Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Dokter gigi sering kali menghadapi beberapa situasi yang tidak diinginkan
selama perawatan saluran akar yang mempengaruhi prognosis kasus yang sedang
dikerjakan. Salah satu situasi seperti itu adalah perforasi furkasi. Perforasi akar
dan/atau ruang pulpa merupakan salah satu komplikasi utama pada perawatan
endodontik dimana sebanyak 9,6% kegagalan perawatan endodontik disebabkan oleh
hal tersebut. Perforasi furkasi sering kali merupakan kesalahan iatrogenik yang terjadi
saat pembukaan akses karena arah bur yang tidak benar atau saat mencari orifis di
dasar kamar pulpa. Kegagalan untuk mendeteksi dan merawat perforasi akan
menyebabkan reaksi inflamasi kronis sehingga mungkin menyebabkan hilangnya
jaringan periodontal, resorpsi tulang dan akhirnya kehilangan gigi. Masalah ini harus
diatasi sedini mungkin bila terjadi agar tidak memperburuk prognosis perawatan. bio
Silva dkk. menyatakan bahwa perforasi furkasi memiliki prognosis yang baik
bila didiagnosis dengan tepat dan dan dirawat dengan bahan yang memiliki kapasitas
penyegelan dan biokompatibilitas yang baik. Selain itu, bahan tersebut harus
memberikan stimulus untuk pembentukan jaringan keras di daerah perforasi, radiopak
dan non-resorbable. Berbagai material telah dilaporkan dapat digunakan pada
perawatan perforasi furkasi seperti amalgam, IRM, gutta-percha, kalsium hidroksida,
Cavit, hidroksiapatit, GIC, Super EBA dan yang terakhir Agregat trioksida mineral
(MTA). MTA diperkenalkan pada tahun 1993 oleh Torabinejad sebagai bahan pengisi
dengan sifat kimia, fisik dan biologi yang lebih unggul daripada bahan lain.
MTA memiliki pH 12,5 setelah setting, memberikan pelepasan kalsium secara
konstan dan memiliki aktivitas anti bakteri yang baik.Sifat-sifat tersebut merupakan
sifat-sifat penting yang dibutuhkan dalam perawatan kasus gigi dengan resorpsi dan
perforasi. Oleh karena itu, MTA dianggap sebagai bahan ideal untuk perbaikan

1
perforasi furkasi yang memiliki prognosis dipertanyakan. Banyak klinisi yang telah
melaporkan kasus perawatan perforasi furkasi menggunakan MTA dengan tingkat
keberhasilan klinis dan radiografi yang baik. Namun, hal tersebut tentunya sangat
dipengaruhi oleh rencana perawatan dan penatalaksanaan yang baik dari operator
sendiri. Makalah ini akan menyajikan bagaimana penatalaksanaan kasus perforasi
furkasi secara baik, beserta beberapa laporan kasusnya.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana penatalaksanaan perforasi furkasi dengan menggunakan bahan


MTA?

1.3. Tujuan Makalah

Untuk mengetahui penatalaksanaan perforasi furkasi dengan menggunakan


bahan MTA

1.4. Manfaat Makalah


- Memberikan informasi mengenai penatalaksanaan perforasi furkasi
dengan menggunakan bahan MTA
- Menjadi referensi tambahan mengenai perkembangan teknik endodontik
dalam bidang konservasi gigi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Perforasi Akar

Perforasi akar adalah komunikasi buatan yang menghubungkan sistem saluran


akar ke jaringan periodontal atau ke rongga mulut. Kejadian ini terjadi pada sekitar
2-12% gigi yang dirawat secara endodontik. Penyebab umumnya adalah iatrogenik
sebagai akibat kesalahan posisi bur selama pembukaan akses ataupun saat mencari
orifis. Preparasi pasak yang tidak tepat juga adalah penyebab iatrogenik lain yang
umum terjadi. Penyebab non-iatrogenik, termasuk resorpsi akar dan karies.
Infeksi bakteri yang berasal dari saluran akar akan melewati darah perforasi dan
mengkontaminasi jaringan periodontal sehingga mencegah penyembuhan dan
menimbulkan inflamasi ketika jaringan dan selanjutnya terjadi nyeri, supurasi yang
menyebabkan gigi dapat mengalami abses. Ketika infeksi telah terjadi di situs
perforasi tersebut, prognosis perawatannya menjadi buruk dan mungkin harus
dipertimbangkan untuk melakukan ekstraksi gigi yang terkena. Namun jika
didiagnosis secara dini dan tepat, penatalaksanaan perforasi dapat membuat gigi
bertahan dalam jangka waktu yang panjang.

