Anda di halaman 1dari 50

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral


rongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama
sesuai dengan letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan
sinus ethmoidalis (sinus paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran
pernapasan yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan
bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus
terutama berisi udara.1 Sinus yang dalam keadaan fisiologis adalah steril, apabila
klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang
baik untuk perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus,
bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia.2

Penyebab utamanya sinusitis ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh
infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus
etmoid dan maksila.1 Selain itu sinusitis daoat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi
faring (faringitis, adenoiditis, tonsilitis), infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3,
serta P1 dan P2), berenang dan menyelam, trauma, serta barotrauma. Faktor
predisposisi berupa obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka
media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Selain
itu, rinitis kronik serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus
serta menghasilkan banyak sekret, yang merupakan media bagi pertumbuhan
kuman.2 Faktor predisposisi yang lain meliputi lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan
silia.3
2

Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan


intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari.1
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 SINUSITIS
2.1.1 Anatomi Sinus Paranasal

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.4

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga


hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia
8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. 4
4

● Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. 4
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
5

permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral


rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum
etmoid. 4
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah4,5
1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.

● Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn. 4
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih
15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang. 4
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
6

berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding


sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. 4
Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal.
Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anteroir. 4

● Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi
bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior. 4,6
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi
antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya
kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan
sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya
dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. 4,6
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila. 4
7

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatsan dengan sinus sfenoid. 4

● Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid. 4
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons. 4

● Kompleks Ostio-Meatal
Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal
dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks
ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. 4

● Fungsi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Beberapa pendapat:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
8

b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)


c. Membantu keseimbangan kepala
d. Membantu resonansi suara
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
f. Membantu produksi mucus 4

2.1.2 Epidemiologi

Sinusitis merupakan salah satu gangguan kesehatan tersering di seluruh


dunia, terutama di tempat dengan polusi udara tinggi, iklim lembab dan dingin.
Sinusitis menyerang 1 dari 8 orang dewasa di United States, dengan lebih dari 30
1
juta individu yang di diagnosis tiap tahunnya. Insiden rinosinusitis akut di
kalangan orang dewasa Amerika meningkat dari 11% (26 juta) pada tahun 2007
menjadi 13% (29,8 juta) pada tahun 2010. Tingkat prevalensi yang lebih baru
pada penduduk Kanada dengan hasil sekitar 3,5 juta orang dewasa dengan
rinosinusitis akut setiap tahunnya.6

Individu dengan riwayat alergi atau asma berisiko tinggi terjadinya


rhinosinusitis. Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18 – 75 tahun dan
kemudian anak-anak berusia 15 tahun. Pada anak-anak berusia 5 – 10 tahun,
infeksi saluran pernafasan di hubungkan dengan sinusitis akut. Sinusitis jarang
pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun karena sinus belum berkembang
dengan baik. 4,6

Sinusitis maxilla paling sering terjadi daripada sinusitis paranasal lainnya,


karena 4
1. Ukuran sinus paranasal yang terbesar
2. Posisi ostium sinus maxilla lebih tinggi daripada dasarnya sehingga aliran
secret atau drainasenya hanya tergantung dari gerakan silia.
3. Letak ostium sinus maxilla berada pada meatus nasi medius disekitar
hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
9

4. Letak dasar sinus maxilla berbatasan langsung dengan dasar akar gigi
(processus alveolaris) sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinus
maxilla.

2.1.3 Definisi dan Klasifikasi

Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari
keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun
kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis, yang paling sering ditemukan adalah
sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoidalis.3
Secara klinis sinusitis dibagia atas :
1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.
2. Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu hingga beberapa bulan.
3. Sinusitis Kronis, bila infeksi beberapa bulah hingga beberapa tahun.

