Anda di halaman 1dari 33

Referat

Hearing Loss In Children


Gangguan Pendengaran Pada Anak

Disusun Oleh:

Rosyidah Qurrota A’yun

201570020

Pembimbing:

dr. Sri Riyanti Windesi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD SELE BE SOLU KOTA SORONG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PAPUA

2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Hearing
Loss”. Penulisan dan penyusunan refarat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan Anak.

Pada kesempatan baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Sri Riyanti
Windesi, Sp.A sebagai pembimbing referat, atas kesabaran dan bimbingan beliau dalam
mengarahkan penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis yang
senantiasa mendoakan penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman yang selalu
mendukung dan memberikan semangat.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman serta waktu yang tersedia dalam proses penyusunan
referat sangat terbatas, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi, susunan bahasa
maupun sistematika penulisannya. Sehingga penulis mengharapkan para pembaca dapat
memberikan saran dan kritik yang membangun.

Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan
memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bidang kedokteran dan berguna bagi pembaca
dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu.

Sorong, 25 Maret 2022

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Rosyidah Qurrota A’yun

Nomor Induk Mahasiswa : 201570020

Jurusan : Program Pendidikan Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Papua

Bagian Pendidikan : Ilmu Kesehatan Anak

Judul Referat Kedokteran : Hearing Loss / Gangguan Pendengaran Pada Anak

Diajukan Pada :

Pembimbing : dr. Sri Riyanti Windesi, Sp. A

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal………………………………….

Mengetahui,

Pembimbing Referat

dr. Sri Riyanti Windesi, Sp. A

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………... i
Lembar Pengesahan ……………………………………………………………………………... ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………... iii
Daftar Gambar ………………………………………………………………………………….. iv
Daftar Tabel …………………………………………………………………………………...... v
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………………………….….. 1
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi dan Epidemiologi …………………………………………………………..… 2
2.2 Anatomi dan Fisiologi …………………………………………………………............ 3
2.3 Gangguan Fisiologi Pendengaran ……………………………………………………... 9
2.4 Perkembangan Sistem Pendengaran Anak ………………………………………….... 11
2.5 Penyebab dan Faktor Risiko Gangguan Pendengaran Anak ………………………..... 13
2.6 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran ………………………………...………............ 14
2.7 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran ……………………………………..…………. 17
2.8 Tatalaksana Gangguan Pendengaran ……………………………………………........ 20
2.9 Prognosis Gangguan Pendengaran ………………………………………………….... 24
BAB III Kesimpulan ………………………………………………………………………….... 25
Referensi ……………………………………………………………………………………...... 26

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ……………………………………………………………………………………….. 3

Gambar 2 ……………………………………………………………………………………….. 3

Gambar 3 ……………………………………………………………………………………….. 4

Gambar 4 ……………………………………………………………………………………….. 4

Gambar 5 ……………………………………………………………………………………….. 5

Gambar 6 ……………………………………………………………………………………….. 6

Gambar 7 ……………………………………………………………………………………….. 6

Gambar 8 ……………………………………………………………………………………….. 8

Gambar 9 ……………………………………………………………………………………….. 8

Gambar 10 …………………………………………………………………………………...… 18

Gambar 12 ……………………………………………………………………………………... 18

Gambar 13 ……………………………………………………………………………………... 19

Gambar 14 ……………………………………………………………………………………... 20

Gambar 15 ……………………………………………………………………………………... 21

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 …………………………………………………………………………………………. 11

Tabel 2 …………………………………………………………………………………………. 12

Tabel 3 …………………………………………………………………………………………. 12

Tabel 4 …………………………………………………………………………………………. 15

v
BAB I

PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang


Pendengaran merupakan organ yang sangat sangat penting bagi anak usia dini.
Dengan pendengaran seorang anak dapat belajar berbicara, berbahasa, melakukan sosialisasi
serta peningkatan perkembangan intelektual (Psarommatis. I.M. et all, 2001). Telinga
manusia merupakan organ pendengaran yang menangkap dan merubah bunyi berupa energi
mekanis menjadi energi elektris secara efisien dan diteruskan ke otak untuk disadari serta
dimengerti. Sebagai sistem organ pendengaran, telinga dibagi menjadi sistem organ
pendengaran perifer dan sentral.1
Gangguan pendengaran (hearing loss) dan ketulian (deafness) dapat terjadi pada
semua usia sejak lahir sampai usia lanjut, namun kadang-kadang tidak disadari, apalagi jika
terjadi pada bayi. Dampak dari gangguan pendengaran dan ketulian tidak hanya berakibat
pada terganggunya perkembangan wicara dan bahasa, tetapi pada tahap selanjutnya akan
menyebabkan hambatan perkembangan akademik, ketidakmampuan bersosialisasi, perilaku
emosional dan berkurangnya kesempatan memperoleh pekerjaan. Semua dampak ini
mempengaruhi kualitas hidup anak dan juga orangtua oleh sebab itu pentingnya deteksi dini
gangguan pendengaran pada bayi.2
Periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam 6 bulan
pertama kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Beberapa faktor risiko pada
neonatus perlu diketahui untuk mengindentifikasi kemungkinan adanya gangguan
pendengaran kongenital atau didapat pada bayi dengan gangguan pendengaran bilateral yang
diintervensi sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa
normal dibandingkan dengan bayi yang baru diintervensi setelah usia 6 bulan.2
1.2 Tujuan
1. Untuk memahami penyakit gangguan pendengaran pada bayi dan anak yang masih
menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia.
2. Untuk menguasai diagnosa dan deteksi dini gangguan pendengaran sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
3. Sebagai bahan pembelajaran dalam penulisan karya ilmiah yaitu referat Fakultas
Kedokteran Universitas Papua.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi Gangguan Pendengaran Pada Anak

Gangguan pendengaran adalah kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua


telinga. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak terkadang disertai keterbelakangan
mental, tidak bisa berbicara (bisu) dan gangguan emosional. Umumnya seorang bayi atau
anak yang mengalami gangguan pendengaran, lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai
pasien yang terlambat bicara (speech delayed). Gangguan pendengaran dibedakan menjadi
tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf).3

Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang


namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat
bantu dengar, sedangkan tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang
sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat
perkerasan bunyi (amplikasi).3

Menurut WHO Lebih dari 5% populasi dunia atau 430 juta orang memerlukan
rehabilitasi untuk mengatasi gangguan pendengaran mereka yakni sekitar 432 juta orang
dewasa dan 34 juta anak-anak. Diperkirakan pada tahun 2050 lebih dari 700 juta orang atau
satu dari setiap sepuluh orang akan mengalami gangguan pendengaran.4

Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar antara 1-3 dari
1000 kelahiran hidup. Sedangkan US Preventive Services Task Force melaporkan bahwa
prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 10-20
kali lebih besar dari populasi neonatus. Grote melaporkan bahwa program skrining
pendengaran pada bayi belum mampu mendeteksi 10-20 persen kasus gangguan
pendengaran pada bayi sejak masa awal kehidupan. Hal ini ditunjukan dengan perbandingan
peningkatan prevalensi gangguan pendengaran pada anak usia sekolah dibandingkan dengan
prevalensi gangguan pendengaran pada bayi yang telah diidentifikasi. Pemerintah Inggris
memprediksi bahwa Prevalensi gangguan pendengaran permanen pada bayi dapat meningkat
dua kali lipat dari prevalensi saat ini yang berkisar 1 diantara 1000 kelahiran.5

2
Di Indonesia, gangguan pendengaran dan ketulian saat ini masih merupakan satu
masalah yang dihadapi masyarakat. Berdasarkan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran di 7 provinsi tahun 1993-1996, prevalensi ketulian 0,4% dan
gangguan pendengaran 16,8%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarah
(2015) menyatakan bahwa distribusi gangguan pendengaran berdasarkan jenis kelamin
diderita oleh 66,9% anak laki-laki dan 33,1% perempuan. Berdasarkan rentang usianya,
anak usia 0-1 tahun sebanyak 7%, usia 1-2 tahun sebanyak 27,7%, usia 3-4 tahun sebanyak
13,8%, usia 4-5 tahun sebanyak 8,4%, usia 5-6 tahun sebanyak 7% dan usia lebih dari 6
tahun sebanyak 11,1%. Berdasarkan jenis gangguanya didapatkan gangguan bilateral
didapatkan sebanyak 71,2%, dan unilateral sebanyak 17,2%.6,11

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pendengaran

Untuk memahami tentang gangguan pendengaran, perlu diketahui dan dipelajari


anatomi telinga, fisiologi pendengaran, deteksi dini dan cara pemeriksaan pendengaran.
Sistem organ pendengaran terbagi atas organ pendengaran perifer dan sentral. Organ
pendengaran perifer terdiri dari struktur organ pendengaran yang berada di luar otak dan
batang otak yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga dalam dan saraf kokhlearis (gambar 1)
sedangkan organ pendengaran sentral adalah struktur yang berada di dalam batang otak dan
otak yaitu nukleus koklearis, nukleus olivatorius superior, lemnikus lateralis, kolikulus
inferior dan kortek serebri lobus temporalis pada area Wernicke (gambar 2).1,7

Gambar 1. Organ Pendengaran Perifer


Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi
pendengaran perifer. Jurnal THT-KL. Surabaya: 2009.
Gambar 2. Organ Pendengaran Sentral
Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi
pendengaran perifer. Jurnal THT-KL. Surabaya: 2009.

3
Anatomi Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani
(gambar 4). Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan liang telinga berbentuk huruf
S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 1/2 - 3 cm. Pada sepertiga
bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serunien (kelenjar keringat) dan
rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Bagiannya terdiri heliks, antiheliks, tragus,
antitragus dan konka. Daun telinga yang tidak mengandung tulang rawan ialah lobules
(gambar 3).1,7

Gambar 3. Daun Telinga/Aurikulum. Gambar 4. Telinga Luar


Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi
pendengaran perifer. Jurnal THT-KL. Surabaya: 2009. pendengaran perifer. Jurnal THT-KL. Surabaya: 2009.

Aurikulum/daun telinga dialiri arteri aurikularis posterior dan arteri temporalis


superfisialis. Aliran vena menuju ke gabungan vena temporalis superfisialis, vena aurikularis
posterior dan vena emissary mastoid. Inervasi oleh cabang nervus cranial V, VII, IX dan X.1

Liang telinga/meatus akustikus eksternus (MAE) terbagi menjadi pars kartilage


yang berada di sepertiga lateral dan pars osseus yang berada di dua pertiganya. Pars
kartilage berjalan ke arah posterior superior, merupakan perluasan dari tulang rawan daun
telinga, tulang rawan ini melekat erat di tulang temporal, dilapisi oleh kulit yang merupakan
perluasan kulit dari daun telinga, kulit tersebut mengandung folikel rambut, kelenjar
serumen dan kelenjar sebasea. Kelenjar serumen memproduksi bahan seperli lilin berwarna
coklat merupakan pengelupasan lapisan epidermis, bahan sebaseus dan pigmen disebut

4
serumen atau kotoran telinga. Pars osseus berjalan ke arah antero inferior dan menyempit di
bagian tengah membentuk ismus. Kulit pada bagian ini sangat tipis dan melekat erat
bersama dengan lapisan subkutan pada tulang. Didapatkan glandula sebasea dan glandula
seruminosa, tidak didapatkan folikel rambut (gambar 5). 1,7

Gambar 5. Kelenjar pada liang telinga


Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi
pendengaran perifer. Jurnal THT-KL. Surabaya: 2009.

MAE dialiri arteri temporalis superfisialis dan arteri aurikularis posterior serta arteri
aurikularis profundus. Darah vena mengalir ke vena maksilaris, jugularis eksterna dan
pleksus venosus pterygoid. Aliran limfe menuju ke nn. aurikularis anterior, posterior dan
inferior. Inervasi oleh cabang aurikularis dari n. vagus dan cabang aurikulotemporalis dari n.
mandibularis. 1,7

Membran timpani (MT) berbentuk kerucut dengan puncaknya disebut umbo,


dasarnya tampak sebagai bentukan oval. MT dibagi dua bagian yaitu pars tensa memiliki
tiga lapisan yaitu lapisan skuamosa, lapisan mukosa dan lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri
dari serat melingkar dan radial yang membentuk dan mempengaruhi konsistensi MT. Pars
flasida hanya memiliki dua lapis saja yaitu lapisan skuamosa dan lapisan mukosa. Sifat
arsitektur MT ini dapat menyebarkan energi vibrasi yang ideal. 1,7

MT bagian medial disuplai cabang arteri aurikularis posterior, lateral oleh ramus
timpanikus cabang arteri aurikularis profundus. Aliran vena menuju ke vena maksilaris,
jugularis eksterna dan pleksus venosus pterygoid. Inervasi oleh nervus aurikularis cabang

