BAB I
PENDAHULUAN
Penyebab utamanya sinusitis ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh
infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus
etmoid dan maksila.1 Selain itu sinusitis daoat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi
faring (faringitis, adenoiditis, tonsilitis), infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3,
serta P1 dan P2), berenang dan menyelam, trauma, serta barotrauma. Faktor
predisposisi berupa obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka
media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Selain
itu, rinitis kronik serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus
serta menghasilkan banyak sekret, yang merupakan media bagi pertumbuhan
kuman.2 Faktor predisposisi yang lain meliputi lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan
silia.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 SINUSITIS
2.1.1 Anatomi Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.4
● Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. 4
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
5
● Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn. 4
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih
15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang. 4
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
6
● Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi
bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior. 4,6
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi
antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya
kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan
sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya
dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. 4,6
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila. 4
7
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatsan dengan sinus sfenoid. 4
● Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid. 4
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons. 4
● Kompleks Ostio-Meatal
Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal
dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks
ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. 4
2.1.2 Epidemiologi
4. Letak dasar sinus maxilla berbatasan langsung dengan dasar akar gigi
(processus alveolaris) sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinus
maxilla.
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari
keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun
kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis, yang paling sering ditemukan adalah
sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoidalis.3
Secara klinis sinusitis dibagia atas :
1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.
2. Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu hingga beberapa bulan.
3. Sinusitis Kronis, bila infeksi beberapa bulah hingga beberapa tahun.
3. Sinusistis Jamur adalah infeksi jamur ada sinus paranasal, suatu keadaan
yang tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan
meningkatnya pemakaina antibiotik, kortikosteroid, obat-obtan
imunosupressan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan predisposisi
antara lain diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS dan perawatan
yang lama di rumah sakit. 3
2.1.4 Etiologi
yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari
spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan
Fusarium.2
2.1.5 Patofisiologi
Pada keadaan fisiologis yang normal rongga sinus adalah steril. Secret yang
diproduksi sinus dialirkan oleh gerakan silia kearah ostium untuk dikeluarkan ke
cavum nasi. Pada orang yang sehat arah aliran secret ini selalu satu arah menuju
ostium yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi kembali sekret dalam sinus.7
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh sumbatan pada ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Selain
itu kuantitas dan kualitas mukus juga mempengaruhi, karena mukus mengandung
substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan7,8.
Fungsi drainase dan ventilasi berperan penting dalam menjaga sinus tetap
normal. Ini berhubungan erat dengan keadaan dari komplek osteomeatal.
Obstruksi ostium sinus menyebabkan retensi lendir dan menurunkan kandungan
oksigen, peningkatan pCO2, menurunkan pH, mengurangi aliran darah mukosa.
Pembengkakan membran mukosa juga akan menyempitkan ostium dan
menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar akibat saluran yang tersumbat.8
Selain itu hipoksia yang terjadi pada rongga sinus yang tersumbat dipercaya
sebagai penyebab terjadinya gangguan fungsi pada silia dan perubahan produksi
mukus yang kemudian makin mengganggu mekanisme pembuangan sekret sinus7.
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus,
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
12
patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob8,9.Selain itu hipoksia yang terjadi
pada rongga sinus yang tersumbat dipercaya sebagai penyebab terjadinya
gangguan fungsi pada silia dan perubahan produksi mukus yang kemudian makin
mengganggu mekanisme pembuangan sekret sinus.7
Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap
sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak
sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang
poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi
purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi
antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.8
Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau
pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit
sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses
terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian
turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah
polip10.
mengangkat kepala, pilek (rinore), Demam (biasa tetapi tidak selalu muncul),
post nasal drip (cairan hidung), memberatnya gejala berhubungan dengan
sakit kepala yang berat, pandangan terganggu, perubahan mental yang ringan
(dapat mengindikasikan terjadinya penyebaran infeksi ke otak). 11
b. Gejala kronik:
Persisten dan sakit kepala derajat ringan, riwayat trauma di daerah sinus. 11
Perluasan infeksi ke tempat lain dapat terjadi secara langsung dari ulserasi,
nekrosis dinding sinus, atau hematogen. Sekret di hidung dan post nasal drip, rasa
tidak nyaman di faring, pendengaran terganggu. Faktor yang menyebabkan
sinusitis akut berubah menjadi kronis ialah 12:
1. Sinusitis akut yang berulang.
2. Gangguan saluran.
3. Pengobatan yang tidak adekuat.
4. Ada penyakit sistemis seperti diabetes melitus dan leukemia
Demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar
sinus. Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak dan dari hidung
mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau11.