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis


1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi.2
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar
dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae,
Hemophilus influenza, Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhatis.3
10

3. Sinusistis Jamur adalah infeksi jamur ada sinus paranasal, suatu keadaan
yang tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan
meningkatnya pemakaina antibiotik, kortikosteroid, obat-obtan
imunosupressan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan predisposisi
antara lain diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS dan perawatan
yang lama di rumah sakit. 3

2.1.4 Etiologi

Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi


dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh
silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain
adalah rinitis alergika, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks
osteo-meatal (KOM), kelainan imunologik, diskinesia silia seperti sindroma
Kartagener.3 Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell
carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegener’s granulomatosis atau
rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi
yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat
menyebabkan sinusitis dengan mengganggu pengeluaran mukus. 2
Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor
untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi sinusitis akut dapat
disebabkan berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang
sering ditemukan adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza.
Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan moraxella catarralis.2 Bakteri anaerob juga
terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi
pada gigi premolar.3 Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis
pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif
11

yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari
spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan
Fusarium.2

2.1.5 Patofisiologi

Pada keadaan fisiologis yang normal rongga sinus adalah steril. Secret yang
diproduksi sinus dialirkan oleh gerakan silia kearah ostium untuk dikeluarkan ke
cavum nasi. Pada orang yang sehat arah aliran secret ini selalu satu arah menuju
ostium yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi kembali sekret dalam sinus.7
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh sumbatan pada ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Selain
itu kuantitas dan kualitas mukus juga mempengaruhi, karena mukus mengandung
substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan7,8.
Fungsi drainase dan ventilasi berperan penting dalam menjaga sinus tetap
normal. Ini berhubungan erat dengan keadaan dari komplek osteomeatal.
Obstruksi ostium sinus menyebabkan retensi lendir dan menurunkan kandungan
oksigen, peningkatan pCO2, menurunkan pH, mengurangi aliran darah mukosa.
Pembengkakan membran mukosa juga akan menyempitkan ostium dan
menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar akibat saluran yang tersumbat.8
Selain itu hipoksia yang terjadi pada rongga sinus yang tersumbat dipercaya
sebagai penyebab terjadinya gangguan fungsi pada silia dan perubahan produksi
mukus yang kemudian makin mengganggu mekanisme pembuangan sekret sinus7.
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus,
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
12

patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob8,9.Selain itu hipoksia yang terjadi
pada rongga sinus yang tersumbat dipercaya sebagai penyebab terjadinya
gangguan fungsi pada silia dan perubahan produksi mukus yang kemudian makin
mengganggu mekanisme pembuangan sekret sinus.7
Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap
sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak
sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang
poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi
purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi
antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.8
Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau
pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit
sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses
terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian
turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah
polip10.

2.1.6 Gejala Klinis


Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan
ketika penderita bangun pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam hari. Sinusitis akut
dan kronis memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada
sinus yang terkena. Pada sinusitis frontalis sakit didahi. 11,5
a. Gejala akut:
Sakit kepala yang berat di dahi, gejalanya memberat jika menunduk dan menekan
di area antara kedua mata dekat hidung, gejala akan berkurang jika
13

mengangkat kepala, pilek (rinore), Demam (biasa tetapi tidak selalu muncul),
post nasal drip (cairan hidung), memberatnya gejala berhubungan dengan
sakit kepala yang berat, pandangan terganggu, perubahan mental yang ringan
(dapat mengindikasikan terjadinya penyebaran infeksi ke otak). 11
b. Gejala kronik:
Persisten dan sakit kepala derajat ringan, riwayat trauma di daerah sinus. 11
Perluasan infeksi ke tempat lain dapat terjadi secara langsung dari ulserasi,
nekrosis dinding sinus, atau hematogen. Sekret di hidung dan post nasal drip, rasa
tidak nyaman di faring, pendengaran terganggu. Faktor yang menyebabkan
sinusitis akut berubah menjadi kronis ialah 12:
1. Sinusitis akut yang berulang.
2. Gangguan saluran.
3. Pengobatan yang tidak adekuat.
4. Ada penyakit sistemis seperti diabetes melitus dan leukemia
Demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar
sinus. Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak dan dari hidung
mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau11.

