Sedangkan menurut Shafer (2016), erosi gigi didefinisikan sebagai kehilangan jaringan keras
gigi yang ireversibel akibat proses kimia yang tidak melibatkan bakteri. Mineral gigi akan
larut ketika terjadi kontak antara asam baik dari dalam tubuh (gastroeksofageal refluks dan
muntah) atau sumber dari luar tubuh (asam dari minuman, dan buah yang asam) dan struktur
gigi. Sebuah studi di Swisss oleh Lussi (1991), melakukan pemeriksaan terhadap 391 orang
dewasa. Pada kelompok usia 26-30 tahun, didapatkan hasil bahwa 7,7% memiliki lesi erosi
fasial mencapai dentin dan 29,9% memiliki lesi erosi oklusal yang mencapai dentin.
Sedangkan pada kelompok usia 46-50 tahun, didapatkan bahwa 13,2% memiliki lesi erosi di
fasial yang mencapai dentin dan 46,2% memiliki lesi erosi oklusal yang mencapai dentin.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai erosi meliputi etiologi, faktor risiko, patogenesis,
Erosi terjadi akibat beberapa faktor, yaitu faktor ekstrinsik dan faktor instrinsik serta
a. Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik yang menyebabkan erosi terjadi akibat asam yang berasal
dari luar tubuh, yaitu dari minuman asam, makanan, obat-obatan dan asam dari
lingkungan sekitar. Namun penyebab yang paling sering mempengaruhi yaitu dari
terhadap kejadian erosi. Dan yang lebih mengkhawatirkan segmen pasar minuman
ini lebih ke anak-anak dan remaja sehingga menyebabkan tingginya angka karies
Selain pH yang asam, komponen lain dalam makanan dan minuman juga
makanan dan minuman yang rendah, metode konsumsi serta faktor menyikat gigi
setelah makan dan minum. Sebagai contoh apabila minum dengan menggunakan
sedotan akan mengurangi kontak asam dalam minuman pada gigi dibandingkan
apabila minum langsung menggunakan gelas. Obat-obatan dari sumber alam juga
dapat mengakibatkan erosi akibat kontak dengan gigi ketika mengunyah obat
ekstrinsik lain yang dapat menyebabkan erosi yaitu dipengaruhi oleh paparan
asam akibat pekerjaan, contohnya paparan asam kromik, hidroklorit, sulfur dan
asam nitrit dari proses industri elektrolit, namun apabila standar pekerjaan
diteapkan dengan baik, maka akan mengurangi risiko tersebut. Erosi juga
b. Faktor instrinsik
Faktor instrinsik disebabkan oleh asam yang bersumber dari dalam tubuh,
seperti asam lambung yang berbalik ke eksofagus dan mulut. Asam lambung
dengan pH 1 dapat mencapai rongga mulut dan berkontak dengan gigi pada
kondisi gastoesophageal reflux disease (GERD) dan pada keadaan muntah yang
berlebih akibat kelainan makan seperti bulimia. Dari penelitian yang dilakukan
setiap hari dan 36% penduduk setiap bulan. Pada kondisi ini, asam lambung
esophagus yang tidak tepat. Namun hal ini biasanya jarang disadari oleh pasien
Pemeriksaan riwayat medis yang lengkap harus dilakukan oleh dokter gigi
untuk mengetahui korelasi erosi yang terjadi dengan kondisi sistemik pasien.
