Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Umumnya, istilah penyakit periodontal mengacu pada gingivitis dan
periodontitis.1 Kedua jenis penyakit ini merupakan infeksi yang terjadi di dalam
rongga mulut yang memengaruhi jaringan yang mengelilingi dan mendukung
gigi geligi. Tahap awal didahului dengan terjadinya gingivitis yang ditandai
dengan perdarahan, gusi bengkak, dan nyeri, dan jika tidak ditangani, maka akan
berlanjut menjadi periodontitis yang melibatkan hilangnya perlekatan
ligamentum periodontal dan kerusakan tulang alveolar yang ada disekitarnya.2,3
Penyakit ini menjadi penyebab utama kehilangan gigi dan dianggap sebagai
salah satu dari dua ancaman terbesar bagi kesehatan gigi dan mulut. 1,3 Menurut
Global Burden of Disease Study, penyakit periodontal yang parah menempati
urutan ke-11 dari kondisi yang paling umum di dunia.2 Prevalensi penyakit
periodontal dilaporkan berkisar dari 20% hingga 50% di seluruh dunia. 2,3
Penyakit ini menjadi salah satu penyebab utama terganggunya sistem
pengunyahan, estetika, kepercayaan diri, dan kualitas hidup akibat kehilangan
gigi.
Prevalensi penyakit periodontal yang tinggi pada remaja, dewasa, dan orang
tua menjadikannya masalah yang sangat berpengaruh dalam kesehatan
masyarakat.3 Secara global, penyakit periodontal terhitung selama 3,5 juta tahun
hidup dengan disabilitas (YLD) pada tahun 2016. Selama periode 1990 hingga
2010, terjadi peningkatan 57,3% dalam beban global penyakit periodontal. Pada
tahun 2010, hilangnya produktivitas di seluruh dunia karena severe periodontitis
diperkirakan mencapai US $ 54 miliar per tahun.2
Setiap proses patologis yang memengaruhi periodontum didefinisikan
sebagai periodontitis. Untuk waktu yang lama, penyakit gingivitis dan
periodontitis diperkirakan muncul sebagai akibat dari penuaan jaringan
periodontal yang menyebabkan peradangan dan resesi tulang jaringan gingiva
dan akhirnya mengakibatkan kehilangan gigi. Namun, beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa penyakit ini bukan hanya penyakit yang terjadi pada orang
dewasa, tetapi juga dapat terjadi pada anak-anak.1
Pemahaman tentang etiologi dan patogenesis penyakit periodontal telah
berubah secara signifikan dalam lima dekade terakhir, tidak hanya berkaitan
dengan mikroorganisme spesifik yang terkait dengan timbul dan
berkembangangnya suatu penyakit, tetapi juga penekanan yang meningkat
secara dramatis pada peran utama host terhadap kerusakan jaringan periodontal.4
Dental plaque merupakan biofilm bakteri yang menyebabkan terjadinya
peradangan pada gusi secara kronis begitu juga pada periodontitis. Secara
konseptual, penyakit periodontal dapat dianggap sebagai host-microbial
interaction.5 Biofilm mikroba telah dipelajari secara ekstensif dan dapat terdiri
dari sekitar 150 spesies dalam satu orang, dan hingga 800 spesies berbeda telah
teridentifikasi dalam dental plaque manusia.1
Adanya ketidakseimbangan pada host-microbial interaction di dalam rongga
mulut dapat mengakibatkan terjadinya suatu penyakit. Ketidakseimbangan ini
dapat terjadi jika dipicu dengan beberapa faktor risiko, misalnya : penurunan
host-resistance, peningkatan biofilm plak atau peningkatan virulensi bakteri. 1
Perdebatan tentang spesies mana yang paling dominan dan dapat mendorong
timbulnya penyakit telah berlangsung selama beberapa dekade namun belum
juga terealisasikan. Patogen yang diduga termasuk bakteri anaerob gram-negatif,
spirochetes, dan bahkan virus, tetapi diduga bahwa tidak ada patogen tunggal
yang menjadi penyebabnya sendiri, melainkan adanya disbiosis
(ketidakseimbangan biofilm mikroba) itu sendiri.5
Manifestasi klinis penyakit periodontal selanjutnya dimodifikasi oleh faktor
lokal dan / atau sistemik. Hal ini terjadi sebagai hasil dari interaksi kompleks
antara infeksi bakteri dan respon host, yang dimodifikasi oleh faktor perilaku
seperti merokok dan beberapa faktor sistemik lainnya yang dapat mengakibatkan
penyakit periodontal.1,5

Berdasarkan pemaparan di atas maka refarat ini akan membahas tentang


penyakit periodontal yaitu periodontitis beserta penanganan yang dapat dilakukan
dalam menindaki kondisi patologis pada jaringan pendukung pada gigi geligi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKAN

2.1 Periodontitis

Periodontitis didefinisikan sebagai penyakit inflamasi multifaktorial kronis


yang berhubungan dengan biofilm plak disbiosis dan ditandai dengan kerusakan
progresif dari jaringan pendukung gigi. Kondisi ini menyebakan adanya
kerusakan pada jaringan periodontal, yang dimanifestasikan melalui hilangnya
perlekatan klinis (Clinical Attachment Loss), destruktif pada tulang alveolar yang
dinilai secara radiografi, perdarahan secara spontan dengan peningkatan
pembentukan kedalaman probing, resesi, atau keduanya.6,7

Gambaran klinis yang membedakan periodontitis dari gingivitis adalah


adanya kehilangan perlekatan yang dapat dideteksi secara klinis sebagai akibat
dari kerusakan inlamasi pada ligamentum periodontal dan tulang alveolar.
Kehilangan ini sering kali disertai dengan pembentukan poket periodontal dan
perubahan kepadatan dan tinggi tulang alveolar. Dalam beberapa kasus, resesi
pada merginal gingiva dapat menyertai hila ngnya perlekatan.6

2.1.1 Klasifikasi Periodontitis


AAP mengadakan Lokakarya Internasional untuk Klasiikasi Penyakit
Periodontal pada tahun 1999 dengan menggunakan data klinis dan ilmiah terkait
bentuk dari penyakit periodontitis. Klasiikasi yang dihasilkan dari berbagai bentuk
periodontitis ini kemudian disederhanakan untuk menggambarkan tiga umum
bentuk penyakit: periodontitis kronis, periodontitis agresif, dan periodontitis
sebagai manifestasi penyakit sistemik.6,7

a. Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis merupakan bentuk periodontitis yang paling umum.
Umumnya, periodontitis kronis ini sering dijumpai pada orang dewasa, tetapi
juga dapat diamati pada anak-anak. Skema klasifikasi yang berbeda telah
menegaskan atau membuang rentang usia lebih dari 35 tahun untuk
memisahkan periodontitis kronis dan agresif. 6
Menurut definisi yang ada, orang yang lebih muda dari 35 tahun mungkin
menunjukkan tingkat perkembangan penyakit yang sesuai dengan definisi
periodontitis kronis. Meskipun demikian, bukti epidemiologi mendukung
dugaan bahwa orang yang berusia kurang dari 25 tahun cenderung mengarah
pada periodontitis agresif. Radiografi intraoral bersama dengan catatan grafik
periodontal sangat penting untuk dokumentasi onset penyakit dan laju
perkembangannya (Gambar 1).6