2.1.7 Diagnosa
● Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Yang diperhatikan adalah pembengkakan di kelopak mata atas mungkin
menunjukkan sinusitis frontal akut15
b. Palpasi
Pada sinusitis frontalis terdapat nyeri tekan pada dasar sinus frontal, yaitu pada
bagian medial atap orbita15
c. Perkusi
Dengan perkusi pada lokasi sinus frontalis yang terinfeksi akan memberikan rasa
nyeri yang hebat5
14

d. Transluminasi (Diaphanoscopia)
Transluminasi pada daerah atap dari orbita jika memberikan gambaran yang terang
menunjukkan sinus frontalis berkembang dengan baik dan normal, namun
jika gambarannya gelap menunjukkan sinus tidak berkembang atau adanya
pus, mukosa yang menebal ataupun terdapatnya neoplasma 15,13.
e. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis frontalis
adalah posisi caldwell, posisi waters, dan posisi lateral.14
f. CT-SCAN
Lebih akurat untuk melihat kelainan sinus, namun harganya lebih mahal. 15

2.1.8 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala, memberantas infeksi, dan
menghilangkan penyebab. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara konservatif
dan pembedahan
Pengobatan konservatif terdiri dari 12:
1. Istirahat yang cukup dan udara di sekitarnya harus bersih dengan
kelembaban yang ideal 45- 55%.
2. Antibiotika yang adekuat paling sedikit selama 2 minggu.
3. Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri.
4. Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan lebih
daripada 5 hari karena dapat terjadi rebound congestion dan rhinitis
medikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan terlalu lama dapat
timbul rasa nyeri, rasa terbakar, dan rasa kering karena atrofi mukosa dan
kerusakan silia.
5. Antihistamin jika tersangka ada faktor alergi.
6. Kortikosterioid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang agak
parah.
Pengobatan operatif dilakukan hanya jika ada gejala sakit yang kronis, otitis
15

media kronika, bronkitis kronis, atau ada komplikasi seperti abses orbita atau
komplikasi abses intracranial12
Prinsip operasi sinus ialah untuk memperbaiki saluran saluran sinus
paranasalis yaitu dengan cara membebaskan muara sinus dari sumbatan. Operasi
dapat dilakukan dengan alat sinoskopi (FESS = functional endoscopic sinus
surgery)12
Teknologi balloon sinuplasty digunakan sebagai perawatan sinusitis,
Teknologi ini, sama dengan Balloon Angioplasty untuk jantung, menggunakan
kateter balon sinus yang kecil dan lentur (fleksibel) untuk membuka sumbatan
saluran sinus, memulihkan saluran pembuangan sinus yang normal dan
fungsi-fungsinya. Ketika balon mengembang, ia akan secara perlahan mengubah
struktur dan memperlebar dinding-dinding dari saluran tersebut tanpa merusak
jalur sinus. Menurut dr Huang metode ini sangat ideal untuk mengatasi masalah
pada sinus frontal 15

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah:

● Komplikasi Orbita
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita
yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima
tahapan terjadinya komplikasi orbita ini.4
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis
16

d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran
bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana
selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic.
● Komplikasi Intrakranial
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses otak. 4

● Kelainan Paru
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan
bronkiektasis. Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial. 4

2.1.10 Pencegahan

Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut atau
kronis. Tetapi di sini ada beberapa hal yang dapat membantu:

● Menghindari kelembaban sinus - gunakan saline sprays atau sering diirigasi.


- Hindari lingkungan indoor yang sangat kering.  
- Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau
aroma bahan kimia yang keras.16
2.1.11 Prognosis

Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh


secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa
mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari
5 %. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang
17

adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis,


brain abscess, atau komplikasi extra sinus lainnya.
Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan
yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik.

2.2 ANESTESI

2.2.1 Definisi Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
pasien. Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi),
yaitu.17

a. Hipnotik, hilang kesadaran

b. Analgetik, hilang perasaan sakit

c. Relaksan, relaksasi otot-otot


18

2.2.2 Anestesi Umum

Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana


hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular. 17

Indikasi anestesi umum17 :

● Pada bayi dan anak-anak


● Pembedahan pada orang dewasa di mana anestesi umum lebih disukai
oleh ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
● Operasi besar
● Pasien dengan gangguan mental
● Pembedahan yang lama
● Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan
memuaskan
● Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Teknik anestesi umum ada 3, yaitu17 :

a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke
dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan
yaitu N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan
kategori menggunakan sungkup muka, Endotrakeal Tube nafas spontan,
Endotrakeal tube nafas terkontrol.
19

c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan


kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-
anestesi. Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut17:
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar sangat
penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin yang
sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada pasien yang berusia
di atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.
4. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA):
● ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
20

● ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang


● ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
● ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
● ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
● ASA 6 : Pasien dengan kematian batang otak
● Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.
2.2.3 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya17:

● Meredakan kecemasan dan ketakutan


● Memperlancar induksi anestesi
● Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
● Meminimalkan jumlah obat anestetik
● Mengurangi mual muntah pasca bedah
● Menciptakan amnesia
● Mengurangi isi cairan lambung
● Mengurangi reflek yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada


situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
21

anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular. 17

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis


asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor
H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam
sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering
ditambahkan premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5
mg atau ondansetron 2-4 mg. 17

Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa


pemberian injeksi Metoclopramide 10mg dan injeksi Ranitidine 50mguntuk
profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide
digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan
metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin
pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian
bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan
lambung sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. 17

Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi


yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram
uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor
Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga
sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi. 17

Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan


ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2
sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat
mengurangi risiko.

Yang banyak digunakan18:


22

Analgetik opium :

● Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler


● Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler
Sedatif :

● Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler


● Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau, 1,5 mg/kgbb intramuskuler
● Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral
● Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb
Vagolitik antisialogog :

● Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau intravena pada saat induks


maksimal 0,5 mg
Antasida :

● Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan 2 jam sebelum operasi
● Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi
● Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi
Sebelum induksi anastesi

Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab


untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah
apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum
sekurang-kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui
hanya dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung
mungkin penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa
mungkin. Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan berpengalaman.
Jangan menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten. 18

● Pemeriksaan Alat
23

Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,


karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar
hal-hal yang harus diperiksa dan gantungkan pada alat anastesi yang sering
digunakan. Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan
baik. Jika kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang
digunakan dan silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung
dengan tepat tanpa ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan
aliran gas ke pasien berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan
sistem pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah
fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran
gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien
berbaring pada meja atau kereta dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam
posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan
obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat
itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi, yakinkan
aliraninfus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam
vena besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera
dimulai. 17

2.2.4 Durate operation

1. Induksi Anestesi

Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
24

dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya
kita ingat kata STATICS18:

● S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus
cukup terang
● T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed)
● A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
● T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut
● I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
● C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
● S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

● Induksi intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah


terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
25

induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5%
dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. 17 Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan
manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol
(recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedative seperti midazolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg). Ketamin menyebabkan
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka. 18

● Induksi Intamuskular

Sampai sekarang hanya ketamine yang dapat diberikan secara


intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. 17

● Induksi inhalasi

Teknik ini merupakan pilihan bila jalan napas pasien sulit ditangani. Jika
induksi intravena, pada pasien seperti itu dapat menimbulkan kematian akibat
hipoksia jika kita tidak dapat mengembangkan paru. Sebaliknya, induksi inhalasi
hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga obat anestesi dapat
masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak dapat masuk dan
anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal. Jika hal
ini terjadi, bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga digunakan untuk
anak-anak yang takut pada jarum. 17

● Intubasi Endotrakeal
26

Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa


pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan
penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi. 17

Gambar 2.1 Intubasi Endotrakeal

Indikasi intubasi endotrakeal18 :

1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun


2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulutm hidung dan tenggorokan
5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tak ada ketegangan
6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
7. Untuk mencegah kontaminasi trakea
8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan
pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
9. Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme
10. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord
27

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu18 :

● Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang
cukup
●  Posisi kepala dan leher yang tepat
● Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :

a. Pipa endotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea
dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir
bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil
digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak
bocor. Pipa endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung. 18

Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :

Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + ¼ umur (thn)

Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)

Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)


28

b. Laringoskop

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop 17:

● Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)


● Bilah lengkung (curved blades/ Macinto

Penilaian Mallampati

Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi


kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut,
khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi
tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade 18:

● Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas


● Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak
terlihat
● Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
● Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.
Kesulitan dalam teknik intubasi18:

● Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap


● Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
● Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
29

● Kesulitan membuka mulut


● Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
● Abnormalitas pada daerah servikal
● Kontraktur jaringan leher
Komplikasi pada intubasi endotrakeal18 :
● Memar & oedem laring
● Strech injury
● Non specific granuloma larynx
● Stenosis trakea
● Trauma gigi geligi
● Laserasi bibir, gusi dan laring
● Aspirasi, spasme bronkus

Obat-Obat Anestesi Umum

Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah17:

I. Gas Anestesi 

Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk


praktek klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Sevofluran.
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih menjadi
misteri dalam farmakologi modern.

