Anda di halaman 1dari 16

TUNAWICARA

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Bimbingan dan Konseling Anak Berkebutuhan Khusus
yang dibina oleh ibu Dr. Arbin Janu Setiyowati, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Elcindi Lazuardin Z. 170111600109
Harost Birru Krisna 170111600123
Hani Rahmadiina 170111600....
M. Mifftah Arif 1701116000
Yasisatni Indah 170111600114

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
September 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan
karunianya, sehingga makalah tentang “Tuna Wicara” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada selaku dosen mata kuliah Bimbingan dan
Konseling Anak Berkebutuhan Khusus, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar.

Makalah ini disusun berdasarkan pengetahuan yang didapatkan oleh penulis dari buku,
jurnal, maupun dari berbagai sumber lainnya. Dengan demikian makalah ini membahas tentang
Tuna Wicara. Penulis menyadari bahwa makalah ini belum begitu memadai, masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu saran
dan kritik yang membangun sangat kami nantikan demi kesempurnaan makalah.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca dari berbagai kalangan khususnya untuk para mahasiswa.

Malang, September 2019

Penulis

ii

2
DAFTAR ISI
Cover ……………………………………………………………….i
Kata Pengantar …………………………………………………….....ii
Daftar Isi..........……………………………………………………….iii

1 .Bab 1 Pendahuluan .........................................................................4

1.1 Latar Belakang......................................................................4


1.2 Rumusan Masalah.................................................................4
1.3 Tujuan....................................................................................4

2. Bab 2 Pembahasan….......………………………………….……..5

2.1 Pengertian Tuna Wicara.........................................................5


2.2 Karakteristik Tuna Wicara.....................................................6
2.3 Faktor Penyebab.....................................................................6
2.4 Klasifikasi Tuna Wicara.........................................................7
2.5 Problematika dalam Pendidikan.............................................9
2.6 Pendidikan untuk anak Tuna Wicara.....................................11
2.7 Peran Bimbingan dan Konseling Bagi Anak Tuna Wicara...12

3.Bab 3 Penutup …….………………………...…….......…….…....14

3.1 Kesimpulan…………………………………………….......14

Daftar Rujukan …………………………………………………….15

iii

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah Pengertian dari Tuna Wicara?
2. Bagaimana Karakteristik Tuna Wicara?
3. Apa saja Faktor Penyebab Anak Tuna Wicara?
4. Bagaimana Klasifikasi Tuna Wicara?
5. Bagaimana Problematika dalam Pendidikan?
6. Bagaimana Pendidikan untuk anak Tuna Wicara?
7. Seperti Apa Peran Bimbingan dan Konseling Bagi Anak Tuna Wicara?
1.3 Tujuan
1. Memahami Pengertian dari Penderita Tuna Wicara
2. Mengetahui Karakteristik Tuna Wicara
3. Memahami Faktor Penyebab Tuna Wicara
4. Mengetahui Klasifikasi Tuna Wicara
5. Memahami Problematika dalam Pendidikan
6. Mengetahui Pendidikan untuk anak Tuna Wicara
7. Memahami Bagaimana Peran Bimbingan dan Konseling Bagi Anak Tuna Wicara

