PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Referat ini disusun untuk membantu penulis mengatahui dan memahami
tentang:
1.2.1 Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang yang diperlukan dan penegakkan diagnosis Sinusitis
1.2.2 Mengetahui penyebab, patofisiologi, penegakan diagnosa, dan penanganan
Sinusitis
1.3 Manfaat
Referat ini dapat dugunakan dan dimanfaat penulis dan pembaca sebagai:
1.3.1 Ringkasan dari kasus dan beberapa tinjauan pustaka tentang Sinusitis
1.3.2 Mempermudah pemahaman penulis dan pembaca tentang Sinusitis
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.6,7
Rhinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada
kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah
rinosinusitis. Rinosinusitis (termasuk polip nasi) didefinisikan sebagai inflamasi
hidung dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah
satunya harus termasuk sumbatan hidung/ obstruksi nasi/ kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior)
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu
dan salah satu dari
Temuan nasoendoskopi:
o
Polip dan atau
o
Sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau
o
Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius
dan atau
Gambaran tomografi komputer:
o
Perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus.8
2
sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan
atau dua puluhan.6 Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum
berdiferensiasi. Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang
kemudian akan menjadi kokha inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal,
yang akan menjadi konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi
menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan
sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus
kemudian mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus
yang dihasilkan merupakan struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara
detail dalam penanganan sinusitis, terutama sebelum tindakan bedah.9 Tulang-
tulang pembentuk dinding lateral hidung dijelaskan dalam gambar 1.10
3
ini melingkupi ruang di baliknya di bagian lateral yang disebut meatus, seperti
terlihat pada gambar 2.
Sebuah lapisan tulang kecil menonjol dari tulang etmoid yang menutupi
muara sinus maksila di sebelah lateral dan membentuk sebuah jalur di belakang
konka media. Bagian tulang kecil ini dikenal sebagai prosesus unsinatus.9 Jika
konka media diangkat, maka akan tampak hiatus semilunaris dan bulla etmoid
seperti tampak pada gambar 3. Dinding lateral nasal bagian superior terdiri dari
sel-sel sinus etmoid yang ke arah lateral berbatasan dengan epitel olfaktori dan
lamina kribrosa yang halus. Superoanterior dari sel-sel etmoid terdapat sinus
frontal. Aspek postero-superior dari dinding lateral nasal merupakan dinding
anterior dari sinus sfenoid yang terletak di bawah sela tursika dan sinus
kavernosa.10
10
Gambar 3. Struktur di balik konka
4
Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke
daerah yang berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 4. Aliran
sekresi sinus sfenoid menuju resesus sfenoetmoid, sinus frontal menuju
infundibulum meatus media, sinus etmoid anterior \menuju meatus media, sinus
etmoid media menuju bulla etmoid dan sinus maksila menuju meatus media.
Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi adalah duktus
nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior.10
5
- Sedang = VAS >3-7
- Berat= VAS >7-10
Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan dalam VAS
jawaban dari pertanyaan:
Berapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis saudara?
_______________________________________________________________
Tidak mengganggu 10 cm Gangguan terburuk yang masuk akal
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kulaitas hidup pasien
Berdasarkan durasi penyakit, rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi:8
Akut
< 12 minggu
Resolusi komplit gejala
Kronik
> 12 minggu
Tanpa resolusi gejala komplit
Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut
Rinosinusitis kronik tanpa bedah sinus sebelumnya terbagi menjadi
subgrup yang didasarkan atas temuan endoskopi, yaitu:8
1. Rinosinusitis kronik dengan polip nasal
Polip bilateral, terlihat secara endopskopi di meatus media
2. Rinosinusitis kronik tanpa polip nasal
Tidak ada polip yang terlihat di meatus media, jika perlu setelah
penggunaan dekongestan.8
2.5 Patogenesis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. 7
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi
didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
6
mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya bakteri patogen.7
7
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke
tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi
masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan
belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan
menjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya
dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis
tulang.13
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui suatu
tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) Perluasan langsung melalui bagian
dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) Dengan terjadinya defek; dan (4)
melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah
infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik.13
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan beratnya penyakit, sinusitis dapat dibagi
menjadi ringan, sedang dan berat sesuai dengan klasifikasi EPOS. Sedangkan
berdasarkan lamanya penyakit sinusitis dibagi menjadi akut dan kronik.