Terapi pada pasien GERD biasanya dimulai dengan memberikan tambahan bantal
ketika pasien tidur, modifikasi diet, dan penggunaan antasid. Apabila hal ini tidak
seperti cimetidine, ranitidine, famotidine dan nizatidine dapat diberikan. Erosi gigi
yang berhubungan dengan GERD juga dapat terjadi pada usia anak sampai
Kondisi muntah parah yang kronis pada pasien kelainan makan seperti
anoreksia dan bulimia juga dapat menyebabkan erosi gigi (Hellstrom dan Hurst,
1977). Beberapa studi melaporkkan bahwa erosi akibat muuntah berlebih lebih
konsumsi minuman asam dan buah segar juga dapat mengakibatkan kerusakan
enamel di bagian labial. Untuk terapi bulimia dan anoreksia dapat diberikan obat
sehingga memperparah lesi erosi yang terjadi. Erosi juga dapat disebabkan oleh
alcoholism sehingga menyebabkan muntah yang berlebih. Selain itu juga dapat
perubahan pH ketika ada paparan asam. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan
rongga mulut baik dari sumber instrinsik mapun ekstrinsik, kecepatan aliran
saliva, pH dan kapasitas buffer saliva akan meningkat. Dalam beberapa menit,
asam akan dinetralkan dari rongga mulut dan pH akan kembali menajdi normal.
Pada pasien dengan erossi ditemukan memiliki kapasitas buffer saliva yang
kecepatan aliran saliva, sehingga menjadi faktor penting yang harus dianalisis
2. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya erosi gigi, meliputi
konsumsi buah yang asam (lebih dari dua kali per hari), konsumsi minuman bersoda (4-6 kali
per minggu), gangguan makan, bruksism, kurangnya aliran saliva yang tidak terstimulasi
(0,1mL/menit), konsumsi minuman suplemen olahraga dan cuka apel, muntah yang berlebih,
Berdasarkan sebuah studi di Finlandia, membandingkan 106 kasus erosi dengan 100
kontrol yang dipilih secara acak. Kedua kelompok mengkomsumsi buah jeruk lebih dari dua
kali sehari, dan risiko erosi meningkat 37 kali lebih besar dibanding yang tidak sering
mengkonsumsi jeruk. Penelitian lainnya menunjukan bahwa konsumsi minuman suplemen
olahraga atau minuman bersoda setiap hari meningkatkan risiko erosi 4 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsinya. Muntah sekali seminggu atau lebih,
gejala GERD dan aliran saliva yang rendah tanpa stimulasi (<0,1mL/menit) juga
3. Patogenesis
Erosi gigi dan karies gigi mempunyai kesamaan dalam jenis kerusakannya yaitu
terjadinya proses demineralisasi jaringan keras yang disebabkan oleh asam. Proses erosi gigi
dimulai dari adanya pelepasan kalsium pada enamel gigi, bila hal ini terus berlanjut maka
akan menyebabkan kehilangan sebagian elemen enamel dan apabila telah sampai ke dentin.
Kecepatan melarutnya enamel dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH), konsentrasi asam,
waktu melarut, dan ada tidaknya kalsium atau fosfat. Kalsium merupakan komponen utama
dalam struktur gigi dan proses demineralisasi enamel terjadi akibat lepasan ion kalsium dari
enamel gigi maka pengaruh asam pada enamel gigi merupakan reaksi penguraian.
pada permukaan enamel. Proses demineralisasi dapat terjadi apabila enamel berada dalam
suatu lingkungan pH di bawah 5,5. Derajat keasaman berperan pada proses demineralisasi
karena pH yang rendah akan meningkatkan konsentrasi ion hidrogen selanjutnya akan
Adanya paparan asam dengan dengan pH yang rendah serta tingginya kandungan
karbohidrat di dalam makanan maupun minuman yang dikonsumsi berbahaya bagi enamel
gigi karena akan mudah difermentasi dan sulit dinetralkan oleh saliva. Berdasarkan kurva
45 menit sampai 60 menit. Semakin asam, maka semakin cepat terjadinya demineralisasi
enamel gigi. Hal ini terjadi karena pada pH yang rendah akan meningkatkan konsentrasi ion
hidrogen yang menyebabkan rusaknya hidroksiapatit enamel gigi. Pada stadium awal erosi
gigi hanya terjadi pada permukaan enamel saja, namun selanjutnya lapisan enamel akan larut
lapis demi selapis hingga dapat mencapai dentin dan pulpa gigi.