2.1.7 Diagnosa
● Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Yang diperhatikan adalah pembengkakan di kelopak mata atas mungkin
menunjukkan sinusitis frontal akut15
b. Palpasi
Pada sinusitis frontalis terdapat nyeri tekan pada dasar sinus frontal, yaitu pada
bagian medial atap orbita15
c. Perkusi
Dengan perkusi pada lokasi sinus frontalis yang terinfeksi akan memberikan rasa
nyeri yang hebat5
14
d. Transluminasi (Diaphanoscopia)
Transluminasi pada daerah atap dari orbita jika memberikan gambaran yang terang
menunjukkan sinus frontalis berkembang dengan baik dan normal, namun
jika gambarannya gelap menunjukkan sinus tidak berkembang atau adanya
pus, mukosa yang menebal ataupun terdapatnya neoplasma 15,13.
e. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis frontalis
adalah posisi caldwell, posisi waters, dan posisi lateral.14
f. CT-SCAN
Lebih akurat untuk melihat kelainan sinus, namun harganya lebih mahal. 15
2.1.8 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala, memberantas infeksi, dan
menghilangkan penyebab. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara konservatif
dan pembedahan
Pengobatan konservatif terdiri dari 12:
1. Istirahat yang cukup dan udara di sekitarnya harus bersih dengan
kelembaban yang ideal 45- 55%.
2. Antibiotika yang adekuat paling sedikit selama 2 minggu.
3. Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri.
4. Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan lebih
daripada 5 hari karena dapat terjadi rebound congestion dan rhinitis
medikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan terlalu lama dapat
timbul rasa nyeri, rasa terbakar, dan rasa kering karena atrofi mukosa dan
kerusakan silia.
5. Antihistamin jika tersangka ada faktor alergi.
6. Kortikosterioid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang agak
parah.
Pengobatan operatif dilakukan hanya jika ada gejala sakit yang kronis, otitis
15
media kronika, bronkitis kronis, atau ada komplikasi seperti abses orbita atau
komplikasi abses intracranial12
Prinsip operasi sinus ialah untuk memperbaiki saluran saluran sinus
paranasalis yaitu dengan cara membebaskan muara sinus dari sumbatan. Operasi
dapat dilakukan dengan alat sinoskopi (FESS = functional endoscopic sinus
surgery)12
Teknologi balloon sinuplasty digunakan sebagai perawatan sinusitis,
Teknologi ini, sama dengan Balloon Angioplasty untuk jantung, menggunakan
kateter balon sinus yang kecil dan lentur (fleksibel) untuk membuka sumbatan
saluran sinus, memulihkan saluran pembuangan sinus yang normal dan
fungsi-fungsinya. Ketika balon mengembang, ia akan secara perlahan mengubah
struktur dan memperlebar dinding-dinding dari saluran tersebut tanpa merusak
jalur sinus. Menurut dr Huang metode ini sangat ideal untuk mengatasi masalah
pada sinus frontal 15
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
● Komplikasi Orbita
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita
yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima
tahapan terjadinya komplikasi orbita ini.4
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis
16
d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran
bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana
selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic.
● Komplikasi Intrakranial
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses otak. 4
● Kelainan Paru
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan
bronkiektasis. Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial. 4
2.1.10 Pencegahan
Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut atau
kronis. Tetapi di sini ada beberapa hal yang dapat membantu:
2.2 ANESTESI
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
pasien. Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi),
yaitu.17
a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke
dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan
yaitu N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan
kategori menggunakan sungkup muka, Endotrakeal Tube nafas spontan,
Endotrakeal tube nafas terkontrol.
19
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya17:
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular. 17
Analgetik opium :
● Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan 2 jam sebelum operasi
● Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi
● Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi
Sebelum induksi anastesi
● Pemeriksaan Alat
23
1. Induksi Anestesi
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
24
dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya
kita ingat kata STATICS18:
● S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus
cukup terang
● T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed)
● A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
● T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut
● I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
● C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
● S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
● Induksi intravena
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5%
dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. 17 Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan
manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol
(recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedative seperti midazolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg). Ketamin menyebabkan
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka. 18
● Induksi Intamuskular
● Induksi inhalasi
Teknik ini merupakan pilihan bila jalan napas pasien sulit ditangani. Jika
induksi intravena, pada pasien seperti itu dapat menimbulkan kematian akibat
hipoksia jika kita tidak dapat mengembangkan paru. Sebaliknya, induksi inhalasi
hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga obat anestesi dapat
masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak dapat masuk dan
anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal. Jika hal
ini terjadi, bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga digunakan untuk
anak-anak yang takut pada jarum. 17
● Intubasi Endotrakeal
26
● Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang
cukup
● Posisi kepala dan leher yang tepat
● Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut
a. Pipa endotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea
dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir
bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil
digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak
bocor. Pipa endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung. 18
b. Laringoskop
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop 17:
Penilaian Mallampati
I. Gas Anestesi
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :
1. N2O
30
N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir
anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.
2. Halotan
Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan
napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi
dan tahapan anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol
% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan
klinis pasien. 17
3. Isofluran
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi
adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan
frekuensi denyut jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap
oksigen, tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. 17
4. Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur
31
5. Sevofluran
A. Hipnosis
Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan induksinya
cepat (30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam waktu singkat kerjanya
habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat ini menyebabkan kehilangan
kesadaran dengan jalan memblok kontrol brainstem.
Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian sebagai
induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang waktu pemberian 15-20
detik (untuk orang dewasa)
2. Benzodiazepin
32
3. Propofol
4. Ketamin
mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal
sebagai anestesi disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa
dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan
tonus otot. Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan sampai
40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam.
B. Analgetik
1. Morfin
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Efek analgesi morfin timbul
berdasarkan 3 mekanisme18 ;
2. Fentanyl
34
3. Meridipin
Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien
secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari
otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi. 17
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler. 18
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement. 18
IV. Monitoring
2.2.5 Postoperatif
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi
ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti.
Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat
berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU.
Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek,
monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan
dengan lancar. 18
38
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi
benar-benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam
tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien,
jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu
terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika
semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui. 18
a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu.
BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
41
2. ANAMNESA
● Keluhan Utama : Kepala terasa pusing, hidung tersumbat dan
terasa berdenyut
● Telaah : Pasien perempuan datang ke RS Haji diantar oleh orang tuanya
dengan keluhan kepala terasa pusing, hidung tersumbat dan terasa
berdenyut, yang dialami kurang lebih 1 tahun. Pasien juga mengeluhkan
penciuman menurun. Nyeri tekan pada pipi bagian kanan dan kiri. Mual
(-), muntah (-). Riwayat operasi sebelumnya tidak ada. Tidak ditemukan
adanya riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan Asma. BAK
(+), BAB (+) Normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat disangkal oleh pasien
Riwayat Pengobatan :
- Tidak ada
42
Riwayat Psikososial :
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
● Keadaan Umum : Tampak sakit
Vital Sign
● Sensorium : Compos Mentis
● Tekanan Darah : 110/80 mmHg
● Nadi : 80x/menit
● RR : 20x/menit
● Suhu : 36 0C
● Tinggi Badan : 155 cm
● Berat Badan : 47 kg
Pemeriksaan Umum
Kepala - Leher
● Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
● Kepala : Normocephali
● Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
● Hidung : - Terdapat cairan pada lubang hidung sebelah
kanan dan kiri /berbau/tidak disertai darah
● Telinga : Tidak ada secret/bau/perdarahan pada telinga.
● Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
● Leher : Pembesaran KGB (-)
43
Thorax
Paru
● Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan
torakalabdominal, retraksi costae -/-
● Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
● Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
● Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru
Abdomen
● Inspeksi : Datar, Simetris
● Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak
teraba
● Perkusi : Nyeri Ketok (-)
● Auskultasi : Peristaltik (+) normal
● Ekstremitas : Edema -/-
Extremitas Bawah
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
● Hb : 14.6 g/dl (11.7 – 15.5 g/dl)
● HT : 42.8 % (35 – 47 %)
● Eritrosit : 5.0 x 106/µL (3.8 – 5.2 x 106/µL)
● Leukosit : 18.150 / µL (4000 – 11.000 / µL)
● Trombosit : 267.000/µL (154.000 – 442.000 / µL)
Metabolik
● KGDS : 91 mg/dl (<140 mg/dl)
Fungsi Hati
● Bilirubin total : 0.68 mg/dl (0.3-1 mg/dl)
● Bilirubin direk : 0.10 mg/dl (< 0.25 mg/dl)
● AST (SGOT) : 16 U/I (<40 U/I)
● ALT (SGPT) : 16 U/I (<40 U/I)
Fungsi Ginjal
● Ureum : 21 mg/dl (20-40 mg/dl)
● Kreatinin : 0.68 mg/dl (0.6-1.1 mg/dl)
45
5. RENCANA TINDAKAN
● Tindakan : FESS
● Anesthesi : GA-ETT
● PS-ASA :1
● Posisi : Supinasi
● Pernapasan : Ventilator
B5 (Bowel)
● Abdomen : Soepel
● Peristaltik : (+) Normal
● Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
● Oedem : (-)
20 % = 611 cc
30 % = 916,5 cc
Durasi Operatif
● Lama Anestesi= 10.55 – Selesai WIB
● Lama Operasi = 11.14 – 12.43 WIB
Teknik Anastesi : GA - ETT
● Premedikasi : Fentanyl + Midazolam
Induksi Propofol → O2→ Relaxant → Oxygenasi
Intubasi : ETT 7.0 Cuff (+)
Maintenance : Isoflurance + O2
8. POST OPERASI
● Operasi berakhir pukul : 12.43 WIB
● Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
● Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
PERAWATAN POST OPERASI
● Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.
48
DAFTAR PUSTAKA
10. Ballenger. J. J., Infeksi Sinus Paranasal. Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 13 (1). Jakarta : Binaputra Aksara. 1994; hal
: 232 – 41.
11. Adam. Sinusitis. 2008. Http://www.adam.about.com [diakses tanggal 15
Juli 2014]
12. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.
Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 15 Juli 2014]
13. Rukmini S, Herawat S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.
Jakarta: EGC; 2000. 26-48
14. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung,Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. 2-9
15. Chyuan HS. Baloon Sinuplasty. 2008. Http://www.entsurgery.com.sg
[Diakses
tanggal 15 Juli 2014]
16. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,
1990.p49 – 270.
17. Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
18. Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi.
EGC. Jakarta. pp:229-231