Berdasarkan EPOS yang dikatakan akut adalah bila gejala berlangsung <12
minggu, sedangkan kronik bila gejala berlangsung >12 minggu termasuk
rinosinusitis kronik eksaserbasi akut.7,8
2.6.1 Sinusitis Akut
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh
virus yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut
termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella
catarrhalis. Diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan ketika infeksi saluran
napas atas oleh virus tidak sembuh salama 10 hari atau memburuk setelah 5-7
hari.14
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi
virus, terdapat transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous yang
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh
infeksi bakteri , yang bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
8
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen. 7
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama sinusitis akut ialah hidung
tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang sering
sekali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat juga disertai gejala sistemik
seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang
terkena, merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga
dirasakan di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi, gigi, dahi dan depan telinga
menandakan sinusitis maksila. Nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata
dan pelipis menandakan sinusitis etmoid. Nyeri di dahi atau seluruh kepala
menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks,
oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Gejala lain adalah sakit kepala,
hipoosmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak
pada anak.7,8
Gejala sugestif untuk menegakkan diagnosis terlihat pada tabel 1. Gejala yang berat dapat menyebabkan beberapa komplikasi,
dan pasien tidak seharusnya menunggu sampai 5-7 hari sebelum mendapatkan pengobatan.14
Gejala Minor
Sakit kepala
Demam (pada sinusitis kronik)
Halitosis
Kelelahan
Sakit gigi
Batuk
Nyeri, rasa tertekan atau rasa penuh pada telinga
9
Diagnosis ditegakkan dengan dua gejala mayor atau satu gejala minor ditambah
dengan dua gejala minor.3
Pada rinoskopi anterior tampak pus keluar dari meatus superior atau nanah
di meatus medius pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid
anterior, sedangkan pada sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sfenoid tampak
pus di meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post
nasal drip). Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap.7
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air
fluid level) pada sinus yang sakit.7
10
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 6,7
1. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris akut
berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda
dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh,
dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau
turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk.7
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus dalam hidung, biasanya dari
meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam nasofaring. Sinus
maksilaris terasa nyeri pada palpasi dan perkusi. Transluminasi berkurang bila
sinus penuh cairan. Pada pemeriksaan radiologik foto polos posisi waters dan PA,
gambaran sinusitis maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa,
selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak
hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk
gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi pus.6
2. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola
mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis,
post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
pada pangkal hidung.6,7
3. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang
11
malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang
hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan
tanda patognomonik pada sinusitis frontalis.7
4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks
kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh
karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.6
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Sinusitis Akut
12
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif.
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromicin dan
dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.16
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah mengalami
komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat
menembus sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena
selain dapat membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan
menembus sawar darah otaknya juga baik.16
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan
metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan
serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada sinusitis dengan predisposisi
alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk
mengurangi nyeri.16
13
Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, salah Keadaan yang harus segera di rujuk/ dirawat
sa Edema periorbita
tunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ Pendorongan letak bola mata
kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ Penglihatan ganda
posterior; nyeri/ rasa tertekan di wajah; Oftalmoplegi
Penghidu terganggu/ hilang Penurunan visus
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Nyeri frontal unilateral atau bilateral
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak Bengkak daerah frontal
direkomendasikan Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
14
2.7.2 Sinusitis Kronis
Perbaikan
Perbaikan Tidak membaik
Perbaikan GagalTidak
setelah 3 bulan
membaik
Tindak lanjut Jangka
Panjang + cuci hidung
Steroid topikal
Lanjutkan Steroid
Makrolide jangka
Topikal
panjang Tomografi Komputer
Tomografi Komputer
Evaluasi setiap 6 bulan Tindak lanjut Operasi
Cuci hidung
15
Steroid topikal + oral
Antibiotika jangka Operasi
panjang
Gambar 10. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan polip hidung
pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 20078
16
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.7
CT scan merupakan suatu modalitas utama dalam menjelaskan derajat
penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan
kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronik
atau berkomplikasi.6
a) Etiologi
Osteomielitis yang disebabkan karena komplikasi dari sinusitis memiliki
organisme yang sama dengan penyebab sinusitis itu sendiri. Organisme tersering
adalah Staphylococcus, Streptococcus dan bakteri anaerob.17
b) Gejala klinis
Gejala klinis antara lain nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat,
gejala sistemik berupa sakit kepala, malaise, demam, dan menggigil.
Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila
17
terbentuk abses subperiosteal, terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi
tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Jika disertai
dengan Pott`s puffy tumor juga ditemukan penonjolan pada dahi.6,17
c) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan gambaran radiografi dimana tidak hanya
untuk mengkonfirmasi, tapi juga untuk mencari komplikasi intrakranial.
Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa
intrasinus dalam sinus yang keruh. Pada stadium lanjut, radiogram
memperlihatkan gambaran seperti digerogoti rayap pada batas-batas sinus,
menunjukkan infeksi telah meluas melampaui sinus. Dekstruksi tulang dan
pembengkakan jaringan lunak, demikian pula cairan atau mukosa sinus yang
membengkak paling baik dilihat dengan CT scan. Tes darah rutin seperti hitung
sel memiliki nilai yang rendah dan tidak spesifik, tapi peningkatan laju endap
darah mungkin mengindikasikan adanya osteomielitis.6,17
d) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari osteomielitis adalah pemberian antibiotik intravena
selama 6-8 minggu. Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik yang bisa
mengeradikasi kuman aerob dan anaerob. Terapi empirik yang biasa digunakan
adalah kombinasi generasi ketiga sefalosporin (ceftriaxon) dan metronidazol atau
klindamisin, dan dapat ditambahkan vankomisin, atau linezolid jika ada
Streptococcus pneumonia yang telah resisten. Terapi oral dengan amoxicillin-
clavulanat atau kombinasi cefixime dan metronidazol atau klindamisin juga bisa
18
digunakan. Terapi pilihan sebaiknya sesuai dengan kultur. Jika ada abses, drainase
abses adalah terapi pilihan.17
B. Mukokel
Mukokel adalah penyakit kronis berupa lesi kistik yang mengandung
mukus pada sinus paranasal. Mukokel tumbuh secara perlahan memakan waktu
tahunan untuk menimbulkan keluhan. Dan keluhan berhubungan dengan
bertambah besarnya mukokel. Sesuai dengan pertambahan besarnya, mukokel
dapat menekan dinding sinus sehingga mengawali erosi tulang. Setelah terjadi
erosi pada dinding sinus, mukokel dapat mengenai seluruh struktur. Mukokel
kebanyakan terjadi pada sinus frontalis, diikuti dengan sinus etmoid dan maksila.
Gejala dari sinus frontal atau etmoid dapat menyebabkan sakit kepala, diplopia
dan proptosis. Bola mata yang proptosis secara khas berpindah ke arah bawah dan
luar. Mukokel sinus maksilaris biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada foto
rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini jarang menyebabkan gejala karena sinus
maksilaris luas dan mukokel jarang menjadi cukup besar untuk menyebabkan
kelainan pada tulang. Mukokel sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala, jika
menghambat ostium sinus maksilaris. Mukokel dapat bergejala pada setiap sinus
ketika mukokel terinfeksi membentuk mukopyocele. Gejalanya hampir sama
dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Diagnosis ditegakkan oleh
CT scan sinus. Mukokel yang mempunyai gejala ditata laksana dengan tindakan
bedah mengangkat mukokel dan membersihkan sinus. Eksplorasi sinus secara
bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan berpenyakit serta
memastikan suatu drainase yang baik, atau obliterasi sinus merupakan prinsip-
prinsip terapi.6, 17
19
Gambar 12. Gambaran MRI mukokel sinus frontal bilateral19
2.8.2 Infeksi orbita
Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi atau
trauma, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari sinus yang
terinfeksi. Oleh karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa sinus, seperti sinus
frontalis, etmoid, dan maksilari, infeksi dari sinus tersebut berpotensial menyebar
hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat mempengaruhi penyebaran infeksi ke
ruang orbita. Hal ini dipengaruhi karena sangat eratnya hubungan antara dinding
sinus dengan orbita. Dinding yang tipis menyebabkan infeksi lebih mudah
menyebar. Sinus etmoid mempunyai dinding yang paling tipis, disebut lamina
papyracea yang batas lateral dan medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi pada
orbita biasanya dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang terjadi dinding sinus
yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita. Sekali infeksi menyebar