4. Gambaran Klinis
Penampakan klinis yang sering terlihat pada kondisi erosi yaitu adanya cekungan
yang luas dengan permukaan enamel halus, Incisal grooving dengan dentin yang terekspos,
translusensi insisal meningkat, aus pada bagian non oklusal, ‘raised’ amalgam restoration,
daerah sekitar restorasi amalgam bersih dan tidak ada noda tarnish, hipersensitivitas dan
pulpa yang terbuka (Shafer, 2016). Gambaran klinis lesi erosi ini dapat dilihat pada Gambar
1.
Pada tahap awal erosi gigi, kerusakan akibat asam sangat sulit ditemukankarena
sensitivitas walaupun dentin telah terbuka, sehingga kadangkala terlambat diketahui dan telah
terjadi kerusakan yang irreversibel dan membutuhkan perawatan restoratif yang lebih
kompleks dan mahal. Pada tahap inisial, butuh keahlian untuk membedakan warna yang lebih
kekuningan akibatt enamel di bagian tengah palatal menipis. Singulum akan menjadi datar
dan permukaan menjadi mengkilap. Tahap berikutnya, bagian insisal akan melemah dan
terjadi peningkatan translusensi. Pada kasus yang lebih parah bagian insisal akan berkurrang
dan mempengaruhi overjet serta overbite. Pada kondisi yang lebih parah, struktur gigi yang
hilang semakin luas dan mengakibatkan ruang pulpa terbuka (Vailati, 2010).
Gambar 1 Gambaran Klinis Lesi Erosi
Gambar kanan : Gambaran lesi erosi awal pada penderita GERD (panah biru pada gigi molar) dan
enamel pada krevikular gingiva yang mulai berkurang (panah pada gigi premolar). Gambar kiri : Gambaran lesi
erosi dengan raised amalgam restoration.
5. Klasifikasi Erosi
Penilaian keparahan erosi gigi cukup rumit dilakukan karena adanya subjektivitas
aus akibat malposisi gigi, usia, diet keras, teknik menyikat gigi yang tidak benar, pasta gigi
abrasif dan lainnya). Selain itu, peringkat pengukuran yang telah dibuat investigator sulit
Baru-baru ini Bartlett et all (2018) menerbitkan sistem penilaian baru yang disebut
Basic Erosive Wear Examination (BEWE) yang dirancang untuk tujuan sains dan klinis.
BEWE dapat diterapkan hanya dengan alat sederhana yang ada dalam praktik umum dan
dapat dibandingkan secara ilmiah dengan indeks yang telah ada. Penilaian BEWE ini
dilakukan dengan membagi rongga mulut menjadi 6 regio yaitu regio 1 (17-14), regio 2 (13-
23), regio 3 (24-27), regio 4 (37-34), regio 5 (333-43), regio (44-47) kemudian memberikan
skoring sebagai berikut skor 0 (tidak ada permukaan yang hilang), skor 1 (hilangnya
permukaan enamel tahap awal), skor 2 (kehilangan jaringan keras atau dentin kurang dari
50% dari luas permukaan), skor 3 (kehilangan jaringan keras lebih dari 50% luas
permukaan). Kemudian skor dicatat dan level risiko erosi diukur sebagai berikut: tidak ada
risiko (skor ≤ 2), risiko rendah (skor 3-8), risiko sedang (skor 9-13), risiko tinggi (skor diatas
14).
Klasifikasi lainnya yaitu Anterior Clinical Erosive (ACE), yang menilai keparahan
erosi dengan melihat pada gigi anterior maksila yang paling sering rusak akibat erosi.
