Anda di halaman 1dari 19

SALIVA DAN KAITANNYA DENGAN PENYAKIT RONGGA MULUT ANAK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof. Dr. drg. Al. Supartinah S., SU., Sp.KGA.

SALIVA DAN KAITANNYA DENGAN PENYAKIT RONGGA MULUT ANAK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 30 Agustus 2003 di Yogyakarta

Oleh: Prof. Dr. drg. Al. Supartinah S., SU., Sp.KGA.

3 SALIVA DAN KAITANNYA DENGAN PENYAKIT RONGGA MULUT ANAK Rongga mulut dapat diibaratkan sebagai suatu cermin kesehatan, baik cermin kesehatan masa lalu ataupun saat ini. Cermin kesehatan masa lalu antara lain dapat dilihat dari keadaan jaringan keras rongga mulut misalnya pertumbuhan tulang rahang dan gigi, terutama menyangkut struktur atau kualitas gigi. Cermin kesehatan saat ini lebih terfokus pada keadaan jaringan lunak rongga mulut, misalnya keadaan lidah, gingiva (gusi), mukosa bukal (pipi), palatum (langit-langit), dan juga keadaan salivanya. Hubungan antara kesehatan umum dengan keadaan rongga mulut Kesehatan rongga mulut seseorang tidak dapat dipisahkan dari kesehatan umumnya, dan keduanya merupakan satu kesatuan. Problema dalam rongga mulut dapat merupakan pertanda adanya kelainan dari bagian lain dalam tubuh (Sulton et al.,1993). Anak yang memerlukan perawatan untuk kesehatan umumnya, misalnya karena sakit dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit, mempunyai risiko yang lebih tinggi pada kesehatan rongga mulutnya dan biasanya juga lebih rentan terhadap infeksi dalam rongga mulut (Faine, 2001). Sebagai contoh, pada anak yang menderita asma, akan terjadi kenaikan insidensi karies, gingivitis (radang gusi), kalkulus (karang gigi), erosi pada gigi, bahkan perubahan komposisi saliva beserta alirannya. Cara pemberian obat juga dapat memberikan pengaruh, misalnya pengobatan dengan cara inhalasi pada anak yang menderita asma, hampir 80% obat akan tertinggal dalam rongga mulut. Maka setelah pengobatan dengan cara inhalasi anak selalu dianjurkan untuk membersihkan rongga mulutnya. Penggunaan 2-agonis pada anak yang menderita asma tersebut, akan menurunkan sekresi saliva, karena ada penurunan regulasi 2-reseptor pada glandula salivarius (kelenjar ludah), yang selanjutnya menurunkan signal sekresinya. Bertambahnya insidensi gingivitis pada anak penderita asma, dikarenakan adanya perubahan imunitas disamping adanya tendensi anak akan bernafas melalui mulut, terutama bila ada serangan asthma yang akut. Kena-

4 ikan level kalsium dan phosphor pada glandula parotis akan menaikkan pembentukan kalkulus. Contoh lain, dari beberapa penelitian pada anak-anak penderita diabetes melitus, didapatkan penurunan sekresi saliva, disamping kenaikan konsentrasi glukosa pada saliva dan pada cairan krevikuler gingiva (Dahllof dan Martens, 1998). Prevalensi karies dan gingivitis pada anak Masa anak-anak merupakan masa tumbuh kembang, maka kesehatan gigi dan mulut harus mendapat perhatian yang optimal. Apabila keadaan gigi dan mulut jelek, misalnya terdapat karies dan gingivitis, akan menyebabkan fungsi pengunyahan menjadi tidak optimal. Hal ini apabila berkelanjutan akan menyebabkan penurunan berat badan anak ( Sulton et al., 1993). Beberapa ahli berpendapat bahwa di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, prevalensi karies gigi pada anak-anak cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Keadaan ini dapat dilihat dari penelitian pada anak-anak prasekolah di Kabupaten Bandung, terdapat 90% anak menderita karies dan 32,9% anak menderita gingivitis. Di daerah perkebunan teh di Pengalengan terdapat 95,9% anak menderita karies dan 61,6 % anak menderita gingivitis (Koloway dan Kaligis, 1992). Prevalensi karies pada anakanak di salah satu TK di daerah Kalasan, sebelah timur kota Yogyakarta sebesar 93,3% dan prevalensi gingivitis sebesar 48,89% (Lukito, 1996). Pemeriksaan pada anak-anak di salah satu TK di daerah Godean, sebelah barat kota Yogyakarta didapatkan prevalensi karies sebesar 95,9%, dan gingivitis sebesar 47,3% (Putri, 1996). Penyebab dan kejadian penyakit rongga mulut pada anak Di samping faktor morfologi dan struktur gigi, diet, mikroorganisme serta waktu yang cukup untuk terjadinya interaksi keempat faktor tersebut, faktor genetik dan lingkungan, saliva memegang peranan penting untuk terjadinya karies gigi, karena keberadaan saliva penting dalam menjaga keseimbangan pertukaran ion-ion pada permukaan gigi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada anak-anak yang menderita penyakit tertentu dan mendapat pengobatan yang berpengaruh pada produksi salivanya, perlu mendapat perhatian yang lebih