5
nervus vagus, cabang timpanikus nervus glosofaringeus of Jacobson dan nervus
aurikulotemporalis cabang nervus mandibularis. 1,7

Gambar 6. Membran Timpani


Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi
pendengaran perifer. Jurnal THT-KL. Surabaya: 2009.
Anatomi Telinga Tengah

Ruang telinga tengah disebut juga kavum tympani (KT) atau tympanic cavity.
Dilapisi oleh membran mukosa, topografinya di bagian medial dibatasi oleh promontorium,
lateral oleh membrane timpani, anterior oleh muara tuba Eustachius, posterior oleh aditus ad
antrum dari mastoid, superior oleh tegmen timpani fossa kranii, inferior oleh bulbus vena
jugularis. Batas superior dan inferior membrane timpani membagi KT menjadi
epitimpanium atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum. 1,7

Telinga tengah terdapat tiga tulang pendengaran, susunan dari luar ke dalam yaitu maleus,
incus dan stapes yang saling berikatan dan berhubungan membentuk artikulasi. Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus
melekat pada stapes (gambar 7). Stapes terletak tingkap lonjong atau foramen ovale yang
berhubungan dengan koklea. 1,7

Gambar 7. Tulang-tulang Pendengaran


Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi pendengaran perifer. Jurnal THT-KL. Surabaya: 2009.

6
Telinga tengah terdapat dua buah otot yaitu m. tensor timpani dan m. stapedius.
Muskulus tensor timpani berorigo di dinding semikanal tensor timpani dan berinsersio di
bagian atas tulang maleus, inervasi oleh cabang saraf trigeminus. Otot ini menyebabkan
membran timpani tertarik ke arah dalam sehingga menjadi lebih tegang dan meningkatkan
frekuensi resonansi sistem penghantar suara dan melemahkan suara dengan frekuensi
rendah. Muskulus stapedius berorigo di dalam eminensia pyramid dan berinsersio di ujung
posterior kolumna stapes, hal ini menyebabkan stapes kaku, memperlemah transmini suara
dan meningkatkan resonansi tulang-tulang pendengaran. Kedua otot ini berfungsi
mempertahankan, memperkuat rantai osikula dan meredam bunyi yang terlalu keras
sehingga dapat mencegah kerusakan organ koklea. 1,7

Telinga tengah berhubungan dengan nasopharing melalui tuba Eustahcius. Suplai


darah untuk kavum timpani oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid, arteri petrosal
superficial, dan arteri timpani inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran arteri
berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus pterygoideus. 1,7

Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam terletak di dalam tulang temporal bagian petrosa, di dalamnya


dijumpai labirin periotik yang mengelilingi struktur telinga dalam yaitu labirin yang
merupakan suatu rangkaian berkesinambungan antara tuba dan rongga telinga dalam dan
dilapisi epitel. Labirin terdiri dari labirin membran berisi endolimfe yang merupakan satu-
satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin
membran ini di kelilingi oleh labirin tulang di antara labirin tulang dan membran terisi
cairan perilimfe dengan komposisi elektrolit tinggi natrium rendah kalium. 1,7

Labirin terdiri dari tiga bagian yaitu pars superior, pars inferior dan pars intermedia.
Pars superior terdiri dari utrikulus dan saluran semisirkularis, pars inferior terdiri dari
sakulus dan koklea sedangkan pars intermedia terdiri dari duktus dan sakus endolimpatikus.
1,7

7
Gambar 8. Skema Labirin
Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi pendengaran perifer. Jurnal THT-
KL. Surabaya: 2009.

Fungsi telinga dalam ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai organ auditus atau
indera pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan. Kedua organ
tersebut saling berhubungan sehingga apabila salah satu organ tersebut mengalami gangguan
maka yang lain akan terganggu. Telinga dalam disuplai oleh arteri auditorius interna cabang
dari arteri cerebelaris inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran arteri. 1,7
Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani kemudian diteruskan ke telinga tengah melalui
tulang-tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. 1,7

Gambar 9. Skema Mekanisme Pendengaran


Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi pendengaran
perifer. Jurnal THT-KL. Surabaya: 2009.

8
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong cairan endolimfe, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus
temporalis. 1,7

2.3 Gangguan Fisiologi Telinga

Gangguan telinga luar dan lelinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif,
sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli
koklea dan tuli retrokoklea. Sumbatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga
tengah berupa tuli konduktif. Gangguan pada vena jugulare berupa aneurisma akan
menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung. Antara inkus dan maleus
berjalan cabang n. fasialisis yang disebut korda timpani. Bila terdapat radang di telinga
tengah atau trauma pada korda timpani yang terjepit, sehingga dapat timbul gangguan
pengecapan.7

Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat pendengaran. Obat-
obat dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran rusak, dan terjadi tuli
sensorineural. Setelah pemakaian obat ototoksik seperti streptomisin, akan terdapat gejala
gangguan pendengaran berupa tuli sensoneural dan gangguan keseimbangan.7

Klasifikasi gangguan pendengaran

1. Tuli konduktif
Merupakan jenis gangguan pendengaran yang terjadi karena terdapat
permasalahan pada saluran telinga bagian luar atau bagian tengah yang menyebabkan
gelombang suara tidak bisa di alirkan menuju ke bagian telinga dalam. Bagian yang
terkena antara lain meatus akustikus eksterna, membran timpani, tulang pendengaran,

9
dan kavum timpani hingga tingkap lonjong. Akibat dari adanya gangguan pendengaran
ini dapat terjadi penurunan tingkat kerasnya suara yang masuk pada telinga, namun tidak
menimbulkan distorsi atau gangguan pada kejernihan suara yang diterima. Pada
umumnya jenis gangguan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan8
2. Tuli sensorineural (perseptif)
Merupakan gangguan yang terjadi akibat adanya kerusakan pada telinga dalam
pada koklea dan juga dapat terjadi akibat kerusakan pada saluran berisi n.VII yang
menuju ke daerah otak atau pada pusat pendengaran. Untuk gangguan jenis ini dapat
menyebabkan suara menjadi hilang sehingga berpengaruh terhadap kemampuan dalam
berkomunikasi. Pada umumnya gangguan jenis ini tidak dapat disembuhkan karena
kerusakan pendengaran bersifat menetap. 8
3. Tuli campuran
Merupakan tuli yang disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural. Tuli campuran dapat merupakan satu penyakit, misalnya radang telinga
tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang
berlainan, misalnya tumor nervus Vlll (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli
konduktif). Jadi jenis ketulian sesuai dengan letak kelainan. 8

Suara yang didengar dapat dibagi dalam bunyi, nada murni dan bising adalah sebagai
berikut:8

 Bunyi (frekuensi 20 Hz - 18.000 Hz) merupakan frekuensi nada murni yang dapat
didengar oleh telinga normal.
 Nada murni (pure tone), hanya satu frekuensi, misalnya dari garpu tala, piano.
 Bising (noise) dibedakan antara : NB (narrow band), terdiri atas beberapa frekuensi,
spektrumnya terbatas dan WN (white noise), yang terdiri dari banyak frekuensi.

