Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia, begitu juga

dengan kesehatan gigi dan mulut. Kesehatan gigi dan mulut adalah investasi

kesehatan seumur hidup karena merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari

kesehatan secara umum. Hal ini terlihat jelas bahwa faktor-faktor penyebab dan

risiko penyakit mulut dapat mempengaruhi kesehatan secara umum (Ramadhan

dkk, 2016).

Penyakit gigi dan mulut yang paling sering dialami oleh masyarakat Indonesia

adalah karies. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013

menyatakan penduduk Indonesia yang menderita masalah gigi dan mulut

sebanyak 25,9%. Prevalensi karies melalui indeks DMF-T (Decayed, Missing,

Filled Teeth) sebesar 4,6%, hal ini menunjukkan bahwa rata-rata penduduk

Indonesia menderita karies sebanyak 4 sampai 5 buah gigi perorang.

Status gizi merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam

menilai kualitas sumber daya manusia. Penyebab dari kekurangan gizi yaitu

kurangnya asupan energi dan protein dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal

ini biasanya dikaitkan dengan faktor penyakit, seperti karies. Kehilangan struktur

gigi seperti karies menyebabkan berkurangnya jumlah luas dataran oklusal dan

memutuskan kontak antar gigi sehingga proses penghancuran makanan menjadi

tidak sempurna, terjadi penurunan produksi saliva yang menyebabkan makanan

tidak larut dengan baik. Seseorang dengan kekuatan kunyah yang kurang baik

1
2

akan berusaha memilih makanan sesuai dengan kekuatan kunyah yang dimilikinya

(Setiawan, 2003).

Karies juga dapat menyebabkan rasa sakit pada anak, seperti rasa sakit

spontan atau adanya rangsangan mekanis dari makanan. Rangsangan yang sensitif

ini sangat mengganggu terutama saat anak mengkonsumsi makanan atau

minuman. Masalah tersebut menyebabkan sebagian besar penderita karies tidak

mampu memperoleh berbagai jenis makanan yang kaya akan sumber gizi

(Ghofar, 2012).

Anak usia 8-11 tahun sedang dalam periode gigi bercampur atau mix dentition.

Dari segi perilaku, anak pada usia tersebut sudah mampu menentukan pesan mana

yang layak mendapat perhatian dan tidak. Pada umumnya mereka sudah memiliki

kemampuan yang cukup untuk menyikat gigi sendiri namun tidak memiliki

motivasi atau kemauan untuk melaksanakannya (Chadwick, 2003). Pada periode

ini frekuensi makanan kariogenik yang dikonsumsi anak sangat tinggi. Hal ini

disebabkan karena anak mampu membelinya sendiri (Prasetya, 2008).

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Bali Tahun 2013, menyatakan

Kabupaten Klungkung masuk dalam 3 besar Kabupaten dengan masalah gigi dan

mulut tertinggi di Bali. Kabupaten Klungkung menduduki urutan kedua setelah

Kabupaten Bangli. SDN 1 Gunaksa terletak di Desa Gunaksa, Kecamatan

Dawan, Kabupaten Klungkung. SDN 1 Gunaksa masuk dalam wilayah kerja

Puskesmas 2 Dawan. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai

buruh pasir dan petani. Desa Gunaksa merupakan daerah yang kering karena

lokasinya terletak di daerah perbukitan. Daerah kering menyebabkan suhu tubuh


3

meningkat dan tubuh kekurangan cairan. Jika tubuh kekurangan air, kelenjar

saliva akan mengurangi sekresi untuk mempertahankan jumlah air dalam tubuh

sehingga produksi saliva berkurang. Produksi saliva yang rendah berdampak pada

kondisi rongga mulut menjadi lebih asam dan rentan terhadap karies

(Kasuma, 2015).

Masalah gigi dan mulut tidak hanya dialami oleh masyarakat perkotaan

melainkan masyarakat pedesaan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

tahun 2013 menyatakan indeks DMF-T di daerah pedesaan lebih tinggi 4,8%

dibandingkan di daerah perkotaan 4,3%. Dari studi pendahuluan yang telah

dilakukan peneliti, didapatkan bahwa murid di SDN 1 Gunaksa memiliki indeks

karies yang tinggi yaitu def-t sebesar 4,6 dan DMF-T sebesar 4,7.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai hubungan angka kejadian karies terhadap status gizi pada anak

usia 8 – 11 tahun di SDN 1 Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.


4

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah hubungan angka kejadian karies terhadap status gizi pada anak

usia 8-11 tahun di SDN 1 Gunaksa, Klungkung?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan angka kejadian karies terhadap status gizi pada

anak usia 8 - 11 tahun di SDN 1 Gunaksa, Klungkung.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan

teoritis untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan angka kejadian

karies terhadap status gizi.

2. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi

mengenai dampak karies yang tidak hanya mempengaruhi kesehatan di

rongga mulut, melainkan kesehatan secara umum.

3. Sebagai acuan bagi instansi kesehatan dalam meningkatkan mutu

pelayanan kesehatan gigi dan mulut.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah bidang Kedokteran Gigi Anak dan

Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karies

2.1.1 Definisi Karies

Karies gigi merupakan suatu proses yang mungkin terjadi pada setiap

permukaan gigi di rongga mulut. Hal ini terjadi akibat dari plak gigi yang

dibiarkan berkembang selama periode waktu tertentu. Plak merupakan

kumpulan mikroorganisme yang melekat pada permukaan gigi.

Mikroorganisme dalam plak selalu aktif secara metabolik dan mampu

memfermentasikan karbohidrat seperti glukosa dan sukrosa yang

menyebabkan pH rongga mulut menjadi rendah dan menghasilkan asam yang

meningkat (Kidd, 2005).

