Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Fistula oroantral merupakan suatu saluran yang menghubungkan rongga


dasar sinus maksila dengan rongga mulut. Fistula oroantral ini merupakan suatu
komplikasi akibat tindakan pencabutan gigi molar 1, 2 atau premolar 2. Selain itu,
dapat juga diakibatkan oleh trauma iatrogenik, infeksi, tumor ganas, osteomyelitis
dan sifilis.1
Sinus maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi
premolar dan molar atas. Bila terjadi infeksi atau kondisi patologis lainnya berupa
kista radikuler atau granuloma periapikal pada ujung akar gigi dapat
menyebabkan terjadinya penipisan tulang dasar sinus maksila. Setelah dilakukan
ekstraksi gigi premolar dan molar atas dapat menyebabkan terjadinya fistula
oroantral sehingga kuman dari rongga mulut dapat masuk ke dalam sinus yang
menimbulkan terjadinya sinusitis maksila.1
Pada dasar sinus maksila terdapat tiga jenis fistula yaitu fistula oronasal,
oroantral, dan oroantronasal. Fistula oroantral dapat diklasifikasikan berdasarkan
ukurannya, yaitu ukuran kecil (kurang dari 2 mm), ukuran sedang (3-5 mm), dan
ukuran besar (lebih dari 5 mm). Pada ukuran kecil (kurang 2 mm) cenderung akan
menutup dengan sendirinya, tetapi bila dalam waktu tiga minggu tidak terjadi
penutupan maka perlu dilakukan tindakan operasi.2
Gejala yang ditimbulkan berupa sekret purulen melewati fistula yang
berasal dari rongga sinus maksila dan pada saat minum pasien merasa ada cairan
yang masuk ke dalam hidung melewati fistula.3
Pemeriksaan radiologi berupa foto polos panoramik berguna untuk melihat
keadaan akar gigi sehingga setelah tindakan ekstraksi gigi tidak terjadi fistula
oroantral. Pada tomografi komputer (CT Scan) ditemukan diskontinuitas dinding
dasar sinus maksila, tampak adanya perselubungan opak di sinus maksila, dan
atrofi fokal alveolar. Atrofi tulang alveolar terlihat di segmen yang berdekatan
dengan fistula.2
1

Berpedoman pada ukuran fistula oroantral dapat ditentukan teknik


menutup fistula. Bila ukuran kurang dari 2 mm dilakukan observasi selama tiga
minggu, bila tidak terjadi penutupan fistula oroantral secara spontan dapat
dilakukan tindakan penjahitan mukosa atau teknik jabir alveolaris. Ukuran 3 4
mm dilakukan penutupan fistula oroantral dengan teknik buccal flap. Ukuran
lebih dari 5 mm dilakukan penutupan fistula oroantral dengan teknik palatal flap
atau buccal fat pad flap (BFP).2
Pencegahan untuk terjadinya fistula oroantral dapat dilakukan, misalnya
apabila hal tersebut terjadi dan segera diketahui, kemudian dilakukan tatalaksana
dengan cepat dan benar, maka komplikasinya dapat dihindari.1

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL
2.1. Anatomi Sinus Paranasal
Terdapat empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid, serta sinus sfenoid kanan dan kiri.4

Gambar 1. Gambaran anatomi sinus paranasal.


Terdapat empat pasang sinus paranasal pada tiap sisi hidung.5

Sinus Paranasal
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada tiap-tiap sisi hidung, yaitu: 1)
Sinus frontal kanan dan kiri; 2) Sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior); 3) Sinus maksila kanan dan kiri (antrum Highmore), dan; 4) Sinus
Sfenoid kanan dan kiri.6 Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang
mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret
disalurkan melalui ostium masing-masing ke dalam rongga hidung. Pada orang
sehat, sinus terutama berisi udara.7
Sinus maksila rudimenter, atau Highmores antrum umumnya telah ditemukan
pada saat lahir. Sinus paranasal lainnya timbul pada masa kanak-kanak dalam
tulang

wajah.

