Anda di halaman 1dari 71

1

SEMINAR KASUS GERONTIK


ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN DIAGNOSA MEDIS
STROKE DAN MASALAH KEPERAWATAN UTAMA HAMBATAN
KOMUNIKASI VERBAL DI GRAHA ADIYUSWA SURABAYA
RSUD DR SUTOMO

Disusun Oleh :
KELOMPOK B2a

1. Achmad Ibrahim, S.Kep 131823143022


2. Fiqih Ardi Pradana, S.Kep 131823143023
3. Heriberta Tuto Suban, S.Kep 131823143024
4. Lilik Manowati, S.Kep 131823143027
5. Mas Sonia Nabela, S.Kep 131823143029
6. Firda Dwi Yuliana, S.Kep 131823143032
7. Dewi Masruroh, S.Kep 131823143033
8. Melan Apriaty Simbolon, S.Kep 131823143071
9. Lia Wahyu Utami, S.Kep 131823143072

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
i

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
KATA PENGANTAR 2
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 3
1.3 Tujuan............................................................................................................3
1.4 Manfaat.........................................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Proses Penuaan............................................................................................... 5
2.2 Konsep Hambatan komunikasi verbal..........................................................12
2.3 Konsep Penyakit Stroke................................................................................20
2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Menurut Teori A.Miller................................31
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 38
1. Kemampuan ADL....................................................................................45
2. MMSE (Mini Mental Status Exam)........................................................ 46
3. Tes Keseimbangan...................................................................................48
4. GDS.........................................................................................................49
5. Status Nutrisi...........................................................................................48
6. Fungsi sosial lansia..................................................................................49
7. Pengkajian kualitas tidur (PSQI).............................................................51
Analisa Data....................................................................................................53
Prioritas Diagnosis Keperawatan :..................................................................54
Rencana Asuhan Keperawatan........................................................................55
Format Implementasi & Evaluasi................................................................... 58
BAB 4 PEMBAHASAN 62
BAB 5 PENUTUP 71
5.1 Kesimpulan...................................................................................................71
5.2 Saran.............................................................................................................71

i
ii

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………....72


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kehadapan Allah SWT karena atas


berkat dan rahmat-Nya lah penyusun dapat menyelesaikan laporan seminar
Profesi Keperawatan Gerontik di Poli Geriatri Adiyuswa RSUD DR Soetomo
Surabaya tepat pada waktunya. Penyusun menyadari bahwa tanpa bantuan,
dukungan, serta bimbingan dari berbagai pihak, sulit bagi penyusun untuk
menyelesaikan tugas ini. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)., selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga Surabaya yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian ini.
2. Dr Kusnanto, S.Kp., M.Kes., selaku wakil dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga Surabaya yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada kami untuk mengikuti dan menyeleseikan Pendidikan
Ners.
3. Ibu Rista Fauziningtyas, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku penanggung jawab
Praktik Profesi keperawatan Gerontik Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga yang telah banyak mendukung sehingga laporan desimininasi
akhir ini dapat terselesaikan.
4. Segenap dosen pembimbing praktik keperawatan gerontik profesi ners
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu, koreksi, saran,
dan motivasi dengan penuh kesabaran.
5. Kepala Poli Geriatri RSUD DR Soetomo Surabaya yang telah
memfasilitasi kami untuk memperdalam ilmu keperawatan gerontik.
6. Segenap perawat dan staff Poli Geriatri RSUD DR Soetomo Surabaya
yang telah banyak membantu dan memotivasi kami sehingga laporan
desiminasi akhir dapat terselesaikan.
7. Rekan-rekan angkatan B20 Pendidikan Profesi Ners FKp UNAIR
Kelompok B4B praktik profesi keperawatan gerontik, yang telah banyak
membantu selama proses penyusunan laporan seminar ini

ii
iii

Semoga Allah SWT senantiasa membalas budi baik semua pihak yang telah
memberikan kesempatan, dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan laporan
akhir ini

Surabaya, 19 Juli 2019


1

BAB 1 PENDAHULUAN
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


A. Latar Belakang
Menua atau menjadi tua merupakan tahap akhir dari kehidupan dan pasti
akan terjadi pada semua mahkluk hidup. Menua bukanlah suatu penyakit
melainkan proses berangsur angsur dan berakibat pada perubahan biologis,
psikologis, sosial dan spiritual (Nugroho, 2015). Lansia merupakan kelompok
yang rentan terhadap masalah. Masalah yang berhubungan dengan lanjut usia
yaitu masalah kesehatan fisik , mental, sosial, ekonomi psikologi. Pada masalah
kesehatan fisik, terjadi penurunan struktur dan fungsi organ tubuh sehingga lansia
lebih rentan terhadap berbagai penyakit degeneratif maupun infeksi ( Darmojo &
Martono,2010). Salah satu penyakit yang sering di alami oleh lansia adalah
stroke. Stroke memiliki tingkat mortalitas yang tinggi sebagai penyakit terbanyak
ketiga yang menyebabkan kematian di dunia setelah Jantung dan Kanker. Stroke
dapat mengganggu lansia dalam berkomunikasi dikarenakan gangguan pada pusat
saraf yang membuat lansia dengan stroke dapat mengalami kesulitan berbicara.
Prevalensi stroke di Indonesia mengalami peningkatan. Riskesdes 2018
menunjukan prevalensi stroke mengalami kenaikan dibanding Riskesdes 2013
yaitu dari 7% menjadi 10,9%. prevalensi stroke juga meningkat seiring
bertambahnya usia. Kasus stroke tertinggi adalah usia 75 tahun ke atas (50,2 %)
dan lebih banyak pria (11 %), dibandingkan dengan wanita (10,9%) (Riskesdes
2018). Masalah keperawatan yang muncul pada stroke yang paling banyak
muncul adalah gangguan mobilisasi, hambatan komunikasi verbal dan risiko
jatuh. Kemudian, masalah lansia yang terdapat di poli geriatri RSUD Dr Soetomo
Surabaya sangat kompleks. Data pada 1-17 Juli 2019, terdapat masalah pada
lansia antara lain nyeri kronis 72 kasus (33,9%), gangguan mobilisasi 30
kasus(14,9%), ketidakefektifan curah jantung 29 kasus (13,7%), risiko jatuh 21
kasus (9,9%), bersihan jalan napas 17 kasus (8%), gangguan pola tidur 12 kasus
(5,6%), ketidakefektifan perfusi jaringan perifer 10 kasus (4,7%), hambatan
komunikasi verbal 9 kasus (4,2%), gangguan memori 8 kasus (3,8%) dan luka
tekan 4 kasus (1,9%).

1
2

Kelumpuhan pada saraf motorik yang mengatur pergerakan bibir dan lidah
menyebabkan gangguan dalam bicara (cedal) pada pasien stroke (Mardjono &
Sidharta, 2009). Demikian pula menurut Lindsay & Bone (2004) defisit
komunikasi verbal pada pasien stroke disebabkan kelumpuhan otot sekitar mulut
dan lidah seperti otot stiloglosus, hipoglosus, genioglosus, longitudinalis superior
inferior, otot masetter, bucinator dan pallatum. Kelumpuhan pada otot ini
menyebabkan gangguan dalam proses menghasilkan suara dalam berbicara, maka
diperlukan latihan bicara yang dapat meningkatkan kekuatan otot agar artikulasi
menjadi jelas (Lof, 2006). Pasien dengan disartria berbicara lirih, kesulitan
menggerakkan lidah, rahang dan mulut saat ingin berbicara. Selayaknya yang
terjadi pada pasienpasien disartria dimana disartria adalah motor speech disorder.
Otot-otot mulut, wajah dan sistem pernapasan menjadi lemah, sulit digerakkan
atau dapat tidak berfungsi sama sekali (Ghina, 2014). Orang dengan kesulitan
bicara (misalnya pasien disartria) akan di evaluasi (American speech language
hearing association, 2014). Sifat dan tingkat keparahan akan ditentukan.
Kemudian akan dilakukan latihan bicara yang bertujuan; memperlambat
kecepatan bicara; meningkatkan breath support; meningkatkan gerakan mulut,
lidah dan bibir; meningkatkan artikulasi agar berbicara lebih jelas; pengajaran
kepada pengasuh; anggota keluarga dan guru untuk berkomunikasi lebih baik
dengan pasien disartria.
Komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan
hidup diri sendiri yang meliputi keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran
pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi
pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk
memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat
tersebut (Pearson dan Nelson dalam Mulyana, 2009:5)
Semakin tua umur seseorang, maka semakin rentan seseorang tersebut
mengenai kesehatannya. Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal
pada pasien lanjut usia, atau selanjutnya penulis sebut sebagai lansia tidak hanya
bergantung kepada kebutuhan biomedis semata namun juga bergantung kepada
kondisi disekitarnya, seperti perhatian yang lebih terhadap keadaan sosialnya,
ekonominya, kulturalnya, bahkan psikologisnya dari pasien tersebut. Walaupun
seperti kita ketahui pelayanan kesehatan dari waktu ke waktu mengalami
3

perbaikan yang cukup signifikan pada pasien lansia, namun mereka pada akhirnya
tetap memerlukan komunikasi yang baik dan empati juga perhatian yang “cukup”
dari berbagai pihak, terutama dari keluarganya sebagai bagian penting dalam
penanganan masalah kesehatan mereka. Purwaningsih dan Karlina (2012)
menyebutkan bahwa hubungan saling memberi dan menerima antara perawat dan
pasien dalam pelayanan keperawatan disebut sebagai komunikasi terapeutik
perawat yang merupakan komunikasi profesional perawat. Komunikasi terapeutik
sangat penting dan berguna bagi pasien, karena komunikasi yang baik dapat
memberikan pengertian tingkah laku pasien dan membantu pasien dalam meng
Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat kesulitan dalam berbicara
dan dapat mengalami hambatan komunikasi verbal, maka perlu teknik perawatan
perawatan yang harus diajarkan kepada keluarga dan pasien. Oleh karena itu
dilakukanlah home care yang dilakukan oleh pihak poli geriatri RSUD Dr
Soetomo Surabaya dengan beberapa mahasiswa profesi ners Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga. Dari kasus tersebut, maka penulis tertarik
mengangkat kasus tersebut sebagai bahan seminar keperawatan gerontik.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan keperawatan lansia dengan diagnose medis stroke
dengan hambatan komunikasi verbal?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu
melakukan Asuhan keperawatan pada klien lansia dengan penyakit sroke
dengan masalah keperawatan immobilisasi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep dari proses penuaan
2. Menjelaskan konsep dari komunikasi terhadap lansia
3. Menjelaskan konsep penyakit stroke
4. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan menurut teori A. Miller