Gambar 1.
Gambaran Klinis dari Periodontitis Kronis pada pasien laki-laki usia 42 tahun tanpa
adanya penyakit sistemik yang menyertai. Tampakan radiografi menunjukkan
adanya kerusakan tulang secara menyeluruh
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors.
Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019. P.85

Periodontitis kronis, merupakan bentuk penyakit periodontal destruktif


yang umumnya ditandai dengan perkembangan yang lambat. Periodontitis
kronis dikaitkan dengan penumpukan plak dan kalkulus. Pemeriksaan
mikrobiologi pada penyakit periodontitis kronis telah dilakukan pada studi
cross-sectional dan longitudinal; telah dilakukan dengan dan tanpa
pengobatan. Studi ini mendukung konsep bahwa periodontitis kronis
dikaitkan dengan agen bakteri tertentu. Pemeriksaan mikroskopis plak dari
situs dengan periodontitis kronis secara konsisten menunjukkan peningkatan
proporsi spirochetes. Budidaya mikroorganisme plak dari situs periodontitis
kronis menunjukkan persentase anaerobik yang tinggi (90%) gram negatif
(75%) dari spesies bakteri. Pada penderita periodontitis kronis, bakteri yang
paling banyak sering terdeteksi pada tingkat tinggi termasuk P. gingivalis, T.
forsythia, P. intermedia, P. nigrescens, C. rectus, E.a corrodens (lihat
Gambar 8.2S), F. nucleatum, A. actinomycetemcomitans (sering serotipe b),
P. micra, E. nodatum, Leptotrichia buccalis, Treponema (T. denticola)
Selenomonas spp. (S. noxia), dan Enterobacter spp.6
Umumnya periodontitis kronis memiliki tingkat perkembangan penyakit
yang lambat hingga sedang, tetapi periode kerusakan yang lebih cepat juga
dapat diamati.6,7 Peningkatan laju perkembangan penyakit dapat disebabkan
oleh dampak faktor lokal, sistemik, atau lingkungan yang dapat
mempengaruhi interaksi normal host-bakteri. Faktor lokal dapat
mempengaruhi akumulasi plak, sedangkan penyakit sistemik (misalnya,
diabetes mellitus, HIV) dapat memengaruhi pertahanan inang, dan faktor
lingkungan (misalnya, merokok, stres) dapat memengaruhi respons inang
terhadap akumulasi plak.6

1) Karakteristik Periodontitis Kronis6,8


 Periodontitis kronis biasanya merupakan penyakit kompleks yang
berkembang secara perlahan tanpa rasa sakit. Oleh karena itu
kebanyakan pasien tidak menyadari bahwa terhadap penyakit kronis.
 Untuk sebagian besar pasien, perdarahan gingiva selama prosedur
menyikat gigi atau makan mungkin merupakan tanda pertama
terjadinya penyakit.
 Area dengan inlamasi periodontal lanjut dapat muncul dengan
purulensi yang berasal dari poket periodontal. Sebagai hasil dari
resesi gingiva, pasien mungkin melihat black triangles di antara gigi
atau gigi sensitif terhadap perubahan suhu (dingin dan panas).
 Selain itu, impaksi makanan dapat terjadi di interdental triangles,
yang menyebabkan peningkatan ketidaknyamanan dan bau mulut.
 Dalam kasus dengan perlekatan lanjut dan kehilangan tulang,
mobilitas gigi, pergerakan gigi, gigi depan terlihat memanjang, dan.
 Dalam kasus dengan perkembangan penyakit lanjut, area nyeri
tumpul terlokalisasi atau sensasi nyeri yang menjalar ke area lain di
mulut atau kepala dapat terjadi.
 Sering terjadi pada orang dewasa tetapi dapat terjadi pada anak-anak
 Jumlah kerusakan sesuai dengan faktor lokal
 Kalkulus subgingiva sering ditemukan
 Terjadi kerusakan junctional epithelium dan connective tissue
attachment pada gigi, bersamaan dengan kerusakan tulang dan
pembentukan poket periodontal.
 Laju perkembangan kerusakan tulang cukup lambat hingga sedang
dengan kemungkinan periode perkembangan yang cepat. Kejadian
bone loss cenderung terjadi beriringan dengan perkembangan usia
pasien dari waktu ke waktu.
 Dapat dikaitkan dengan beberapa faktor predisposisi yang dapat
memperparah keadaan ini seperti;
- Penyakit diabetes mellitus dan infeksi human immunodeficiency
virus (HIV)
- Faktor lokal yang mempengaruhi periodontitis
- Faktor lingkungan seperti merokok dan stres emosional

2) Klasifikasi Periodontitis Kronis


Periodontitis kronis selanjutnya dapat disubklasifikasi menjadi
localized dan generalized. Untuk localized, periodontitis kronis ditandai
dengan adanya kehilangan perlekatan dan kerusakan tulang kurang dari
30% gigi yang terkena, sedangkan untuk generalized, periodontitis kronis
ditandai dengan terjadinya kehilangan perlekatan dan kerusakan tulang
dapat terjadi lebih dari 30% gigi terkena.6
Periodontitis kronis dapat diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan
luas dan keparahannya. Tingkat keparahan penyakit periodontitis kronis
dibagi berdasarkan tingkat kehilangan perlekatan klinis (Clinical
Attachement Loss). Tingkat perlekatan klinis memberikan manfaat penting
dibandingkan kedalaman probing saja untuk memantau perkembangan
penyakit menggunakan CEJ sebagai titik referensi tetap. Adapun tingkat
kehilangan perlekatan klinis ini terdiri dari ;
 Slight / Mild: kehilangan perlekatan klinis 1 sampai 2 mm (Gambar 2)
Gambar 2. A.Gambaran klinis periodontitis kronis dengan tingkat kehilangan
perlekatan klinis yang slight / mild sebesar 1-2 mm pada wanita berusia 40
tahun. (B) Gambar radiografi pasien.
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA,
Editors. Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019. P. 66

 Moderate : kehilangan perlekatan klinis 3 sampai 4 mm (Gambar 3).


