Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

ABSES PERITONSIL PADA ANAK


Oleh :
Richard P. Simbolon, I DG Arta Eka Putra, I Wayan Sucipta

PPDS I Bagian SMF/Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti
dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara muskulus konstriktor
1
faring dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil yang
biasanya terjadi pada kutub atas. Abses peritonsil merupakan infeksi pada
2
tenggorok yang kebanyakan merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.
Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering
terjadi pada orang dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi
superfisial dan berkembang secara progresif menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi
abses peritonsil yang mungkin terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring,
mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke intrakranial berupa
2
thrombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi jalan nafas.
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40
tahun. Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit
kekebalan tubuh, tetapi pada anak infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi
jalan nafas. Persentase efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-laki dan
3
perempuan.
Gejala klinis berupa rasa sakit ditenggorok, rasa nyeri yang terlokalisir,
demam tinggi, lemah dan mual. Keluhan lainnya berupa mulut berbau, muntah,
4,5
sampai nyeri alih ke telinga atau otalgia dan trismus.
Pada penulisan ilmiah ini dilaporkan satu kasus abses peritonsil pada anak.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.

Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga

mulut yaitu tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil faring (adenoid), tonsil lingual (tonsil

6
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil).

Tonsil palatina adalah suatu masa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa

tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus)

dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval denganpanjang 2-5

cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kripte yang meluas ke dalam jaringan

6
tonsil.

Permukaan sebelah dalam tonsil atau permukaan yang bebas, tertutup oleh

membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas ke dalam

kantung atau kripte yang membuka ke permukaan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi

seluruh fosa tonsil, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsil.

Bagian luar tonsil terikat longgar pada m.konstriktor faring superior, sehingga tertekan
setiap kali menelan. Muskulus palatoglosus dan m.palatofaringeus juga menekan

tonsil. Tonsil terletak di lateral orofaring, dibatasi oleh m.konstriktor faring superior

pada sisi lateral, m.palatoglosus pada sisi anterior, m.palatofaringeus pada sisi

6
posterior, palatum mole pada sisi superior dan tonsil lingual pada sisi inferior.

Fosa tonsil atau sinus tonsil yang di dalamnya terletak tonsil palatina, dibatasi

oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah muskulus palatoglosus atau disebut

pilar posterior, batas lateral atau dinding luarnya adalah muskulus konstriktor faring

7
superior.

Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari

palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang

ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah

bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-

8
hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan

2
pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan
7,8
masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang
disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para
klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian
tonsil. Kapsul tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam parenkim. Trabekula
8
ini mengandung pembuluh darah, saraf-saraf dan pembuluh eferen.
Kripte tonsil berbentuk saluran yang tidak sama panjang dan masuk ke bagian
dalam jaringan tonsil. Umumnya terdiri dari 8-20 buah dan kebanyakan terjadi penyatuan
beberapa kripte. Permukaan kripte ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel
permukaan medial tonsil. Saluran kripte ke arah luar, biasanya bertambah luas. Pada fosa
supratonsil, kripte meluas kearah bawah dan luar, maka fosa ini dianggap pula sebagai
kripte yang besar. Hal ini membuktikan adanya sisa perkembangan berasal dari kantong
brakial ke II. Secara klinik terlihat bahwa kripte merupakan sumber infeksi, baik lokal
8
maupun sistemik karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas dan kuman.
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal
6-8
lidah.
Kadang-kadang plika triangularis membentuk suatu kantong atau saluran buntu.
Keadaan ini dapat merupakan sumber infeksi lokal maupun umum karena kantong
7,8
tersebut terisi sisa makanan atau kumpulan debris.
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
arteri maksilaris eksterna atau arteri fasialis dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri
palatina asenden, arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden,
6
arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal dan arteri faringeal asenden.
3
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh arteri palatina asenden, vaskularisasi diantara kedua daerah tersebut
dilayani oleh arteri tonsilaris. Vaskularisasi kutub atas tonsil dilayani oleh arteri faringeal
9
asenden dan arteri palatina desenden.
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar muskulus konstriktor superior
dan bercabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan
cabang-cabang melalui muskulus konstriktor superior melalui tonsil. Arteri faringeal
asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar muskulus konstriktor
superior. Arteri lingualis dorsal naik kepangkal lidah dan mengirimkan cabangnya ke
tonsil, pilar anterior dan pilar posterior. Arteri palatina desenden atau arteri palatina
minor atau arteri palatina posterior memperdarahi tonsil dan palatum mole dari atas dan
8,9
membentuk anastomosis dengan arteri palatina asenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
8,9
faring. Perdarahan adenoid berasal dari cabang-cabang arteri maksilaris interna.
Disamping memperdarahi adenoid pembuluh darah ini juga memperdarahi sinus
9
sfenoid.
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda atau deep jugular node bagian superior dibawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar torak dan akhirnya menuju duktus
torasikus. Infeksi dapat menuju ke seluruh bagian tubuh melalui aliran getah bening.
Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah
bening aferen tidak ada. Tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf ke V
atau nervus trigeminus melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf ke IX
9
atau nervus glosofaringeus.
Ruang peritonsil digolongkan sebagai ruang intrafaring walaupun secara anatomi
terletak diantara fasia leher dalam. Ruang peritonsil merupakan salah satu dari ruang
leher dalam. Ruang leher dapat dibagi menjadi; 1) ruang yang mencakup seluruh panjang
leher yaitu ruang retrofaring, ruang bahaya dan ruang vaskular viseral; 2) ruang yang
terbatas pada sebelah atas os hyoid yaitu ruang

4
faringomaksila, ruang submandibular, ruang parotis, ruang mastikator, ruang peritonsil,
ruang temporal; 3) ruang yang terbatas pada sebelah bawah os hyoid yaitu ruang viseral
9
anterior dan ruang suprasternal.

9
Gambar 1. Ruang leher dalam potongan melintang.

Dinding medial ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil, yang terbentuk dari
fasia faringobasilar dan menutupi bagian lateral tonsil. Dinding lateral ruang peritonsil
dibentuk oleh serabut horizontal otot konstriktor superior dan serabut vertikal otot
9
palatofaringeal.
Pada sepertiga bawah permukaan bagian dalam tonsil, serabut-serabut otot
palatofaringeal meninggalkan dinding lateral dan meluas secara horizontal menyeberangi
ruang peritonsil kemudian menyatu dengan kapsul tonsil. Hubungan ini disebut ligament
triangular atau ikatan tonsilofaring. Batas-batas superior, inferior, anterior dan posterior
8,9
ruang peritonsil ini juga dibentuk oleh pilar-pilar anterior dan posterior tonsil.

