnya dapat dilihat dalam 40 persen pada orang dewasa, CT scan sinus merupakan
gold standard. Foto polos posisi waters, PA, dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksilaris dan frontalis. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.1

3
BAB II

Tinjauan Pustaka

II.1. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal


1. Anatomi
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid
kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore)
dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing.1

Gambar 1. Sinus paranasal

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infindibulum etmoid.4

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah

1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi

4
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 thn.

Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus
frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah
bagian dari sinus etmoid anteroir.1,4

Sinus Etmoid

Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di
bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari
sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os
etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus
etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. 5 Di bagian terdepan sinus etmoid enterior
ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di
daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sisnusitis maksila.6

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya,
dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus

5
berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons.1

2. Fisiologi

Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Kerja dari
sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk.
Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologis sinus paranasal.

2. 2. Sinusitis

Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi
virus, bakteri maupun jamur.1,2 Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang
ada. Semua keadaan anatomik atau fisiologik yang dapat menimbulkan sumbatan drainase
dari sinus, menyebabkan statis sekret, dan hal ini menimbulkan infeksi. Penyebab lokal
lainnya yang merupakan predisposisi terjadinya sinusitis adalah polip alergi dengan lokasi
yang dekat dengan hiatus semilunaris, karena menyebabkan sumbatan relative terhadap
drainase dari sinus anterior. Infeksi dari akar gigi yang menonjol ke dalam dasar sinus
maksilaris juga dapat menyebabkan sinusitis. Hal ini terutama terjadi jika gigi yang terinfeksi
diangkat dan terjadi fistel ke dalam sinus maksilaris, atau jika bagian dari akar gigi secara
tidak sengaja hilang di dalam lumen sinus.1,8
Aktivitas silia yang rusak dapat mengganggu pembersihan sinus yang menyebabkan
infeksi sisa yang berkepanjangan. Sebagai tambahan efek buruk dari merokok dan polusi
udara terhadap aktivitas mukosiliar, deviasi septum dapat mengubah arus konveksi aliran
udara inspirasi sedemikian rupa, sehingga terdapat daerah kering yang dapat merusak
aktivitas silia.3 Dengan demikian menimbulkan rangkaian keadaan, mulai dari statis sekret
dan berakhir dengan infeksi. Pada organ yang menderita sinusitis setelah berenang, mungkin
terkena infeksi dari kuman patogennya sendiri, yang secara mekanik masuk ke dalam rongga
akibat tekanan air. Untuk mencegah keadaan ini hindari berenang pada saat menderita
penyakit respiratorius yang aktif atau laten.1,8

6
Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis
kronik lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Keluhan utama rhinosinusitis ialah hidung
tersumbat disertai nyeri tekan/ rasa tekanan pada muka dan sekret purulent yang seringkali
turun ke tenggorok (post nasal drip). 8 Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis
akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maksilaris, nyeri di antara atau dibelakang kedua bola mata
menandakan sinusitis etmoidalis, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis
frontalis. Pada sinusitis sfenoidalis, nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata
dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksilaris kadang-kadang terdapat nyeri alih ke telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak.1
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang- kadang hanya
1 atau 2 dari gejala-gejala berikut, yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius,
gangguan ke paru seperti bronchitis ( sino- bronchitis), bronkiektasism dan serangan asma
yang meningkat dan sulit diobati.1,4

Patogenesis
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat di alirkan. Maka
terjadi gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif
dan lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus menerus akan terjadi
hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat
menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa,
dimana stroma akan terisi oleh cairan intraseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi
polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan
kemduain turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadinya
polip.1,4

7
Berdasarkan lokasinya, sinusitis dibagi menjadi :
1. Sinusitis maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga antrum highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi
karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar
sehingga aliran sekret ( drainase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia.
Selain itu, ostium maksilaris terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang
sempit sehingga mudah tersumbat.1
2. Sinusitis etmoidalis
Sinusitis etmoidalis sering bermanifestasi sebagai selulitis orbita karena dinding lateral
labirin etmoidalis ( lamina papirasea) seringkali merekah. Gejala berupa nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau
belakangnya, terutama bila mata digerakkan, nyeri alih di pelipis dan sumbatan hidung.1
3. Sinusitis frontalis
Sinusitis frontalis akut hamper selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis
anterior. Gejala subjektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis
mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-
lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa
nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakkan supra orbita.1
4. Sinusitis sfenoidalis
Pada sinusitis sfenoidalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola
mata, dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih sering ditemukan menjadi bagian
dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus
lainnya.1

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, sinusitis dibagi menjadi :


1. Sinusitis akut, bila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu dan terdapat
tanda-tanda radang akut.
2. Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan, tanda akut
sudah reda, dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversible
3. Sinusitis kronik bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan, terjadi perubahan yang
ireversibel, misalnya menjadi jaringan granulasi atau polipoid.1-3