Tulang-tulang

ini

bertumbuh

melebihi

kranium

yang

menyangganya. Dengan teresopsinya bagian tengah yang keras, maka membran


mukosa hidung menjadi tersedot ke dalam rongga-rongga yang baru terbentuk
ini.7
3

Gambar 2. Sinus Paranasal.5

2.1.1. Sinus Maksila


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.4
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita, dan dinding inferiornya ialah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berasa di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid.4
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C),

dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2)
Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila
terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari
gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.4
Anatomi sinus maksila berhubungan dengan rongga mulut karena dasar
sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas. Sehingga pada
tindakan pencabutan gigi, dapat menyebabkan terbentuknya saluran terbuka yang
menghubungkan rongga sinus dan rongga mulut. Apabila saluran terbuka tersebut
membentuk epitalisasi maka dapat terbentuk fistula yang disebut fistula oroantral
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Oral Antrum Fistula (OAF). Selain
disebabkan karena tindakan pencabutan gigi, fistula oroantral juga dapat
disebabkan oleh faktor lain seperti trauma (non-iatrogenik dan iatrogenik), tumor
(jinak dan ganas), osteomielitis, maupun infeksi.8

Gambar 3. Potongan koronal rongga hidung.


Kondisi normal ostium sinus maksila ditampilkan pada sisi kanan dan sebuah
ostium aksesori di sisi kiri.9

2.1.2. Sinus Frontal


Sinus Frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8 10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.4
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang.4
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan
dalamnya 2 cm.4 Volumenya rata-rata 67 ml.6 Sinus frontal biasanya bersekatsekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau
lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.4
Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.4
2.1.3. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4 5
cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior.4
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang

bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior.4
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya
lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina
basalis.4
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.4
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.4
2.1.4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan
nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga
sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.4
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.4

2.2. Fisiologi
2.2.1. Kompleks Ostio-Meatal (KOM)
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus usinatus,
resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.4,7
2.2.2. Sistem Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya.4,7
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari
sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum
tentu ada sekret di rongga hidung.4

Gambar 4. Fisiologi Sinus Paranasal.


Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya sistem klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal.5

2.2.3. Fungsi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.4
Beberapa teori dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain: 1)
Sebagai pengatur kondisi udara; 2) Sebagai penahan suhu; 3) Membantu
keseimbangan kepala; 4) Membantu resonansi suara; 5) Peredam perubahan
tekanan udara, dan; 6) Membantu produksi mucus untuk membersihkan rongga
hidung.4
2.2.3.1. Sebagai Pengatur Kondisi Udara (Air-Conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruangan tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena
ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga
hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk

pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung.4
2.2.3.2. Sebagai Penahan Suhu
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organorgan yang dilindungi.4
2.2.3.3. Membantu Keseimbangan Kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.4
2.2.3.4. Membantu Resonansi Suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewanhewan tingkat rendah.4
2.2.3.5. Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.4
2.2.3.6. Membantu Produksi Mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat paling strategis.4
10