5
2.2. Epidemiologi
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20-40 tahun. Pada
anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit kekebalan tubuh, tetapi
infeksi pada anak dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses peritonsil pada anak-
anak lebih sering terjadi pada anak diatas usia 10 tahun, tetapi dapat juga terjadi diatas 1
10
tahun. Persentase efek gangguan jalan napas sama pada anak laki-laki dan perempuan.
3
Insiden abses peritonsil di Amerika Serikat terjadi 30 per 100.000 orang/tahun. Dikutip
dari Hanna BC, Herzon melaporkan data insiden terjadinya abses peritonsil; 1/6500
populasi atau 30.1/40.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Di Irlandia Utara
3,11
dilaporkan 1 per 10.000 pasien per tahun, dengan rata-rata usia 26,4 tahun.
2.3. Etiopatogenesis
Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan
peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk
abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul
tonsil yang umumnya pada kutub atas tonsil dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di
antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah
12
parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Finkelstein dkk, mengatakan lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan
peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan
penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang
12
parafaring dan retrofaring terdekat.
Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang
disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke
dalam kripte-kripte tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris
yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang,
terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan sekresi kelenjar Weber yang
mengakibatkan pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi
infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem
13
saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.
6
Dikutip dari Megalamani, pemeriksaan kultur yang telah dilakukan
menumbuhkan populasi bakteri aerob dan anaerob sama banyaknya dengan campuran
flora yang melibatkan mikroorganisme gram negatif dan gram positif. Beberapa
penelitian dengan mengisolasi bakteri menunjukkan Streptococcus viridians merupakan
penyebab terbanyak infeksi abses peritonsil, diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus
grup A. Bakteri anaerob dan Streptococcus gram positif telah diidentifikasi sebagai agen
14
etiologi umum.
Hanna dkk, melaporkan hasil pemeriksaan kultur kuman sebanyak 43 %
ditemukan bakteri aerob, 31% bakteri anaerob, dan 23 % terdiri gabungan bakteri aerob
3
dan anaerob. Dikutip dari Marom, Megalamani dkk, menunjukkan adanya peningkatan
kejadian bakteri aerob gram negatif yang menyebabkan abses peritonsil di India,
sedangkan Sakae dkk, melaporkan banyaknya kasus polimikmikrobial dengan dominasi
11,14
kuman aerob pasien di Brazil.
Dikutip dari Segal N, Brook dkk melaporkan sebanyak 34 orang dewasa dan
anak-anak yang dilakukan aspirasi pus dan didapatkan 76% bakteri gabungan aerob-
1
anaerob dan 18 % bakteri anaerob. Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya,
proses infeksi ini menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan pertama dari orofaring
penerima (host) telah ditembus dan sebagai akibatnya mikroorganisme tersebut masuk
14
menembus jaringan orofaring.
Ketika bakteri menembus jaringan, tubuh secara alami akan menggerakkan
beberapa mekanisme pertahanan. Secara umum bakteri akan mati oleh aktifitas sel-sel
fagosit. Antibodi memainkan peranan penting melawan toksin-toksin bakteri, tetapi
bagaimana peranan antibodi dalam melawan bakteri penyebab inflamasi peritonsil akut
14,15
masih belum diketahui.
2.4. Diagnosis
Diagnosis abses peritonsil dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
9
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa rasa sakit ditenggorok yang terus menerus
hingga keadaan yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati, rasa nyeri yang
terlokalisir, demam tinggi, lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan keluhan yang
menonjol dan pasien mungkin kesulitan untuk makan

7
5,9
bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi
hipersalivasi dan ludah sering kali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau,
muntah sampai nyeri alih ke telinga (otalgia). Trismus akan muncul bila infeksi meluas
5
mengenai otot-otot pterigoid.
Gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa pembengkakan awal hampir selalu
berlokasi pada daerah palatum mole disebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil
membesar kearah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai
5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Penderita dapat mengalami kesulitan
berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum kentang
panas atau hot potato’s voice karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat
5
membuka mulut.

10
Gambar 2. Abses peritonsil pada anak.

Pemeriksaan secara klinis seringkali sulit dilakukan karena adanya trismus. Pada
pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada
waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah
tonsil yang satunya membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep
apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita akan
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal atau
5
servikal adenopati.