II.1.1. Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Dalam Perawatan Lesi Perforasi


Berhasil atau tidaknya perawatan perforasi akar tergantung apakah situs
perforasi ditutup dengan baik sehingga infeksi bakteri dapat dicegah atau
dihilangkan. Sejumlah faktor termasuk waktu terjadinya perforasi, ukuran, bentuk
dan juga lokasi perforasi mempengaruhi potensi untuk mengendalikan infeksi di
situs perforasi tersebut.
a) Waktu
Banyak penelitian eksperimental yang telah menunjukkan bahwa waktu
adalah faktor penentu yang paling penting dalam menentukan hasil perawatan.
Semakin dini perforasi dideteksi, maka semakin baik prognosisnya. Lantz &

3
Persson melakukan penelitian dengan membuat perforasi akar pada gigi anjing
yang sebagian dirawat segera dan sebagian lagi dirawat setelah beberapa waktu
penundaan. Hasilnya menunjukkan respon penyembuhan yang baik terbukti
terjadi saat perforasi disegel segera. Seltzer dkk. (20) merawat 22 kasus
perforasi pada monyet pada interval 0 sampai 10 bulan pasca perforasi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan kerusakan jaringan yang paling
parah terjadi pada gigi dimana perawatan yang dilakukan tertunda. Namun,
Benenati dkk. (23) mengamati bahwa penundaan perawatan perforasi tidak
mempengaruhi prognosis, selama daerah perforasi tetap aseptik, tetapi untuk
memperkecil potensi kemunculannya infeksi, penelitian ini menyimpulkan
bahwa waktu terbaik untuk memperbaiki perforasi akar adalah segera setelah
terjadinya.

b) Ukuran
Perforasi berukuran besar mungkin tidak merespons perbaikan sebaik
yang kecil. Himel dkk. mengevaluasi efek tiga material pada penyembuhan
perforasi dan menemukan bahwa gigi dengan perforasi lebih kecil
menunjukkan respon penyembuhan yang lebih baik. Perforasi besar
cenderung terjadi selama prosedur, saat bur digunakan secara agresif,
menyebabkan lebih banyak luka traumatis pada jaringan di sekitarnya.
Selanjutnya, perforasi besar rentan mengalami penutupan yang tidak
sempurna, sehingga memungkinkan iritasi bakteri terus menerus pada daerah
perforasi.

c) Lokasi
Perforasi yang relatif dekat dengan puncak tulang dan attachment epitel
sangatlah kritis karena dapat menyebabkannya kontaminasi bakteri dari
lingkungan rongga mulut melalui sulkus gingiva. Peradangan yang terus-
menerus pada situs perforasi terjadi sebagai akibat masuknya iritan secara

4
terus menerus dari saku gusi. Perforasi ini memiliki prognosis yang buruk dari
aspek periodontal, dan perawatan dari bagian dalam saluran akar biasanya
agak sulit memperbaiki kondisinya.
Perforasi daerah furkasi gigi juga sangat krusial. Proses inflamasi pada
daerah tersebut bisa menyebabkan kerusakan jaringan periodontal cepat dan
luas yang pada akhirnya mengarah ke komunikasi permanen dengan rongga
mulut dan lesi supuratif yang persisten. Namun, perforasi furkasi
menunjukkan bukti penyembuhan histologis setelah berbagai periode waktu
tanpa adanya migrasi epitel ke lokasi luka.
Perforasi koronal ke tulang crestal, memiliki akses yang mudah sehingga
gigi bisa dipulihkan tanpa keterlibatan periodontal. Untuk prognosis yang
baik, gigi tersebut harus memiliki struktur gigi sehat yang cukup untuk
restorasi yang memadai. Perforasi apikal ke tulang crestal dan attachment
epitel, dianggap memiliki prognosis perawatan yang baik bila perawatan
endodontik memadai diberikan dan kanal utama dapat diakses. Pada kasus ini,
risiko keterlibatan periodontal berkurang.

II.1.2. Klasifikasi Perforasi Akar


Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil perawatan yang
dipertimbangkan di atas, klasifikasi perforasi akar berikut, yang diusulkan oleh
Fuss & Trope, dapat membantu dokter untuk memilih pengobatan strategi:
Berdasarkan waktu
 Perforasi baru – dirawat langsung atau segera setelah terjadinya kondisi
aseptik, prognosis baik
 Perforasi Lama- sebelumnya tidak dirawat dengan kemungkinan infeksi
bakteri, prognosis dipertanyakan.
Berdasarakan Ukuran

5
 Perforasi kecil (lebih kecil dari instrumen endodontik #20) - kerusakan
mekanis pada jaringan minimal dengan peluang penyegelan yang mudah,
prognosis baik.
 Perforasi besar - dengan kerusakan jaringan yang signifikan dan kesulitan
melakukan peneyegelan yang memadai, kontaminasi saliva, atau kebocoran
koronal sepanjang restorasi sementara, prognosa dipertanyakan.
Berdasarkan Lokasi
 Perforasi korona - koronal sampai ke tingkat puncak tulang dan epitel dengan
kerusakan minimal ke jaringan pendukung dan akses mudah, Prognosa baik.
 Perforasi Crestal - pada tingkat attachment epitel hingga tulang crestal,
Prognosis dipertanyakan.
 Perforasi apikal - apikal hingga tulang crestal dan attachment epitel, Prognosis
Baik.

