Anda di halaman 1dari 9

Faktor-Faktor yang Memperparah Terjadinya Lesi Endo Perio

Kelainan yang berhubungan dengan lesi endodontik dan meluas sampai menjadi lesi
periodontik merupakan kejadian paling sering dijumpai pada masalah gigi dan mulut. Lesi
endo-perio merupakan masalah paling umum yang dihadapi manusia (Grossman, 2014).
Etiologi utama dari lesi endo-perio ini adalah akibat adanya patogen baik hidup maupun tidak
hidup yang dapat menginfeksi pulpa serta jaringan periodontal. Selain adanya patogen,
terdapat beberapa faktor yang dapat berkontribusi untuk meningkatkan keparahan terjadinya
lesi endo-perio, yaitu: (Rotstein, 2006)
a. Perawatan endodontik yang kurang memadahi
Prosedur dan teknik perawatan endodontik yang tepat merupakan kunci
penting bagi keberhasilan terapi. Oleh karena itu prosedur membersihkan, membentuk
serta mengisi saluran akar dengan baik dapat meningkatkan keberhasilan perawatan
endodontik yang dilakukan. Perawatan endodontik yang buruk dapat menyebabkan
infeksi berulang yang dapat menyebabkan kegagalan terapi. Kegagalan perawatan
endodontik yang terjadi harus dapat terdiagnosa apa penyebab kegagalan yang terjadi
serta segera dikoreksi kembali untuk mencegah infeksi meluas.
b. Kebocoran koronal
Kebocoran koronal istilah yang digunakan saat ada keebocoran bakteri dari
lingkungan rongga mulut masuk melalui margin restorasi dan mencapai ke pengisian
saluran akar gigi. Penelitian menunjukan bahwa faktor ini merupakan penyebab
penting terjadinya kegagalan perawatan endodontik. Saluran akar juga dapat
terkontaminasi kembali oleh mikroorganisme akibat penempatan restorasi koronal
yang terlambat atau akibat fraktur restorasi koronal ataupun gigi tersebut. Menurut
Ray&Trope (1995), defek restorasi dan pengisian saluran akar tidak adekuat
memiliki insiden kegagalan yang tinggi daripada gigi dengan pengisian saluran akar
yang tidak adekuat namun dengan restorasi yang adekuat. Gigi dengan pengisian dan
restorasi yang adekuat memilki persentase kegagalan sebesar 9%, sedangkan pada
gigi baik dengan pengisian dan restorasi yang defek memiliki persentase kegagalan
sebesar 82%.
Restorasi koronal merupakan barrier pertama untuk melindungi dari
kebocoran koronal dan kontaminasi bakteri bagi saluran akar, kurangnya penutupan
koronal dapat membahayakan prognosis gigi. Pada penelitian in vitro yang dilakukan,
gutta percha yang dibiarkan menutup sampai ke dasar kamar pulpa setelah pengissian
saluran akar tidak menunujukan seal yang lebih baik. oleh karena itu
direkomendasikan memotong kelebihan gutta percha sampai ke orifis dan dasar kanal
pulpa diutup dengan bahan restoratif dan dapat berfungsi sebagai barrier tambahan
untuk melindungi saluran akar yang telah diisi. Sangat penting untuk memastikan
saluran akar dilindungi dengan obturasi endodontik yang baik serta dengan restorassi
koronal yang juga baik. Namun, bahkan dengan bahan restorasi yang populaer juga
tidak selalu dapat mencegah terjadinya kebocoran koronal. Pada mahkota penuh yang
disemen dan memiliki ikatan dengan dentin pun dapat terjadi kebocoran koronal.
Beberapa literatur menyarankan beberapa faktor yang dapat meningkatkan prognosis
jangka panjang perawatan endodontik seperti penggunaan isolasi rubber dam yang
harus dilakukan saat preparasi dan sementasi, irigasi dan medikasi selama perawatan
saluran akar, menempatkan restorasi sesegera mungkin setelah perawatan saluran akar
dan retreatment harus dilakukan segera untuk gigi dengan penutupan koronal yang
terkompromi selama lebih dari 3 bulan.
c. Trauma
Trauma dapat terjadi akibat pukulan yang tidak disengaja, preparasi kavitas
dan prosedur restoratif lainnya, separasi gigi, perawatan orthodontk, serta kebiasaan
buruk. Fraktur mahkota serta fraktur akar dapat menyebabkan terjadinya pulpitis
irreversibel, nekrosis serta penyakit periapikal lainnya. Perubahan selular pulpa atau
periodontium akibat trauma dapat menyebabkan resorpsi internal atau eksternal yang
berhubungan dengan perforasi akar. Trauma yang terjadi jika dikombinasikan dengan
adanya inflamasi gingiva, maka dapat terrbentuk poket periodontal yang dalam serta
keterlibatan furkasi. Jika terdapat lateral kanal besar yang terhubung dengan poket,
maka pulpa dapat terbuka dan terhubung dengan kavitas oral sehingga dapat
menyebabkan terjadinya masalah periodontal serta pulpitis.
d. Resorpsi
Resorbsi akar merupakan kondisi yang perhubungan dengan proses fisiologi
maupun patologi yang mengakibatkan kehilangan dentin, sementum dan atau tulang.
Resorpsi dapat terjadi pada pulpa dan periodontal, serta lokasi resorpsi dapat terjadi di
dalam saluran akar (resorpsi internal) atau pada permukaan luar akar (resorpsi
eksternal). Pada resorpsi terdapat hubungan saluran akar dan periodontium yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dan meningkatkan kemungkinan terjadinya lesi
periradikular. Prognosis perawatan endodontik pada kasus resorpsi akan baik apabila
resorpsi didiagnosa lebih awal. Dapat disimpulkan bahwa prognosis perawatan
endodontik yang dilakukan pada kasus resorpsi akan tergantung pada tingkat
keparahan lesi resorpsi.

