Anda di halaman 1dari 21

TUGAS DISKUSI KASUS PERIODONSIA

Bedah Kuretase

Pembimbing:

drg. Dyah Nindita Carolina, Sp. Perio(K).

Disusun Oleh:

DHANI ARISTYAWAN 160112170081

AGRIANITA WIDIAN 160112170007

SARASTI LAKSMI ANINDITA 160112180070

NANDIA ASTRIANA 160112180008

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2020
1. PEMERIKSAAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS

1.1 Hubungan Kadar Gula Darah Sewaktu dengan Derajat pH Saliva

Pasien Diabetes Melitus

Pada pasien diabetes melitus dengan kondisi kebersihan mulut yang jelek

dan adanya angiopati diabetik menyebabkan suplai oksigen berkurang sehingga

bakteri anaerob mudah berkembang. Karies gigi dapat terjadi oleh karena bakteri-

bakteri tertentu yang mempunyai sifat membentuk asam, sehingga pH saliva

menjadi rendah. Begitu juga Hegde (2010) menyebutkan dalam hasil penelitiannya

bahwa pada kelompok diabetes secara signifikan terjadi perubahan pH saliva

menjadi asam dan hal tersebut menunjukkan kesehatan mulut yang buruk.

Terdapat beberapa asumsi yang dapat menjelaskan mengapa tidak terdapat

hubungan kadar gula darah sewaktu dengan derajat pH saliva. Kadar gula darah

merupakan nilai yang bervariasi, kadang naik turunnyang disebabkan oleh faktor

endogen dari masing-masing responden yang bersifat individual dan juga banyak

dipengaruhi oleh beberapa faktor non fisik dan lingkungan. Kadar gula darah

sewaktu juga dipengaruhi oleh nasib obat diabetes dalam tubuh yang dapat berubah

karena faktor patologik, kepatuhan dan kesesuaian obat yang dapat menyebabkan

reaksi atau efek obat menurun atau meningkat. Penurunan efek obat mungkin

merupakan konsekuensi dari penyerapan yang jelek pada saluran cerna, pembuluh

darah atau peningkatan ekskresi melalui ginjal. Penurunan efek obat akan

menyebabkan kenaikan dari kadar gula darah sewaktu dan kenaikan efek obat akan

menyebabkan penurunan kadar gula darah sewaktu. Sedangkan pH saliva selain

dipengaruhi oleh faktor kesehatan umum yaitu penyakit diabetes melitus, juga dapat
dipengaruhi oleh penyakit gagal ginjal kronik, diare yang terus menerus, yang

terutama berkaitan dengan penyakit yang mengganggu regulasi cairan dan elektrolit

di dalam tubuh pasien. Selain itu perubahan pH saliva juga dapat disebabkan karena

adanya mulut kering yang dipengaruhi oleh beberapa hal seperti radiasi pada daerah

leher dan kepala, gangguan lokal pada kelenjar saliva, efek obat-obatan,

berolahraga dan stres, bernapas melalui mulut, kelainan saraf, dan juga usia

(Priyanto, 2017).

1.2 Hubungan HbA1c dengan pH Saliva Pasien DM

Dalam Misra (2011) pun disebutkan bahwa selama ini pemeriksaan kontrol

glikemik adalah menggunakan HbA1c. Kontrol metabolik yang di amati

menggunakan HbA1c berhubungan dengan glukosa saliva dan laju sekresi saliva

yang dapat menyebabkan pH saliva menjadi asam dikarenakan reaksi yang

berkaitan dengan perkembangbiakan bakteri anaerob di mulut dan keberadaan

buffer saliva yang rendah atau tidak ada akibat laju sekresi saliva yang rendah.