5 pada kesehatan mulutnya. Meskipun para ahli berpendapat bahwa tidak ada hubungan langsung antara kecepatan aliran saliva dan aktivitas karies, tetapi cukup tidaknya volume saliva tetap perlu untuk dievaluasi. Secara individual, pemeriksaan rutin terhadap aliran saliva pada anak baik yang diberi rangsangan maupun tidak, secara klinis akan sangat bermanfaat. Perangsangan saliva pada anak misalnya dapat dengan pemberian beberapa tetes asam sitrat 3% pada bagian belakang lidah (Koch dan Poulson, 2001). Meskipun dapat dihindari, pada kenyataannya penyakit periodontal maupun karies dapat ditularkan. Para ahli berpendapat penyakit periodontal dapat ditularkan lewat saliva. Dapat diartikan orang tua dengan penyakit periodontal dapat menularkan penyakit tersebut pada anak-anaknya. Maka dianjurkan pada waktu kontrol ke dokter gigi perlu pula dilakukan pemeriksaan pada rongga mulut anak-anaknya. Adanya gingivitis pada anak-anak dapat merupakan kejadian awal adanya penyakit periodontal pada masa dewasanya, karena kejadian penyakit tersebut perlu waktu yang lama, dan bertambah parah sesuai dengan pertambahan umur (Anonim, 2000c) Bakteri kariogenik dapat berada dalam rongga mulut anak setelah gigi anak erupsi. Sebagai donor primer bakteri tersebut terutama adalah orang tua, misalnya melalui saliva pada waktu ibu mencium anaknya, melalui alat-alat makan yang dipakai anak-ibunya, atau anak memasukkan tangannya ke dalam mulut ibu kemudian tangan tersebut dimasukkan ke mulut anak sendiri. Orang tua dengan risiko karies tinggi dapat mengakibatkan hal yang sama pada anaknya, sehingga meskipun pada umur yang sama risiko karies pada setiap anak akan berbeda. Faktor-faktor penentu kejadian karies tersebut meliputi pengalaman karies orang tua dan saudara-saudaranya, pemakaian susu botol ataupun pemberian ASI yang tidak tepat antara lain dengan frekuensi tinggi, konsumsi karbohidrat sederhana dengan frekuensi tinggi, dan kebersihan mulut yang jelek. Para peneliti berpendapat bahwa bayi dengan plak yang tinggi pada ke 4 gigi insisivus atasnya, mempunyai risiko karies yang tinggi pula dan hal ini melibatkan aliran saliva dalam rongga mulutnya (Anonim, 2000b) Kejadian karies maupun gingivitis tidak terlepas dari keberadaan mikroorganisme dalam rongga mulut. Rongga mulut mempunyai beberapa ciri biologis, karena posisinya yang berhubungan langsung

6 dengan luar tubuh maupun saluran pencernaan makanan. Selalu ada pengaruh faktor lingkungan, terutama oleh kontaminasi mikroorganisme dan masukan makanan. Di dalam rongga mulut, mikroorganisme yang mendapat nutrisi dan mempunyai ciri fisiologis yang sesuai akan tetap bertahan, sedangkan yang tidak sesuai tidak dapat bertahan, sehingga suasana lingkungan tidak berubah. Kondisi tersebut terjadi antara lain karena fungsi aliran saliva (Cole dan Oestoe, 1977) Fungsi saliva dalam rongga mulut Tergantung pada individu dan glandula yang mensekresinya, saliva mempunyai komposisi yang berbeda. Pada umumnya para peneliti mengkaji saliva dalam rongga mulut secara keseluruhan yaitu saliva yang diproduksi oleh glandula salivarius mayor dan minor, dan beberapa peneliti berpendapat termasuk pula cairan krevikuler gingiva. Whelton (1996) mengatakan bahwa keberadaan saliva sangat penting untuk menjaga kesehatan jaringan rongga mulut mengingat luasnya fungsi saliva. Fungsi tersebut adalah (1) Sebagai cairan pelumas dengan jalan melapisi dan melindungi mukosa terhadap iritasi mekanis, kimiawi, termis, membantu kelancaran aliran udara, dan membantu pembicaraan dan penelanan makanan. (2) Sebagai cadangan ion-ion karena cairannya yang jenuh terutama dengan ion kalsium akan memfasilitasi proses remineralisasi gigi. (3) Berperan sebagai buffer yang membantu menetralkan pH plak sesudah makan, sehingga mengurangi waktu terjadinya demineralisasi. (4) Sebagai pembersih sisa-sisa makanan dan membantu proses penelanan makanan. (5) Sebagai antimikroba dan juga mengontrol mikroorganisme rongga mulut secara spesifik misal dengan sIgA, dan non spesifik misal dengan adanya lisosim, laktoferin, sialoperoksidase. (6) Kemampuan aglutinasi dengan adanya agregasi dan mempercepat pembersihan sel-sel bakteri. (7) Membentuk pelikel yang berfungsi sebagai barier misalnya terhadap asam hasil fermentasi sisa-sisa makanan. (8) Membantu pemecahan makanan dan pencernaan karena kandungan ensim amilase. (9) Berperan dalam pengecapan rasa, karena kandungan protein yang berperan dalam interaksi antara makanan dengan kuncup perasa pada sel indera pengecap rasa terutama pada dorsum lidah. (10) Ekskresi, mengingat rongga mulut

