Disusun Oleh:
201570020
Pembimbing:
2022
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Hearing
Loss”. Penulisan dan penyusunan refarat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
Pada kesempatan baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Sri Riyanti
Windesi, Sp.A sebagai pembimbing referat, atas kesabaran dan bimbingan beliau dalam
mengarahkan penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis yang
senantiasa mendoakan penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman yang selalu
mendukung dan memberikan semangat.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman serta waktu yang tersedia dalam proses penyusunan
referat sangat terbatas, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi, susunan bahasa
maupun sistematika penulisannya. Sehingga penulis mengharapkan para pembaca dapat
memberikan saran dan kritik yang membangun.
Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan
memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bidang kedokteran dan berguna bagi pembaca
dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu.
Penulis
i
LEMBAR PENGESAHAN
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Papua
Diajukan Pada :
Mengetahui,
Pembimbing Referat
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………... i
Lembar Pengesahan ……………………………………………………………………………... ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………... iii
Daftar Gambar ………………………………………………………………………………….. iv
Daftar Tabel …………………………………………………………………………………...... v
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………………………….….. 1
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi dan Epidemiologi …………………………………………………………..… 2
2.2 Anatomi dan Fisiologi …………………………………………………………............ 3
2.3 Gangguan Fisiologi Pendengaran ……………………………………………………... 9
2.4 Perkembangan Sistem Pendengaran Anak ………………………………………….... 11
2.5 Penyebab dan Faktor Risiko Gangguan Pendengaran Anak ………………………..... 13
2.6 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran ………………………………...………............ 14
2.7 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran ……………………………………..…………. 17
2.8 Tatalaksana Gangguan Pendengaran ……………………………………………........ 20
2.9 Prognosis Gangguan Pendengaran ………………………………………………….... 24
BAB III Kesimpulan ………………………………………………………………………….... 25
Referensi ……………………………………………………………………………………...... 26
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ……………………………………………………………………………………….. 3
Gambar 2 ……………………………………………………………………………………….. 3
Gambar 3 ……………………………………………………………………………………….. 4
Gambar 4 ……………………………………………………………………………………….. 4
Gambar 5 ……………………………………………………………………………………….. 5
Gambar 6 ……………………………………………………………………………………….. 6
Gambar 7 ……………………………………………………………………………………….. 6
Gambar 8 ……………………………………………………………………………………….. 8
Gambar 9 ……………………………………………………………………………………….. 8
Gambar 10 …………………………………………………………………………………...… 18
Gambar 12 ……………………………………………………………………………………... 18
Gambar 13 ……………………………………………………………………………………... 19
Gambar 14 ……………………………………………………………………………………... 20
Gambar 15 ……………………………………………………………………………………... 21
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 …………………………………………………………………………………………. 11
Tabel 2 …………………………………………………………………………………………. 12
Tabel 3 …………………………………………………………………………………………. 12
Tabel 4 …………………………………………………………………………………………. 15
v
BAB I
PENDAHULAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut WHO Lebih dari 5% populasi dunia atau 430 juta orang memerlukan
rehabilitasi untuk mengatasi gangguan pendengaran mereka yakni sekitar 432 juta orang
dewasa dan 34 juta anak-anak. Diperkirakan pada tahun 2050 lebih dari 700 juta orang atau
satu dari setiap sepuluh orang akan mengalami gangguan pendengaran.4
Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar antara 1-3 dari
1000 kelahiran hidup. Sedangkan US Preventive Services Task Force melaporkan bahwa
prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 10-20
kali lebih besar dari populasi neonatus. Grote melaporkan bahwa program skrining
pendengaran pada bayi belum mampu mendeteksi 10-20 persen kasus gangguan
pendengaran pada bayi sejak masa awal kehidupan. Hal ini ditunjukan dengan perbandingan
peningkatan prevalensi gangguan pendengaran pada anak usia sekolah dibandingkan dengan
prevalensi gangguan pendengaran pada bayi yang telah diidentifikasi. Pemerintah Inggris