Terdapat beberapa asumsi yang dapat menjelaskan mengapa terdapat hubungan

yang signifikan antara HbA1c dengan derajat pH saliva. HbA1c memiliki nilai

kadar yang relatif konsisten akibat masa usia dari hemoglobin yang mencapai

kurang lebih 3 bulan sehingga kadar dari HbA1c relatif stabil dan tidak mudah

berubah-ubah. Pada pasien DM tidak terkontrol dengan kadar HbA1c >7% maka

kemungkinan terjadi komplikasi berupa angiopati akan semakin besar, begitu juga

dengan kebocoran glukosa ke berbagai cairan yang menyebabkan terjadi kenaikan

glukosa di urin dan glukosa di saliva. Angiopati menyebabkan penurunan sekresi


oleh kelenjar termasuk kelenjar saliva, penurunan kelenjar saliva menyebabkan

keadaan di dalam mulut menjadi asam karena buffer utama saliva yaitu asam

bikarbonat yang hilang sehingga kondisi pH saliva tidak dapat berada di derajat pH

normal dan cenderung asam.

2. FAKTOR ETIOLOGI PENYAKIT PERIODONTAL

Penyakit periodontal dianggap memiliki beberapa faktor risiko. Faktor

risiko merujuk pada aspek perilaku atau gaya hidup pribadi, paparan lingkungan,

atau karakteristik yang diwariskan, yang berdasarkan bukti epidemiologi

diketahui terkait dengan kondisi terkait kesehatan. Faktor risiko merupakan

bagian dari rantai penyebab untuk suatu penyakit tertentu atau dapat

menyebabkan terpaparnya inang terhadap suatu penyakit. Kehadiran faktor risiko

menyiratkan peningkatan langsung kemungkinan terjadinya suatu penyakit

(Kinane, Peterson and Stathopoulou, 2006).

Faktor etiologi dari penyakit periodontal terdiri dari (1) Faktor Inisial, (2)

Faktor Predisposing, (3) Faktor Modifying, (4) Faktor Aggravating, dan (5) Faktor

Perpetuating.

2.1 Faktor Inisial

Faktor Inisial adalah faktor utama yang memulai terjadinya penyakit

periodontal. Penyebab utama terjadinya peradangan pada jaringan periodontal

adalah plak. Plak merupakan suatu lapisan massa lunak yang menempel pada

permukaan gigi atau permukaan keras lainnya dalam rongga mulut. Plak gigi
berwarna putih, keabuan, atau kekuningan dan berbentuk globular. Proses

pembentukan plak terbagi menjadi 3 tahap, diawali dengan pembentukan pelikel

yang merupakan suatu lapisan tipis protein saliva yang menempel pada permukaan

gigi dan terjadi segera setelah pembersihan gigi. Pelikel ini berasal dari komponen

dalam saliva, cairan krevikuler gingiva, bakteri, produk sel jaringan inang dan

debris. Pelikel yang menempel pada permukaan gigi berfungsi sebagai lapisan

pelindung yang membasahi permukaan jaringan dan mencegah perusakan jaringan,

juga merupakan media yang menyediakan permukaan lekat yang memfasilitasi

nakteri untuk melekatkan diri ke permukaan gigi.

Pembentukan dilanjutkan dengan kolonisasi awal dimana dalam beberapa

jam setelah pembersihan gigi, bakteri sudah ditemukan melekat pada permukaan

luar pelikel gigi. Kolonisasa bakteri awalnya didominasi oleh bakteri gram positif

fakultatif seperti Actinomyces viscosus dan Streptococcus sanguis. Kolonisasi pada

pelikel melalui molekul spesifik pada permukaan sel bakteri lainnya disebut

adhesin.

Selanjutnya terjadi kolonisasi sekunder dan maturasi plak. Pada proses ini

bakteri tidak langsung melekat pada permukaan gigi, namun melekat pada sel

bakteri lain yang sebelumnya telah ada pada plak, disebut dengan proses koagresi.

Interaksi bakteri pada kolonisasi sekunder dan kolonisasi awal terdiri dari bakteri

gram negatif dan gram positif. Pada tahap yang lebih lanjut, koagresi bakteri gram

negatif dan dan gram negatif lainnya dapat terjadi.

Perkembangan penyakit periodontal membutuhkan keberadaan bakteri dan

plak yang dapat menginduksi perubahan patologis pada jaringan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Plak diklasifikasikan menjadi plak supragingiva

dan subgingiva. Plak supragingiva terletak pada atau di atas margin gingiva dan jika

berkontak langsung dengan margin gingiva disebut dengan plak marginal.

Umumnya, plak supragingiva ditemukan pada sepertiga gingiva mahkota gigi, area

interproksimal, dan pit-fisur, serta permukaan-permukaan yang abnormal lainnya.