Gambar 3. A. (A) Gambaran klinis periodontitis kronis dengan tingkat
kehilangan perlekatan yang moderate. Kehilangan perlekatan klinis sebesar 3
sampai 4 mm pada pria perokok 53 tahun. (B) Gambar radiografi pasien
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA,
Editors. Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019. P. 66
 Severe : kehilangan perlekatan klinis ≥5 mm (Gambar 4)

Gambar 3. A.Gambaran klinis dari periodontitis kronis dengan tingkat


kehilangan perlekatan klinis yang severe. Kehilangan perlekatan klinis sebesar
>5 mm pada wanita 47 tahun; B. Gambar radiografi pasien.
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors.
Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019. P. 67

b. Aggressive Periodontitis
Aggressive Periodontitis (AP) merupakan jenis penyakit periodontal
kompleks yang menyebabkan perubahan mikroba dan disfungsi seluler pada
pasien yang sehat secara sistemik. Penyakit ini dimulai pada usia berapa pun dan
berlaku pada remaja dan dewasa muda. 9 Jenis periodontitis ini sebelumnya
diklasifikasikan sebagai early-onset periodontitis. Aggressive periodontitis
merupakan penyakit kompleks yang memiliki empat faktor risiko: mikrobiota
subgingiva; variasi genetik individu; gaya hidup, dan faktor sistemik.6,9
Terdapat organisme gram negatif sebesar dua-pertiga dari isolat pada poket
periodontal individu yang menderita aggressive periodontitis. Sedangkan pada
kelompok kontrol ditemukan hanya sekitar sepertiga dari isolat pada kelompok
kontrol dengan gingiva normal. Bakteri tersebut diantaranya A.
actinomycetemcomitans, Capnocytophaga spp., Eikenella corrodens, organisme
mirip Bacteroides saccharolytic yang sekarang diklasifikasikan sebagai Prevotella
spp., Campylobacter rectus. Sedangkan, untuk Isolat gram positif seperti
streptococci, actinomycetes, dan peptostreptococci. A. actinomycetemcomitans,
Capnocytophaga spp., dan Prevotella spp. juga terlihat. 10
1) Karakteristik Aggressive Periodontitis6,9,10
 Hal ini ditandai dengan hilangnya perlekatan klinis dan kerusakan tulang
yang cepat, tidak konsisten dengan jumlah deposit mikroba yang ada
pada permukaan gigi dalam bentuk lokal atau umum.
 Laju perkembangan penyakit yang cepat terlihat pada individu yang
dinyatakan sehat.
 Tidak adanya inflamasi, akumulasi plak dan kalkulus yang besar.
 Adanya riwayat keluarga sebelumnya sehingga menunjukkan sifat
genetik.
 Jumlah deposit mikroba tidak sesuai dengan tingkat keparahan penyakit.
 Peningkatan kadar Actinobacillus actinomycetemcomitans. A.
actinomycetemcomitans secara umum diterima sebagai agen etiologi
primer pada sebagian besar kasus.
 Kelainan pada fungsi fagosit
 Makrofag hiper-responsif, menghasilkan peningkatan prostaglandin E2
(PGE2) dan interleukin-1β (IL-1β).
 Pada gambaran radiografi fitemukan kerusakan tulang secara vetikal
(infrabony defects).
 Destruksi tulang biasanya lebih besar dibandingkan dengan kerusakan
tulang yang terlihat periodontitis kronis.

2) Klasifikasi Aggressive Periodontitis


Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa aggressive periodontitis
umumnya memengaruhi individu muda selama atau segera setelah masa
pubertas dan dapat diamati selama dekade kedua dan ketiga kehidupan (yaitu,
usia 10 hingga 30 tahun) (Gambar 5 dan 6). Aggressive periodontitis terbagi
atas dua jenis, yaitu localized aggressive periodontitis dan generalized
aggressive periodontitis. Adapun gambaran umum dari dari keduanya,
diantaranya :
 Localized Aggressive Periodontitis (Gambar 5)6,10
- Circumpubertal onset of disease (berlangsung pada masa pubertas)
- Terlokalisasi pada gigi molar pertama atau insisivus dengan kehilangan
perlekatan klinis pada bagian proksimal, setidaknya dua gigi permanen,
salah satunya adalah gigi molar pertama.
- Respons antibodi serum yang kuat terhadap agen infeksi
- Kekurangan faktor lokal seperti plak dan kalkulus. Secara klinis tidak
ada peradangan. Tapi disertai dengan poket periodontal.
- Adanya Migrasi distolabial pada gigi insisivus rahang atas dengan
pembentukan diastema.
- Peningkatan mobilitas gigi insisivus rahang atas dan rahang bawah serta
molar pertama.
- Hipersensitivitas permukaan akar yang terpapar terhadap rangsangan
termal dan rangsangan taktil.
- Nyeri yang dalam, tumpul, dan menjalar selama pengunyahan mungkin
disebabkan oleh iritasi pada struktur pendukung oleh gigi
- Terbentuknya abses periodontal.
- Pembesaran kelenjar getah bening regional.
- Prevalensi: Orang berkulit hitam lebih rentan menderita Localized
Aggreesive Periodontitis dibandingkan orang kulit putih, wanita lebih
rentan dan di antara orang berkulit hitam, pria lebih rentan terkena
Localized Aggreesive Periodontitis.
-
 Generalized Aggressive Periodontitis (Gambar 6)6
Generalized Aggressive Periodontitis (GAP) merupakan subkelompok
penyakit periodontal yang ditandai dengan tingginya tingkat keparahan dan
kerusakan yang luas, tetapi juga karena heterogenitasnya yang besar. Diagnosis
GAP mencakup penyakit yang sebelumnya diklasifikasikan generalized juvenile
periodontitis (GJP) dan rapidly progressive periodontitis (RPP). Biasanya,
menunjukkan tampilan klinis berupa kerusakan jaringan yang parah dan akut,
berploriferasi, mengalami, dan sangat merah. Perdarahan dapat terjadi secara
spontan atau dengan sedikit stimulasi. Adanya supurasi menjadi salah satu tanda
yang penting pada gambaran klinis. Respon jaringan ini diyakini terjadi pada
tahap destruktif, yang ditandai dengan hilangnya perlekatan dan destruksi tulang
secara aktif. Dalam kasus lain, jaringan gingiva mungkin tampak merah muda,
bebas dari inlamasi, dan adanya stippling, Namun, meskipun secara klinis
tampak ringan, adanya poket periodontal dalam dapat dibuktikan dengan
probing.6 Adapun karakteristik lainnya yaitu ;
- Biasanya mempengaruhi orang di bawah usia 30 tahun (namun, mungkin
lebih tua).
- Kehilangan perlekatan proksimal menyeluruh yang mengenai setidaknya tiga
gigi selain gigi molar pertama dan gigi insisivus.
- Respon antibodi serum yang buruk terhadap agen infeksi.