memprediksi bahwa Prevalensi gangguan pendengaran permanen pada bayi dapat meningkat
dua kali lipat dari prevalensi saat ini yang berkisar 1 diantara 1000 kelahiran.5
2
Di Indonesia, gangguan pendengaran dan ketulian saat ini masih merupakan satu
masalah yang dihadapi masyarakat. Berdasarkan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran di 7 provinsi tahun 1993-1996, prevalensi ketulian 0,4% dan
gangguan pendengaran 16,8%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarah
(2015) menyatakan bahwa distribusi gangguan pendengaran berdasarkan jenis kelamin
diderita oleh 66,9% anak laki-laki dan 33,1% perempuan. Berdasarkan rentang usianya,
anak usia 0-1 tahun sebanyak 7%, usia 1-2 tahun sebanyak 27,7%, usia 3-4 tahun sebanyak
13,8%, usia 4-5 tahun sebanyak 8,4%, usia 5-6 tahun sebanyak 7% dan usia lebih dari 6
tahun sebanyak 11,1%. Berdasarkan jenis gangguanya didapatkan gangguan bilateral
didapatkan sebanyak 71,2%, dan unilateral sebanyak 17,2%.6,11
3
Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani
(gambar 4). Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan liang telinga berbentuk huruf
S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 1/2 - 3 cm. Pada sepertiga
bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serunien (kelenjar keringat) dan
rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Bagiannya terdiri heliks, antiheliks, tragus,
antitragus dan konka. Daun telinga yang tidak mengandung tulang rawan ialah lobules
(gambar 3).1,7
4
serumen atau kotoran telinga. Pars osseus berjalan ke arah antero inferior dan menyempit di
bagian tengah membentuk ismus. Kulit pada bagian ini sangat tipis dan melekat erat
bersama dengan lapisan subkutan pada tulang. Didapatkan glandula sebasea dan glandula
seruminosa, tidak didapatkan folikel rambut (gambar 5). 1,7
MAE dialiri arteri temporalis superfisialis dan arteri aurikularis posterior serta arteri
aurikularis profundus. Darah vena mengalir ke vena maksilaris, jugularis eksterna dan
pleksus venosus pterygoid. Aliran limfe menuju ke nn. aurikularis anterior, posterior dan
inferior. Inervasi oleh cabang aurikularis dari n. vagus dan cabang aurikulotemporalis dari n.
mandibularis. 1,7
MT bagian medial disuplai cabang arteri aurikularis posterior, lateral oleh ramus
timpanikus cabang arteri aurikularis profundus. Aliran vena menuju ke vena maksilaris,
jugularis eksterna dan pleksus venosus pterygoid. Inervasi oleh nervus aurikularis cabang
5
nervus vagus, cabang timpanikus nervus glosofaringeus of Jacobson dan nervus
aurikulotemporalis cabang nervus mandibularis. 1,7
Ruang telinga tengah disebut juga kavum tympani (KT) atau tympanic cavity.
Dilapisi oleh membran mukosa, topografinya di bagian medial dibatasi oleh promontorium,
lateral oleh membrane timpani, anterior oleh muara tuba Eustachius, posterior oleh aditus ad
antrum dari mastoid, superior oleh tegmen timpani fossa kranii, inferior oleh bulbus vena
jugularis. Batas superior dan inferior membrane timpani membagi KT menjadi
epitimpanium atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum. 1,7
Telinga tengah terdapat tiga tulang pendengaran, susunan dari luar ke dalam yaitu maleus,
incus dan stapes yang saling berikatan dan berhubungan membentuk artikulasi. Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus
melekat pada stapes (gambar 7). Stapes terletak tingkap lonjong atau foramen ovale yang
berhubungan dengan koklea. 1,7
6
Telinga tengah terdapat dua buah otot yaitu m. tensor timpani dan m. stapedius.
Muskulus tensor timpani berorigo di dinding semikanal tensor timpani dan berinsersio di
bagian atas tulang maleus, inervasi oleh cabang saraf trigeminus. Otot ini menyebabkan
membran timpani tertarik ke arah dalam sehingga menjadi lebih tegang dan meningkatkan
frekuensi resonansi sistem penghantar suara dan melemahkan suara dengan frekuensi
rendah. Muskulus stapedius berorigo di dalam eminensia pyramid dan berinsersio di ujung
posterior kolumna stapes, hal ini menyebabkan stapes kaku, memperlemah transmini suara
dan meningkatkan resonansi tulang-tulang pendengaran. Kedua otot ini berfungsi
mempertahankan, memperkuat rantai osikula dan meredam bunyi yang terlalu keras
sehingga dapat mencegah kerusakan organ koklea. 1,7
Labirin terdiri dari tiga bagian yaitu pars superior, pars inferior dan pars intermedia.