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis


4

Hasil seminar ini dapat dijadikan bahan pengembangan ilmu keperawatan


khususnya keperawatan gerontik terkait dengan diagnosa stroke dengan
imobilisasi
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi profesi keperawatan
Menambah wawasan dalam memberikan asuhan keperawatan gerontik
terkait dengan diagnosa stroke dengan imobilisasi
2. Bagi Poli Geriatrik
Hasil seminar ini diharapkan menjadi informasi bagi Poli terkait dengan
asuhan keperawatan gerontik terkait dengan diagnosa stroke dengan
imobilisasi.
5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Penuaan


2.1.1 Pengerian Lansia
Masa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara 65-67 tahun
(Potter & Perry, 2005). Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya
kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan
dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia
mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup
berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki
selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa
orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya
dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004
dalam Psychologymania, 2013).
2.1.2 Proses Menua
Proses menua merupakan suatu proses yang wajar, bersifat alami dan
pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang (Nugroho,
2000).
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang
dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu (Stanley and Patricia, 2006).
2.1.3 Teori Proses Menua
Teori proses menua menurut Potter dan Perry (2005) yaitu sebagai berikut:
1. Teori Biologis
a. Teori radikal bebas
Radikal bebas merupakan contoh produk sampah metabolisme yang
dapat menyebabkan kerusakan apabila terjadi akumulasi. Normalnya
radikal bebas akan dihancurkan oleh enzim pelindung, namun beberapa
berhasil lolos dan berakumulasi di dalam organ tubuh. Radikal bebas yang
terdapat di lingkungan seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar
ultraviolet, mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses
penuaan. Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena itu, radikal
bebas dapat menyebabkan gangguan genetik dan menghasilkan produk-

5
6

produk limbah yang menumpuk di dalam inti dan sitoplasma. Ketika


radikal bebas menyerang molekul, akan terjadi kerusakan membran sel;
penuaan diperkirakan karena kerusakan sel akumulatif yang pada akhirnya
mengganggu fungsi. Dukungan untuk teori radikal bebas ditemukan dalam
lipofusin, bahan limbah berpigmen yang kaya lemak dan protein. Peran
lipofusin pada penuaan mungkin kemampuannya untuk mengganggu
transportasi sel dan replikasi DNA. Lipofusin, yang menyebabkan bintik-
bintik penuaan, adalah dengan produk oksidasi dan oleh karena itu
tampaknya terkait dengan radikal bebas.
b. Teori cross-link
Teori cross-link dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul kolagen
dan elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa yang lama
meningkatkan regiditas sel, cross-linkage diperkirakan akibat reaksi kimia
yang menimbulkan senyawa antara melokul-melokul yang normalnya
terpisah (Ebersole & Hess, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
c. Teori imunologis
Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan. Selama
proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami kemunduran dalam
pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga
pada lamsia akan sangat mudah mengalami infeksi dan kanker.perubahan
sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga
tidak adanya keseimbangan dalam sel T intuk memproduksi antibodi dan
kekebalan tubuh menurun. Pada sistem imun akan terbentuk autoimun
tubuh. Perubahan yang terjadi merupakan pengalihan integritas sistem
tubuh untuk melawan sistem imun itu sendiri.
2. Teori Psikososial
a. Teori Disengagement (Penarikan Diri)
Teori ini menggambarkan penarikan diri oleh lansia dari peran
masyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan dikatakan bahagia
apabila kontak sosial telah berkurang dan tanggungjawab telah diambil
oleh generasi yang lebih muda. Manfaat dari pengurangan kontak sosial
bagi lansia adalah agar dapat menyediakan eaktu untuk mengrefleksi
kembali pencapaian yang telah dialami dan untuk menghadapi harapan
yang belum dicapai.
b. Teori Aktivitas
7

Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju penuaan yang


sukses maka ia harus tetap beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan
dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi
dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia.
Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran lansia secara
negatif mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik
yang berkesinambungan akan memelihara kesehatan sepanjang kehidupan.
c. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai kemungkinan
kelanjutan dari perilaku yang sering dilakukan klien pada usia dewasa.
Perilaku hidup yang membahayakan kesehatan dapat berlangsung hingga
usia lanjut dan akan semakin menurunkan kualitas hidup.

2.1.4 Tugas Perkembangan Lansia

Menurut Patricia Gonce Morton dkk, 2011 tugas perkembangan keluarg


yaitu:
1. Memutuskan dimana dan bagaimana akan menjalani hidup selama sisa
umurnya.
2. Memelihara hubungan yang suportif, intim dan memuaskan dengan
pasangan hidupnya, keluarga, dan teman.
3. Memelihara lingkungan rumah yang adekuat dan memuaskan terkait
dengan status kesehatan dan ekonomi
4. Menyiapkan pendapatan yang memadai
5. Memelihara tingkat kesehatan yang maksimal
6. Mendapatkan perawatan kesehatan dan gigi yang komprehensif
7. Memelihara kebersihan diri
8. Menjaga komunikasi dan kontak yang adekuat dengan keluarga dan
teman
9. Memelihara keterlibatan social, sipil dan politisi
10. Memulai hobi baru (selain kegiatan sebelumnya) yang meningkatkan
status
11. Mengakui dan merasakan bahwa ia dibutuhkan
12. Menemukan arti hidup setelah pension dan saat menghadapi penyakit
diri dan pasangan hidup dan kematian pasangan hidup dan orang yang
disayangi; menyesuaikan diri dengan orang yang disayangi
13. Membangun filosofi hidup yang bermakna dan menemukan
kenyamanan dalam filosofi atau agama.
2.1.5 Batasan Lanjut Usia
8

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO dalam Psychologymania,


2013 batasan lanjut usia meliputi :
1. Lanjut usia (elderly) antara usia 60-74 tahun.
2. Lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun.
3. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
2.1.6 Tanda dan Gejala

Tanda dan Gejala menurut Patricia Gonce Morton dkk, 2011 yaitu:
1. Perubahan Organik
a. Jumlah jaringan ikat dan kolagen meningkat.
b. Unsur seluler pada sistem saraf, otot, dan organ vital lainnya
menghilang.
c. Jumlah sel yang berfungsi normal menurun.
d. Jumlah lemak meningkat.
e. Penggunaan oksigen menurun.
f. Selama istirahat, jumlah darah yang dipompakan menurun.
g. Jumlah udara yang diekspirasi paru lebih sedikit.
h. Ekskresi hormon menurun.
i. Aktivitas sensorik dan persepsi menurun
j. Penyerapan lemak, protein, dan karbohidrat menurun.
k. Lumen arteri menebal
9

2. Sistem Persarafan
Tanda :
a. Penurunan jumlah neuron dan peningkatan ukuran dan jumlah sel
neuroglial.
b. Penurunan syaraf dan serabut syaraf.
c. Atrofi otak dan peningkatan ruang mati dalam kranim
d. Penebalan leptomeninges di medulla spinalis.
Gejala :
a. Peningkatan risiko masalah neurologis; cedera serebrovaskuler,
parkinsonisme
b. Konduksi serabut saraf melintasi sinaps makin lambat
c. Penurunan ingatan jangka-pendek derajad sedang
d. Gangguan pola gaya berjalan; kaki dilebarkan, langkah pendek,
dan menekukke depan
e. Peningkatan risiko hemoragi sebelum muncul gejala
3. Sistem Pendengaran.
Tanda :
a. Hilangnya neuron auditorius
b. Kehilangan pendengaran dari frekuensi tinggi ke frekuensi rendah
c. Peningkatan serumen
d. Angiosklerosis telinga
Gejala
a. Penurunan ketajaman pendengaran dan isolasi social (khususnya,
penurunan kemampuan untuk mendengar konsonan)
b. Sulit mendengar, khususnya bila ada suara latar belakang yang
mengganggu, atau bila percakapan cepat.
c. Impaksi serumen dapat menyebabkan kehilangan pendengaran
4. Sistem Penglihatan
Tanda :
a. Penurunan fungsi sel batang dan sel kerucut
b. Penumpukan pigmen.
c. Penurunan kecepatan gerakan mata.
d. Atrofi otot silier.
e. Peningkatan ukuran lensa dan penguningan lensa
f. Penurunan sekresi air mata.
Gejala :
a. Penurunan ketajaman penglihatan,lapang penglihatan, dan adaptasi
terhadap terang/gelap
b. Peningkatan kepekaan terhadap cahaya yang menyilaukan
c. Peningkatan insiden glaucoma
d. Gangguan persepsi kedalaman dengan peningkatan kejadian jatuh
10