Untuk menentukan klasifikasi gangguan pendengaran pada anak dapat juga


dilakukan dengan menggunakan audiometer. Namun alat ini pada umumnya dapat
digunakan pada anak dengan usia di atas empat tahun. pada pemeriksaan tingkat gangguan
pendengaran dengan menggunakan alat audiometer ini menggunakan satuan desibel. Hasil
pengukuran ini dapat digunakan untuk menentukan tingkatan gangguan pendengaran yang
diderita oleh anak sebagaimana terdapat dalam tabel 1. 6
10
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran 6

No Hasil (dalam desibel) Klasifikasi


1 0-15 Pendengaran normal
2 15-25 Gangguan pendengaran kecil
3 25-40 Gangguan pendengaran ringan
4 40-55 Gangguan pendengaran sedang
5 55-70 Gangguan pendengaran sedang-berat
6 70-90 Gangguan pendengaran berat
7 >90 Gangguan pendengaran sangat berat

Sumber: Smeltser & Bare, 2014

2.4 Perkembangan Pendengaran Anak

Perkembangan pendengaran pada manusia sangat erat hubungannya dengan


perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam waktu 3
tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak
yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, upaya untuk melakukan
deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini mungkin agar habilitasi pendengaran
sudah dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung. 3

Perkembangan pendengaran pada masa prenatal, telah diteliti bahwa koklea


mencapai fungsi normal seperti orang dewasa setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa ini
janin dalam kandungan telah dapat memberikan respons terhadap suara yang ada di
sekitarnya, namun reaksi janin masih bersifat refleks seperti refleks Moro, terhentinya
aktivitas (cessafion reflex) dan refleks Auropalpebral. Kuczwara dkk (1984) membuktikan
respons terhadap suara berupa refleks auropalpebral yang konsisten pada janin normal usia
24 -25 minggu. 3

Perkembangan wicara, terjadi bersamaan dengan proses maturasi fungsi


pendengaran. Kemahiran bicara dan berbahasa pada seseorang hanya dapat tercapai bila
input sensorik (auditorik) dan motorik dalam keadaan normal. Awal dari proses belajar

11
bicara terjadi pada saat lahir. Sulit dipastikan usia absolut tahapan perkembangan bicara,
namun pada umumnya akan mengikuti tahapan sebagai berikut dapat dilihat pada tabel 2. 3

Usia 2. Tahapan perkembangan bicara3


Tabel Kemampuan
Neonatus - Menangis (reflex vocalization)
- Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara burung (coolng )
- Suara seperti berkumur (gurgles)
2-3 bulan Tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling)
4-6 bulan - Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup
(vowel) dan huruf mati (konsonan)
- Suara berupa ocehan yang bermakna (true babbling atau /a/ing),
seperti " pa, pa, da da"
7-11 bulan - Dapat menggabungkan kata / suku kata yang tidak mengandung
arti, terdengar seperti bahasa asing (jargon)
- Usia 10 bulan mampu meniru suara sendiri (echolallia)
- Memahami arti "tidak", mengucapkan salam.
- Mulai memberi perhatian terhadap nyanyian atau music
12-18 bulan - Mampu menggabungkan kata atau kalimat pendek
- Mulai mengucapkan kata pertama yang mempunyai arli (true
speech)
- Usia 12-14 bulan mengerti instruksi sederhana, menunjukkan
bagian tubuh dan nama mainannya
- Usia 18 bulan mampu mengucapkan 6-10 kata

Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar, oleh


karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan adanya
gangguan pendengaran. Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa hal berikut ini perlu
mendapat perhatian terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan
anak (tabel 3).3
Tabel 3. Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak. 3
Usia Kemampuan Bicara
12 bulan Belum dapat mengoceh (babbling\ atau meniru bunyi
18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti

12
24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata

2.5 Penyebab dan Faktor Risiko Gangguan Pendengaran Pada Anak

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat
terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal, perinatal dan postnatal.3.6

1. Masa Pranatal
Penyebab gangguan pada masa prenatal dapat terjadi karena faktor herediter
(genetik) dan non genetik (didapat) seperti gangguan / kelainan pada masa kehamilan,
kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi Iodium). Selama
kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap
gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian
pada bayi. 3,6
Gangguan pendengaran juga dapat timbul sejak lahir (prelingual) atau muncul pada
usia di atas tiga tahun (postlingual) yang akan mempengaruhi kemampuan berbahasa dan
kemampuan komunikasi pada anak. Gangguan pendengaran pada anak usia dini
merupakan salah satu bentuk gangguan pendengaran yang sering terjadi pada bayi sejak
lahir (kongenital), umumnya tipe sensorineural, bersifat bilateral, sebagian besar derajat
berat dan sangat berat. 3,6
lnfeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti Toksoplasmosis, Rubela,
cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada pendengaran
bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi
mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat,
kina, neomisin, dihidrostreptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomide dll. Selain itu
malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea juga
akan menyebabkan ketulian. 3,6
2. Masa Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan pendengaran / ketulian seperti prematur, berat badan lahir rendah (<

13
2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis), serta obat-obat ortotoksik
yang digunakan untuk pengobatan infeksi bayi lahir. Umumnya ketulian yang terjadi
akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat
ketulian berat atau sangat berat. 3,6
3. Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi otak
(meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga dapat
menyebabkan tuli saraf atau tuli konduktif. 6,7

2.6 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Pada tahun 1993 National Institute of Health Consensus Conference pertama kali
menganjurkan program Universal Newborn Hearing Screening. Setahun kemudian The Joint
Committee on Infant Hearing merekomendasikan deteksi gangguan pendengaran harus
dilakukan sebelum usia 3 bulan dan dilakukan intervensi sebelum usia 6 bulan. Pada tahun
1999 American Academy of Pediatrics (AAP) mendukung pernyataan tersebut. Beberapa
syarat skrining pendengaran neonatus yang dipakai di seluruh dunia, diantaranya adalah
cepat dan mudah dikerjakan, tidak bersifat invasif, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi serta tidak mahal. Skrining hanya menunjukkan ada/tidaknya respons terhadap
rangsangan dengan intensitas tertentu pada pendengaran seseorang dan tidak mengukur
beratnya gangguan pendengaran ataupun tidak membedakan tuli konduktif atau
sensorineural.3