II.2. Bahan Penutup Perforasi Furkasi

Perawatan untuk perforasi jenis ini haruslah dipertimbangkan hati-hati karena


kedekatannya dengan epithelial attachment terutama pada perforasi furkasi yang
besar yang membuat material beresiko ekstrusi ke jaringan periodontal sehingga
secara signifikan mengganggu terjadinya penyembuhan jaringan periodontal yang
diinginkan. Untuk kasus ini, disarankan memilih bahan biokompatibel dengan waktu
setting yang singkat dan sealability yang baik. Syarat ideal bahan untuk merawat
perforasi radikular adalah:

 tidak toksik dan biokompatibilitas tinggi


 tidak mudah teresorbsi
 radiopak
 bersifat bakteriostatik atau bakterisid
 memiliki kemampuan sealing yang baik
 Mampu merangsang proses osteogenesis atau sementogenesis

6
 Harga relatif terjangkau

Tidak ada bahan yang menawarkan semua sifat ini. Untuk menemukan bahan
yang ideal, banyak bahan dan teknik telah diuji selama bertahun-tahun dengan
kesuksesan bervariasi, namun bahan-bahan tersebut sering kali hanya unggul dalam
beberapa faktor saja sehingga pemilihan bahan harus terkait dengan jenis perforasi.
(sesuai indikasi).
Kalsium hidroksida tidak cocok untuk perforasi furkasi karena terjadi respon
inflamasi awal yang menyebabkan kerusakan jaringan periodontal. Bahan ini juga
cenderung melunak, hancur seiring berjalannya waktu, meninggalkan rongga dan
berpotensi membentuk jalur untuk infiltrasi bakteri. RMGIC dapat digunakan
sebagai penutup tanpa resiko terdorongnya material ke dalam. Selanjutnya, bahan
lainnya bisa ditambahkan untuk meningkatkan sealability. MTA adalah material lain
yang saat ini direkomendasikan karena sifatnya yang baik.

II.3. Mineral Trioxide Aggregate

Mineral trioxide aggregate (MTA) ditemukan oleh Dr.Torabinejad di


universitas Loma Linda pada tahun 1983. Bahan ini berbentuk bubuk yang terdiri dari
partikel-partikel halus hidrofilik yang komponen utama adalah Portland cement yang
bersifat basa kuat dengan pH awal 10,2 dan akan menjadi 12,5 yang mengeras dalam
3-4 jam setelah pencampuran. MTA dapat menciptakan suasana anti bakteri, anti
jamur dalam lingkungan alkali dan mempunyai kemampuan untuk membentuk
hidroksiapatit di atas permukaan serta menciptakan biologic seal. (Torabinejad)
Beberapa penelitian in vitro MTA telah menunjukkan kemampuan sealingnya
yang baik. Peradangan yang dihasilkan minimal atau tidak ada saat digunakan untuk
menutup perforasi pada model hewan, dan selain itu, perbaikan sementum terjadi
pada permukaan material. pH permukaan tinggi MTA kemungkinan mendukung
perbaikan dan pembentukan jaringan keras dengan cara yang sama seperti kalsium

7
hidroksida. Kerugiannya adalah waktu pengerasan yang lama sehingga membutuhkan
kunjungan berulang serta biaya bahan yang cukup besar.

II.3.1. Komposisi Mineral Trioxide Aggregate (MTA)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, MTA merupakan bahan yang


memiliki komposisi utama Portland cement, yakni tricalcium silicate, tricalcium
aluminate, tricalcium oxide yang dicampur dengan komponen-komponen lainnya
seperti yang ditunjukkan pada Tabel. MTA tersedia dalam dua tipe berdasarkan
warna yang dikenal sebagai MTA abu-abu dan putih. Perbedaan utama antara GMTA
dan WMTA adalah pada konsentrasi Al2O3, MgO dan FeO.