Pars superior terdiri dari utrikulus dan saluran semisirkularis, pars inferior terdiri dari
sakulus dan koklea sedangkan pars intermedia terdiri dari duktus dan sakus endolimpatikus.
1,7
7
Gambar 8. Skema Labirin
Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi pendengaran perifer. Jurnal THT-
KL. Surabaya: 2009.
Fungsi telinga dalam ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai organ auditus atau
indera pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan. Kedua organ
tersebut saling berhubungan sehingga apabila salah satu organ tersebut mengalami gangguan
maka yang lain akan terganggu. Telinga dalam disuplai oleh arteri auditorius interna cabang
dari arteri cerebelaris inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran arteri. 1,7
Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani kemudian diteruskan ke telinga tengah melalui
tulang-tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. 1,7
8
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong cairan endolimfe, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus
temporalis. 1,7
Gangguan telinga luar dan lelinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif,
sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli
koklea dan tuli retrokoklea. Sumbatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga
tengah berupa tuli konduktif. Gangguan pada vena jugulare berupa aneurisma akan
menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung. Antara inkus dan maleus
berjalan cabang n. fasialisis yang disebut korda timpani. Bila terdapat radang di telinga
tengah atau trauma pada korda timpani yang terjepit, sehingga dapat timbul gangguan
pengecapan.7
Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat pendengaran. Obat-
obat dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran rusak, dan terjadi tuli
sensorineural. Setelah pemakaian obat ototoksik seperti streptomisin, akan terdapat gejala
gangguan pendengaran berupa tuli sensoneural dan gangguan keseimbangan.7
1. Tuli konduktif
Merupakan jenis gangguan pendengaran yang terjadi karena terdapat
permasalahan pada saluran telinga bagian luar atau bagian tengah yang menyebabkan
gelombang suara tidak bisa di alirkan menuju ke bagian telinga dalam. Bagian yang
terkena antara lain meatus akustikus eksterna, membran timpani, tulang pendengaran,
9
dan kavum timpani hingga tingkap lonjong. Akibat dari adanya gangguan pendengaran
ini dapat terjadi penurunan tingkat kerasnya suara yang masuk pada telinga, namun tidak
menimbulkan distorsi atau gangguan pada kejernihan suara yang diterima. Pada
umumnya jenis gangguan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan8
2. Tuli sensorineural (perseptif)
Merupakan gangguan yang terjadi akibat adanya kerusakan pada telinga dalam
pada koklea dan juga dapat terjadi akibat kerusakan pada saluran berisi n.VII yang
menuju ke daerah otak atau pada pusat pendengaran. Untuk gangguan jenis ini dapat
menyebabkan suara menjadi hilang sehingga berpengaruh terhadap kemampuan dalam
berkomunikasi. Pada umumnya gangguan jenis ini tidak dapat disembuhkan karena
kerusakan pendengaran bersifat menetap. 8
3. Tuli campuran
Merupakan tuli yang disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural. Tuli campuran dapat merupakan satu penyakit, misalnya radang telinga
tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang
berlainan, misalnya tumor nervus Vlll (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli
konduktif). Jadi jenis ketulian sesuai dengan letak kelainan. 8
Suara yang didengar dapat dibagi dalam bunyi, nada murni dan bising adalah sebagai
berikut:8
Bunyi (frekuensi 20 Hz - 18.000 Hz) merupakan frekuensi nada murni yang dapat
didengar oleh telinga normal.
Nada murni (pure tone), hanya satu frekuensi, misalnya dari garpu tala, piano.
Bising (noise) dibedakan antara : NB (narrow band), terdiri atas beberapa frekuensi,
spektrumnya terbatas dan WN (white noise), yang terdiri dari banyak frekuensi.