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tuna Wicara
Tunawicara merupakan individu yang mengalami kesulitan berbicara. Hal ini dapat
disebabkan oleh alat-alat bicara yang tidak befungsi maksimal, seperti rongga mulut, lidah,
langit-langit, dan pita suara. Selain itu organ pendengaran yang tidak berfungsi,
keterlambatan bahasa, kerusakan pada system saraf dan struktur otot, serta
ketidakmampuan mengontrol gerak juga dapat memicu keterbatasan dalam berbicara.
Diantara individu yang mengalami tunawicara, ada yang sama sekali tidak dapat berbicara,
mampu mengeluarkan bunyi tetapi tidak mengucapkan kata-kata, serta dapat berbicara
secara tidak jelas.
Menurut Olivia (2015:7) tuna wicara adalah keterbatasan pada bicara. Seseorang
penderita tuna rungu sejak lahir juga nasanya menderita tuna wicara, ketika tidak ada yang
didengarnya maka tidak ada juga yang dikatakannya. Namun tidak selalu orang yang
mengalami tuna wicara adalah juga penjandang tuna rungu. Tuna wicara yang tanpa diiringi
dengan tuna rungu biasanya dialami ketika orang itu beranjak dewasa seperti mengalami
gangguan kerusakan organ mulut atau mengalami keterlambatan berbicara yang terus
menerus yang disebabkan oleh rasa trauma yang pernah dialaminya.

Salah satu penyebab paling sering terjadi pada tunawicara adalah gangguan
pendengaran yang tidak terdeteksi secara dini. Dalam hal ini permasalahan paling mendasar
yang di alami orang tuli adalah kurangnya stimulasi bahasa sejak lahir.

Masalah utama pada diri seorang tinawicara adalah mengalami gangguan atau bahkan
kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu) dan atau fungsi bicara (tunawicara) yang
disebabkan bawaan lahir, kecelakaan, ataupun penyakit. Pada umumnya, anak dengan
gangguan dengar yang disebabkan karena factor bawaan (keturunan/genetika) akan
berdampak pada kemampuan bicara, walaupun tidak selalu. Sebaliknya, anak yang
mengalami gangguan bicara biasanya masih dapat menggunakan fungsi pendengarannya.

Jika terdapat siswa yang memiliki gangguan tunawicara, perhatian khusus dari sekolah
terutanam para guru kelas harus diberikan. Bentuk perhatian khusus yang paling utama
adalah memberikan penanganan khusus agar siswa tunawicara tetap berkesempatan
menempuh proses belajar-mengajar secara lancar.

5
2.2 Karakteristik Tuna Wicara

Menurut Wasita (2014:25) karakteristik tunawicara hampir sama dengan tunarungu, antara
lain:

1. Berbicara keras dan tidak jelas


2. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya
3. Telinga mengeluarkan cairan
4. Menggunakan alat bantu dengar
5. Bibir sumbing
6. Suka melakukan gerakan tubuh
7. Cenderung pendiam
8. Suara sengau
9. Cadel

2.3 Faktor Penyebab

Sardjono (1997: 10-20) menyebutkan bahwa penyebab anak tunarungu dapat dikategorikan
sebagai berikut.

1. Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (pre natal)


a. Faktor keturunan
b. Cacar air, campak (Rubella, Gueman measles)
c. Terjadi toxaemia (keracunan darah)
d. Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar
e. Kekurangan oksigen (anoxia)
2. Faktor-faktor saat anak dilahirkan (natal)
a. Faktor Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis
b. Anak lahir pre mature
c. Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)
d. Proses kelahiran yang terlalu lama
3. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (post natal)
a. Infeksi
b. Meningitis (peradangan selaput otak)
c. Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan

6
d. Otitis media yang kronis
e. terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan

Sedangkan menurut Trybus (1985) dalam Somat dan Hernawati (1996:27) menyebutkan
enam penyebab tunarungu:

1. Keturunan
2. Penyakit bawaan dari pihak ibu
3. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
4. Radang selaput otak (mengikis)
5. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)
6. Penyakit anak-anak berupa radang atau luka-luka