Karies gigi adalah penyakit pada jaringan keras gigi yang ditandai

dengan terjadinya demineralisasi sehingga membentuk kavitas.

Demineralisasi permukaan gigi terjadi karena penurunan pH secara berulang

dalam jangka waktu yang lama (Shafer, 2012).

2.1.2 Etiologi Karies

Karies gigi merupakan penyakit multifaktorial dengan empat faktor

utama yaitu host, mikroorganisme, substrat dan waktu. Karies membutuhkan

host yang rentan, mikroorganisme yang melekat pada permukaan gigi,

substrat yang sesuai dan harus ada dalam waktu yang cukup lama

(Shafer, 2012). Selain itu terdapat faktor lainnya yang berkaitan dengan

5
6

terjadinya karies yaitu status sosial dan ekonomi, pendidikan, gaya hidup,

lingkungan, umur, etnik dan pekerjaan (Heymann, 2013).

Gambar 2.1 Faktor yang Berkontribusi dalam Terjadinya Karies (Shafer,2012)


a. Host

Host merupakan faktor terpenting dalam etiologi karies. Komposisi

dan struktur gigi mempengaruhi perkembangan dari lesi karies. Permukaan

email yang terluar dikatakan lebih resisten terhadap karies dibandingkan

dengan permukaan dibawahnya. Dari gambar mikroradiografi pada lesi

karies awal terlihat dekalsifikasi dari lapisan di bawah permukaan,

sedangkan permukaan terluar gigi relatif utuh. Permukaan terluar gigi

mengandung karbondioksida yang lebih rendah, kelarutannya lambat

terhadap asam, mengandung lebih sedikit air, dan material anorganik lebih

tinggi. Perubahan email seperti penurunan densitas dan permeabilitas,

peningkatan nitrogen dan kandungan fluoride terjadi seiring bertambahnya

usia. Perubahan ini merupakan bagian dari proses maturasi, dimana gigi

menjadi lebih resisten terhadap karies (Shafer, 2012).


7

Morfologi gigi juga berpengaruh terhadap perkembangan lesi

karies. Adanya celah yang dalam, fissure di bagian oklusal yang sempit

ataupun pit yang dalam dapat menjebak makanan, debris dan bakteri. Gigi

yang paling rentan mengalami karies adalah gigi permanen molar pertama

mandibula dilanjutkan dengan gigi permanen molar pertama maksila.

Posisi gigi juga menjadi faktor yang penting dalam etiologi karies. Gigi

yang berada diluar lengkung rahang, gigi yang mengalami pembengkokan

dan rotasi akan cenderung sulit dibersihkan sehingga terjadi penumpukan

makanan pada lokasi tersebut (Shafer, 2012).

b. Mikroorganisme

Terdapat beberapa mikroorganisme yang mampu merangsang

perkembangan lesi karies. Meskipun banyak kelompok bakteri yang sering

dikaitkan dengan karies, namun kelompok bakteri streptococcus mutans

diyakini sebagai bakteri utama dalam proses awal pembentukan karies.

Selain itu, bakteri lactobacilli juga berperan dalam pembentukan kavitas.

Dalam proses pembentukan karies, pH rongga mulut menjadi rendah yaitu

dibawah 5,5. Dan dalam keadaan asam akan terjadi proses demineralisasi

email yang berlangsung selama 20 menit atau lebih tergantung pada

ketersediaan substrat dan saliva (Cameron, 2008).

c. Substrat

Bakteri menggunakan karbohidrat terfermentasi sebagai energi dan

menghasilkan produk akhir dari proses glikosis berupa asam. Sukrosa

adalah karbohidrat terfermentasi yang paling sering terlibat dalam proses


8

perkembangan lesi karies. Akan tetapi, bakteri dapat menggunakan semua

jenis karbohidrat terfermentasi. Jumlah karbohidrat terfermentasi relatif

tidak penting, karena walaupun jumlahnya sedikit, bakteri akan tetap

dengan segera menggunakannya (Cameron, 2008).

d. Waktu

Ketika keadaan asam terjadi secara terus menerus, hal ini akan

mengakibatkan kerusakan pada enamel rods dan enamel crystal. Kejadian

ini membutuhkan waktu dalam beberapa bulan hingga beberapa tahun

tergantung pada intensitas dan frekuensi asam. Hal ini menunjukkan

bahwa proses demineralisasi dan remineralisasi berlangsung secara terus-

menerus. Proses demineralisasi dan remineralisasi email berlangsung

konstan yaitu mengalami siklus antara kehilangan dan mendapatkan

mineral. Proses jangka panjang dari perkembangan lesi karies tergantung

pada komposisi dan jumlah plak, konsumsi gula, paparan fluoride, aliran

dan kualitas saliva, kualitas email, dan respon imun (Cameron, 2008).

2.1.3 Patofisiologi

Perjalanan karies ditandai dengan proses demineralisasi dan

remineralisasi. Bakteri kariogenik yang terdapat pada biofilm akan

memetabolisme karbohidrat sebagai energi dan menghasilkan produk

sampingan berupa asam organik. Asam organik ini, jika terdapat pada

biofilm dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menurunkan pH hingga

mencapai dibawah normal (5,5 untuk emaill dan 6,2 untuk dentin). pH yang

rendah akan menyebabkan kalsium dan fosfat terlarut dari gigi menuju
9

biofilm untuk mencapai keseimbangan yang disebut dengan proses

demineralisasi. Pada keadaan tersebut terjadi pengurangan mineral pada

gigi.