BAB III
FISTULA OROANTRAL
3.1. Definisi dan Klasifikasi
Fistula oroantral atau yang sering disebut dengan Oral Antrum Fistulas (OAF)
merupakan epitelisasi dari saluran antara rongga mulut dan sinus maksila, dimana
terbentuk saluran patologis antara epitel selapis gepeng (epitel skuamosa) dengan
epitel berlapis semu bersilia (pseudo-stratified columnar epithelium with cilia).9
Berdasarkan lokasi fistula, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1). Alveolosinusal; 2). Palatal-sinusal; 3). Vestibulo-sinusal.10 Berdasarkan ukuran fistula,
dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Ukuran kecil (kurang dari 2 mm); 2) Ukuran
sedang (3 5 mm); 3) Ukuran besar (lebih dari 5 mm).1
3.2. Etiologi
Fistula oroantral merupakan lubang/saluran antara prosesus alveolaris dan
sinus maksila yang tidak menutup dan mengalami epitelisasi. Fistula oroantral
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1).Pencabutan gigi posterior
rahang atas terutama pada molar pertama, molar kedua, dan premolar kedua
dimana akarnya dekat dengan antrum; 2).Trauma iatrogenik seperti penggunaan
elevator dengan tekanan yang berlebihan ke arah superior pada tindakan
pengambilan fragmen atau ujung akar molar atau premolar, pemasangan gigi
implan tiruan yang tidak benar, dan pengunaan kuret yang tidak benar sehingga
menyebabkan terjadinya penembusan lapisan epitel yang tipis dari sinus maksila;
3).Bentuk dinding dasar antrum yang berlekuk mengikuti kontur akar gigi
sehingga tulang dasar antrum menjadi tipis; 4).Adanya jaringan patologis pada
ujung akar gigi, seperti kista radikuler, granuloma periapikal, serta adanya suatu
neoplasma/ tumor. Radang pada daerah periapikal mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada struktur tulang di daerah infeksi sehingga tulang menjadi rapuh;

11

5).Enukleasi atau pengeluaran kista yang besar pada maksila, dan; 6).Fraktur pada
segmen prosesus alveolaris rahang atas yang besar.10
Fistula oroantral yang terjadi segera setelah tindakan pencabutan gigi, apabila
kecil dan segera dilakukan perawatan dengan cepat dan benar dapat sembuh
spontan karena adanya proses pembekuan darah yang mampu menutup saluran
yang terbuka.1
3.3. Patogenesis
Dengan adanya fistula oroantral, saluran dari rongga mulut menuju sinus
maksila terbuka secara permanen. Hal ini memungkinkan berjalannya mikroflora
dari rongga mulut ke sinus maksila dan dapat menyebabkan terjadinya
peradangan/infeksi yang dapat berkembang menjadi sinusitis maksila dan sinusitis
dentogen.1
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
sistem klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal.
Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius yaitu epitel berlapis semu bersilia
(pseudo-stratified columnar epithelium with cilia). Lapisan mukosa yang
melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan
lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk
dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.4,6,9
Selain peningkatan sekresi mukus karena organisme yang masuk, faktor
lain yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis pada fistula oroantral
yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus
akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia
berkurang dan sel epitel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang
kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang
baik pada sinus.5,7
Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (edema) dan

12

eksudasi, yang mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan


gangguan ventilasi dan drenase, resorbsi oksigen yang ada di rongga sinus,
kemudian terjadi hipoksia (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif),
selanjutnya diikuti permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat
kemudian transudasi, peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia,
akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus ataupun pertumbuhan kuman.6,7

Gambar 5. Pergerakan silia dalam drenase cairan sinus.5

Gambar 6. Perubahan silia pada sinusitis.5

13

Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya


berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus,
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada
sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus,
kuman anaerob jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.1,2,3

Gambar 7. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi.8

Reaksi peradangan

berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.

Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan


mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding
pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi
pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan
produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni
sebagai nanah, tetapi mukopurulen.4

14

Fistula
Fistula Oroantral
Oroantral

Saluran
Saluran (rongga
(rongga mulut
mulut dan
dan rongga
rongga
sinus)
sinus) terbuka
terbuka permanen
permanen

Mikroorganisme
Mikroorganisme dari
dari rongga
rongga mulut
mulut masuk
masuk ke
ke rongga
rongga sinus
sinus

