Anda di halaman 1dari 14

Erosi gigi merupakan kehilangan struktur gigi akibat agen penyebab kimiawi dan

berlanjut dengan adanya agen demineralisasi dengan pH rendah (Roberson, 2019).

Sedangkan menurut Shafer (2016), erosi gigi didefinisikan sebagai kehilangan jaringan keras

gigi yang ireversibel akibat proses kimia yang tidak melibatkan bakteri. Mineral gigi akan

larut ketika terjadi kontak antara asam baik dari dalam tubuh (gastroeksofageal refluks dan

muntah) atau sumber dari luar tubuh (asam dari minuman, dan buah yang asam) dan struktur

gigi. Sebuah studi di Swisss oleh Lussi (1991), melakukan pemeriksaan terhadap 391 orang

dewasa. Pada kelompok usia 26-30 tahun, didapatkan hasil bahwa 7,7% memiliki lesi erosi

fasial mencapai dentin dan 29,9% memiliki lesi erosi oklusal yang mencapai dentin.

Sedangkan pada kelompok usia 46-50 tahun, didapatkan bahwa 13,2% memiliki lesi erosi di

fasial yang mencapai dentin dan 46,2% memiliki lesi erosi oklusal yang mencapai dentin.

Pada makalah ini akan dibahas mengenai erosi meliputi etiologi, faktor risiko, patogenesis,

gambaan klinis, klasifikasi, penegakan diagnosis serta manajemen erosi.

1. Etiologi Erosi Gigi

Erosi terjadi akibat beberapa faktor, yaitu faktor ekstrinsik dan faktor instrinsik serta

dipengaruhi pula oleh saliva sebagi faktor modifikasi (Shafer, 2016).

a. Faktor ekstrinsik

Faktor ekstrinsik yang menyebabkan erosi terjadi akibat asam yang berasal

dari luar tubuh, yaitu dari minuman asam, makanan, obat-obatan dan asam dari

lingkungan sekitar. Namun penyebab yang paling sering mempengaruhi yaitu dari

penyebab makanan. Beberapa makanan seperti buah-buahan yang asam memiliki

pH yang sangat rendah. Mminuman karbonasi dan minuman suplemen olahraga

juga bersifat sangat asam. Beberapa penelitian menunjukan bahwa frekuensi

mengkonsumsi makanan dan minuman yang asam berpengaruh secara signifikan

terhadap kejadian erosi. Dan yang lebih mengkhawatirkan segmen pasar minuman
ini lebih ke anak-anak dan remaja sehingga menyebabkan tingginya angka karies

dan erosi yang terjadi pada usia remaja.

Selain pH yang asam, komponen lain dalam makanan dan minuman juga

mempengaruhi kejadian erosi. Kandungan kalsium, fosfat dan fluoride dalam

makanan dan minuman yang rendah, metode konsumsi serta faktor menyikat gigi

setelah makan dan minum. Sebagai contoh apabila minum dengan menggunakan

sedotan akan mengurangi kontak asam dalam minuman pada gigi dibandingkan

apabila minum langsung menggunakan gelas. Obat-obatan dari sumber alam juga

dapat mengakibatkan erosi akibat kontak dengan gigi ketika mengunyah obat

seperti vitamin C atau obat-obatan yang mengandung asam hidroklorit. Sumber

ekstrinsik lain yang dapat menyebabkan erosi yaitu dipengaruhi oleh paparan

asam akibat pekerjaan, contohnya paparan asam kromik, hidroklorit, sulfur dan

asam nitrit dari proses industri elektrolit, namun apabila standar pekerjaan

diteapkan dengan baik, maka akan mengurangi risiko tersebut. Erosi juga

ditemukan padda perenang yang sering menyelam di kolam akibat kandungan

klorin di dalam kolam renang, serta pada pekerja pencicip wine.

b. Faktor instrinsik

Faktor instrinsik disebabkan oleh asam yang bersumber dari dalam tubuh,

seperti asam lambung yang berbalik ke eksofagus dan mulut. Asam lambung

dengan pH 1 dapat mencapai rongga mulut dan berkontak dengan gigi pada

kondisi gastoesophageal reflux disease (GERD) dan pada keadaan muntah yang

berlebih akibat kelainan makan seperti bulimia. Dari penelitian yang dilakukan

oleh Gaynor (1991), GERD diperkirakan mempengaruhi 7% penduduk dewasa

setiap hari dan 36% penduduk setiap bulan. Pada kondisi ini, asam lambung

masuk ke kerongkongan dan mencapai rongga mulut, akibat peningkatan tekanan


dalam lambung, peningkatan produksi asam lambung serta relaksasi sfingter

esophagus yang tidak tepat. Namun hal ini biasanya jarang disadari oleh pasien

hingga dilakukan pemeriksaan gigi.

