Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan


mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan
yang mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi
pengeluaran finansial masyarakat. Sinusitis dibagi menjadi kelompok akut dan
kronik. Secara anatomi, sinus maksilaris, berada di pertengahan antara hidung dan
rongga mulut dan merupakan lokasi yang rentan terinvasi oleh organisme patogen
lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut. Masalah gigi seperti penyakit
pada periodontal dan lesi periapikal dilaporkan menyebabkan 58% sampai 78%
penebalan mukosa sinus maksilaris.

Data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2003 menyebutkan bahwa


penyakit hidung dan sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.

Sinusitis maksilaris akut dapat disebabkan oleh rhinitis akut, infeksi faring
seperti faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta
Ml, M2, M3 (dentogen). Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab
penting sinusitis. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi
rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis
dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi
rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal
mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan
limfe.

Terdapat sejumlah konsensus, guidelines dan position papers yang


mencakup epidemiologi, diagnosis dan penatalaksanaan sinusitis yang mulai
berkembang. Pada tahun 2005 European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps (EP3OS) pertama kali dipublikasikan, dipelopori oleh European
Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI) dan diterima oleh
European Rhinology Society. Pada tahun 2007, EPOS mengalami revisi seiring

1
dengan meningkatnya perkembangan baru pada patofisiologi, diagnosis dan
penatalaksanaan sinusitis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FUNGSI SINUS PARANASAL


A. ANATOMI SINUS PARANASAL

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulag-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga


hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan


fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.

3
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah :

a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke
dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui
infundibulum yang sempit.
d. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

 Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempuyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang.

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan


dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi
dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.

4
Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal,
yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.

 Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior.

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang


tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak
diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya
di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya
lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina
basalis.

Di bagian terdepan sinus etmoid aterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi snus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

5
 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. ukuranya
adalah 2 cm, tingginya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-
7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os
sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus sfenoid.

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan


kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Gambar 1: Anatomi sinus paranasal (potongan koronal dan potongan sagital)

6
 Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anaterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteo-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.

Gambar 2: Kompleks osteomeatal

 System Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya.
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum
etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang
berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis,
dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada

7
sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada
sekret di rongga hidung.

B. FUNGSI SINUS PARANASAL


Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuk sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain:
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelmbaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah
karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan
rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa
jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan
organ-organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurani berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
ini dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinis
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang

8
efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu prduksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasu karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.2. DEFINISI

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pan sinusitis.

Sinusitis dentogen merupakan suatu peradangan membran mukosa yang


dapat mengenai satu ataupun beberapa sinus paranasal yang biasanya di sebabkan
oleh infeksi pada gigi. Adapun sinus maksila disebut juga antrum Highmore,
letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus,
disebut sinusitis dentogen.

2.3. ETIOLOGI

Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung


(rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen
walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma,
berenang atau menyelam.

Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan


anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, sumbatan kompleks ostio-meatal
(KOM) dan rinitis alergi. Rinosinusitis ini sering bermula dari infeksi virus pada
selesma, yang kemudian karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi

9
bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian
atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan yang lebih jarang lagi
fraktur dan tumor.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara


dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama dapat
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

2.4. PATOFISIOLOGI

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan


lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.

Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan


faktor utama berkembangnya sinusitis. Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui
dua cara, yaitu: Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di
dalam mukosa sinus maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah
ostium dan berarti menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini akan
mengakibatkan sinus mudah mengalami infeksi. Kuman dapat menyebar secara
langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma apikal atau kantong
periodontal gigi ke sinus maksila.

Patofisiologi sinusitis adalah sebagai berikut: Inflamasi mukosa hidung


menyebabkan pembengkakan (udem) dan eksudasi, yang mengakibatkan
obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan gangguan ventilasi dan
drainase, resorbsi oksigen yang ada di rongga sinus, kemudian terjadi hipoksia
(oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif), selanjutnya diikuti
permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat kemudian transudasi,
peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia, akhirnya terjadi retensi
sekresi di sinus ataupun pertumbuhan kuman. Organ-organ yang membentuk
KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Kondisi

10
ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
mmedia baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
semakin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan
operasi.

Kejadian sinusitis akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi
bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan
lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan
mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi
ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan
iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini
kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses
alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu
inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas
sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya
sinusitis.

2.5. GEJALA

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa


tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post
nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seprti demam dan lesu.

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa ditempat lain
(referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau di
belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri id dahi atau

11
seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri
dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada
sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, holitosis, post-nasal drip


yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-


kadang hanya satu atau dua gejaa dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post-
nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorokan, gangguan telinga akibat
sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-
bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat
dan sulit diobati.