Gambar 5. Dua tampilan menunjukkan ekstrusi pada gigi insisvus


centralis rahang atas kiri pada pria berusia 21 tahun dengan licalized aggressive
periodontitis. Ada kerusakan yang parah pada tulang alveolar gigi inisisivus dan
molar pertama rahang bawah.
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors.
Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019. P.93
Gambar 6. Gambaran klinis dan radiografi yang menunjukkan defek intrabony pada
wanita 24 tahun dengan aggressive periodontitis.
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors.
Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019. P.94

c. Periodontitis sebagai bentuk Manifestasi Penyakit Sistemik


Beberapa kelainan hematologi dan genetik telah dikaitkan dengan
perkembangan periodontitis pada individu yang terkena. beberapa studi
penelitian yang telah dilakukan untuk menyelidiki sifat yang tepat dari efek
kondisi spesifik pada jaringan periodonsium terutama karena kejadian langka
dari banyak penyakit ini. Diperkirakan bahwa efek utama dari gangguan ini
adalah melalui perubahan dalam respon imun, seperti dalam kasus ekspresi
berlebih interleukin-17 pada defisiensi adhesi leukosit atau karena gangguan
metabolisme jaringan seperti pada beberapa bentuk Ehlers-Danlos Syndrom.6
Saat ini, periodontitis sebagai manifestasi dari penyakit sistemik merupakan
diagnosis yang akan digunakan jika kondisi sistemik merupakan faktor
predisposisi utama dan ketika faktor lokal (misalnya, sejumlah besar plak dan
kalkulus) tidak jelas terlihat atau keberadaannya saja tidak membenarkan.
keparahan atau perkembangan penyakit periodontal. Definisi ini dicadangkan
untuk sekelompok penyakit dan sindrom tertentu yang telah didokumentasikan
memiliki efek merusak yang mendalam pada periodonsium.6
Menghilangkan faktor lokal sebagai bagian dari terapi periodontal
konvensional dalam kasus seperti ini seringkali tidak cukup untuk menghentikan
kerusakan periodontal karena efek sistemik. Jika kerusakan periodontal jelas
merupakan hasil dari faktor lokal tetapi telah diperburuk oleh timbulnya kondisi
seperti diabetes mellitus atau infeksi HIV, diagnosis harus periodontitis kronis
yang dimodifikasi oleh kondisi sistemik.6
1) Periodontitis dan Diabetes Mellitus
Penyakit endokrin seperti diabetes merupakan salah satu penyakit sistemik
yang paling sering ditemukan dalam memengaruhi kondisi jaringan
periodonsium. Gangguan endokrin dan luktuasi hormon memengaruhi
jaringan periodontal secara langsung, memodifikasi respon jaringan terhadap
faktor lokal, dan menghasilkan perubahan anatomis pada gingiva yang
mendukung akumulasi plak dan perkembangan penyakit.6
Diabetes mellitus adalah penyakit yang sangat penting dari sudut pandang
periodontal. Ini adalah gangguan metabolisme kompleks yang ditandai
dengan hiperglikemia kronis. Produksi insulin yang berkurang, gangguan
kerja insulin, atau kombinasi keduanya mengakibatkan ketidakmampuan
glukosa untuk diangkut dari aliran darah ke jaringan, yang pada gilirannya
mengakibatkan kadar glukosa darah tinggi dan ekskresi gula dalam urin. 6,11
Metabolisme lemak dan protein juga berubah pada diabetes. Diabetes yang
tidak terkontrol (hiperglikemia kronis) dikaitkan dengan beberapa komplikasi
jangka panjang, termasuk penyakit mikrovaskuler (retinopati, nefropati, atau
neuropati), penyakit makrovaskular (kondisi kardiovaskular dan
serebrovaskular), peningkatan kerentanan terhadap infeksi, dan penyembuhan
luka yang buruk.6
Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi empat macam dengan dua tipe
utama oleh American Diabetes Association, yaitu diabetes mellitus tipe I dan
diabetes mellitus tipe II. Diabetes melitus tipe I umumnya disebabkan oleh
adanya defisiensi insulin akibat kerusakan autoimun sel-sel beta yang
berfungsi sebagai penghasil insulin pada pankreas dan biasanya timbul pada
anak-anak dan dewasa muda, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dapat
timbul pada berbagai usia. Sedangkan, diabetes mellitus tipe II terjadi karena
adanya resistensi tubuh terhadap aktivitas insulin dan biasanya dialami oleh
orang dewasa berusia diatas 40 tahun, 12
Penderita diabests melitus umumnya akan mengalami gangguan pada
respon imun. Perubahan vaskuler yang terjadi pada membrana basalis pada
kondisi hiperglikemi alam menyebabkan terganggunya transpor nutrisi dan
migrasi sel imun ke jaringan tubuh, termasuk jaringan periodontal. Kondisi
hiiperglikemia dapat memengaruhi migrasi dan aktivitas fagositosis
mononuklear dan sel PMN, sehingga walaupun dipengaruhi oleh bakteri yang
sama, periodontitis pada pasien diabetes mellitus diketahui lebih progresif.
Bakteri dan produknya memiliki peran secara tidak langsung merangsang
inflamasi. Sehingga menghasilkan mediator infamasi seperti prostaglandin E2
(PGE2) atau sitokin meliputi Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-α) dan
Interleukin-1 (IL-1). Mediator ini akan merangsang produksi dan aktivasi
enzim yang merusak jaringan ikat gingiva serta produksi osteoklas yang akan
meresorpsi tulang.10

 Manifestasi Oral
Banyak perubahan oral telah dijelaskan pada pasien dengan diabetes,
termasuk cheilosis, mukosa kering dan retak, mulut dan lidah terbakar, laju
saliva yang berkurang, dan perubahan flora rongga mulut, dengan dominasi
Candida albicans, hemolytic streptococci, dan staphylococci. Peningkatan
tingkat karies gigi juga telah diamati pada pasien dengan diabetes yang tidak
terkontrol. Penting untuk dicatat bahwa perubahan ini tidak selalu ada, tidak
spesifik, dan tidak patognomonik untuk diabetes. Lebih lanjut, perubahan ini
cenderung tidak diamati pada pasien dengan diabetes yang terkontrol dengan
baik. Individu dengan diabetes terkontrol memiliki respon jaringan normal,
pertumbuhan gigi normal, pertahanan normal terhadap infeksi, dan tidak ada
peningkatan kejadian karies.6
Penelitian menunjukkan bahwa diabetes yang tidak terkontrol dikaitkan
dengan peningkatan kerentanan dan keparahan infeksi, termasuk periodontitis
(Gambar 7). Orang dewasa yang berusia 45 tahun atau lebih dengan diabetes
yang tidak terkontrol dengan baik (yaitu, dengan kadar hemoglobin
terglikasi> 9%) 2,9 kali lebih mungkin mengalami periodontitis berat
dibandingkan mereka yang tidak menderita diabetes. Kemungkinannya
bahkan lebih besar (4,6 kali) di antara perokok dengan diabetes yang tidak
terkontrol dengan baik.43 Seperti halnya kondisi sistemik lain yang terkait
dengan periodontitis, diabetes mellitus tidak menyebabkan gingivitis atau
periodontitis, tetapi bukti menunjukkan bahwa hal itu mengubah respons
jaringan periodontal terhadap faktor-faktor lokal dengan demikian
mempercepat pengeroposan tulang dan menunda penyembuhan pasca
operasi.6

Gambar 7.
Kondisi periodontal pada penderita diabetes. (A) Dewasa dengan

diabetes (kadar glukosa darah> 400 mg / dL). Perhatikan peradangan gingiva, perdarahan spontan, dan edema. (B)

Pasien yang sama seperti yang ditunjukkan pada A. Peningkatan kontrol diabetes dicatat setelah 4 hari terapi

insulin (kadar glukosa darah <100 mg / dL). Kondisi periodontal klinis telah membaik tanpa terapi lokal. (C)

Pasien dewasa dengan diabetes yang tidak terkontrol. Perhatikan tepi gingiva dan papilla yang membesar, halus,

eritematosa di area anterior. (D) Pasien yang sama seperti yang ditunjukkan pada C. Ini adalah tampilan lingual

dari area mandibula kanan. Perhatikan jaringan yang meradang dan bengkak di area anterior dan premolar. (E) Pasien

dewasa dengan diabetes yang tidak terkontrol. Terdapat abses bernanah pada permukaan bukal gigi premolar atas.