7 secara teknis langsung berhubungan dengan bagian luar tubuh, substansi yang disekresikan akan dibuang. (11) Keseimbangan air, dalam keadaan dehidrasi, aliran saliva akan menurun, dan rongga mulut akan terasa kering., orang akan merasa haus sehingga ada sinyal untuk minum. Meskipun saliva mempunyai fungsi yang begitu banyak, sebagian orang akan merasa jijik dengan cairan berlendir yang keluar dari rongga mulut tersebut, tetapi untuk sementara anak mengeluarkan saliva dapat merupakan hal yang menyenangkan. Deteksi komponen darah pada saliva Tidak seperti spesimen yang berasal dari darah, yang proses penyediaannya harus melalui prosedur invasif, saliva merupakan spesimen yang mudah penyediaannya. Saliva dapat dikumpulkan dengan prosedur non invasif, tanpa merusak kulit tubuh, dan tidak menimbulkan rasa takut terutama pada anak-anak (Whelton, 1996). Sebagai spesimen diagnostik, saliva tidak hanya memberi informasi yang sama dengan serum darah, tetapi dapat memberi informasi tambahan yang tidak didapatkan pada serum. Selain hal tersebut, Hofman (2001) berpendapat saliva dapat digunakan untuk skrining karena banyak obat-obatan, alkohol, nikotin, kokain, hormon-hormon maupun toksin, dapat dideteksi dan diukur dari saliva. Saliva juga dapat untuk mendeteksi antibodi terhadap virus HIV, hepatitis A dan B, mendiagnosis dan memonitor penyakit, misalnya diabetes melitus. Penelitian Karjalainen et al., (1996) menunjukkan pada anak-anak penderita diabetes melitus didapat adanya hiperglikemia yang akan menurunkan aliran saliva, menaikkan level glukose dalam saliva, serta menaikkan jumlah laktobasilus dan jamur. Pada umumnya, dibandingkan dengan orang dewasa, volume permenit saliva pada anakanak lebih besar dan pengumpulannya lebih mudah. Yang perlu diperhatikan hanyalah pada waktu pengumpulan saliva hendaknya tidak dilakukan secara bersama-sama dalam satu waktu, karena anak akan berlomba untuk dapat mengumpulkan saliva lebih banyak dari teman lainnya. Menurut Hofman (2001), yang masih menjadi masalah tentang kegunaan saliva secara umum adalah adanya kekurangan data tentang jumlah komponen saliva dalam keadaan normal dan efek dari pemberian obat-obatan. Menurut FDA kit yang disiapkan barulah

8 yang berhubungan dengan pengumpulan dengan sistem Ora Sure untuk HIV dan penyalahgunaan obat (Epitop), meskipun kit untuk hormon-hormon steroid (Diagnostic Systems Laboratories and Salimetrics) dan sIgA dan melatonin (ALPCO) sudah tersedia untuk kepentingan riset. Dengan meningkatnya kasus-kasus penganiayaan terhadap anak, The American Board of Forensic Odontology mengeluarkan Guidelines for Bite Analysis, yaitu suatu metode standar untuk membuat dokumentasi bukti-bukti penganiayaan, meliputi foto berwarna maupun hitam putih, cetakan pada bagian yang terkena jejas (luka gigitan), dan juga pengambilan saliva di sekitar bagian tubuh yang terkena jejas tersebut. Kegunaan spesimen saliva tersebut antara lain untuk pemeriksaan serologis forensik (Lee et al., 2002). Volume, aliran, dan pH saliva pada anak Aliran saliva berhubungan dengan volume dan pH saliva, dan ini merupakan hal yang penting dalam pertahanan rongga mulut. Maka sebagai dokter gigi, pemeriksaan saliva hendaknya merupakan pemeriksaan rutin, karena sampai saat ini masih banyak dokter gigi yang mengabaikan hal tersebut, dan hanya memeriksa keluhan utama pada anak yang umumnya adalah karies. Sampai dengan umur 15 tahun volume saliva lebih besar dibanding pada umur yang lebih dewasa. Dengan bertambahnya umur seseorang, akan terjadi penurunan produksi saliva. Perubahan terbesar terjadi pada glandula parotis, karena secara bertahap akan terjadi perubahan jaringan yang menyusunnya. Dari masa anak-anak sampai dewasa, pergantian jaringan ini terjadi sampai sekitar 50%. Selain perubahan jaringan terjadi pula perubahan pada sel-selnya, dan juga penurunan sintesis protein. Hal ini akan berakibat pada penurunan produksi salivanya (Davis, 1986). Volume saliva dipengaruhi oleh banyak hal dan dalam waktu 24 jam volume saliva sekitar 1000 1500 ml. Pada waktu tidur volume saliva paling banyak 0,1 ml/menit. Pada waktu terjaga dan tidak ada rangsangan volumenya sekitar 0,3 ml/menit, tetapi pada waktu mengunyah makanan volume akan meningkat menjadi 4 ml/menit (Hofman, 2001). Menurut Almstahl dan Wikstrom (1999), pada umur