b. Kelas II : dentin terbuka pada aspek palatal (area kontak) tanpa kerusakan pada
bagian insisal
c. Kelas III : dentin terbuka pada bagian palatal dan mencapai insisal (≤ 2mm)
d. Kelas IV : dentin terbuka pada bagian palatal dan mencapai insisal (> 2mm),
e. Kelas V : dentin terbuka pada bagian palatal dan mencapai insisal (> 2mm),
Penegakan diagnosis erosi yang utama adalah melalui proses asesmen pasien. Pada
erosi akan sangat penting untuk mengetahui etiologi yang mengakibatkan erosi sehingga
asesmen pasien sangat penting dilakukan oleh dokter gigi untuk dapat menegakan diagnosis
dan menentukan rencana perawatan pasien. Berikut merupakan tahapan yang harus dilakukan
a. Asesmen Pasien
1. Riwayat Medis
meliputi seluruh obat yang dikonsumsi pasien baik obat-obatan dengan reseo maupun
non resep, vitamin dan suplemen. Contoh yang relevan adalah penggunaan obat yang
dapat menyebabkan hipofungsi saliva dan obat-obatan yang digunakan untuk terapi
GERD. Obat yang mengandung asam serta suplemen seperti vitamin C juga harus
2. Riwayat Diet
Banyak penelitian menunjukan bahwa faktor risiko erosi adalah dari asupan
makanan dan minuman yang tinggi asam, sehingga pertanyaan mengenai riwayat diet
harus ditanyakan kepada pasien. Selain frekuensi dan jenis asupan, cara menelan juga
harus ditanyakan. Minuman asasm yang lama disimpan di dalam mulut sebelum
ditelan dapat menyebabkan kerusakan pada struktur gigi. Penggunaan sedotan juga
mengenai gigi. Hal ini penting untuk diterapkan saat konsumsi minuman asam seperti
3. Riwayat Dental
membuat suara saat tidur dan apakah saat pagi hari pasien mengalami nyeri otot
rahang atau kelelahan. Kebiasaan menyikat gigi juga harus diketahui, apakah sering
menyikat gigi segera setelah mengkonsumsi asam atau muntah yang dapat
mempercepat hilangnya struktur gigi karena enamel yang menjadi lunak akibat
paparan asam. Penggunaan pasta gigi yang abrasif juga penting untuk diketahui,
karena biasanya pasien akan mencoba untuk memutihkan gigi akibat perubahan warna
kekuningan yang terjadi pada proses abrasi. Kebutuhan penggunaan fluor juga harus
paparan asam yang terjadi dari lingkungan kerja pasien. Apakah individu sering
berenang dan terpapar klorin yang tinggi dari kolam renang dan apakah pasien juga
memiliki hobi mencicip anggur juga harus ditanyakan untuk mengetahui faktor risiko
b. Pemeriksaan Fisik
alkoholism kronis dapat dilihat apakah ada pembesaran pembuluh kapiler pada kulit
wajah (Spider angimas) atau adanya bau alkohol saat bernafas. Pembesaran kelenjar
parotid dapat terjadi apabila ada tanda Sjorgen’s syndrome, alkoholisme kronis atau
bulimia. Tanda dari mukosa akibat penurunan aliran saliva terlihat dari adanya
inflamasi, mulut kering dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan saliva dari orifis
kelenjar ludah. Adanya linea alba pada mukosa bukal serta indentasi di lateral lidah
kondisi fungsi kelenjar saliva yang sebenarnya, oleh karena itu penting untuk
ditanyatakan dalam satuan millimeter per menit, baik dengan atau tanpa stimulasi.
Pengukuran pH saliva dan kapasitas buffer juga penting untuk dilakukan pada pasien.
Manajemen erosi gigi tidak hanya dilakukan untuk memperbaiki struktur gigi yang
telah rusak saja, namun juga menghilangkan etiologi, serta melakukan tindakan preventif
untuk mencegah kerusakan lebih luas. Manajemen erosi gigi ini dapat dibagi menjadi bebrapa
a. Identifikasi etiologi
dalam manajemen erosi gigi. Apabila etiologi bersumber dari asupan makanan dan
minuman asam yang berlebih, maka edukasi dan konseling harus dilakukan. Jika
pasien memiliki riwayat GERD, maka rujuk pasien ke dokter penyakit dalam untuk
evaluasi lengkap. Pasien dengan hipofungsi saliva dapat diberikan permen karet tanpa
gula untuk meningkatkan aliran saliva. Penggunaan obat pilocarpine oral juga
bermanfaat diberikan pada pasien dengan mulut kering akibat Sjorgen Syndrome atau
pasien post terapi radiasi kepala dan leher. Pasien dengan kelainan makan harus
dirujuk ke dokter untuk evaluasi kondisi dan kelainan makan yang dialami. Pada
beberapa kasus dengan agen etiologi yang sulit dikendalikan seperti alkoholisme,
perlu diberikan tindakan pencegahan dan juga edukasi untuk mengendalikan tingkat
b. Langkah Preventif
1. Mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan asupan asam, dapat dilakukan
pasien GERD dan riwayat kelainan makan dapat dilakukan rujukkan kepada
rehabilitasi.