Jumlah plak supragingiva yang sedikit akan sulit dideteksi tanpa penggunaan

disclosing solution atau menggoreskan permukaan gigi menggunakan instrumen.

Plak subgingiva terletak di bawah margin gingiva di antara gigi dan jaringan epitel

sulkus gingiva. Berdasarkan lokasinya plak subgingiva dapat dibagi menjadi 3 yaitu

plak subgingiva yang melekat pada permukaan gigi, jaringan epitel, dan plak

subgingiva yang tidak melekat pada permukaan gigi maupun jaringan epitel. Plak

subgingiva dapat dilihat melalui penyingkiran massa biofilm dari sulkus gingiva

dengan menggunakan instrumen.

Plak mulai bersifat patogen setelah 48 jam setelah pembersihan gigi

terakhir. Jika pembentukan plak tidak diganggu selama beberapa hari, margin

gingiva akan menjadi radang dan bengkak. Lapisan plak kemudian akan meluas ke

area subgingiva dan berkembang dengan baik dalam lingkungan dalam yang lebih

terlindungi.

2.2 Faktor Predisposing

Faktor Predisposing adalah faktor yang mempermudah timbulnya faktor

inisial. Faktor predisposisi lokal yang turut berperan dalam terjadinya gingivitis

adalah banyaknya kalkulus gigi, tambalan yang buruk, gigi yang mengalami karies
di marginal, gigi hilang yang tidak diganti, susunan gigi tidak beraturan, dan

impaksi makanan. Faktor iatrogenik dan kebiasaan pasien juga dapat ikut berperan

dalam terjadinya penyakit periodontal. Faktor iatrogenik dapat berupa kesalahan

dalam menggunakan alat untuk membersihkan bagian interdental gigi. Kebiasaan

pasien seperti bernafas lewat mulut dapat menyebabkan jaringan gingiva pada gigi

anterior kering sehingga meningkatkan resiko terjadinya peradangan.

2.3 Faktor Modifying

Faktor Modifying adalah faktor yang merubah respon jaringan. Terdiri dari

penjelasan sebagai berikut.

2.3.1 Biofilm Plak Mikroba

Studi klinis jangka pendek telah menunjukkan bahwa mikroorganisme cepat

menjajah permukaan gigi ketika seseorang menghentikan prosedur kebersihan

mulut; dalam beberapa hari, tanda-tanda mikroskopis dan klinis dari gingivitis

mulai terlihat. Perubahan inflamasi dapat diatasi ketika kebersihan mulut yang

memadai dilanjutkan. Mikroorganisme yang membentuk plak gigi dan

menyebabkan radang gusi melakukannya dengan berbagai cara termasuk pelepasan

produk bakteri yang menyebabkan peradangan jaringan. Uji klinis menekankan

perlunya menghilangkan plak mikroba supra dan subgingiva dalam pengobatan

gingivitis dan periodontitis. Lebih jauh lagi, percobaan pada hewan menunjukkan

bahwa gingivitis hanya berkembang pada hewan yang menumpuk endapan bakteri.

Jelas, gingivitis merupakan prasyarat untuk perkembangan periodontitis dan

dengan demikian pencegahan gingivitis juga merupakan tindakan pencegahan


utama untuk periodontitis. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, tidak semua pasien

mengalami periodontitis dan bagi mereka yang mengalaminya, hal ini disebabkan

oleh campuran faktor lingkungan dan genetik yang memengaruhi respons inang

mereka terhadap plak mikroba. Spesifitas dan predileksi situs pada periodontitis

dan gingivitis mungkin berhubungan dengan retensi plak di area tertentu seperti

restorasi overhang, tepi mahkota yang buruk, dll. Jenis plak, yaitu organisme

spesifik yang ada, dan jumlahnya, mungkin pengaruh lingkungan yang penting

pada penyakit periodontal, tetapi pada saat yang sama dapat berupa respons inang

individu atau kemungkinan besar kombinasi keduanya (Kinane, Peterson and

Stathopoulou, 2006).