e. Kurang dapat membedakan warna biru, hijau,dan violet


f. Peningkatan kekeringandan iritasi mata.
5. Sistem Kardiovaskuler
Tanda :
a. Atrofi serat otot yang melapisi endokardium
b. Aterosklerosis pembuluh darah
c. Peningkatan tekanan darah sistolik.
d. Penurunan komplian ventrikel kiri.
e. Penurunan jumlah sel pacemaker
f. Penurunan kepekaan terhadap baroreseptor.
Gejala :
a. Peningkatan tekanan darah
b. Peningkatan penekanan pada kontraksi atrium dengan S4 terdengar
c. Peningkatan aritmia
d. Peningkatan resiko hipotensi pada perubahan posisi
e. Menuver valsava dapat menyebabkan penurunan tekanan darah
f. Penurunan toleransi
6. Sistem Respirasi
Tanda :
a. Penurunan elastisitas jaringan paru.
b. Kalsifikasi dinding dada.
c. Atrofi silia.
d. Penurunan kekuatan otot pernafasan.
e. Penurunan tekanan parsial oksigen arteri (PaO2).
Gejala :
a. Penurunan efisiensi pertukaran ventilasi
b. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan atelektasis
c. Peningkatan resiko aspirasi
d. Penurunan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia
e. Peningkatan kepekaan terhadap narkotik
7. Sistem Gastrointestinal
Tanda :
a. Penurunan ukuran hati.
b. Penurunan tonus otot pada usus.
c. Pengosongan esophagus makin lambat
d. Penurunan sekresi asam lambung.
e. Atrofi lapisan mukosa
Gejala :
a. Perubahan asupan akibat penurunan nafsu makan
b. Ketidaknyamanan setelah makan karena jalannya makanan
melambat
c. Penurunan penyerapan kalsium dan besi
d. Peningkatan resiko konstipasi, spasme esophagus, dan penyakit
divertikuler
8. Sistem Reproduksi
Tanda :
a. Atrofi dan fibrosis dinding serviks dan uterus
11

b. Penurunan elastisitas vagina dan lubrikasi


c. Penurunan hormone dan oosit.
d. Involusi jaringan kelenjar mamae.
e. Poliferasi jaringan stroma dan glandular
Gejala :
a. kekeringan vagina dan rasa terbakar dan nyeri saat koitus
b. penurunan volume cairan semina dan kekuatan ejakulasi
c. penurunan elevasi testis
d. hipertrofi prostat
e. jaringan ikat payudara digantikan dengan jaringan lemak, sehingga
pemeriksaan payudara lebih mudah dilakukan
9. Sistem Perkemihan
Tanda :
a. Penurunan masa ginjal
b. Tidak ada glomerulus
c. Penurunan jumlah nefron yang berfungsi
d. Perubahan dinding pembuluh darah kecil
e. Penurunan tonus otot kandung kemih
Gejala :
a. Penurunan GFR
b. Penurunan kemampuan penghematan natrium
c. Peningkatan BUN
d. Penurunan aliran darah ginjal
e. Penurunan kapasitas kandung kemih dan peningkatan urin residual
f. Peningkatan urgensi
10. Sistem Endokrin
Tanda :
a. Penurunan testosterone, hormone pertumbuhan, insulin, androgen,
aldosteron, hormone tiroid
b. Penurunan termoregulasi
c. Penurunan respons demam
d. Peningkatan nodularitas dan fibrosis pada tiroid
e. Penurunan laju metabolic basal
Gejala :
a. Penurunan kemampuan untuk menoleransi stressor seperti
pembedahan
b. Penurunan berkeringat dan menggigil dan pengaturan suhu
c. Penurunan respons insulin, toleransi glukosa
d. Penurunan kepekaan tubulus ginjal terhadap hormone antidiuretik
e. Penambahan berat badan
f. Peningkatan insiden penyakit tiroid
11. Sistem Kulit Integumen
Tanda :
1. Hilangnya ketebalan dermis dan epidermis
2. Pendataran papilla
3. Atrofi kelenjar keringat
12

4. Penurunan vaskularisasi
5. Cross-link kolagen
6. Tidak adanya lemak sub kutan
7. Penurunan melanosit
8. Penurunan poliferasi dan fibroblas
Gejala :
a. Penipisan kulit dan rentan sekali robek
b. Kekeringan dan pruritus
c. Penurunan keringat dan kemampuan mengatur panas tubuh
d. Peningkatan kerutan dan kelemahan kulit
e. Tidak adanya bantalan lemak yang melindungi tulang dan
menyebabkan timbulnya nyeri
f. Penyembuhan luka makin lama
12. Sistem Muskuloskletal
Tanda :
a. Penurunan massa otot
b. Penurunan aktivitas myosin adenosine tripospat
c. Perburukan dan kekeringan pada kartilago sendi
d. Penurunan massa tulang dan aktivitas osteoblast
Gejala :
a. Penurunan kekuatan otot
b. Penurunan densitas tulang
c. Penurunan tinggi badan
d. Nyeri dan kekakuan pada sendi
e. Peningkatan risiko fraktur
f. Perubahan cara berjalan dan postur

2.2 Konsep Hambatan komunikasi verbal


2.2.1 Definisi Hambatan komunikasi verbal
Penurunan, kelambatan, atau ketiadaan kemampuan untuk menerima,
memproses, mengirim, dan/atau menggunakan sistem simbol (NANDA,
2017)
2.2.2 Batasan karakteristik
 Tidak ada kontak mata
 Tidak dapat bicara
 Kesulitan mengekspresikan pikiran secera verbal (mis, afasia, disfasia,
apraksia, disleksia)
 Kesulitan menyusun kalimat
 Kesulitan menyusun kata-kata (mis : afonia, dislalia, disartria)
 Kesulitan memahami pola komunikasi yang biasa
 Kesulitan dalam kehadiran tertentu
 Kesulitan menggunakan ekspresi wajah
 Disorientasi orang
13

 Disorientasi ruang
 Disorientasi waktu
 Tidak bicara
 Dispnea
 Ketidakmampuan bicara dalam bahasa pemberi asuhan
 Ketidakmampuan menggunakan ekspresi tubuh
 Ketidakmampuan menggunakan ekspresi wajah
 Ketidaktepatan verbalisasi
 Defisit visual parsiaI
 Pelo
 Sulit bicara
 Gagap
 Defisit penglihatan total
 Bicara dengan kesulitan
 Menolak bicara

2.2.3 Faktor yang berhubungan


 Ketiadaan orang terdekat
 Perubahan konsep diri
 Perubahan sistem saraf pusat
 Defek anatomis (mis : celah palatum, perubahan neuromuskular pada
sistem penglihatan, pendengaran, dan aparatus fonatori)
 Tumor otak
 Harga diri rendah kronik
 Perubahan harga diri
 Perbedaan budaya
 Penurunan sirkulasi ke otak
 Perbedaan yang berhubungan dengan usia perkembangan
 Gangguan emosi
 Kendala lingkungan
 Kurang informasi
 Hambatan fisik (mis : trakeostomi, intubasi)
 Kondisi psikologi (mis : psikosis, kurang stimulus)
 Harga diri rendah situasional
 Stress
 Efek samping obat (mis : agens farmaseutikal)
 Pelemahan sistem muskuloskeletal

2.2.4 Prinsip komunikasi terapeutik pada klien lansia dan keluarga


1. Komunikasi pada lansia memerlukan pendekatan khusus. Pengetahuan
yang dianggapnya benar tidak mudah digantikan dengan pengetahuan
baru sehingga kepada orang lansia, tidak dapat diajarkan sesuatu yang
baru.
2. Dalam berkomunikasi dengan lansia diperlukan pengetahuan tentang
sikap-sikap yang khas pada lansia. Gunakan perasaan dan pikiran
lansia, bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dan memberikan
14

kesempatan pada lansia untuk mengungkapkan pengalaman dan


memberi tanggapan sendiri terhadap pengalaman tersebut.
3. Berkomunikasi dengan lansia memerlukan suasana yang saling hormat
menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling terbuka.
4. Penyampaian pesan langsung tanpa perantara, saling memengaruhi dan
dipengaruhi, komunikasi secara timbal balik secara langsung, serta
dilakukan secara berkesinambungan, tidak statis, dan selalu dinamis.
5. Kesulitan dalam berkomunikasi pada lanjut usia disebabkan oleh
berkurangnya fungsi organ komunikasi dan perubahan kognitif yang
berpengaruh pada tingkat intelegensia, kemampuan belajar, daya
memori, dan motivasi klien.