Ketika pH pada biofilm kembali netral dan konsentrasi kalsium dan

fosfat relatif jenuh, maka mineral dapat kembali pada email yang

mengalami proses demineralisasi. Hal ini disebut dengan proses

remineralisasi. Peristiwa ini akan berlangsung secara terus-menerus selama

gigi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Jika seorang individu cenderung di

dominasi oleh faktor pelindung (remineralisasi) maka kemungkinan

individu tersebut berpeluang untuk menderita karies lebih rendah, dan

sebaliknya. Proses demineralisasi yang berulang akan mengakibatkan

jaringan keras gigi larut dan hancur. Hal ini dapat dilihat dengan adanya lesi

karies atau kavitas (Heymann, 2013).

2.1.4 Gambaran Klinis Karies

Kondisi klinis yang pertama kali tampak pada gigi yang mengalami

karies adalah "white spot" atau gambaran putih opak. Hal ini terjadi akibat

dari penurunan translusensi email. Apabila dalam kondisi ini tidak

dilakukan penanganan, maka seiring berjalanannya waktu lesi "white spot”

dapat berubah menjadi coklat bahkan hampir hitam. Proses demineralisasi

dapat meningkatkan porositas dan permeabilitas email sehingga lesi akan

terus berkembang dan akhirnya membentuk kavitas. Kavitas yang tidak

ditangani dapat meluas ke dentin dan menyebabkan kerusakan pada pulpa

(Fejerskov, 2008).
10

Hipokalsifikasi email sering dianggap sama dengan lesi white spot

pada karies awal. Gambaran klinis hipokalsifikasi pada bagian superfisial

tampak tidak teratur, berwarna kuning kecoklatan, lunak dan dapat dikerok

dengan alat yang lebih tumpul (Patel dkk, 2011).

Grade 1 Grade 2 Grade 3

Grade 4 Grade 5

Gambar 2.2 Gambaran Klinis Karies pada Bagian Labial (Koch, 2009)

a. Grade 1 : tampak “white spot” pada email tanpa adanya kavitas secara

klinis.

b. Grade 2 : mulai terbentuk kavitas yang kecil pada email.

c. Grade 3 : tampak kavitas yang berukuran sedang pada email dan dentin

terbuka (di evaluasi menggunakan probing).

d. Grade 4 : terdapat kavitas yang besar pada email dan sedang pada dentin.

e. Grade 5 : terdapat kavitas yang sangat besar pada email dan terjadi

kehilangan dentin yang cukup luas.


11

Gambar 2.3 Gambaran Klinis Karies pada Bagian Oklusal (Koch, 2009)

Gambar 2.4 Gambaran Klinis Karies pada Bagian Proksimal


(Fejerskov, 2008)

Gambar 2.5 Gambaran Klinis Karies pada Bagian Akar (Fejerskov, 2008)
12

2.1.5 Klasifikasi Karies

Berdasarkan site (letak) dan size (ukuran) karies :

G.J. Mount dan W.R. Hume mengklasifikasikan karies berdasarkan

letak dan ukurannya. Klasifikasi ini bertujuan untuk mempermudah dalam

mengidentifikasi dan menjelaskan kompleksitas karena perbesaran lesi

(Mount, 2005).

a. Berdasarkan letak (site) karies :

Site 1 : karies yang terletak pada pit dan fissure dibagian oklusal dari gigi

posterior dan permukaan halus lainnya.

Site 2 : karies yang terletak pada bagian proksimal (area titik kontak gigi)

baik gigi anterior maupum gigi posterior.

Site 3 : karies yang terletak pada sepertiga mahkota gigi, yaitu pada

bagian servikal gigi atau disertai dengan resesi gingiva atau akar terbuka.

b. Berdasarkan size (ukuran) karies :

Size 0 : tahap awal dari proses demineralisasi, yaitu adanya lesi awal

berupa white spot.

Size 1 : terdapat kavitas dengan ukuran kecil dan sedikit melibatkan

dentin.

Size 2 : terdapat kavitas dengan ukuran sedang dan melibatkan dentin.

Terdapat sisa struktur email dan dentin yang masih baik dan cukup kuat

untuk mendukung restorasi.


13

Size 3 : terdapat kavitas dengan ukuran yang cukup besar. Sisa struktur

gigi lemah dan cusp atau permukaan insisal sudah rusak sehingga tidak

mampu menahan beban oklusi dan mendukung resorasi.

Size 4 : terdapat kavitas dengan ukuran luas dan kehilangan struktur gigi

yang banyak.

2.1.6 Penilaian Status Karies

Metode yang digunakan untuk menentukan status karies adalah indeks

DMF-T pada gigi permanen dan def-t pada gigi sulung. Indeks DMF-T

(Decayed, Missing, Filled Teeth) digunakan untuk menentukan kondisi gigi

yang mengalami kerusakan, hilang, dan tumpatan yang disebabkan oleh

karies pada gigi permanen. Sedangkan indeks def-t (decayed,

extracted/indicated for extraction, filled teeth) digunakan untuk menentukan

kondisi gigi yang mengalami kerusakan, hilang karena karies atau

diindikasikan untuk dicabut, dan tumpatan yang disebabkan oleh karies

pada gigi sulung. Indeks karies ini dapat digunakan untuk menilai prevalensi

dan kejadian karies pada populasi tertentu (Shafer, 2012).

2.1.6.1 Indeks Karies Gigi Permanen

Indeks yang digunakan untuk menentukan status karies pada

gigi permanen adalah indeks DMF-T (Decayed, Missing, Filled Teeth)

dengan kriteria pencatatan sebagai berikut (Marya, 2011) :

a. Decayed (D) : semua gigi yang mengalami karies, karies sekunder

pada tumpatan, gigi dengan tumpatan sementara.