Pemeriksaan riwayat medis yang lengkap harus dilakukan oleh dokter gigi

untuk mengetahui korelasi erosi yang terjadi dengan kondisi sistemik pasien.

Terapi pada pasien GERD biasanya dimulai dengan memberikan tambahan bantal

ketika pasien tidur, modifikasi diet, dan penggunaan antasid. Apabila hal ini tidak

mempengaruhi, maka pemberian medikasi seperti histamine 2-reseptor antagonis

seperti cimetidine, ranitidine, famotidine dan nizatidine dapat diberikan. Erosi gigi

yang berhubungan dengan GERD juga dapat terjadi pada usia anak sampai

remaja, biasanya terjadi akibat konsumsi makanan dan minuman asam.

Kondisi muntah parah yang kronis pada pasien kelainan makan seperti

anoreksia dan bulimia juga dapat menyebabkan erosi gigi (Hellstrom dan Hurst,

1977). Beberapa studi melaporkkan bahwa erosi akibat muuntah berlebih lebih

spesifik mempengaruhi enamel di bagian palatal gigi anterior maksila, namun

konsumsi minuman asam dan buah segar juga dapat mengakibatkan kerusakan

enamel di bagian labial. Untuk terapi bulimia dan anoreksia dapat diberikan obat

antidepresan atau obbat psikoaktif lainnya yang menyebabkan hipofungsi saliva

sehingga memperparah lesi erosi yang terjadi. Erosi juga dapat disebabkan oleh

alcoholism sehingga menyebabkan muntah yang berlebih. Selain itu juga dapat

akibat kelainan gastrointestinal seperti ulkus peptikum atau gastritis, kehamilan,

efek samping obat, diabetes atau kelainan fungsi saraf.


c. Saliva Sebagai Faktor Modifikasi

Kapasitas buffer saliva menunjukan kemampuan untuk bertahan pada

perubahan pH ketika ada paparan asam. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan

bikarbonat yang tekandung dalam saliva yang mempengaruhi kecepatan aliran

saliva. Konsentrasi bikarbonat juga mempengaruhi pengaturan pH saliva.

Hubungan antara pH saliva, kapasitas buffer, dan kecepatan aliran saliva

mempengaruhi peningkatan aliran saliva. Normalnya, saat asam masuk ke dalam

rongga mulut baik dari sumber instrinsik mapun ekstrinsik, kecepatan aliran

saliva, pH dan kapasitas buffer saliva akan meningkat. Dalam beberapa menit,

asam akan dinetralkan dari rongga mulut dan pH akan kembali menajdi normal.

Pada pasien dengan erossi ditemukan memiliki kapasitas buffer saliva yang

rendah. Pemberian obat-obatan dan adanya kondisi sistemik sangat mempengaruhi

kecepatan aliran saliva, sehingga menjadi faktor penting yang harus dianalisis

pada penderita erosi gigi.

2. Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya erosi gigi, meliputi

konsumsi buah yang asam (lebih dari dua kali per hari), konsumsi minuman bersoda (4-6 kali

per minggu), gangguan makan, bruksism, kurangnya aliran saliva yang tidak terstimulasi

(0,1mL/menit), konsumsi minuman suplemen olahraga dan cuka apel, muntah yang berlebih,

atrisi, serta ada riwayat gastroesophageal reflux disease (GERD).

Berdasarkan sebuah studi di Finlandia, membandingkan 106 kasus erosi dengan 100

kontrol yang dipilih secara acak. Kedua kelompok mengkomsumsi buah jeruk lebih dari dua

kali sehari, dan risiko erosi meningkat 37 kali lebih besar dibanding yang tidak sering
mengkonsumsi jeruk. Penelitian lainnya menunjukan bahwa konsumsi minuman suplemen

olahraga atau minuman bersoda setiap hari meningkatkan risiko erosi 4 kali lebih besar

dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsinya. Muntah sekali seminggu atau lebih,

gejala GERD dan aliran saliva yang rendah tanpa stimulasi (<0,1mL/menit) juga

meningkatkan risiko erosi (Jarvinen, 1991).