Inflamasi
Inflamasi mukosa
mukosa hidung
hidung

Peningkatan sekresi mukus

Obstruksi Ostium

SINUSITIS
MAKSILA

Gambar 8. Mekanisme fistula oroantral menyebabkan sinusitis maksila.14

3.4. Patofisiologi
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor
utama berkembangnya sinusitis. Hal ini membuat rongga sinus menjadi media
yang baik untuk pertumbuhan kuman, sehingga fistula oroantral dapat
menyebabkan sinusitis maksila. Sinusitis maksila yang kronik juga dapat
disebabkan oleh sinusitis dentogen.4
Fistula oroantral merupakan lubang/saluran antara prosesus alveolaris dan
sinus maksila yang tidak menutup dan mengalami epitelisasi. Pencabutan gigi
posterior rahang atas terutama pada molar pertama, molar kedua, dan premolar
kedua dimana akarnya dekat dengan antrum dapat menyebabkan terjadinya fistula
oroantral. Biasanya pasien datang dengan keluhan keluarnya cairan dari hidung
pada saat minum atau berkumur. Trauma iatrogenik misalnya penggunaan elevator
dengan tekanan yang berlebihan ke arah superior pada tindakan pengambilan
fragmen atau ujung akar molar atau premolar, pemasangan gigi implan tiruan
yang tidak benar, dan pengunaan kuret yang tidak benar sehingga menyebabkan
15

terjadinya penembusan lapisan epitel yang tipis dari sinus maksila juga dapat
menyebabkan fistula oroantral. Secara anatomi, tulang dasar antrum yang tipis
juga merupakan faktor predisposisi terjadinya fistula oroantral.1,10
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas,
sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar
gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas
seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah
menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.4
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan
pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu
dilakukan irigasi sinus maksila.4

Pencabutan
Pencabutan gigi
gigi posterior
posterior rahang
rahang atas
atas
Trauma
Trauma iatrogenik
iatrogenik
Trauma
Trauma non-iatrogenik
non-iatrogenik
Fraktur
Fraktur
segmen prosesus alveolaris rahang atas

Fistula Oroantral
Jaringan
Jaringan patologis
patologis ujung
ujung akar
akar gigi
gigi
Enukleasi kista
Enukleasi
kista maksila
maksila yang
yang besar
besar

Gambar 9. Patofisiologi Fistula Oroantral 10

3.5. Manifestasi Klinis


Tanda dan gambaran klinis yang terdapat pada fistula oroantral, antara lain: 1)
Adanya pembukaan atau lubang antara rongga mulut dengan antrum; 2)
Keluarnya sekret purulen berbau busuk melewati fistula yang berasal dari rongga
sinus maksila; 3) Regurgitasi cairan sewaktu minum atau kumur-kumur dari
rongga mulut ke rongga hidung melalui fistula, terkadang cairan dapat keluar
melalui lubang hidung; 4) Biasanya pasien tidak mengeluh sakit, namun apabila
16

telah terjadi infeksi pada sinus, maka ditemukan gambaran klinis sinusitis di mana
pasien mengeluh nyeri pada wajah.1,11
3.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis fistula oroantral dapat ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa seringkali didapatkan riwayat
pencabutan atau ekstraksi gigi terutama gigi molar dan premolar rahang atas.
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus atau cairan dari hidung yang
berbau busuk, ketika minum atau berkumur cairan masuk ke dalam hidung, dan
nyeri pada pipi apabila telah terjadi sinusitis maksila.11,12
Pada pemeriksaan rongga mulut, didapatkan adanya lubang/saluran terbuka
pada rahang atas. Fistula oroantral juga dapat diketahui dengan melakukan tes tiup
dengan cara pasien meniup dengan hidung tertutup dan mulut terbuka. Pada
keadaan telah terjadi fistula oroantral, akan terdengar hembusan udara melalui
daerah yang mengalami kerusakan, dan pada soket gigi akan terlihat gelembung
udara seperti busa.12