Identifikasi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir, saat ini digunakan OAE
(Otoacoustic Emission) dan AABR (Automated Auditory Brainstem Response) yang
merupakan teknik pemeriksaan dan sebagai baku emas dengan prinsip pemeriksaan cepat,
mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati 100%. Terdapat dua klasifikasi yang sering
digunakan dalam melakukan deteksi dini ketulian yaitu:2,3

 Klasifikasi Targeted Newborn Hearing Screening (TNHS) yaitu deteksi dilakukan


khusus pada bayi yang mempunyai faktor resiko terhadap ketulian.
 Klasifikasi kedua adalah Universal Newborn Hearing Screening (UNHS) yaitu deteksi
dilakukan pada semua bayi baru lahir baik beresiko maupun tidak berisiko.

14
Di beberapa negara berkembang masih menggunakan deteksi dengan klasifikasi
pertama karena masalah keterbatasan tenaga medis dan ketersediaan alat namun idealnya
adalah dengan klasifikasi kedua (UNHS). Data penelitian mengungkapkan 50% bayi dengan
gangguan pendengaran ternyata tidak memiliki faktor risiko. Direkomendasikan deteksi dini
dilakukan pada setiap bayi baru lahir setelah 24 jam pertama kelahiran atau sesaat sebelum
keluar rumah sakit bagi bayi yang lahir di rumah sakit, sedangkan yang lahir tidak dirumah
sakit, harus dilakukan deteksi ketulian umur 1–3 bulan. Maksimal usia 6 bulan bayi harus
dapat dipastikan memiliki pendengaran yang normal atau tidak, tindakan intervensi untuk
mengatasi masalah ganggguan pendengaran sudah harus dilakukan. 2,3

Perhatian khusus diperlukan untuk melakukan deteksi dini tuli kongenital ini
dengan cara memantau perkembangan berbicara. Orang tua hendaknya waspada terhadap
gejala dini yang tampak pada anak, seperti anak tidak menangis pada usia 3 minggu, anak
tetap tidur lelap saat pintu terbanting atau saat terjadi suara keras, anak tidak bereaksi
terhadap suara keras saat usia 3 bulan, anak tidak mengoceh berulang (babbling) pada usia
5–6 bulan, anak tidak mengulang bunyi yang bukan refleks pada usia 6–7 bulan, anak belum
mampu mengucap jargon (menggabungkan suku kata yang tidak mengandung arti) pada usia
7–10 bulan, anak belum mampu meniru suara orang tua pada usia 9 bulan, anak juga belum
meniru suara sendiri (echolalia) pada usia 10 bulan, anak belum menoleh ke sumber suara
pada usia 12 bulan dan anak belum mampu menirukan, menggunakan kata atau kalimat
singkat pada usia 12–18 bulan, serta anak belum mampu merangkai 2 kata yang bermakna
pada usia 24 bulan. Keterlambatan mengetahui diagnosis akan mempengaruhi tatalaksana 3
dan berdampak pada perkembangan selanjutnya. 2,3,11

Joint Commitee on lnfant Heraing (2000) menetapkan pedoman registrasi resiko


tinggi terhadap ketulian, dapat dilihat pada tabel 4 adalah sebagai berikut: 3

Tabel 4. Faktor Risiko Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak. 3

Untuk Bayi 0-28 hari 29 hari-2 tahun


1. Riwayat keluarga dengan tuli sensorineural 1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang
sejak lahir gangguan pendengaran, keterlambatan bicara,
berbahasa dan atau keterlambatan
2. lnfeksi masa hamil: Toksoplasma, Rubela,
perkembangan.

15
Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis 2. Riwayat keluarga dengan gangguan
(TORCHS) pendengaran yang menetap sejak masa anak
anak.
3. Kelainan kraniofasial termasuk kelainan
3. Keadaan atau stigmata yang berhubungan
pada pinna & liang telinga dengan sindroma tertentu yang diketahui
4. Berat badan lahir < 1500 gr = 3.3. lbs) mempunyai hubungan dengan tuli
sensorineural, konduktif atau gangguan fungsi
5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan
tuba Eustachius.
transfusi tukar (exchange tranfusion) 4. lnfeksi post-natal yang menyebabkan gangguan
6. Obat ototoksik pendengaran sensorineural termasuk meningitis
bakterialis.
7. Meningitisbakterialis
5. lnfeksi intrauterin seperti toksoplasma, rubella,
8. Nilai Apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 virus cytomegalo, herpes, sifilis.
pada menit kelima 6. Adanya faktor risiko tertentu pada masa
9. Ventilasi mekanik 5 hari atau lebih di neonatus, terutama hiperbilirubinemia yang
memerlukan transfusi tukar, hipertensi
NICU (Neonatal ICU) pulmonal yang membutuhkan ventilator serta
10. Sindroma yang berhubungan Riwayat kondisi lainnya yang merlukan extracorporeal
keluarga dengan tuli sensorineural sejak membrane oxygenation (ECMO).
7. Sindrom tertentu yang berhubungan dengan
lahir.
gangguan pendengaran yang progresif seperti
Usher syndrome, neurofibromatosis,
osteopetrosis.
8. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti
Hunter syndrome, dan kelainan neuropati
sensomotorik misalnya Friederich's ataxia, Ch a
rrot- Marie Tooth syndrome
9. Trauma kapitis
10. Otitis media yang berulang atau menetap
disertai efusitelinga tengah minimal 3 bulan.