2.2.5 Teknik komunikasi terapeutik terhadap lansia dan keluarga


Teknik komunikasi terapeutik yang penting digunakan perawat
menurut Mundakir (2006) adalah asertif, responsif, fokus, supportif,
klarifikasi, sabar, dan ikhlas. Pada pasien lanjut usia, di samping
karakteristik psikologis yang harus dikenali, perawat juga harus
memperhatikan perubahan-perubahan fisik, psikologis atau sosial yang
terjadi sebagai dampak proses menua. Penurunan pendengaran,
penglihatan dan daya ingat akan sangat mempengaruhi komunikasi, dan
hal ini harus diperhatikan oleh perawat. Suasana komunikasi dengan
lansia yang dapat menunjang tercapainya tujuan yang harus anda
perhatikan adalah adanya suasana saling menghormati, saling menghargai,
saling percaya, dan terbuka. Komunikasi verbal dan nonverbal adalah
bentuk komunikasi yang harus saling mendukung satu sama lain. Seperti
halnya komunikasi pada anak-anak, perilaku nonverbal sama pentingnya
pada orang dewasa dan juga lansia. Ekspresi wajah, gerakan tubuh dan
nada suara memberi tanda tentang status emosional dari orang dewasa dan
lansia. “Lansia memiliki pengetahuan, pengalaman, sikap, dan ketrampilan
yang menetap dan sukar untuk dirubah dalam waktu singkat.” “Memberi
motivasi dan memberdayakan pengetahuan/pengalaman dan sikap yang
sudah dimiliki adalah hal yang penting untuk melakukan komunikasi
dengan lansia”
2.2.6 Strategi komunikasi terhadap lansia dan keluarga
15

Stratetgi komunikasi pada lansia harus menggunakan


pendekatanpendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan fisik Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif,
kebutuhan, kejadiankejadian yang dialami pasien lanjut usia semasa
hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang
masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah
atau ditekan progresivitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi pasien
lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian, yakni pasien lanjut usia yang
masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan
orang lain sehingga untuk kebutuhan sehari-hari masih mampu
melakukan sendiri; pasien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun,
yang keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat harus
mengetahui dasar perawatan pasien lanjut usia ini terutama tentang hal-
hal yang berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk
mempertahankan kesehatannya. Kebersihan perorangan (personal
hygiene) sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan,
mengingat sumber infeksi bisa muncul jika kebersihan tidak
diperhatikan.
2. Pendekatan Psikis Perawat harus mempunyai peranan penting untuk
mengadakan pendekatan edukatif pada lanjut usia, perawat dapat
berperan sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang
asing, dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki
kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang
cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut
usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Triple S”,
yaitu sabar, simpatik, dan service. Bila perawat ingin mengubah tingkah
laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa
melakukannya secara perlahan dan bertahap, perawat harus dapat
mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehingga seluruh
pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu
diusahakan agar saat lansia, mereka dapat puas dan bahagia.
3. Pendekatan Sosial Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita
merupakan salah satu upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberi
16

kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia


berarti menciptakan sosialisasi mereka. Pendekatan sosial ini merupakan
suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah
mahluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya,
perawat dapat menciptakan hubungan sosial antara lanjut usia dan lanjut
usia maupun lanjut usia dan perawat sendiri. Para lanjut usia perlu
dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti menonton tv, mendengar
radio, atau membaca majalah dan surat kabar. Dapat disadari bahwa
pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah pentingnya dengan
upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau ketenangan
para pasien lanjut usia.
4. Pendekatan Spiritual Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan
kepuasan batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang
dianutnya, terutama bila pasien lanjut usia dalam keadaan sakit atau
mendekati kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi
pasien lanjut usia yang menghadapi kematian, Dr. Tony Setyabudhi
mengemukakan bahwa maut seringkali menggugah rasa takut. Rasa takut
semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti tidakpastian
akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit atau penderitaan yang
sering menyertainya, kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan
keluarga atau lingkungan sekitarnya. Adapun 4 (empat) keharusan yang
harus dimiliki oleh seorang perawat, yaitu pengetahuan, ketulusan,
semangat dan praktik. Dalam usaha berkomunikasi dengan baik, seorang
perawat harus mempunyai pengetahuan yang cukup, sehingga
memudahkan dalam melaksanakan tugasnya setiap hari. Untuk ketulusan,
jika seseorang telah memutuskan sebagai perawat harus dapat dipastikan
mempunyai ketulusan yang mendalam bagi para pasiennya siapa pun itu.
Semangat serta pantang menyerah harus selalu dikobarkan setiap harinya
agar para pasiennya selalu ikut bersemangat pada akhirnya terutama bagi
para pasien lansia yang terkadang suka merasa dirinya “terbuang” dan
“sakit karena tua”. Sedangkan untuk praktiknya, seorang perawat harus
dapat berbicara komunikatif dengan para pasiennya, sehingga tidak saja
17

hanya jago dalam teori namun praktiknya pun harus bisa melakukan
dengan baik dan benar.

2.2.7 Strategi komunikasi terapeutik pada klien lansia


Kondisi Pasien Pasien ibu Sofi umur 68 tahun masuk rumah sakit (MRS)
dengan peradangan hati (hepar). Berdasarkan pemeriksaan fisik
didapatkan suhu badan 380 C, banyak keluar keringat, kadang-kadang
mual dan muntah. Palpasi teraba hepar membesar. Pasien mengatakan
bahwa diagnosis dokter
2.2.8 Latihan komunikasi terapeutik terhadap keluarga
1. Lakukan bermain peran secara bergantian dengan teman dalam
kelompok diskusi menggunakan pola SP komunikasi pada orang
dewasa menggunakan skenario sesuai contoh di atas.
2. Selama proses bermain peran sebagai perawat, observer melakukan
observasi dengan menggunakan format observasi komunikasi
terapeutik, dan berikan penilaian secara objektif.
3. Sampaikan hasilnya setelah praktik keperawaran selesai memakai role
play.

Teknik komunikasi terapeutik yang penting digunakan perawat


menurut Mundakir (2006) adalah asertif, responsif, fokus, supportif,
klarifikasi, sabar, dan ikhlas. Pada pasien lanjut usia, di samping
karakteristik psikologis yang harus dikenali, perawat juga harus
memperhatikan perubahan-perubahan fisik, psikologis atau sosial yang
terjadi sebagai dampak proses menua. Penurunan pendengaran,
penglihatan dan daya ingat akan sangat mempengaruhi komunikasi, dan
hal ini harus diperhatikan oleh perawat. Suasana komunikasi dengan
lansia yang dapat menunjang tercapainya tujuan yang harus anda
perhatikan adalah adanya suasana saling menghormati, saling menghargai,
saling percaya, dan terbuka. Komunikasi verbal dan nonverbal adalah
bentuk komunikasi yang harus saling mendukung satu sama lain. Seperti
halnya komunikasi pada anak-anak, perilaku nonverbal sama pentingnya
pada orang dewasa dan juga lansia. Ekspresi wajah, gerakan tubuh dan
nada suara memberi tanda tentang status emosional dari orang dewasa dan
18

lansia. “Lansia memiliki pengetahuan, pengalaman, sikap, dan ketrampilan


yang menetap dan sukar untuk dirubah dalam waktu singkat.” “Memberi
motivasi dan memberdayakan pengetahuan/pengalaman dan sikap yang
sudah dimiliki adalah hal yang penting untuk melakukan komunikasi
dengan lansia.

2.3 Konsep Komunikasi pada Lansia dan Keluarga


2.3.2 Pengertian Stroke
Stroke dapat berupa stroke iskemik (87%) dan stroke perdarahan atau
hemoragik (13%) (Fagan and Hess, 2014).
a. Stroke perdarahan
Stroke perdarahan meliputi perdarahan subarachnoid, perdarahan
intrasebral, hematoma subdural. Perdarahan subarachnoid terjadi bila darah
memasuki area subarachnoid (tempat cairan serebrospinal) baik karena trauma,
pecahnya aneurisma intrakranial, maupun pecahnya arterivenosa yang cacat.
Sebaliknya, stroke iskemik terjadi bila pembuluh darah pecah dalam parenkim
otak, menyebabkan pembentukan hematoma. Jenis perdarahan ini sangat sering
dikaitkan dengan tekanan darah yang tidak terkontrol dan jarang antitrombotik.
Hematoma subdural menjelaskan terkumpulnya darah dibawah area dura
(melapisi otak) dan sering disebabkan oleh trauma. Stroke perdarahan lebih
letal dua kali sampai enam kali daripada stroke iskemik (Fagan and Hess,
2014).
b. Stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi akibat penyumbatan (trombotik atau embolik)
pembuluh darah arteri otak. Penyumbatan pembuluh darah dapat mengganggu
aliran darah ke bagian tertentu di otak, sehingga terjadi defisit neurologis yang
disebabkan oleh hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh bagian otak tersebut
(Winkler, 2008).

2.2.9 Stroke iskemik


Stroke yang disebabkan oleh sumbatan pembuluh darah, baik trombus
maupun embolus sehingga dapat menimbulkan stroke iskemik atau infark
(Morton, 2011). Stroke iskemik dibagi menjadi 2, yaitu:
19

1. Stroke trombotik
Stroke yang terjadi akibat oklusi pembuluh darah akibat adanya aterosklerosis
dan penyempitan lumen arteri serebri dengan pembentukan trombus (Morton,
2011). Stroke trombotik adalah stroke yang disebabkan oleh karena adanya
oklusi pembuluh darah yang disebabkan adanya trombus. Oklusi dapat terjadi
di satu atau lebih pembuluh darah. Oklusi terjadi karena adanya aterosklerosis
dan pertumbuhan yang berlebihan pada jaringan fibrous di muscular, serta
adanya timbunan lemak yang membentuk plak di pembuluh darah yang
mengakibatkan menyempitnya atau bahkan tertutupnya pembuluh darah
(Caplan, 2005). Menurut Gallow (1996) stroke trombotik terbagi menjadi:
a. TIA (Transiet Iskemik Attack)
TIA merupakan gangguan neurologis setempat yang terjadi selama
beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang
dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b. Stroke involusi
Stroke involusi merupakan stroke yang terjadi masih terus berkembang
dimana gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk.
Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
c. Stroke komplit
Stroke komplit merupakan gangguan neurologi yang timbul sudah
menetap atau permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplit dapat
diawali oleh serangan TIA berulang.
2. Stroke emboli
Stroke emboli terjadi akibat adanya penyumbatan oleh bekuan darah, lemak,
atau udara (Morton, 2011). Iskemia otak yang disebabkan oleh emboli.
Emboli dapat berasal dari jantung ataupun selain jantung.Penyebab emboli
antara lain:
a. Berasal dari jantung: Aritmia dan gangguan irama jantung lainnya, infark
jantung disertai dengan mural thrombus, endokarditis bakterial akut
maupun sub akut, kelainan jantung lainnya, komplikasi pembedahan
jantung, katub jantung protese, vegetasi endokardial non bakterial, prolaps
katub mitral, myxoma dan emboli paradoksikal.
20

Berasal dari selain jantung: Atherosklerosis aorta atau arteri lainnya.