14

b. Missing (M) : gigi yang hilang atau dicabut karena karies, gigi yang

mengalami karies dan tidak dapat ditumpat serta diindikasikan

untuk dicabut.

c. Filled (F) : gigi dengan tumpatan permanen.

Gigi yang tidak masuk dalam perhitungan indeks DMF-T

berdasarkan 28 gigi permanen adalah :

1. Gigi molar ketiga

2. Gigi yang belum erupsi (gigi dikatakan erupsi apabila terdapat

bagian gigi yang menembus gusi).

3. gigi yang tidak erupsi karena kelainan kongenital atau gigi berlebih

(supernumerary teeth).

4. Gigi yang dicabut untuk alasan lain selain karies, seperti untuk

perawatan ortodontik dan impaksi.

5. Gigi yang direstorasi dengan alasan selain karies gigi, seperti gigi

yang mengalami trauma dibuatkan bridge atau restorasi untuk

kebutuhan estetik.

6. Gigi sulung yang mengalami persistensi, gigi permanen yang

dihitung.

Skor DMF-T untuk individu :

Jumlahkan masing-masing komponen secara terpisah :

DMF = D + M + F

Skor DMF-T untuk populasi :

Rata-rata DMF = Jumlah DMF / Jumlah individu yang diperiksa


15

2.1.6.2 Indeks Karies Gigi Sulung

Indeks yang digunakan untuk menentukan status karies pada

gigi sulung adalah indeks def-t (decayed, extracted/indicated for

extraction, filled teeth) dengan kriteria pencatatan sebagai berikut

(Marya, 2011) :

a. Decayed (d) : semua gigi sulung yang mengalami karies, karies

sekunder pada tumpatan, gigi dengan tumpatan sementara.

b. Extracted/indicated for extraction (e) : gigi sulung yang hilang atau

dicabut karena karies, gigi yang terdapat karies tidak dapat

ditumpat dan diindikasikan untuk dicabut.

c. Filled (f) : gigi sulung dengan tumpatan permanen.

Gigi yang tidak masuk dalam perhitungan indeks def-t berdasarkan

20 gigi sulung adalah :

1. Gigi sulung yang tidak ada atau tidak erupsi karena adanya

kelainan kongenital.

2. Gigi sulung yang direstorasi dengan alasan lain selain karies.

3. Gigi berlebih (Supernumerary teeth)

Skor def-t untuk individu :

Jumlahkan masing-masing komponen secara terpisah

def = d + e + f

Skor def-t untuk populasi :

Rata-rata def = jumlah def / jumlah individu yang diperiksa


16

2.1.6.3 Indeks Karies Mix Dentition

Indeks yang digunakan untuk menentukan status karies pada

periode gigi bercampur (mix dentition) adalah indeks DMF-T

(Decayed, Missing, Filled Teeth) dan def-t (decayed,

extracted/indicated for extraction, filled teeth) yang dilakukan dengan

cara terpisah dan tidak dijumlahklan (Marya, 2011).

Dalam pengisian indeks karies mix dentition, peneliti perlu

mengetahui mengenai gigi hilang karena karies atau tanggal fisiologis.

Yaitu dengan memperhatikan :

1. Usia anak yang mendekati waktu tanggal fisiologis.

2. Bentuk ridge, ridge berbentuk cekung menandakan gigi hilang

karena karies. Sedangkan, ridge yang berbentuk datar menandakan

gigi hilang karena tanggal fisiologis dan terkadang terlihat gigi

permanen penggantinya.

3. Indeks DMF/def tinggi karena adanya kehilangan gigi akibat

karies, terutama gigi dengan posisi yang berdekatan dan kontra

lateral.

4. Oral hygiene anak, Oral hygiene yang buruk berkaitan dengan

terjadinya karies.

Untuk menentukan hilangnya gigi karena karies atau keperluan

perawatan orthodontik. Maka perlu memperhatikan :

1. Pada perawatan ortodontik, gigi yang biasa dicabut adalah gigi 4

atau 5. Namun pada karies dapat melibatkan semua gigi.


17

2. Gigi yang hilang bilateral berkaitan dengan perawatan orthodontik.

Tidak sama halnya dengan karies.

3. Indeks DMF/def yang tinggi berkaitan dengan kehilangan gigi

akibat karies.

4. Oral hygiene anak yang buruk berkaitan dengan terjadinya karies.

World Health Organization (WHO) menetapkan kriteria rata-

rata nilai indeks DMF-T dan def-t, sebagai berikut:

Tabel 0.1 Kriteria Rata-rata Nilai DMF-T dan def-t (Fitriana, 2013)
Nilai DMF-T/def-t Kriteria
0,0 – 1,1 Sangat rendah
1,2 – 2,6 Rendah
2,7 – 4,4 Sedang
4,5 – 6,6 Tinggi
>6,6 Sangat tinggi

2.2 Status Gizi

2.2.1 Definisi Status Gizi

Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh seseorang sebagai akibat

dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Baik buruknya status

gizi dapat dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan keadaan kesehatan tubuh

seseorang atau infeksi. Dalam ilmu gizi, status gizi kurang maupun status gizi

lebih dikatakan sebagai malnutrisi. Malnutrisi adalah suatu keadaan patologis

yang diakibatkan dari kekurangan atau kelebihan gizi (Mardalena, 2017).

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh individu yang diakibatkan

oleh digesti, penyerapan, penggunaan, penyimpanan, metabolisme dan


18

pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan tubuh. Setiap individu dapat dinilai

dan diukur status gizinya, sehingga dapat diketahui apakah individu tersebut

termasuk golongan status gizi normal atau malnutrisi (Supariasa, 2002).