Hanya 10% neonatus termasuk dalam kategori risiko tinggi. Bayi dengan salah
satu/lebih faktor risiko tersebut di atas harus menjalani evaluasi pendengaran dalam 2 bulan
pertama kehidupan dan terus dievaluasi lebih lanjut walau hasilnya normal. Bayi dengan 1
faktor risiko mempunyai kemungkinan menderita gangguan pendengaran 10,1 kali
dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor risiko, bayi dengan 2 faktor risiko
mempunyai kemungkinan 12,7 kali sedangkan bila terdapat 3 faktor risiko maka
kemungkinan meningkat menjadi 63,2 kali.3

16
Cone-Wesson dkk seperti dikutip dari the Joint Committee on Infant Hearing
Screening tahun 2000 melaporkan gangguan pendengaran terjadi pada 11,7% bayi dengan
sindrom diantaranya Trisomi 21, sindrom Pierre-Robin, dan atresia choanae. Adanya
riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran mempunyai prevalensi 6,6%, meningitis
5,5% dan anomali kraniofasial 4,7%. Pasien yang mendapat antibiotik aminoglikosid
mempunyai prevalensi hanya 1,5%.5,11

2.7 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran

Tes pendengaran pada bayi dan anak dapat berupa pemeriksaan yang bersifat
subyektif dan obyektif. Pemeriksaan subyektif berdasarkan pada pengamatan perilaku anak
terhadap rangsang suara (behavioral observation audiometry/BOA), yaitu refleks moro,
refleks auropalpebral, VRA (Visual Reinforcement Audiometry), play audiometry dan tes
fungsi persepsi kata. Pemeriksaan yang bersifat obyektif adalah OAE (Otoacoustic
Emissions), akustik imitans, BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) dan ASSR
(Automated Steady Stage Response).3,6,9
1. BOA
Tes BOA dapat dilakukan pada semua usia dengan mempertimbangkan status
perkembangan anak secara umum. Stimulus akustik menghasilkan pola respon khas
berupa menoleh atau menggerakkan kepala kearah sumber bunyi. Tes BOA sederhana
yang sering digunakan di rumah sakit adalah dengan menggunakan benda/mainan yang
berbunyi seperti bel atau terompet. 3,6,9
2. VRA
Pemeriksaan VRA dapat menentukan ambang pendengaran. Stimulus bunyi
dilakukan bersamaan dengan stimulus visual. Stimulus diberikan melalui pengeras suara.
Respon melokalisir bunyi dengan cara menoleh kearah sumber bunyi. Respon positif
diberi hadiah berupa stimulus visual. 3,6,9
3. Audiometri Bermain/play audiometry
Anak yang cukup kooperatif dalam pemeriksaan bisa dilakukan metode
pemeriksaan play audiometry yaitu tehnik melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi
disertai pengamatan respon motorik spesifik dalam suatu aktivitas permainan, seperti
memasukkan kelereng ke dalam kotak setiap mendengar suara. 3,6,9

17
4. Akustik Imitans
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Pemeriksaan
tersebut merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila terdapat
gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga
tengah normal. 3,6,9
5. OAE
Emisi Otoakustik merupakan suara dengan intensittas yang rendah yang
dihasilkan pada koklea yang normal baik secara spontan maupun respon dari rangsang
akustik. Skrining pendengan pada bayi dapat dilakukan dengan OAE karena metode ini
obyektif, aman, pemeriksaan cepat, hanya memerlukan waktu beberapa detik sampai
menit. 3,6,9

Gambar 10. Otoacoustic Automated Emissions (OAE)


www.deafnessresearch.org.uk.
6. BERA/ABR
BERA adalah pemeriksaan
elektrofisiologi yang obyektif, non
invasive untuk menilai response system auditory termasuk batang otak terhadap bunyi
sehingga dapat diketahui ambang pendengaran maupun letak lesi pada system auditory
tersebut. Respon terhadap stimulus berupa response auditory, evoked potential yang
sinkron direkam melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang ditempel pada
kulit kepala (dahi dan prosesus mastoideus). Response auditory evoked potential yang
berhasil direkam kemudian diproses melalui program komputer dan ditampilkan sebagai
5 gelombang defleksi positif
(gelombang IV) yang terjadi sekitar 5–12
millisekon setelah stimulus
diberikan. 3,6,9

Gambar 11. Brainstem Evoked Response Audiometry. Sumber. www.deafnessresearch.org.uk.


18
7. ASSR
ASSR merupakan pemeriksaan elektrofisiologis terhadap respons sistem
pendengaran berupa gelombang di otak yang dibangkitkan oleh stimulasi suara. Waktu
yang dibutuhkan untuk mendapatkan ambang dengar dengan teknik ASSR ini lebih
cepat karena dapat secara simultan memeriksa empat frekuensi masingmasing pada
kedua telinga. ASSR dapat memberikan informasi frekuensi spesifik dibandingkan click
ABR yang telah lebih dulu dikenal luas. Dengan pemeriksaan ASSR intensitas dapat
diberikan sampai 127,8 dB, sehingga dapat mengidentifikasi ambang dengar pada subjek
dengan gangguan pendengaran sangat berat atau dengan kata lain dapat menentukan sisa
pendengaran.
Pemeriksaan ASSR tidak dipengaruhi oleh soundfield speaker atau hearing aid
amplifier karena respons pada ASSR sifatnya steadystate dan stimulusnya simultan,
sehingga ASSR dapat digunakan untuk memperkirakan ambang dengar pada pasien
implan koklea atau untuk kepentingan pemasangan alat bantu dengar.

Gambar 13. Automated Steady Stage Response Audiometry


www.deafnessresearch.org.uk.

Hasil pemeriksaan pada bayi dan anak dengan gangguan dengar sejak lahir pada umumnya
bersifat sensorineural baik unilateral maupun bilateral, derajat berat sampai sangat berat.10

19
Gambar 14. Alur Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir
Health Technologi Assesment : Skrining
pendengaran bayi baru lahir. DEPKES RI 2010.

2.8 Tatalaksana Gangguan Pendengaran


Sebaiknya deteksi dini masalah pendengaran, karena pengobatan lebih berhasil jika
dimulai sebelum anak berusia 6 bulan. Itu sebabnya setiap bayi baru lahir menjalani tes
skrining pendengaran sebelum meninggalkan rumah sakit. Jika bayi anda tidak menjalani
pemeriksaan sebelum pulang atau lahir di rumah atau pusat bersalin, pemeriksaan
pendengarannya dalam 3 minggu pertama kehidupannya. Tidak lulus pemeriksaan
pendengaran tidak berarti bayi mengalami gangguan pendengaran tetapi itu berarti bayi harus
dites ulang sesegera mungkin, idealnya dalam waktu satu bulan setelah lahir. Jika gangguan
pendengaran ditemukan maka harus segera dimulai pengobatan.13
Anak-anak dengan pendengaran normal harus terus memeriksakan pendengaran
mereka pada pemeriksaan rutin mereka. Tes skrining pendengaran biasanya dilakukan pada
usia 4,5,6,8 dan 10 tahun dan selama tahun praremaja dan remaja. Dokterpun akan
melakukan pemeriksaan pendengaran kapanpun jika ditemukan tanda-tanda gangguan
pendengaran. 13
Tatalaksana tergantung pada jenis gangguan pendengaran, apa yang
menyebabkannya dan seberapa parah gangguan pendengaran tersebut. Anak-anak dengan
gangguan pendengaran permanen harus diperiksa oleh tim spesialis yang meliputi audiologi,