3. Patogenesis

Erosi gigi dan karies gigi mempunyai kesamaan dalam jenis kerusakannya yaitu

terjadinya proses demineralisasi jaringan keras yang disebabkan oleh asam. Proses erosi gigi

dimulai dari adanya pelepasan kalsium pada enamel gigi, bila hal ini terus berlanjut maka

akan menyebabkan kehilangan sebagian elemen enamel dan apabila telah sampai ke dentin.

Kecepatan melarutnya enamel dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH), konsentrasi asam,

waktu melarut, dan ada tidaknya kalsium atau fosfat. Kalsium merupakan komponen utama

dalam struktur gigi dan proses demineralisasi enamel terjadi akibat lepasan ion kalsium dari

enamel gigi maka pengaruh asam pada enamel gigi merupakan reaksi penguraian.

Demineralisasi yang terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya porositas

pada permukaan enamel. Proses demineralisasi dapat terjadi apabila enamel berada dalam

suatu lingkungan pH di bawah 5,5. Derajat keasaman berperan pada proses demineralisasi

karena pH yang rendah akan meningkatkan konsentrasi ion hidrogen selanjutnya akan

merusak kristal hidroksiapatit enamel gigi (Shafer, 2016).

Adanya paparan asam dengan dengan pH yang rendah serta tingginya kandungan

karbohidrat di dalam makanan maupun minuman yang dikonsumsi berbahaya bagi enamel

gigi karena akan mudah difermentasi dan sulit dinetralkan oleh saliva. Berdasarkan kurva

Stephan menunjukan bahwa pH 5.5 atau dibawahnya mengidentifikasi adanya demineralisasi


dan pH berada dalam level kritis selama 20 menit dan kembali menjadi normal dalam watu

45 menit sampai 60 menit. Semakin asam, maka semakin cepat terjadinya demineralisasi

enamel gigi. Hal ini terjadi karena pada pH yang rendah akan meningkatkan konsentrasi ion

hidrogen yang menyebabkan rusaknya hidroksiapatit enamel gigi. Pada stadium awal erosi

gigi hanya terjadi pada permukaan enamel saja, namun selanjutnya lapisan enamel akan larut

lapis demi selapis hingga dapat mencapai dentin dan pulpa gigi.

4. Gambaran Klinis

Penampakan klinis yang sering terlihat pada kondisi erosi yaitu adanya cekungan

yang luas dengan permukaan enamel halus, Incisal grooving dengan dentin yang terekspos,

translusensi insisal meningkat, aus pada bagian non oklusal, ‘raised’ amalgam restoration,

daerah sekitar restorasi amalgam bersih dan tidak ada noda tarnish, hipersensitivitas dan

pulpa yang terbuka (Shafer, 2016). Gambaran klinis lesi erosi ini dapat dilihat pada Gambar

1.

Pada tahap awal erosi gigi, kerusakan akibat asam sangat sulit ditemukankarena

biasanya lokasinya tersembunyi di palatal. Pasien biasanya tidak memberikan tanda

sensitivitas walaupun dentin telah terbuka, sehingga kadangkala terlambat diketahui dan telah

terjadi kerusakan yang irreversibel dan membutuhkan perawatan restoratif yang lebih

kompleks dan mahal. Pada tahap inisial, butuh keahlian untuk membedakan warna yang lebih

kekuningan akibatt enamel di bagian tengah palatal menipis. Singulum akan menjadi datar

dan permukaan menjadi mengkilap. Tahap berikutnya, bagian insisal akan melemah dan

terjadi peningkatan translusensi. Pada kasus yang lebih parah bagian insisal akan berkurrang

dan mempengaruhi overjet serta overbite. Pada kondisi yang lebih parah, struktur gigi yang

hilang semakin luas dan mengakibatkan ruang pulpa terbuka (Vailati, 2010).
Gambar 1 Gambaran Klinis Lesi Erosi
Gambar kanan : Gambaran lesi erosi awal pada penderita GERD (panah biru pada gigi molar) dan
enamel pada krevikular gingiva yang mulai berkurang (panah pada gigi premolar). Gambar kiri : Gambaran lesi
erosi dengan raised amalgam restoration.

5. Klasifikasi Erosi

Penilaian keparahan erosi gigi cukup rumit dilakukan karena adanya subjektivitas

metode evaluasi dan kemungkinan adanya kofaktor (kebiasaan parafungsional, hiposalivasi,

aus akibat malposisi gigi, usia, diet keras, teknik menyikat gigi yang tidak benar, pasta gigi

abrasif dan lainnya). Selain itu, peringkat pengukuran yang telah dibuat investigator sulit

diterapkan pada lingkungan klinis.