2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi

Faktor yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang terdiri dari

faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yaitu asupan

makanan dan penyakit infeksi, faktor tidak langsung yaitu pendapatan dan

tingkat pengetahuan (Suhardjo, 2003).

a. Faktor langsung

1. Asupan makanan

Faktor asupan makanan merupakan penyebab langsung dari kejadian

gizi buruk. Hal ini dikarenakan makanan yang dikonsumsi tidak memenuhi

jumlah dan komposisi zat gizi seimbang. Syarat gizi seimbang yaitu

beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman.

2. Penyakit infeksi

Status gizi dan penyakit infeksi merupakan 2 hal yang saling

mempengaruhi. Dengan adanya infeksi, nafsu makan anak menjadi

berkurang sehingga berdampak pada penurunan konsumsi zat gizi yang

diterima (Oktavia dkk, 2017).


19

b. Faktor tidak langsung

1. Pendapatan

Anggaran belanja keluarga atau tingkat pendapatan yang rendah dapat

menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya

dalam jumlah yang diperlukan.

2. Tingkat pengetahuan

Kurangnya pengetahuan tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari dapat

mempengaruhi perilaku anak dalam mengkonsumsi makanan sehingga

menyebabkan buruknya mutu gizi anak (Susanti dkk, 2012).

2.2.2 Penilaian Status Gizi

Dalam ilmu gizi, terdapat dua metode penilaian status gizi yang kita

ketahui, yaitu :

a. Penilaian status gizi langsung : antropometri, klinis, biokimia dan

biofisik.

b. Penilaian status gizi tidak langsung : survei konsumsi makanan,

statistik vital, faktor ekologi.

Berdasarkan banyaknya metode penilaian status gizi yang ada, maka

peneliti perlu mempertimbangkan faktor untuk memilih metode penilaian

yaitu berdasarkan tujuan, unit sampel yang diukur, jenis informasi yang

dibutuhkan, tingkat reabilitas dan akurasi yang dibutuhkan, fasilitas dan

peralatan yang ada, waktu, tenaga, dan dana yang tersedia (Mardalena, 2017).
20

a. Penilaian status gizi langsung

1. Antropometri

Metode antropometri bertujuan untuk melihat ketidakseimbangan

asupan energi dan protein. Metode ini memiliki beberapa keunggulan

yaitu dapat dilakukan berulang-ulang dan objektif, alat yang digunakan

mudah didapat, relatif murah, hasilnya mudah disimpulkan, sederhana,

aman, bisa digunakan untuk jumlah sampel yang besar, akurat, bisa

untuk skrining, dan secara ilmiah diakui kebenarannya.

Beberapa parameter dalam melakukan penilaian antropometri :

1) Umur : bulan penuh untuk anak 0-2 tahun dan tahun penuh untuk

anak >2 tahun dihitung dari hari lahir.

2) Berat badan : diukur menggunakan timbangan yang sesuai dengan

teknik yang tepat.

3) Tinggi badan : diukur dengan posisi lurus dengan teknik yang tepat.

4) Lingkar lengan atas : dapat menggunakan pita LILA atau meteran.

5) Lingkar kepala

6) Lingkar dada

7) Lipatan kulit dari jaringan lunak (lemak sub cutan) : diukur

menggunakan alat khusus (Mardalena, 2017).

Parameter dalam melakukan penilaian antropometri sebagai

ukuran tunggal belum bisa digunakan untuk menilai status gizi, maka

harus dikombinasikan.
21

Kombinasi beberapa parameter disebut dengan indeks

antropometri, yang terdiri dari :

1) Berat badan menurut umur (BB/U)

2) Tinggi badan menurut umur (TB/U)

3) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

4) Indeks massa tubuh (IMT),

5) IMT menurut umur (IMT/U), dll.

Pada anak-anak dan remaja, pengukuran IMT sangat berkaitan

dengan umurnya. Karena jika terdapat perubahan umur, maka terjadi

perubahan komposisi tubuh dan densitas tubuh. Oleh karena itu, pada

anak-anak dan remaja digunakan indikator IMT menurut umur.

Tabel 0.2 Klasifikasi IMT Berdasarkan Kemenkes RI Tahun 2010


Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Sangat kurus <-3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD

2. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk

mengetahui ada atau tidaknya gangguan kesehatan termasuk gangguan gizi

pada anak. Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dalam beberapa cara,

misalnya melakukan kegiatan anamnesis, observasi, palpasi, perkusi dan

auskultasi (Kemenkes, 2017).


22

3. Biokimia

Pemeriksaan biokimia merupakan metode penilaian status gizi

yang bersifat langsung, yaitu dengan menilai kandungan zat besi, vitamin,

protein, dan mineral. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mendeteksi

keadaan defisiensi zat gizi sub-klinikal, maksudnya yaitu sudah

mengalami kelainan biokimia namun tanpa tanda atau gejala klinis.

Dalam penelitian ini, peneliti memerlukan peralatan yang hanya

ada di puskesmas atau rumah sakit sehingga sulit terjangkau oleh

penduduk yang jauh dari sarana kesehatan. Contoh sampel yang digunakan

pada penilaian status gizi secara biokimia adalah dengan mengumpulkan

serum darah, urine, rambut, dan feces (Kemenkes, 2017).

4. Biofisik

Pemeriksaan biofisik merupakan pemeriksaan untuk menilai

kemampuan fungsi jaringan dan perubahan struktur. Kemampuan fungsi

jaringan seperti kemampuan kerja dan energi ekspenditure serta adaptasi

sikap. Sedangkan tes perubahan struktur dapat diamati secara klinis seperti

pertumbuhan rambut atau pengerasan kuku dan non klinis seperti hasil

radiologi. Pemeriksaan biofisik dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu uji

radiologi, tes fungsi fisik dan sitologi. Pemeriksaan biofisik ini

memerlukan biaya yang besar (Mardalena, 2017).