20
THT KL, terapis wicara-bahasa dan spesialis pendidikan bicara. Perawatan medis, terapi dan
pembedahan dapat membantu anak-anak dengan beberapa jenis gangguan pendengaran. 13,14

Adapun tatalaksana yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 13,14

1. Alat bantu dengar (hearing aids)


Alat bantu dengar akan membuat suara lebih keras dan dapat digunakan untuk
segala usia. Bayi dengan gangguan pendengaran permanen mendapatkan alat bantu
dengar sebelum usia 6 bulan memiliki peluang lebih baik untuk meningkatkan
perkembangan bahasanya. Terdapat banyak model alat bantu dengar yang disesuaikan
dengan jenis gangguan pendengaran. Hal ini perlu dikonsultasikan bersama dokter
spesialis THT KL. Biasanya pada anak kecil alat bantu dengar yang digunakan model
dipasang pada belakang telinga karena cocok untyk telinga anak-anak yang sedang
tumbuh. 13,14

Gambar 15. Hearing Aids


Shah UK. Hearing impairment in children [internet]. 2020.

2. Sistem modulasi frekuensi (FM)


Sistem ini membantu mengurangi kebisingan latar belakang dan membuat suara
pembicara lebih keras. Orang yang berbicara memakai mikrofon kecil dan pemancar.
Pemancar mengirimkan sinyal listrik ke penerima nirkabel yang dikenakan anak baik di
telinga atau langsung di alat bantu dengar. Ini portable dan juga dapat digunakan dirumah
atau tempat lain dimana ada banyak kebisingan latar belakang. 13

21
3. Implan koklea
Implan koklea dapat membantu anak-anak dengan gangguan pendengaran yang
parah ketika alat bantu dengar tidak memenuhinya. Perangkat yang ditempatkan secara
operasi ini melewati bagian telinga yang tidak berfungsi dengan baik. Ini merangsang
saraf pendengaran secara langsung dengan mengirimkan sinyal secara langsung ke saraf
pendengaran. Dengan pelatihan dan terapi anak-anak dengan implant koklea dapat belajar
mendengar dan berbicara dengan baik. 13
4. Alat bantu dengan berlabuh tulang (bone-anchored hearing aids)
Jenis alat bantu dengar ini dapat dipertimbangkan ketika seorang anak memiliki
gangguan pendengaran konduktif, campuran atau unilateral dan secara khusus cocok
untuk anak-anak yang tidak dapat memakai alat bantu dengar di telinga mapun belakang
telinga. 13
5. Habilitasi
Habilitasi pendengaran membantu anak-anak yang lahir dengan gangguan
pendengaran dapat belajar bagaimana mendengarkan dan berkomunikasi. Ini mungkin
termasuk terapi auditori-verbal (AVT), terapi wicara, membaca pidato (bibir) atau belajar
bahasa isyarat amerika (ASL). Audiolog dan dokter spesialis akan berkolaborasi dengan
orang tua dan anak untuk menemukan cara terbaik untuk anak berkomunikasi. Anak-anak
yang kehilangan pendengarannya ketika mereka lebih tua juga mempelajari teknik
komunikasi ini melalui rehabilitasi pendengaran. 13
Gangguan pendengaran terdeteksi setelah menjalani seluruh pemeriksaan fungsi
pendengaran maka penanganan segera adalah pemberian ABD (Alat Bantu Dengar).
American Joint Committee on Infant Hearing 2007 merekomendasikan upaya habilitasi
sudah harus dimulai sebelum usia 6 bulan. Habilitasi yang optimal dimulai sebelum usia
6 bulan maka pada usia 3 tahun perkembangan wicara anak yang mengalami ketulian
dapat mendekati kemampuan wicara anak normal. Pemasangan ABD tidak selamanya
dapat membantu anak dengan gangguan pendengaran, apabila gangguan pendengarannya
berat atau sangat berat di kedua telinga 9–11 perlu diatasi dengan pemasangan implan
koklea.3,10
Habilitasi pendengaran berupaya memberikan impuls auditori dan
memaksimalkan plastisitas neural auditori agar tercapai pematangan pendengaran.

22
Habilitasi pendengaran bergantung pada kebutuhan masing-masing anak dan beberapa
faktor, antara lain usia anak, onset kurang dengar, usia saat kurang dengar terdiagnosis,
derajat kurang dengar, jenis kurang dengar, dan usia saat alat bantu dengar pertama
digunakan. Habilitasi pendengaran pada anak berpedoman pada cara komunikasi yang
digunakan dalam keluarga. Proses habilitasi membutuhkan kerjasama dari beberapa
disiplin antara lain dokter spesialis THT, Audiologist, spesialis Anak, spesialis
rehabilitasi medik, Ahli terapi wicara, Psikologi anak, guru khusus dan keluarga. 3,10
6. Obat-obatan dan pembedahan
Obat-obatan dan pembedahan juga dapat membantu memaksimalkan
pendengaran seseorang. Hal ini terutama berlaku untuk gangguan pendengaran konduktif
atau yang melibatkan bagian telinga luar atau tengah yang tidak bekerja dengan biasa.
Salah satu jenis gangguan pendengaran konduktif dapat disebabkan oleh infeksi telinga
kronis. Infeksi telinga kronis adalah penumpukkan cairan di belakang gendang telinga di
ruang telinga tengah. Sebagian besar infeksi telinga ditangani dengan pengobatan atau
pemantauan yang cermat. Infeksi yang tidak hilang dengan pengobatan dapat diobati
dengan operasi sederhana yang melibatkan memasukkan tabung kecil ke gendang telinga
untuk mengalirkan cairkan keluar. 13,14
Jenis lain dari gangguan pendengaran konduktif disebabkan oleh telinga luar
dana tau telinga tengah yang tidak terbentuk dengan benar saat bayi tumbuh dalam
Rahim ibu. Baik telinga luar dan telinga tengah perlu bekerja sama agar suara dapat
dikirim dengan benar ke bagian telinga dalam. Jika salah satu dari bagian ini tidak
terbentuk dengan benar, mungkin ada gangguan pendengaran di telinga tersebut. Masalah
ini dapat diperbaiki dan bahkan mungkin diperbaiki dengan pembedahan. 13,14
7. Belajar Bahasa
Tanpa bantuan ekstra, anak-anak dengan gangguan pendengaran memiliki
masalah dalam belajar Bahasa. Anak-anak ini kemudian dapat berisiko mengalami
keterlambatan lainnya. Pelatihan dalam bahasa isyarat, membaca bibir, dan pendekatan
bahasa lainnya dapat dilakukan. Ada banyak jenis pendekatan bahasa ini termasuk bahasa
isyarat dan membaca bibir. Beberapa keluarga memilih untuk menggunakan hanya satu
metode. Lainnya menggabungkan strategi komunikasi dari beberapa jenis yang berbeda.
13,14

