Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh
virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat
dari struktur faring yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan
tonsilitis sering ditemukan bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara
luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada
daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorokan.
Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai dinding posterior yang
disertai inflamasi tonsil1,2.
Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau
ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah
struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi
bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis. Tonsilitis kronis merupakan
penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit tenggorok berulang.3

1.2 Tujuan
Laporan kasus ini disusun untuk membantu penulis mengatahui dan memahami
tentang:

1.2.1 Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang


yang diperlukan dan penegakkan diagnosis Tonsilofaringitis
1.2.2 Mengetahui penyebab, patofisiologi, penegakan diagnosa, dan penanganan
Tonsilofaringitis
1.2.3
1.3 Manfaat
Referat ini dapat dugunakan dan dimanfaat penulis dan pembaca sebagai:

1.3.1 Ringkasan dari kasus dan beberapa tinjauan pustaka tentang Tonsilofaringitis
1.3.2 Mempermudah pemahaman penulis dan pembaca tentang Tonsilofaringitis
BAB II

1
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Nn.A
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Benculuk, Banyuwangi
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
No. RM : 03-72-79
Tanggal : 17 Juli 2017

ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Nyeri tenggorokan dan nyeri saat menelan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Blambangan Banyuwangi dengan
keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri saat menelan 3 bulan terakhir (nyeri
hilang-timbul), tetapi nyeri kambuh dirasakan 3 hari terakhir dan terasa menjalar
dari tenggorokan ke telinga sehingga Px tidak bisa makan dan mengganggu
aktivitas. Keluhan disertai dengan demam, batuk, pilek, dan lemas.
Riwayat Penyakit Dahulu:
3 tahun yll mengalami penyakit serupa
Sering batuk dan pilek, Gastritis (-) HT (-), DM (-).

Riwayat Pengobatan:
Berobat ke dokter di Malang mendapat 2 jenis obat (antibiotik dan puyer)

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang serupa dengan pasien.
HT (+), Kolesterol (+),DM (-)

Riwayat Alergi:

2
Tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat-obatan
Kebiasaan:
Kuliah di luar kota makanan tidak dijaga (sering makan pedas, goreng-
gorengan, minum es)

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Tapak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
TD : 110/80 mmHg
N : 82 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 37,3C

Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri tarik normal, hematoma (-), nyeri
aurikula (-) tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea (-) furunkel (-), edema (-), otorhea
(-).

3
4. Membran Retraksi (-), bulging (-), hiperemi Retraksi (-), bulging (-),
timpani (-), edema (-), cone of light (+) hiperemi (-), edema (-), cone of
light (+)

Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri


Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-), Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-) nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa pucat Bentuk (normal), mukosa pucat
(-), hiperemia (-) (-), hiperemia (-)
Meatus nasi media Mukosa normal, sekret (-) Mukosa normal, sekret (-)
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi (-) Edema (-), mukosa hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-) (-)

Pemeriksaan Tenggorokan

4
Bibir Mukosa bibir kering, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (+), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-)
Faring Mukosa hiperemi (+), reflex muntah (+), membrane (-),
sekret (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
T1 T1
Hiperemis (+), kripte (+), Hiperemis (+), kripte (+),
detritus (-) detritus (-)
Fossa Tonsillaris hiperemi (+) hiperemi (+)
dan Arkus Faringeus

DIAGNOSIS :
- Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
- DL, BUN, SC

5
RENCANA TERAPI
Medikamentosa
- Cefixim 2 x 100mg
- Kalium Diclofenac 2 x 50mg (prn)
- Paracetamol 3x 500mgY5=3709R
Pembedahan
- Tonsilektomi (Apabila sudah tidak didapatkan tanda-tanda peradangan dan
keadaan umum membaik maka dapat dilakukan tonsilektomi)
KIE PASIEN
- Bed rest
- Untuk sementara hindari makanan yang berminyak, minuman atau makanan
dingin, manis atau yang mengiritasi tenggorokan .
- Menjaga higiene mulut agar tidak terjadi tonsilitis berulang.
- Menggunakan obat kumur

6
- Datang kembali untuk kontrol setelah 1 minggu, untuk melihat perkembangan
peyembuhan dan menentukan terapi selanjutnya.
PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam

7
BAB III
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1 Anatomi dan Fisiologi Faring
Faring merupakan suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong (besar pada bagian atas, sempit pada bagian bawah). Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak ke esofagus setinggi vertebra servikal VI. Di bagian atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan pada bagian depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring,
berhubungan melalui aditus laring serta bagian bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. 2
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucus blanket) dan otot.1

Gambar 1. Faring sagittal section

8
Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Nasofaring
memiliki mukosa bersilia karena fungsinya untuk saluran respirasi, sedangkan
epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Orofaring dan laringofaring
memiliki epitel gepeng berlapis dan tidak bersilia. 2
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak
dalam rangkaian ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. 2

Palut lendir (mucous blanket)


Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung.
Dibagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan
bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk
menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini
mengandung enzim lyzozyme yang penting untuk proteksi. 2
Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot sirkular terdiri dari m. konstriktor faring superior, media dan
inferior yang terletak disebelah luar. Disebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama
lain dan dibelakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut rafe faring (Raphe
Pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot ini
dipersarafi oleh N. vagus (N.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m. stilofaring dan m. palatofaring yang
terletak disebelah dalam. M. stilofaring berfungsi untuk melebarkan faring dan
menarik laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini bekerja sebagai elevator
dan penting pada waktu menelan. M. stilofaring dipersarafi oleh n. IX dan M.
palatofaring dipersarafi oleh n. X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu
sarung fasia dari mukosa yaitu m. levator veli palatini, m. tensor veli palatini, m.
palatoglosus, m. paatofaring dan m. azigos uvula.

9
M. levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan
berfungsi untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba
eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n. X.M. tensor veli palatini membentuk tenda
palatum mole dan berfungsi untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan
membuka tuba eustachius, dipersarafi oleh N.X.M. palatoglosus membentuk arkus
anterior faring, bekerja untuk menyempitkan ismus faring, dipersarafi oleh n. X.M.
palatofaring membentuk arkus posterior faring, dipersarafi oleh N. X.
M. azigos uvula merupakan otot yang kecil dan bekerja untuk memperpendek dan
menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n. X.1,2

Gambar 2. Otot-otot faring


Perdarahan
Faring mendapat perdarahan utama dari cabang a. karotis eksterna dan cabang
a. maksila interna yaitu cabang palatina superior.5
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n. vagus, cabang n.
glosofaring, dan serabut simpatis. Cabang faring n. vagus berisi serabut motorik.
Dari pleksus faring ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.
stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n. glosofaring (n.IX).5

10
Kelenjar getah bening
Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yakni superior, media
dan inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar
getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran
limfe inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah. 1,5
Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:

Gambar 3. Faring
Nasofaring
Batas nasofaring bagian atas adalah dasar tengkorak dan dibagian bawah
adalah palatum mole, bagian depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid
pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller,
kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri,
torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba
Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan
n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis
dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius. 2
Jaringan limfoid adenoid terletak pada dasar nasofaring yang biasanya
mempunyai ukuran terbesar pada usia 5-7 tahun. Hal ini dapat mengakibatkan
obstruksi antara kavum nasi dan nasofaring pada rinore, sleep apnea dan adenoid
facies.1

11
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. Bagian lateral dibatasi oleh tonsil faringeal yang
ditunjang oleh m.palatofaringeus dan m. palatoglosus. Struktur struktur yang terdapat
di rongga orofring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil, serta
arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. 2
Dinding posterior faring
Dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan
dengan gangguan n. vagus.2

Gambar 4. Dinding posterior faring


Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m. konstriktor faring superior. Pada batas atas (upper pole) terdapat ruang
kecil yang disebut fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang.2
Faring memiliki fungsi antara lain :