2.4 Klasifikasi Tuna Wicara


A. Akbar Rasyid mengelompokkan gangguan dengar/wicara melalui uraian berikut ini.
1. Ringan (20-30 dB)
Pada umumnya, penderita masih dapat berkomunikasi dengan baik. Hanya saja,
terdapat kata-kata tertentu yang tidak mampu didengar secara langsung sehingga
pemahaman penderita sedikit terhambat.
2. Sedang (40-60 dB)
Penderita mulai mengalami kesulitan dalam memahami pembicaraan orang lain.
Bunyi yang mampu didengar oleh penderita adalah suara radio dengan volume
maksimal.
3. Berat/Parah (>60 dB)
Penderita tunawicara tingkat ini sudah megalami kesulitan untukmengikuti
pembicaraan orang lain. Suara yang mampu didengar sama dengan situasi lalu lintas
jalan raya pada jam sibuk. Bisanya penderita dalam kategori ini sudah
menggunakan alat bantu dengar, mengandalkan kemampuan membaca gerak bibir,
atau menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
B. Tanda-tanda Tuna Wicara
Biasanya, tanda-tanda tunawicara dapat dilihat melalui beberapa hal, di antaranya
sulit mengikuti percakapan normal, selalu memerhatikan mimic atau bibir lawan bicara,
sering menghindar percakapan, suka menyendiri, berbicara dengan suara keras, nada
bicara tidak normal, mengungkapkan kalimat secara kurang lancar, serta menggunakan
bahasa isyarat.

7
C. Penanganan Siswa Tuna Wicara

Bukan perkara mudah bagi orang tua menghadapi kenyataan memiliki anak
tunawicara.Jika orang tua tersebut kurang memahami berbagai masalah tunawicara
maka perkembangan sang anak akan semakin mengkhawatirkan.Oleh karena itu,orang
tua patut memahami apa dan bagaimana tuna wicara serta penanganan yang harus
dilakukan guna mencapai keberhasilan pada tugas perkembangan anak.
Selain perhatian khusus ,orangtua dan guru juga harus melakukan beberapa langkah
sederhana berikut ini

1. Berbicara Secara Jelas dengan Ucapan yang Benar


Didalam kelas ,seoarang guru harus memperlakukan siswa tunawicara secara lebih
berhati-hati dalam berbicara ataupun menjelaskan pelajaran.Guru harus senantiasa
berbicara dengan bahasa jelas dan ucapan yang benar.Dengan Bahasa yang jelas ,
siswa tunawicara akan lebih mudah menangkap dan memahami
pembicaraan.Begitu pula ucapan yang benar akan memudahkan murid memahami
aksud dan pesan dari sang guru.Bila perlu, ketika siswa tersebut masih kesulitaan
memahami pelajaran , guru dapat mengulangi penyampaian pesan secara sabar dan
perlahan
2. Menggunakan Kalimat Sederhana dan Singkat
Kalimat sederhana tentu tidak bertele-tele.Dengan kata lain, kalimat tersebut tidak
mengandung pemborosan ketika hanya menyampaikan suatu hal.Kalimat sederhana
yang digunakan kebanyakan hanya berupa subjek,predikat dan objek.Dengan
menggunakan kalimat sederhana ,siswa akan lebih mudah menangkap pesan utama
yang ingin disampaikan olehsang guru.Hal ini ditambah kalimat singkat yang dapat
langsung mengena pada sasaran pesan.Melalui cara tersebut, sisawa yang mengalai
ganggungan tunawicara sekalipun dapat memahami kalimat secara lebih mudah
3. Menerapkan Komunikasi Nonverbal seperti Gerak Bibir Atau Tangan
Siswa yang menderita tunawicara mengalami kesulitan dalam berbicara.Penyebab
dari hal itu bermacam-macam,salah satunya ganggunan pendengaran atau
tunarungu . Jika penyebabnya adalah tunarungu maka guru dapat
mengkombinasikan penangangan dengan menerpakan komunikasi non verbal .
seperti gerak bibir dan tangan.Gerakan bibir seperti ini berguna untuk memudahkan
siswa memahami pesan yang disampaikan guru.Siswa akan memahami gerak bibir