e. Perforasi
Perforasi akar merupakan komplikasi yang tidak diinginkan yang dapat terjadi
pada lesi periodontal. Ketika terjadi perforasi akar, akan ada hubungan antara sistem
saluran akar dengan jaringan periradikular yang dapat menurunkan prognosis
perawatan. Perforasi akar dapat terjadi akibat dari lesi karies yang meluas, resorpsi,
atau dari kesalahan operator selama intrumentasi saluran akar atau saat preparasi
pasak. Prognosis perawatan perforasi akar akan tergantung dari ukuran, lokasi, waktu
diagnosis dan memulai perawatan, derajat keparahan kerusakan periodontal dan dari
kemampuan sealing serta biokompatibilitas material reparatif yang digunakan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kesuksesan perawatan tergantung dapat kecepatan
menutup perforasi yang dialkukan dan kontrol infeksi yang baik. beberapa material
yang direkomendasikan untuk menutup perforasi yaitu MTA, Super EBA, Cavit,
IRM, glass ionomer cements, komposit dan amalgam.
f. Developmental Malformations
Gigi dengan malformasi perkembangan dapat menyebabkan kecenderungan
kegagalan merespon perawatan. Malformasi yang sering terjadi yaitu adanya saluran
akar aksesoris di koronal dan tengah akar yang kadang tidak terbersihkan dengan baik
serta tidak terisi saat perawatan saluran akar. Adanya saluran akar tambahan juga
sering menyebabkan terjadinya missing canal yang juga tidak dapat dibersihkan dan
diisi dengan baik saat melakukan perawatan saluran akar. Malformasi lainnya adalah
apabila gigi tidak terletak pada lengkung rahang yang seharusnya sehingga dapat
menyebabkan food impaction dan trauma oklusal yang juga akan memperparah
kejadian penyakit periodontal. Berikutnya adalah adanya radicular groove pada
insisivus sentral atau lateral rahang atas. Jika attachment gingiva rusak dan groove
terkontaminasi maka dapat terbentuk poket infraboni yang dapat menjadi tempat
berkembang biak bakteri biofilm dan menyebabkan perkembangan penyakit
periodontal lebih lanjut. Radicular grooves dengan poket dapat bertahan dengan baik,
sehingga perawatan scalling dan root planning saja tidak akan cukup. Perawatan yang
dapat dilakukan yaitu dengan mengebur groove, menempatkan tulang pengganti dan
perawatan bedah pada jaringan lunak dan tulang yang tersisa. Karena walaupun
penyebab akut masalah ini dapat diringankan, sumber dari inflamasi akut maupun
kronik harus dilakukan dengan pendekatan bedah. Pada gigi dengan prognosis yang
buruk, maka dapat dilakukan ekstraksi gigi.

