Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

RINOSINUSITIS KRONIS

DISUSUN OLEH :

Fajri Zuhendra 1610070100010

Shinta Veronica Wulandari 1610070100016

Rahmalia Ulfa 1610070100002

PEMBIMBING:
dr. Jenny Tri Yuspita Sari, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BAITURRAHMAH
DEPARTEMEN ILMU THT-KLRSUD M. NATSIR
SOLOK
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kepada ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Maka penulis dapat
menyelesaikan Case Report Session yang berjudul “Rinosinusitis kronis” sebagai salah
satu persyaratan kepanitraan Klinik Senior di bagian Ilmu Kesehatan Telingga Hidung
dan Tenggorokan RSUD M. Natsir Solok.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Jenny Tri Yuspita Sari
Sp.THT-KL yang telah banyak memberikan bimbingan di poliklinik THT RSUD Solok
Sumatera Barat.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, maka penulis
sangat mengaharapkan kritik dan saran yang menbangun untuk dimasa yang mendatang.

Solok, 27 Desember 2020

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

Rinosinusitis atau yang biasa disebut sebagai “sinusitis” merupakan


penyakit dengan angka prevalensi yang cukup tinggi dan dianggap penyakit
dengan angka morbiditas tertinggi di seluruh dunia. Sinusitis merupakan suatu
peradangan dari mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal yang
mengakibatkan gangguan pada drainase, sehingga menyebabkan tertimbunnya
sekret. Sinusitis ini dapat terjadi pada salah satu atau lebih dari keempat sinus
yang ada pada tulang tengkorak (maksilaris, etmoidalis, frontalis, atau
sfenoidalis). Bila mengenai beberapa sinus maka akan disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus yang ada maka akan disebut parasinusitis.
Menurut data yang diambil dari National Health Interview Survey, sekitar
17,4% penduduk dewasa Ameriksa Serikat (AS) setidaknya pernah mengidap
sinusitis dalam jangka waktu 12 bulan. Dari survei lain yang dilakukan,
diperkirakan angka prevalensi sinusitis dapat mencapai sekitar 1 dari 8 penduduk
dewasa Ameriksa Serikat atau berkisar antara 13-16%, sehingga dapat
disimpulkan, bahwa sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap rinosinusitis
kronik. Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi rinosinusitis kronik
sekitar 5% dengan rasio wanita berbanding pria yaitu dengan 6 berbanding 4
(lebih tinggi pada kelompok wanita). Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS
Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007
didapatkan 168 pasien (64,29%) dari seluruh pasien rinologi. Dibagian THT-KL
Fakultas Kedokteran UGM / RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 – 2007
didapatkan 118 penderita rinosinusitis kronis (42%) dari seluruh pasien rinologi.
Secara epidemiologi, yang paling sering terkena adalah sinus maksila,
kemudian etmoidalis, frontalis, dan sfenoidalis. Sinus maksila sering terkena
sinusitis karena sinus ini merupakan sinus terbesar dan dasarnya berhubungan
dengan dasar akar gigi rahang atas. Penyebab utamanya adalah selesma (common
cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri.Bakteri penyebab yang tersering adalah Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis.

2
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut
dan kronis. Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis
tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tersebut dapat memberikan
gejala klinis berupa hidung tersumbat, nyeri kepala hebat dan vertigo, nyeri pada
sinus, edema orbita, sekret nasal yang purulen, dan pasien mengalami demam.
Hal-hal yang disebutkan diatas merupakan gejala akut, sedangkan pada gejala
kronik akan didapati pasien mengalami batuk, sekret purulent kronis, nyeri kepala
kronis pada daerah periorbital, kemampuan penciuman hilang dan nyeri wajah
terutama pada saat bangun tidur pagi hari.
Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait dengan rinosinusitis kronik,
besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama bagi kelompok penduduk
dewasa usia produktif namun disertai keterbatasan data yang ada, maka penulis
mengangkat kasus rinosinusitis ini dengan tujuan agar dapat dipelajari lebih
lanjut.