Diseksi karotis atau vertebra basiler, thrombus vena pulmonalis, lemak,
tumor, udara, komplikasi pembedahan rongga thoraks atau leher, thrombosis
vena pelvis atau ekstremitas inferior atau shunting jantung kanan ke kiri
(Margono, 2011).

2.3.4 Patofisiologi stroke trombotik


Aliran darah serebral normal rata-rata 50 ml/100 g per menit, dan ini
dipertahankan melalui tekanan darah (rata-rata tekanan arteri dari 50 sampai 150
mmHg) oleh proses yang disebut autoregulasi cerebral. Pembuluh darah otak
melebar dan menyempit sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah, tetapi
proses ini dapat terganggu oleh aterosklerosis, hipertensi kronis, dan cedera akut
seperti stroke.
Saat darah mengalir ke bagian otak terhambat oleh akibat trombus dan
embolus maka deprivasi oksigen jaringan serebral mulai terjadi. Deprivasi selama
1 menit dapat menyebabkan gejala reversible seperti kehilangan kesadaran. TIA
(Trancient Ischemic Attack) sering terjadi sebelum stroke trombotik benar-benar
terjadi. Deprivasi oksigen dalam periode yang lama dapat menyebabkan nekrosis
mikroskopis pada neuron. Trombus dalam perjalanannya untuk menimbulkan
stroke melalui terjadinya iskemia jaringan otak pada area yang disuplai oleh
vaskular yang bersangkutan, kemudian dapat berkembang dalam waktu 24 jam
atau beberapa hari sehingga menyebabkan stroke (Morton, 2011).
Tekanan darah yang tinggi juga akan memicu munculnya timbunan plak
pada pembuluh darah besar. Timbunan plak akan menyempitkan lumen pembuluh
darah. Kemudian, ketika terjadi stres dapat mengakibatkan pecahnya plak,
paparan kolagen, agregasi platelet, dan pembentukan bekuan. Bekuan
menyebabkan oklusi lokal kemudian terjadi emboli sampai menuju pembuluh
darah dalam otak. Hasil akhir dari trombus dan emboli adalah oklusi arteri,
penurunan aliran darah otak dan menyebabkan iskemik (Fagan and Hess,
2014).Ketika aliran darah lokal otak menurun dibawah 20 mL/ 100 g per menit,
iskemia dapat terjadi dan ketika pengurangan lebih lanjut dibawah 12 mL/ 100 g
per menit bertahan, kerusakan permanen otak terjadi yang disebut infark.
Penurunan dalam penyediaan nutrisi ke sel iskemik menyebabkan berkurangnya
21

fosfat seperti Adenosine Triphosphate (ATP) yang diperlukan untuk menjaga


ketahanan membran. Selanjutnya, kalsium ekstraseluler terakumulasi dan pada
saat yang bersamaan, natrium dan air tertahan menyebabkan sel mengembang dan
lisis. Ketidakseimbangan elektrolit juga menyebabkan depolarisasi sel dan
masuknya kalsium ke dalam sel. Peningkatan kalsium intraseluler mengakibatkan
aktivasi lipase,protease, dan endonukleat dan pelepasan asam lemak bebas dari
membran fosfolipid. Depolarisasi neuron mengakibatkan pengeluaran asam amino
seperti glutamate dan aspartat yang menyebabkan kerusakan saraf ketika
dikeluarkan secara berlebihan. Akumulasi dari asam lemak bebas, termasuk asam
arachidonat menyebabkan pembentukan prostaglandin, leukotrin dan radikal
bebas. Meningkatnya produksi radikal bebas menyebabkan terjadinya asidosis
intraseluler. Peristiwa ini terjadi dalam waktu 2 sampai 3 jam dari onset iskemi
dan berkontribusi pada kematian sel. Target untuk intervensi dalam proses
patofisiologis setelah iskemia serebral termasuk masuknya sel-sel inflamasi aktif
dan inisiasi apoptosis atau sel mati dapat mengganggu pemulihan dan perbaikan
jaringan otak (Fagan and Hess, 2014).

2.3.5 Etiologi (Faktor resiko) stroke trombotik


Faktor risiko yang dapat menimbulkan stroke iskemik dapat dibagi
menjadi dua yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang
tidak dapat dimodifikasi.
a. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu: merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, fibrilasi atrium, penyakit jantung iskemik, penyakit katup
jantung, dan diabetes.
1. Merokok
Tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika Serikat
pertahunnya diperkirakan sekitar 21.400 (tanpa ada penyesuaian untuk
faktor resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian), ini menunjukkan
bahwa rokok memberikan kontribusi terjadinya stroke yang berakhir
dengan kematian sekitar 12% sampai 14% (Goldstein et al., 2011).
2. Hipertensi
22

Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe stroke,


baik stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Peningkatan risiko stroke
terjadi seiring dengan peningkatan tekanan darah. Walaupun tidak ada nilai
pasti korelasi antara peningkatan tekanan darah dengan risiko stroke,
diperkirakan risiko stroke meningkat 1,6 kali setiap peningkatan 10 mmHg
tekanan darah sistolik, dan sekitar 50% kejadian stroke dapat dicegah
dengan pengendalian tekanan darah. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
apabila hipertensi tidak diturunkan pada saat serangan stroke akut dapat
mengakibatkan edema otak, namun berdasarkan penelitian dari Chamorro
menunjukkan bahwa perbaikan sempurna pada stroke iskemik dipermudah
oleh adanya penurunan tekanan darah yang cukup ketika edema otak
berkembang sehingga menghasilkan tekanan perfusi serebral yang adekuat
(PERDOSSI, 2011).
3. Penyakit Jantung
Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak menyerang
pria dewasa, AF ditemukan pada 1–1,5% populasi dinegara–negara barat
dan merupakan salah satu faktor risiko independen stroke. AF dapat
menyebabkan risiko stroke atau emboli menjadi 5 kali lipat daripada
pasien tanpa AF. Kejadian stroke yang didasari oleh AF sering diikuti
dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan penurunan
kemampuanfungsi daripada stroke karena penyebab yang lain. Risiko
stroke karena AF meningkat jika disertai dengan beberapa faktor lain,
yaitu jika disertai usia >65 tahun, hipertensi, diabetes melitus, gagal
jantung, atau riwayat stroke sebelumnya (Gage et al.,2004).

4. Diabetes mellitus
Orang dengan diabetes mellitus lebih rentan terhadap aterosklerosis dan
peningkatan prevalensi proaterogenik, terutama hipertensi dan lipid darah
yang abnormal. Pada tahun 2007 sekitar 17,9 juta atau 5,9% orang
Amerika menderita diabetes. Berdasarkan studi case control pada pasien
stroke dan studi epidemiologi prospektif telah menginformasikan bahwa
23

diabetes dapat meningkatkan risiko stroke iskemik dengan risiko relatif


mulai dari 1,8 kali lipat menjadi hampir 6 kali lipat. Berdasarkan data dari
Center for Disease Control and Prevention 1997-2003 menunjukkan
bahwa prevalensi stroke berdasarkan usia sekitar 9% stroke terjadi pada
pasien dengan penyakit diabetes pada usia lebih dari 35 tahun (Goldstein
et al., 2011).
b. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan
riwayat keluarga (Fagan and Hess, 2014).
1. Usia
Siapa pun tidak akan pernah bisa menaklukkan usia. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa usia itu kuasa Tuhan. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa 2/3 serangan stroke terjadi pada usia diatas 65 tahun.
Meskipun demikian, bukan berarti usia muda atau produktif akan terbebas
dari serangan stroke (Wiwit, 2010).
2. Jenis kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke daripada
wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Namun anehnya,
justru lebih banyak wanita yang meninggal dunia karena stroke. Hal ini
disebabkan pria umumnya terkena serangan stroke pada usia muda.
Sedangkan, para wanita justru sebaliknya, yaitu saat usianya sudah tinggi
(tua) (Wiwit, 2010).
3. Riwayat keluarga
Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan salingberkaitan.
Dalam hal ini, hipertensi, diabetes, dan cacat pada pembuluh darah
menjadi faktor genetik yang berperan. Cadasil, yaitu suatu cacatpada
pembuluh darah dimungkinkan merupakan faktor genetik yang paling
berpengaruh. Selain itu, gaya hidup dan pola makan dalam keluarga yang
sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah juga meningkatkan resiko
stroke (Wiwit, 2010).