11
bicara terjadi pada saat lahir. Sulit dipastikan usia absolut tahapan perkembangan bicara,
namun pada umumnya akan mengikuti tahapan sebagai berikut dapat dilihat pada tabel 2. 3
12
24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat
terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal, perinatal dan postnatal.3.6
1. Masa Pranatal
Penyebab gangguan pada masa prenatal dapat terjadi karena faktor herediter
(genetik) dan non genetik (didapat) seperti gangguan / kelainan pada masa kehamilan,
kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi Iodium). Selama
kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap
gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian
pada bayi. 3,6
Gangguan pendengaran juga dapat timbul sejak lahir (prelingual) atau muncul pada
usia di atas tiga tahun (postlingual) yang akan mempengaruhi kemampuan berbahasa dan
kemampuan komunikasi pada anak. Gangguan pendengaran pada anak usia dini
merupakan salah satu bentuk gangguan pendengaran yang sering terjadi pada bayi sejak
lahir (kongenital), umumnya tipe sensorineural, bersifat bilateral, sebagian besar derajat
berat dan sangat berat. 3,6
lnfeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti Toksoplasmosis, Rubela,
cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada pendengaran
bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi
mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat,
kina, neomisin, dihidrostreptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomide dll. Selain itu
malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea juga
akan menyebabkan ketulian. 3,6
2. Masa Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan pendengaran / ketulian seperti prematur, berat badan lahir rendah (<
13
2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis), serta obat-obat ortotoksik
yang digunakan untuk pengobatan infeksi bayi lahir. Umumnya ketulian yang terjadi
akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat
ketulian berat atau sangat berat. 3,6
3. Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi otak
(meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga dapat
menyebabkan tuli saraf atau tuli konduktif. 6,7
Pada tahun 1993 National Institute of Health Consensus Conference pertama kali
menganjurkan program Universal Newborn Hearing Screening. Setahun kemudian The Joint
Committee on Infant Hearing merekomendasikan deteksi gangguan pendengaran harus
dilakukan sebelum usia 3 bulan dan dilakukan intervensi sebelum usia 6 bulan. Pada tahun
1999 American Academy of Pediatrics (AAP) mendukung pernyataan tersebut. Beberapa
syarat skrining pendengaran neonatus yang dipakai di seluruh dunia, diantaranya adalah
cepat dan mudah dikerjakan, tidak bersifat invasif, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi serta tidak mahal. Skrining hanya menunjukkan ada/tidaknya respons terhadap
rangsangan dengan intensitas tertentu pada pendengaran seseorang dan tidak mengukur
beratnya gangguan pendengaran ataupun tidak membedakan tuli konduktif atau
sensorineural.3
Identifikasi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir, saat ini digunakan OAE
(Otoacoustic Emission) dan AABR (Automated Auditory Brainstem Response) yang
merupakan teknik pemeriksaan dan sebagai baku emas dengan prinsip pemeriksaan cepat,
mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati 100%. Terdapat dua klasifikasi yang sering
digunakan dalam melakukan deteksi dini ketulian yaitu:2,3
14
Di beberapa negara berkembang masih menggunakan deteksi dengan klasifikasi
pertama karena masalah keterbatasan tenaga medis dan ketersediaan alat namun idealnya
adalah dengan klasifikasi kedua (UNHS). Data penelitian mengungkapkan 50% bayi dengan
gangguan pendengaran ternyata tidak memiliki faktor risiko. Direkomendasikan deteksi dini
dilakukan pada setiap bayi baru lahir setelah 24 jam pertama kelahiran atau sesaat sebelum
keluar rumah sakit bagi bayi yang lahir di rumah sakit, sedangkan yang lahir tidak dirumah
sakit, harus dilakukan deteksi ketulian umur 1–3 bulan. Maksimal usia 6 bulan bayi harus
dapat dipastikan memiliki pendengaran yang normal atau tidak, tindakan intervensi untuk
mengatasi masalah ganggguan pendengaran sudah harus dilakukan. 2,3
Perhatian khusus diperlukan untuk melakukan deteksi dini tuli kongenital ini
dengan cara memantau perkembangan berbicara. Orang tua hendaknya waspada terhadap
gejala dini yang tampak pada anak, seperti anak tidak menangis pada usia 3 minggu, anak
tetap tidur lelap saat pintu terbanting atau saat terjadi suara keras, anak tidak bereaksi
terhadap suara keras saat usia 3 bulan, anak tidak mengoceh berulang (babbling) pada usia
5–6 bulan, anak tidak mengulang bunyi yang bukan refleks pada usia 6–7 bulan, anak belum
mampu mengucap jargon (menggabungkan suku kata yang tidak mengandung arti) pada usia
7–10 bulan, anak belum mampu meniru suara orang tua pada usia 9 bulan, anak juga belum
meniru suara sendiri (echolalia) pada usia 10 bulan, anak belum menoleh ke sumber suara
pada usia 12 bulan dan anak belum mampu menirukan, menggunakan kata atau kalimat
singkat pada usia 12–18 bulan, serta anak belum mampu merangkai 2 kata yang bermakna
pada usia 24 bulan. Keterlambatan mengetahui diagnosis akan mempengaruhi tatalaksana 3
dan berdampak pada perkembangan selanjutnya. 2,3,11
15
Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis 2. Riwayat keluarga dengan gangguan
(TORCHS) pendengaran yang menetap sejak masa anak
anak.