II.3.2. Sifat Kimia, Fisik dan Mekanik MTA

 Kekuatan tekan
Torabinejad mempelajari sifat fisik MTA dan menemukan bahwa
kekuatan tekan MTA pada 24 jam pertama adalah 40,0 MPa dan pada 21 hari
adalah 67,3 Mpa. Kekuatan tekan MTA abu-abu > MTA Putih.
 Radioopasitas
MTA memiliki radiodensitas yang sebanding dengan Zinc Oxide
Eugenol namun kurang radioopak dibandingkan Super EBA, IRM, gutta-
percha atau amalgam. MTA memiliki radioopasitas rata-rata yang memadai,
yakni setara dengan aluminium setebal 7.17 mm agar memudahkan untuk
divisualisasi secara radiografi.
 Kelarutan
MTA yang telah mengeras tidak menunjukkan tanda-tanda kelarutan,
tetapi jika air yang digunakan saat mencampurkan MTA berlebihan maka
kelarutannya akan meningkat.
 Kemampuan Adaptasi Marjinal dan Penyegelan

8
Kemampuan adaptasi marginal MTA lebih unggul dibandingkan
bahan yang lain. Torabinejad et al. menjelaskan bahwa kemampuan ini
mungkin dimiliki MTA karena bahan tersebut mengembang selama reaksi
pengerasan terutama dengan adanya lingkungan yang lembab
 Properti Antibakteri dan Antijamur
Al-Hazaimi dkkmenyatakan bahwa MTA memiliki efek antibakteri
terutama terhadap Enterococcus faecalis dan Streptococcus sanguis. Tapi,
menurut Torabinejad dkk. MTA hanya menunjukkan menunjukkan efek
terhadap bakteri fakultatif. Penulis menyimpulkan hal inilah yang
menyebabkan beberapa laporan kasus memberikan medikamen Ca(OH)2
sebelum perforasi ditutup dengan bahan MTA.
 Reaksi dengan bahan gigi lainnya
MTA tidak bereaksi atau mengganggu bahan restoratif lainnya. Saat
GIC atau resin komposit ditempatkan di atas MTA, reaksi setting dari kedua
bahan tersebut tidak terpengaruh. Namun menyatakan bahwa residu kalsium
hidroksida dapat mengganggu adaptasi MTA ke dinding dentin karena
hambatan mekanis partikel Ca(OH)2 maupun reaksi kimianya dengan MTA.
 Biokompatibilitas
Kettering dan Torabinejad membandingkan MTA dengan Super EBA
dan IRM dan menemukan bahwa MTA tidak mutagenik dan kurang
sitotoksik. Bahan ini memiliki interaksi yang baik dengan jaringan periapikal
dan periradikular. MTA memiliki efek potensial pada kemampuan sel dalam
mekanisme pelepasan kolagen. Koh et al. menyimpulkan bahwa properti
MTA menghasilkan interleukin dan juga menawarkan substrat aktif biologis
untuk sel tulang.
 Regenerasi jaringan
Torabinejad dkk. (1995) [28] menyimpulkan bahwa MTA berpotensi
untuk mengaktifkan sementoblasts dan akhirnya produksi sementum. MTA
juga memungkinkan pertumbuhan berlebih dari serat ligamen periodontal di

9
atas permukaannya. Schwartz dkk. (1999) [29] melaporkan bahwa MTA
membantu dalam eliminasi gejala klinis saat fase penyembuhan tulang. Sifat-
sifat MTA ini menunjukkan potensinya dalam regenerasi jaringan
 Mineralisasi
Myers K (1996) [2] menentukan bahwa MTA, mirip dengan kalsium
hidroksida (Ca(OH)2), menginduksi pembentukan jembatan dentin. a
Kandungan oksida trikalsium MTA berinteraksi dengan cairan jaringan dan
membentuk Ca(OH)2, sehingga menghasilkan jaringan keras serupa sesuai
dengan Ca(OH)2. Faraco dkk. menyimpulkan bahwa jembatan dentin yang
terbentuk dengan MTA relatif lebih cepat, dengan integritas struktural yang
baik dibandingkan dengan Ca(OH)2.

II.3.3. Manipulasi MTA

Torabinejad et al. menganjurkan agar rasio air bubuk untuk MTA seharusnya
3: 1 (P: W). Pencampuran bisa dilakukan di atas kertas atau pada glass pad
menggunakan spatula plastik atau logam untuk mencapai konsistensi seperti dempul.
Waktu pencampuran MTA harus kurang dari 4 menit, karena waktu pencampuran
yang terlalu lama akan menyebabkan dehidrasi pada MTA. Oleh karena itu juga,
disarankan untuk menutup adukan dengan kapas yang sedikit dibasahi sebelum bahan
diaplikasikan ke kavitas.