Gambar 7. Kondisi jaringan periodontal pada penderita diabetes. (A) Pasien


dewasa dengan diabetes (kadar glukosa darah> 400 mg / dL). Terdapat peradangan
gingiva, perdarahan spontan, dan edema. (B) Pasien yang sama seperti yang
ditunjukkan pada A. Peningkatan kontrol diabetes dicatat setelah 4 hari terapi insulin
(kadar glukosa darah <100 mg / dL). Kondisi periodontal klinis telah membaik tanpa
terapi lokal. (C) Pasien dewasa dengan diabetes yang tidak terkontrol. Perhatikan
tepi gingiva dan papilla yang membesar, halus, eritematosa di area anterior. (D)
tampakan permukaan lingual dari area mandibula kanan. Terlihat adanya jaringan
yang meradang dan bengkak di area anterior dan premolar. (E) Terdapat abses pada
permukaan bukal gigi premolar atas.
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors.
Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019. P:210

Penelitian yang dilakukan oleh Sari R,dkk11 terhadap pasien diabetes


melitus di Poli Penyakit Dalam RSUP Dr. Sarjito, menunjukkan hasil
pemeriksaan CAL (Clinical Attachment Loss) pada pasien diabetes melitus
bahwa meskipun memiliki status kebersihan mulut yang baik, prevalensi
terjadinya periodontitis tetap tinggi (88,24%) dengan rata-rata kehilangan
perlekatan klinis (CAL) sebesar 4,6 mm. Keadaan ini sejalan dengan
penelitian epidemiologi yang menunjukkan bahwa pada pasien dengan
diabetes melitus, resiko untuk terjadinya attachment loss dan alveolar bone
loss tiga kali lebih besar daripada penderita yang tidak mengalami diabetes
melitus.11
2) Periodontitis dan Papillon–Lefèvre syndrome (PLS)
Papillon–Lefèvre syndrome (PLS) pertama kali dijelaskan oleh dua dokter
Prancis, Papillon dan Lefèvre, di Prancis. PLS adalah kelainan resesif autosom
yang disebabkan oleh mutasi pada gen cathepsin C yang terletak pada
kromosom 11q14.6,13 Penyakit ini merupakan kelainan keratinisasi yang
diturunkan secara autosomal, yang ditandai dengan kemerahan, penebalan
telapak tangan dan telapak tangan, dan penyakit periodontal destruktif yang
parah yang memengaruhi gigi decidui dan permanen. Gejala lain termasuk
hyperhydrosis, arachnodactyly, kalsifikasi intrakranial, peningkatan kerentanan
terhadap infeksi, dan keterbelakangan mental.13
Papillon – Lefèvre syndrome (PLS) merupakan salah satu contoh kondisi
yang menyebabkan periodontitis berat sebagai salah satu manifestasinya.
Manifestasi klinis dari sindrom ini termasuk aggressive periodontitis yang
parah dan keratoderma difus pada telapak tangan, telapak kaki, lutut, atau
ketiganya16 (Gambar 8). Etiologi dari PLS tidak sepenuhnya dipahami. Kedua
jenis kelamin sama-sama terpengaruh tanpa dominasi rasial. Agen anatomi,
mikroba, dan virus serta respons pejamu diduga sebagai faktor penyebab
Gambar 8. Pasien dengan sindrom Papillon-Lefèvre (PLS) yang menunjukkan
hiperkeratosis pada telapak tangan dan telapak kaki.
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors.
Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019.P:70

Fungsi neutrofil yang terganggu dianggap sebagai penyebab utama PLS


dan pada akhirnya mengakibatkan deregulasi respons leukosit
polimorfonuklear terhadap infeksi mikroba. Meskipun mikrobiota subgingiva
yang terkait dengan PLS beragam, Patogen periodontal oportunistik seperti
Aggregatibacter actinomycetemcomitans (Aa), Porphyromonas gingivalis,
Tannerella forsythia, Fusobacterium nucleatum, dan Prevotella intermedia
sering diidentifikasi di antara sampel plak dari pasien PLS. Titer serum
imunoglobulin G terhadap Aa biasanya meningkat pada individu dengan PLS,
sehingga mengimplikasikan Aa sebagai penyebab yang signifikan. faktor.
Individu dengan PLS sering kali awalnya diskrining oleh dokter kulit atau
dokter anak, dan fenotipe sindrom ini dapat disalahartikan sebagai dermatitis
atopik (eksim) atau palmoplantar keratoderma. Diagnosis PLS ditegakkan di
kantor periodontal.6

 Manifestasi oral
Gambaran utama PLS terdiri dari severe gingivostomatitis dan
periodontitis. Erupsi gigi sulung terjadi diharapkan dalam urutan normal
dengan struktur dan bentuk normal, meskipun mikrodontia, resorpsi akar, dan
pembentukan akar yang tidak lengkap telah dilaporkan dalam beberapa kasus.
Selama tahun pertama setelah erupsi gigi sulung, gingiva mengalami
peradangan , diikuti oleh kerusakan jaringan periodonsium yang cepat yang
dimanifestasikan oleh gingiva yang memerah dan membengkak, yang
dikaitkan dengan resorpsi tulang yang luas dan poket periodontal yang dalam
disertai pus exudate yang keluar sebagai respons terhadap tekanan sekecil
apapun (Gambar 9).13
Gambar 10. Tampakan klinis dan radiografi rongga mulut pada penderita sindrom
Papillon-Lefèvre (PLS)
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors. Clinically
Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019.P.70