2.3.2 Modifikasi Sistemik Periodontitis

Plak gigi mikroba adalah inisiator penyakit periodontal tetapi apakah itu

mempengaruhi subjek tertentu, bentuk penyakit apa, dan bagaimana

perkembangannya semua tergantung pada pertahanan tubuh terhadap tantangan ini.

Faktor sistemik mengubah semua bentuk periodontitis terutama melalui efeknya

pada pertahanan kekebalan dan inflamasi normal. Beberapa contoh bagus dari efek

ini adalah ketika terjadi penurunan jumlah atau fungsi leukosit polimorfonuklear;

ini dapat menyebabkan peningkatan kecepatan dan keparahan kerusakan

periodontal. Banyak faktor sistemik lain yang kurang jelas dan sulit dikaitkan

secara kausal dengan periodontitis. Dalam banyak kasus literatur tidak cukup untuk

membuat pernyataan yang pasti tentang hubungan antara faktor sistemik dan

periodontitis. Kadang-kadang juga sulit untuk mengetahui secara tepat mengenai


agen penyebab dalam eksposur sistemik seperti smo king dan bahkan secara farmasi

dengan terapi obat yang diresepkan (Kinane, Peterson and Stathopoulou, 2006).

Peran penyakit sistemik dan keterpaparan sistemik yang mungkin terjadi

dalam memulai atau memodifikasi perkembangan penyakit periodontal jelas

merupakan masalah yang kompleks. Namun, secara umum disepakati bahwa

beberapa kondisi dapat meningkatkan prevalensi, insidensi, atau keparahan

gingivitis dan periodontitis.

2.3.2.1 Diabetes Mellitus

Penyakit periodontal telah dicirikan sebagai komplikasi keenam dari

diabetes, sebuah pandangan yang didukung oleh beberapa tinjauan yang

menyimpulkan bahwa sebagian besar bukti menunjukkan hubungan langsung

antara diabetes mellitus dan penyakit periodontal. Laporan lain menyimpulkan

bahwa bukti yang lebih besar dari penelitian yang dilakukan di seluruh dunia

menunjukkan bahwa beberapa penderita diabetes berada pada peningkatan risiko

periodontitis (Kinane, Peterson and Stathopoulou, 2006)

2.3.2.2 Pengobatan

Fenitoin adalah obat antikonvulsan yang terkait erat dengan pertumbuhan

berlebih gingiva. Onset pertumbuhan berlebih gingiva umumnya 3 bulan setelah

dimulainya terapi fenitoin dan sekitar 50% pasien yang menggunakan fenitoin

mengalami pertumbuhan berlebih, meskipun insiden ini lebih tinggi pada epilepsi

institusional. Ini terjadi terutama pada individu muda dan dilaporkan jarang terlihat
pada orang yang berusia di atas 40 tahun, dan tampaknya mempengaruhi gigi

anterior lebih parah daripada gigi posterior. Penelitian yang lebih baru telah

mengimplikasikan obat antiepilepsi alternatif, seperti asam valproik dan vigabatrin,

yang juga menyebabkan pertumbuhan gingiva berlebih (Kinane, Peterson and

Stathopoulou, 2006).

Penghambat saluran kalsium (calcium channel blockers) adalah obat yang

memblokir saluran kalsium lambat di membran sel manusia dan digunakan dalam

pengelolaan aritmia, pengobatan angina dan pengendalian hipertensi. Mereka jelas

mempengaruhi pertumbuhan berlebih gingiva; Namun, prevalensi pertumbuhan

berlebih gingiva yang terkait dengan penghambat saluran kalsium relatif rendah.

Dalam sebuah penelitian pada 911 pasien Inggris yang diobati dengan nifedipine,

amlodi pine atau diltiazem selama lebih dari 6 bulan, hanya nif edipine yang

dikaitkan dengan pertumbuhan berlebih gingiva yang signifikan, dengan prevalensi

lebih dari 6%. Pertumbuhan berlebih yang terkait dengan nifedipine secara klinis

dan histopatologis mirip dengan pertumbuhan berlebih yang diinduksi fenitoin dan

dianggap karena peningkatan substansi dasar yang disekresikan oleh fibroblas

gingiva ketika dirangsang oleh inflamasi gingiva setelah akumulasi plak. Meskipun

dapat dikatakan bahwa pertumbuhan berlebih gingiva dan pseudo-pocketing

mungkin retentif plak dan dengan demikian mungkin merupakan pengubah lokal

periodontitis, hal ini belum ditunjukkan dalam literatur. Jadi, meskipun ada bukti

yang mendukung efek obat ini pada pertumbuhan berlebih gingiva, saat ini tidak

ada bukti hubungan antara penghambat saluran kalsium dan periodontitis.