12
a. Fungsi menelan
Terdapat tiga fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan
fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Fase faringeal
yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui faring. Fase esofagal, pada waktu
bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus melalui lambung.
Fase faringeal terdapat kontraksi otot faringeal secara otomatis:6
Palatum mole tertarik ke atas untuk menutupi nares posterior sehingga
mencegah refluks makanan ke rongga hidung.
Lipatan palatofaringeal pada setiap sisi faring tertarik ke arah medial untuk
saling mendekat sehingga membentuk ceah sagital yang harus dilewati
makanan untuk masuk ke dalam faring posterior.
Pita suara menjadi sangat berdekatan dan laring tertarik ke atas dan anterior
oleh otot-otot leher sehingga mencegah masuknya makanan kedalam hidung
dan trakea
Gerakan laring keatas menarik dan melebarkan pembukaan ke esofagus dan
mengangkat glotis keluar dari jalan utama makanan
Setelah laring terangkat dan sfingter faringoesofageal mengalami relaksasi,
seluruh otot dinding faring berkontraksi melintasi daerah media dan inferior
yang mendorong makanan kedalam esofagus melalui proses peristaltik.
b. fungsi faring dalam proses bicara
fungsi faring pada proses bicara meliputi resonansi suara dan atikulasi. Pada
saat berbicara dan menelan, terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah
dinding belakang faring.
c. Pernapasan
2.2 Anatomi dan Fisiologi Tonsil
Tonsil adalah organ yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.
Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkatan yang disebut dengan cincin
Waldeyer. Tonsil palatina sering disebut tonsil saja terletak dalam fosa tonsil. Pada

13
kutub atas tonsil, seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong
faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan
media tonsil memiliki celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil adalah
epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Permukaan lateral tonsil melekat pada
fasia faring yang disebut erat pada dengan kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat
erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Sumber
perdarahan tonsil dari a. palatina minor, a. palatina asendens, cabang tonsil a. maksila
eksterna, a. faring asendens, dan a. lingualis dorsal.1,2

Gambar 5. Tonsil

Aliran limfatik tonsil utama adalah servikal superior dalam dan nodus limfe
jugular yang dapat meradang ketika terjadi infeksi. Persarafan sensorik berasal dari n.
glossofaringeus dan beberapa cabang dari n palatine minor melalui ganglion
sfenopalatina. Struktur histology tonsil berkaitan dengan fungsinya sebagai organ
imun. Epitel sistem kripti berfungsi sebagai sistem imun untuk antigen inhalasi dan
ingestif. Kripti tersusun oleh sistem antigen presenting cells di stroma tonsilar. 1
.
Laringofaring

14
Laringofaring dimulai dari os hioid sampai ke batas bawah kartilago krikoid,
terdiri dari sinus piriformis, daerah postkrikoid dan dinding posterior faring. Batas
laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah
laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra servikal.
Pada pemeriksaan laringoskop indirek, struktur pertama yang tampak di bawah dasar
lidah adalah valekula/ kantong pil. Di bawah valekula terdapat epiglotis yang
berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman ataupun bolus makanan
pada saat menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan
di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring.1

15
BAB III
FARINGITIS
3.1 Faringitis Akut

Gambar 6. Faringitis Akut


3.1.1 Faringitis viral
Virus merupakan penyebab tersering faringitis akut .7Rinovirus menimbulkan
gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan faringitis.2
Gejala
Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan dan konjungtivitis.2,7
Pemeriksaan fisik1
Tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus dan
cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan
lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa muculopapular rash. Epstain Bar virus
(EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang
banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa diseluruh tubuh terutama retroservikal
dan hepatosplenomegali.2
Terapi
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat,tidak dianjurkan
memberilan obat kumur antiseptic tidak dianjurkan, analgetik jika perlu. Anti virus
metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-

16
100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada
anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.2,7
3.1.2 Faringitis Bakterial
Faringitis streptococcus grup A dominan terjadi pada masa remaja. 50%
pasien dari umur 5-15 tahun. Puncak insiden yaitu selama beberapa tahun pertama
sekolah. Streptococcus grup A merupakan bakteri pathogen yang paling seringpada
pasien diatas umur 3 tahun. . Faringitis streptococcus grup A jarang pada anak < 3
tahun.2 Infeksi grup A Streptococcus hemoliticus merupakan penyebab Faringitis
terbanyak pada dewasa dan anak-anak. Streptococcus B-hemolitikus grup A atau yang
dikenal dengan piogen streptococcus, satu-satunya pathogen yang memerlukan
pemberian antibiotic.2,7
Penularan
Streptococcus grup A menyebar ketika seseorang yang telah terinfeksi batuk
atau bersin yang berisikan droplet infektif ke udara yang kemudian berkontak dengan
membrane mukosa orang lain. Tempat-tampat umum meningkatkan kemungkinan
terinfeksi.
Masa inkubasi 1-4 hari, dengan resiko paling tinggi penularan terjadi selama fase
aktif. Tingkat penularan streptococcus grup A pada pasien yang tidak diobati berkisar
35% pada kontak erat seperti anggota keluarga/ sekolah.7
Gejala dan tanda
Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan
suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. Streptococcus mempunyai masa inkubasi 1-4
hari, setelah onset nyeri tenggorok dan odinofagia dengan demam, malaise dan gejala
gastrointestinal seperti nyeri perut dan muntah
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tosil hiperemis dan
terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae
pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri
pada penekanan.2,8
4 gejala klasik infeksi streptococcus grup A:7
-
Eksudat Faring/tonsil
-
Pembengkakan nodus servikal anterior