MTA yang bersifat hidrofilik membutuhkan kelembaban untuk


pengerasannya. Dengan adanya kelembaban selama proses pengerasan, kekuatan
lentur MTA meningkat. Karena itu, disarankan untuk menempatkannya pelet kapas
basah di atas MTA pada kunjungan pertama diikuti dengan restorasi akkhir pada
kunjungan kedua. Waktu setting yang lama adalah salah satu kelemahan MTA
karena itu tidak boleh diaplikasikan dalam 1 kunjungan. MTA dapat ditempatkan
pada lokasi yang diinginkan dengan menggunakan plugger, paper point atau alat
yang dirancang khusus untuk aplikasi MTA seperti MAP (Micro Apical Placement).

10
II.3.4. Indikasi MTA

1. Pada gigi Primer:


i. Pulp capping
ii. Pulpotomi
iii. Pengisian saluran akar
iv. Perbaikan perforasi fiksasi
v. Perbaikan resorpsi

2. Gigi Permanen:
i. Pulp capping
ii. Pulpotomi parsial
iii. Perbaikan perforasi apikal, lateral, furkasi
iv. Perbaikan resorpsi eksternal dan internal
v. Perbaikan fraktur Horizontal dan Vertikal
vi. Barrier apikal untuk gigi dengan pulpa nekrotik dan apeks terbuka

II.4. Perawatan Kasus Perforasi Furkasi dengan MTA

II.4.1. Penegakan Diagnosa

Dalam menegakkan diagnosa, dokter gigi harus mampu melakukan


pemeriksaan subjektif dan objektif sehingga diagnosa yang dihasilkan akan baik.
Pada kasus perforasi akar, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya lesi yang
berasal dari gigi.

a. Pemeriksaan subjektif
1) Keluhan utama
Pasien dengan lesi radikular biasanya mengeluhkan sakit ketika mengunyah,
adanya pembekakan dan pus pada daerah sekitar gigi.

2) Riwayat gigi

11
Pasien memiliki riwayat perawatan saluran akar namun masih merasakan sakit
yang berulang, bengkak di sekitar gigi

b. Pemeriksaan objektif
1) Pemeriksaan ekstraoral
Pada pemeriksaan ekstraoral yang perlu diperhatikan adalah
penampilan umum, warna kulit daerah sekitar kepala, kesimetrisan wajah,
pembengkakan (edema), sinus ekstraoral, pembengkakan kelenjar limfa.
2) Pemeriksaan intraoral / deteksi perforasi
Secara klinis, perforasi furkal bisa ditentukan dengan adanya pendarahan
berwarna merah terang pada lokasi. Biodentine) Apex locator dapat secara
akurat menentukan lokasi perforasi akar dan secara signifikan lebih dapat
diandalkan daripada radiografi. Setelah instrumentasi akar, dianjurkan agar
panjang kerja diverifikasi dengan alat tersebut. Apex locator akan secara
signifikan menunjukkan ukuran yang lebih pendek dari pada panjang aslinya
bila terjadi perforasi.
3) Tes pada gigi
a. Perkusi
Jika perkusi (+) kemungkinan terdapat inflamasi pada jaringan periodontal
b. Palpasi
Jika palpasi (+) kemungkinan terdapat inflamasi yang berasal dari gigi
c. Pemeriksaan periodontal
Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk mengetahui apakah lesi berasal
dari gigi atau dari jaringan periodontal dengan melakukan tes probing dan
mobility tes. Jika terdapat mobiltas gigi dan probing dalam kemungkinan
ada masalah pada periodontal

4) Pemeriksaan radiografi

12
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan utama untuk menentukan
diagnosa pada kasus endodonti. Pada kasus perforasi, pemeriksaan ini
dilakukan untuk menentukan lokasi, ukuran perforasi serta keterlibatan
jaringan lainnya seperti tulang. Karakteristik lesi perforasi adalah sebagai
berikut: (biodentine)
a. Adanya komunikasi antara kamar pulpa dengan jaringan peridontal yang
ditunjukkan oleh gambaran radiolusen pada foto rontgen
b. Kehilangan lamina dura serta terdapat lesi radiolusen pada gigi atau tulang
di daerah furkasi
c. Radiolusen pada apeks tetap meskipun sudut pengambilan foto periapikal
di ubah
Pemeriksaan secara radiografi diambil pada berbagai sudut dengan
instrumen radiopak di saluran akar dapat mengkonfirmasi adanya
perforasi akar. Namun, saat perforasi berada di bagian bukal atau palatal
akar, nilai diagnostiknya radiograf terbatas.Struktur anatomis, serta bahan
radiopak akan bertumpang tindih dengan gambaran akar, mungkin juga
mengaburkan lokasi perforasi.

