Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Pada pasien-pasien dengan keluhan klinis khas yang mengarah pada dugaan adanyasinusitis,
antara lain pilek-pilek kronik, nyeri kepala kronik, nyeri kepala satu sisi (kanan ataukiri), nafas
berbau, atau kelainan-kelainan lain pada sinus paranasal misalnya: mukokel, pembentukan cairan
dalam sinus-sinus, atau tumor, trauma sekitar sinus paranasalis,diperlukan informasi mengenai
sinus tersebut.Sinus paranasal adalah sinus (rongga) pada tulang berada sekitar nasal
(hidung).Rongga rongga pada tengkorak ini berhubungan dengan hidung, dan secara terus
menerusmenghasilkan lendir yang dialirkan ke hidung. Gangguan aliran ini karena berbagai
sebabakan menyebabkan penumpukan lendir di rongga sinus, jika terinfeksi oleh kuman akan
menyebabkan infeksi sinus yang disebut sinusitis.
Sinus paranasal terdiri dari sinus frontalis,ethmoidalis, sfenoidalis dan maksilaris. Sinus sinus ini
bermuara ke dalam cavum nasi .Sinus paranasal dapat digolongkan dalam 2 golongan besar sinus
paranasalis, yaitu golongananterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis
anterior, dan sinusmaksilaris. Golongan posterior sinus paranasalis, yaitu sinus ethmoidalis
posterior dan sinussfenoidalis.Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidungdan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan
sinusfrontalis. Sinus maksila dan ethmoid telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari
sinus ethmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian postero superior rongga hidung. Sinus
sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usiaantara 15 18 tahun.
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan mengevaluasi sinus paranasal
adalah :
Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas
Pemeriksaan tomogram
Pemeriksaan CT-scan
Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambarananatomi
atau variasi anatomi, kelainan-kelainan pada sinus paranasalis dan struktur tulangsekitarnya,
sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.

1
Pemeriksaan Radiologis pada Sinus Paranasalis

I. Anatomi Sinus Paranasal

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus
sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari
sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior.
Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari
sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di
berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid.
Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok.
Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender
yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung
i. Sinus Maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar. Merupakan
sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa
kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan
puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum
dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding
inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Antrum mempnyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu
ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya
terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang
sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus
ii. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat fetus, berasal dari
sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai
berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar
2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke

2
daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.
iii. Sinus Etmoid
Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan
bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti
piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4
cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14
ml. Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat
di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial
orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan
sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
iv . Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi mukosa di bagian
posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi
mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid.
Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada
usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi.
Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat
di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya. Letak os sfenoid adalah di
dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut
septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm.
Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian
lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi
pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

3
II. Fisiologi Sinus Paranasal
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah :
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif
antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali
bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari
suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak
terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
(3) Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara.
Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya
sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
(4) Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin atau membuang ingus.

(5) Membantu produksi mukus.

4
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus
dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara
inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

III. Pemeriksaan Radiologis Sinus Paranasal


III.1. Foto Polos Kepala
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi,
antara lain:
a. Foto kepala posisi AP (Antero-Posterior) atau Caldwell
b. Foto kepala lateral
c. Foto kepala posisi Waters
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
e. Foto Rhese
f. Foto basis kranii dengan sudut optimal
g. Foto proyeksi Towne

Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama untuk
mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur - unsur tulang dan jaringan lunak yang
tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak, dan erosi tulang
kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini cukup ekonomis dan minimal radiasinya bagi
pasien.
Pada beberapa rumah sakit di Indonesia,untuk mengevaluasi sinus paranasal cukup melakukan
foto kepala AP dan lateral serta Waters. Apabila dari ketiga foto tersebut belum didapatkan hasil yang
lengkap baru dilakukan posisi-posisi lain.
Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik dan arah sinar yang
teliti. Posisi pasien yang terbaik adalah posisi duduk. Apabila dilakukan dengan posisi tiduran, paling
tidak posisi Waters dilakukan dalam posisi duduk untuk mengevaluasi adanya air fluid level dalam
sinus-sinus. Apabila pasien tidak dapat duduk, dianjurkan melakukan foto lateral dengan film
diletakkan pada posisi kontralateral dan sinar X horizontal