2.3.6 Manifestasi klinis stroke trombotik


Manifestasi klinis pada stroke trombotik, antara lain:
24

1. Hemiparesis
2. Parestesia satu sisi tubuh, mengalami kelemahan pada satu sisi tubuh
3. ketidakmampuan untuk berbicara
4. kehilangan penglihatan
5. vertigo dan sakit kepala mungkin terjadi (Wells, 2015)
6. Gambaran klinis stroke iskemik tergantung pada area otak yang
mengalami iskemik (Sjahrir et al., 2011).

2.3.7 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang pada stroke trombotik menurut Stilwell (2011):
1. Angiografi serebral, membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau
ruptur.
2. CT scan, memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemik, dan
adanya infark
3. Fungsi lumbal, menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada
trombosis, emboli serebral, dan TIA, sedangkan tekanan meningkat
dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragic
subarachnoid intrakranial. Kadar protein meningkat pada kasus
trombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
4. MRI, menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik,
malformasi arteriovena (MAV).
5. EEG, mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan
mungkin adanya daerah lesi yang spesifik.
6. Sinar X tengkorak, menggambarkan perubahan kelenjar lempeng
pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas.
7. Ultrasonografi doppler, mengidentifikasi penyakit arteriovena, aliran
darah, dan munculnya plak.

2.3.8 Penatalaksanaan terapi stroke trombotik


Berdasarkan patofisiologi terjadinya stroke iskemik, ada beberapa jenis
terapi yang diberikan yaitu:
25

a. Trombolisis dan revaskularisasi untuk melisis trombus dan menghilangkan


hambatan aliran darah ke otak. Trombolisis adalah melisis trombus dengan
menggunakan t-PA (tissue plasminogen activator) intravena, t-PA
merupakan katalisator konversi plasminogen menjadi plasmin sehingga
meningkatkan kecepatan melisis fibrin yang menyumbat pembuluh darah
otak pada saat terjadi stroke iskemik (Sjahrir et al., 2011). Terapi ini
diberikan untuk mengurangi kecacatan utama stroke iskemik (Fagan and
Hess, 2014).
Karakteristik pasien stroke yang mungkin sesuai untukterapi
tissue plasminogen aktivator intravena adalah:
1) Usia ≥ 18 tahun
2) Diagnosis stroke iskemik menyebabkan defisit neurologis yangsecara
klinis jelas
3) Tidak ada stroke atau trauma kepala dalam 3 bulan sebelumnya
4) Tidak ada pembedahan mayor dalam 14 hari sebelumnya
5) Tidak ada riwayat perdarahan intracranial
6) Tekanan darah sistolik ≤ 185 mmHg
7) Tekanan darah diastolik ≤ 110 mmHg
8) Tidak ada gejala yang hilang dengan cepat atau gejala stroke yang
ringan
9) Tidak ada gejala yang memungkinkan munculnya dugaan perdarahan
subarakhnoid
10) Tidak ada perdarahan gastrointestinal atau perdarahan traktus urinarius
dalam 21 bulan Sebelumnya
11) Tidak ada fungsi arteri pada lokasi yang non–compressible dalam 7
hari sebelumnya
12) Waktu protrombin 15 detik atau international normalized ratio ≤ 1,7
tanpa penggunaanobat antikoagulan
13) Waktu partial-protrombin dalam rentang normal, jika heparin diberikan
selama 48 jamsebelumnya
14) Hitung trombosit ≤ 100.000/mm3 -Konsentrai glukosa darah > 50
mg/dl (2,7 mmol/I)
26

15) Tidak ada kebutuhan untuk langkah agresif dalam menurunkan tekanan
darah hingga batasyang telah disebutkan di atas(Gofir, 2011).
b. Antikoagulan merupakan terapi untuk mencegah terjadinya trombus pada
arteri kolateral. Antikoagulan yang dapat digunakan adalah warfarin,
heparin atau golongan LMWH (Low Molecular Weight Heparin) (Sjahrir
et al., 2011). Selain itu juga dapat digunakan Direct Thrombin Inhibitor
yaitu dabigatran dan Direct Factor Xa Inhibitoryaitu rivaroxaban dan
apixiban (Jauch et al., 2013). Warfarin merupakan pengobatan yang paling
efektif untuk pencegahan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada
pasien dengan fibrilasi atrialdan sejarah stroke atau TIA, resiko
kekambuhan pasien merupakan salah satu resiko tertinggi yang diketahui.
Pada percobaan yang dilakukan Eropa Atrial Fibrilasi Trial (EAFT),
dengan sampel sebanyak 669 pasien yang mengalami fibrilasi atrial non
valvular dan sebelumnya pernah mengalami stroke atau TIA. Pasien pada
kelompok plasebo, mengalami stroke, infark miokardium atau kematian
vaskular sebesar 17% per tahun, 8% per tahun pada kelompok warfarin
dan 15% per tahun pada kelompok asetosal. Ini menunjukan pengurangan
sebesar 53% risiko pada penggunaan antikoagulan (Fagan and Hess,
2014). Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid setelah
stroke iskemik tidak direkomendasikan karena pemberian antikoagulan
(heparin, LMWH, atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan
komplikasi perdarahan yang serius. Penggunaan warfarin
direkomendasikan baik untuk pencegahan primer maupun sekunder pada
pasien dengan atrial fibrilasi. Penggunaan warfarin harus hati- hati karena
dapat meningkatkan risiko perdarahan. Pemberian antikoagulan rutin
terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki
outcome neurologic atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang
tidak direkomendasi (PERDOSSI, 2011).
c. Antiplatelet merupakan untuk mencegah terjadinya trombus, The
American Heart Association / American Stroke Association (AHA/ASA)
merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik digunakan sebagai
27

terapi pencegahan stroke iskemik sekunder, biasanya digunakan asetosal,


clopidogrel, cilostastol dan dipiridamol (Sjahrir et al., 2011).
d. Neuroprotektan merupakan golongan obat yang dapat bersifat
neuroprotektif, yaitu bisa menghambat proses sitotoksik yang merusak sel
saraf dan sel glia pada area penumbra. Yang sering digunakan adalah
sitikolin. Pada stroke iskemik akut, dalam batas–batas waktu tertentu
sebagian besar jaringan neuron dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi
jaringan adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi
neuroprotektif. Cara kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas
metabolisme dan tentu saja kebutuhan oksigen sel–sel neuron. Dengan
demikian neuron terlindungi dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia
berkepanjangan atau eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang
glutamat yang biasanya timbul setelah cedera sel neuron. Suatu obat
neuroprotektif yang menjanjikan, serebrolisin memiliki efek pada
metabolisme kalsium neuron dan juga memperlihatkan efek neuroprotektif
(Sjahrir et al., 2011).
e. Antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah pada penderita stroke
iskemik. Golongan obat oral yang digunakan untuk pengendalian tekanan
darah antara lain: diuretika, penghambat angiotensin converting enzyme
(ACE-Inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (angiotensin-receptor
blocker, ARB), dan penghambat kanal kalsium (calcium channel blocker,
CCB) (Adams et al., 2007). Hipertensi pada stroke iskemik, terapi yang
diberikan secara parenteral biasanya dalah labetalol, nikardipin, diltiazem,
dan nitrogliserin (Sjahrir et al., 2011).

2.3.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan stroke trombotik
(Morton, 2011) adalah sebagai berikut:
a. Akibat mobilisasi yang terganggu menimbulkan keadaan yang rentan
terhadap infeksi pernapasan, nyeri tekan, konstipasi, dan tromboflebitis
b. Akibat kondisi paralisis dapat menimbulkan nyeri pada daerah punggung,
dislokasi sendi, deformitas, dan terjatuh
28

c. Akibat adanya kerusakan pada otak menimbulkan epilepsi dan TIK


meningkat
d. Paralitis illeus
e. Atrial fibrilasi
f. Diabetus insipidus.
29

2.3.10 WOC Stroke Trombotik


30

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Menurut Teori A.Miller

Menurut Miller (2012) Teori Konsekuensi Fungsional mempunyai beberapa


komponen, yaitu:
1. Functional Consequence yaitu mengobservasi akibat dari tindakan, faktor resiko, dan
perubahan terkait usia yang mempengaruhi kualitas hidup atau aktivitas sehari-hari
dari lansia. Efek tersebut berhubungan dengan semua tingkat fungsi, termasuk tubuh,
pikiran, dan semangat Negative Functional Consequences yaitu semua hal yang dapat
mempengaruhi tingkat ketergantungan atau kualitas hidup lansia.
2. Positive Functional Consequences (Wellness Outcomes) yaitu Halhal yang
memfasilitasi tingkat tertinggi fungsi dari lansia secara baik, sedikit ketergantungan,
dan kualitas hidup terbaik.
3. Age Related Changes yaitu perubahan yang progresif dan irreversible yang terjadi
selama proses kehidupan dan kondisi ekstrinsik yang independen atau patologis.
4. Risk Factor yaitu kondisi yang meningkatkan kerentanan lansia terhadap konsekuensi
fungsional negatif. Faktor-faktor risiko tersebut adalah penyakit, obat-obatan,
lingkungan, gaya hidup, sistem pendukung, keadaan psikososial dan sikap berdasarkan
kurangnya pengetahuan.
5. Person (Older Adults) yaitu kondisi-kondisi yang kemungkinan terjadi pada orang
dewasa lansia yang memiliki efek merugikan signifikan terhadap kesehatan dan fungsi
mereka. Faktor-faktor resiko umumnya muncul dari kondisi lingkungan, akut dan
kronis, kondisi psikososial, atau efek pengobatan yang buruk.
6. Nursing mempunyai tujuan yaitu meminimalkan dampak negatif dari perubahan yang
berkaitan dengan usia dan faktor risiko, serta mempromosikan dampak fungsional
positif. Hal ini dilakukan melalui proses keperawatan, dengan menekankan interaksi
antara lansia dan pemberi perawatan pada lansia yang tergantung untuk
menghilangkan faktor risiko atau meminimalkan efek yang terjadi.
7. Health yaitu Kemampuan lansia untuk mengenali fungsi kesehatannya. Tidak
terbatas pada fungsi fisiologis tetapi meliputi fungsi psikologis dan spiritual. Dengan
demikian, kesejahteraan dan kualitas hidup lansia dapat terpenuhii dengan baik