3. Kelainan kraniofasial termasuk kelainan
3. Keadaan atau stigmata yang berhubungan
pada pinna & liang telinga dengan sindroma tertentu yang diketahui
4. Berat badan lahir < 1500 gr = 3.3. lbs) mempunyai hubungan dengan tuli
sensorineural, konduktif atau gangguan fungsi
5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan
tuba Eustachius.
transfusi tukar (exchange tranfusion) 4. lnfeksi post-natal yang menyebabkan gangguan
6. Obat ototoksik pendengaran sensorineural termasuk meningitis
bakterialis.
7. Meningitisbakterialis
5. lnfeksi intrauterin seperti toksoplasma, rubella,
8. Nilai Apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 virus cytomegalo, herpes, sifilis.
pada menit kelima 6. Adanya faktor risiko tertentu pada masa
9. Ventilasi mekanik 5 hari atau lebih di neonatus, terutama hiperbilirubinemia yang
memerlukan transfusi tukar, hipertensi
NICU (Neonatal ICU) pulmonal yang membutuhkan ventilator serta
10. Sindroma yang berhubungan Riwayat kondisi lainnya yang merlukan extracorporeal
keluarga dengan tuli sensorineural sejak membrane oxygenation (ECMO).
7. Sindrom tertentu yang berhubungan dengan
lahir.
gangguan pendengaran yang progresif seperti
Usher syndrome, neurofibromatosis,
osteopetrosis.
8. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti
Hunter syndrome, dan kelainan neuropati
sensomotorik misalnya Friederich's ataxia, Ch a
rrot- Marie Tooth syndrome
9. Trauma kapitis
10. Otitis media yang berulang atau menetap
disertai efusitelinga tengah minimal 3 bulan.
Hanya 10% neonatus termasuk dalam kategori risiko tinggi. Bayi dengan salah
satu/lebih faktor risiko tersebut di atas harus menjalani evaluasi pendengaran dalam 2 bulan
pertama kehidupan dan terus dievaluasi lebih lanjut walau hasilnya normal. Bayi dengan 1
faktor risiko mempunyai kemungkinan menderita gangguan pendengaran 10,1 kali
dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor risiko, bayi dengan 2 faktor risiko
mempunyai kemungkinan 12,7 kali sedangkan bila terdapat 3 faktor risiko maka
kemungkinan meningkat menjadi 63,2 kali.3
16
Cone-Wesson dkk seperti dikutip dari the Joint Committee on Infant Hearing
Screening tahun 2000 melaporkan gangguan pendengaran terjadi pada 11,7% bayi dengan
sindrom diantaranya Trisomi 21, sindrom Pierre-Robin, dan atresia choanae. Adanya
riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran mempunyai prevalensi 6,6%, meningitis
5,5% dan anomali kraniofasial 4,7%. Pasien yang mendapat antibiotik aminoglikosid
mempunyai prevalensi hanya 1,5%.5,11
Tes pendengaran pada bayi dan anak dapat berupa pemeriksaan yang bersifat
subyektif dan obyektif. Pemeriksaan subyektif berdasarkan pada pengamatan perilaku anak
terhadap rangsang suara (behavioral observation audiometry/BOA), yaitu refleks moro,
refleks auropalpebral, VRA (Visual Reinforcement Audiometry), play audiometry dan tes
fungsi persepsi kata. Pemeriksaan yang bersifat obyektif adalah OAE (Otoacoustic
Emissions), akustik imitans, BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) dan ASSR
(Automated Steady Stage Response).3,6,9
1. BOA
Tes BOA dapat dilakukan pada semua usia dengan mempertimbangkan status
perkembangan anak secara umum. Stimulus akustik menghasilkan pola respon khas
berupa menoleh atau menggerakkan kepala kearah sumber bunyi. Tes BOA sederhana
yang sering digunakan di rumah sakit adalah dengan menggunakan benda/mainan yang
berbunyi seperti bel atau terompet. 3,6,9
2. VRA
Pemeriksaan VRA dapat menentukan ambang pendengaran. Stimulus bunyi
dilakukan bersamaan dengan stimulus visual. Stimulus diberikan melalui pengeras suara.