2.6. KLASIFIKASI

Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila,
sinusitis ethmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Namun, Secara klinis
sinusitis dapat dikategorikan sebagai sinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari
beberapa hari sampai 4 minggu. Sinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu
sampai 3 bulan dan sinusitis kronik bila berlangsung lebih dari 3 bulan.

Tetapi apabila dilihat dari gejalanya, maka sinusitis dianggap sebagai


sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang akut. Dikatakan sinusitis subakut
bila tanda-tanda radang akut sudah reda dan perubahan histologik
bersifat reversible dan disebut sinusitis kronik, bila perubahan histologik mukosa
sinus sudah irreversible, misalnya sudah berubah menjadi jaringan granulasi atau
polipoid. Sebenarnya klasifikasi yang tepat ialah berdasarkan pemeriksaan
histopatologik, akan tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan.

2.7. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.

12
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dna etmoid
anterior dna frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan
sfenoid).

Pada pemeriksaan transluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya.

Pemeriksaa penunjang yang penting adalah foto poos atau CT Scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar sepreti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat
adalah perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.

CT Scan sinus merupakan Gold Standard diagnosis sinusitis karena mampu


menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sins secara
keseluruhan dan perluasannya.namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau
pra-operasi sebagai panduan operator melakukan operasi sinus.

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resitensi dilakukan dengan mengambil


sekret dari meatus medius/superior. Untuk mendapat antibiotik yang tepat guna.
Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus


maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.

2.8. PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi sinus adalah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah


komplikasi; 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami.

13
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksilin-klavulanat atau
jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14
hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan
antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob.

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dnegan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin
diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih
kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien
menderita kelainan alergi berat.

Tindakan Operasi. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS)


merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.
Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidka membaik setelah
terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.

2.9. KOMPLIKASI

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotik.


Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita dan intrakranial.

Komplikasi Orbita. Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi


pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi
dari ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di
dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.

14
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis
seringkali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga
proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.

Komplikasi Intrakranial dari sinus paranasalis


a. Komplikasi Intrakranial dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel
udara ethmoidalis.
b. Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intrakranial.
c. Abses subdural, adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi
komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara

15
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
e. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana
infeksi.

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa:


Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila
dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru, seperti bronkitis kronis dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-bronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

2.10. PROGNOSIS

Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan


pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus
membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai
prognosis yang baik.

16
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN


Nama :MHY
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Loang Baloq

3.2. ANAMNESIS
A. Keluhan utama : ingus yang berbau
B. Riwayat penyakit sekarang
Seorang wanita usia 49 tahun datang ke poli THT RS dengan keluhan
keluar ingus dari hidung yang berbau busuk sejak 3 bulan ini. Keluhan
dirasakan terus-menerus dan tidak kunjung membaik. Keluhan disertai
dengan nyeri pada pipi kanan kiri dan rasa penuh pada wajah. Pasien juga
mengeluh hidung tersumbat terutama pada pagi hari.
Tiga bulan sebelumnya pasien mengeluh sakit gigi pada gigi geraham
bagian kanan dan kiri atas. Pasien memiliki riwayat gigi berlubang pada gigi
geraham sebelah kanan dan kiri atas sejak empat bulan yang lalu tetapi belum
berobat lebih lanjut ke dokter gigi.
Pasien mengaku sebelumnya tidak kemasukan benda asing ke dalam
hidungnya. Tidak ada riwayat pilek dan bersin-bersin sebelumnya. Riwayat
demam disangkal. Riwayat batuk dan pilek berulang disangkal.
C. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami hal serupa dahulunya.
D. Riwayat penyakit keluarga
Pasien juga mengaku di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan
yang serupa seperti pasien.

17
E. Riwayat alergi dan pengobatan
Pasien mengatakan tidak memiliki alergi terhadapa obat maupun
makanan tertentu. Pasien pernah mengkonsumsi obat warung untuk
meredakan sakit giginya, tapi belum pernah melakukan pengobatan untuk
mengatasi keluhan saat ini. Pasien mengaku tidak mengkonsumsi obat dalam
jangka waktu panjang.