1.1 Tujuan
Tujuan dari pembuatan case ini adalah untuk memenuhi persyaratan untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok di RSUD Mohammad Natsir Solok.
1.2 Manfaat
Adapun manfaat penulisan case ini ialah agar menambah ilmu
pengetahuan para pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan
masyarakat secara umumnya dapat lebih mengetahui dan memahami mengenai
tonsillitis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Manusia mempunyai kurang lebih 12 rongga di sepanjang atap dan bagian
lateral rongga udara hidung; jumlah, bentuk, ukuran, dan simetri bervariasi. Sinus-
sinus ini membentuk rongga di dalam tulang wajah yang diberi nama, yaitu, sinus
maksilaris, sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis. Beberapa rongga lainnya
biasanya berupa kelompok-kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang
saling berhubungan dan masing-masing kelompok akan bermuara ke dalam
hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
modifikasi, dan mampu menghasilkan mucus, dan bersilia, sekret disalurkan ke
dalam rongga hidung melalui ostium masing-masing sinus.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok
anterior dan kelompok posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontalis,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior, yang mana muara sinus kelompok ini
bermuara di meatus media dekat infundibulum. Sedangkan kelompok posterior
terdiri dari sinus etmoid posterior dan sphenoid, yang mana ostiumnya terletak di
meatus superior.

Gambar 2.1Anatomi sinus paranasal pada pasien rinosinusitis.

4
2.1.1 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan rongga (sinus) yang paling besar dengan
bentuk seperti piramid terbalik. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml,
sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai volume
maksimal pada orang dewasa antara 15 ml. Dinding anterior sinus adalah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya
adalah dinding lateral rongga hidung, daan dinding inferiornya adalah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid. Lokasi ostium sinus maksila letaknya paling rendah
dibandingkan ostium sinus paranasal lainnya.

2.1.2 Sinus Frontal


Sinus frontalis terletak di os frontal mulai terbentuk sejal bulan ke
empat fetus dan mencapi ukuran maksimal sebelum uisa 20 tahun. Ukuran
sinus frontal adalah tinggi 2,8 cm, lebar 2,4 cm, dan dalam 2 cm. Bagian
dari sinus ini yang meluas ke meatus medius membentuk penonjolan,
disebut resesus frontal. Sinus frontalis terbagi oleh septa tak beraturan dan
memiliki batas tulang yang juga tidak beraturan. Pada dinding posterior
dan inferior sinus ini berbatasan dengan anyaman pembuluhan vena besar
yang menuju otak dan orbita. Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya
yang terletak di resessus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.

2.1.3 Sinus Etmoid


Sinus etmoid terletak di bagian lateral os etmoid. Pada orang
dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, lebar
0,5 cm di anterior dan 1,5 cm di posterior. Atap sinus etmoid yang disebut
fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus
adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari

5
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan
dengan sinus sfenoid. Lamela basalis konka media membagi sinus
etmoidalis menjadi kompleks etmoidalis anterior dan posterior. Sinus
etmoid anterior tersusun atas sel-sel kecil dan banyak, letaknya di depan
lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis) yang bermuara di meatus medius.
Sedangkan sinus etmoid posterior tersusun atas sel yang lebih besar dan
lebih sedikit jumlahnya, terletak di posterior dari lamina basalis yang
bermuara di meatus superior.

2.1.4 Sinus Sfenoid


Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior, yang posisinya paling posterior dari sinus paranasal lainnya.
Sinus sfenoid di bagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalam 2,3 cm, dan lebar 1,7 cm. Volume
bervariasi dari 5 – 7,5 ml. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdpat
fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap
nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri
karotis interna (sering tampak sebagai indentasi), dan di sebelah
posteriornya berbatasan berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.

2.1.5 Kompleks Ostiomeatal


Kompleks Ostiomeatal adalah unit drainase fungsional yang terdiri
atas infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila. Daerah rumit dan sempit ini terletak
pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu meatus medius, yang
menjadi muara dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.

6
2.2 Definisi
Rinosinusitis adalah suatu peradangan dari mukosa yang melapisi hidung
dan sinus paranasal. Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan
sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita
sudah lebih dari 12 minggu. Pada rinosinusitis akut, perubahan patologik
membrana mukosa berupa infiltrat polimorfonuklear, kongesti vaskular, dan
deskuamasi epitel permukaan, yang semuanya reversible. Sedangkan pada
rinosinusitis kronis, gambaran patologiknya akan lebih kompleks dan cenderung
bersifat irreversible. Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi
menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut parasinusitis.Peradangan ini dapat dimulai dari
sumbatan pada daerah kompleks osteomeatal atau dari penyebaran infeksi gigi.
Sumbatan tersebut dapat disebabkan oleh infeksi, obstruksi mekanik, dan alergi.