9 dewasa apabila dalam keadaan terjaga dan tidak ada rangsangan maka volume saliva < 0,1 ml/menit dan bila ada rangsangan volumenya < 0,7ml/menit, sedangkan pada umur muda bila tidak ada rangsangan volume saliva < 0,32 ml/menit dan bila ada rangsangan <1,6 ml/menit, ini berarti sangat rendah dan perlu diwaspadai. Kebiasaan jelek pada anak juga dapat berpengaruh terhadap produksi saliva, misalnya pada kebiasaan bernafas melalui mulut akan menyebabkan penurunan volume saliva. Hal yang perlu diwaspadai pada anak adalah timbulnya gingivitis terutama pada regio depan atas. Koch dan Poulson (2001) mengatakan bahwa volume saliva pada anak-anak sekolah yang diberi rangsangan menunjukan dibawah 0,7 ml/menit dan yang tidak dirangsang sebesar 0,1 ml/menit adalah rendah, dan umumnya sekresi saliva anak-anak perempuan lebih sedikit dibanding anak laki - laki. Akan tetapi menurut Watanabe et al. (1998) jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap sekresi saliva. Pemeriksaan pada anak-anak di SD Islam Terpadu Al Hasanah, Ngaglik, Sleman didapatkan volume saliva yang tidak dirangsang sebesar 0,44 ml/menit yang berarti rendah dan keadaan ini diikuti dengan indeks karies yang tinggi (deft = 7,78 dan defs = 16,83) dan kebersihan mulut yang kurang (Supartinah, 2000). Perubahan saliva yang berupa volume, aliran, dan pH, juga terlihat pada penderita recurrent aphthous stomatitis (RAS). Penelitian pada murid-murid sekolah lanjutan di Kodya Yogyakarta yang menderita RAS mempunyai kecenderungan penurunan volume saliva dan pH saliva dengan viskositas yang lebih besar. Dapat diartikan bahwa volume kecil dengan aliran yang lambat merupakan salah satu penyebab timbulnya RAS (Siswanti dan Supartinah, 2002). Dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi normal, pada anak-anak penderita KKP (Kekurangan Kalori dan Protein) didapatkan volume saliva lebih rendah/sedikit, pH saliva lebih rendah, dan waktu alir saliva lebih rendah pula (Supartinah, 1993). Dengan demikian dapat diartikan bahwa status gizi berperan pula terhadap status saliva anak. Ini merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh para dokter gigi anak pada waktu melakukan perawatan gigi, terutama yang menyangkut jaringan periodontal. Misalnya pada waktu melakukan perawatan endodontik atau perawatan preventif orthodontik yang sedang berkembang saat ini.

10 Pengaruh makanan terhadap saliva Jenis, bahan, dan pengolahan makanan berpengaruh terhadap proses pengunyahan yang selanjutnya berpengaruh pula pada produksi saliva dan pertumbuhan bakteri rongga mulut. Dari penelitian didapatkan ada perbedaan pertumbuhan bakteri Streptococcus alpha dan Staphilococcus spp pada anak sekolah dasar di kota dan di desa. Pertumbuhan kedua bakteri tersebut ternyata lebih banyak pada anak sekolah dasar di kota dari pada anak sekolah dasar di desa. Didapatkan pula bahwa pola makan anak di desa sangat sederhana, tidak banyak variasi jenis makanan maupun cara memasaknya. Mereka hampir tidak pernah mendapat makanan kecil, jarang makan protein hewani, dan tidak mempunyai kebiasaan minum manis (Supartinah, 1999). Makanan mempunyai efek terhadap aliran dan komposisi saliva baik secara lokal maupun sistemik. Makanan yang memerlukan pengunyahan ataupun aroma dan rasa yang tajam akan menaikkan aliran dan juga merubah komposisi saliva. Perubahan komposisi secara sistemik terjadi karena adanya perubahan pada komponen-komponen plasma. Ada hubungan langsung antara plasma dengan konsentrasi urea, yaitu dengan bertambahnya masukan protein dalam diet akan menaikkan kadar urea dalam plasma maupun saliva. Pada anak kekurangan kalori dan protein akan mempengaruhi sintesis protein pada glandulanya. Menurunnya kandungan protein dalam saliva akan diikuti dengan menurunnya komponen imunologik pada sekresi saliva (Roth dan Calmes, 1981). Kalau kita makan, akan ada bagian dari substansi makanan sehari-hari yang larut dalam saliva, yang kemudian akan berdifusi atau bereaksi dengan jaringan rongga mulut. Efek saliva yang baru disekresikan bersama-sama dengan proses menelan akan mengurangi substansi yang larut tersebut, sehingga pembersihan rongga mulut menjadi lebih cepat, dan hal ini penting dalam pertahanan kesehatan rongga mulut (Dawes, 1996). Keberadaan makanan dalam rongga mulut merupakan rangsangan yang kuat terhadap produksi saliva, karena adanya gerakan pengunyahan terlebih lagi adanya rangsangan terhadap efek pengecapan rasa. Jenis makanan yang berbeda akan memberi rangsangan salivasi yang berbeda pula. Penelitian pada anakanak umur 5 tahun baik laki-laki maupun perempuan yang diberi