8
Tonsil umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup
oleh mukopus. Tonsil tampak bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong
kearah tengah, depan dan bawah. Palatum mole akan tampak menonjol kedepan, dapat
teraba fluktuasi. Timbul pembengkakan pada uvula yang meyebabkan terdorongnya
uvula sisi kontralateral. Paling sering abses peritonsil muncul pada bagian supratonsil
atau dibelakang tonsil, penyebaran pus kearah inferior dapat menimbulkan
pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan
5
tampak cemas dan sangat ketakutan.
Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang
sama dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser,
tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan
5
kemerahan.
Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling berfluktuasi atau punksi
merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Aspirasi
atau punksi menggunakan semprit 10 ml dan jarum no.18 setelah pemberian anestesi
5
topikal misalnya silokain semprot dan infiltrasi anestesi lokal misalnya lidokain.
Pemeriksaan kultur kuman dan sensitifitas tes untuk mengetahui jenis kuman dan
16
pemilihan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman. Pemeriksaan laboratorium darah
berupa faal hemostasis, pemeriksaan darah lengkap umumnya ditemukan leukositosis
sangat membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang radiologi berupa
ultrasonografi intraoral dan tomografi komputer dapat dikerjakan untuk menunjang
diagnostik. Ultrasonografi dapat digunakan di ruang pemeriksaan gawat darurat untuk
membantu mengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan aspirasi dengan jarum. Pada
pemeriksaan ultrasonografi intraoral tampak gambaran cincin isoechoic dengan
gambaran sentral hypoechoic. Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antara
selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari
infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk
diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan
16
pemeriksaan tomografi komputer.
9
2.5. Diagnosis Banding
Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap pembengkakan pada daerah
peritonsilar harus dipertimbangkan penyakit lain selain abses peritonsil sebagai diagnosis
banding. Diagnosis banding dari abses peritonsil yaitu infeksi mononukleosis, benda
asing, tumor/keganasan/limfoma, penyakit Hodgkin leukemia, adenitis servikal,
17
aneurisma arteri karotis interna dan infeksi gigi.
Kelainan-kelainan ini dapat dibedakan dari abses peritonsil melalui pemeriksaan darah,
6,8,18
biopsi dan pemeriksaan diagnostik lain.
Tidak ada kriteria spesifik yang dianjurkan untuk membedakan selulitis dan abses
peritonsil. Penderita dengan gejala infeksi daerah peritonsil sebaiknya dilakukan aspirasi atau
punksi. Apabila hasil aspirasi positif atau terdapat pus, berarti abses, maka penatalaksanaan
selanjutnya dapat dilakukan. Bila hasil aspirasi negatif atau tidak ada pus, pasien dapat
17,18
didiagnosis sebagai selulitis peritonsil.
2.6. Penatalaksanaan
Meskipun abses peritonsil merupakan komplikasi tersering dari tonsilitis
akut, penatalaksanaan dari abses peritonsil masih kontroversial. Penatalaksanaan yang
umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan terapi antibiotika, diikuti
19
oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian. Rawat inap mungkin diperlukan,
terutama pada pasien anak-anak. Namun, orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua
dengan abses peritonsil ringan dapat dirawat sebagai pasien rawat jalan setelah dilakukan
10
drainase dan bila dapat mengkonsumsi obat oral dan hidrasi.
2.6.1 Terapi Antibiotik
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan
abses peritonsil adalah pemilihan antibiotik sebelum dan sesudah pembedahan. Antibiotik
pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatis, kumur-kumur
20
dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher.
Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian antibiotik
ditujukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul. Penisilin dan sefalosporin
11,14
generasi pertama, kedua atau ketiga umumnya merupakan antibiotik pilihan.