Foto AP Kepala (Posisi Caldwell)


Foto ini diambil dengan posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital kepalategak lurus pada
film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum diproyeksi pada1/3 bawah orbita atau
pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal linetegak lurus pada film dan sentrasi
membentuk sudut 15 kaudal. Baik untuk melihat sinusfrontalis dan etmoid

5
Foto Lateral Kepala
Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral dengan sentrasi di luar kantus
mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.
Foto Posisi Waters
Foto Waters dilakukan dengan posisi di mana kepala menghadap kaset, garis orbitomeatus
membentuk sudut 37 dengan kaset. Sentrasi sinar kira-kira di bawah garis interorbital. Pada posisi
Waters, secara ideal pyramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga
kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya (pemeriksaan paling baik untuk menilai sinus
maksilaris pada foto polos). Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada
posisi mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sphenoid dengan baik.

6
Foto Kepala Posisi Submentoverteks
Posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien menengadah
sehingga garis infra-orbitomeatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang
midsagital melalui sella tursika kearah vertex. Banyak variasi-variasi sudut sentrasi pada posisi
submentoverteks, agar supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis kranii,
khususnya sinus sfenoid dan dinding posterior sinus maksilaris.
Foto Posisi Rhese
Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid tanpa superposisi
dengan struktur lain, kanalis optikus dan lantai dasar orbita sisi lain.
Foto Posisi Towne
Posisi Towne diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 30-60 kearah garis
orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm diatas glabela dari foto polos kepala
dalam bidang midsagital. Proyeksi ini adalah yang terbaik untuk menganalisis dinding posterior sinus
maksilaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus zygomatikus posterior.
III.2 PEMERIKSAAN TOMOGRAM

Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan multidirectiontomogram.


Sejak digunakannya CT-scan, pemeriksaan tomogram penggunaannya agak tergeser. Tetapi pada
fraktur daerah sinus paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan pemeriksaan yang terbaik
dibanding pemeriksaan CT-scan. Pemeriksaan tomogram juga biasa dilakukan untuk memastikan
bila pada foto polos terdapat dugaan massa pada nasal berupa bayangan radioopak di sinus.
Pemeriksaan tomogram biasanya dilakukan dengan posisi AP (Caldwell) atau Waters.Untuk
pemeriksaan survey dilakukan irisan setiap 5 mm dari dinding anterior sinus frontalissampai bagian
belakang tulang sphenoid. Lalu dilakukan irisan khusus setenal 1-2 mmdengan sentrasi khusus di
daerah yang dicurigai. Kadang-kadang karena irisannya sangattipis, fraktur tidak dapat dideteksi
dengan baik, pada foto hanya tampak sebagai garis/batastulang yang kabur pada segmen tertentu.
Untuk itu dilakukan irisan khusus dan irisan dipertebal.

7
III.3 Pemeriksaan CT- Scan Sinus Paranasal

A.Pengertian
Teknik pemeriksaan CT-Scan SPN merupakan pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan gambaran
irisan dari sinus paranasal baik secara aksial maupun coronal. CT-Scan SPN memberikan tampilan
yang memuaskan atas sinus dan dapat menilai opasitas, penyebab, dan jenis kelainan dari sinus.
CT-Scan SPN baik dalam memperlihatkan dekstruksi tulang dan mempunyai peranan penting
dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi. Hal-hal tersebut merupakan
kelebihan CT-Scan SPN dibandingkan dengan foto polos SPN biasa (Amstrong, 1989).
B. Indikasi Pemeriksaan
Sespect mass, lesi atau tumor
Infeksi atau alergi

o Udara dalam sinus digantikan oleh cairan/ mukosa yang menebal hebat atau
kombinasi keduanya

Mukokel

o Merupakan sinus yang mengalami obstruksi. CT-Scan SPN jelas memperlihatkan


ukuran dan luas mukokel (Amstrong, 1989).