11 makanan yang berupa kue kering, pickled radish, sosis, kentang, apel, dan nasi menunjukkan rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengunyah kue kering paling lama, dan waktu paling cepat adalah untuk mengunyah kentang. Sekresi saliva paling banyak pada pengunyahan kue kering dan paling sedikit pada pengunyahan nasi. Dinyatakan bahwa jangka waktu pengunyahan makanan dan sekresi saliva dipengaruhi oleh kandungan air dalam makanan sebelum dimakan, dan efek terhadap pengecapan rasa ternyata lebih penting daripada mekanisme pengunyahan makanan (Watanabe et al., 1998). Peran saliva dalam pembentukan plak pada permukaan gigi Di dalam rongga mulut, pengertian tentang saliva secara keseluruhan meliputi produksi saliva dari glandula salivarius mayor, minor, maupun cairan krevikuler gingiva. Gingiva dalam keadaan sehat aliran cairan krevikulernya kecil, tetapi dalam keadaan inflamasi jumlah cairan tersebut akan bertambah. Cairan krevikuler gingiva ini sangat berperan dalam penyediaan nutrien bagi mikroorganisme, sementara gerakan alirannya akan melepaskan sel-sel mikroorganisme yang tidak melekat. Banyak bakteri dari plak subgingiva bersifat proteolitik, dan berinteraksi secara sinergis untuk memecah protein dan glikoprotein menjadi peptida, asam amino, dan karboksilat yang berguna untuk pertumbuhan. Faktor pertahanan yang terdapat dalam cairan krevikuler gingiva antara lain IgG, leukosit, limfosit, monosit, maupun enzim-enzim seperti kolagenase, karenanya kandungan ini dapat pula dideteksi dalam saliva secara keseluruhan Di dalam saliva terkandung bahan-bahan anorganik misalnya kalsium, phosphate, potasium, magnesium, maupun bahan-bahan organik misalnya protein dan enzim-enzim. Komponen organik terbesar dalam saliva adalah protein dan glikoprotein seperti musin yang mempunyai pengaruh atau peranan yang besar terhadap mikroflora rongga mulut. Peran protein dan glikoprotein saliva tersebut adalah (1) membentuk aquired pelllicle, suatu lapisan tipis melekat pada gigi, sebagai tempat perlekatan mikroorganisme disamping sebagai pertahanan lapis pertama email gigi, (2) berperan sebagai sumber nutrien primer untuk pertumbuhan mikroorgamisme rongga mulut, (3) akan menyebabkan agregasi mikroorganisme dan

12 kemudian memfasilitasi pembersihan dari rongga mulut dengan adanya penelanan, (4) menghambat pertumbuhan mikroorganisme eksogen (Marsh dan Martin, 2000). Aquired pellicle ini merupakan persyaratan penting dalam awal pembentukan plak. Tergantung pada susunannya, plak akan dapat bersifat kariogenik ataupun non kariogenik. Plak kariogenik merupakan plak yang adhesif dan mengandung sejumlah besar polisakarida, terutama glukan ikatan 1-3 yang tidak larut dan sifatnya lengket. Plak yang lebih padat dengan sedikit glukan intraseluler, merupakan plak yang nonkariogenik. Pada plak kariogenik terdapat matriks yang kaya akan polisakarida yang akan menghambat difusi asam organik keluar dari plak, atau menghambat kalsium berpenetrasi ke dalam plak. Jadi akan terjadi penghambatan remineralisasi. Hambatan difusi asam keluar dari dalam plak dan yang berdekatan dengan permukaan email akan memudahkan terjadinya proses demineralisasi. Pada plak yang lebih padat, substrat akan dimetabolisme pada permukaan plak, jauh dari permukaan email, sehingga proses demineralisasi lebih rendah. Terdapat indikasi bila plak sudah matang, glukose, fruktose dan karbohidrat lain yang dapat difermentasikan akan memungkinkan terjadinya karies pada bagian permukaan gigi yang halus (Rolla et al., 1998). Peran molekul-molekul saliva terhadap pertahanan jaringan Dalam mekanisme pertahanan jaringan rongga mulut saliva dapat bersifat non spesifik maupun spesifik. Sifat non spesifik adalah dengan adanya aliran maupun kandungan musin aglutinin saliva yang akan melepaskan mikroorganisme secara fisik, lisosim-protease-anion akan menyebabkan sel lisis. Disamping itu laktoferin akan mengikat Fe, apo laktoferin akan mematikan sel, dan peptida kaya akan histidine yang bersifat anti fungi. Sifat spesifik adalah dengan adanya limfosit intra epitelial yang berfungsi sebagai barier seluler terhadap penetrasi bakteri atau antigen. Selain itu sIgA yang akan mencegah perlekatan dan metabolisme bakteri, komplemen yang akan mengaktifkan neutrofil, dan makrofag yang berperan dalam proses fagositosis (Marsh dan Martin, 2000).