17
-
Riwayat demam >38 C
-
Tidak ada batuk
Diagnosis
Penelitian yang telah dilakukan menyatakan tidak mungkin untuk
memisahkan gejala streptococcus grup A dengan viral hanya dengan berdasarkan
anamnesis dan penemuan klinis. Tanda klinis dan gejala tidak spesifik. Diagnosis
harus ditegakkan dengan swab tenggorok.
Swab tenggorok: standar diagnostic untuk faringitis bakteri. sensitivitasnya 90-95%.
Walaupun begitu, terkadang dibutuhkan swab ulangan pada hasil (-) untuk pasien
yang tidak diobati.
Rapid Antigen Tes: sebagian besar tes memiliki spesifitas tinggi tapi sensitivitas
rendah. Hasil negative belum bisa menyingkirkan infeksi streptococcus grup A.
karena itu dibutuhkan pemeriksaan swab tenggorok karena spesifitas yang rendah dan
karena pengobatan antibiotic untuk faringits streptococcus grup A bisa saja ditunda,
pemeriksaan ini tidak direkomendasikan.7
Terapi
-
Terapi antibiotic empiric tidak disarankan tapi clinical practice Gurdeline
menyatakan bila pada kondisi tertentu (akses labor terbatas, pasien tidak
follow up, adanya efek toksik) pasien sudak menunjukkan 4 gejala klasik bisa
diberikan antibiotic secara empiric.
-
Disarankan pemberian antibiotic 10 hari untuk mencegah demam rematik
akut.7
a. Antibiotik2
Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A
streptococcus hemoliticus. Penisilin G Banzatin 50.000 u/kgBB, IM dosis
tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari
dan pada dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500mg/hari.2
b. Kortikosteroid : dexametason 8-16 mg, IM, 1 kali. Pada anak 0,08-0,3
mg/kgBB, 1 kali2
c. Analgetika2
d. Kumur dengan air hangat atau antiseptic2

18
Manajemen pada pasien yang tidak respon terhadap antibiotic yang masih
menunjukkan gejala setelah 72 jam diterapi, pasien sebaiknya dievakuasi kembali
faktor-faktor seperti:7
-
Komplikasi akut faringitis, streptococcus grup A (contohnya abses peritonsil)
-
Infeksi virus yang terjadi secara bersamaan
-
Kepatuhan minum obat
Manajemen pada kasus relaps:7
-
Terapi penisilin bisa gagal dikarenakan produksi -laktamase oleh anaerob
oral
-
Bila timbul gejala akut pada hari ke2- ke 7 setelah diterapi tuntas dengan
antibiotic, swab tenggorok ulang perlu dilakukan
-
Jika hasil kultur (+) untuk streptococcus grup A, pertimbambangan untuk
memberikan inhibitor seperti agen B-laktan/ Blaktamase. Amoxicillin,
klawlanat, atau antibiotic non- laktan seperti klindamisin/ eritromisin (jika
tidak diberikan terapi lini pertama)

3.1.3 Faringitis Fungal


Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. C.albicans
merupakan komensal normal dalam rongga mulut, biasanya tidak menimbulakan
gejala . Faringitis jamur bisa terjadi pada semua umur biasnya pada pasien dengan
sistem imun yang turun seperti pada pasien HIV dan pasien yang menggunakan
steroid dalam jangka waktu yang panjang. Infeksi jamur ini merupakan infeksi
opurtunistik.2,7
Gejala dan tanda
Nyeri tenggorokdan, nyeri menelan, rasa seperti terbakar . Pada pemeriksaan
tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Jika dilakukan
pemeriksaan dengan KOH akan ditemukan pseudo hifa.2,7