2.3 Etiologi
Adapun penyebab sinusitis umumnya adalah karena adanya infeksi yang
diinisiasi oleh mikroorganisme, yaitu:
1. Sinusitis virus
Mayoritas utama Sinusitis adalah disebabkan oleh infeksi virus.
Kebanyakan virus infeksi saluran pernafasan atas adalah disebabkan oleh
rhinovirus. Akan tetapi korona virus, influenza A dan B, parainfluenza,
adenovirus, dan enterovirus adalah agen kausatif. Virus rhinovirus,
influenza, dan paravirus adalah virus primer patogenik, pada 3-15% pasien
dengan sinusitis akut. Sekitar 0,5%-2%, pasien dengan sinusitis viral bisa
berlanjut menjadi sinusitis bakterial akut. Mukosa sinus paranasalis
berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan penyakit virus yang
menyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus.

7
2. Sinusitis bakterial
Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus dapat
menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk menjadi tempat
perkembangan infeksi bakter. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari
satu bakteri. Hal lain yang sering terjadi adalah adanya infeksi saluran
pernafasan atas oleh virus, dan juga alergi, trauma, neoplasma,
granulomatosa dan penyakit inflamasi, faktor lingkungan, infeksi gigi,
variasi anatomi. Hal ini diakibatkan karena perannya yang bisa merusak
mukosilia normal dan akanmempredisposisi infeksi bakterial.Antara lain
adalah Streptococcus pneumoniae (30-50%), Haemophilus influenzae (20-
40%) ,dan Moraxella catarrhalis(4%). Selama suatu fase akut, sinusitis
kronik dapat disebabkan oleh bakteri yang sama dengan penyebab dari
sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronik biasanya berkaitan dengan
drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu,
maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, di mana proporsi
terbesar merupakan bakter anaerob.

3. Sinusitis fungal
Sangat jarang sinusitis disebabkan oleh fungi. Sinusitis fungi akan
terlihat serupa dengan kelainan saluran napas bagian bawah dan
bronchopulmonarry asppergillos allergy. Bipolaris dan spesies Curvullaria
adalah fungi yang paling sering terdapat pada sinusitis fungal alergi.

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi lainnya adalah rinitis terutama


rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertropi konka, sumbatan kompleks osteomeatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti
pada sindroma kartegener, dan di luar negeri adalah menyakit fibrosis kistik. Pada
penelitian berdasarkan Sedaghat, et al., mengenai hubungan antara rinitis alergi
dengan munculnya rinosinusitis kronik didapatkan hasil yang signifikan. Anatomi
paranasalis yang bervariasi, khususnya pada infraorbital dan sel frontal intersinus,

8
berhubungan dengan perkembangan terjadinya rinosinusitis kronik pada pasien
dengan rinitis alergi.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat di diagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan
ini lama-lama akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

2.4 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearence) di dalam KOM. Mukus juga
mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak
dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, yang mula-mula berupa
serus. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis nonbacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Patogenesis dari rinosinusitis berawal dari adanya suatu inflamasi dan
infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine,
proteases, arachidonic acid metabolit, imunecomplex, lipolisaccharide dan lain-
lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan
akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukos
dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi
inflamasi akan kembali terjadi.11Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul
dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.
Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis bacterial dan
membutuhkan terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa

9
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertropi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan
operasi.

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi rinosinusitis umumnya didasarkan pada lamanya gejala
berlangsung, yang meliputi rinosinusitis akut (≤ 4 minggu), rinosinositis kronis
subakut (4 minggu – 12 minggu), rinosinusitis kronik (≥ 12 minggu), rinosinusitis
akut berulang (≥ 4 episode tiap tahun, dengan durasi tiap episode 7-10 hari), dan
rinosinusitis kronik eksaserbasi akut (perburukan rinosinusitis kronik, dengan
kembali ke gejala awal setelah terapi).