10
Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan
disebabkan oleh kuman Staphylococcus. Metronidazol merupakan antibiotik yang sangat
baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotik alternatif yang sangat baik
bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai antibiotik
20,21
pilihan untuk menangani bakteri yang memproduksi beta laktamase.
2.6.2. Insisi dan Drainase
Insisi dan drainase pada abses peritonsil dapat disebut juga intraoral
drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat
dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada
pembengkakan didaerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling
22
berfluktuasi.
Pada penderita dengan keadaan sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi
duduk menggunakan anestesi lokal. Pada penderita yang memerlukan anestesi umum,
posisi penderita saat tindakan adalah kepala lebih rendah atau posisi Trendelenberg
menggunakan pipa endotrakeal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang tonsilar dari
nervus glossofaringeus atau N. IX yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada
11,20
daerah ini, dengan menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil.
Insisi menggunakan pisau skalpel no.11. Lokasi insisi dapat diidentifikasi pada
pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling
fluktuatif, pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar
uvula dengan molar terakhir, pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis
uvula dan M3 atas, pada pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir medial
pilar anterior dengan lidah dengan garis horizontal melalui basis uvula, pada pertemuan
garis vertikal melalui pinggir medial M3 bawah dengan garis horizontal melalui basis
uvula. Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan
21,22
menggunakan alat penghisap.
Tindakan menghisap pus ini penting dilakukan untuk mencegah aspirasi yang dapat
mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat tidak cukup dalam,
harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak
11
pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita kemudian disuruh
21,22
berkumur dengan antiseptik dan diberi terapi antibiotika. Umumnya setelah drainase
terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang keluar juga sebaiknya diperiksakan
22
untuk tes kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi (diagnosis).
Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah rekurensi
5
abses peritonsil. Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil
bervariasi, yaitu: 1) Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera/bersamaan dengan drainase
abses, 2) Tonsilektomi a tiede: dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase, 3)
22
Tonsilektomi a froid: dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.
Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil,
dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam
perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang sama
22
dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy).
Pada umumnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu
21
kemudian adalah prosedur terapi abses peritonsil. Pasien harus dilakukan operasi 2-3 hari
setelah infeksi terkontrol jika ukuran luka pada abses yang pecah spontan kurang dari 2,5 cm.
Namun, bila ukuran luka pada abses yang pecah spontan lebih dari 2,5 cm maka tindakan
operasi harus dilakukan segera dengan tetap memperhatikan kondisi umum dan komplikasi
5,23
sistemik pada pasien.
2.7. Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan
makanan yang kurang. Pecahnya abses secara spontan dengan aspirasi darah atau pus
11,24
dapat menyebabkan pneumonitis atau abses paru.
Infeksi abses peritonsil dapat meluas kearah parafaring menyusuri selubung karotis
kemudian membentuk ruang infeksi yang luas. Perluasan infeksi ke daerah parafaring,
dapat mengakibatkan terjadinya abses parafaring, penjalaran selanjutnya dapat masuk ke
mediastinum sehingga dapat terjadi mediastinitis. Pembengkakan yang timbul di daerah
24
supraglotis dapat timbul obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi.
12
Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik
akan menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin
24
timbul akibat penyebaran abses adalah endokarditis, nefritis dan peritonitis.

III. LAPORAN KASUS


Pasien inisial KR, laki-laki, usia 6 tahun, suku Bali, datang ke IRD RSUP
Sanglah pada tanggal 14 Nopember 2015 diantar oleh orangtuanya dengan keluhan nyeri
tenggorok sejak 3 hari yang lalu disertai dengan demam, makan dan minum sedikit-sedikit,
riwayat batuk dan nyeri tenggorok berulang sejak ± 1 tahun ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, berat badan 48 kg,
kesadaran kompos mentis, nadi 90 kali/menit, respirasi 24 kali/menit dan suhu aksila
o
36,5 C. Pada pemeriksaan telinga dalam batas normal, pemeriksaan hidung dalam batas
normal, pemeriksaan tenggorok didapatkan tonsil T3/T3 hiperemi, kripte melebar kanan
dan kiri, detritus kanan dan kiri tidak ada, uvula terdorong ke kanan, pada regio peritonsil
kiri edema ada, fluktuasi ada, dilakukan aspirasi terdapat pus dan darah.

Gambar 3. Pasien KR, laki-laki, usia 6 tahun.