8
dengan cara menyamakan bahasa , kalimat dalam berbicara .Adapun gerakana
tangan boleh jadi merupakan isyarat untuk menegaskan pesan yang disampaikan
bibir.Sebagai contoh, guru mengatakan “tidak” terhadap gerakan bibir yan jelas dan
tepat, kemudian hal itu perkuat dengan gerakan tangan pertanda larangan
4. Gunakan Pulpen dan ertas untuk Menyampaikan Pesan
Pesan dapat pula disampaikan menggunakan tulisan . Dalam cara komunikasi ini,
guru dapat menyampaikan pesan atau pembelajaran kepada siswa tunawicara
dengan menuliskan kalimat sederhana,singkat dan jelas.Pentingnyaa kalimat
singkat dan sederhana telah dibahas pada bagian sebelumnya .Adapun Kejelasan
tulisan berguna membantu siswa tunawicara menangkap pesan dengan
menggunakan indra penglihatan.Sebaliknya , ketidak jelasan dalam menulis akan
menyebabkan murid tunawicara bertambah pusing, sekalipun kalimatnya sederhana
dan singkat
5. Bicara Berhadapan Muka
Setiap perbincangan atau komunikasi yang dilakukan secara langsung oleh murid
tunawicara hendaknya juga dilakukan dengan menghadap wajahnya.Keharusan
berhapadan disebabkan tunawicara juga dapat mengalami tunarungu dimana indra
pendengaran sulit menangkap pesan dari guru yang disampaikan.Jika sudah
demikian maka siswa tersebut akan menggunakana indra lain untuk menangkap dan
memahami pesan tersebut.Selain itu, siswa tunawicara juga menggunakan mata
dalam memahami pesan komunikasi yang sedang disampaikan oleh guru.Dengan
demikian ,guru hendaknya selalu berkomunikasi dengan berhadpan muka secara
langsung
2.5 Problematika dalam Pendidikan dan Dampaknya
1. Kurangnya Sarana Dan Prasarana Yang Mendukung Pembelajaran
Khususnya bagi penderita tunawicara. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 junto No. 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan dan No. 24 Tahun
2007 tentang standar Sarana dan Prasarana Sekolah. Pada BAB VII Pasal 42 PP
32/2013 disebutkan bahwa: (a) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang
meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber ajar
lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan, (b) Setiap satuan pendidikan wajib
memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan
pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium,

9
ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat
berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, ruang/tempat lain
yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Dampak: Akibatnya siswa tidak mendapatkan kesempatan secara penuh untuk sarana-
prasarana dari sekolah, hal tersebut dapat memperlambat proses pembelajarannya siswa
secara berlangsung.
2. Kurangnya Alokasi Waktu Yang Diberikan Untuk Memberikan Pembelajaran Bagi
Siswa Tunawicara.
Alokasi waktu disini bisa diartikan sebagai sebuah intensitas. Keberhasilan
dalam sebuah proses pendidikan baik formal maupun nonformal tentunya tidak lepas
dari komunikasi yang baik antar warga belajar, karena salah satu fungsi dari komunikasi
yang paling mendasar adalah mendidik (to educate), dimana komunikasi dilakukan
untuk memberikan pendidikan (Nolvy Ruata, 2014). Sardiman, dalam bukunya
Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, menyatakan bahwa intensitas belajar siswa
sangat menentukan tingkat pencapaian tujuan belajarnya yakni tingkatan hasil
belajarnya. Dengan demikian, siswa dapat memperoleh beberapa kemudahan dalam
belajar, seperti dapat mengatur waktu belajar, membangkitkan motivasi dan lebih
mudah mengingat materi pembelajaran karena apabila ada beban belajar yang lebih
besar maka ia dapat mempersiapkan diri karena ia rutin belajar (Sardiman, 2012).
Sehingga, ketika intensitas pertemuan pembelajaran rendah maka akan berimbas
kepada prestasi belajar siswa (Fahmi, 2016).
Dampak: Intensitas belajar siswa sangat menentukan tingkat pencapaian tujuan
belajarnya yakni tingkatan hasil belajarnya, tetapi jika alokasi waktu tidak diberikan
secara penuh, hal tersebut dapat berdampak untuk siswa itu sendiri, alhasil siswa tidak
mudah cepat dalam memahami materi yang diberikan guru atau pun lamban dalam
mengerjar materi yang diberikan guru, hal tersebut dapat mempengaruhi hasil belajar
siswa nantinya.
3. Kurangnya Dukungan Dari Orang Tua Siswa
Menurut teori perkembangan sosial Vygotsky, mengatakan bahwa anak
membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang
dihadapinya (Danoebroto, 2015). Menurut Yuliani, dalam bukunya Metode
Pengembangan Kognitif, menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam proses pembelajaran, yaitu (Sujiono, 2005): (a) dalam kegiatan pembelajaran
hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona

10
perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. (b)
pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada
perkembangan aktualnya. (c) pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi
untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan
intramentalnya. (d) Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan
pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah. Selain itu, Slameto dalam bukunya
Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, mengungkapkan bahwa faktor
intern (dari dalam diri) terdiri dari tiga faktor yaitu faktor jasmaniah, faktor psikologis,
dan faktor kelelahan. Sementara itu, faktor-faktor ekstern (dari luar diri) terdiri dari tiga
faktor yaitu faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Oleh karena itu,
faktor-faktor tersebut tidak boleh disepelekan oleh guru maupun orang tua sebagai
pendidik di rumah (Slameto, 2010). Dari pernyataan diatas, maka bisa disimpulkan
bahwa keberadaan lingkungan sekitar (dalam hal ini, khususnya keberadaan orang tua
di samping anak) memberikan kontribusi yang besar keberhasilan pembelajaran anak
didik. Apalagi kondisi anak didik yang memiliki ketunaan, mereka membutuhkan
perhatian yang yang lebih dibandingkan anak normal lainnya. Dikarenakan mereka
memiliki kekurangan di salah satu anggota tubuhnya, sehingga
Dampak: Menyebabkan muncul rasa minder atau rendah diri yang akan berakibat
mereka meminta perhatian lebih yang berupa pengakuan

2.6 Pendidikan untuk anak Tuna Wicara


Anak tuna wicara perlu di tampung dan diberi pendidikan seperlunya disesuaikan
dengan ketunaannya. Sekolah yang khusus menanpung anak tuna wicara disebut sekolah
luar biasa bagian B. (SLB B). Berpangkal pada ketentuan-ketentuan bahwa : “-segala warga
Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahaan (pasal 27 ayat 1
UUD 45). Kemudian bahwa : Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran (
pasal 31 ayat 1 UUD 45) Juga dalam uu no.12 tahun 1954 sebagai undang-undang pokok
pendidikan, menetapkan antara lain sebagai berikut :
1. Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas dalam pancasila, undang-
undang dasar negara Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan (bab III, pasal 4 )
2. Pendidikan dan pengajar luar biasa di berikan dengan khusus untuk mereka yang
membutuhkan (pasal 6 ayat 2)

11
3. Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud pada orang-orang yang dalam
keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya, supaya mereka dapat memiliki
kehidupan lahir batin yang layak (pasal 7 ayat 5).

Berdasarkan pedoman pelaksanaan kurikulum SLB untuk tuna wicara bagian B tahun
1977 buku III A 1 dijelaskan kurikulum SLB / B 1976 mengarahkan pada suatu pengajaran
bahasa untuk membentuk tuna wicara yang memiliki sikap dan bagian mata, dimana
diperhatikan keseluruhan hidup manusia yang cacat pendengaran dengan segala akibatnya
dan kekhasannya sebagai manusia “Pemata” dan diusahakan menyusun hubungan
pengertian yang akumulatif dengan keadaan hidup sesengguhnya, yang mencakup
kenyataan dan lingkungan sekitar, tetapi tugas – tugas sosial, budaya dana politik dalam
masyarakat.