19
Gambar 7. Tonsilitis Fungal
2
Terapi
Nystasin 100.000 400.000 2 kali/hari. Analgetik

3.1.4 Faringitis Gonorea


Kasus ini faringitis Gonorea jarang terjad, ,mungkin hanya terdapat <1%,
.terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.2,7
Gejala 3
Pasien datang dengan keluhan tonsilitis , termasuk sakit tenggorokan
,disfagia . odynophagia . dan gatal tenggorokan

Gambar 8. Faringitis Gonorea


Pada pemeriksaan dapat ditemukan trauma orofaringeal . eritematosa
faringitis , dan eksudat keputihan - kuning

Terapi
Sefalosporin generasi ke-3, ceftriakson 250 mg, IM.

3.2 Faringitis Kronik2

20
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik
atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rhinitis kronik,
sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap yang merangsang
mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah
pasien yang biasa bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.

Gambar 9. Faringitis Kronik

3.2.1 Faringitis Kronik Hiperplastik2


Pada Faringitis kronis Hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring. Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,
bergranular.
Gejala
Pasien mengelu mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang bereak
Terapi
Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia
larutan nitras argenti atau dengan zat listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis
diberikan obat kumur. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau
ekspektoran. Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati.
3.2.2 Faringitis Kronik Atrofi2
Faringitis Atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis
atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga
menimbukan rangsangan serta infeksi pada faring
Gejala dan tanda
Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pdaa
pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila diangkat
tampak mukosa kering.
Terapi

21
Pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofi
ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut

BAB IV
TONSILITIS
4.1 Definisi
Tonsilitis adalahperadangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau
Gerlachs tonsil).2

4.2 Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, terutama berusia 5-10 tahun ,
dan pada dewasa muda berusia 15-25 tahun. Penyebaraninfeksi melalui udara (air
borne droplets) dan tangan melalui alat makan dan makanan.2
4.3 Etiologi
Tonsilitis disebabkan oleh adanya infeksi virus atau bakteri.Penyebab Infeksi
virus yang paling sering adalah Epstein Barr Virus (EBV). Sedangkan bakteri
penyebab tonsillitis antara lain kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes, Stafilokokus,
Hemophilus influenza, namun terkadang ditemukan bakteri golongan gram negatif.1
4.4 Patofisiologi
Tonsil dibungkus oleh suatu kapsul yang sebagian besar berada pada fosa
tonsil yang terfiksasi oleh jaringn ikat longgar.Tonsil terdiri dari banyak jaringan
limfoid yang disebut folikel.Setiap folikel memiliki kanal (saluran) yang ujungnya
bermuara pada permukaan tonsil.Muara tersebut tampak oleh kita berupa lubang yang
disebut kripta.
Saat folikel mengalami peradangan, tonsil akan membengkak dan membentuk
eksudat yang akan mengalir dalam saluran (kanal) lalu keluar dan mengisi kripta

22
yang terlihat sebagai kotoran putih atau bercak kuning. Kotoran ini disebut
detritus.Detritus terdiri atas kumpulan leukosit polimorfonuklear, bakteri yang mati
dan epitel tonsil yang terlepas.Tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut
Tonsilitis Folikularis. Tonsillitis akut dengan detritus yang menyatu lalu membentuk
kanal-kanal disebut Tonsilitis Lakunaris.2

Gambar 11.Patofisiologi tonsillitis akut


Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil .Karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan
mengerut sehingga kripti akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan
diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri
yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini
meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar
submandibula.1

23
Skema 1. Patogenesis tonsillitis kronik
4.5 Klasifikasi

Skema 2. Klasifikasi tonsillitis


Macam-macam tonsillitis2
1. Tonsillitis akut

Gambar 12. Tonsilitis akut

24
Dibagi lagi menjadi 2, yaitu :2
a. Tonsilitis viral
Ini lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
Penyebab paling tersering adalah virus Epstein Barr.
b. Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A stereptococcus beta
hemoliticus yang dikenal sebagai strept throat, pneumococcus, streptococcus
viridian dan streptococcus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus .Detritus merupakan kumpulan
leukosit, bakteri yang mulai mati.
Tonsilitis Folikularis : Adalah tonsillitis akut dengan detritus yang
jelas
Tonsilitis Lakunaris : Bila bercak detritus ini memjadi satu membentuk
alur- alur .