23

b. Penilaian status gizi tidak langsung

1. Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan dapat digunakan untuk menentukan

status gizi perorangan atau kelompok. Survei ini bertujuan untuk

mengetahui kebiasaan makan atau gambaran tingkat kecukupan zat gizi

dan bahan makanan pada individu, rumah tangga dan kelompok beserta

faktor-faktor yang mempengaruhinya (Mardalena, 2017).

2. Statistik Vital

Data vital statistik dapat digunakan dalam menilai status gizi

seseorang. Angka-angka statistik kesehatan memiliki hubungan dengan

keadaan gizi di masyarakat. Terdapat beberapa data statistik yang

berhubungan dengan keadaan gizi seperti angka kesakitan, angka

kematian, pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi yang berhubungan

dengan gizi (Kemenkes, 2017).

3. Faktor Ekologi

Faktor ekologi yang berhubungan dengan status gizi adalah

keadaan lingkungan manusia yang memungkinkan untuk tumbuh dengan

optimal (Kemenkes, 2017). Faktor ekologi tersebut adalah keadaan

infeksi, pengaruh budaya, konsumsi makanan, produksi pangan, sosial

ekonomi dan kesehatan serta pendidikan (Mardalena, 2017).


24

2.3 Hubungan Karies dengan Status Gizi

Menurut Arisman dalam bukunya yang berjudul Gizi Dalam Daur Kehidupan

Edisi ke 2, berpendapat bahwa karies dentin menduduki urutan kedua yang

menyebabkan masalah gizi pada anak.

Terdapat hubungan bermakna antara karies gigi dan status gizi. Semakin

rendah karies gigi, maka keadaan status gizi menjadi lebih baik. Kondisi tersebut

dikarenakan kesehatan gigi yang baik atau karies gigi yang rendah akan

mempermudah proses mastikasi. Peran gigi geligi dalam proses mastikasi sangat

penting, sehingga asupan zat gizi yang diperoleh akan tercukupi sesuai dengan

kebutuhan tubuh (Junaidi dkk, 2007).


Waktu

1. BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Host Berat Badan

Tinggi Badan
Mikroorganisme

Karies Status Gizi Umur


Substrat
Lingkar lengan

Lingkar kepala

lingkar dada

Lipatan kulit

Gambar 1.6 Kerangka Teori Penelitian

Keterangan :

= Diteliti

= Tidak diteliti

25
26

3.2 Kerangka Konsep

Karies
Usia 8-11 Tahun

IMT (BB/TB22)
Umur

Status Gizi

Gambar 1.7 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

= Variabel bebas

= Variabel antara

= Variabel terikat

3.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Terdapat hubungan antara angka kejadian karies dengan status gizi pada

anak usia 8 - 11 tahun di SDN 1 Gunaksa, Klungkung.


2. BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan studi analitik dengan desain penelitian

cross sectional. Cross sectional adalah penelitian yang melakukan observasi atau

pengukuran variabel pada satu saat tertentu. Tiap responden hanya diobservasi

satu kali dan pengukuran variabel dilakukan pada saat pemeriksaan

(Sastroasmoro, 2014).

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi Penelitian

4.2.1.1 Populasi target

Seluruh anak usia 8 - 11 tahun di Kabupaten Klungkung.

4.2.1.2 Populasi terjangkau

Seluruh anak usia 8 - 11 tahun di SDN 1 Gunaksa, Klungkung

pada tahun ajaran 2018 - 2019.

4.2.2 Sampel Penelitian

4.2.2.1 Kriteria inklusi

1. Anak usia 8 – 11 tahun yang memenuhi kriteria di SDN 1

Gunaksa, Klungkung pada tahun ajaran 2018 - 2019.

2. Anak yang bersedia ikut serta dan mendapatkan izin dari

orang tua dengan mengisi informed consent.

27
28

3. Anak yang bersifat kooperatif dalam mengikuti prosedur

penelitian.

4.2.2.2 Kriteria eksklusi

1. Anak dengan periode gigi permanen.

2. Anak yang menggunakan alat ortodontik cekat.

4.2.2.3 Kriteria drop out

1. Anak yang memenuhi kriteria inklusi namun tidak hadir saat

penelitian berlangsung

4.2.2.4 Besar sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah total sampling pada anak usia 8 - 11 tahun yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi.

Rumus untuk menentukan besar sampel :

Keterangan :

n = sampel

Zα = 1,96

Zβ = 0,84

P = (P1 + P2) / 2

Q =1–P

P1 = Proporsi karies yang memiliki status gizi baik


29

P2 = Proporsi karies yang memiliki status gizi buruk

Q1 = 1- P1

Q2 = 1- P2

Berdasarkan nilai P yang diperoleh dari penelitian terdahulu, maka

didapatkan beberapa jumlah sampel yang disajikan pada tabel berikut :

Tabel 2.3 Perhitungan Sampel


Proporsi Jumlah sampel
P1 = 57,4 % n = 26 anak
P2 = 90,7 %
(Junaidi dkk, 2007)
P1 = 60,3 % n = 57 anak
P2 = 83,3 %
(Nurhayati, 2013)
P1 = 72 % n = 19 anak
P2 = 28 %
(Nurlaila, dkk 2005)

Berdasarkan rumus dan beberapa nilai P yang di dapatkan dari

kepustakaan. Maka di peroleh besar sampel minimal untuk satu kelompok

adalah 57 anak, sehingga total sampel dalam penelitian ini sebanyak 114

anak.