2.7 Peran Bimbingan dan Konseling Bagi Anak Tuna Wicara

Persoalan bagi konselor yang menghadapi anak berkebutuhan khusus terutama pada anak
tuna wicara yang mengalami permasalahan yang berkaitan dengan eksistensinya sebagai
anak tuna wicara. Konselor dapat memberikan layanan dan menerapkan proses konseling
yang sesuai dengan kebutuhan penyandang tuna wicara. Ada beberapa upaya yang
dilakukan oleh sekolah dan konselor untuk pengembangan anak yang memiliki kebutuhan
khusus dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Full Inclusion (integrasi penuh) Melalui Program Mentoring


Giangreco dalam Atmaja (2017:88) mengemukakan bahwa definisi full
inclusion adalah sebagai suatu keberadaan dimana hanya terdapat satu kesatuan
sistem pendidikan formal yang meliputi semua anggota atau peserta didik secara
wajar tanpa memandang perbedaan status mereka. Cara ini tidak diartikan bahwa
semua siswa akan di didik menggunakan metode pengajaran yang sama. Namun
dengan cara merefleksikan pada kemampuan dan kebutuhan setiap siswa dengan
dukungan yang di perlukan untuk meningkatkan keberhasilan. Dukungan yang
diberikan adalah dengan bentuk pengajaran yang khusus dengan berkerjasama antara
guru pendidik umum dengan stafpendidik khusus dan konselor sekolah agar layanan
yang diberikan sekolah dapat berjalan dengan baik bagi semua siswa.
Tujuan utama dari full inclusion adalah meningkatkan hubungan teman
sebayanya agar anak yang memiliki kebutuhan khusus tersebut dapat berkembang dan

12
memiliki peranan yang normal sama seperti anak normal lainnya, serta lebih
memudahkan untuk mengarahkan anak berkebutuhan khusus ini agar dapat
menunjukkan perilak selayaknya anak-anak lain yang mampu mengembangkan aspek
yang dililiki secara penuh.
b. Melibatkan orang tua dalam bimbingan intervensi optimalisasi kemandirian anak
tuna wicara
Bimbingan kepada orang tua bertujuan agar orang tua lebih memahami
tentang keadaan dan kebutuhan anaknya yang tuna wicara , memberikan pemahaman
kepada orang tua juga bahwa harus dapat menghargai pekerjaan atau pilihan yang di
ambil oleh anaknya meskopun nantinya akan jauh dari keinginan orang tua yang di
anggap lebih baik pilihan nya dari pada pilihan yang di pilih oleh anaknya.
c. Memiliki konselor yang kompeten dalam hal menangani anak berkebutuhan khusus
Seorang petugas bimbingan atau guru BK harus memiliki latar belakang mengenali
tingkah laku anak berkebutuhan khusus termasuk tuna wicara. Pengetahuan ini
diperlukan untuk dapat memahami kepribadian setiap anak. Pelaksanaan bimbingan
bagi anak tuna wicara adalah mengharapkan seorang konselor harus mampu
membangitkan kepercayaan dirinya, berfikir baik dan berinteraksi sosial di
lingkungannya, serta mampu membuat atau menyadarkan anak tuna wicara untuk
menerima dan mengerti batas kemampuannya tanpa memiliki rasa penyesalan pada
dirinya atau merasa rendah diri.

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

14
DAFTAR RUJUKAN

Atmaja, Jati Rinakri. 2017. Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus.
Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Olivia, Stella. 2015. Deteksi Dini Psikologi Balita Hingga Manula. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Putranto, Bambang. 2015. Tips Menangani Siswa yang Membutuhkan Perhatian Khusus.
Yogyakarta: Diva Press
Wasita, Ahmad. 2014. Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara Serta Strategi
Pembelajarannya. Jogjakarta: Javalitera

15
16

Anda mungkin juga menyukai