melalui dinding sinus, batas periosteal dinding sinus berperan sebagai barrier
tambahan untuk memproteksi orbita dari penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses
di antara dinding dengan periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum
rusak maka akan terbentuk abses orbita.17
a) Etiologi
Banyak organisme yang dapat diisolasi dari penderita infeksi orbita. Dapat
berupa organisme tunggal maupun organisme campuran, anaerob maupun aerob,
atau gabungan keduanya. Biasanya, hasil isolasi sama dengan yang ditemukan
pada sinus terinfeksi.17
20
b) Diagnosis
Pada sebuah artikel Chandler menyampaikan sebuah sistem klasifikasi dari
infeksi orbita yang masih dapat digunakan hingga kini. Infeksi orbita dibagi
menjadi lima grup berdasarkan progresifitasnya menjadi infeksi serius, yaitu :6, 17
1. Selulitis preseptal (selulitis periorbita), yaitu simple cellulitis dari kelopak
mata yang menyebabkan pembengkakan kelopak mata. Infeksi terbatas pada
kulit di depan septum orbita. Terjadi peradangan atau reaksi edema yang
ringan akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama
ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan
sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.6, 17
2. Selulitis orbita, terlihat sebagai edema difus dari garis batas orbita dan bakteri
telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. Selulitis
ini menyebabkan kelopak mata bengkak dan nyeri ketika otot ekstra okular
bergerak.6, 17
3. Abses subperiosteal, ditandai oleh edema dari garis batas orbita dengan
pengumpulan pus diantara periorbita dan dinding tulang orbita. Secara klinis
pasien dengan kondisi ini mirip dengan grup dua, tetapi terdapat proptosis
yang menonjol dan kemosis.6, 17
4. Abses orbita, ditandai adanya abses pada rongga orbita, pus telah menembus
periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Pada tahap ini disertai gejala sisa
neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak
21
otot ekstraokuler mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.6, 17
5. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran
bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus dimana selanjutnya
terbentuk suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik trombosis sinus
kavernosus terdiri dari oftalmoplegia, kemosis konjungtiva, gangguan
penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan tanda-tanda meningitis oleh
karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV,
dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.6, 17
22
kelopak mata sehingga kelopak mata bengkak dan menutup dalam hitungan jam.
Pada proses inflamasi selulitis preseptal terdapat inflamasi lokal pada mata,
ditemukannya panas, kemerahan, indurasi dan nyeri pada penekanan. Pasien
dengan kelopak mata bengkak, merah, tidak nyeri pada palpasi, tidak indurasi
merupakan suatu reaksi alergi atau pembendungan vena karena terdapatnya
sinusitis harus diperhatikan.17
Infeksi orbita (grup dua sampai empat) lebih sulit untuk diidentifikasi dan
tidak khas waktu kejadiannya. Pasien biasanya memiliki riwayat keluar cairan dari
hidung, sakit kepala atau terasa berat dan demam. Jika infeksi terjadi pada orbita,
kemungkinan dapat tejadi hilangnya penglihatan. Infeksi orbita dapat menyerupai
infeksi preseptal. Pasien datang dengan inflamasi orbita. Kelopak mata yang
bengkak tidak mengindikasikan adanya inflamasi. Karena terbatasnya ruang pada
orbita, massa inflamasi dapat mengenai sekeliling struktur. Infeksi orbita yang
simple menyebabkan tekanan pada otot okular dan menyebabkan nyeri bila mata
bergerak. Jika terdapat abses subperiosteal atau bentuk abses lainnya, penekanan
orbita menyebabkan proptosis. Jika proses inflamasi menekan nervus optikus
dapat menyebabkan kebutaan. Pada keadaan awal ditemukannya infeksi orbita
mungkin minimal, tetapi akan banyak ditemukan bila infeksi terus berlanjut.17
c) Pencitraan
Karena bisa terjadi tumpang tindih dalam gejala infeksi orbital, selulitis
preseptal, dan penyebab lain kelopak mata bengkak, beberapa klinisi
merekomendasikan imaging pada semua pasien dengan pembengkakan kelopak
mata. Pecitraan yang paling sering digunakan adalah CT scan dengan atau tanpa
kontras, menggunakan irisan tipis melalui orbit dengan gambar coronal dan axial.