Respon melokalisir bunyi dengan cara menoleh kearah sumber bunyi. Respon positif
diberi hadiah berupa stimulus visual. 3,6,9
3. Audiometri Bermain/play audiometry
Anak yang cukup kooperatif dalam pemeriksaan bisa dilakukan metode
pemeriksaan play audiometry yaitu tehnik melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi
disertai pengamatan respon motorik spesifik dalam suatu aktivitas permainan, seperti
memasukkan kelereng ke dalam kotak setiap mendengar suara. 3,6,9
17
4. Akustik Imitans
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Pemeriksaan
tersebut merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila terdapat
gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga
tengah normal. 3,6,9
5. OAE
Emisi Otoakustik merupakan suara dengan intensittas yang rendah yang
dihasilkan pada koklea yang normal baik secara spontan maupun respon dari rangsang
akustik. Skrining pendengan pada bayi dapat dilakukan dengan OAE karena metode ini
obyektif, aman, pemeriksaan cepat, hanya memerlukan waktu beberapa detik sampai
menit. 3,6,9
Hasil pemeriksaan pada bayi dan anak dengan gangguan dengar sejak lahir pada umumnya
bersifat sensorineural baik unilateral maupun bilateral, derajat berat sampai sangat berat.10
19
Gambar 14. Alur Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir
Health Technologi Assesment : Skrining
pendengaran bayi baru lahir. DEPKES RI 2010.
20
THT KL, terapis wicara-bahasa dan spesialis pendidikan bicara. Perawatan medis, terapi dan
pembedahan dapat membantu anak-anak dengan beberapa jenis gangguan pendengaran. 13,14
21
3. Implan koklea
Implan koklea dapat membantu anak-anak dengan gangguan pendengaran yang
parah ketika alat bantu dengar tidak memenuhinya. Perangkat yang ditempatkan secara
operasi ini melewati bagian telinga yang tidak berfungsi dengan baik. Ini merangsang
saraf pendengaran secara langsung dengan mengirimkan sinyal secara langsung ke saraf
pendengaran. Dengan pelatihan dan terapi anak-anak dengan implant koklea dapat belajar
mendengar dan berbicara dengan baik. 13
4. Alat bantu dengan berlabuh tulang (bone-anchored hearing aids)
Jenis alat bantu dengar ini dapat dipertimbangkan ketika seorang anak memiliki
gangguan pendengaran konduktif, campuran atau unilateral dan secara khusus cocok
untuk anak-anak yang tidak dapat memakai alat bantu dengar di telinga mapun belakang
telinga. 13
5. Habilitasi
Habilitasi pendengaran membantu anak-anak yang lahir dengan gangguan
pendengaran dapat belajar bagaimana mendengarkan dan berkomunikasi. Ini mungkin
termasuk terapi auditori-verbal (AVT), terapi wicara, membaca pidato (bibir) atau belajar
bahasa isyarat amerika (ASL). Audiolog dan dokter spesialis akan berkolaborasi dengan
orang tua dan anak untuk menemukan cara terbaik untuk anak berkomunikasi. Anak-anak
yang kehilangan pendengarannya ketika mereka lebih tua juga mempelajari teknik
komunikasi ini melalui rehabilitasi pendengaran. 13
Gangguan pendengaran terdeteksi setelah menjalani seluruh pemeriksaan fungsi
pendengaran maka penanganan segera adalah pemberian ABD (Alat Bantu Dengar).
American Joint Committee on Infant Hearing 2007 merekomendasikan upaya habilitasi
sudah harus dimulai sebelum usia 6 bulan. Habilitasi yang optimal dimulai sebelum usia
6 bulan maka pada usia 3 tahun perkembangan wicara anak yang mengalami ketulian
dapat mendekati kemampuan wicara anak normal. Pemasangan ABD tidak selamanya
dapat membantu anak dengan gangguan pendengaran, apabila gangguan pendengarannya
berat atau sangat berat di kedua telinga 9–11 perlu diatasi dengan pemasangan implan
koklea.3,10
Habilitasi pendengaran berupaya memberikan impuls auditori dan
memaksimalkan plastisitas neural auditori agar tercapai pematangan pendengaran.