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada anamnesis berupa gejala
yang bersifat subjektif dan objektif, dimana akan dijelaskan lebih rinci
sebagai berikut:
1. Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau
mungkin tidak. Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas
(kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen sinus hanya
oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya
oleh mukosa, karenanya sinusitis maksila sering
menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini.
b. Sakit Kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting
pada sinusitis. Nyeri kepala yang timbul merupakan akibat
adanya kongesti dan udema di ostium sinus dan
sekitarnya. Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh
karena itu bukanlah suatu tanda khas dari peradangan atau

10
penyakit pada sinus.Jika sakit kepala akibat kelelahan dari
mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore
hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih
sering unilateral dan meluas kesisi lainnya. Sakit kepala
yang bersumber di sinus akan meningkat jika
membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba
digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup
mata, saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.
c. Nyeri pada Penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari
mungkin terjadi pada penyakit di sinus-sinus yang
berhubungan dengan permukaan wajah.
d. Gangguan Penghidu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien
mencium bau yang tidak tercium oleh hidung normal.
Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghindu
(anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada
fisura olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena itu
ventilasi pada meatus superior hidung terhalang, sehingga
menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus
kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament
terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan
kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah
infeksi hilang.

2. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara
akut, dapat terjadi pembengkakan dan udem kulit yang
ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati
sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba
beludru.

11
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan
supuratif, sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus
peradangan semacam ini. Adanya pus dalam rongga
hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya
suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius
biasanya merupakan tanda terkenanya sinus maksila, sinus
frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus ini
bermuara ke dalam meatus medius.

Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of


Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS)
adalah rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2
gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau
lebih.
Tabel 2.1Gejala klinis sinusitis kronis menurut American Academy of
Otolaryngic Allergy(AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS)
Gejala Mayor Gejala Minor
Nyeri pada wajah (pipi,dahi, hidung) Sakit kepala
Kongesti/ rasa penuh di hidung Sakit gigi
Sekret hidung purulen/post-nasal drip Batuk
Gangguan penciuman Rasa nyeri/penuh pada telinga
(hiposmia/anosmia)
Demam (akut) Halitosis

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Rinoskopi anterior yang dikerjakan dengan spekulum hidung atau
endoskop hidung dapat ditemukan edema mukosa yang difus, hipertrofi
konka inferior dan rinore yang banyak. Evaluasi kemungkinan adanya
polip atau deviasi septum yang secara anatomis merupakan faktor resiko
terjadinya rinosinusitis akut. Pasien diminta untuk menundukkan kepala
dan akan ada nyeri terlokalisir di sekitar daerah sinus. Rinoskopi posterior
dapat dikerjakan bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.

12
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Transiluminasi
Sinus maksilaris dan sinus frontalisdapat dievaluasi dengan
pemeriksaan transiluminasi atau diaphanoscopia. Pada sinus yang
normal akan tampak terang cahayanya di daerah sinus yang
dievaluasi. Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya
dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal,
bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia.

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium juga dapat membantu dalam
mendiagnosa rinosinusitis akut. Hasil pemeriksaan ini tidak dapat
mendiagnosis secara pasti tapi dapat membantu membuktikan
adanya tanda infeksi. Hasil yang didapatkanyaitu peningkatan
erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan peningkatan C-reactive
protein (CRP). Infeksi bakteri dicurigai apabila CRP dalam kadar
10-15mg setelah minggu pertama diserang sakit.

3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain:
Waters, PA dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak
tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan
tampak karena udema permukaan mukosa. Computed tomography
atau CT scan merupakan pemeriksaan yang akurat dalam
mendiagnosis rhinosinusitis. Sinus maksila, rongga hidung, septum
nasi dan konka terlihat pada penampang CT-Scan aksial dan
koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah cara
yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah. CT
scan dapat memperlihatkan gambaran sinus paranasalis yang jelas
tetapi tidak disarankan untuk mengevaluasi sinusitis akut tanpa
komplikasi namun bisa digunakan untuk kasus-kasus rinosinusitis
akut yang rekuren atau kronik.

13
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas
pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung
yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum
nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat
mengetahui adanya polip atau tumor.

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan rinosinusitis ini adalah mempercepat
penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi
kronik.Penatalaksanaan dari rinosinusitis ini bedakan berdasarkan
penyebabnya.Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak,
polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan.
Medikamentosa
1. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika
dapatdiberikan sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus
mencakup β-laktamase yaitu amoksisillin klavulanat atau
ampisillin sulbaktam; sefalosporin generasi kedua, makrolid,
klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan selama 10 –
14 atau lebih jika diperlukan.Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih
antibiotika alternatif sepertisiprofloksasin, golongan kuinolon atau
yang sesuai dengan kultur. Jikadiduga ada bakteri anaerob, dapat
diberi metronidazol. Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada
perbaikan, makaeveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi
yang belum terdiagnosisdengan pemeriksaan nasoendoskopi
maupun CT-Scan.