Siklosporin adalah imunosupresan yang bekerja hanya pada respon imun

yang dimediasi sel dan digunakan pada pasien pasca transplantasi. Pertumbuhan

berlebih gingiva adalah efek samping siklosporin yang dikenal luas dan menyerupai

pertumbuhan berlebih yang diinduksi fenitoin secara klinis dan histopatologi secara

logis. Ini cenderung muncul dalam waktu 3 bulan setelah memulai terapi, terjadi

pada sekitar 30% orang, meskipun kejadiannya setinggi 77% telah dilaporkan, dan

tingkat pertumbuhan berlebih terkait dengan konsentrasi serum obat serta adanya

plak. Imunosupresan lain, seperti azathioprine, telah terbukti menunjukkan risiko

yang lebih rendah untuk pertumbuhan berlebih gingiva (Kinane, Peterson and

Stathopoulou, 2006).

2.3.2.3 Hormon Seks

Peningkatan kadar dalam plasma selama kehamilan menyebabkan

modifikasi respons inang terhadap plak gigi, tetapi hal ini sebagian besar terbatas

pada jaringan lunak dan bermanifestasi sebagai peningkatan keparahan peradangan

pada gingivitis kronis. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa insidensi dan

beratnya kemerahan gingiva, edema, perdarahan, dan eksudasi meningkat dari

bulan kedua kehamilan ke bulan kedelapan dan kemudian menurun. Perubahan ini

tampaknya tidak disebabkan oleh peningkatan plak, melainkan karena peningkatan

rasio anaerob terhadap aerob dan lebih khusus lagi pada P. intermedia. Dalam studi

kontrol terhadap 20 wanita hamil dan 11 wanita tidak hamil, perdarahan saat

probing dan indeks gingiva mencapai puncaknya antara 21 dan 24 minggu

kehamilan dan ini berkorelasi dengan peningkatan rasio anaerob terhadap aerob.
Dalam penelitian yang sama ada korelasi positif antara P. intermedia dan estradiol

dan kadar progesteron masing-masing pada 21-24 dan 25-28 minggu. Fluktuasi

gingivitis dengan fase siklus menstruasi dan efek kontrasepsi oral pada gingiva

selanjutnya mendokumentasikan efek hormon seks pada jaringan periodontal.

Selain itu, pubertas sering disertai dengan peningkatan inflamasi gingiva dan

peningkatan respon terhadap plak ini dikaitkan dengan konsentrasi hormon seks

dalam plasma. Penjelasan alternatif untuk gingivitis yang diamati selama pubertas

adalah bahwa ini adalah periode gigi bercampur, di mana gigi erupsi dan

pengelupasan menunjukkan banyak tempat untuk retensi plak. Penurunan gingivitis

setelah pubertas mungkin mencerminkan fakta bahwa remaja telah meningkatkan

ketangkasan dan juga menjadi lebih sadar akan kebersihan mulut.

Ada bukti kuat bahwa kadar hormon seks dapat mengubah respons

inflamasi terhadap plak dan, meskipun hal ini terutama menyebabkan gingivitis

saja, peningkatan risiko periodontitis pada pasien ini tidak dapat diabaikan. Namun,

sampai saat ini, tidak ada penelitian yang dipublikasikan yang mengimplikasikan

peri odontitis sebagai gejala sisa dari gingivitis kronis yang diinduksi oleh hormon

seks.