II.4.2. Penatalaksanaan Perawatan Perforasi Furkasi

Pada kasus kegagalan endodontik dengan perforasi furkasi, dapat dilakukan


dengan bedah atau non bedah.

 Perawatan dengan Non Bedah

Pencapaian perawatan ini diraih dengan langkah-langkah yang bertujuan untuk


mencegah infeks pada daerah perforasi, atau jika sudah terinfeksi, diggunakan
prosedur desinfeksi dan diberikan segel yang baik untuk mencegah bakteri masuk.
Perforasi baru yang terjadi selama operasi atau prosedur endodontik diikuti oleh

13
perdarahan. Langkah pertama adalah mengendalikan pendarahan dengan tekanan atau
irigasi yang selanjutnya dilakukan penuupan yang memadai

1) Pembukaan Akses ke Daerah Perforasi


Umumnya, perforasi disadari pada saat pembuatan akses ke saluran akar,
Namun, apabila perforasi furkasi terdeteksi setelah perawatan selesai dilakukan,
maka operator harus membuang seluruh restorasi akhir dan isi saluran akar.
Untuk menghilangkan gutta percha pada daerah 1/3 servikal, dapat dilakukan
dengan menggunakan bur Gates Glidden. Pengambilan gutta percha dibawah
apeks dilakukan dengan menggunakan file Hedströen. Operator melakukan
gerakan rotasi menggunakan H file.
2) Saluran akar di debridemen di bawah isolasi rubber dam menggunakan
instrumen intra-kanal, dan diirigasi dengan NaOCl.
3) Keringkan saluran akar dengan paper point dan isolasi daerah perforasi.
4) Obturasi semua saluran akar dari apikal ke perforasi.
5) Siapkan bahan perbaikan kotor proroot® mta yang menurut mixing petunjuk
yang disediakan.
6) Masukkan material MTA menggunakan carrier ke situs perforasi. Mampatkan
MTA ke dalam daerah perforasi menggunakan plugger kecil, pelet kapas atau
paper point. Untuk perforasi besar, teknik dengan matriks internal lebih
disarankan. Matriks internal tentu saja harus steril dan memungkinkan
memanipulasi, dan seharusnya tidak menghasilkan peradangan. Bahan yang
disarankan dalam literatur adalah hidroksilapatit, tulang beku kering yang
didekomposisi, dan kolagen resorbable dengan MTA.
7) Evaluasi penutupan daerah furkasi dengan menggunakan MTA dengan
radiografi. Jika penutupan perforasi belum memadai, bongkar MTA dan ulangi
prosedurnya.
8) Basahi bulatan kapas kecil lalu peras dan letakkan di atas MTA.
9) Tutup kavitas dengan restorasi sementara minimal selama empat jam.

14
10) Cek kekerasan MTA di bawah isolasi rubber dam pada kunjugan berikutnya
menggunakan instrumen secara perlahan. Jika bahan tidak mengeras, bilas dan
ulangi aplikasinya.
11) Aplikasi barrier seperti GIC
12) Restorasi akhir dibuat dengan mengembalikan fungsional dan estetis gigi.

 Perawatan dengan Bedah

Indikasi untuk intervensi bedah adalah perforasi besar, perforasi sebagai


akibat dari resorpsi, kegagalan penyembuhan setelah perbaikan non-bedah, tanpa
pembedahan perforasi yang tidak dapat diakses, restorasi korona yang luas, dan
overfilling yang besar.

15
BAB IV
LAPORAN KASUS

4.1. Laporan Kasus 1 (Perforation repair with MTA)

Pasien wanita berusia empat puluh delapan tahun dirujuk untuk melakukan
perawatan saluran akar ulang pada gigi molar kedua kiri rahang bawah yang memiliki
lesi periapikal. Selama anamnesis, pasien mengeluhkan rasa sakit saat mengunyah.
Gigi tersebut merupakan gigi penyangga dari gigi tiruan jembatan 3 unit dan tidak
merespon tes sensitivitas. Probing periodontal gigi tersebut tergolong normal dan
pemeriksaan radiografi menunjukkan area radiolusen kecil di daerah periapikal gigi
(Gambar 1A). Rencana perawatan terdiri dari pengambilan pasak logam yang
selanjutnya dilakukan perawatan saluran akar ulang. Selama pengambilan pasak,
perforasi iatrogenik pada permukaan mesial akar distal terjadi (Gambar 1B). Isolasi
dengan rubber dam dilakukan dan perforasi akar dideteksi dan dirawat di bawah
mikroskop. Pendarahan dikontrol dengan irigasi berulang menggunakan natrium
hipoklorit 1% dan pemberian agen hemostatik ViscoStat® selama 2 menit (Gambar
2B).