13
Pasien dilakukan insisi pada regio peritonsil kiri yaitu pada daerah yang paling
berfluktuasi, sebelum tindakan dilakukan anestesi lokal, dengan menyuntikkan lidokain
melalui mukosa ke dalam fosa tonsil. Insisi menggunakan pisau skalpel no.11, insisi
diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan menggunakan alat
penghisap, sebelumnya dilakukan swab dasar luka dan dilakukan pemeriksaan kultur dan
tes sensitivitas ke laboratorium mikrobiologi.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis dengan abses
peritonsil sinistra. Pasien dirawat inap, posisi tidur Trendelenburg, diberikan infus
Dekstrosa 5% ½ NS 12 tetes per menit, obat-obatan intravena: Cefoperazon 750 mg tiap
12 jam; Metronidazole 300 mg tiap 8 jam; Ketorolac 5 mg tiap 8 jam; Metil prednisolone
31,25 mg tiap 12 jam; Ranitidin 25 mg tiap 12 jam, pasien dilakukan dilatasi dan
drainase setiap hari, pemeriksaan laboratorium lengkap, foto rontgen toraks, menunggu
hasil kultur dan tes sensitivitas.
Pada tanggal 15 Nopember 2015, keluhan nyeri tenggorok masih ada, dilakukan
dilatasi dan drainase, pus dan darah yang keluar minimal, posisi tidur
Trendelenburg, terapi infus dan intravena dilanjutkan, pada hasil pemeriksaan
3 3
laboratorium ditemukan: WBC 24,4 x 10 /uL; Hb 13,0 gr/dL; Plt 358 x 10 /uL; PPT 11,9
detik (kontrol 11,9 detik); APTT 32,7 detik (kontrol 32,4 detik), foto rontgen toraks: cor
dan pulmo tak tampak kelainan.
Gambar 4. Abses peritonsil sinistra post insisi dan drainase (16 Nopember 2015).

14
Pada tanggal 16 Nopember 2015, keluhan nyeri tenggorok berkurang, dilakukan
dilatasi dan drainase, pus yang keluar minimal, darah tidak ada, posisi tidur
Trendelenburg, pada hasil kultur dan tes sensitivitas didapatkan hasil:
Streptococcus pyrogenes pada spsesimen, terapi infus dan intravena dilanjutkan. Pada
tanggal 17 Nopember 2015, keluhan nyeri tenggorok berkurang,
dilakukan dilatasi dan drainase, pus dan darah yang keluar tidak ada, posisi tidur
Trendelenburg, terapi infus dan intravena dilanjutkan.
Pada tanggal 18 Nopember 2015, keluhan nyeri tenggorok sudah tidak ada, dilakukan
dilatasi dan drainase, pus dan darah yang keluar tidak ada, posisi tidur
Trendelenburg, infus dilanjutkan, Ketorolac intravena stop dan diganti Parasetamol sirup
cth II tiap 8 jam intra oral, obat-obatan intravena lainnya dilanjutkan, pemeriksaan
laboratorium lengkap.

Gambar 5. Abses peritonsil sinistra post insisi dan drainase (19 Nopember 2015).

Pada tanggal 19 Nopember 2015, keluhan nyeri tenggorok tidak ada, pada hasil
3
pemeriksaan laboratorium ditemukan: WBC 9,05 x 10 /uL; Hb 13,7 gr/dL; Plt 438 x
3
10 /uL, pasien diperbolehkan pulang dan kontrol kembali ke Poliklinik THT-KL 5 hari
lagi (24 Nopember 2015), obat-obatan oral yang diberikan: Cefiksim sirup cth II tiap 12
jam, Parasetamol sirup cth II tiap 8 jam, Metil prednisolone tablet 4 mg tiap 8 jam.
15
Gambar 5. Abses peritonsil sinistra post insisi dan drainase (kontrol Poliklinik THT-
KL tanggal 24 Nopember 2015).

Pada tanggal 24 Nopember 2015, pasien kontrol ke Poliklinik THT-KL, keluhan


tidak ada, pemberian obat-obatan dihentikan, pasien direncanakan untuk operasi Tonsilo-
adenoidektomi.
Pada tanggal 14 Januari 2016, pasien dilakukan operasi Tonsilo-adenoidektomi di
RSUD Badung.