Gambar 10. Gambaran klinis fistula oroantral.11

Setelah mendiagnosis adanya fistula oroantral, tentukan ukuran atau panjang


fistula. Apabila tidak ada tulang yang menempel pada akar, panjang fistula

17

diperkirakan 2 mm, namun apabila sebagian tulang terangkat pada saat ekstraksi
gigi, panjang fistula dapat diukur. Penentuan ukuran fistula berguna untuk
menentukan tatalaksana.13
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah foto polos panoramik,
dapat terlihat hubungan gigi dengan sinus, besar atau kecilya fistula, lokasi benda
asing dalam sinus seperti gigi, akar gigi, atau fragmen tulang yang terdorong
masuk karena trauma atau karena pencabutan gigi. Pada CT Scan, terlihat
diskontinuitas dasar sinus, opasifikasi sinus, atrofi fokal alveolar, penyakit
periodontal yang terkait, mukosa antrum menebal dan terdapat defek pada dasar
tulang.10 Pada foto sinus paranasal posisi Waters, sinusitis maksila akut
memperlihatkan adanya perkabutan dan peningkatan kepadatan pada rongga
sinus, sedangkan sinusitis maksila kronik memperlihatkan osifikasi penuh pada
rongga sinus yang menandakan rongga sinus telah penuh terisi dengan jaringan
hiperplastik, sekret, polip, atau kombinasi keduanya.1,13

Gambar 11. Fistula oroantral pada foto polos panoramik.13

Pemeriksaan penunjang lain seperti CT Scan dapat mendukung penegakan


diagnosis fistula oroantral, menegakkan diagnosis sinusitis maksila, dan
menentukan ukuran atau panjangnya fistula. Pada pemeriksaan CT Scan fistula
oroantral, tampak adanya diskontinuitas dari dasar sinus maksila sehingga
terbentuk celah yang menghubungkan rongga sinus dengan rongga mulut.
Keuntungan dipilihnya CT Scan sebagai pemeriksaan penunjang antara lain: 1)
Dengan menggunakan CT Scan dapat melihat defek yang kecil di lantai sinus
18

maksila; 2) Dengan potongan koronal CT Scan dapat dilihat secara sejajar


panjangnya fistula; 3) Dapat melihat defek yang kecil menggunakan CT Scan
dengan potongan 3-5 mm.1

Gambar 12. CT Scan pada fistula oroantral. Tampak gambaran opak dan
erosi pada dinding tulang sinus maksila bagian bawah.1

Gambar 13. Potongan koronal CT Scan. Tampak fistula oroantral pada


sinus maksila kanan (tanda panah putih).14

3.7. Diagnosa Banding


Lubang pada rongga mulut sering disebut perforasi sinus maksila. Namun
perforasi sinus maksila adalah sebutan lain untuk fistula oroantral. Untuk
membuktikan fistula oroantral, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
melihat apakah akar gigi menembus dasar sinus maksila. Keluarnya sekret/ingus
purulen dapat ditemukan pada sinusitis maksila dan sinusitis dentogen.4
19

3.8. Penatalaksanaan
Pilihan terapi pada fistula oroantral tergantung ukuran fistula, epitalisasi
fistula, ada atau tidaknya infeksi.10 Apabila ukuran fistula kecil (<3 mm) tanpa
epitalisasi dan belum terjadi infeksi, maka kemungkinan dapat sembuh secara
spontan dan diobservasi selama 3 minggu. Setelah 3 minggu dan fistula tidak
menutup, maka dilakukan penjahitan mukosa.1 Namun bila ukuran fistula besar
(>5 mm) dan tidak sembuh spontan dalam waktu 3 minggu yang disebut chronic
oroantral fistula, maka dilakukan ditindakan pembedahan yaitu penutupan fistula
dengan pembuatan flap.13
Apabila terdapat infeksi pada sinus (sinusitis maksila), maka infeksi harus
diobati terlebih dahulu sebelum tindakan pembedahan untuk mencegah gangguan
drenase yang dapat memperlambat proses penyembuhan. Aslam Pengobatan sinusitis
dapat

dilakukan

dengan

medikamentosa

ataupun

non-medikamentosa.