13 Dewasa ini penelitian mengenai saliva banyak ditujukan ke arah komposisi dan signifikansi klinisnya, termasuk viskositasnya yang sering dipakai sebagai parameter fisik. Para peneliti menekankan perlunya dilakukan isolasi untuk mengetahui karakteristik biokimiawi dari sejumlah molekul dalam saliva. Levine (1993) mengajukan konsep hubungan antara fungsi saliva berdasar molekul-molekulnya. Diperkirakan molekul-molekul saliva tersebut terdiri dari beberapa famili, dan masing-masing dapat menjadi beberapa anggota sehingga fungsinya akan lebih banyak. Sebagai contoh, statherine, suatu protein dalam saliva, dapat berfungsi dalam mineralisasi, pelumasan, maupun pelapis jaringan. Histatin, juga suatu bagian protein kecil dalam saliva, berfungsi dalam efek buffer, dalam mineralisasi karena mempertahankan kekerasan kristal-kristal hidroksiapatite pada email, anti fungi karena menghambat pertumbuhan candida, maupun antibakteri. Adanya multifungsi antara molekul-molekul tersebut, dapat menjelaskan adanya mekanisme kompensasi dalam saliva, sehingga sangat dimungkinkan pada individu dengan kandungan statherine yang rendah dapat dikompensasi oleh adanya sejumlah besar protein kaya prolin. Protein kaya prolin ini terutama diproduksi oleh glndula parotis, akan melindungi email setelah berikatan dengannya. Sementara itu protein kaya prolin juga berikatan dengan bakteri kariogenik, sehingga bakteri tidak dapat menempel pada email (Karjalainen et al., 1996). Pada penderita xerostomia yaitu gejala kekeringan dalam rongga mulut karena produksi saliva yang sangat rendah, tidak dapat langsung diartikan akan kehilangan fungsi protektifnya. Ada penderita xerostomia dengan karies yang tinggi, sementara ada penderita lain akan menderita kekeringan pada mukosa mulutnya disertai dengan mukositis (Christersson dan Glantz, 1998), sehingga menyulitkan pada penelanan makanan. Pada anak-anak, kekeringan mukosa mulut dapat diakibatkan adanya perawatan radiasi pada daerah leher dan kepala, karena akan terjadi kerusakan sel-sel asinus pada glandula salivariusnya. Dapat juga karena pengobatan psikhiatrik seperti obatobat antidepresant, yang akan mengurangi aliran saliva. Pada anak penderita asma yang diberi -2 agonist seperti Proventil, akan berpengaruh pada fungsi glandulanya, dan menurunkan aliran saliva. Keadaan ini akan disertai adanya erythematous pada gingivanya (Karjalainen et al., 1996)

14 Pembentukan aquired pellicle pada permukaan gigi merupakan permulaan seri mekanisme pertahanan oleh molekul-molekul saliva. Absorpsi molekul saliva pada permukaan yang solid disatu fihak tergantung pada karakteristik permukaan misalnya muatan atau kekasaran permukaan, tetapi di fihak lain tergantung pada komposisi saliva dan hubungan kompleks intermolekul. Pada permukaan mukosa aquired pelikel juga berfungsi sebagai barier terhadap kekeringan dan lingkungan yang merugikan. Disini peranan musin sangat penting dalam mengontrol permeabilitas permukaan mukosa, membatasi penetrasi iritan dan toksin dari makanan, minuman atau bahan-bahan lain. Permukaan mukosa yang lembab karena musin saliva juga berfungsi sebagai membran selektif terhadap iritan dan menjaga ekosistem rongga mulut (Christersson dan Glantz, 1998). Musin saliva terdiri dari kerangka protein yang panjang, merupakan tempat perlekatan rantai-rantai oligosakarida. Musin yang bersifat licin ini melindungi epitel secara fisik, sehingga jaringan epitel tetap fleksibel. Kemampuan musin adalah mempertahankan kelembaban karena adanya kandungan karbohidrat yang tinggi (lebih dari 80%) yang merupakan retensi kuat terhadap air. Secara selektif musin dan protein saliva yang lain akan berinteraksi dan memodulasi mikroorganisme dalam rongga mulut. Pada permulaan pembentukan aquired pellicle, protein-protein yang kecil seperti protein kaya prolin, cystein, statherin, akan diabsorpsi email lebih awal, baru kemudian disusul musin karena merupakan protein yang lebih besar. Musin dan glikoprotein saliva merupakan komponen proteksi utama terhadap proses demineralisasi, terhadap kerusakan mekanis, dan pengunyahan dengan beban sedang, sedangkan statherin sangat berperan dalam hal pelumasan pada pengunyahan dengan beban yang besar. Seperti pada permukaan gigi, sel-sel epitel mukosa bukal juga dilapisi oleh glikoprotein saliva, yaitu pelikel mukosa. Dari penelitianpenelitian didapatkan adanya perbedaan yang esensiel antara pelikel pada permukaan gigi dan pada mukosa. Pembentukan pelikel pada email oleh karena adanya interaksi non kovalen antara protein saliva dengan matriks hidroksiapatit, sedangkan protein pelikel mukosa karena adanya interaksi kovalen dengan sel-sel epitel bukal, karena adanya enzim-enzim transglutaminase suatu enzim yang terlibat dalam proses kornifikasi pada stratum korneum. Kandungan pelikel