IV. PEMBAHASAN
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20-40 tahun. Pada anak
jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit kekebalan tubuh. Abses
peritonsil pada anak-anak lebih sering terjadi pada anak diatas usia 10 tahun, tetapi dapat
10
juga terjadi diatas 1 tahun. Pada kasus ini ditemukan pada seorang anak laki-laki, usia 6
tahun.
Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan
peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk
12
abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Hal tersebut sesuai dengan kasus pada
pasien ini, dimana keluhan nyeri tenggorok yang berulang selama ± 1 tahun ini dan pada
pemeriksaan tenggorok ditemukan pembesaran tonsil (T3) kanan dan kiri.
16
Pemeriksaan kultur kuman dan sensitifitas tes untuk mengetahui jenis kuman dan
pemilihan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman. Beberapa penelitian dengan
mengisolasi bakteri menunjukkan bakteri anaerob dan Streptococcus gram positif telah
14,16
diidentifikasi sebagai agen etiologi umum.
Pada pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas pasien dalam kasus ini ditemukan
Streptococcus pyrogenes pada spesimen, hal ini sesuai dengan teori dimana
Streptococcus sp merupakan penyebab terbanyak infeksi abses peritonsil.
Pada anamnesis pasien didapatkan keluhan berupa rasa nyeri di tenggorok yang
terus menerus disertai demam tinggi, nyeri menelan juga dikeluhkan pasien disertai
dengan kesulitan berbicara dengan suara yang baik (hot potato's voice). Keluhan-keluhan
ini mulai dialami pasien 3 hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Anamnesis pasien diatas
5,9
sesuai dengan gejala klinis dari abses peritonsil pada umumnya. Pada pemeriksaan
tonsil ditemukan pembengkakan pada regio peritonsil kiri, uvula yang terdorong ke
kanan serta tonsil kanan dan kiri yang membesar, hal ini sesuai dengan gambaran klinis
abses peritonsil yaitu pembengkakan yang bersifat unilateral, karena jarang kedua regio
5
terinfeksi pada waktu bersamaan dan disertai dengan pembesaran tonsil.
Pemberian antibiotik penisilin dan sefalosporin generasi pertama, kedua atau
ketiga umumnya merupakan antibiotik pilihan, sedangkan untuk infeksi anaerob,
11,14,20,21
Metronidazol merupakan antibiotik yang sangat baik. Pada pasien ini diberikan
antibiotik golongan sefalosporin (Cefoperazon) yang dikombinasikan dengan
Metronidazol. Insisi dan drainase pada abses peritonsil bertujuan untuk mendapatkan
drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat, lokasi insisi biasanya dapat
diidentifikasi pada pembengkakan didaerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah
22
paling berfluktuasi. Pada pasien ini dilakukan insisi pada regio peritonsil kiri yaitu pada
daerah yang paling berfluktuasi, dimana sebelumnya sudah dilakukan aspirasi terdapat
pus dan darah.
Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah rekurensi
5
abses peritonsil. Hal ini juga dilakukan pada kasus ini, dimana pasien menjalani operasi
Tonsilo-adenoidektomi pada tanggal 14 Januari 2016.
17
V. KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus abses peritonsil pada anak laki-laki, usia 6
tahun. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan pembesaran tonsil kanan dan kiri, kripte
kanan dan kiri yang melebar, uvula terdorong ke kanan, pada regio peritonsil kiri terdapat
edema dan fluktuasi, dilakukan aspirasi terdapat pus dan darah, kemudian dilakukan
insisi dan drainase pada regio peritonsil kiri tersebut.
Diagnosa pasien ini adalah abses peritonsil sinistra, yang ditegakkan berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pada pasien ini diberikan pengobatan antibiotik,
dilakukan dilatasi dan drainase setiap hari, dengan hasil penyembuhan yang baik serta
telah dilakukan operasi Tonsilo-adenoidektomi.
18
DAFTAR PUSTAKA