Gambar 13.Perbedaan tonsillitis bakteri dan viral

25
Gambar 14.Dari kiri ke kanan, tonsillitis folikularis dan tonsillitis lakunaris

2. Tonsilitis membranosa
a. Tonsilitis Difteri
Penyebabnya yaitu oleh kuman Coryne bacterium diphteriae, kuman yang
termasuk Gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu hidung,
faring dan laring. Sering dituemukan pada anak berusia < 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2 5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini .

Gambar 15.Tonsilitis Difteri

b. Tonsilitis Septik
Penyebab streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam susu sapi sehingga
menimbulkan epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu
dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang
ditemukan.
3. Angina Plout Vincent
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi

26
vitamin C. Gejala berupa demam sampai 39 C, nyeri kepala , badan lemah
dan kadang gangguan pecernaan.
2. Tonsilitis kronik
StafilococcusAureus dan Hemophilus influenzamerupakan agen bakteri patogen
5
yang menjadi factor penyebab tonsillitis kronik. Faktor predisposisi timbulnya
tonsilitis kronis ialah rangsanganyang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,
higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca kelemahan fisik dan pengobatan tonsilitis
yang tidak adekuat kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif.2

Gambar 16.Tonsilitis kronik

4.6 Manifestasi Klinis2


Tonsillitis akut :
- Tenggorokan terasa kering, atau rasa mengganjal di tenggorokan
(leher)
- Nyeri saat menelan (menelan ludah ataupun makanan dan minuman)
sehingga menjadi malas makan
- Nyeri dapat menjalar ke sekitar leher dan telinga
- Demam, sakit kepala, kadang menggigil, lemas, dan nyeri otot
- Dapat disertai batuk, pilek, suara serak, mulut berbau, mual, kadang
nyeri perut, pembesaran kelenjar getah bening di sekitar leher

Tonsilitis membranosa :

27
Angina Plaut Vincent :
Demam sampai 39C, nyeri kepala, badan lemah dan terkadang terdapat
gangguan pencernaan, rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah
berdarah .
Tonsilitis kronik :
- Kadang tanpa ada radang akut, suhu normal atau subfebris, lesu, nafsu
makan kurang/anoreksia, bisa anemia ringan
- Sakit menelan ringan atau tidak ada kecuali saat eksaserbasi akut kadang
hanya rasa gatal atau ganjal
- Foetor ex ore (mulut berbau oleh karena detritus)

4.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan kelainan umumnya adalah nyeri tenggorok, nyeri menelan, rasa
banyak dahak di tenggorokan, sulit menelan, terasa ada yang mengganjal atau
menyumbat. Anamnesis ditanyakan secara sistematis dan runut mulai dari onset
keluhan, intensitas keluhan, progresifitas, dan keluhan lain yang menyertainya.

b. Pemeriksaan fisik2,
Tonsilitis akut :
Tonsilitis tampak hiperemis, membengkak, detritus (+) berbentuk folikel atau
lacuna atau tertutup membrane semu, kelenjar submandibular membengkak
dan nyeri tekan .
Tonsilitis membranosa :

28
Tonsil membengkak ditutupi bercak putih, KGB membengkak (bull neck),
kelumpuhan otot palatum dan pernafasan, demam, nyeri kepala, badan lemah,
hipersaliva, gigi dan gusi mudah berdarah, nyeri tenggorok .
Tonsilitis kronik :
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis
yang mungkin tampak, yakni :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta
yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak


antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua
tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

Garis Garis
median paramedian

T1 T4
T3
T2

29
Gambar 17. Grading Pembesaran Tonsil

Ukuran tonsil dibagi menjadi :


T0 : Post tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris
T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian
(pilar posterior)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median