Perluasan infeksi dari sinus ke bagian lain dapat terjadi melalui suatu tromboflebitis dari
vena yang perforasi, perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau
nekrotik, dengan terjadinya defek, atau juga dapat melalui jalur vaskuler dalam bentuk
bakterimia.1

8
Komplikasi dari sinusitis yang dapat terjadi antara lain :
1. Osteomyelitis dan abses subperiosteal.
2. Selulitis orbita, abses orbita
3. Meningitis, abses ekstradural, abses otak, trombosis sinus kavernosus.1

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior dan posterior, naso-endoskopi
sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Didapatkan tanda khas berupa
adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksilaris, etmoidalis anterior dan frontalis)
atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoidalis). Pemeriksaan
penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA, dan
lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksilaris
dan frontalis. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara - cairan (air fluid level) atau
penebalan mukosa.1

2. 3. Peranan Foto Rontgen pada Sinusitis


Pemeriksaan foto polos kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas
berbagai macam posisi, antara lain :
a. Foto kepala posisi Anterior-Posterior (AP atau posisi Caldwell)
b. Foto kepala lateral
c. Foto kepala posisi waters
Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama
untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan
lunak yang tumpeng tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak,
erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup
ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.8
Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik, arah sinar
yang cukup teliti dan digunakan focal spot yang kecil (0,6 mm atau lebih kecil). Posisi pasien
yang paling baik adalah posisi duduk. Apabila dilakukan pada posisi tiduran, paling tidak foto
waters dilakukan pada posisi duduk, diusahakan untuk memperoleh hasil yang dapat
mengevaluasi adanya air-fluid level dalam sinus-sinus. Apabila pasien tidak dapat duduk,
dianjurkan melakukan foto lateral dengan film diletakkan pada posisi kontralateral dan sinar
X horizontal.7
Foto AP kepala (Posisi Caldwell) diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang
midsagittal kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak piramid tulang petrosum

9
diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila
orbito-meatal line tegak lurus pada film dan sentrasi membentuk sudut 150 kaudal.7
Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral dengan sentrasi di
kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.8
Foto posisi waters dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap kaset, garis
orbito-meatus membentuk sudut 37o dengan kaset. Sentrasi sinar kira-kira dibawah garis
interorbital. Pada foto waters, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar
sinus maksilaris sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya. Foto waters
umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat
menilai daerah dinding posterior sinus sfenoid dengan baik.8

Gambar 2. Foto rotgen kepala posisi caldwell

Gambar 3. Foto polos posisi waters

10
Gambar 4. Air fluid level pada sinus maxilla suspek sinusitis

Foto kepala posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada verteks,
Kepala pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi
tegak lurus kaset dalam bidang midsagital melalui sela tursika kearah verteks. Banyak
variasi-variasi sudut sentrasi pada submentoverteks, agar mendapatkan gambaran yang baik
pada beberapa bagian basis kranii, khususnya sinus frontalis dan dinding posterior sinus
maksilaris.8

Foto posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid,
kanalis optikus dan lantai dasar orbita sisi lain. Foto posisi Towne diambil dengan berbagai
variasi sudut angulasi antara 30-60o ke arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8
cm di atas glabella dari foto polos kepala dalam bidang midsagittal. Proyeksi ini adalah
proyeksi yang paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus maksilaris, fisura
orbitalis inferios, kondilus mandibularis dan arkus zygomaticus posterior.8
Pada foto polos rontgen, sinusitis akan tampak penebalan mukosa, airfluid level,
perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu/ lebih sinus paranasal, penebalan
dinding sinus dengan sklerotik pada kasus kronik.2,7
Pemeriksaan radiologi sinus maksilaris terbaik menggunakan foto posisi waters.
Sebagian besar bentuknya asimetris antara kanan dan kiri. Selain menilai pneumatisasi tulang
maksila, foto waters juga menilai dasar dinding orbita dan zygoma, sehingga cukup
memberikan tambahan informasi pada penyakit fibrous dysplasia, giant cell tumor, dan
pagets disease. Foto polos lateral kepala diperlukan untuk mengevaluasi dasar sinus maksila
yang berhubungan dengan akar gigi dan palatum durum.2
Evaluasi sinus etmoidalis paling baik memggunakan posisi Caldwell. Kekurangannya
selules etmoid terhalang dengan selule etmoid lain. Bila terdapat perselubungan sulit
ditentukan apakah inflamasi atau neoplasma, tapi lamina papirasea dan fovea etmoidalis

11
dapat terlihat jelas walaupun tidak sedetail CT scan. Foto waters hanya dapat melihat sinus
etmoidalis anterior karena bagian sinus etmoid lainnya terhalang fosa nasalis.2
Gambaran sinus frontal dapat terlihat pada foto waters dan Caldwell. Yang penting
untuk diperhatikan adalah garis mukoperiosteal yaitu garis yang memisahkan mukosa sinus
frontal dengan os frontal. Pada foto lateral kepala dapat terlihat resesus frontalis yang
berbentuk konkaf dan gambaran fraktur dinding depan sinus frontal apabila ada riwayat
trauma. Tampak gambaran osteomyelitis dinding sinus frontal pada beberapa kasus pagets
disease. Untuk evaluasi sinus sfenoid, karena letaknya dikelilingi oleh beberapa tulang dan
dalam dekat basis kranii, sehingga sulit dilakukan foto polos kepala.2,8