Karsinoma sinus atau rongga hidung

o CT-Scan SPN baik dalam menampakkan dekstruksi tulang akibat tumor, luas dan
invasi tumor

C. Prosedur Pemeriksaan CT-Scan SPN


a. Persiapan Pasien ( Seeram, 2001 )
Persiapan pasien untuk pemeriksaan CT-Scan SPN adalah sebagai berikut :
1. Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa, termasuk anting,
kalung, dan jepit rambut.
2. Pasien harus diinstruksikan agar mengosongkan vesika urinarianya sebelum pemeriksaan
dilakukan, karena jika menggunakan media kontras intra vena menyebabkan vesika urinaria
cepat terisi penuh sehingga pemeriksaan tidak akan terganggu oleh jeda waktu ke kamar
kecil.

3. Jika menggunakan media kontras, alasan penggunaannya harus dijelaskan kepada pasien.

4. Komunikasikan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan sejelas-jelasnya (inform


consern) agar pasien nyaman dan mengurangi pergerakan sehingga dihasilkan kualitas
gambar yang baik.

b. Persiapan Alat dan Bahan Alat dan bahan untuk pemeriksaan CT-Scan SPN dengan kasus mass
misalnya, antara lain :
Pesawat CT-Scan

8
Alat-alat fiksasi kepala

c.TeknikPemeriksaan
Pemeriksaan CT-Scan SPN dengan kasus mass menggunakan dua jenis potongan , yaitu potongan
axial dan potongan coronal.
1. Potongan Axial
Posisi pasien : pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan. Kedua lengan di samping
tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di atas headrest (bantalan kepala ). Posisi
pasien diatur senyaman mungkin. b) Posisi objek : kepala diletakkan tepat di terowongan
gantry, mid sagital plane segaris tengah meja. Mid axial kepala tepat pada sumber
terowongan gantry

2. Potongan Coronal
Potongan coronal merupakan teknik khusus.
Posisi pasien : pasien berbaring prone di atas meja pemeriksaan dengan bahu diganjal
bantal. Kepala digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dengan membidik
menuju vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang wajah.

Posisi objek : kepala tegak atau digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dan
diberi alat fiksasi agar tidak bergerak

d. Scan Parameter
9
Scanogram : cranium lateral
Slice thickness

o axial : 5 mm

o coronal : 3 mm

Anatomi Coverage

o axial : 5 mm di bawah sinus maksilaris sampai sinus frontalis

o coronal : 5 mm posterior sinus sphenoideus sampai sinus frontalis

Standar algorithma

o axial : algorithma tulang

o coronal : algorithma standar

kV : 130

mAs : 60

Gambar yang dihasilkan dalam pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal adalah sebagai berikut
( Kelley dkk, 1997 ) :

10
11
Daftar Pustaka
1. Price, S.A, Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit, Edisi
ke 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
2. Robbins, Stanley L et al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Volume 2. EGC.
Jakarta

3. Adam,Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta,1997

4. Guyton,AC, Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati


setiawan, ed. 9, 1997, Jakarta: EGC

5. Di unduh dari URL: http://anekartikelkesehatan.blogspot.com/2011/05/pemeriksaan-


tomografi-komputer-pada.html. diakses 22 Juni 2013.

6. Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates,
Jakarta,1994.

7. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher edisi 5, FK UI, 2006.

8. Rachman MD, Sinus paranasalis dan Mastoid. Dalam: Ekayuda I.Radiologi


Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik Departemen Radiologi
FKUI; 2005. Hal 431-45

9.

12

Anda mungkin juga menyukai