4.3 Variabel dan Definisi Operasional

4.3.1 Variabel Penelitian

1. Karies

2. Usia

3. Status gizi

4. Berat badan

5. Tinggi badan
30

4.3.2 Definisi Operasional

1. Karies

Karies adalah kerusakan pada jaringan keras gigi yaitu email,

dentin dan sementum. Dalam pengamatan secara langsung, ditandai

dengan adanya white spot, dark spot atau kavitas (Widayati, 2014).

Diobservasi menggunakan alat oral diagnostic serta dianalisis

menggunakan indeks DMF-T (Decayed, Missing, Filled Teeth) dan

def-t (decayed, extracted/indicated for extraction, filled teeth).

Komponen D/d adalah gigi karies, karies sekunder pada tumpatan, dan

gigi dengan tumpatan sementara. Komponen M/e adalah gigi yang

hilang atau dicabut karena karies, gigi karies yang tidak dapat ditumpat

dan diindikasikan untuk dicabut. Komponen F/f adalah gigi dengan

tumpatan permanen. Hasil observasi menggunakan skala kategorikal

yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.

2. Usia

Usia dinilai berdasarkan lamanya hidup seseorang yang dihitung

sejak anak tersebut lahir sampai penelitian dilaksanakan (Santika, 2015).

Data usia didapatkan dari data pribadi setiap siswa dari sekolah. Hasil

pengukuran menggunakan skala numerik, yaitu 8 tahun, 9 tahun, 10

tahun dan 11 tahun.

3. Status gizi
31

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang akibat asupan

gizi melalui makanan atau minuman yang dihubungkan dengan

kebutuhan (Sutomo, 2010 ). Hasil dari status gizi didapatkan dari IMT

berdasarkan umur, IMT merupakan perbandingan berat badan dalam

kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat. Hasil pengukuran

menggunakan skala kategorikal menurut kemenkes RI

nomor : 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang standar antropometri

penilaian status gizi anak dan dikelompokkan dalam beberapa kategori,

yaitu sangat kurus, kurus, normal, gemuk, dan obesitas.

4. Berat badan

Berat badan diukur menggunakan timbangan berat badan digital

dengan cara anak berdiri tegak menghadap lurus kedepan tanpa

menggunakan sepatu. Anak berdiri dalam keadaan stabil yaitu tidak

bergerak, berjinjit, menaikkan salah satu kaki atau bersandar. Hasil

pengukuran dalam kilogram dan menggunakan skala numerik.

5. Tinggi Badan

Tinggi badan di observasi dengan cara anak berdiri tegak dengan

kepala menghadap lurus kedepan. Diukur dari telapak kaki sampai ujung

kepala dengan menggunakan microtoise. Hasil pengukuran dalam meter

dan menggunakan skala numerik.


32

4.4 Alur Penelitian dan Pengumpulan Data

4.4.1 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer yang di

dapat dari hasil skrining pada sampel penelitian dan hasilnya dicatat pada

lembar observasi.

4.4.2 Alat dan Bahan

Alat penelitian :

1. Kaca mulut (20) 8. Lembar observasi

2. Sonde (20) (sejumlah sampel

3. Nierbeken (8) penelitian)

4. Timbangan berat badan digital (1) 9. Kamera

5. Microtoise (1) 10. Masker (2 box)

6. Senter (4) 11. Handscoon (3 box)

7. Alat tulis

Bahan penelitian :

1. Kapas

2. Cairan sterilisasi yang mengandung glutaraldehid 2%

4.4.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di SDN 1 Gunaksa, Klungkung.

4.4.4 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2018.


33

4.4.5 Alur Penelitian

Mengurus surat izin penelitian

Mendapatkan ethical clearance

Meminta izin kepada Kepala Sekolah SDN 1


Gunaksa Klungkung

Memilih sampel penelitian yang sesuai dengan


kriteria inklusi dan eksklusi

Pemberian lembar penjelasan penelitian dan


informed consent kepada orang tua/ wali siswa

Pemeriksaan karies gigi

Pencatatan hasil pemeriksaan

Pengukuran berat badan dan tinggi badan

Pencatatan hasil pemeriksaan

Analisis data

Gambar 2.8 Alur Penelitian


34

4.5 Teknik Analisis Data

Rancangan analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk menganalisis

data pervariabel dan analisis bivariat untuk menganalisis hubungan antara angka

kejadian karies dan status gizi, dengan melihat nilai p value. Jika p value < 0,05

maka terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.

Uji statistik yang digunakan yaitu uji chi-square karena data akhir berupa

data kategorikal dengan jumlah sampel > 40 anak. Data diolah menggunakan

software pengolahan data SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi

16.0 for Window dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
DAFTAR PUSTAKA

Arisman, MB., 2008, Gizi dalam Daur Kehidupan, Edisi 2., Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Burt, B.A., Baelum, V., and Fejerskov, O., 2008, The epidemiology of dental
caries, in Fejerskov, O., and Kidd, E., (ed.): Dental Caries: The Disease
and its Clinical Management, 2nd ed., Blackwell Munksgaard, United
Kingdom, hal. 8, 11.
Chadwick, B.L., and Hosey, M.T., 2003, Child Taming : How to Manage
Children in Dental Practice, Quintessence Publishing, London, hal. 4-5.
Fitriana, A., dan Kusuma, N., 2013, Gambaran Tingkat Kesehatan Gigi Anak
Usia Dini Berdasarkan Indeks def-t pada Siswa Paud Kelurahan Jati Kota
Padang, Andalas Dental Jurnal, 1(1), hal. 29-38.
Ghofar, A., dan Firmansyah, A., 2012, Hubungan Gigi Karies Terhadap Status
Gizi Anak TK, Jurnal Edu Health., 2(2), hal. 8-9.
Hume, W.R., and Mount, G.J., 2005, Preservation and Restoration of Tooth
Structure, 2nd ed., Knowledge Books and Software, Australia, hal. 245-
248.
Junaidi., Julia, M., dan Hendratini, J., 2007, Hubungan Keparahan Karies Gigi
dengan Konsumsi Zat Gizi dan Status Gizi Anak Sekolah Dasar di
Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar, Jurnal Gizi Klinik
Indonesia., 4(2), hal. 94-95.
Kasuma, N., 2015, Fisiologi dan Patologi Saliva, Andalas University Press,
Padang, hal. 19.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017, Penilaian Status Gizi. Jakarta :
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Edisi Tahun 2017.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Provinsi Bali 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia, 2010, N0.
1995/Menkes/SK/XII/2010. Jakarta : Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak.

