Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

Tulang tengkorak memiliki sejumlah ruang berisi udara yang disebut sinus.
Ruang ini membantu mengurangi berat tengkorak dan memberikan perlindungan
daerah tengkorak dan membantu dalam resonansi suara.1 Terdapat empat pasang
sinus, yang dikenal sebagai sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis di daerah dahi,
sinus maksilaris di belakang tulang pipi, sinus etmoidalis diantara kedua mata dan
sinus sphenoidalis di belakang bola mata.1,2,3 Sampai saat ini sinus paranasal
merupakan salah satu organ tubuh pada manusia yang sulit dideskripsikan karena
bentuknya bervariasi pada tiap individu.2 Terdapat membran yang melapisi sinus
tersebut yang mensekresikan mukus, yang mana akan mengalir ke rongga hidung
melalui sebuah saluran kecil pada setiap sinus tersebut.2
Sinus maksila mulai berkembang pada usia tiga bulan kehamilan, yang
merupakan bagian dari ektoderm. Ukurannya pada saat lahir 7x4x4 mm, namun
setelah lahir sampai dewasa sinus maksila mengalami pertumbuhan kearah vertikal
sepanjang 2mm dan kearah anteroposterior sepanjang 3mm. Pertumbuhan cepat sinus
maksila terjadi pada usia 3 tahun pertama dan mengalami perlambatan sampai usia 7
tahun. Pertumbuhan cepat kedua terjadi pada usia 7-12 tahun, kemudian tumbuh
lambat sampai dewasa. Pada usia 12 tahun dasar sinus maksila sejajar dengan dasar
hidung kemudian dasar sinus semakin ke inferior mendekati alveolus saat erupsi gigi
permanen.3
Sinus maksilaris akut biasanya menyusul suatu infeksi saluran mapas atas
yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan
faktor –faktor predisposisi lokal yang paling sering ditemukan. Sedangakan gigi
geligi bertanggung jawab atas sekitar 10% infeksi sinus maksilaris akut.2

1
Makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai sinusitis maksilaris baik
akut maupun kronis. Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai
aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus
dicari faktor penyebab dan faktor presdiposisinya.3

2
BAB II
ISI
2.1 Anatomi
Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan

oleh septum nasi dibagian tengah menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu

atau lubang masuk kavum nasi disebut nares anterior dan lubang belakang

disebut dengan koana yang menghubungkan dengan nasofaring. Tiap kavum

nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu:1

1. Dinding medial: Septum Nasi

2. Dinding lateral: pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar

dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil

ialah konka media, dan yang lebih kecil lagi adalah konka superior, yang

terkecil disebut konka suprema. Diantara konka-konka dan dinding lateral

hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior

terletak antara konka inferior dengan dasar hidung. Meatus medius terletak

antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.

3. Dinding inferior : os maksila dan os palatum

4. Dinding superior : lamina kribriformis

3
Gambar 2.1 Cavum Nasi5

Sinus paranasal adalah rongga udara yang berhubungan dengan kavum

nasi. Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk

sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki

muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung

sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan

posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid

kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan

mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui

ostium masing-masing.1

Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna

serta vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis

posterior dan a. Sfenopalatina.1

4
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan

konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus

semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid

anterior. Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus

maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis.1

Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan

IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada

foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk. Pada

meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka

media terdapat muara sinus ethmoid post erior dan sinus sfenoid.1

Fungsi sinus paranasal adalah :3

1. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga

udara sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka

pertumbuhan tulang akan terdesak.


2. Sebagai pengatur udara (air conditioning).
3. Peringan cranium.
4. Resonansi suara.
5. Membantu produksi mukus.

Gambar 2.2 Anatomi sinus4

5
Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa

ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi. Aliran sekresi sinus sfenoid menuju

resesus sfenoetmoid, sinus frontal menuju infundibulum meatus media, sinus

etmoid anterior menuju meatus media, sinus etmoid media menuju bulla etmoid

dan sinus maksila menuju meatus media. Struktur lain yang mengalirkan

sekresi ke kavum nasi adalah duktus nasolakrimalis yang berada kavum nasi

bagian anterior.4

A. Sinus Maxilaris
1. Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus

maksilaris arcus I.
2. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang

apexnya pada pars zygomaticus maxillae.


3. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang

dewasa.
4. Berhubungan dengan :

a. Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis)

sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.

b. Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.

c. Duktus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.5

B. Sinus Ethmoidalis1,2
1. Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
2. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri

dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis.


3. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara

hidung dan mata


4. Berhubungan dengan :

6
a. Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina

cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke

daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb).

b. Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan

operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk

ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.

c. Nervus Optikus.

d. Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.

C. Sinus Frontalis1,2,
1. Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.
2. Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
3. Volume pada orang dewa sa ± 7cc.
4. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
5. Berhubungan dengan :

a. Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.

b. Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.

c. Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.

D. Sinus Sfenoidalis1,2
1. Terbentuk pada fetus usia bulan III.
2. Terletak pada corpus, alas dan Processus os sfenoidalis.
3. Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
4. Berhubungan dengan :

a. Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.

b. Glandula pituitari, chiasma n.opticum.

c. Tranctus olfactorius.

d. Arteri basillaris brain stem (batang otak).

2.2 Definisi

7
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus
yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis
frontal dan sinusitis sfenoid.1,2,3 Lokasi yang paling sering ditemukan ialah
sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid
lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang
sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius , disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, subakut dan kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4
minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis akut dapat
sembuh sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan
jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi
kerusakan signifikan pada membran mukosa. 1,2,5

2.3 Epidemiologi
Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena tidak ada
batasan yang jelas mengenai sinusitis. Pada orang dewasa lebih sering terserang
sinusitis dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran
napas atas pada dewasa yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Di
Amerika dilaporkan bahwa lebih dari 30 juta pasien menderita sinusitis.3

2.4 Patofisiologi
Beberapa teori menjelaskan mengenai fungsi sinus paranasal antara lain
(1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan

8
tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga
hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh
baik lokal maupun sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus
juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia
bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya
mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.

Gambar 2.3. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus

9
Gambar 2.4. Perubahan silia pada sinusitis

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya


berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam
sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa
sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya
bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan
retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. 1 Bakteri yang sering
ditemukan pada sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus,
Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista.1,2,3

Gambar 2.5. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi

Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.


Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan
mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding

10
pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana
terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi
peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi
bukan murni sebagai nanah, tetapi mukopus.5

Gambar 6. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik

Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:5
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
Biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi
berulang-ulang. Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek.

11
Kekebalan makin terkalahkan dan resolusi terjadi hampir tidak pernah
sempurna. Pengaruh terhadap mukosa adalah penebalan dengan disertai
infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis sub epitel menyebabkan
pengurangan jumlah kelenjar karena iskemia dan bila berlangsung lebih
lanjut akan menyebabkan ulserasi mukosa. Pada tahap berikutnya
periosteum akan terkena dan hiperemia meluas ke tulang-tulang yang
kemudian menjadi osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.

2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.


Penderita memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah
alergi umum diatesis yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema,
konjungtivitis dan rinitis yang kemudian menjadi rinitis musiman (hay
fever) pada anak lebih tua. Kedua mngkin tidak didapatkan keluhan dan
tanda dari alergi sampai umur 8 atau 9 tahun secara berangsur-
angsurmukosa makin “penuh terisi air” yang menyebabkan bertambahnya
sumbatan dan secret hidung. Polip dapat timbul karena pengaruh gaya berat
terhadap selaput mukosa yang penuh dengan air dan dapat memenuhi
rongga hidung.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.

12
Gambar 2.7. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis

2.5 Sinusitis maksilaris akut


A. Etiologi
Penyebab sinusitis akut ialah (1) rinitis akut, (2) infeksi faring, seprti
faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut, (3) infeksi gigi rahang atas M1, M2,
M3 serta P1 dan P2 (dentogen), (4) berenang dan menyelam, (5) trauma
dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal, (6) barotrauma
dapat menyebabkan nekrosis mukosa. 1,5,6
Sinusitis maksilaris dengan asal geligi. Bentuk penyakit geligi-
maksilaris yang khusus bertanggung jawab pada 10 persen kasus sinusitis
yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Penyebab tersering adalah
ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, dimana sepotong kecil tulang
di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat.2