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :

1) Ambilan oleh paru


2) Difusi gas dari paru ke darah
3) Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.
Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:

1. N2O
30

N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir
anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit. 

2. Halotan

Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan
napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi
dan tahapan anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol
% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan
klinis pasien. 17

3. Isofluran

Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi
adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan
frekuensi denyut jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap
oksigen, tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. 17 

4. Desfluran

Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur
31

bedah  singkat atau bedah rawat jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga


menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk
induksi.Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi
lain, tapi17 kali lebih poten dibanding N2O. 17

5. Sevofluran

Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.


Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat
untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa.
Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat
dicapai dalam 1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh. 17

II. Obat-obat Anestesi Intravena

Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang


diberikan dengan cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena17

A. Hipnosis

1. Golongan barbiturat (pentotal)

Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan induksinya
cepat (30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam waktu singkat kerjanya
habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat ini menyebabkan kehilangan
kesadaran dengan jalan memblok kontrol brainstem.

Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian sebagai
induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang waktu pemberian 15-20
detik (untuk orang dewasa)

2. Benzodiazepin 
32

Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat


toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang
lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah
banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan
menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi Efek farmakologi
benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid (GABA)
sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan
reseptor GABA A melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA A terhadap
neurotransmitter penghambat. Dosis : Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV,
Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.

3. Propofol

Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna


putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2.5
mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan
dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya
boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn
dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.

4. Ketamin

Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan


kerja singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran
dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N- metil-D-aspartat. 
ifat  nalgesiknya  angat  uat  ntuk  istem  omatik, tetapi lemah untuk sistem
viseral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang
tonusnya sedikit meninggi. Dosis ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10
mg/kgBB IM. Anestesi dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi
33

mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal
sebagai anestesi disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa
dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan
tonus otot. Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan sampai
40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam. 

B. Analgetik

1. Morfin

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.  Efek analgesi morfin timbul
berdasarkan 3 mekanisme18 ;

a. Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri


b. Morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi
yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh
korteks serebri dari thalamus
c. Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri
meningkat.

Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah


0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat
diulang sesuai yamg diperlukan.

2. Fentanyl
34

Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid


sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor μ.
Fentanyl banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak
analgesia lebih singkat, efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan
secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular. 18

3. Meridipin

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa


keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi
nafas pada janin. Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10
mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.
Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi
dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

C. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)

Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien
secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari
otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi. 17

● Pelumpuh otot depolarisasi

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf


otot tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah
sipnatik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul
relaksasi otot lurik. Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan
dosis 1-2 mg/kgBB IV.17
35

● Pelumpuh otot non-depolarisasi

Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-


kolinergik,  etapi  ak  enyebabkan  epolarisasi,  anya  enghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. 18

III. Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler. 18

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.


Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
36

air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement. 18

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan


jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang. 18

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan


darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah. 18

IV. Monitoring

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi


adalah18:

● Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter


● Heart rate, nadi, dan kualitasnya
● Warna membran mukosa, dan capillary refill time
● Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
● Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
37

● Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.2.5 Postoperatif

a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care


unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya. Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah
harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan.
Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya
dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien
diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase. 18

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi
ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti.

Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat
berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU.
Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek,
monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan
dengan lancar. 18
38

b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi
benar-benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam
tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.

Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien,
jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu
terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika
semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui. 18

Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih


dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat
alat berikut :

a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk


dikeluarkan dari PACU adalah:

a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu


b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
f. Mual dan muntah dalam control
g. Nyeri minimal
39

Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan


normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring
untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah
SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.
Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ± 60 menit di
PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi
seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.

Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang


sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%
pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting). 18

Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama


anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi
strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus
vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis.

c. Pemindahan Penderita dari Kamar Operasi

Ada banyak pedoman untuk menentukan kapan penderita dapat


dipindahkan dari kamar operasi. Di RSUP Dr. Kariadi memakai Aldrette Score
yaitu penlaian yang didasarkan atas respirasi, kesadaran, sirkulasi, akfititas dan
warna kulit. Hasil penjumlahan ke-5 faktor tersebut, yang mempunyai nilai
maksimal 10 menentukan dapat tidaknya penderita dipindahkan. Penderita dengan
nilai Aldrette Score 8, dapat dipindahkan ke ruang perawatan. 18
40

BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
41

● Nama : Lia Amelia


● Jenis Kelamin : Perempuan
● Umur : 14 tahun
● Agama : Islam
● Alamat : Medan
● Pekerjaan : Pelajar
● Status Perkawinan : Belum Menikah
● No RM : 32.20.79

2. ANAMNESA
● Keluhan Utama : Kepala terasa pusing, hidung tersumbat dan
terasa berdenyut
● Telaah : Pasien perempuan datang ke RS Haji diantar oleh orang tuanya
dengan keluhan kepala terasa pusing, hidung tersumbat dan terasa
berdenyut, yang dialami kurang lebih 1 tahun. Pasien juga mengeluhkan
penciuman menurun. Nyeri tekan pada pipi bagian kanan dan kiri. Mual
(-), muntah (-). Riwayat operasi sebelumnya tidak ada. Tidak ditemukan
adanya riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan Asma. BAK
(+), BAB (+) Normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat disangkal oleh pasien

Riwayat Pengobatan :
- Tidak ada
42

Riwayat Psikososial :
- Merokok (-)
- Alkohol (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
● Keadaan Umum : Tampak sakit
Vital Sign
● Sensorium : Compos Mentis
● Tekanan Darah : 110/80 mmHg
● Nadi : 80x/menit
● RR : 20x/menit
● Suhu : 36 0C
● Tinggi Badan : 155 cm
● Berat Badan : 47 kg
Pemeriksaan Umum
Kepala - Leher
● Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
● Kepala : Normocephali
● Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
● Hidung : - Terdapat cairan pada lubang hidung sebelah
kanan dan kiri /berbau/tidak disertai darah
● Telinga : Tidak ada secret/bau/perdarahan pada telinga.
● Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
● Leher : Pembesaran KGB (-)
43

Thorax
Paru
● Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan
torakalabdominal, retraksi costae -/-
● Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
● Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
● Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru
Abdomen
● Inspeksi : Datar, Simetris
● Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak
teraba
● Perkusi : Nyeri Ketok (-)
● Auskultasi : Peristaltik (+) normal
● Ekstremitas : Edema -/-

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan


Extremitas Atas-Axilla

1. Dingin (-), edema (-).


2. Deformitas (-)
3. Motorik dan sensibilitas baik

Extremitas Bawah

1. Dingin (-), edema (-)


2. Deformitas (-)
3. Motorik dan sensibilitas baik
44

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
● Hb : 14.6 g/dl (11.7 – 15.5 g/dl)
● HT : 42.8 % (35 – 47 %)
● Eritrosit : 5.0 x 106/µL (3.8 – 5.2 x 106/µL)
● Leukosit : 18.150 / µL (4000 – 11.000 / µL)
● Trombosit : 267.000/µL (154.000 – 442.000 / µL)

Hitung Jenis Leukosit


● Eosinofil : 2% (1-3 %)
● Basofil : 0% (0-1 %)
● N. Stab : 0% (2-6 %)
● N. Seg : 66% (53-75 %)
● Limfosit : 27% (20-45 %)
● Monosit : 5% (4-8 %)

Metabolik
● KGDS : 91 mg/dl (<140 mg/dl)

Fungsi Hati
● Bilirubin total : 0.68 mg/dl (0.3-1 mg/dl)
● Bilirubin direk : 0.10 mg/dl (< 0.25 mg/dl)
● AST (SGOT) : 16 U/I (<40 U/I)
● ALT (SGPT) : 16 U/I (<40 U/I)

Fungsi Ginjal
● Ureum : 21 mg/dl (20-40 mg/dl)
● Kreatinin : 0.68 mg/dl (0.6-1.1 mg/dl)
45