Perforasi ditutup dengan pasta salin-MTA yang dicampur dalam proporsi 3: 1.


Pasta dioleskan dengan instrumen dan diadaptasi dengan aplikator microbrush yang
dibasahi dengan air. Setelah itu, gigi tersebut ditumpat dengan bahan restorasi
sementara Cavit-G. Pada pertemuan kedua (±7 hari), isi saluran akar dikeluarkan
dengan pelarut berbasis ekaliptol, bur Gates Glidden dan K-file. Panjang kerja
ditentukan dengan menggunakan apex locator dan dikonfirmasi dengan radiografi
periapikal yang juga menunjukkan MTA di daerah perforasi (Gambar 3A). Semua
kanal dipreprasi menggunakan teknik crown-down. Prosedur dilakukan dengan irigasi
natrium hipoklorit 1% dan EDTA. Kanal dikeringkan dan diobturasi dengan gutta-
percha dan sealer AH 26 menggunakan teknik kondensasi lateral (Gambar 3B dan C).
Gigi kemudian direstorasi dengan menggunakan pasak intrakanal dan mahkota
keramik logam. Pasien kembali setelah tiga hari dan melaporkan tidak ada rasa sakit.

16
Setelah 6 bulan, gigi tetap asimtomatik. Pemeriksaan klinis menunjukkan
tidak adanya rasa sakit, tidak ada respon terhadap tes sensitivitas dan probing
periodontal yang normal. Setelah tiga, tujuh dan sepuluh tahun, gigi tetap tidak
bergejala dan berfungsi dengan baik. Radiografi periapikal menunjukkan tidak
adanya area radiolusen pada daerah perforasi dan periapikal selama kontrol(Gambar
4A, B dan C). Tidak adanya radiolusen pada daerah perforasi dan periapeks
selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan CBCT (Gambar 5A dan B).

4.2. Laporan Kasus 2

Seorang wanita berusia 30 tahun datang dengan perforasi furkal iatrogenik,


yang terjadi saat pembukaan akses untuk perawatan endodontik gigi 46, ke
departemen kedokteran gigi konservatif dan endodontik rumah sakit gigi Buddha.
Beberapa pilihan perawatan seperti ekstraksi, bikuspidasi dan perbaikan perforasi
dengan MTA selanjutnya didiskusikan dengan pasien. Pasien akhirnya memilih
perawatan saluran akar beserta perbaikan perforasi dengan MTA. Perforasi furkasi
dikonfirmasi dengan foto radiografi periapikal gigi 46 yang menunjukkan kerusakan
tulang pada furkasi. Rubber dam tidak diaplikasikan karena pasien tidak kooperatif
sehingga digunakan cotton roll untuk isolasi, jaringan karies lalu dibuang, dan lokasi
perforasi diirigasi dengan natrium hipoklorit 1% untuk mengendalikan pendarahan
dan memungkinkan visualisasi perforasi. Pelet kapas yang dibasahi dengan salin
ditempatkan di saluran akar, dan perforasi ditutup dengan MTA putih yang dicampur
dengan air yang dipasok pabrik. MTA lalu ditutupi dengan pelet kapas yang dibasahi
dengan air dan bahan restorasi sementara Cavit (Gambar 1b). Dua hari setelah
penutupan perforasi, pasien menjalani perawatan saluran akar. Pasien sudah tidak
merasakan sakit pada kunjungan berikutnya yakni 15 hari pasca perawatan. Enam
bulan setelah perawatan, terdapat bukti pembentukan tulang didekat MTA yang
terlihat dalam foto radiografi.