8. Environment yaitu kondisi eksternal termasuk pemberi asuhan yang mempengaruhi


fungsi lansia. Kondisi ini merupakan faktor risiko ketika lingkungan mengganggu
peningkatan fungsi.
31

Gambar 2.1 Teori Konsekuansi Fungsional oleh A.Miller (Miller, 2012)

Fokus Pengkajian Asuhan Keperawatan

5. Pengkajian
a. Identitas pasien

Anamnesa identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan,
agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit.

b. Riwayat penyakit sekarang

Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang menyebabkan
terjadi keluhan atau gangguan dalam imobilitas, seperti adanya nyeri, kelemahan
otot, kelelahan, tingkat imobilitas, daerah terganggunya karena imobilitas, dan
lama terjadinya gangguan mobilitas.

c. Riwayat penyakit yang pernah diderita

Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan


mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit sistem neurologis (kecelakaan
cerebrovaskular, trauma kepala, peningkatan tekanan intrakranial, miastenia
gravis, guillain barre, cedera medula spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit
sistem kardiovaskular (infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit
32

sistem muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat penyakit sistem


pernapasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan lain-lain), riwayat
pemakaian obat seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem saraf pusat, laksansia,
dan lain-lain.

d. Pemeriksaan fisik
1) Sistem metabolik
Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan pengukuran
antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot, menggunakan pencatatan
asupan dan haluaran serta data laboratorium untuk mengevaluasi status cairan,
elektrolit maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk
mengevaluasi perubahan transport nutrien, mengkaji asupan makanan dan pola
eliminasi klien untuk menentukan perubahan fungsi gastrointestinal.
Pengukuran asupan dan haluaran membantu perawat untuk menentukan
apakah terjadi ketidakseimbnagan cairan. Dehidrasi dan edema dapat
meningkatkan laju kerusakan kulit pada klien imobilisasi. Pengukuran
laboratorium terhadap kadar elektrolit darah juga mengindikasikan
ketidakseimbangan elektrolit.
Apabila klien imobilisasi mempunyai luka, maka cepatan penyembuhan
menunjukkan indikasi nutrien yang di bawa ke jaringan. Kemajuan
penyembuhan yang normal mengindikasikan kebutuhan metabolik jaringan
luka terpenuhi.

Pada umumnya anoreksi terjadi pada klien imobilisasi. Asupan makanan klien
harus dikaji terlebih dahulu sebelum nampan diberikan, untuk menentukan
jumlah yang dimakan. Ketidakseimbangan nutrisi dapat dihidari apabila
perawat mengkaji pola makan klien dan makanan yang disukai sebelum
keadaan imobilisasi.

2) Sistem respiratori.
Pengkajian sistem respiratori harus dilakukan minimal setiap 2 jam pada klien
yang mengalami keterbatasan aktivitas. Pengkajian pada sistem respiratori
meliputi :
- Inspeksi : pergerakan dinding dada selama sikus inspirasi-ekspirasi penuh.
Jika klien mempunyai area atelektasis, gerakan dadanya menjadi asimetris.

- Auskultasi : seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi gangguan suara


napas, crackles, atau mengi. Auskultasi harus berfokus pada area paru-paru
33

yang tergantung karena sekresi paru cenderung menumpuk di area bagian


bawah.

3) Sistem kardiovaskuler.
Pengkajian sistem kardiovaskular yang harus dilakukan pada pasien
imobilisasi, meliputi :
- memantau tekanan darah, tekanan darah klien harus diukur, terutama jika
berubah dari berbaring (rekumben) ke duduk atau berdiri akibat risiko
terjadinya hipotensi ortostatik.
- mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer, berbaring dalam posisi
rekumben meningkatkan beban kerja jantung dan mengakibatkan nadi
meningkat. Pada beberapa klien, terutama lansia, jantung tidak dapat
mentoleransi peningkatan beban kerja, dan berkembang menjadi gagal
jantung. Suara jantung ketiga yang terdengar di bagian apeks merupakan
indikasi awal gagal jantung kongestif. Memantau nadi perifer
memungkinkan perawat mengevaluasi kemampuan jantung memompa
darah.
- observasi tanda-tanda adanya stasis vena (mis. edema dan penyembuhan
luka yang buruk), edema mengindikasikan ketidakmampuan jantung
menangani peningkatan beban kerja. Karena edema bergerak di area tubuh
yang menggantung, pengkajian klien imobilisasi harus meliputi sakrum,
tungkai dan kaki. Jika jantung tidak mampu mentoleransi peningkatan
beban kerja, maka area tubuh perifer seperti tangan, kaki, hidung, dan daun
telinga akan lebih dingin dari area pusat tubuh. Terakhir, perawat mengkaji
sistem vena karena trombosis vena profunda merupakan bahaya dari
keterbatasan mobilisasi. Embolus adalah trombus yang terlepas, berjalan
mengikuti sistem sirkulasi ke paru-paru atau otak dan menggangu sirkulasi.
Emboli yang ke paru-paru ataupun otak mengancam otak.

Untuk mengkaji trombosis vena profunda, perawat melepas stocking


elastis klien dan/atau sequential compression devices (SCDs) setiap 8 jam
dan megobservasi betis terhadap kemerahan, hangat, kelembekan. Tanda
Homan (Homan’s sign) atau nyeri betis pada kaki dorsifleksi,
mengidentifikasi kemungkinan adanya trombus, tetapi tanda ini tidak selalu
ada (Beare dan Myers, 1994). Ketika melakukan hal ini perawat menandai
sebuah titik di setiap betis 10 cm dari tengah patella. Lingkar betis diukur
setiap hari menggunakan tanda tersebut untuk penempatan alat pengukur.
34

Penigkatan satu bagian diameter merupakan indikasi awal trombosis.


Trombosis vena profunda juga dapat terjadi di paha untuk itu pengukuran
paha harus dilakukan setiap hari apabila klien cenderung terjadi trombosis.
Pada beberapa klien, trombosis vena profunda dapat di cegah dengan
latihan aktif dan stoking elastis.
4) Sistem Muskuloskeletal.
Kelainan musculoskeletal utama dapat diidentifikasi selama pengkajian
meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot, dan kontraktur.
Gambaran pengukuran antropometrik mengidentifikasi kehilangan tonus dan
massa otot.

Pengkajian rentang gerak adalah penting data dasar yang mana hasil
hasil pengukuran nantinya dibandingkan untuk mengevaluasi terjadi
kehilangan mobilisasi sendi. Rentang gerak di ukur dengan menggunakan
geniometer. Pengkajian rentang gerak dilakukan pada daerah seperti bahu,
siku, lengan, panggul, dan kaki.

5) Sistem Integumen

Perawat harus terus menerus mengkaji kulit klien terhadap tanda-tanda


kerusakan. Kulit harus diobservasi ketika klien bergerak, diperhatikan
higienisnya, atau dipenuhi kebutuhan eliminasinya. Pengkajian minimal harus
dilakukan 2 jam.

6) Sistem Eliminasi
Status eliminasi klien harus dievaluasi setiap shift, dan total asupan dan
haluaran dievaluasi setiap 24 jam. Perawat harus menentukan bahwa klien
menerima jumlah dan jenis cairan melalui oral atau parenteral dengan benar.

Tidak adekuat asupan dan haluaran atau ketidakseimbangan cairan dan


elektrolit meningkatkan resiko gangguan sistem ginjal, bergeser dari infeksi
berulang menjadi gagal ginjal. Dehidrasi juga meningkatkan resiko kerusakan
kulit, pembentukan trombus, infeksi pernafasan, dan konstipasi. Pengkajian
status eliminasi juga meliputi frekuensi dan konsistensi pengeluaran feses.
35

6. Diagnosa Keperawatan
a. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah ke
otak dikarenakan stroke.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak.
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan imobilisasi.
d. Gangguan penurunan curah jantung berhubungan dengan imobilitas.
e. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru.
f. Retensi urine berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik.
g. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine.
h. Konstipasi berhubungan dengan penurunan menurunnya motilitas usus.
i. Risiko cedera berhubungan dengan ketidaktepatan teknik pemindahan.
j. Ketidakefektifan mekanisme koping berhubungan dengan pengurangan tingkat
aktivitas.