4.8 Penatalaksanaan2,7
Tonsilitis akut
- Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut ) selama 10
hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
- Jika penyebab viral, diistirahatkan, minum cukup, berikan analgetik dan
antivirus bila gejala berat.
Tonsilitis membranosa
- Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya
penyakit.
- Antibiotika Penisilin atau Eritromisin 25 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis
selama 14 hari.
- Kortikosteroid 1,2 mg/kgbb/hari
Tonsilitis Kronik
- Medikamentosa : pemberian antibiotic penisilin
- Tindakan irigasi tenggorokan
- Usaha untuk membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi
- Terapi Radikal : Tonsilektomi

Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan
limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.Tonsilektomi
merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus dalam buku De

30
Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis tindakan ini juga merupakan tindakan
pembedahan yang pertama kali didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague dari
Rheims (1757).7
Indikasi untuk dilakukan tonsilektomi yaitu :1
a. Obstruksi :
Hiperplasia tonsil dengan obstruksi.
Sleep apnea atau gangguan tidur.
Kegagalan untuk bernafas.
Corpulmonale.
Gangguan menelan.
Gangguan bicara.
Kelainan orofacial / dental yang menyebabkan jalan nafas sempit.
b. Infeksi
Tonsilitis kronika / sering berulang.
Tonsilitis dengan :
o Absces peritonsilar.
o Absces kelenjar limfe leher.
o Obstruksi Akut jalan nafas.
o Penyakit gangguan klep jantung.
Tonsilitis yang persisten dengan :
o Sakit tenggorok yang persisten.
Tonsilolithiasis Carrier Streptococcus yang tidak respon terhadap terapi.
Otitis Media Kronika yang berulang.
c. Neoplasia atau suspek neoplasia benigna / maligna.
Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology,Head and
Neck Surgery :7
1. Indikasi absolut:
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia
menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar
Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis
Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi
Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)
2. Indikasi relatif :
Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun
meskipun dengan terapi yang adekuat
Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis
tidak responsif terhadap terapi media

31
Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang
resisten terhadap antibiotik betalaktamase
Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
Kontraindikasi:
1. Kontraindikasi relatif
a. Palatoschizis
b. Radang akut, termasuk tonsilitis
c. Poliomyelitis epidemica
d. Umur kurang dari 3 tahun
2. Kontraindikasi absolut
a. Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia
b. Penyakit sistemis yang tidak terkontrol : DM, penyakit jantung, dan
Sebagainya.

32
Gambar 18.Tonsilektomi
4.9 Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke
daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.
Adapun berbagai komplikasi yang biasanya ditemui adalah sebagai berikut :
Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan
abses.
Abses Peritonsilar (Quinsy)

33
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.Sumber infeksi
berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus
kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau
pembuluh darah.Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal,
adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada
anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe.
Kista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa
dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan
berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

Obstructive Sleep apnea syndrome (OSAS)


Obstructive Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan
ditemukannya episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat

34
disebabkan kelainan sentral, obstruktif jalan nafas, atau campuran. Obstruktif
apnea adalah berhentinya aliran udara pada hidung dan mulut walaupun dengan
usaha nafas, sedangkan central apnea adalah penghentian pernafasan yang tidak
disertai dengan usaha bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas. Obstruktif
hipoventilasi disebabkan oleh obstruksi parsial aliran udara yang menyebabkan
hipoventilasi dan hipoksia. Istilah obstruktif hipoventilasi digunakan untuk
menunjukkan adanya hipopnea, yang berarti adanya pengurangan aliran udara. 7
Istilah OSAS dipakai pada sindrom obstruksi total atau parsial jalan nafas
yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis
yang bervariasi. Istilah primary snoring (mendengkur primer) digunakan untuk
menggambarkan anak dengan kebiasaan mendengkur yang tidak berkaitan dengan
obstruktif apnea, hipoksia atau hipoventilasi. 7 Guilleminault dkk mendefinisikan
sleep apnea sebagai episode apnea sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam,
lamanya paling sedikit 10 detik dan terjadi baik selama fase tidur rapid eye
movement (REM) dan non rapid eye movement (NREM). 7
Meskipun secara klinis terdapat banyak kesamaan antara OSAS pada anak-
anak dan dewasa, namun terdapat sejumlah perbedaan yang perlu diketahui, yaitu:
Tabel 1. Perbedaan Klinis OSA Anak-Anak dan Dewasa