CT scan sangat sensitif dalam pendokumentasian infeksi ini. Pada pasien dengan
selulitis preseptal terdapat pembengkakan kelopak mata tanpa keterlibatan orbita.
Gambaran CT scan pasien dengan klasifikasi chandler grup dua (selulitis orbital)
sering menunjukkan gambaran opaq pada sinus etmoid dengan massa tidak jelas
di sisi orbital dari lamina papyracea. Selain itu, mungkin juga terdapat
peradangan pada otot rektus. Ini adalah jenis yang paling ringan dan paling umum
dari infeksi orbital.17
23
Grup tiga (abses subperiosteal) menunjukkan inflamasi dengan elevasi
periosteum, perpindahan otot rektus, dan jika cukup besar, beberapa derajat
proptosis mata. Temuan untuk grup empat (abses orbital) menunjukkan material
inflamasi dalam ruang orbital dengan proptosis. MRI mungkin jenis yang lebih
baik dari studi pencitraan, tetapi dapat menjadi masalah karena infeksi orbital
sebagian besar pada anak-anak muda yang akan membutuhkan penenang untuk
prosedur ini. MRI adalah pilihan terbaik untuk komplikasi infeksi intrakranial,
seperti trombosis sinus kavernosus (grup lima) atau abses epidural. Tidak ada nilai
foto polos sinus untuk mendiagnosis infeksi orbital.17
d) Penatalaksanaan
Sampai beberapa tahun yang lalu, banyak pertentangan dalam bagaimana
penatalaksanaan infeksi orbital. Sampai baru-baru ini, drainase bedah dilakukan
pada kebanyakan pasien. Pengobatan komplikasi orbita sinusitis berupa
pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan pendekatan bedah khusus untuk
membebaskan pus dari rongga abses. Manfaat terapi anti koagulan pada trombosis
sinus kavernosus masih belum jelas. Pada kasus tromboflebitis septik, masuk
logika bila dikatakan terapi antikoagulan hanya akan menyebarkan (diseminata)
trombus yang terinfeksi. Perlu diingat bahwa angka kematian setelah trombosis
sinus kavernosus dapat setinggi 80 %. Pada penderita yang berhasil sembuh,
angka morbiditas biasanya berkisar antara 60-80 %, dimana gejala sisa trombosis
sinus kavernosus seringkali berupa atrofi optik.6
24
Meningitis 34 % (17 54)
Abses otak 27 % (0 50)
Abses epidural 23 % (0 44)
Abses subdural 24 % (9 86)
Persentase pasien dengan > 1 28 %
komplikasi intracranial
a) Patogenesis
Patogenesis dari komplikasi intrakranial ini mirip dengan terjadinya
komplikasi pada infeksi infraorbital. Infeksi intrakranial bisa berkembang dari
penyebaran luas melalui invasi dinding sinus menuju tulang yang terkontaminasi,
dan kemudian ke struktur intrakranial melalui osteitis atau cacat congenital atau
25
defek traumatik. Berbeda dengan infeksi orbital, metode tersering dari komplikasi
intrakranial ini adalah melalui penyebaran emboli septik via vena diploik kalvaria
dan tidak adanya katup pada sistem vena juga bertanggung jawab terhadap
drainase dari wajah bagian tengah dan sinus paranasal.17
Walaupun banyak komplikasi ini muncul bersamaan dengan pansinusitis,
beberapa infeksi intrakranial muncul dari peradangan sinus yang spesifik.