Proses pengunyahan akan sangat menyakitkan karena adanya mobilitas


pada gigi. Umumnya, disertai dengan fetid mouth odor. Adanya pembesaran
kelenjar getah bening regional juga telah diamati. Manifestasi mulut yang khas
adalah kegoyangan, hipermobilitas, drifting, migrasi, dan eksfoliasi gigi tanpa
tanda-tanda resorpsi akar. Oleh karena itu, kehilangan gigi sulung secara
prematur terjadi pada usia 4–5 tahun dan anak menjadi edentulous dengan
gingiva kembali ke status sehat normalnya. Tetapi siklus ini berulang sebagai
aggressive periodontitis setelah erupsi gigi permanen. Sebagian besar gigi
penerus tanggal remaja awal (Gambar 1); setelah gigi hilang, gingiva tidak
menunjukkan tanda-tanda perubahan periodontal lebih lanjut dan gigi bungsu
sering terkelupas. Kedua ridge alveolar rahang atas dan rahang bawah akan
mengalami resorpsi yang cukup besar sehingga dimensi vertikal oklusi
berkurang dan, oleh karena itu, pasien akan memiliki tampakan “denture
face”.13
Gambaran radiografi dalam bentuk localized, umumnya, kehilangan tulang
alveolar secara vertikal terlihat di sekitar gigi insisvus dan molar pertama pada
masa pubertas. Pembentukan pocket vertical, dengan kehilangan tulang
seringkali lebih luas pada satu gigi dibandingkan pada gigi yang berdekatan,
berbeda dari kehilangan tulang secara horizontal yang terlihat pada
periodontitis kronis; sedangkan dalam bentuk generalized, kehilangan tulang
dapat berkisar dua gigi hingga jumlah gigi maksimum. Kasus lanjutan
menunjukkan kehilangan tulang alveolar yang parah dan gigi tampak
mengambang di udara. Gigi yang tidak erupsi cenderung berkembang secara
normal di dalam kriptus tulangnya; dalam beberapa kasus, mereka mengambil
posisi abnormal dan memiliki akar yang tidak sempurna

2.2 Perawatan Periodontitis


1) Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis dapat diobati secara efektif dengan terapi periodontal
sistematis yang mencakup pengendalian plak jangka panjang yang optimal,
debridemen endapan lunak dan keras, atau pengurangan kedalaman poket
dengan pembedahan (bergantung pada keparahan kasus yang memang akan
lebih memberikan hasil yang signifikasn jika dilakukan dengan resective
periodontal surgery dan/atau regenerative therapy). Bergantung pada risiko
periodontal individu, setiap pasien harus dimotivasi dan dianjurkan untuk
melakukan kunjungan secara berkala selama (kunjungan kembali setiap 3, 6,
atau 12 bulan) untuk mengevaluasi hasil perawatan.6
Dalam upaya untuk mengurangi waktu pengobatan dan rekolonisasi
bakteri, full-mouth debridement (PSR) atau protokol desinfeksi telah
diperkenalkan dalam literatur dan dievaluasi secara ekstensif. Protokol ini
terdiri dari instrumentasi mekanis dalam periode 24 jam dengan atau tanpa
penggunaan antiseptik (klorheksidin). Studi menunjukkan sejauh ini bahwa
full-mouth debridement (PSR) dan pendekatan scalling dan root planning
menghasilkan hasil yang signifikan.14
2) Aggressive Periodontitis
Deteksi dini sangat penting dalam pengobatan periodontitis agresif (umum
atau terlokalisasi) karena pencegahan kerusakan lebih lanjut seringkali lebih dapat
diprediksi daripada regenerasi jaringan pendukung yang hilang. Perawatan yang
dapat dilakukan pada aggressive periodontitis harus dilakukan dengan pendekatan
yang logis dan teratur. Beberapa aspek perawatan harus dipertimbangkan. Salah
satu aspek terpenting dari keberhasilan perawatan adalah mendidik pasien tentang
penyakit, termasuk penyebab dan faktor risikonya, serta menekankan pentingnya
peran pasien dalam keberhasilan perawatan.
Pertimbangan terapeutik yang penting bagi dokter adalah mengontrol
infeksi, menghentikan perkembangan penyakit, mengoreksi kerusakan anatomi,
mengganti gigi yang hilang, dan pada akhirnya membantu pasien untuk
mempertahankan kesehatan periodontal dengan perawatan pemeliharaan
periodontal yang sering. Selain itu, mendidik anggota keluarga merupakan faktor
penting lainnya karena aggressive periodontitis diketahui berasal dari adanya
riwayat keluarag sebelumnya. Adapun tahapan perawatan yang dapat dilakukan
adalah ;
 Conventional Periodontal Therapy
Conventional Periodontal Therapy untuk aggressive periodontitis terdiri
dari edukasi pasien, peningkatan kebersihan mulut, scaling dan root planing,
serta perawatan recall rutin (sering). Namun, keberhasilan perawatan terhadap
aggressive periodontitis melalui conventional periodontal therapy saja tidak
cukup untuk memberikan hasil yang maksimal. Pasien yang didiagnosis
dengan aggressive periodontitis pada tahap awal dan dapat menjalani terapi
lebih dini mungkin memiliki hasil yang lebih baik dibandikngkan dengan
pasien yang didiagnosis pada tahap kerusakan lanjut. Secara umum, semakin
dini penyakit didiagnosis, semakin konservatif terapinya dan semakin mudah
diprediksi hasilnya.

 Resective periodontal surgery


Gigi dengan kehilangan perlekatan periodontal sedang hingga lanjut dan
kehilangan tulang seringkali memiliki prognosis yang buruk dan merupakan
tantangan yang paling sulit. Tergantung pada kondisi gigi yang tersisa,
perawatan gigi ini mungkin menawarkan prospek perbaikan yang terbatas dan
bahkan dapat mengurangi keberhasilan perawatan secara keseluruhan. Jelas,
beberapa dari gigi ini harus dicabut; Namun, gigi lain mungkin penting untuk
stabilitas gigi, sehingga perlu dilakukan perawatan untuk
mempertahankannya.
Resective periodontal surgery dapat efektif dalam mengurangi atau
menghilangkan kedalaman poket pada pasien dengan aggressive
periodontitis, tetapi mungkin sulit dilakukan jika gigi yang berdekatan tidak
terpengaruh. Jika terdapat perbedaan ketinggian yang signifikan antara
penyangga periodontal gigi yang terkena dan gigi yang tidak terpengaruh di
sekitarnya, transisi gingiva (jaringan lunak yang mengikuti tulang) sering kali
mengakibatkan kedalaman poket yang dalam di sekitar gigi yang terkena
sehingga tidak dapat dihilangkan.

 Regenerative Therapy
Bahan regeneratif, termasuk bone grafts, barrier membranes, dan wound-
healing agents sering digunakan, sebagai upaya regenerative theraphy.
Intrabony defects, khususnya destruksi vertikal dengan multiple osseous
walls, sering kali dapat diregenerasi dengan teknik ini. Prosedur regeneratif
periodontal telah berhasil dibuktikan pada pasien dengan localized aggressive
periodontitis dalam beberapa laporan kasus klinis. Dodson dkk, dalam
Newman,dkk6 menunjukkan potensi regeneratif terhadap defek tulang yang
terlokalisasi parah di sekitar gigi insisivus rahang bawah pada pria kulit hitam
berusia 19 tahun yang sehat yang didiagnosis dengan localized aggressive
periodontitis. Perawatannya dilakuakn dengan menggunakan open flap
surgical debridement, root surface conditioning (tetracycline solution), dan
allogenic bone graft reconstituted dengan sterile saline dan tetracycline
powder, untuk mengurangi kedalaman poket periodontal dari 9-12 mm
menjadi 1-3 mm (resesi 3 mm) ; sakit tulang yang signifikan dari defek
(sekitar 80%) dilaporkan (Gambar 10). Kasus ini menggambarkan potensi
penyembuhan defek yang parah pada pasien dengan localized aggressive
periodontitis, terutama ketika faktor lokal dikendalikan dan prinsip
pembedahan yang baik diikuti. 6