Medikamentosa meliputi pemberian antibiotik spektrum luas, dekongestan, steroid


topikal/intranasal, obat cuci hidung (NaCl 0.9%), dan antihistamin jika alergi. 15
Non-medikamentosa meliputi tindakan irigasi atau drenase dengan Caldwell-Luc
procedure with nasal antrostomy, atau Functional Endoscopic Sinus Surgery
(FESS).10
Tindakan pembedahan fistula oroantral dapat dilakukan dengan beberapa
teknik, antara lain: 1) Vestibular flap atau buccal flap; 2) Palatal flap; 3) Buccal
Fat Pad Flap (BFP). Masing-masing teknik memiliki kekurangan dan kelebihan.
Teknik pembedahan ditentukan oleh ukuran dan lokasi atau tempat fistula.
Apabila ukuran fistula sedang (3 4 mm), maka dapat dipilih teknik buccal flap,
sedangkan pada ukuran fistula yang besar (5 mm) dapat menggunakan teknik
patalal flap atau buccal fat pad flap (BFP). Apabila lokasi fistula berada di
anterior, maka lebih baik digunakan teknik palatal flap, sedangkan apabila lokasi
fistula di posterior maka dipilih teknik buccal fat pad flap (BFP).1,10
Penentuan teknik flap perlu dipertimbangkan agar suplai darah tetap memadai
untuk menghindari terjadinya nekrosis dan hilangnya jaringan oleh karena
20

hilangnya sirkulasi darah yang sempurna. Flap harus bebas dari semua perlekatan
periosteal agar dapat berotasi atau berubah letak untuk menutupi kerusakan yang
terjadi tanpa membuat tekanan pada jaringan. Flap harus didesain agar garis
sutura tidak diletakkan di daerah perforasi dan semua margin yang diperlukan
dapat diperoleh dan dipertahankan dengan cara penjahitan.1,13
Teknik buccal flap merupakan prosedur yang sederhana. Buccal flap dapat
dikombinasikan dengan Caldwell-Luc procedure yang digunakan sebagai jalan
masuk ke sinus maksila bila diperlukan. Kelebihan teknik ini adalah mudah di
mobilisasi, keterampilan yang minimum, dan waktu yang diperlukan lebih
singkat. Sedangkan kekurangannya adalah penyatuan jaringan pada buccal flap
kurang baik, sehingga hanya dianjurkan untuk fistula oroantral berukuran kecil. 12
Teknik palatal flap memberikan keuntungan yaitu suplai darah yang baik ke
jaringan lokal, morbiditasnya baik, sedikit ada gangguan berbicara, dan angka
keberhasilannya 96%, sedangkan kerugiannya proses terbentuknya epitelisasi
palatum durum relatif cukup lama.1 Teknik buccal fat pad flap (BFP) memberikan
keuntungan yaitu suplai darah yang baik ke jaringan lokal, morbiditasnya baik,
penyembuhannya/pembentukan epitalisasinya cepat yaitu 2 3 minggu,
sedangkan kerugiannya adalah dapat terjadi rekurensi meskipun jarang.4,11,14
Setelah operasi, pasien diberikan antibiotik, analgetik, kortikosteroid dan
anjuran untuk tidak menyikat gigi atau mengganggu luka bekas operasi dengan
lidah.15 Follow up pasien dilakukan secara teratur hingga 1 bulan post operasi dan
hasil operasi fistula oroantral yang menutup dengan baik ditandai dengan tidak
adanya keluar cairan yang berasal dari rongga hidung ke rongga mulut melalui
celah.1