Meningitis sering muncul dari sinusitis etmoid atau sfenoid. Trombosis sinus
cavernous juga berhubungan dengan sinusitis etmoidalis atau sfenoidalis. Sinusitis
frontalis paling sering berhubungan dengan perkembangan abses ekstra aksial dan
intraserebral.17
b) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis komplikasi intrakranial sangat sulit untuk ditentukan,
karena biasanya penderita memiliki lebih dari satu komplikasi. Disamping itu,
tanda dan gejala rinosinusitis juga saling tumpang tindih dengan gejala infeksi
intrakranial. Sakit kepala di daerah frontal atau retro-orbital gejala yang paling
sering muncul, terjadi kira-kira 70 % pada penderita dengan komplikasi
intrakranial yang muncul akibat sinusitis. Kebanyakan dari pasien mengalami
demam (>38,50C). Pasien juga memilki gejala peningkatan tekanan intrakranial,
antara lain perubahan fungsi mental, muntah, dan fotofobia. Iritasi araknoid
mungkin akan memperlihatkan adanya kekakuan nuchal. Gejala neurologik yang
selanjutnya muncul akibat komplikasi ini adalah kejang, paresis fokal, dan palsi
nervus kranial. Berikut ini beberapa gejala/tanda yang muncul dari infeksi
intrakranial sebagai akibat dari komplikasi sinusitis.17
26
afasia, ataksia, defisit motor/sensoris) (%)
Kekakuan nuchal (%) 10
c) Diagnosis
Sebelum menggunakan teknik neuroimaging dengan CT scan atau MRI,
diagnosis lesi desak ruang dari infeksi intrakranial pertama kali ditegakkan dari
evaluasi gejala kilinik. CT scan dan MRI merupakan teknik pelengkap, dimana
masing-masingnya membantu memberikan informasi diagnostik dan juga
manajemen utama dari komplikasi intrakranial. CT scan bisa mendemonstrasikan
kebanyakan kasus supuratif intrakranial dan merupakan suatu teknik pilihan untuk
mengevaluasi keterlibatan tulang. CT scan merupakan modalitas imaging pertama
untuk mengevaluasi dari komplikasi intrakranial yang berasal dari sinusitis. Dan
untuk perencanaan dalam bedah sinus, karena CT scan memiliki kemampaun yang
lebih untuk menggambarkan air-bone, dan airsoft tissues. Disisi lain, MRI
memiliki resolusi yang lebih baik untuk patologi intrakranial dan memiliki akurasi
diagnostik yang lebih tinggi dalam mendiagnostik infeksi intrakranial. Dalam
salah satu studi yang membandingkan CT scan dan MRI dalam mendiagnostik
komplikasi intrakranial dari sinusitis, CT scan mendiagnostik 36 dari 39 kasus
(92%), sedangkan MRI 100 %. MRI juga mampu mendeteksi meningitis pada 17
kasus sedangkan CT scan hanya 3 kasus. 17
Penggunaan kontras pada CT scan merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan insufisiensi ginjal atau pada penderita yang alergi. Oleh karena itu MRI
merupakan metode pertama yang digunakan sebagai alat diagnostik pada
penderita insufisiensi ginjal atau penderita yang alergi terhadap kontras. Jika pada
pasien tersebut MRI merupakan kontraindikasi, seperti adanya implantasi alat-alat
yang bersifat magnetik atau kontraindikasi lainnya, pasien insufisiensi ginjal bisa
diberikan terlebih dahulu renal protective sebelum penggunaan kontras. 17
1. Meningitis
a) Gejala Klinis
Meningitis sering muncul dengan gejala sakit kepala. Kebanyakan dari
pasien juga mengalami demam dan lebih dari setengahnya disertai dengan kaku
kuduk. Gejala lain termasuk muntah, perubahan mental status, dan kejang. Pada
beberapa kasus pasien muncul, dengan gejala palsi nervus karanialis.17
27
b) Bakteriologi
S. pneumonia adalah organisme tersering penyebab meningitis. Penyebab
lainnya adalah S. aureus (terkhususnya pada sinusitis sfenoid). Jarang H.