Gambar 2.8. a. Fistula oroantral b. Sinusitis maksilaris


B. Gejala klinis
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala
sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat
ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke
nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan
kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri

13
alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada
perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan
sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila
peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.1,2,5,6
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior
tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila,
sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah
di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring
(post nasal drip).1,5,6

Gambar 2.9. Pus pada meatus medius

Gambar 2.10. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis

C. Pemeriksaan penunjang

14
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit,
sehingga tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.1,5,6
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid
level) pada sinus yang sakit.1,2,5

Gambar 2.11. Gambaran suatu sinus yang opak

Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan


dengan mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan
bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal atau kuman
patogen, seperti Pneumokokus, Streptokokus, Stafilokokus dan Haemofilus
influenza. Selain itu mungkin ditemukan juga virus atau jamur.1

Pengobatan
Pengobatan umum

15
1. Istirahat
Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan
sebaiknya beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur
mempunyai suhu dan kelembaban udara tetap.

2. Higiene
Harus tersedia sapu tangan kertas untuk mengeluarkan sekrat hidung.
Perlu diperhatikan pada mulut yang cenderung mengering , sehingga
setiap selesai makan dianjurkan menggosok gigi.
3. Medikamentosa
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14 hari,
meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotik yang diberikan ialah
golongan penisilin. Diberikan juga obat dekongestan lokal berupa tetes
hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Boleh diberikan analgetik
untuk menghilangkan rasa nyeri
Pengobatan lokal
1. Inhalasi
Inhalasi banyak menolong penderita dewasa karena mukosa hidung dapat
istirahat dengan menghirup udara yang sudah dihangatkan dan lembab.
2. Pungsi percobaan dan pencucian
Apabila cara diatas tak banyak menolong mengurangi gejala dan
menyembuhkan penyakitnya dengan cepat, mungkin karena drainase sinus
kurang baik atau adanya kuman yang resisten. Kedua hal tersebut dapat
diketahui dengan pungsi percobaan dan pencucian. Dengan anestesi lokal,
trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan
menembus dinding naso-antral. Kemudian dimasukkan cairan garam faal
steril ke dalam antrum dan selanjutnya isi antrum dihisap kembali
kedalam tabung suntikan. Apabila setelah dua sampai tiga kali pencucian

16
infeksi belum sirna, maka mungkin diperlukan tindakan antrostomi
intranasal.

Gambar 12. Pungsi dan irigasi sinus maksila

Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila


telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri
yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan

2.6 Sinusitis Kronis

Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan sinusitis kronik diantaranya adalah
pneumatisasi yang tidak memadai, makanan yang tak memadai, reaksi atopik,
lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi.5
Variasi anatomi memegang peranan lebih besar mekanisme etiologi sinusitis
kronis. Variasi anatomi yang sering ditemukan deviasi septum, prosessus unsinatus
melengkung ke lateral, konka media mengalami pneumatisasi, bula etmoid sel dan
etmoid yang meluas.4

17
Gambar 13. Sinusitis akibat devisi septum

Gejala klinis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya
adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise,
nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) ,
gangguan penciuman dan pengecapan.5,7
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.1

Pemeriksaan penunjang
Transluminasi1
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus
frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan
transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh
pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila

18
terdapat kista yang besar didalam sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transluminasi.
Radiologi7
Pemeriksaan radiologik pada sinusitis kronis tidak dianjurkan, penggunaannya
dibatasi hanya untuk sinusitis maksilaris akut atau sinusitis frontalis.
CT scan7
CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
dan mengevaluasi anatomi dan patologi sinus.

Gambar 14. CT Scan memperlihatkan penebalan mukosa sinus.

Staging dapat dilakuan dengan menggunakan CT scan. Sistem stagging ini


sederhana, mudah diingat dan sangat efektif untuk mengklasifikasikan sinusitis
kronis. Stagging ini membantu dalam perencanaan operasi dan hasil terapi. Stagging
didasarkan pada perluasan penyakit setelah terapi medis. Stagging tersebut terbagi
atas:7
- stage I : satu fokus penyakit
- stage II : penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid
- stage III : difuse yang responsif terhadap pengobatan
- stage IV : difuse yang tidak responsif dengan pengobatan.