35
36

Kidd, E.A.M., 2005, Essentials of Dental Caries, 3rd ed., Oxford University, New
York, hal. 2.
Koch, G., and Poulsen, S., and Twetman, S., 2009, Caries Prevention, in Koch,
G., and Poulsen, S., (ed.): Pediatric Dentistry A Clinical Approach, 2nd
ed., Wiley-Blackwell, United Kingdom, hal. 112.
Manton, D., Drummond, B.K., and Kilpatrick, N., 2008, Dental Caries, in
Cameron, A., and Widmer. R.P., (ed.): Handbook of Pediatric Dentistry,
3rd ed., Elsevier, Canberra, hal. 39-41.
Mardalena, I., 2017, Dasar-Dasar Ilmu Gizi Dalam Keperawatan, Pustaka baru
Press, Yogyakarta, hal. 147-149, 155.
Marya, C.M., 2011, Dental indices, in Marya, C.M., (ed.): A textbook of public
health dentistry, Jaypee brothers medical publisher, New Delhi, hal. 204-
207.
Nurhayati, I., Mahdiah., dan Marthias, E., 2013, Hubungan Pola Makan dengan
Karies Gigi dan Pengaruhnya Terhadap Status Gizi Anak Sekolah Dasar
di SD Azizi Kota Medan Tahun 2013, Jurnal Risbin Poltekkes Medan.
Nurlaila A.M., Djoharnas, H., dan Darwita, R.R., 2005, Hubungan Antara Status
Gizi dengan Karies Gigi Pada Murid-Murid Di Sekolah Dasar
Kecamatan Karangantu, Indonesian Journal of Dentistry., 12 (1), hal. 7.
Oktavia, S., Widajanti, L., dan Aruben, R., 2017. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Status Gizi Buruk Pada Balita Di Kota Semarang
Tahun 2017, Jurnal Kesehatan masyarakat (e-Journal), 5(3), hal. 187.
Patel, A., Chaudhary, A.R., Dudhia, B., Soni, N., Barot, A., 2011. Clinical Report
Amelogenesis Impefecta, The Journal of Ahmedabad Dental College and
Hospital, hal. 40.
Prasetya, R.C., 2008, Perbandingan Jumlah Koloni Bakteri Saliva pada Anak-
Anak Karies dan Non Karies Setelah mengkonsumsi Minuman
Berkarbonasi, Indonesian Journal of Dentistry, 15(1), hal. 65-70.
Ramadhan, A., Cholil., dan Sukmana, B.I., 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan
Kesehatan Gigi dan Mulut Terhadap Angka Karies Gigi di SMPN 1
Marahaban, Dentino Jurnal Kedokteran Gigi, 1(2), hal. 174.
Ritter, A.V., Eidson, R.S., and Donovan, T.E., 2013, Dental Caries: etiology,
clinical characteristics, risk assessment, and management, in Heymann,
H.O., Swift, E.J., and Ritter, A.V., (ed.): Sturdevant’s Art and Science of
Operative Dentistry, 6th ed., Elsevier., United States of America, hal. 41.
37

Santika, I.G.P.N.A., 2015. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Umur
Terhadap Daya Tahan Umum (Kardiovaskuler) Mahasiswa Putra
Semester II Kelas A Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP
PGRI Bali Tahun 2014, Jurnal Pendidikan Kesehatan Rekreasi, hal. 44.
Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2014, Dasar-dasar Metodologi Penelitian
Klinis, Sagung Seto, Jakarta, hal. 112.
Setiawan, B., 2003, Pengaruh Sudut Tonjol Gigi Artifisial posterior Terhadap
Perubahan Partikel Makanan, Tesis, Program Sarjana Fakultas
Kedokteran Gigi UGM, Yogyakarta.
Sivapathasundharam, B., and Raghu, A.R., 2012, Dental caries, in Shafer, W.G.,
Hine, M.K., and Levy, B.M., (ed.): Shafer’s textbook of oral pathology,
7th ed., Elsevier., India, hal. 419-420, 431-432.
Suhardjo., 2003, Perencanaan Pangan dan Gizi, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Supariasa, I.D.N., Bakri, B., dan Fajar, I., 2002, Penilaian Status Gizi, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Susanti, I., Pambayun, R., dan Febry, F., 2012, Gambaran Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Status Gizi Anak Umur 2-5 Tahun Pada Keluarga Petani
di Desa Pelangki Kecamatan Muaradua Kabupaten Oku Selatan, Jurnal
Ilmu Kesehatan Masyarakat, 3(2), hal. 103.
Sutomo, B., dan Anggraini, D.Y., 2010, Menu Sehat Alami Untuk Batita dan
Balita, Penyakit Yang Sering Menyerang Batita dan Balita, Demedia,
Jakarta, hal. 271.
Widayati, N., 2014, Faktor Yang Berhubungan Dengan Karies Gigi Pada Anak
Usia 4-6 Tahun, Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(2), hal. 200.

Anda mungkin juga menyukai