influenza, Neisseria meningitides dan batang aerob gram negatif sebagai penyebab
meningitis akibat komplikasi dari sinusitis ini. Patogen utama pada pasien AIDS
adalah Cryptococcus neoformans.17
c) Diagnosis
Walaupun meningitis sering didiagnosis dengan pemeriksaan punksi
lumbal dan analisa dari cairan serebrospinal (CSS) pemeriksaan punksi lumbal
pada meningitis yang disertai dengan lesi desak ruang sangat beresiko untuk
terjadinya herniasi uncus trans tentorial, terkhususnya ketika massa berada pada
fosa tempral. CT scan dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan
apakah ada lesi desak ruang atau tidak sebelum melakukan punksi lumbal pada
meningitis.17
d) Tatalaksana
Meningitis tanpa lesi desak ruang (konfirmasi dengan CT scan atau MRI)
diobati dengan menggunakan antibiotik. Ketika meningitis berkembang dengan
cepat, terkhususnya pada pneumokokus sebagai patogen utama, terapi antibiotik
dapat dimulai segera setelah diagnosis suspek atau didahului dengan neuro-
imaging atau punksi lumbal ditegakkan. Pemberian deksametason sebelum atau
bersamaan dengan pemberian pertama dosis antibiotik dapat menurunkan angka
kematian. Deksametason juga dapat diberikan pada edema serebri akibat sekunder
dari infeksi intrakranial. Antibiotik pilihan pertama adalah generasi ketiga dari
cefalosporin (cefotaxime atau ceftriaxone) intra vena dikombinasi dengan
vancomicin untuk mengeradikasi S. pneumonia yang resisten. Pada pasien AIDS
dan kontraindikasi untuk punksi lumbal amphotericin B dapat digunaakan sebagai
terapi inisial untuk melawan Cryptococus.17
2. Abses Otak
a) Tampilan Klinis
Sakit kepala dan demam merupakan gejala awal dari abses otak. Lebih
lanjut, akan muncul rasa mual dan muntah yang juga sering ditemukan. Perubahan
28
status mental, termasuk kebingungan, penurunan mentalitas dan atau perubahan
perilaku merupakan gejala yang mengkhawatirkan (alarming symptoms) dimana
gejala-gejala ini menunjukkan proses yang serius dari infeksi intrakranial sedang
terjadi dan bukan gejala dari sinusitis atau penyebab sakit kepala dan demam
lainnya. Kejang juga bisa terjadi pada abses intaserebral.17
b) Bakteriologi
Pada abses intrakranial dan ekstra aksial sering ditemukan organisme yang
multipel, aerob dan anaerob termasuk Fusobacternum spp, anaerobik dan
mikroaerofilik streptokoki, Propionibacterium spp., Eikenella correoens dan
Staphylococcus spp.17
c) Dianosis
CT scan dapat mendemonstrasikan abses serebral dengan adanya densitas
yang rendah pada parenkim otak yang terlibat. MRI juga bisa memperlihatkan
gambaran awal dari serebritis yang merupakan fase dari pembentukan abses.17
29
resisten penisilin dan metronidazol. Vankomisin dapat digunakan sebagai
pengganti penisilinase-resisten penisilin untuk melawan S. pneumonie. Antibiotik
intravena diberikan berkelanjutan selama 4 8 minggu untuk menjaga kadar obat
tetap tinggi dalam cairan serebrospinal.17
Drainase sinus dilakukan dengan open technique, atau biasanya dengan
teknik endoskopi dan diikuti dengan drainase intrakranial. Walaupun abses
serebral yang kecil bisa diobati dengan antibiotik, abses yang lebih besar harus
didrainase dengan teknik operasi kraniotomi terbuka atau dengan CT-localized
neddle drainage procedure, bergantung kepada lokasi abses. Karena kejang dapat
terjadi pada abses serebral, profilaksis antikonvulsan diberikan segera setelah
diagnosis ditegakkan.17
b) Bakteriologi
Bakteri dari abses subdural dan epidural sama dengan bakteri yang
menyebabkan abses intraserebral.17
c) Diagnosis
MRI dipertimbangkan sebagai modalitas pertama untuk mendiagnosis
abses epidural dan subdural. Bila MRI tidak ada atau pasien memilki