35
BAB V
KESIMPULAN
Faringitis dapat terjadi pada segala umur. Faringitis dapat terjadi secara akut
dan kronis serta pada kasus-kasus spesifik seperti faringitis leutika dan
faringitis TB. Penyebab Faringits tersering adalah infeksi virus. Untuk kasus
faringitis dengan etiologi bakteri, diamana bakteri yang paling sering
menyebabkan faringitis adalah streptococcus grup A yang pada umumnya
menyerang usia remaja 5-15 tahun. Faringitis juga juda dapat disebabkan oleh
bakteri lain seperti gonore. Selain bakteri dan virus, faringitis juga disebabkan
oleh jamur. Dimana kasus-kasus ini biasanya terjadi pada pasien dengan
imunitas turun sperti pada pasien dengan HIV dan juga pasien yang
menggunakan steroid dalam jangka panjang.
Manifestasi faringitis tergantung pada lamanya infeksi dan juga etiologi dari
faringitis. Dimana setiap etiologi memberikan gambaran yang berbeda-beda.
Pengobatan dari faringitis juga berbeda-beda tergantung etiologinya. pada
kasus tertentu seperti faringitis gonore dan leutika, karena kasus ini biasanya
ditularkan melalui oral seks, jadi kita juga perlu mencari vocal infeksi
sehingga kita konsulkan pasien ke bagian kulit dan kelamin. Begitupun kasus
lainnya seperti faringitis jamur yang kita curigai dengan HIV.
Prognosis faringitis pada umumnya baik. Dengan pengobatan yang tepat dan
pengendalian faktor resiko bisa mencegah terjadinya faringitis berulang,
kecuali kasus-kasus yangs sedikit sulit untuk dikendalikan seperti pasien yang
sistem imun turun
Tonsilitis adalah inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil palatina yang
merupakan bagian dari Cincin Waldeyer. Tonsilitis paling sering terjadi pada
anak-anak,penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets) dan tangan
melalui alat makan dan makanan
Tonsilitis disebabkan oleh adanya infeksi virus atau bakteri. Penyebab Infeksi
virus yang paling sering adalah Epstein Barr Virus (EBV). Sedangkan bakteri
penyebab tonsillitis antara lain kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes, Stafilokokus,

36
Hemophilus influenza, namun terkadang ditemukan bakteri golongan gram
negatif.
Tonsil terdiri dari banyak jaringan limfoid yang disebut folikel. Saat folikel
mengalami peradangan, tonsil akan membengkak dan membentuk eksudat
yang akan mengalir dalam saluran (kanal) lalu keluar dan mengisi kripta yang
terlihat sebagai kotoran putih atau bercak kuning yang disebut detritus.
Tonsilitis dibagi menjadi tonsilitis akut, membranosa, dan kronik. Gejala yang
timbul biasanya berupa nyeri tenggorokan, demam, sulit menelan, dan
gangguan lain pada daerah tonsil dan tenggorokan.Diagnosis tonsilitis
biasanya didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat
tonsil secara langsung dengan pemeriksaan pada orofaring.
Penatalaksanaan pada tonsilitis akut meliputi antibiotik peroral, antipiretik,
kortikostreroid jika perlu untuk mengurangi edema, dan tonsilektomi
dilakukan sesuai indikasi .
Komplikasi yang biasa ditimbulkan antara lain terjadinya peradangan pada
daerah sekitar tonsil seperti abses peritonsiler, abses parafaring, dan abses
retrofaring. Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan
berbagai gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea
obstruktif sewaktu tidur Obstructive Sleep apnea syndrome (OSAS).

37
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Dalam Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225
2. Kurniadi, B. Penatalaksanaan Faringitis Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung, dan Tenggorok. RSUD Saras Husada, Purworejo. Available at :
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=Penatalaksanaan+Faringitis+Kronik (Accessed : March 28th 2012).
3. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik
di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H.
Adam Malik Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available at :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : March 27th
2012).
4. Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,
Esofagus, dan Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar
Penyakit THT Edisi Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271
5. Ballenger, JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring. Dalam
Ballenger : Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jilid 1. Jakarta. Bina
Rupa Aksara, 1997: p. 1020-1039
6. Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology.Chapter
23.The McGraw-Hill Companies, 2004: p. 816
7. Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic
Otorhinolaryngology. New York. Thieme, 2006: p. 119

38

Anda mungkin juga menyukai