1. Segal N, Sabri SE. Peritonsillar Abscess in Children in The Southern District of


Israel. Int Journal of Ped Otol 2009;73:1148-50.
2. Papacharalampous GX, Vlastarakos PV, Kotsis G, Davilis D, Manolopoulos L.
Bilateral peritonsillar abscess: A case presentation and review of the current literature
with regard to the controversies in diagnosis and treatment. Case Reports in
Medicine. 2011;1-4.
3. Hanna B, Ronan MM. The Epidemiology of Peritonsillar Abscess Disease in
Northern Ireland. Journal of Infection 2006; 52:247-53.
4. Salihoglu M dkk. Transoral ultrasonography in the diagnosis and treatment of
peritonsillar abscess. Clinical Imaging. 2013;37:465-7.
5. Ming CF. Efficacy of three theraupetic methods for peritonsillar abscess. Journal of
Chinese Clinical Medicine. 2006;2:108-11.
6. Ellis H. The pharynx. Dalam: Clinical anatomy. Edisi ke-11. Australia. Blackwell
Publising; 2006. h.279-80.
7. Scott BA, Stiernberg CM. Infection of the Deep Spaces of The Neck. In: Bayle BJ.
editor. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3rd ed. Philadelphia; 2001 p. 701-15.
8. Weed H.G, Forest LA. Deep Neck Infection. In: Cummings CW. editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia: Pennsylvania; 2005
p.2515-24.
9. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep space of the neck. Dalam: Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD, penyunting. Head and Neck Surgery-Otolaryngology.
Edisi ke-4. Lippincot William & Wilkins; 2006. h.666-81.
10. Brook I. Pediatric Peritonsillar Abscess. Diakses tanggal 11 Agustus 2016. Diunduh
dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/970260-overview
11. Marom T, Cinamon U. Changing trends of peritonsillar abscess. Am J of Otol HNS.
2010;31:162-7.
19
12. Finkelstein Y, Ziv JB. Peritonsillar abscess as a cause of transient velopharyngeal
insufficiency. Cleft Palate Craniofacial Journal. 1993; 30:421-8.
13. Fasano JC, Chudnofsky C. Bilateral peritonsillar abscesses: Not your usual sore
throat. The Journal of Emergency Medicine. 2005;29:45-7.
14. Megalamani SB, Suria G. Changing Trends In Bacteriology of Peritonsillar Abscess.
Journal of Laryngol & Otol 2008;122:928-30.
15. Repanos C, Mukherjee P. Role of Microbiological Studies in Management of
Peritonsillar Abscess. Journal of Laryngol & Otol 2008;123:877-79.
16. Badran KH, Karkos PD. Aspiration of peritonsillar abscess in severe trismus. Journal
of Laryngol & Otol. 2006;120:492-4.
17. Probst R, Grevers G, Iro H. Disease of the oropharynx. Dalam: Basic
Otorhinolaryngology. Thieme, 2006; h.112-23.
18. Lyon M, Blaivas M. Intraoral ultrasound in the diagnosis and treatment of suspected
peritonsillar abscess in the emergency department. Acad Emerg Med. 2005;12:85-8.
19. Beriault M, Green J. Innovative Airway Management for Peritonsillar Abscess.
Cardiothoracic J Anesth 2006;53:92-5.
20. Su WY, Hsu WC. Inferior pole peritonsillar abscess successfully treated with non
surgical approach in four cases. Tsu Chi Med J. 2006;18:287-90.
21. Kieff, Bhattacharyya. Selection of antibiotic after incision and drainage of
peritonsillar abscesses. Otolaryngol Head Neck Surg. 1999;120(1):57-61.
22. Braude DA, Shalit M. A novel approach to enchance visualization during drainage of
peritonsillar abscess. The Journal of Emergency Medicine 2007;35:297-8.
23. Lehnerdt G, Senska K.Bilateral Peritonsillar Abscesses. Eur Arc Otol 2005;262:573-
75.
24. Losanoff JE, Missavage AE. Neglected peritonsillar abscess resulting in necrotizing
soft tissue infection of the neck and chest wall. Int J Clin Pract. 2005;59:1476-8.

20

Anda mungkin juga menyukai