4.3. Laporan kasus 3 (repair of iatrogenik)

17
Seorang pria berusia 50 tahun dirujuk ke Departemen Endodontik setelah
sepuluh hari paska kunjungan pertama untuk perawatan saluran akar gigi 46. Dia
menyatakan bahwa dokter gigi tersebut tidak dapat menemukan lokasi saluran akar.
Pemeriksaan klinis menunjukkan uji perkusi dan palpasi negatif. Kedalaman poket
periodontal dalam level normal. Pemeriksaan menunjukkan sedikit area radiolusen di
daerah furkasi gigi 46 (Gambar 1). Mahkota dan bahan restoratif sementara
selanjutnya dilepaskan sehingga area perforasi terlihats secara klini. Area perforasi
tersebut lebih besar dibandingkan pada foto rontgen sebelumnya (Gambar 2).
Perdarahan dikontrol dengan irigasi berulang dengan sodium hipoklorit 1% .
Penyumbatan saluran akar terdeteksi pada saluran akar mesial. Panjang kerja
ditentukan dengan Raypex 5. Kanal mesial dan distal selanjutnya dibersihkan dan
dibentuk menggunakan teknik crown-down dan irigasi berulang dengan sodium
hipoklorit. Obturasi selanjutnya dilakuka dengan poin gutta-percha dan AH 26
menggunakan teknik kondensasi lateral. Daerah perforasi lalu ditutup dengan pasta
mineral trioksida agregat- salin steril ProRoot MTA yang dicampur dalam proporsi 3:
1. Pada kasus ini, MTA diaplikasikan dengan pembawa amalgam, lalu pelet kapas
ditempatkan di ruang pulpa untuk menghasilkan lingkungan yang lembab untuk MTA
dengan tujuan untuk tercapainya pengerasan, lalu gigi tumpat dengan bahan restorasi
sementara Cavit. Pasien kembali ke klinik tiga hari kemudian tanpa gejala atau tanda.
Restorasi sementara dan pelet kapas diambil dan kekerasan MTA diuji dengan
eksplorer secara lembut. Fiber post diaplikasikan ke kanal distal karena dan kemudian
veneer keramik diaplikasikan. Pada recall 6 bulan, gigi tetap mengalami perbaikan
perforasi iatrogenik Pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa gigi tersebut tidak
simptomatik. Evaluasi dua tahun berikutnya menunjukkan fungsi klinis yang cukup
baik. Temuan radiografi menunjukkan penutupan yang memadai pada daerah
perforasi dan gigi tersebut tidak memiliki radiolusen baik pada daerah furkasi
maupun apeks (Gambar 7).

18
BAB IV

PEMBAHASAN

Bahan perbaikan perforasi yang adekuat adalah salah satu elemen kunci yang
menentukan keberhasilan penutupan perforasi. Meskipun diagnosis dan perencanaan
perawatan ditentukan secara baik dan segera, bahan yang tidak sesuai dapat
menyebabkan kegagalan yang tidak diinginkan. Banyak bahan seperti amalgam, resin
komposit, dan semen ionomer kaca yang selama ini telah digunakan untuk

19
penyegelan perforasi furkal. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa MTA lebih
unggul dibandingkan bahan-bahan tersebut berkaitan dengan sifat adaptasi marjinal
dan kemampuan antibakterinya yang baik, serta tingkat sitotoksisitas yang rendah.
Utama et al menyimpulkan bahwa MTA dapat menutup perforasi akar secara baik
dan dapat dipertimbangkan sebagai bahan perbaikan potensial yang meningkatkan
prognosis gigi yang mengalami perforasi, yang sebenarnya prognosisnya
dipertanyakan.
Economides et al juga melaporkan bahwa MTA adalah bahan biokompatibel
yang merangsang perbaikan jaringan periradikular tanpa menimbulkan peradangan
pada sebagian besar spesimen saat ditempatkan pada perforasi akar dalam gigi anjing.
Sifat yang dimiliki MTA menjadikannya bahan yang berguna dalam memperbaiki
perforasi akar dan furkal. Prognosis perforasi tergantung pada lokasi, ukuran dan
waktu kontaminasi lesi. Ukuran perforasi merupakan faktor penting dalam
menentukan keberhasilan prosedur perbaikan. Beberapa penulis menyarankan
penggunaan matriks internal untuk menghindari ekstrusi MTA. Penutupan
perforasi sedini mungkin dapat meningkatkan proses perbaikan jaringan karena
mengurangi kemungkinan kontaminasi bakteri. Holland et al menunjukkan bahwa
perforasi akar lateral yang ditutup dengan MTA setelah kontaminasi menunjukkan
hasil yang lebih buruk. Namun, pada beberapa laporan kasus yang penulis sajikan,
walaupun waktu antara perforasi dan perbaikan 10 hari atau lebih, perawatan
menggunakan MTA tetap berhasil. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah adanya
perdarahan atau kontaminasi pada daerah perforasi, yang secara negatif akan
mempengaruhi hasil perawatan. Daerah perforasi yang mengalami perdarahan
sebaiknya diirigasi dengan hipoklorit yang dilaporkan berkaitan erat dengan tingkat
keberhasilan MTA. Semua laporan kasus yang penulis sajikan menggunakan natrium
hipoklorit untuk mengontrol perdarahan sebelum aplikasi MTA.

20
BAB V

KESIMPULAN

1. MTA merupakan salah satu bahan yang efektif dalam mengatasi perforasi
furkasi.
2. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan perawatan perforasi
furkasi dengan menggunakan MTA adalah waktu penundaan penutupan,
ukuran perforasi, serta pembersihan daerah perforasi dari kontaminasi
darah/bakteri menggunakan natrium hipoklorit

21

Anda mungkin juga menyukai