Baru-baru ini Bartlett et all (2018) menerbitkan sistem penilaian baru yang disebut

Basic Erosive Wear Examination (BEWE) yang dirancang untuk tujuan sains dan klinis.

BEWE dapat diterapkan hanya dengan alat sederhana yang ada dalam praktik umum dan

dapat dibandingkan secara ilmiah dengan indeks yang telah ada. Penilaian BEWE ini

dilakukan dengan membagi rongga mulut menjadi 6 regio yaitu regio 1 (17-14), regio 2 (13-

23), regio 3 (24-27), regio 4 (37-34), regio 5 (333-43), regio (44-47) kemudian memberikan

skoring sebagai berikut skor 0 (tidak ada permukaan yang hilang), skor 1 (hilangnya

permukaan enamel tahap awal), skor 2 (kehilangan jaringan keras atau dentin kurang dari
50% dari luas permukaan), skor 3 (kehilangan jaringan keras lebih dari 50% luas

permukaan). Kemudian skor dicatat dan level risiko erosi diukur sebagai berikut: tidak ada

risiko (skor ≤ 2), risiko rendah (skor 3-8), risiko sedang (skor 9-13), risiko tinggi (skor diatas

14).

Klasifikasi lainnya yaitu Anterior Clinical Erosive (ACE), yang menilai keparahan

erosi dengan melihat pada gigi anterior maksila yang paling sering rusak akibat erosi.

Klasifikasi ini terbagi menjadi 6 kelompok, yaitu: (Vailati, 2010)

a. Kelas I : singulum menjadi rata tanpa ada dentin yang terbuka

b. Kelas II : dentin terbuka pada aspek palatal (area kontak) tanpa kerusakan pada

bagian insisal

c. Kelas III : dentin terbuka pada bagian palatal dan mencapai insisal (≤ 2mm)

d. Kelas IV : dentin terbuka pada bagian palatal dan mencapai insisal (> 2mm),

dengan bagian fasial yang masih baik

e. Kelas V : dentin terbuka pada bagian palatal dan mencapai insisal (> 2mm),

dengan enamel di bagian fasial mulai hilang/berkurang

f. Kelas VI : kerusakan struktur gigi hingga terjadi nekrosis pulpa

6. Penegakan Diagnosis Erosi

Penegakan diagnosis erosi yang utama adalah melalui proses asesmen pasien. Pada

erosi akan sangat penting untuk mengetahui etiologi yang mengakibatkan erosi sehingga

asesmen pasien sangat penting dilakukan oleh dokter gigi untuk dapat menegakan diagnosis

dan menentukan rencana perawatan pasien. Berikut merupakan tahapan yang harus dilakukan

untuk dapat menegakan diagnosis erosi: (Gandara, 1999)

a. Asesmen Pasien
1. Riwayat Medis

Evaluasi awal dimulai dengan mengetahui riwayat medis yang menyeluruh,

meliputi seluruh obat yang dikonsumsi pasien baik obat-obatan dengan reseo maupun

non resep, vitamin dan suplemen. Contoh yang relevan adalah penggunaan obat yang

dapat menyebabkan hipofungsi saliva dan obat-obatan yang digunakan untuk terapi

GERD. Obat yang mengandung asam serta suplemen seperti vitamin C juga harus

diketahui penggunaannya. Riwayat frekuensi muntah terkait kelainan makan dan

alkoholisme juga harus diketahui.

2. Riwayat Diet

Banyak penelitian menunjukan bahwa faktor risiko erosi adalah dari asupan

makanan dan minuman yang tinggi asam, sehingga pertanyaan mengenai riwayat diet

harus ditanyakan kepada pasien. Selain frekuensi dan jenis asupan, cara menelan juga

harus ditanyakan. Minuman asasm yang lama disimpan di dalam mulut sebelum

ditelan dapat menyebabkan kerusakan pada struktur gigi. Penggunaan sedotan juga

dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya erosi karena cairan tidak banyak

mengenai gigi. Hal ini penting untuk diterapkan saat konsumsi minuman asam seperti

jus buah, serta minuman beralkohol seperti wine dan bir.