Gambar
10. Foto klinis dan
radiografi periapikal menunjukkan keberhasilan regenerative therapy pada pasien dengan
localized aggressive periodontitis. Penambahan tulang di semua permukaan yang ada
menunjukkan potensi yang tepat untuk regenerasi defek tulang yang besar pada pasien
muda dengan localized aggressive periodontitis. Perawatan ini kemudian dievaluasi
kembali pada 1 tahun setelah regenerative therapy. Terlihat adanya peningkatan
radiopasitas dan bone fill.
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors.
Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019. P. 481

 Antimicrobial theraphy
Aggressive periodontitis merupakan penyakit dengan etiologi bakteri. Adanya
patogen periodontal, khususnya Aggregatibacter actinomycetemcomitans, telah
diimplikasikan sebagai alasan aggressive periodontitis tidak memberikan hasil
yang maksimal terhadap terapi konvensional saja. Patogen ini diketahui tetap
berada di jaringan setelah terapi dan sehingga dapat terjadi rekurensi akibat
adanya re-infeksi. Penggunaan antibiotik sistemik dianggap perlu untuk
menghilangkan bakteri patogen (terutama A. actinomycetemcomitans) dari
jaringan. Beberapa peneliti telah melaporkan keberhasilan dalam pengobatan
aggressive periodontitis dengan menggunakan antibiotik sebagai tambahan
dalam terapi standar (Lihat pada Tabel 1).
Tabel 1. Terapi
dengan antibiotik pada aggressive periodontitis
Sumber : Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors.
Clinically Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019. P. 485

Genco dan rekan kerjanya dalam Newman,dkk6 merawat localized


aggressive periodontitis dengan scaling dan root planing ditambah dengan
meresepkan tetrasiklin (250 mg, empat kali sehari selama 14 hari setiap 8
minggu). Pengukuran defek vertikal dilakukan dengan interval hingga 18
bulan setelah dimulainya terapi. Destruksi tulang berhenti, dan sepertiga dari
defek menunjukkan peningkatan level tulang, sedangkan pada kelompok
kontrol, destruksi tulang terus berlanjut. Tetrasiklin sistemik (250 mg
tetrasiklin hidroklorida empat kali setiap hari selama minimal 1 minggu)
harus diberikan sehubungan dengan terapi mekanik lokal. Jika operasi
diindikasikan, tetrasiklin sistemik harus diresepkan dan pasien diinstruksikan
untuk mulai meminumnya kira-kira 1 jam sebelum operasi. Doxycycline 100
mg / hari dapat digunakan sebagai pengganti tetrasiklin. Penggunaan obat
kumur klorheksidin harus diresepkan dan dilanjutkan selama beberapa
minggu untuk meningkatkan kontrol plak dan memfasilitasi penyembuhan.6
Sejumlah penelitian mendukung penggunaan tetrasiklin tambahan bersama
dengan debridemen mekanis untuk pengobatan aggressive periodontitis
terkait A. actinomycetemcomitans. Mengingat kemungkinan munculnya A.
actinomycetemcomitans yang resisten terhadap tetrasiklin, ada kekhawatiran
bahwa tetrasiklin mungkin tidak efektif. Dalam kasus ini, kombinasi
metronidazol dan amoksisilin diaggap efektif.6
Penggunaan kedua antibiotik ini bersama dengan conventional periodontal
therapy memberikan pengendalian penyakit yang lebih baik dan perbaikan
klinis yang lebih baik pada tingkat perlekatan pada periodontitis yang sulit
ditangani dibandingkan dengan terapi periodontal serupa tanpa antibiotik.
Efek serupa telah terlihat untuk berbagai jenis antibiotik. Namun, kurangnya
ukuran sampel yang mencukupi di antara penelitian membuatnya sulit untuk
menawarkan rekomendasi spesifik tentang antibiotik mana yang paling
efektif.6

 Full-Mouth Desinfection
Pendekatan lain untuk terapi antimikroba dalam pengendalian infeksi
terkait dengan aggressive periodontitid adalah full-mouth desinfection.
Konsep ini dijelaskan oleh Quirynen, dkk dalam Newman,dkk 6 yang terdiri
dari debridemen secara menyeluruh (pengangkatan semua plak dan kalkulus)
yang diselesaikan dalam dua kali kunjungan dalam jangka waktu 24 jam.
Selain scaling dan root planing, lidah disikat dengan gel klorheksidin (1%)
selama 1 menit, mulut dibilas dengan larutan klorheksidin (0,2%) selama 2
menit, dan poket periodontal diirigasi dengan klorheksidin solusi (1%).6

3) Periodontitis sebagai Manifestasi Penyakit Sistemik


a) Periodontitis dan Diabetes Melitus
Infeksi periodontal dan perawatan penyakit periodontal dapat
mengubah kendali glikemik. Komplikasi jangka panjang diabetes melitus
seperti nefropati dan penyakit kardiovaskuler yang berdampak pada
kematian dapat dicegah atau dikendalikan dengan intervensi dan
pengobatan dini terhadap periodontitis.15
Ketika dental treatment akan dilakukan pada pasien periodontitis maka
perlu memerhatikan beberapa pertimbangan. Pertimbangan ini akan sangat
berbeda berdasarkan jenis diabetes mellitus yang diderita, yaitu :
 Diabetes Mellitus tipe 1
- Non- invasive dental procedures: pasien yang terkontrol dengan
baik dapat diperlakukan serupa dengan individu non-diabetes. Ada
peningkatan kerentanan pasien terhadap infeksi dan penyembuhan
luka yang tertunda, yang harus dipertimbangkan. Jika
memungkinkan menunda perawatan gigi pada pasien yang tidak
terkontrol merupakan pilihan yang tepat, sampai kondisi pasien
mencapai kontrol metabolik yang baik.
- Invasive dental procedure: Diharapkan pasien harus meminta
petunjuk dokter mengenai pengobatannya. Prosedur perawatan
dapat dilakukan atau dilakukan hanya jika berkisar antara 100 dan
200 mg / dl. Diabetes melitus tipe 1 dianggap sebagai faktor risiko
dalam hal menderita infeksi. Untuk alasan itu, ketika invasive
dental procedure akan dilakukan (seperti anestesi intra ligamen,
pencabutan gigi, biopsi, dll.), pedoman umum untuk profilaksis
antibiotik harus diikuti.15
 Diabetes Mellitus tipe 2
- Non-invasive dental procedure : orang yang mengontrol
penyakitnya dengan baik melalui diet dan olahraga tidak
memerlukan intervensi perioperatif khusus. Seperti pada pasien
diabetes tipe 1, perawatan harus diberikan dalam hal kerentanan
mereka terhadap infeksi dan penyembuhan luka yang tertunda. Jika
perlu, perawatan gigi harus ditunda pada pasien yang tidak
terkontrol dengan baik, sampai mereka mencapai kontrol metabolik
yang baik.15
- Invasive dental procedure: pasien harus meminta petunjuk dokter
mengenai pengobatan mereka (biasanya, pasien yang dirawat
dengan agen hipoglikemik oral harus mengambil dosis normalnya
di pagi hari dan makan makanan biasa mereka). 15

b) Periodontitis dan Papillon–Lefèvre syndrome (PLS)