14
2. Dekongestan
Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor
α-adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang
dapat mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan
diameter ostium dan meningkatkan ventilasi. Preparat yang umum
adalah pseudoefedrine dan phenylpropanolamine. Karena efek
peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati. Dekongestan topikal mempunyai efek
yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini
sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7
hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.

3. Antihistamin
Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih
dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru
dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi. Karena
antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang
tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine,
cetirizine, fexofenadine dan loratadine.

4. Kortikosteroid
Ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan
kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efeklokal
terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan
hipo/anosmia.Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam
pengobatan rinitisdan sinusitis. Penggunaannya kortikosteroid
topikal meluas pada kelainanalergi dan non-alergi. Meskipun obat
semprot ini tidak mencapaikomplek osteomeatal, keluhan pasien
berkurang karena udema di ronggahidung dan meatus medius
hilang. Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh
rongga sinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif

15
menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan
mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan
hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata.

Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik
adekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan
indikasi tindakan bedah. Beberapa macam tindakan bedah mulai dari
antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan
drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan
berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula
modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang
hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal
agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga
drainase dapat sembuh.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan
pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan
tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional.Keuntungan BSEF
adalah penggunaan endoskop denganpencahayaan yang sangat terang,
sehingga saat operasi kita dapat melihatlebih jelas dan rinci adanya
kelainan patologi dirongga-rongga sinus. Jaringan patologik yang diangkat
tanpa melukai jaringan normaldan ostium sinus yang tersumbat diperlebar.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap
berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh
sendiri.

2.8 Komplikasi
Komplikasi rinosinusitis sangat jarang terjadi namun bila terjadi dapat
menumbulkan bahaya yang serius. Komplikasi dari rinosinusitis ini dapat
menyebar ke daerah sekitar sinus tersebut seperti otak, mata, tulang, dan

16
pembuluh darah. Beberapa komplikasi yang biasanya terjadi antara lain: sinusitis
kronis yang nantinya dapat menyebabkan terjadinya meningitis, orbital celulitis,
brain abscess, trombosis sinus kavernosus, osteomielitis, serta subdural empyema.

2.9 Prognosis
Sejak ditemukannya antibiotik, rinosinusitis memiliki prognosis yang lebih
baik. Insiden komplikasi rinosinusitis menurun drastis dengan pemberian
antiobiotik yang adekuat. Rinosinusitis memiliki prognosis yang baik, dimana
setelah diberikan penanganan yang tepat biasanya terjadi penurunan gejala dalam
72 jam dengan resolusi komplit dalam 10-14 hari.

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. H
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Minang
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Simpang Rumbio
Tanggal masuk : 23 Desember 2020

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Seorang pasien datang kepoli THT dengan keluhan sering bersin-bersin
> 5x sehari

Riwayat Penyakit Sekarang


 Pasien mengeluh sering bersin- bersin sejak 2 tahun yang lalu,
namun keluhan semakin berat sejak 11 bulan yang lalu. Pasien
bersin > 5 kali tiap serangan, bersin memberat ketika pagi hari dan
semakin memberat ketika cuaca dingin dan berdebu. Untuk
mengurangi keluhan pasien hanya beristirahat, dan memakai pakaian
tebal. Ketika bersin pasien mengeluhkan banyak keluar secret encer
dan jernih dari hidung.
 Pasien mengeluhkan hidung gatal tiap bersin sehingga pasien akan
menggosok gosok hidungnya.
 Terkadang ketika bersin pasien mengeluh keluar nya secret yang
berbau busuk seperti berkarat, sedikit menggumpal dan berwarna
kehijauan

18
 Pasien juga merasakan nyeri pada tulang pipi dan dahi, nyeri terasa
tertusuk pada kedua pipi dan dahi. Nyeri dirasakan sejak 11 bulan
yang lalu.
 Pasien juga mengeluhkan kedua lubang hidung tersumbat, namun
sering tersumbat pada lubang hidung sebelah kiri, sehingga pasien
sulit bernafas dengan hidung. Pasien mengatakan terkadang sampai
terasa sesak
 Pasien merasakan penurunan kemampuan penciuman.
 Pasien mengeluhkan terkadang ketika serangan terasa ada cairan/
secret yang jatuh dari hidung ke tenggorok sehingga membuat pasien
tersedak
 Terkadang pasien merasakan gatal dan nyeri di tenggorok dan batuk
– batuk. Ketika tenggorok gatal pasien merasa telinga pasien juga
terasa gatal
 Tidak ada gangguan pendengaran dan keseimbangan.