Kondisi lainnya yang dapat memperparah terjadinya lesi endodontik-periodontik


adalah adanya penyakit sistemik pada pasien. Beberapa penyakit sistemik yang dapat
memperparah yaitu pada kondisi HIV/AIDS, hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes
mellitus, penyakit hati serta pada penyakit-penyakit lain yang mempengaruhi kekebalan
tubuh seseorang (Sasaki, 2016). Berikut ini akan dibahsa mengenai beberapa penyakit
sistemik yang dapat memperparah kondisi lesi endodontik-periodontik, yaitu:
1. HIV/AIDS
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan retrovirus yang dapat
menyebabkan sindrom immunodefisiensi (AIDS) dengan menginfeksi sel dendrit,
makrofag, dan CD4+ limfosit. Jalur transmisi sehingga seseorang mendapatkan
retrovirus ini meliputi kontak seksual dengan seseorang yang terinfeksi, pemakaian
jarum dengan seseorang yang terinfeksi sehingga darah menjadi terkontaminasi, dan
transmisi perinatal yaitu masa dimulai pada usia kehamilan 7 bulan hingga 1 minggu
setelah melahirkan.
Pada pasien dengan HIV dapat terjadi depresi sistem imun yang sangat
mempengaruhi perubahan perkembangan dan perbaikan lesi periradikular dari
endodontk. Manifestasi klinis dalam rongga mulut yang terlihat pada pasien dengan
HIV yang dihubungkan dengan infeksi bakteri adalah hadirnya kondisi patologis
periodontal. seperti linear gingival erythema, necrotizing periodontal diseases dan
accelerated progression of chronic periodontitis. Pada pasien HIV, jika ada
mikroorganisme yang berkontak dengan jaringan periradikular, dengan kondisi
depresi sistem imun pasien akan memudahkan terjadinya periodontitis apikalis hasil
penyebaran dari saluran akar yang terinfeksi. Perawatan endodontik pada periodontitis
apikalis memiliki prognosis buruk pada pasien dengan kelainan sistem imun, seperti
pada HIV pasien akan memiliki jumlah sel T yang lebih sedikit, sedangkan sel T
memiliki peran penting dalam patogenesis dan penyembuhan dari periodontitis
apikalis (Fontes, 2014).

2. Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah di atas batas normal
dimana tekanan sistolik >140 mm Hg atau diastolik >90 mm Hg ataupun keduanya.
World Health Organization menyebutkan bahwa hipertensi atau tinggginya terkanan
darah, dapat menyebabkan mortalitas akibat gangguan kardiovaskular. Meningkatnya
tekanan darah mudah untuk dideteksi dan juga dirawat, namun apabila tidak segera
dilakukan perawatan maka dapat menyebabkan komplikasi. Dokter gigi tidak secara
langsung mendiagnosis hipertensi, namun juga bertanggung jawab untuk memberikan
info tentang staus hipertensi pasien ataupun memberikan saran medis dan merujuk
pasien ke sejawat dokter spesialis. Manifestasi oral hipertensi biasanya berhubungan
dengan obat antihipertensi yang dikonsumsi pasien dan menimbulkan efek seperti
mulut kering, pembesaran gingiva, pembengkakan dan nyeri pada kelenjar saliva,
perubahan sensai rasa, parestesi serta periodontitis. Hipertensi merupakan kondisi
komorbiditas yang paling sering pada pasien periapikal abses (24,6%), lanjutan dari
infeksi / inflamasi endodontik (Kumar, 2012).
Perdarahan gingiva merupakan salah satu gejala klinis yang dijumpai pada
pasien hipertensi. Pada banyak kasus hipertensi, terjadi pelebaran pembuluh limfatik
dan ruang intersisial pada mukosa gingiva yang cenderung persisten dibandingkan
saat tekanan darah normal. Pada kasus inflamasi gingiva patologis pada pasien
hipertensi terjadi proses inflamasi akut dan keterlibatan jaringan dalam jumlah besar.
Hipertensi akan mengakibatkan tekanan darah yang berlebih dan akan menginduksi
perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan dapat mempersempit diameter lumen
pembuluh darah mikro sehingga terjadi iskemik jaringan dan periodontal.
Sebaliknya periodontitis juga merupkan faktor risiko terjadinya hipertensi.
Pada kondisi periodontitis, bakteri akan menghancurkan epitel poket periodontal dan
baries yang mengisolasi jaringan dan menyebabkannya masuk ke dalam sirkulasi baik
endotoksin maupun eksotoksin. Selain itu juga dapat terjadi invasi langsung dinding
pembuluh oleh patogen rongga mulut yang memicu reaksi inflamasi dan
menyebabkan disfungsi endotelium. Periodontitis dapat menyebabkan meningkatnya
mediator inflamasi lokal yang menyebabkan inflamasi endotel kronis yang dapat
berkontribusi untuk terjadinya vaskospasme, thrombosis dan penyakit kardiovaskular
(Paizan, 2014).

3. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan kelainan metabolik kompleks dengan
defisiensi sekresi insulin akibat disfungsi sel β pankreas dan atau resistensi insulin
pada hati dan otot. Diabetes terjadi pada lebih dari 9% populasi dewasa dan
mempunyai dampak dramatik pada bidang kesehatan seperti tingginya morbiditas dan
mortalitas pada inividu yang terkena. Diabetes dapat dibedakan menjadi 2 kategori
yaitu insulindependent diabetes mellitus (IDDM) atau DM tipe 1 dan non-insulin
dependent diabetes mellitus (NIDDM) atau DM tipe 2. DM tipe satu merupakan hasil
dari destruksi sel β autoimun yang dimediasi oleh selular yang biasanya menyebabkan
kehilangan insulin total. Sebaliknya padda DM tipe 2 diakibatkan karena resistensi
insulin yang dikombinasikan dengan kegagalan untuk memproduksi tambahan insulin
yang cukup untuk mengkompensasi resistensi tersebut. DM tipe 2 juga sering
dikaitkan dengan obesitas yang berkontribusi terhadap resitensi insulin akibat
meningkatnya sirkulasi asam lemak bebas dari adipose, dimana asam lemak bebas ini
akan menghambat uptake glukosa, sintesis glikogen dan glikolisis (Segura, 2012)
Terdapat enam komplikasi diabetes yang sering terjadi yaitu retinopathi,
nefropathi, neuropathi, penyakit makrovaskular, gangguan penyembuhan luka dan
penyakit periodontal (Carranza, 2015). Selain komplikasi tersebut, di rongga mulut
juga terdapat beberapa manifestasi yang sering dijumpai pada pasien diabetes yaitu
gingivitis, periodontitis, kehilangan perlekatan gingiva, mulut kering, lidah terbakar,
resorbsi tulang hingga gigi tanggal. Diabetes dikonfirmasi menjadi faktor risiko utama
pada penyakit periodontal. Risiko periodontitis meningkat seiring dengan
meningkatkan level glikemik pasien dan menjadi kunci penting untuk menentukan
peningkatan risiko. Menurut US National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES) III, orang dewasa dengan kadar HbA1c >9% memiliki prevalensi yang
lebih tinggi untuk terjadinya periodontitis dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes
setelah dilakukan control terhadap usia, suku, pendidikan, jenis kelamin dan
kebiasaan merokok (Preshaw, 2012).
Bender et al (1963) melaporkan pada pasien DM yang tidak terkontrol lesi
periapikal menetap selama perawatan dibanding pada pasien non DM radiolusensi
periapikal dapat sembuh dengan baik. Falk et al (1989) menyatakan baik secara klinis
maupun radiografis terdapat prevalensi lesi periapikal yang lebih tinggi pada diabetes
tipe 2. Pasien wanita dengan durasi diabetes yang lebih lama menunjukan lebih
banyak gigi yang telah dirawat endodontic dengan lesi periapikal dibandingkan
wanita dengan durasi diabetes yang lebih singkat atau tanpa diabetes. Penelitian Ueta
et al (1993) menjelaskan prevalensi infeksi odontogenic pada pasien DM memiliki
persentase keparahan infeksi pulpa maupun periodontal yang lebih tinggi (24%)
namun memiliki persentase infeksi moderat yang lebih rendah (2.3%), sehingga dapat
disimpulkan jika DM merupakan predisposisi infeksi endodontik.
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan sistem imun dan juga berhubungan
dengan gangguan penyembuhan luka.DM juga merupakan predisposisi dari infeksi
rongga mulut dan meningkatkan faktor risiko periodontitis, serta meningkatkan
kegagalan terapi endodontik. Berikut ini akan dibahas beberapa hal yang terjadi pada
pada pasien diabetes sehingga meningkatkan risiko terjadinya periodontitis (Daniel,
2012):