21

Gambar 14. Teknik pembedahan Buccal Fat Pad Flap (BFP).1,11,12

3.9. Komplikasi
Fistula oroantral yang tidak segera ditangani, sehingga lubang yang terbentuk
bertahan lebih lama, maka saluran akan mengalami epitelisasi, daerah rongga
mulut seringkali mengalami proliferasi jaringan granulasi atau jaringan ikat dan
jika berlanjut dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan dipercepat pada
22

pencabutan gigi yang mengalami infeksi periapikal. Penanganan yang tidak benar,
menyebabkan infeksi dapat menyebar ke arah sinus melaui fistula oroantaral
sehingga dapat menyebabkan terjadinya sinusitis maksila.1,9,15
Jika fistula oroantral tidak diobati, bagian ini akan dilapisi dengan epitelium
(kulit), sehingga fistula oroantral merupakan traktus yang terepitelisasi yang
menghubungkan sinus maksila ke rongga mulut dan traktus ini akhirnya menjadi
permanen.14,16
Apabila fistula oroantral lama tidak ditutup maka akan menjadi fistula
oroantral yang kronik (chronic oroantral fistula). Pada kondisi ini, dapat terjadi
sinusitis maksila kronik yang berkembang menjadi sinusitis dentogen. Sinusitis
dentogen ditandai dengan ingus purulent dan napas berbau busuk.4
3.10.

Prognosis

Prognosa pada kasus fistula oroantral tergantung dari ketepatan dan kecepatan
penanganannya. Apabila penanganan dilakukan segera setelah terjadinya fistula,
maka prognosisnya baik. Prognosis dengan tindakan pembedahan juga dikatakan
baik, sebagai pencegahan terjadinya sinusitis maksila akut maupun kronik.1

23

BAB IV
RESUME
Fistula oroantral adalah lubang antara prosesus alveolaris dan sinus maksila
yang tidak mengalami penutupan dan mengalami epitelisasi. Fistula oroantral
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1).Pencabutan gigi posterior
rahang atas terutama pada molar pertama, molar kedua, dan premolar kedua
dimana akarnya dekat dengan antrum; 2).Trauma iatrogenik seperti penggunaan
elevator dengan tekanan yang berlebihan ke arah superior pada tindakan
pengambilan fragmen atau ujung akar molar atau premolar, pemasangan gigi
implan tiruan yang tidak benar, dan pengunaan kuret yang tidak benar sehingga
menyebabkan terjadinya penembusan lapisan epitel yang tipis dari sinus maksila;
3).Bentuk dinding dasar antrum yang berlekuk mengikuti kontur akar gigi
sehingga tulang dasar antrum menjadi tipis; 4).Adanya jaringan patologis pada
ujung akar gigi, seperti kista radikuler, granuloma periapikal, serta adanya suatu
neoplasma/ tumor. Radang pada daerah periapikal mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada struktur tulang di daerah infeksi sehingga tulang menjadi rapuh;
5).Enukleasi atau pengeluaran kista yang besar pada maksila, dan; 6).Fraktur pada
segmen prosesus alveolaris rahang atas yang besar.10
Tanda dan gejala klinis yang tampak dari fistula oroantral adalah adanya
pembukaan atau lubang antara rongga mulut dengan antrum. Lubang yang
terbentuk sering mengalami infeksi, adanya pembentukan jaringan ikat atau
jaringan granulasi dan sering terjadi drenase mukopurulen. Pasien tidak
mengeluhkan adanya rasa sakit, kecuali terjadi infeksi akut pada sinus. Pada saat
minum atau berkumur, pasien mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari
hidung.1 Selain itu, dapat juga dilakukan tes tiup (tes Valsava) dengan cara pasien
meniup dengan hidung tertutup dan mulut terbuka. Bila terdapat fistula oroantral,
akan terdengar hembusan udara melalui daerah yang mengalami kerusakan, dan
pada soket gigi akan terlihat gelembung udara seperti busa.2,11
Perbaikan fistula ini sesegera mungkin untuk mencegah penyebaran infeksi dan
ketidaknyamanan pasien. Mengatasi infeksi sebelum dilakukan perbaikan
24

merupakan hal yang paling dianjurkan. Dekongestan dan antibotik mungkin


diperlukan. Insisi yang lebih lebar pada sinus atau antrostomi nasal mungkin
dibutuhkan untuk drenase infeksi yang lebih cepat dan mendukung penyembuhan.
Pembuangan