3.3. PEMERIKSAAN
A. Status presens
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Vital sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu aksila : 36°C

B. Status lokalis
1. Telinga

Pemeriksaan Kanan Kiri


Daun Telinga N N
Lapang, serumen Lapang, serumen
Liang telinga
(-) (-)
Discharge - -
Membran Timpani Intake, RC (+) Intake, RC (+)
Tumor - -
Mastoid N N
Tes Pendengaran
 Weber
Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
 Rinne
 Schwabach

2. Hidung

Pemeriksaan Kanan Kiri

18
Hidung Luar N N
Kavum Nasi Sempit Sempit
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Discharge Mukopurulen Mukopurulen
Mukosa Hiperemi Hiperemi
Tumor - -
Konka Kongesti Kongesti
Sinus Nyeri tekan S. Maksila Nyeri tekan S. Maksila
Koana N N
Naso Endoskopi - -

3. Tenggorok

Pemerksaan Hasil
Dispneu -
Sianosis -
Mukosa Merah muda
Stridor -
Suara N
T1/T1
Detritus (-/-)
Tonsil
Kripte (-/-)
Merah muda (ka/ki)
Dinding Belakang PND (+), hipremis

4. Laring
Pemeriksaan laring tidak dievaluasi
5. Kelenjar limfe leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-)

3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada pemeriksaan penunjang diusulkan untuk melakukan foto rontgen
posisi Waters’.

19
3.5. DIAGNOSIS
A. Diagnosi Banding
- Sinusitis maksila akut dektra sinitra ec dentogen
B. Diagnosis Kerja
- Sinusitis maksila kronis dektra sinitra ec dentogen

3.6. PENATALAKSANAAN
A. Non-Medikamentosa
1. Pemberian informasi mengenai penyakit, penyebab, dan prognosis
penyakit yang diderita pasien
2. Menyarankan berobat ke dokter gigi
B. Medikamentosa
1. Cefixim 2x1
2. Tremenza 3x1
3. Methilprednisolon 2x8 mg
4. Bedah sinus perlu dipertimbangkan

3.7. PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Bonam
Ad fuctionam : Bonam

20
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien ini adalah sinusitis maksilaris dekstra sinistra et causa
dentogen, yang ditegakkan dari anamnesis, yaitu keluar ingus dari hidung dengan
berbau busuk, nyeri pada pipi dan rasa penuh pada wajah yang sudah dirasakan dejak
tiga bulan yang lalu. Pasien juga mengaku empat bulan yang lalu pasien mengalami
gigi berlubang pada gigi graham bagian kanan kiri atas dan belum berobat lebih
lanjut ke dokter gigi. Pada pasien ini juga dikatakan kronis karena keluhan terjadi
sudah tiga bulan. Pada pemeriksaan fisik hidung luar didapatkan nyeri pada daerah
pipi kanan kiri dan nyeri tekan pada sinus maksila kanan kiri. Selain itu juga
ditemukan sekret mukopurulen yang keluar dari hidung pasien.

Untuk lebih memastikan gejala yang terjadi dilakukan pemeriksaan penunjang


yaitu foto rontgen posisi Water’s.

Penatalaksanaan yang diberikan berupa penatalaksanaan non-medikamentosa


dan medikamentosa. Penatalaksanaan non-medikamentosa berupa pemberian
informasi tentang penyakit yang sedang dialami pasien, serta penyebab dan
prognosis penyakitnya kepada pasien dan pasien disarankan untuk berobat ke dokter
gigi untuk pengobatan masalah pada gigi pasien. Penatalaksanaan medikamentosa
berupa farmakoterapi, diberikan sefixim 2x1, tremenza 3x1, methilprednisolon 2x8
mg, dan dipertimbangkan untuk melakukan bedah sinus.

21
BAB V

PENUTUP

Sinusitis merupakan suatu inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal,
disertai dua atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu pada hidung (nasal
blockage/obstruction/congestion) atau nasal discharge (anterior/posterior nasal
drip) ditambah nyeri fasial dan penurunan/hilangnya daya penciuman. Pada pasien
ini diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada pasien ini ditemukan keluhan berupa keluar ingus dari hidung kiri
dengan berbau busuk, nyeri pada pipi dan rasa penuh pada wajah. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan nyeri tekan pada hidung dan pipi sebelah kanan kiri. Pada foto
rontgen posisi Waters’.

Penatalaksanaan yang diberikan berupa penatalaksanaan non-medikamentosa


dan medikamentosa. Penatalaksanaan non-medikamentosa berupa pemberian
informasi tentang penyakit yang sedang dialami pasien, serta penyebab dan
prognosis penyakitnya kepada pasien dan pasien disarankan untuk berobat ke dokter
gigi untuk pengobatan masalah pada gigi pasien. Penatalaksanaan medikamentosa
berupa farmakoterapi, diberikan sefixim 2x1, tremenza 3x1, methilprednisolon 2x8
mg, dan dipertimbangkan untuk melakukan bedah sinus.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adam,Boies, Higler. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. EGC. Jakarta.

Damayanti dan Endang. 2012. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor.
Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 7, Balai Penerbit FK
UI, Jakarta, 122 – 126.

Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2012. Sinusitis. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor.


Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 7. Balai Penerbit FK
UI. Jakarta. Hal 127-131

23

Anda mungkin juga menyukai