2.3.2.4 Osteoporosis

Beberapa makalah terbaru telah menarik perhatian pada kemungkinan

hubungan antara osteoporosis dan penyakit periodontal. Sebuah penelitian pada

hewan pada domba dengan defisiensi estrogen menunjukkan bahwa penurunan

kadar estrogen dapat mempengaruhi perkembangan penyakit periodontal meskipun


penelitian sebelumnya pada hamster menunjukkan bahwa hormon tidak

mempengaruhi kehilangan tulang alveolar dalam model ini. Dalam studi cross-

sectional terhadap 28 wanita berusia antara 23 dan 78 tahun, subjek dibagi menjadi

dua kelompok, kelompok pascamenopause yang lebih tua dengan terapi

penggantian estrogen dan kelompok pra menopause yang lebih muda. Kelompok

yang lebih tua telah mengurangi kepadatan tulang alveolar, dari situ penulis

menyimpulkan bahwa menopause dapat menyebabkan penurunan kepadatan tulang

alveolar. Usia tidak dikontrol dalam penelitian ini dan karena penuaan jelas dapat

mempengaruhi hasil, pilihan kelompok kontrol sangat dipertanyakan. Studi lain

pada subjek manusia dengan osteopenia dan osteoporosis telah menunjukkan

bahwa keparahan osteopenia terkait dengan hilangnya tinggi puncak alveolar dan

kehilangan gigi pada wanita postmenopause. Studi longitudinal yang besar dan,

idealnya, atau studi cross-sectional yang terkontrol dengan cermat

2.3.2.5 Imunosupresi

Peran proses imunologis dalam patogen esis penyakit periodontal kronis

diilustrasikan oleh penelitian yang melibatkan individu dengan defisiensi imun

primer atau mereka yang menerima terapi imunosupresif. Studi cross-sectional

pada pasien yang menerima terapi imunosupresif gagal menunjukkan perbedaan

antara pasien ini dan kontrol yang sehat dalam prevalensi atau keparahan

periodontitis. Laporan-laporan ini menunjukkan bahwa defisiensi imunologi tidak

mempengaruhi penyakit periodontal, tetapi harus diingat bahwa pasien yang

menjalani terapi imunosupresif sering menggunakan terapi anti mikroba berulang


dan intensif, yang dapat mengkompensasi respon imun yang berkurang (Kinane,

Peterson and Stathopoulou, 2006).

2.3.2.6 Infeksi HIV

Meskipun banyak orang yang terinfeksi HIV tidak memiliki bentuk

periodontitis apa pun, mereka mungkin sering datang dengan manifestasi oral,

beberapa di antaranya ditemukan di periodonsium. Temuan periodontal pada pasien

HIV-positif termasuk tema erik gingiva linier, gingivitis ulseratif nekrotikans,

periodontitis terlokalisasi parah, dan stomatitis nekrosis destruktif parah yang

mempengaruhi gingiva dan tulang (mirip dengan noma atau kanker oris). Ada

kemungkinan bahwa lesi ini tidak spesifik untuk HIV atau AIDS, tetapi merupakan

bentuk penyakit periodontal yang nekrotikan atau rumit yang mungkin lebih

dibesar-besarkan pada pasien dengan imunosupresi. Menariknya, orang yang

terinfeksi HIV denganCD4+ jumlah <200 sel / mm3 hadir dengan periodontitis

terkait kronis lebih parah dan luas melampirkan kerugian ment. Hal ini

menunjukkan bahwa pada pasien HIV yang mengalami gangguan kekebalan,

periodontitis yang sudah ada sebelumnya dapat diperburuk. Dengan demikian

infeksi HIV dapat dianggap sebagai pengubah periodontitis.

2.3.2.7 Merokok

Hubungan antara merokok dan penyakit periodontal telah dipelajari secara

ekstensif selama 15 tahun terakhir dan studi cross-sectional dan longitudinal

memberikan bukti epidemiologi yang kuat tentang hubungan positif antara


merokok dan tanda-tanda klinis dan radiografi dari periodontitis, serta peningkatan

risiko penyakit periodontitis.

2.3.2.8 Stres Emosional

Insiden necrotizing gingivitis ulseratif meningkat selama periode fisiologis

dan stres emosional dan, sebagai hasilnya, stres telah lama telah diakui sebagai

salah satu faktor yang berkontribusi untuk necrotizing gingivitis ulseratif. Efek

negatif dari stres pada periodonsium dapat disebabkan oleh perubahan perilaku,

seperti kebersihan mulut yang buruk dan merokok, dan ⁄ atau gangguan fungsi

kekebalan, yang menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi.