22
Habilitasi pendengaran bergantung pada kebutuhan masing-masing anak dan beberapa
faktor, antara lain usia anak, onset kurang dengar, usia saat kurang dengar terdiagnosis,
derajat kurang dengar, jenis kurang dengar, dan usia saat alat bantu dengar pertama
digunakan. Habilitasi pendengaran pada anak berpedoman pada cara komunikasi yang
digunakan dalam keluarga. Proses habilitasi membutuhkan kerjasama dari beberapa
disiplin antara lain dokter spesialis THT, Audiologist, spesialis Anak, spesialis
rehabilitasi medik, Ahli terapi wicara, Psikologi anak, guru khusus dan keluarga. 3,10
6. Obat-obatan dan pembedahan
Obat-obatan dan pembedahan juga dapat membantu memaksimalkan
pendengaran seseorang. Hal ini terutama berlaku untuk gangguan pendengaran konduktif
atau yang melibatkan bagian telinga luar atau tengah yang tidak bekerja dengan biasa.
Salah satu jenis gangguan pendengaran konduktif dapat disebabkan oleh infeksi telinga
kronis. Infeksi telinga kronis adalah penumpukkan cairan di belakang gendang telinga di
ruang telinga tengah. Sebagian besar infeksi telinga ditangani dengan pengobatan atau
pemantauan yang cermat. Infeksi yang tidak hilang dengan pengobatan dapat diobati
dengan operasi sederhana yang melibatkan memasukkan tabung kecil ke gendang telinga
untuk mengalirkan cairkan keluar. 13,14
Jenis lain dari gangguan pendengaran konduktif disebabkan oleh telinga luar
dana tau telinga tengah yang tidak terbentuk dengan benar saat bayi tumbuh dalam
Rahim ibu. Baik telinga luar dan telinga tengah perlu bekerja sama agar suara dapat
dikirim dengan benar ke bagian telinga dalam. Jika salah satu dari bagian ini tidak
terbentuk dengan benar, mungkin ada gangguan pendengaran di telinga tersebut. Masalah
ini dapat diperbaiki dan bahkan mungkin diperbaiki dengan pembedahan. 13,14
7. Belajar Bahasa
Tanpa bantuan ekstra, anak-anak dengan gangguan pendengaran memiliki
masalah dalam belajar Bahasa. Anak-anak ini kemudian dapat berisiko mengalami
keterlambatan lainnya. Pelatihan dalam bahasa isyarat, membaca bibir, dan pendekatan
bahasa lainnya dapat dilakukan. Ada banyak jenis pendekatan bahasa ini termasuk bahasa
isyarat dan membaca bibir. Beberapa keluarga memilih untuk menggunakan hanya satu
metode. Lainnya menggabungkan strategi komunikasi dari beberapa jenis yang berbeda.
13,14
23
Keluarga yang memiliki anak dengan gangguan pendengaran harus mengubah kebiasaan
komunikasi dengan mempelajari keterampilan khusus seperti Bahasa isyarat untuk
membantu anak mereka dalam belajar berbahasa. Keterampilan ini dapat digunakan
bersama dengan alat bantu dengar, implant koklea, dan perangkat lainnya. 13,14
2.9 Prognosis Gangguan Pendengaran
Prognosis gangguan pendengaran ditentukan berdasarkan jenis dan derajat keparahan serta
etiologi yang mendasari. Tuli konduktif pada umumnya memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan sensorineural. Tidak mengenali secara dini dan mengobati gangguan
pendengaran dapat secara serius mengganggu kemampuan bicara dan pemahaman bahasa.
Gangguan tersebut dapat menyebabkan kegagalan disekolah, ejekan oleh teman sebaya,
masalah sosial dan emosi. Hal ini tentunya berdampak terhadap kualitas hidupan anak.13
24
BAB III
KESIMPULAN
Perkembangan bicara dan bahasa pada anak erat kaitannya dengan fungsi pendengaran
karena kemampuan mendengar memiliki peranan sangat penting dalam proses perkembangan
bicara. Fungsi pendengaran adalah masuknya suara, kata-kata dan bahasa secara sadar serta
mengintegrasikan dengan rangsangan dari organ sensorik lainnya. Sebagai contoh, seorang anak
akan mampu membedakan suara ibu, nenek atau suara dari boneka mainannya.