a. Efek Diabetes terhadap Bakteri di Periodontal


Pada pasien diabetes insulin-dependent dengan periodontitis dilaporkan
memiliki flora subgingiva yang terdiri dari Capnocytophaga, vibrios anaerobik,
dan spesies Actinomyces sedangkan pada pasien non diabetes Porphyromonas
gingivalis, Prevotella intermedia, dan Actinomycetemcomitans ditemukan dalam
jumlah rendah. Peningkatan kadar gula darah pada cairan krevikular pada pasien
diabetes dapat menjadi media bagi pertumbuhan beberapa spesies mikroba. Cairan
gingiva pada pasien diabetes mengandung adenosine monophosphate (cAMP)
yang lebih rendah dibandingkan dengan non diabetes. cAMP sendiri dapat
menjadi mekanisme pertahanan bagi beberapa penyakit periodontal.
b. Defek Respon Host
Pada pasien diabetes mellitus terjadi gangguan neutrofil yang dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya periodontitis. Hiperglikemi dapat memicu
berkurangnya kemotaksis, fagositosis dan aktivitas intraselular bakteri pada pasien
diabetes. Oliver et al (1993) menunjukan jumlah besar sel polimorfonuklear pada
cairan gingiva pada pasien diabetes yang tidak terkontrol. Pada diabetes juvenile,
terjadi penurunan terhadap stimulus kemotaksis, kemotaksis menjadi lemah
sebagai hasil dari perubahan biokimia tubuh. Hawley (1976) menyatakan bahwa
asam lemak pada konsentrasi tinggi diproduksi sehingga menghambat kemotaksis
yang dapat memasilitasi perkembangan penyakit periodontal.
c. Defek Fagositosis
Melemahnya fagositosis neutrofil ditemukan pada pasien dengan diabetes
yang tidak terkontrol. PMNs yang diisolasi pada pasien dengan ketoasidosis
menunjukan kemampuan yang buruk dalam memfagosit Staphiloccoccus.
Berkurangnya hidroobik neutrofil ditunjukan bersamaan dengan berkurangnya
aktivitas fagosit. Defek pada fungsi PMN dapat menyebabkan potensi infeksi
bakteri pada pasien diabetes. Spekulasi kemungkinan yang terjadi yaitu karena
produksi antibodi yang berkurang, gangguan aki bakterisidal dalam darah, dan
adanya deposit lemak yang mengakibatkan kurangnya vaskularisasi pada
pembuluh darah kecil.