Mekanisme lain di mana stres dapat mempengaruhi periodonsium adalah

peningkatan kadar kortikosteroid sirkulasi. Meskipun stres bukan merupakan faktor

yang mudah diukur, kadar kortikosteroid dalam urin dapat diukur dan ditemukan

lebih tinggi pada pasien gingivitis ulseratif.

2.3.2.9 Gangguan Hematologi

Hubungan antara penyakit periodontal dan gangguan hema tologic

bervariasi tergantung pada sifat gangguan tersebut. Misalnya, pada 50 pasien

dengan sindrom histiositosis, 36% mengalami keterlibatan oral; 16% dari pasien ini

pertama kali didiagnosis oleh dokter gigi. Orang dewasa, anak-anak, dan bayi

semuanya dapat dipengaruhi oleh sindrom histiositosis, yang secara klinis ditandai

dengan ulkus nekrotik berlubang dengan jaringan granulasi, nekrosis jaringan, dan

kehilangan tulang yang signifikan. Karena lesi secara klinis dapat menyerupai lesi
periodontitis ulseratif nekrotikans, diagnosis pasti harus dipastikan dengan biopsi

jaringan granulasi.

2.3.2.10 Kelainan Genetik

Sejumlah kelainan genetik meningkatkan kerentanan terhadap periodontitis

kronis. Plak mikroba, dimodifikasi oleh tingkat dan durasi akumulasi, faktor

lingkungan (misalnya merokok), diabetes, kesehatan sistemik, dan susunan genetik

individu, semuanya berkontribusi pada kerentanan.

Sindrom Down ditandai dengan periodontitis awal yang umum yang

memanifestasikan dirinya pada gigi primer dan berlanjut hingga dewasa. Prevalensi

dan tingkat keparahan penyakit periodontal pada individu dengan sindrom Down

sangat tinggi jika dibandingkan dengan saudara kandung atau individu dengan

gangguan mental lainnya. Periodontitis onset dini dibuktikan dengan pembentukan

poket pada 36% anak sindrom Down yang berusia kurang dari 6 tahun. Kelompok

usia yang lebih tua ditandai dengan peningkatan prevalensi dan keparahan penyakit

periodontal seperti yang dilaporkan dalam studi cross sectional. Studi longitudinal

menunjukkan bahwa perkembangan penyakit periodontal sangat cepat. Tempat

yang paling sering mengalami kerusakan periodontal adalah di area gigi seri dan

molar. Kehilangan gigi-geligi insisivus rahang bawah yang sudah dewasa

berhubungan dengan akar yang pendek dan kehilangan tulang di daerah ini. Satu

studi menghitung kejadian tahunan rata-rata yang memperkirakan bahwa seluruh

gigi akan hilang 9 tahun setelah timbulnya penyakit periodontal.


2.3.2.11 Usia

Prevalensi penyakit periodontal meningkat seiring bertambahnya usia.

Namun, tidak jelas apakah bertambah tua berhubungan dengan peningkatan

kerentanan terhadap penyakit periodontal; yaitu, jika itu mengubah kemampuan

respons tuan rumah kita, atau jika efek kumulatif penyakit selama seumur hidup

menjelaskan peningkatan prevalensi penyakit pada orang tua. Horning dkk.

menyatakan bahwa usia merupakan faktor risiko terjadinya periodontitis, meskipun

kehilangan perlekatan dan tulang alveolar seiring bertambahnya usia tergantung

pada adanya plak dan kalkulus. Holm-Pederson dkk. dan Machtei et al.

menyarankan bahwa, hingga usia 70 tahun, tingkat kerusakan periodontal sama

selama masa dewasa dan bahwa usia itu sendiri bukanlah faktor risiko, setidaknya

untuk mereka yang berusia di bawah 70 tahun (Kinane, Peterson and Stathopoulou,

2006).

2.4 Faktor Aggravating

Faktor Aggravating adalah faktor yang

memperburuk/memperparah/memperhebat perkembangan penyakit periodontal.

Yang termasuk dalam faktor aggravating dijelaskan sebagai berikut.