dan

kuretase

fistula

juga

membantu

penyembuhan

dan

menghilangkan infeksi.11,15
Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk penutupan oroantral
fistula. Pemilihan metode dibuat berdasarkan cara yang telah dilakukan dalam
setiap kasus tertentu, dengan mengobservasi prinsip dasar pembedahan yang
diperlukan. Daerah kerusakan dan adanya suatu fistula oroantral dapat dilakukan
penutupan dengan pembuatan flap. Penentuan desain flap perlu dipertimbangkan
agar suplai darah tetap memadai untuk menghindari terjadinya nekrosis dan
hilangnya jaringan oleh karena hilangnya sirkulasi darah yang sempurna.10,11
Secara umum, tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah agar tidak
terjadi fistula oroantral adalah dengan melakukan foto polos panoramik terlebih
dahulu sebelum tindakan pencabutan gigi untuk mengetahui posisi akar gigi
posterior rahang atas yang letaknya dekat dengan antrum dan untuk mengetahui
ada atau tidaknya penyakit periapikal pada jaringan disekitar ujung akar gigi.10,11
Fistula oroantral yang tidak segera ditangani, sehingga lubang yang terbentuk
bertahan lebih lama, akan mengalami epitelisasi.14 Daerah rongga mulut seringkali
mengalami proliferasi jaringan granulasi atau jaringan ikat dan jika berlanjut
dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan dipercepat pada pencabutan gigi yang
mengalami infeksi periapikal. Penanganan yang tidak benar, menyebabkan infeksi
dapat menyebar ke arah sinus melalui fistula oroantral sehingga dapat
menyebabkan terjadinya sinusitis maksila.8
Jika fistula oroantral tidak diobati, bagian ini akan dilapisi dengan epitel
(kulit), sehingga fistula oroantral merupakan traktus yang terepitelisasi yang
menghubungkan sinus maksila ke rongga mulut yang kemudian traktus ini
menjadi permanen.8,10
Pilihan terapi pada fistula oroantral tergantung ukuran fistula, epitalisasi fistula,
ada atau tidaknya infeksi.10 Apabila ukuran fistula kecil (<3 mm) tanpa epitalisasi
dan belum terjadi infeksi, maka kemungkinan dapat sembuh secara spontan dan
25

diobservasi selama 3 minggu. Setelah 3 minggu dan fistula tidak menutup, maka
dilakukan penjahitan mukosa atau teknik jabir alveolaris.1 Namun bila ukuran
fistula besar (>5 mm) dan tidak sembuh spontan dalam waktu 3 minggu yang
disebut chronic oroantral fistula, maka dilakukan ditindakan pembedahan yaitu
penutupan fistula dengan pembuatan flap.13
Tindakan pembedahan fistula oroantral dapat dilakukan dengan beberapa
teknik, antara lain: 1) Vestibular flap atau buccal flap; 2) Palatal flap; 3) Buccal
Fat Pad Flap (BFP). Teknik pembedahan ditentukan oleh ukuran dan lokasi atau
tempat fistula. Apabila ukuran fistula sedang (3 4 mm), maka dapat dipilih
teknik buccal flap, sedangkan pada ukuran fistula yang besar (5 mm) dapat
menggunakan teknik patalal flap atau buccal fat pad flap (BFP). Apabila lokasi
fistula berada di anterior, maka lebih baik digunakan teknik palatal flap,
sedangkan apabila lokasi fistula di posterior maka dipilih teknik buccal fat pad
flap (BFP).1,10 Masing-masing teknik memiliki kekurangan dan kelebihan.10
Prognosa pada kasus fistula oroantral tergantung dari ketepatan dan kecepatan
penanganannya. Apabila penanganan dilakukan segera setelah terjadinya fistula,
maka prognosisnya baik. Prognosis dengan tindakan pembedahan juga dikatakan
baik, sebagai pencegahan terjadinya sinusitis maksila akut maupun kronik.1

26

Anda mungkin juga menyukai