Riwayat Penyakit Terdahulu


 Pasien pernah memiliki riwayat alergi gatal- gatal ketika cuaca dingin
sejak 18 tahun yang lalu. Sejak 2 tahun ini gatal gatal hilang dan menjadi
Bersin-bersin terutama muncul di pagi hari dan bila pasien berada dalam
tempat bersuhu dingin dan berdebu.
 Tidak ada riwayat sakit gigi
 Tidak ada riwayat kemasukan benda asing
 Tidak ada keluhan mimisan
 Tidak ada telinga berdengung.
 Riwayat penyakit sistemik lainnya seperti penyakit jantung, asma, diabetes
melitus disangkal pasien.
 Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi.
 Riwayat alergi terhadap obat dan makanan disangkal oleh pasien.

Riwayat Pengobatan

19
Sebelum ke Poliklinik THT-KL, pasien pernah masuk IGD dengan
keluhan sulit bernafas dan sesak dan mendapat terapi oksigen, nebu, dan
salbutamol.

Riwayat Penyakit Keluarga


Di lingkungan keluarga pasien tidak ada anggota keluarga lain yang
menderita keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat penyakit sistemik
seperti hipertensi ayah dan ibu , ibu pasien menderita penyakit jantung dan
tante nya ada polip di hidung.

Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai penjual makanan . Pasien tinggal di rumah
dengan suami nya, sehari- hari pasien sering terpapar asap masakan dan
rokok suami nya. Pasien memiliki riwayat merokok namun sudah berhenti 7
tahun yang lalu. Dulu pasien merokok kurang lebih 1-2 bungkus sehari.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Composmentis cooperatif
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 19x/menit
Suhu : 36,7°C

Pemeriksaan Sistemik

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Toraks : Paru dan jantung dalam batas normal

Abdomen : Dalam batas normal

20
Ekstremitas : Akral hangat, refilling kapiler < 2 detik

STATUS LOKALIS THT

Telinga

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Kel. Congenital Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada


Radang Tidak ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Daun Telinga
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Cukup lapang (N) Cukup lapang (N) Cukup lapang

(N)
Sempit - -
Dinding Liang Hiperemis Tidak ada Tidak ada

Telinga Edema Tidak ada Tidak ada


Massa Tidak ada Tidak ada
Bau Tidak ada Tidak ada
Warna Tidak ada Tidak ada
Jumlah Tidak ada Tidak ada

Sekret/serumen Jenis Tidak ada Tidak ada

Membran timpani
Warna Putih seperti Putih seperti

mutiara mutiara
Reflex cahaya + +
Utuh Bulging Tidak ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada

21
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Jenis - -
Kuadran - -
Perforasi
Pinggir - -
Tanda radang Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada

Mastoid Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada


Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Tes Garpu Tala

FREKUENSI RINNE WEBER SCHWABACH

(Lateralisasi)
R + Sama dg

- pemeriksa
L +

- Sama dg

pemeriksa
Kesan : Normal

Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Deformitas Tidak ada Tidak ada

22
Kel. Congenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Hidung luar
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada

Sinus paranasal :

Pemeriksaan Dekstra Sinistra


Nyeri tekan Ada Ada
Transluminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Rinoskopi Anterior :

Vibrise Ada Ada


Radang Tidak ada Tidak ada
Vestibulum
Cavum nasi Cukup lapang (N) Cukup lapang -
Sempit - Sempit
Lapang - -
Lokasi - -
Jenis - -
Jumlah - -

Sekret Bau - -

Ukuran Eutrofi Hipertrofi


Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin

23
Konka inferior Edema Tidak ada Tidak ada
Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin

Konka media Edema Tidak ada Tidak ada

Cukup lurus/deviasi Cukup lurus Deviasi


Permukaan Licin Licin
Warna Merah muda Merah muda
Spina Tidak ada Tidak ada
Kripta Tidak ada Tidak ada
Septum
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Warna - -
Massa
Konsistensi - -
Mudah digoyang - -
Pengaruh - -

vasokonstriktor
Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Cukup Lapang Cukup Lapang Cukup Lapang
Koana Lapang - -
Sempit - -
Mukosa Warna Merah Muda Merah Muda
Edema Tidak Ada Tidak Ada
Jaringan Granulasi Tidak Ada Tidak Ada