Diagnosis : Sinusitis Maxillaris + Ethmoidalis

5. RENCANA TINDAKAN
● Tindakan : FESS
● Anesthesi : GA-ETT
● PS-ASA :1
● Posisi : Supinasi
● Pernapasan : Ventilator

6. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
● Airway : Clear
● RR : 20x/menit
● SP : Vesikuler ka=ki
● ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
● Akral : Hangat
● TD : 110/80 mmHg
● HR : 80x/menit
B3 (Brain)
● Sensorium : Compos Mentis
● Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
● RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
● Urine Output : -
● Kateter : Tidak Terpasang
46

B5 (Bowel)
● Abdomen : Soepel
● Peristaltik : (+) Normal
● Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
● Oedem : (-)

7. PERSIAPAN OBAT GA-ETT


Premedikasi
● Fentanyl : 0.1 mg
● Midazolam : 1 mg
Medikasi
● Propofol : 10 mg
● Atracurium : 10 mg
● Ondansetron : 4 mg
● Ranitidine : 50 mg
● Atropine : 0.25 mg
Jumlah Cairan
● PO : RL 100 cc
● DO : RL 600 cc
● Produksi Urin :-
Perdarahan
● Kasa Basah :-
● Kasa 1/2 basah :-
● Suction : 1900 cc
● Cuci :-
● EBV : 47 x 65 = 3055 cc
● EBL 10 % = 305,5 cc
47

20 % = 611 cc
30 % = 916,5 cc
Durasi Operatif
● Lama Anestesi= 10.55 – Selesai WIB
● Lama Operasi = 11.14 – 12.43 WIB
Teknik Anastesi : GA - ETT
● Premedikasi : Fentanyl + Midazolam
Induksi Propofol → O2→ Relaxant → Oxygenasi
Intubasi : ETT 7.0 Cuff (+)
Maintenance : Isoflurance + O2

8. POST OPERASI
● Operasi berakhir pukul : 12.43 WIB
● Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
● Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
PERAWATAN POST OPERASI
● Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.
48

9. TERAPI POST OPERASI


● Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
● IVFD RL 20 gtt/menit
● Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal
● Inj. Ketorolac 30 mg/8jam IV
● Inj. Ondansetron 4 mg/8 jam IV bila mual/muntah
49

DAFTAR PUSTAKA

1. Endang Mangunkusumo. Sinusitis dalam Kumpulan makalah Simposium


sinusitis,Jakarta 1999, 1 – 6.
2. Anonim. 2001. Sinusitis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, ed. 3. Media
Ausculapius FK UI. Jakarta : 102-106.

3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J,Restuti RD, Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam, Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2008. H145-154
4. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta:
FKUI,2010
5. Hilger PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: BOIES Buku Ajar Penyakit
THT Edisi 6. Editor: Harjanto Effendi. Jakarta: EGC; 2012.
6.  Statistics Canada. Population by sex and age group. Ottawa, ON: Statistic
Canada; 2013 Available from:
www40.statcan.gc.ca/l01/cst01/demo10aeng.htm. Accessed on 2012 Feb 2.
7. Brook, I. et al. (2013). Acute sinusitis.
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a0104. Diakses
tanggal 15 Juli 2014.
8. Mulyarjo, (2006). Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi pada
Simtom, Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan
Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan
Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan
Septorinoplasti,Malang,pp. 10,2,1-18
9. Cristine, R. (2006). Sinusitis: allergies, antibiotics, aspirin, asthma.
Cleveland Clinic Journal of Medicine 2006; Vol 73(7):671-678.
http://www.ccjm.org/content/73/7/671.full.pdf. Diunduh tanggal 15 Juli 2014.
50

10. Ballenger. J. J., Infeksi Sinus Paranasal. Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 13 (1). Jakarta : Binaputra Aksara. 1994; hal
: 232 – 41.
11. Adam. Sinusitis. 2008. Http://www.adam.about.com [diakses tanggal 15
Juli 2014]
12. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.
Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 15 Juli 2014]
13. Rukmini S, Herawat S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.
Jakarta: EGC; 2000. 26-48
14. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung,Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. 2-9
15. Chyuan HS. Baloon Sinuplasty. 2008. Http://www.entsurgery.com.sg
[Diakses
tanggal 15 Juli 2014]
16. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,
1990.p49 – 270.
17. Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
18. Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi.
EGC. Jakarta. pp:229-231

Anda mungkin juga menyukai