2. 4. Peranan CT scan pada sinusitis


Pemeriksaan CT scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat unggul untuk
mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-tulang secara
rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak.2,6,8 Irisan aksial merupakan standar pemeriksaan
paling baik yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM), dengan irisan setebal
5mm, dimulai
dari sinus maksilaris sampai sinus frontalis. Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan
penyakit dari geligi-geligi, sinus-sinus dan palatum, termasuk ekstensi intracranial dari sinus
frontalis. 7 CT scan sinus paranasal baik dalam memperlihatkan destruksi tulang dan
mempunyai peran penting dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap
radioterapi.3,6

Gambar 5. CT scan potongan coronl sinus

Ada lima bentuk inflamasi yang bisa dilihat dengan CT scan pada rhinosinusitis, yaitu :

12
1. Bentuk inflamsi infundibular, disebabkan oleh obstruksi pada infundibulum etmoid
yang merupakan rute drainase sinus maksilaris.

Gambar 6. Inflamasi infundibular

2. Bentuk inflamasi osteomeatal (OMC) disebabkan oleh obstruksi meatus media yang
menjadi rute drainase akhir pada sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal yang
terkena.

Gambar 7. Inflamasi osteomeatal

3. Bentuk ketiga disebabkan oleh obstruksi sphenoetmoid recess (SER) yang menjadi
rute drainase sinus sphenoid dan sinus etmoid posterior ipsilateral.

13
Gambar 8. Obstruksi sphenoetmoid

4. Bentuk keempat adalah polyposis sinonasal bilateral yang ditandai dengan pelebaran
infundibulum etmoid dimana kavum nasal terisi polip.

Gambar 9. Poliposis sinonasal bilateral

5. Bentuk kelima disebut bentuk inflamasi sporadik, yaitu mencakup semua bentuk
opasitas yang tidak termasuk ke dalam keempat bentuk di atas, misalnya polip soliter,
kista retensi, penebalan mukosa pasca operasi, dan sebagainya.4

14
Gambar 10. Inflamasi Sporadik

15
BAB III
Penutup

Pemeriksaan radiologi pada sinusitis dilakukan untuk mendapatkan informasi dan


mengevaluasi sinus paranasal. Dengan pemeriksaan radiologi tersebut para ahli radiologi
dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainana patologis pada
sinus paranasal dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang
lebih dini.
Ada tiga jenis pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan, yaitu foto polos kepala dengan
berbagai posisi dan CT scan. Pada foto polos kepala, sinusitis akan tampak penebalan
mukosa, air-fluid level, perselubungan homogeny atau tidak homogeny pada satu./ lebih
sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik ( pada kasus-kasus kronik). Foto
polos tidak dapat membedakan antara penebalan mukosa dan gambaran fibrotic. CT scan
sinus paranasal merupakan pemeriksaan gold standard. Selain itu, foto polos kurang dapat
menggambarkan sinus etmoidalis dan membedakan tumor, infeksi, dan polip dari sinus yang
terlihat opak.
CT dapat memberiksan tampilan yang memuaskan atas sinus dan dapat menilai opasitas,
penyebab, dan jenis kelainan dari sinus. CT scan dengan kontras dimana apabila terjadi
enchance menunjukkan adanya inflamasi aktif, tetapi bila tidak terjadi enchance biasanya
jaringan fibrotic dan jaringan parut.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus paranasal. Dalam : Arsyad ES, Iskandar N,


Bashiruddin J. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok kepala dan
leher. Edisi ke-6. Jakarta : FKUI; 2010. H. 145-9
2. Ramanan RV. Sinusitis Imaging. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/384649-overview#showall . Diakses pada
tanggal 31 mei 2017.
3. Ahmed A. Imaging of the paediatric paranasal sinuses. SAJR : August 2013; vol 107
no.3 .p. 91-7.

4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar
Ilmu Kedokteran THT KL, ed. 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2002.

5. Eggesbo HB, Marseglia GL (Ed). Imaging Rhinosinusitis. In : Peculiar aspect of


rhinosinusitis. Croatia : INTECH ; 2011. P. 69-90
6. Okuyemi K, Tsue T. Radiology imaging in the management of sinusitis. Am Fam
Physician. P. 1882-7
7. Brook I. Acute sinusitis. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/232670. Ed. Desember 2013. Tanggal 31 mei
2017.
8. Ranchman MD. Sinus paranasal. Radiologi diagnostic. Ed. 2. Jakarta : FKUI; 2011.h.
431-8.

17

Anda mungkin juga menyukai