mengunyahpermen tanpa gula. Dengan flow rate saliva yang meningkat maka
kapasitas buffer saliva juga akan meningkat. Pemberian kalsium fosfor juga dapat
aplikasi fluor in office 2-4x setahun, dan analisis indikasi pemberian topikal fluor
harian di rumah.
meenggunakan antasid sugar free terutama setelah paparan asam intrinsik atau
ekstrinsik, serta makan makanan yang mengandung kalsium dan fosfat tinggi
dengan bulu lembut serta tidak langsung menyikat gigi setelah konsumsi asam dan
komposit untuk melindungi dentin dan juga penggunaan splint oklusal jika ada
kebiasaan bruksism
7. Monitor stabilitas, dengan melakukan pembuatan model dan foto rontgen untuk
c. Restorasi Gigi
Pada beberapa pasien, mungkin tidak menyadari kondisi erosi yang terjadi hingga
terganggu, gigi hipersensitif, ada kehilangan struktur gigi secara signifikan, cacat estetik
yang tidak dapat diterima oleh pasien serta apabila pulpa terlah terbuka. Pada tahap awal
proses erosi biasanya gigi tidak mengalami hipersensitif, dan restorasi diberikan untuk
tujuan estetik atau mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut. Restorasi komposit dapat
diberikan pada tahap ini, atau pembuatan veneer porselen juga dapat dilakukan untuk
kasus yang lebih parah. Adanya seal pada enamel akan mengembalikan kontur gigi dan
mencegah kehilangan enamel akibat paparan asam lebih lanjut. Pada pasien dengan
tingkat keparahan lebih lanjut yang kehilangan lebih dari dua permukaan per gigi serta
restorasi indirek seperti mahkota keramik atau mahkota jembatan (Dundar, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Bartlett, D., Ganss, C., Lussi, A., 2008, Basic Erosive Wear Examination (BEWE): A new
scoring system for scientific and clinical needs. Clin Oral Investig 12(suppl 1):S65–
68.
Dundar, A., Sengun, A., 2014, Dental approach to erosive tooth wear in gastroesophageal
reflux disease, African Health Sciences.
Gandara, B.K., Truelove, E., 1999, Diagnosis and Management of Dental Erosion, The
Journal
of Contemporary Dental Practice.
Gaynor, M.D., 1991, Otolaryngologic manifestations of gastroesophageal reflux, Am J Gast
86:801-808.
Hellstrom, I., 1977, Oral complications in anorexia nervosa, Scand J Dent Res 85:71-86.
Hurst, P. S., Lacey, J. H., Crisp, A. H., 1977, Teeth, vomiting and diet: a study of anorexia
nervosa patients. Postgrad Med J 53:298-305.
Jarvinen, V. K., Rytomaa, Heinonen, O. P., 19991, Risk factors in dental erosion. J Dent Res
70:942-947.
Roberson, T. M, Heyman, H. O., Swift, E. J., 2019, Sturdevant’s art and science of operative
dentistry 11th ed. Missouri: Mosby, Inc.
Shafer, Hina, Levy, 2016, Shafer's Textbook of Oral Pathology 8th ed., India: Elsevier.
Vailati, F., Belser, C., 2010, Classification and Treatment of the Anterior Maxillary Dentition
Affected by Dental Erosion: The ACE Classificatio, The International Journal of
Periodontics & Restorative Dentistry 30:6.