d. Respon Inflamasi
Monosit darah perifer yang diisolasi dari penyakit periodontal mensekresi
prostaglandin E2 lebih banyak. Saphira et al (1994) mengamati bahwa respon
hipersekretori prostaglandin E2 pada lipopolisakarida di pasien dengan tahap awal
perkembangan penyakit.
e. Defek kolagen
Golub et al (1982) dalam penelitiannya tentang diabetes menemukan
lemahnya produksi komponen matriks tulang oleh osteoblast, berkurangnya
sintesis kolagen gingiva dan fibroblas ligamen periodontal dan meningkatnya
aktivitas kolagenase. Kolagen dari pasien diabetes dilaporkan lebih mudah larut
dan resisten pada proses pencernaan, secara langsung mempengaruhi degradasi
dan remodeling. Meningkatnya aktivitas kolagenitik cairan krevikular dan
berkurangnya sintesis fibroblast kolagen ditemukan pada pasien diabetes.
Administrasi insulin mencegah onset dan memperbaiki defek produksi kolagen.
f. Perubahan vaskular
Perubahan vaskular biasanya berhubungan dengan predisposisi genetik,
durasi jangka panjang, dan kontrol hiperglikemik yang buruk. Kapiler gingiva
pada pasien diabetes memiliki ketebalan membran yang lebih tebal. Kondisi
hiperglikemik menyebabkan protein dasar membrane vaskular mengalami
glikolisis enzimatik.
g. Gangguan penyembuhan luka
Gangguan penyembuhan luka yang buruk merupakan hal yang paling
sering dijumpai pada pasien diabetes dengan karakteristik berkurangnya jumlah
kolagen dan berkurangnya tensile strentgh. Defek penyembuhan luka mungkin
terjadi pada kolagen glikosilasi non enzimatik dan protein lain selama periode
hiperglikemi. Gangguan sekresi growth factor mungkin merupakan mekanisme
kunci yang mempengaruhi penyembuhan luka pada diabetes. Monosit merupakan
sel utama yang mempengaruhi debridemen luka dan sekresi growth factor.
Perubahan monosit dari sel reparatif regeneratif menjadi fenotif inflamasi
mungkin dapat mewakili mekanisme gangguan penyembuhan luka dan respon
inflamasi pada pasien diabetes.

DAFTAR PUSTAKA

Bender, I., Seltzer, S., Freedland, J., 1963, The relationship of systemic diseases to
endodontic
failures and treatment procedures, Oral Surg Oral Med Oral Pathol.
Carranza, F.A., Newman, M.G., Takel, H.H., dan Klokkevold, P.R.,
2015,  Carranza's Clinical
Periodontology 12th Edition, Canada: Elsevier.
Daniel, R., 2012, Diabetes and periodontal disease, Journal of Pharmacy.
Falk, H., Hugoson, A., Thorstensson, H., 1989, Number of teeth, prevalence of caries and
periapical lesions in insulin-dependent diabetics, Scand J Dent Res.
Fontes, T. V., 2014, Periradicular lesions in HIV-infected patients attending the faculty of
dentistry: clinical findings, socio-demographics status, habits and laboratory data –
seeking an association, Clinics.
Golub, L. M., Nicoll, G. A., Iacono, V.J., Ramamurthy, N.S., 1982, In vivo crevicular
leucocytes response to be a chemotactic, Infect Immun.
Hawley, H.P., 1976, The effect of long chain free fatty acids on human neutrophils, function
and structure, Lab Invest.
Kumar, P., 2012, Oral manifestations in hypertensive patients: A clinical study, Journal of
Oral
and Maxillofacial Pathology.
Oliver, R., 1993, Enzyme activity in crevicular fluid in relation to metabolic control of
diabetes
and other periodontal risk factors, J Periodontol.
Paizan, M. L. M., 2014, Is There an Association between Periodontitis and Hypertension?,
Current Cardiology Reviews.
Ray, H., Trope M., 1995, Periapical status of endodontically treated teeth in relation to the
technical quality of the root filling and the coronal restoration. Int Endod J.
Rotstein, I., Simon, J., 2006, The endo-perio lesion: a critical appraisal of the disease
condition,
Endodontic Topics Journal.
Sasaki, H., Hirai, K., Martins, C., Furusho, H., Battaglino, R., Hashimoto, K., 2016,
Interrelationship between Periapical Lesion and Systemic Metabolic Disorders, Curr
Pharm.
Segura-Egea, J., 2012, Diabetes mellitus, periapical inflammation and endodontic treatment
outcome, Med Oral Patol Oral Cir Bucal.
Shapira, L., 1994, Involvement of protein tyrosinkinase in lipopolysaccharide induced. TNFA
and ILIB production by human monocytes, J Immunol.
Ueta, E., Osaki, T., Yoneda, K., Yamamoto, T., 1993, Prevalence of diabetes mellitus in
odontogenic infections and oral candidiasis: an analysis of neutrophil suppression, J
Oral Pathol Med.

Anda mungkin juga menyukai