kontraindikasi, CT scan dengan kontras dapat digunakan sebagai pengganti
MRI.17
30
Gambar 13. Gambaran CT Scan abses epidural 24
d) Penatalaksana
Abses subdural di drainase dengan operasi kraniotomi. Abses epidural
secara tradisional juga di drainase dengan bedah saraf. Bagaimanapun juga, terapi
konservatif telah disarankan untuk abses epidural yang kecil, menggunakan
endoskopi untuk drainase sinus dan antibiotik intravena selama 6 minggu.17
31
BAB III
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Leung, Katial. The Diagnosis and Management of Acute and Chronic
Sinusitis. 2008
2. Soh, dr. Kevin. Orbital Complication of Sinogenic Origin : A case study of 20
patients. Worlds Article in Ear,Nose and Throat. USA. 2010
3. Mekhitarian Neto, et al. Acute Sinusitis in Children- a Retrospective Study of
Orbital Complication. Article of Otorhinolaryngology. Vol.73. No.1. Sao
Paulo.2007
4. Rianil A. Selulitis Orbita Sebagai Komplikasi Sinusitis. Jakarta : Bagian THT
FKUI/ RSUPNCM. 1998.
5. Brook I. Microbiology and Antimicrobial Treatment of Orbital and
Intracranial Complication of Sinusitis in Children and Their Management.
USA : IJPO 73. 2009; page 1183-6
6. Hilgher PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, Boies, Higler. Buku
Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. hal 240-53
7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; hal
170-3
8. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Nasal Polyps. 2007
9. Quinn FB. Paranasal Sinus Anatomy and Function. 09 Januari 2009.Diunduh
dari http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Paranasal-Sinus-2002-01/Paranasal-
sinus-2002-01.htm.
10. Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of Trigeminal
Nerve. 1999. Diunduh dari http://home.comcast.net/~wnor/lesson9.htm.
11. Naclerio R, Gungor A. Etiologic Factors in Inflammatory Sinus Disease dalam
Disease of the sinuses diagnosis and management. Kennedy DW. London :
B.C Decker. 2001; hal 47-53.
12. Netter, Frank H. A Collection Of Medical Illustration. Di unduh dari
www.netterimages.com
13. Ballenger. J. J., Infeksi Sinus Paranasal. Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 13 (1). Jakarta : Binaputra Aksara. 1994;
hal : 232 41
33
14. Lawanil AK. Acute and Chronic Sinusitis. Current Diagnosis and Treatment in
Otolaringology. 2nd Edition. New York : Departement of Otolaringology New
York University School Of Medicine. 2007.
15. Ramanan RV. Sinusitis Imaging : Imaging. Departement of Radiology The
Apollo Heart Centre India. Diunduh dari http : //eMedicine-Radiology.com.
Tanggal 23 November 2010.
16. Byron J. Rhinosinusitis : Current Concepts and Management. Dalam Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 2001.
17. Schwartz G, White S. Complications of Acute and Chronic Sinusitis and Their
management; dalam Sinusitis from Microbiology to Management. Brook I.
New York : Taylor and Francis Group. 2006; hal : 269-88.
18. Faust Russell. Complications of Sinusitis. 19 April 2010. Diunduh dari
www.boogordoctor.com
19. Sakae VA. Bilateral Frontal Sinus Mucocele. 1 Mei 2006. Diunduh dari
www.scielo.br.com
20. Goldbert C. Periorbital Selullitis. 25 Agustus 2005. Diunduh dari
www.meded.ucsd.edu.com
21. Garryty James. Preceptal and Orbital Selullitis. September 2008. Diunduh dari
www.merckmanuals.com
22. Dimitri A. Infection of the Nervous System. Agustus 2010. Diunduh dari
www.neuropathologyweb.org
23. Hanus R. Infections of the Nervous System I. 20 April 2004. Diunduh dari
www.inf3.if1.cuni.cz
24. Lenaard N. Brain Abscess Imaging. 30 November 2009. Diunduh dari
www.emedicine.com
34