Pengobatan

19
Pengobatan sinusitis kronis lebih bersifat paliatif daripada kuratif. 5
Pengobatan paliatif yang dapat diberikan pada penderita dengan sinusitis kronis
dibagi menjadi:
A. Pengobatan konservatif 1,5,8
Pengobatan konservatif yang adekuat merupakan pilihan terapi untuk sinusitis
maksilaris subakut dan kronis. Antibiotik diberikan sesuai dengan kultur dan uji
sensitivitas. Antibiotik harus dilanjutkan sekurang-kurangnya 10 hari. Drainase
diperbaiki dengan dekongestan lokal dan sistemik. Selain itu juga dapt dibantu
dengan diatermi gelombang pendek selama 10 hari, pungsi dan irigasi sinus.
Irigasi dan pencucian sinus ini dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5
atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen
berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal, maka perlu dilakukan
operasi radikal.

B. Pengobatan radikal1,8
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal
dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari
sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc.
Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan
anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan menempatkan tampon kapas
yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan
dibawah konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin
disuntika di fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital.
Incisi horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi
dilakukan di superior gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan
periosteum. Periosteum diatas fosa kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis,
tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara hati-hati dilindungi.

20
Gambar 15. prosedur Caldwell Luc

Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat
bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari
kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral
meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok.
Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison dan cunam yang
dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya
1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding
tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak
diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang
tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya
tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi
perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan

21
kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari
ke-1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk
mencegah edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman.

C. Pembedahan tidak radikal 1


Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BESF). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostio-
meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan
drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian
mukosa sinus akan kembali normal.

2.7 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika.1 Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut.1 Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
Komplikasi Orbita2
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita).2 Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita
yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan
terjadinya komplikasi orbita ini.2
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis
d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita

22
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat
penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di
mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic.

Gambar 16. Komplikasi penyakit sinus pada orbita

Komplikasi Intrakranial1,7
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses
otak.

23
Gambar 17. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial

Kelainan Paru1
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis.
Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial.

BAB III
KESIMPULAN

24
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal.Yang paling sering ditemukan
ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid. Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut,
berulang atau kronis.
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring, infeksi gigi
rahang atas (dentogen), trauma. Gejala klinis dapat berupa demam dan rasa lesu. Pada
hidung dijumpai ingus kental. Dirasakan nyeri didaerah infraorbita dan kadang-
kadang menyebar ke alveolus. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi
waktu membungkuk ke depan. Pada pemeriksaan tampak pembengkakan di pipi dan
kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan
edema. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14 hari. Pengobatan lokal dengan
inhalasi, pungsi percobaan dan pencucian.
Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak memadai,
makanan yang tak memadai, reaksi atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi
anatomi. Gejala berupa kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala setempat, sekret
di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip), gangguan penciuman dan pengecapan.
Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pengobatan sinusitis kronik
dilakukan secara konservatif dengan antibiotik selama 10 hari, dekongestan lokal dan
sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang pendek selama 10 hari di daerah
sinus maksila, pungsi dan irigasi sinus. Jika gagal dapat dilakukan operasi Caldwell-
Luc dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.
Komplikasi dari sinusitis dapat berupa komplikasi orbita, intrakranial dan
kelainan paru.

DAFTAR PUSTAKA

25
1. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA,
Iskandar N (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. 5th Ed. Jakarta: Gaya Baru; 2001.pp.120-124.

2. Highler, Peter A. Penyakit Sinus Paranasalis, dalam: George L. Adams,


Lawrence R.Boies, dan Peter A.Highler, BOIES Buku Ajar Penyakit THT,
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2013. h. 240-260.

3. Kennedy E. Sinusitis. Available from:


http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm

4. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi


Sinusitis. Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional Juni 2000.p 8-9

5. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F,


Soejak S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-
91

6. Sobol E. Sinusitis, Acute, Medical Treatment. Available from:


http://www.emedicine.com/ent/topic337.htm

7. Razek A. Sinusitis, Chronic, Medical Treatment. Available from:


http://www.emidicine.com/ent/topic338.htm

8. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta
Indonesia 1994

26

Anda mungkin juga menyukai