23
Keluarga yang memiliki anak dengan gangguan pendengaran harus mengubah kebiasaan
komunikasi dengan mempelajari keterampilan khusus seperti Bahasa isyarat untuk
membantu anak mereka dalam belajar berbahasa. Keterampilan ini dapat digunakan
bersama dengan alat bantu dengar, implant koklea, dan perangkat lainnya. 13,14
2.9 Prognosis Gangguan Pendengaran
Prognosis gangguan pendengaran ditentukan berdasarkan jenis dan derajat keparahan serta
etiologi yang mendasari. Tuli konduktif pada umumnya memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan sensorineural. Tidak mengenali secara dini dan mengobati gangguan
pendengaran dapat secara serius mengganggu kemampuan bicara dan pemahaman bahasa.
Gangguan tersebut dapat menyebabkan kegagalan disekolah, ejekan oleh teman sebaya,
masalah sosial dan emosi. Hal ini tentunya berdampak terhadap kualitas hidupan anak.13

24
BAB III

KESIMPULAN

Perkembangan bicara dan bahasa pada anak erat kaitannya dengan fungsi pendengaran
karena kemampuan mendengar memiliki peranan sangat penting dalam proses perkembangan
bicara. Fungsi pendengaran adalah masuknya suara, kata-kata dan bahasa secara sadar serta
mengintegrasikan dengan rangsangan dari organ sensorik lainnya. Sebagai contoh, seorang anak
akan mampu membedakan suara ibu, nenek atau suara dari boneka mainannya.

Seorang bayi mulai belajar berkomunikasi dengan lingkungan sekitar sejak mereka
dilahirkan. Dengan proses mendengar, anak akan mendapat stimulasi suara yang akan sangat
cepat mempengaruhi perkembangan otak. Orang tua perlu menyadari betapa pentingnya tahun-
tahun pertama anak sampai usia tiga tahun merupakan masa emas untuk belajar berkomunikasi
karena teori plastisitas otak. Pada masa ini sel-sel syaraf di bagian sentral otak untuk
pendengaran, berbicara dan berbahasa akan bertambah dan berkembang bila mendapat
rangsangan sehingga meningkatkan potensi anak untuk mendengar dan berbicara. Jika otak tidak
dirangsang dengan suara maka perkembangan bahasa pun akan terhambat.

Gangguan pendengaran pada anak usia dini merupakan suatu kecacatan yang tidak
nampak secara visual. Gangguan ini berbeda jika dibandingkan dengan kecacatan fisik lainya
yang secara visual sudah nampak jelas, sehingga deteksi dini gangguan pendengaran pada anak
usia dini relatif lebih sulit jika dibandingkan dengan gangguan pada fisik yang lainya. Penyebab
gangguan pendengaran pada bayi dan anak terjadi pada masa prenatal, perinatal dan postnatal.
Gangguan dengar atau kelainan pada masa prenatal dapat menyebabkan ketulian pada 3 bayi/tuli
sejak lahir.

Deteksi gangguan pendengaran dapat dilakukan sedini mungkin pada anak. Deteksi ini
penting karena sistem pendengaran memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
perkembangan anak usia (Martini, et all, 2017). Identifikasi gangguan pendengaran dapat melalui
pengamatan respon anak pada suara atau menggunakan alat sederhana atau canggih untuk
melakukan tes fungsi pendengaran. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik penanganan gangguan
pendengaran dilakukan pada usia dibawah 6 bulan (Wong D, 2014).

25
REFERENSI

1. Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi pendengaran perifer. Jurnal THT-KL.
Surabaya: 2009. Vol.2 (2); h. 76-85.
2. Muyassaroh. Deteksi Dini dan Habilitasi Gangguan Dengar pada Bayi dan Anak. Medica
Hospitalia. 2017; vol 4 (2) : 139–142.
3. Soepardi E A, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti R D. Gangguan pendengaran pada anak
dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta; 2007: h. 31-42.
4. WHO. Hearing Loss and Deafness.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/deafness-and-hearing-loss
5. Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja I. Skrining gangguan pendengaran pada
anak. Sari Pediatri: 2005. Vol. 6, No. 4; h. 149-154.
6. Jauhari. Deteksi gangguan pendengaran pada anak usia dini [internet]. [sitasi pada 25 Maret
2022]. Genious Indonesia Journal of Early Chilhood Eduacation. Jember: 2020; vol 1 no.1
hal. 61-71. Diunduh dari: http://genius.iain-jember.ac.id.
7. Soepardi E A, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti R D. Anatami dan fisiologi sistem
pendengaran dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher.
Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta; 2007: h. 10-16.
8. Soepardi E A, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti R D. Klasifikasi gangguan pendengaran
dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta; 2007: h. 22.
9. Azwar. Deteksi dini gangguan pendengaran pada anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala:
2013. Vol 3 (1); h. 59-64.
10. Health Technologi Assesment : Skrining pendengaran bayi baru lahir. DEPKES RI 2010.
11. Sarah, N.l.S., Memy, Y.D., Ghanie.A. Angka Kejadian Delayed Speech Disertai Gangguan
Pendengaran pada Anak yang Menjalani Pemeriksaan Pendengaran di Bagian Neurootologi
IKTHT-KL RSUP Dr.Moh. Hoesin. Jurnal kedokteran dan kesehatan. 2015.
12. National Deaf Children’s Society (NDCS). Hearing tests for babies and young children.
www.deafnessresearch.org.uk.
13. CDC. Hearing Loss in Children [internet]. 21 June 2021 [sitasi 02 April 2022]. Available
from: cdc.gov/ncbddd/hearingloss/treatment.html.

26
14. Shah UK. Hearing impairment in children [internet]. September 2020 [cited on 2 April
2022]. Available from: https://www.msdmanuals.com/home/children-s-health-issues/ear-
nose-and-throat-disorders-in-children/hearing-impairment-in-children.

27

Anda mungkin juga menyukai