15 pada mukosa mulut tersebut adalah MG1, MG2, amilase, cystatin, dan protein kaya prolin. Bakteri rongga mulut akan dilapisi oleh glikoprotein saliva dengan mediator seperti lectin-karbohidrat. Lapisan ini akan mencegah adhesin bakteri dan agregasi bakteri. Kedua proses ini akan menghambat ikatan bakteri ke pelikel yang selalu ada dalam rongga mulut. Saliva yang berasal dari glandula submandibularis dan sublingualis misalnya, akan menghambat ikatan bakteri P. gingivalis dengan S. gordonii, sIgA akan menghambat ikatan S. pyogenes ke selsel epitel mukosa mulut. MG1 dan MG2 dari glandula submandibularis dan sublingualis mengikat bakteri-bakteri yang berbeda, sebagai contoh MG2 mengikat Streptococcus spp, C. albicans, maupun A. actinomicetemcomitans. MG1 akan mengikat bermacammacam mikroorganisme diantaranya C. albicans, P. gingivalis, Heaemophilus parainfluenza, dan virus HIV-1. Dari uraian tersebut diatas, kiranya dapat dimengerti mengapa gigi yang akan tumbuh pada anak-anak mengakibatkan pengeluaran saliva yang banyak. Pada proses kemunculan gigi di rongga mulut, akan menyebabkan sobeknya gingiva (gusi) anak. Kerusakan ini akan memudahkan terjadinya radang gusi. Untuk mencegah terjadinya radang yang dapat berlanjut ke infeksi, fungsi pertahanan saliva akan berjalan, baik secara mekanis maupun secara imunologis. Usaha pencegahan karies pada anak sudah banyak dilakukan, diantaranya yang paling mudah dan murah adalah dengan menyikat gigi. Apalagi ditambah dengan pemakaian pasta gigi untuk anak-anak yang sudah tersedia luas dipasaran dengan berbagai rasa dan warna yang sangat menarik. Namun pada kenyataannya prevalensi karies pada anak masih sangat tinggi, demikian pula halnya gingivitis atau radang gusi pada anak. Hal ini sangat perlu kita waspadai, karena status kesehatan rongga mulut pada anak dapat menggambarkan status kesehatan mulut pada masa dewasanya. Mengingat berbagai komponen dalam saliva dengan berbagai fungsi pertahanannya baik terhadap jaringan keras maupun jaringan lunak rongga mulut anak, para dokter gigi terutama para dokter gigi anak perlu memperhatikan keadaan saliva pasien-pasiennya. Ditinjau dari morfologi gigi desidui maupun gingiva pada anak yang bentuknya gemuk dan pendek, ditambah dengan vaskularisasi jaringan pendukung gigi yang tinggi, serta status saliva anak yaitu sekresi atau

16 volume yang besar, viskositas yang lebih rendah (lebih encer sehingga aliran lebih lancar), serta pH saliva yang tidak begitu asam, semestinya penyakit rongga mulut anak akan lebih mudah dikontrol. Untuk mencapai keberhasilan dalam pencegahan penyakit dalam rongga mulut anak, memang sangat diperlukan kerjasama yang baik antara dokter gigi anak, orang tua, maupun dengan pasien, mengingat anak belum bisa menjaga kesehatan rongga mulut sendiri. Sebelum saya mengakhiri pidato saya ini, perkenankanlah saya menyampaikan pesan pada anak didik, para mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi yang saya cintai. Saya merasa bangga bahwa kalian semua telah memilih ilmu kdokteran gigi sebagai pijakan dalam pengembangan karier. Sementara banyak orang menyatakan bahwa ilmu kedokteran gigi bukanlah ilmu kelas satu. Adalah menjadi tugas kalian untuk membuktikan bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Salah satu upaya yang dapat kalian lakukan adalah : kuasailah dan kembangkanlah ilmu dasar, disamping masalah klinis yang ada Tinggalkanlah anggapan bahwa ilmu dasar ibaratnya ladang yang kering, sementara ilmu yang bersifat klinis adalah ladang yang basah. Salah satu contoh yang ada di depan kita dan memerlukan pemecahan adalah : mengapa prevalensi karies pada anak cenderung bertambah besar, padahal tindakan pencegahan secara klinis sudah kita lakukan?. Marilah kita bersama-sama mencari pemecahannya, lewat ilmu dasar yang sangat menunjang pada penerapan klinis. Semoga hanya bercanda, kalau diantara kita ada yang menyatakan : kalau tidak ada lagi karies pada gigi anak-anak, pekerjaan kita akan berkurang, dan ini berarti rezeki turun. Bahkan ada yang lebih bercanda lagi : biarlah anak-anak makan permen, meskipun itu tidak baik untuk gigi anak, tetapi sangat baik untuk dokter gigi anak. Marilah kita tinggalkan itu semua, karena masih sangat banyak pekerjaan kita yang menyangkut kesehatan rongga mulut anak, yang lebih lanjut akan menyangkut pertumbuhan dan kesehatan secara umum.