3. Riwayat Dental

Riwayat parafungsional rahang dan bruksism dapat meningkatkan

kemungkinan erosi. Untuk riwayat bruksism dapat ditanyakan apakah pasien

membuat suara saat tidur dan apakah saat pagi hari pasien mengalami nyeri otot

rahang atau kelelahan. Kebiasaan menyikat gigi juga harus diketahui, apakah sering

menyikat gigi segera setelah mengkonsumsi asam atau muntah yang dapat

mempercepat hilangnya struktur gigi karena enamel yang menjadi lunak akibat

paparan asam. Penggunaan pasta gigi yang abrasif juga penting untuk diketahui,
karena biasanya pasien akan mencoba untuk memutihkan gigi akibat perubahan warna

kekuningan yang terjadi pada proses abrasi. Kebutuhan penggunaan fluor juga harus

dapat diidentifikasi oleh dokter gigi.

4. Riwayat Pekerjaan dan Hobi

Riwayat pekerjaan penting diketahui untuk menilai kemungkinan adanya

paparan asam yang terjadi dari lingkungan kerja pasien. Apakah individu sering

berenang dan terpapar klorin yang tinggi dari kolam renang dan apakah pasien juga

memiliki hobi mencicip anggur juga harus ditanyakan untuk mengetahui faktor risiko

erosi yang terjadi.

b. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Kepala dan Leher

Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah ada tanda hiprtrofi otot-otot

pengunyahan yang dapat mengindikasikan kebiasaan bruksism. Untuk tanda dari

alkoholism kronis dapat dilihat apakah ada pembesaran pembuluh kapiler pada kulit

wajah (Spider angimas) atau adanya bau alkohol saat bernafas. Pembesaran kelenjar

parotid dapat terjadi apabila ada tanda Sjorgen’s syndrome, alkoholisme kronis atau

bulimia. Tanda dari mukosa akibat penurunan aliran saliva terlihat dari adanya

inflamasi, mulut kering dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan saliva dari orifis

kelenjar ludah. Adanya linea alba pada mukosa bukal serta indentasi di lateral lidah

juga dapat merupakan tanda kebiasaan bruksism.

2. Asesmen Fungsi Saliva

Keluhan subjektif pasien tentang mulut kering tidak lantas mencerminkan

kondisi fungsi kelenjar saliva yang sebenarnya, oleh karena itu penting untuk

dilakukan pemeriksaan laju aliran saliva pasien. Pengukuran dilakukan dengan


mengkuantifikasi jumlah saliva yang dihasilkan per menit yang kemudian

ditanyatakan dalam satuan millimeter per menit, baik dengan atau tanpa stimulasi.

Pengukuran pH saliva dan kapasitas buffer juga penting untuk dilakukan pada pasien.

7. Manajemen Erosi Gigi

Manajemen erosi gigi tidak hanya dilakukan untuk memperbaiki struktur gigi yang

telah rusak saja, namun juga menghilangkan etiologi, serta melakukan tindakan preventif

untuk mencegah kerusakan lebih luas. Manajemen erosi gigi ini dapat dibagi menjadi bebrapa

tahapan seperti berikut: (Shafer, 2016)

a. Identifikasi etiologi

Identifikasi etiologi merupakan langkah pertama yang penting untuk dilakukan

dalam manajemen erosi gigi. Apabila etiologi bersumber dari asupan makanan dan

minuman asam yang berlebih, maka edukasi dan konseling harus dilakukan. Jika

pasien memiliki riwayat GERD, maka rujuk pasien ke dokter penyakit dalam untuk

evaluasi lengkap. Pasien dengan hipofungsi saliva dapat diberikan permen karet tanpa

gula untuk meningkatkan aliran saliva. Penggunaan obat pilocarpine oral juga

bermanfaat diberikan pada pasien dengan mulut kering akibat Sjorgen Syndrome atau

pasien post terapi radiasi kepala dan leher. Pasien dengan kelainan makan harus

dirujuk ke dokter untuk evaluasi kondisi dan kelainan makan yang dialami. Pada

beberapa kasus dengan agen etiologi yang sulit dikendalikan seperti alkoholisme,

perlu diberikan tindakan pencegahan dan juga edukasi untuk mengendalikan tingkat

keparahan erosi gigi.

b. Langkah Preventif
1. Mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan asupan asam, dapat dilakukan

dengan memberikan edukasi untuk mengurangi jumlah&frekuensi

makanan/minuman asam, tidak minum minuman asam dengan sedotan. Pada

pasien GERD dan riwayat kelainan makan dapat dilakukan rujukkan kepada

dokter. Pada pasien dengan alkoholisme dapat dirujuk untuk melakukan

rehabilitasi.

2. Meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh, dapat dilakukan dengan

meningkatkan flow rate saliva dengan cara menganjurkan untuk

mengunyahpermen tanpa gula. Dengan flow rate saliva yang meningkat maka

kapasitas buffer saliva juga akan meningkat. Pemberian kalsium fosfor juga dapat

menghambat proses demineralisasi yang terjadi.

3. Meningkatkan ketahahanan asam&remineralisasi gigi, dapat dilakukan dengan

aplikasi fluor in office 2-4x setahun, dan analisis indikasi pemberian topikal fluor

harian di rumah.

4. Meningkatkan perlindungan kimiawi, dengan menetralisir asam di dalam mulut

meenggunakan antasid sugar free terutama setelah paparan asam intrinsik atau

ekstrinsik, serta makan makanan yang mengandung kalsium dan fosfat tinggi

(keju) setelah konsumsi asam

5. Mengurangi kekuatan abrasif, edukasi pasien untuk menggunakan sikat gigi

dengan bulu lembut serta tidak langsung menyikat gigi setelah konsumsi asam dan

dianjurkan untuk berkumur air

6. Memberikan perlindungan mekanis dilakukan dengan melakukan restorasi

komposit untuk melindungi dentin dan juga penggunaan splint oklusal jika ada

kebiasaan bruksism
7. Monitor stabilitas, dengan melakukan pembuatan model dan foto rontgen untuk

mengetahui tingkat keparahan serta instruksi kontrol berkala untuk memantau

diet, oral hygiene, restorasi, obat-obatan dan splint pasien.

c. Restorasi Gigi

Pada beberapa pasien, mungkin tidak menyadari kondisi erosi yang terjadi hingga

mulai mempengaruhi ketidaknyamanan atau esteTik mereka. Dokter gigi harus

mempertimbangkan perawatan restoratif apabila terdapat kondisi integritas struktur gigi

terganggu, gigi hipersensitif, ada kehilangan struktur gigi secara signifikan, cacat estetik

yang tidak dapat diterima oleh pasien serta apabila pulpa terlah terbuka. Pada tahap awal

proses erosi biasanya gigi tidak mengalami hipersensitif, dan restorasi diberikan untuk

tujuan estetik atau mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut. Restorasi komposit dapat

diberikan pada tahap ini, atau pembuatan veneer porselen juga dapat dilakukan untuk

kasus yang lebih parah. Adanya seal pada enamel akan mengembalikan kontur gigi dan

mencegah kehilangan enamel akibat paparan asam lebih lanjut. Pada pasien dengan

tingkat keparahan lebih lanjut yang kehilangan lebih dari dua permukaan per gigi serta

kehilangan dimensi vertikal maka dapat dilakukan rekonstruksi kompleks dengan

restorasi indirek seperti mahkota keramik atau mahkota jembatan (Dundar, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Bartlett, D., Ganss, C., Lussi, A., 2008, Basic Erosive Wear Examination (BEWE): A new
scoring system for scientific and clinical needs. Clin Oral Investig 12(suppl 1):S65–
68.
Dundar, A., Sengun, A., 2014, Dental approach to erosive tooth wear in gastroesophageal
reflux disease, African Health Sciences.
Gandara, B.K., Truelove, E., 1999, Diagnosis and Management of Dental Erosion, The
Journal
of Contemporary Dental Practice.
Gaynor, M.D., 1991, Otolaryngologic manifestations of gastroesophageal reflux, Am J Gast
86:801-808.
Hellstrom, I., 1977, Oral complications in anorexia nervosa, Scand J Dent Res 85:71-86.
Hurst, P. S., Lacey, J. H., Crisp, A. H., 1977, Teeth, vomiting and diet: a study of anorexia
nervosa patients. Postgrad Med J 53:298-305.
Jarvinen, V. K., Rytomaa, Heinonen, O. P., 19991, Risk factors in dental erosion. J Dent Res
70:942-947.
Roberson, T. M, Heyman, H. O., Swift, E. J., 2019, Sturdevant’s art and science of operative
dentistry 11th ed. Missouri: Mosby, Inc.
Shafer, Hina, Levy, 2016, Shafer's Textbook of Oral Pathology 8th ed., India: Elsevier.
Vailati, F., Belser, C., 2010, Classification and Treatment of the Anterior Maxillary Dentition
Affected by Dental Erosion: The ACE Classificatio, The International Journal of
Periodontics & Restorative Dentistry 30:6.

Anda mungkin juga menyukai