24
Warna Merah Muda Merah Muda
Fossa
Permukaan Licin Licin
Rossenmuler
Edema Tidak Ada Tidak Ada
Adenoid Ada/ Tidak Tidak ada Tidak ada
Muara Tuba Tertutup Sekret Tidak Ada Tidak Ada

Eustachius
Edema mukosa Tidak Ada Tidak Ada
Lokasi Tidak Ada Tidak Ada
Massa Ukuran Tidak Ada Tidak Ada
Bentuk Tidak Ada Tidak Ada
Permukaan Tidak Ada Tidak Ada
Ada/ Tidak Ada Ada
Post Nasal Drip
Jenis Serous Serous

Orofaring dan Mulut

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Lembab/tidak Lembab Lembab
Warna Merah muda Merah muda
Bibir
Edema Tidak ada Tidak ada
Gigi Karies/Radiks Tidak ada Tidak ada
Kesan Hygine mulut baik
Warna Merah muda

Bentuk Simetris
Lidah
Deviasi Tidak Ada
Massa Tidak Ada
Mobilitas Segala arah

25
Simetris/Tidak Simetris Simetris
Warna Merah muda Merah muda
Palatum
Oedema Tidak Ada Tidak Ada
Durum, Bercak/Eksudat Tidak Ada Tidak Ada
Palatum Mole,

Arkus Faring
Ukuran T3 T3
Warna Hiperemis Hiperemis
Permukaan Rata Rata

Tonsil Muara Kripti Melebar Melebar


Detritus Tidak Ada Tidak Ada
Eksudat Tidak Ada Tidak Ada
Warna Merah muda Merah muda
Abses Tidak Ada Tidak Ada
Peritonsil
Edema Tidak Ada Tidak Ada
Bavida Tidak Ada Tidak Ada
Uvula
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan licin Licin
Dinding Faring
Lokasi Tidak Ada Tidak Ada
Ukuran Tidak Ada Tidak Ada
Bentuk Tidak Ada Tidak Ada

Massa Permukaan Tidak Ada Tidak Ada

Konsistensi Tidak Ada Tidak Ada

Laringoskopi Indirek

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

26
Bentuk Tidak dilakukan
Warna Tidak dilakukan
Edema Tidak dilakukan

Epiglotis Pinggir rata/ tidak Tidak dilakukan


Massa Tidak dilakukan
Warna Tidak dilakukan
Edema Tidak dilakukan
Massa Tidak dilakukan

Aritenoid Gerakan Tidak dilakukan

Warna Tidak dilakukan


Edema Tidak dilakukan
Ventricular
Massa Tidak dilakukan
band
Plika vokalis Warna Tidak dilakukan
Gerakan Tidak dilakukan
Pinggir medial Tidak dilakukan
Massa Tidak dilakukan
Sinus piriformis Massa Tidak dilakukan
Sekret Tidak dilakukan
Valekula Massa Tidak dilakukan
Sekret (jenisnya) Tidak dilakukan

Pemeriksaan kelenjar getah bening leher

Inspeksi : Tidak terlihat tanda pembesaran kelenjar getah bening

Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Hasil Pemeriksaan Laboratorium :

 Darah Rutin :

27
 Hb : 12.2 g/dl

 Ht : 37.2 %

 Leukosit : 8.9 mm3

 Trombosit : 262 mm3

 PT : 10.10 detik

 APTT : 24.00 detik

Diagnosis Kerja

Rinosinusitis Kronik et causa Rinogen susp. Rhinitis Alergi

Diferensial Diagnosis

- Rinosinusitis Kronik et causa rinogen susp. Rhinitis Vasomotor

Pemeriksaan Anjuran
Rontgen SPN 3 posisi

Terapi

Non medikamentosa :

1. Menghindari faktor pencetus seperti udara dingin/ber-AC, polusi,


udara berdebu dan asap rokok.
2. Hindari mengkorek-korek hidung dan hindari mengeluarkan cairan
hidung (ingus) atau kotoran dengan paksa.
3. Penderita disarankan beristirahat yang cukup ditempat tidur.
Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu dan kelembaban udara
tetap.
4. Kontrol ke Poliklinik THT bila gejala yang dirasakan tidak membaik
atau bertambah parah.