2.4.1 Kebersihan Mulut yang Buruk (Bad Oral Hygiene)

Ketika pembersihan gigi tidak cukup sering dan tidak dilakukan dengan alat

yang tepat, inilah yang paling berkontribusi pada perkembangan penyakit

periodontal. Sangat penting untuk melakukan pembersihan interdental untuk pasien

yang menderita penyakit periodontal. Untuk melakukannya diperlukan peralatan


khusus - yang terpenting adalah menggunakan sikat interdental karena kebersihan

yang ideal tidak dapat dipertahankan hanya dengan sikat gigi (Eper and Kover,

2020).

2.4.2 Faktor yang Menyulitkan Pembersihan

Sayangnya, mungkin saja restorasi pasien tidak sesuai untuk pembersihan

menyeluruh. Jadi, kebersihan mulut yang memadai tidak dapat dicapai bahkan

dengan perawatan yang sangat hati-hati. Kualitas restorasi yang buruk adalah

restorasi dengan tepi tambalan gigi yang menonjol atau jika tepi mahkota terlalu

dalam di bawah gusi (Eper and Kover, 2020).

2.4.3 Merokok

Zat di dalam asap tembakau merusak sirkulasi darah di dalam gusi. Jadi,

lebih sulit untuk melihat gingivitis karena perdarahan pada gusi berkurang. Aliran

darah rendah yang terus-menerus mencegah sel-sel sistem kekebalan mengakses

tempat infeksi - lebih jauh, secara langsung menghambat kemampuan pertahanan

sel-sel kekebalan. Semua ini bersama-sama memperburuk penyakit periodontal

pada pasien perokok (Eper and Kover, 2020).

2.4.4 Faktor Keturunan

Kemampuan pertahanan terhadap bakteri dipengaruhi secara negatif oleh

berkurangnya operasi sel sistem imun / protein yang dipengaruhi oleh faktor

keturunan.
2.4.5 Faktor Hormonal

Perubahan sistem hormon juga berpengaruh pada reaksi inflamasi.

Tindakan hormonal selama kehamilan dan pubertas dapat memperburuk penyakit

periodontal karena reaksi inflamasi yang meningkat (Eper and Kover, 2020).

2.4.6 Diabetes dan Imunodefisiensi

Ketika berbicara tentang defisiensi imun dan diabetes, sayangnya ada

kemungkinan besar penyakit periodontal berkembang meskipun kebersihan mulut

terbaik. Ini karena respon imun yang menurun terhadap patogen (Eper and Kover,

2020).

2.4.7 Konsumsi Obat-obatan

Jika pasien mengonsumsi obat untuk osteoporosis atau kanker (di mana sifat

penyakitnya memerlukan obat yang mengandung bifosfonat) ia mungkin

mengalami gejala yang parah setelah operasi di mana tulang juga terpengaruh.

Penting agar pasien yang menggunakan obat jenis ini mempelajari kebersihan

mulut yang memadai bahkan sebelum mereka mulai meminum obat yang diberikan.

Kami membantu mereka dalam hal itu dan membuat restorasi yang dapat

dibersihkan dengan sempurna untuk mereka (Eper and Kover, 2020).

Mengkonsumsi obat-obatan tertentu dapat menyebabkan hiperplasia

gingiva inflamasi. Obat-obatan tersebut adalah obat imunosupresif siklosporin,

penghambat saluran kalsium yang digunakan untuk hipertensi atau turunan

hidantoin yang digunakan pada epilepsi (Eper and Kover, 2020).


2.5 Faktor Perpetuating

Faktor Perpetuating adalah faktor yang menimbulkan pengulangan atau

terjadinya rekurensi dari suatu penyakit periodontal


DAFTAR PUSTAKA

Eper, M. and Kover, K. (2020) Direct Aggravating Factors Of The Periodontal


Disease. Available at: https://en.dentop.hu/direct-aggravating-factors-
of-the-periodontal-disease (Accessed: 9 October 2020).

Kinane, D. F., Peterson, M. and Stathopoulou, P. G. (2006) ‘Environmental and


Other Modifying Factors of The Periodontal Diseases’, Periodontology
2000, 40(1), pp. 107–119. doi: 10.1111/j.1600-0757.2005.00136.x.

Anda mungkin juga menyukai