Penatalaksanaan PLS merupakan tantangan bagi dokter gigi karena
prognosisnya buruk dan perjalanan penyakit tidak dapat diprediksi.
Sebelum tahun 1980, kehilangan gigi dianggap sebagai sekuel yang tak
terelakkan dari PLS. Dengan perkembangan teknik untuk mengidentifikasi
patogen periodontal, perawatan dini dan kepatuhan pada program
pencegahan merupakan faktor penentu utama dalam mempertahankan gigi
permanen pada pasien muda. Pendekatan multidisiplin yang melibatkan
tim dokter kulit, dokter anak, dan tim ahli dental surgery (periodontis,
pedodontis, dan prostodontis) penting untuk perawatan keseluruhan pasien
dengan PLS.
Tujuan utama perawatan gigi pada pasien dengan PLS adalah
menghilangkan reservoir organisme penyebab untuk mengendalikan
kerusakan periodonsium. Beberapa modalitas perawatan telah disarankan,
seperti: conventional periodontal therapy dalam bentuk scaling dan root
planning; instruksi kebersihan mulut dan penggunaan larutan obat kumur
klorheksidin glukonat 0,2%; dan rangkaian terapi pengobatan antibiotik,
yang disarankan untuk mengontrol periodontitis aktif dalam upaya
mempertahankan gigi dan untuk mencegah bakteremia dan subsequent
pyogenic liver abscess yang merupakan komplikasi PLS karena penurunan
sistem kekebalan.13
Antibiotik yang umum digunakan adalah tetrasiklin dan eritromisin,
tetapi dalam beberapa kasus, antibiotik sistemik seperti amoksisilin (20–50
mg / kg / hari) ditambah metronidazol (15–35 mg / kg / hari) dalam dosis
terbagi setiap 8 jam digunakan sebagai pengobatan tambahan selain
conventional periodontal therapy. Dalam beberapa kasus, amoksisilin dan
asam klavulanat ditemukan efektif. Pencabutan gigi sulung dengan
prognosis buruk dan menghilangkan patogen periodontal untuk
menciptakan lingkungan yang aman untuk erupsi gigi permanen. Gigi
yang memiliki poket periodontal yang dalam dirawat dengan prosedur
bedah flap.
Sedangkan, untuk mengembalikan fungsi pengunyahan, diperlukan
pendekatan prostetik. Pendekatan prostetik merupakan perawatan khusus
yang melibatkan pembuatan gigitiruan sebagian atau lengkap. Pada usia
dini, selama periode gigi bercampur, gigi yang hilang diganti dengan
gigitiruan lepasan. Gigi yang berukuran lebih kecil dan lebih tembus
cahaya dipilih untuk memberikan ruang antar gigi yang menyerupai gigi
sulung. Setelah insersi gigitiruan lepasan, follow up harus dilakukan pada
pasien secara teratur.13
Rehabilitasi pasien PLS edentulous dapat dilakukan dengan gigitiruan
lengkap konvensional, gigitiruan lengkap yang dimodifikasi, gigitiruan
lengkap yang didukung implan, atau kombinasi keduanya; Namun,
pengobatan akhir akan didasarkan pada keluhan utama, harapan pasien,
ketersediaan tulang pendukung, dan keterjangkauan pengobatan untuk
pasien. 13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemyakit periodontal merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan


mulut yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas hidup seseorang.
Oleh karena itu, adanya penanganan lebih dini dapat memberikan hasil yang baik
terhadap perawatan yang diberikan. Namun, dalam penanganannya, penyakit
periodontal ini dilakukan sesuai dengan karakteristik dan etiology serta faktor
predisposisi dari munculnya penyakit periodontal tersebut. Motivasi dan
kepatuhan pasien dalam menerima perawatan akan sangat berpengaruh terhadap
hasil perawatan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Segura AIV, Ilyina A, Ceniceros EPS, Belmares YS, González LM.


Etiology and microbiology of periodontal diseases: a review. Afr. J.
Microbiol. Res. 2015:9(48);2300-2306.
2. Nazir M, Ansari AA, Al-Khalifa K, Alhareky M, Gaffar B, Almas K.
Global prevalence of periodontal disease and lack of its
surveillance.2020:2020: 1-8
3. Nazir MA. Prevalence of periodontal disease, its association with systemic
diseases and prevention. Int J Health Sci (Qassim). 2017:11(2): 72–80.
4. Kinane DF, Stathopoulou PG Papapanou PN. Periodontal diseases. Nat.
Rev. Dis. Primers.2017:3(17038);
5. Elburki MS. The Etiology and Pathogenesis of
Periodontal Disease. BAOJ Dentistry.2018:4: 042
6. Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. In : Carranza FA, Editors. Clinically
Periodontology. Ed.13th. China:Elsevier Inc.2019.P:66-7,70,85,93-4,210,348,479-
87
7. Papapanou PN, Sanz M, et al. Periodontitis: Consensus report of
Workgroup 2 of the 2017 World Workshop on the Classification of
Periodontal and Peri‐Implant Diseases and Conditions. J Clin Periodontol.
2018:45(Suppl 20):S162–S170.
8. Prevention and Treatment of Periodontal Diseases in Primary Care Dental
Clinical Guidance. Scottish Dental Clinical Effectiveness Programme.
9. Muñoz MF, Espino RA, Aguilar VMA, Alcalde TC, Galaviz LAA,
Fonseca CG. Aggressive periodontitis and its multidisciplinary focus:
review of the literature. ODOVTOS-Int. J. Dent. Sc. 2017:19(3): 27-33
10. Mani A, James R, Mani S. Etiology and pathogenesis of aggressive
periodontitis: a mini review. Galore International Journal of Health
Sciences & Research. 2018:3(2); 4-8.
11. Sari R, Herawati D, Nurcahyanti R, Wardani PK. revalensi periodontitis
pada pasien diabetes mellitus (studi observasional di poliklinik penyakit
dalam RSUP Dr. Sardjito). Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. Agustus
2017; 3(2): 98 – 104
12. Savira NV, Hendiani N, Komara I. Kondisi periodontal penderita diabetes
mellitus tipe I. J Ked Gi Unpad. Agustus 2017:29(2); 151-8
13. Sreeramulu B, Shyam NDVN, Ajay P, Suman P. Papillon–Lefèvre
syndrome: clinical presentation and management options. Clin Cosmet
Investig Dent. 2015:7;75–81.
14. Shaddox LM, Walker CB. Treating chronic periodontitis: current status,
challenges, and future directions. Clinical, Cosmetic and Investigational
Dentistry 2010:2:79–91
15. Kripal K, Reddy SS, Kumar PA, Bhavanam SR, Chandrasekaran K.
Treatment of periodontitis in diabetes mellitus patients. EC Dental Science
.2017; S25-S28

Anda mungkin juga menyukai