28
5. Pasien disarankan untuk cuci hidung dengan NaCl sebanyak 5 kali
sehari.

Medikamentosa :

1. Cetirizine tab 10 mg 1 x 1
2. Avamys nasal spray 1 kali sehari (1 spray)
3. Metilprednisolon tab 8 mg 3 x 1
4. Loratadine tab 10 mg 1 x 1

Prognosis

Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam

29
BAB IV
KESIMPULAN

Seorang pasien usia 30 tahun datang dengan keluhan bersin-bersin > 5 kali
tiap serangan, bersin memberat ketika pagi hari dan semakin memberat ketika
cuaca dingin dan berdebu. Ketika bersin pasien mengeluhkan banyak keluar secret
encer dan jernih dari hidung. Pasien juga merasakan nyeri pada tulang pipi dan
dahi, nyeri terasa tertusuk pada kedua pipi dan dahi. Terkadang ketika bersin
keluar secret yang berbau busuk seperti berkarat, sedikit menggumpal dan
berwarna putih kehijauan. Pasien juga mengeluhkan hidung tersumbat, nyeri dan
gtal di tenggorok, seperti ada secret yg jatuh di tenggoroknya.
Pada pemeriksaan didapat konka inferior hipertrofi, cavum nasi kiri
sempit, septum deviasi ke kiri, adanya post nasal drip dan terdapat nyeri tekan
pada area sinus maxilla. Pasien di diagnosis dengan rinosinusitis kronik ec.
Rinogen suspect rhinitis alergi. Pasien disarankan untuk mneghindari factor
pencetus rhinitis alergi dan rajin mencuci hidung. Pasien diberi terapi dekongestan
nasal spray, antihistamin, dan kortikosteroid.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal dan Sinusitis. In Soepardi


EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-
KL. 7th ed. Jakarta: FKUI; 2012. p. 122-130.
2. File J. Sinusitis: Epidemiology. In I B. Sinusitis from Microbiology to
Management. New York: Taylor & Francis; 2006. p. 1-13.
3. Rosenfeld R, Puccirillo J. Adult Sinusitis. In Clinical Practice Guideline. New
York: American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery;
2015. p. S1-S39.
4. Fokkens W, Lund V, Mullol J , et al.. European position papr on
rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology. 2007; 45: p. 1-139.
5. Bagja , Lasminingrum. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis Disertai
Polip Hidung dan Tanpa Polip Hidung di Bagian Ilmu Kesehatan THT–KL
FK UNPAD RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. Kumpulan Abstrak PIT-
PERHATI. 2008.
6. Dewanti D, Hawala S, Istiningsih C, Indrawati L. Pola Epidemiologi
Rhinosinusitis Kronis di Bagian THT RS Sarjidto Tahun 2006-2007.
Kumpulan Abstrak PIT-PERHATI. 2008.
7. Wilson J. Acute Sinusitis. In Tunner B, William S. Annals of Internal
Medicine. New York: American College of Physician; 2010. p. ITC1-17.
8. George AL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT (BOIES
Fundamentals of Otolaryngology). 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2014.
9. Brook I. Medscape WebMD LLC. [Online].; 2017 [cited 2017 June 15.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview.
10. Sedaghat AR, Gray ST, Wilke CO, Caradonna DS. Risk factors for
development of chronic rhinosinusitis in patients with allergic rhinitis.
International Forum of Allergy & Rhinology. 2012; 2(5): p. 370-375.
11. Min JY, Tan BK. Risk factors for chronic rhinosinusitis. Current Opinion in
Allergy and Clinical Immunology. 2015; 15(1): p. 1-13.
12. Akdis CA, Hellings PW, Agache I. Global Atlas of Allergic Rhinitis and
Chronic Rhinosinusitis: European Academy of Allergy and Clinical
Immunology; 2015.
13. Ballenger J. Hidung dan sinus paranasalis. In Penyakit Telinga, Hidung,

31
Tenggorokan, Kepala, dan Leher. 13th ed. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. p.
1-10.
14. Clerico D. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy D, Bolger
W, Zinreich SJ. Dieseases of the sinuses diagnosis and management.
Hamilton: BC Decker Inc; 2001. p. 155-165.
15. Chiu A, Becker D. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook I.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis;
2006. p. 219-229.
x

32
33

Anda mungkin juga menyukai