Seorang bayi mulai belajar berkomunikasi dengan lingkungan sekitar sejak mereka
dilahirkan. Dengan proses mendengar, anak akan mendapat stimulasi suara yang akan sangat
cepat mempengaruhi perkembangan otak. Orang tua perlu menyadari betapa pentingnya tahun-
tahun pertama anak sampai usia tiga tahun merupakan masa emas untuk belajar berkomunikasi
karena teori plastisitas otak. Pada masa ini sel-sel syaraf di bagian sentral otak untuk
pendengaran, berbicara dan berbahasa akan bertambah dan berkembang bila mendapat
rangsangan sehingga meningkatkan potensi anak untuk mendengar dan berbicara. Jika otak tidak
dirangsang dengan suara maka perkembangan bahasa pun akan terhambat.
Gangguan pendengaran pada anak usia dini merupakan suatu kecacatan yang tidak
nampak secara visual. Gangguan ini berbeda jika dibandingkan dengan kecacatan fisik lainya
yang secara visual sudah nampak jelas, sehingga deteksi dini gangguan pendengaran pada anak
usia dini relatif lebih sulit jika dibandingkan dengan gangguan pada fisik yang lainya. Penyebab
gangguan pendengaran pada bayi dan anak terjadi pada masa prenatal, perinatal dan postnatal.
Gangguan dengar atau kelainan pada masa prenatal dapat menyebabkan ketulian pada 3 bayi/tuli
sejak lahir.
Deteksi gangguan pendengaran dapat dilakukan sedini mungkin pada anak. Deteksi ini
penting karena sistem pendengaran memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
perkembangan anak usia (Martini, et all, 2017). Identifikasi gangguan pendengaran dapat melalui
pengamatan respon anak pada suara atau menggunakan alat sederhana atau canggih untuk
melakukan tes fungsi pendengaran. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik penanganan gangguan
pendengaran dilakukan pada usia dibawah 6 bulan (Wong D, 2014).
25
REFERENSI
1. Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi pendengaran perifer. Jurnal THT-KL.
Surabaya: 2009. Vol.2 (2); h. 76-85.
2. Muyassaroh. Deteksi Dini dan Habilitasi Gangguan Dengar pada Bayi dan Anak. Medica
Hospitalia. 2017; vol 4 (2) : 139–142.
3. Soepardi E A, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti R D. Gangguan pendengaran pada anak
dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta; 2007: h. 31-42.
4. WHO. Hearing Loss and Deafness.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/deafness-and-hearing-loss
5. Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja I. Skrining gangguan pendengaran pada
anak. Sari Pediatri: 2005. Vol. 6, No. 4; h. 149-154.
6. Jauhari. Deteksi gangguan pendengaran pada anak usia dini [internet]. [sitasi pada 25 Maret
2022]. Genious Indonesia Journal of Early Chilhood Eduacation. Jember: 2020; vol 1 no.1
hal. 61-71. Diunduh dari: http://genius.iain-jember.ac.id.
7. Soepardi E A, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti R D. Anatami dan fisiologi sistem
pendengaran dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher.
Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta; 2007: h. 10-16.
8. Soepardi E A, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti R D. Klasifikasi gangguan pendengaran
dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta; 2007: h. 22.
9. Azwar. Deteksi dini gangguan pendengaran pada anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala:
2013. Vol 3 (1); h. 59-64.
10. Health Technologi Assesment : Skrining pendengaran bayi baru lahir. DEPKES RI 2010.
11. Sarah, N.l.S., Memy, Y.D., Ghanie.A. Angka Kejadian Delayed Speech Disertai Gangguan
Pendengaran pada Anak yang Menjalani Pemeriksaan Pendengaran di Bagian Neurootologi
IKTHT-KL RSUP Dr.Moh. Hoesin. Jurnal kedokteran dan kesehatan. 2015.
12. National Deaf Children’s Society (NDCS). Hearing tests for babies and young children.
www.deafnessresearch.org.uk.
13. CDC. Hearing Loss in Children [internet]. 21 June 2021 [sitasi 02 April 2022]. Available
from: cdc.gov/ncbddd/hearingloss/treatment.html.
26
14. Shah UK. Hearing impairment in children [internet]. September 2020 [cited on 2 April
2022]. Available from: https://www.msdmanuals.com/home/children-s-health-issues/ear-
nose-and-throat-disorders-in-children/hearing-impairment-in-children.
27