17 DAFTAR PUSTAKA

Almstahl, A. & Wikstrom,W. 1999. Oral microflora in subjests with reduced salivary secretion. J.Dent. Res. 78(8) : 1410 1416. Anonim, 2000a. Addressing Disease Burden through Preventive, Medical, and Surgical, Appendix, Oral Health Care. Anonim, 2000b. Links between oral and general health, Nationale Institute of Dental and Craniofacial Research. www.nidcr.nih.gw. Anonim, 2000 c. Study suggests transmits periodontal disease. Dental hiway.www. perio. org. Baar-Agholme, M., Dahllof, G., Modeer, T., Engstrom, PE. Engstrom, G.M. Periodontal conditions and salivary immunoglobulins in individuals with Down Syndrome. J. periodontol. 69 : 1119 1123. Christersson, C. & Glantz, P.O. 1998. The role of salivary film formation in oral health. Dalam Oral Biofilms and Plaque Control (Busscher, H.J. & Evans, L.V.) Harwood Academic Publ. Switzerland. Cole, A.S. & Eastoe, J.E. 1977. Biochemistry and oral biology. Topan Co. Ltd. Singapore. Dahllof, G. & Martens, L. 2001. Children with chronic health conditions-implications for oral heath. Dalam Pediatrics dentistry a clinical approach (Koch, G & Poulen, S. eds.) Munksgaard, Copenhagen. Dawes, C. 1996. Factors influencing salivary flow rate and composition. Dalam Saliva and Oral Health, Thanet Press Ltd., Margate. Davis, W.L. 1986. Oral histology, cell structure and function. W.B. Saunders Co., Philadelphia. Edgar, M. & Higham, S.M. 1996. The functions of salivary protein. Dalam Saliva and Oral Health. Thanet Press Ltd. Margate Faine, M. 2001. Nutrition issues and oral health. Pasific west maternal and child health. Distance Learning network. Hofman, L.F. 2001. Innovative non-or minimally-invasive technologies for monitoring health and nutritional status in mothers and young children J. Nutr.131 : 1621S 1625S.

18 Karjalainen, KM., Knuuttila, MLE., Kaar, M. 1996. Salivary factors in children and adolescent with insulin-dependent diabetes melitus. Pediatric Dentistry : 18(4) : 306 311. Koch, G. & Poulsen,S. 2001. Pediatric Dentistry a clinical approach. Munksgaard, Copenhagen. Koloway, B., Kaligis, D.G. 1992. Caries, gingivitis and oral higyene in urban and rural pre-school children in Indonesia, Com. Dent. Oral Epidemiol. 20(3) : 157 158. Lee, L.Y., Ilan,J.,Mulvey,T. 2002. Human biting of children and oral manifestations of abuse : a case report and literature reviiew. J. Dent. Child. : 92 95. Lukito,E. 1996. Penyuluhan dan pengobatan gigi dan mulut anak TK Al Huda, Purwomartani, Kalasan, Sleman. Laporan Pengabdian Masyarakat, LPM UGM. Marsh, P. & Martin, M.V. 2000. Oral Microbiology. 4th.ed. Wright. Oxford. Nieuw Amerongen,A.V. & Veerman, E.C.I. 1998. Salivary mucin and oral microbial adhesion. Dalam Oral Biofilms and Plaque Control. (Busscher, H.J. & Evans, L.V.). Harwood Academic. Publ. Switzerland. Putri, K.W. 1996. Penyuluhan dan pengobatan gigi dan mulut anak TK Tunas Melati, Sidoarum, Godean, Yogyakarta. Laporan Pengabdian Masyarakat, LPM UGM. Rolla, G.,Waaler, S.M. & Kjaerheim. 1998. Concepts in dental plaque formation. Dalam Oral biofilms and plaque control (Busscher, H.J. & Evans, L.V. eds.). Harwood academic publ., Switzerland. Roth, G.I. & Calmes, R. 1981. Oral Biology. Mosby Company, London. Seow, W.K. 1998. Biological mechanisms of early childhood caries. Pasific west maternal and child health. Distance Learning Network. Siswanti, A. & Supartinah S.Al. 2002 Oral Cavity & Mucous Conditions as Recurrent Aphthous Stomatitis Risk Factors. Dermato-Venereology Dept. Faculty of Medicine, Gadjah Mada University.

19 Supartinah S, Al. 1993. Perubahan gambaran sitologik epitel rongga mulut dan status saliva pada anak dengan status gizi kurang usia 6 - 12 tahun di kecamatan Tepus dan Dlingo Yogyakarta. Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung. Supartinah S. Al. 1999. Pengaruh makanan sehari-hari terhadap pertumbuhan Streptococcus alpha dan Staphilococcus pada rongga mulut anak. MIKGI 1(2) : 41 43. Supartinah S, Al. 2000. Hubungan antara volume saliva dan kebersihan mulut dengan keparahan karies pada anak. MIKGI. 11 (3) : 51 53. Watanabe, S., Hirasawa, M., Tokiyasu, Y. 1998. Effects of Chewing Foods on Salivary Flow Rate in Children. Dentistry in Japan, 34: 101 104. Whelton, H. 1996. Introduction : the anatomy and phisiology of the salivary glandula. Dalam. Saliva and oral health. Thanet Press Ltd., Margate.

Anda mungkin juga menyukai