7. Intervensi Keperawatan

Diagnosa : Hambatan komunikasi verbal


Tujuan : pasien mampu melakukan aktivitas secara mandiri dengan alat bantu.
NOC
Anxiety self control
Coping
Sensory function: hearing & vision
Fear sef control
Kriteria Hasil:
1. Komunikasi: penerimaan, intrepretasi dan ekspresi pesan lisan, tulisan, dan non
verbal meningkat
2. Komunikasi ekspresif (kesulitan berbicara) : ekspresi pesan verbal dan atau non
verbal yang bermakna
3. Komunikasi reseptif (kesutitan mendengar) : penerimaan komunikasi dan
intrepretasi pesan verbal dan/atau non verbal
4. Gerakan Terkoordinasi : mampu mengkoordinasi gerakan dalam menggunakan
isyarat
5. Pengolahan informasi : klien mampu untuk memperoleh, mengatur, dan
menggunakan informasi
6. Mampu mengontrol respon ketakutan dan kecemasan terhadap ketidakmampuan
berbicara
7. Mampu memanajemen kemampuan fisik yang di miliki
8. Mampu mengkomunikasikan kebutuhan dengan lingkungan sosial
NIC :
Communication Enhancement : Speech Deficit
1. Gunakan penerjemah , jika diperlukan
2. Beri satu kalimat simple setiap bertemu, jika diperlukan
3. Konsultasikan dengan dokter kebutuhan terapi bicara
4. Dorong pasien untuk berkomunikasi secara perlahan dan untuk mengulangi
36

permintaan
5. Dengarkan dengan penuh perhatian
6. Berdiri didepan pasien ketika berbicara
7. Gunakan kartu baca, kertas, pensil, bahasa tubuh, gambar, daftar kosakata bahasa
asing, computer, dan lain-lain untuk memfasilitasi komunikasi dua arah yang
optimal
8. Ajarkan bicara dari esophagus, jika diperlukan
9. Beri anjuran kepada pasien dan keluarga tentang penggunaan alat bantu bicara
(misalnya, prostesi trakeoesofagus dan laring buatan
10. Berikan pujian positive jika diperlukan
11. Anjurkan pada pertemuan kelompok
12. Anjurkan kunjungan keluarga secara teratur untuk memberi stimulus komunikasi
13. Anjurkan ekspresi diri dengan cara lain dalam menyampaikan informasi (bahasa
isyarat)
Communication Enhancement : Hearing Deficit
Communication Enhancement : Visual Deficit
Anxiety Reduction
Active Listening
37

BAB 3
KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN
FORMAT PENGKAJIAN LANSIA
ADAPTASI TEORI MODEL CAROL A MILLER

Tanggal Pengkajian : Selasa, 16 juli 2019

3.1.1 IDENTITAS :
PASIEN
Nama : Ny. R
Umur : 71 Tahun
Agama : Islam
Alamat asal : Juwingan 42 B Surabaya
Tgl. Homecare : 16 Juli 2019, jam 10:00 WIB
3.1.2 DATA :
KELUARG
A
Nama : Ny. J
Hubungan : Istri
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Babatan indah Surabaya Telp : -
3.1.3 STATUS KESEHATAN SEKARANG :
Keluhan utama: pasien mengalami kelemahan tubuh bagian kanan dan terpasang NGT untuk
feeding. Keluarga mengeluh pasien tidak bisa diajak komunikasi. Keluarga sudah melatih
miring kanan dan miring kiri serta melatih gerakan ekstremitas tubuh pasien.

Obat-obatan:
1. Amlodipin 5 mg/24 jam PO (malam)
2. Lisinopril 5 mg/24 jam PO (pagi)
3. Aptor 100 mg/24 jam PO
4. Vit B1 mg/24 jam PO
5. Vit B6 mg/24 jam PO
6. Vit B12 mg/24 jam PO
7. N-Asetil sistein 200 mg/8 jam PO
8. Azitromisin 500 mg/24 jam
38

3.1.4 AGE RELATED CHANGES (PERUBAHAN TERKAIT PROSES MENUA) :


FUNGSI FISIOLOGIS

1. Kondisi Umum Ya Tidak


Kelelahan :
Perubahan BB :
Perubahan nafsu :
makan
Masalah tidur :
Kemampuan ADL :
Pasien mengalami serangan stroke, yang berakibat
kemampuan ADL dibantu keluarga sepenuhnya karena
KETERANGAN : mengalami kelemahan dan kekakuan sendi ekstremitas
kanan. Kesadaran pasien komposmentis, dengan E:4,V:x,
M:x. Gangguan Komunikasi Verbal (D.0119)

2. Integumen Ya Tidak
Lesi / luka :
Pruritus :
Perubahan pigmen :
Memar :
Pola penyembuhan lesi :
KETERANGAN : Tidak ditemukan luka lesi, dekubitus, tidak pruritus, tidak
ada perubahan pigmen ataupun memar. S: 37 0C.
Tidak ada masalah keperawatan

3. Hematopoetic Ya Tidak
Perdarahan abnormal :
Pembengkakan kelenjar :
limfe
Anemia :
KETERANGAN : Pasien tidak mengalami anemia, konjungtiva tidak
anemis. Tidak ada masalah keperawatan

4. Kepala Ya Tidak
Sakit kepala :
Pusing :
Gatal pada kulit kepala :
KETERANGAN : Rambut berminyak dan tampak kotor, keluarga
mengatakan pasien jarang kramas pasien. Kramas 1 bulan
1 kali. MK: Defisit perawatan diri (D.0109)
39

5. Mata Ya Tidak
Perubahan penglihatan :
Pakai kacamata :
Kekeringan mata :
Nyeri :
Gatal :
Photobobia :
Diplopia :
Riwayat infeksi :
KETERANGAN : Pasien tidak mengalami perubahan penglihatannya,
pasien tidak memakai kacamata.
Tidak ada masalah keperawatan

6. Telinga Ya Tidak
Penurunan pendengaran :
Discharge :
Tinitus :
Vertigo :
Alat bantu dengar :
Riwayat infeksi :
Kebiasaan :
membersihkan telinga
Dampak pada ADL :
KETERANGAN : Fungsi pendengaran sulit dievaluasi
Tidak ada masalah keperawatan

7. Hidung sinus Ya Tidak


Rhinorrhea :
Discharge :
Epistaksis :
Obstruksi :
Snoring :
Alergi :
Riwayat infeksi :
KETERANGAN : Tidak pilek. Terpasang selang NGT ukuran 14 dihidung
dikanan. NGT terviksasi dengan hepavik, hepafik tampak
bersih, tidak ada iritasi pada kulit disekitas tempat viksasi.
Keluarga mengatakan selang NGT selalu diganti setiap 2
minggu sekali
MK : Resiko Aspirasi (D.0006)

8. Mulut, tenggorokan Ya Tidak


Nyeri telan :
Kesulitan menelan :
Lesi :
40

Perdarahan gusi :
Caries :
Perubahan rasa :
Gigi palsu :
Riwayat Infeksi :
Pola sikat gigi : Pasien jarang sikat gigi, kadang seminggu 2-3 kali
KETERANGAN : Gigi tampak kotor, pasien mengalami kesulitan menelan
akibat penyakit stroke, tidak ada sariawan, tidak ada
perdarahan gusi.
MK: Defisit perawatan diri (D.0109)

9. Leher Ya Tidak
Kekakuan :
Nyeri tekan :
Massa :
KETERANGAN : Tidak terdapat luka, massa dan nyeri tekan pada leher.
Tidak ada masalah keperawatan

10. Pernafasan Ya Tidak


Batuk :
Nafas pendek :
Hemoptisis :
Wheezing :
Asma :
KETERANGAN : Jalan nafas bebas, tidak sesak, tidak batuk, RR: 20x/ menit,
suara navas vesikuler, tidak terdapat penggunaan otot bantu
pernafasan, dan tidak memakai alat bantu napas.
Tidak ada masalah keperawatan

11. Kardiovaskuler Ya Tidak


Chest pain :
Palpitasi :
Dipsnoe :
Paroximal nocturnal :
Orthopnea :
Murmur :
Edema :
KETERANGAN : Tidak terdapat suara jantung tambahan, TD: 148/108
mmHg, Nadi 85x/ menit, tidak terdapat palpitasi dan edema
pada pasien.
Tidak ada masalah keperawatan

12. Gastrointestinal Ya Tidak


Disphagia :
Nausea / vomiting :
Hemateemesis :
41

Perubahan nafsu :
makan
Massa :
Jaundice :
Perubahan pola BAB :
Melena :
Hemorrhoid :
Pola BAB : BAB pasien rutin setiap hari 1x pada pagi hari.
KETERANGAN : Pasien menpat terapi diet sonde susu 200 cc tiap 4 jam
dalam sehari, dan diet jus via sonde 200cc tiap hari. Tidak
ada hematemesis.
MK: Resiko aspirasi (D0006)

13. Perkemihan Ya Tidak


Dysuria :
Hesitancy :
Urgency :
Hematuria :
Poliuria :
Oliguria :
Nocturia :
Inkontinensia :
Frekuensi : Terpasang pampers sehari diganti 2-3 kali
Pola BAK : Spontan
KETERANGAN : Warna urine kekuningan, tidak ada darah, produksi tidak
terukur, tidak ada nyeri saat BAK
Tidak ada masalah keperawatan

14 Reproduksi (laki-laki) Ya Tidak


Lesi :
Disharge :
Testiculer pain :
Testiculer massa :
Perubahan gairah sex :
Impotensi :
Reproduksi
(perempuan)
Lesi :
Discharge :
Postcoital bleeding :
Nyeri pelvis :
Prolap :
Aktifitas seksual :
Pap smear :
Riwayat menstruasi : -
KETERANGAN : Tidak ada masalah keperawatan
42

15 Muskuloskeletal Ya Tidak
Nyeri Sendi :
Bengkak :
Kaku sendi :
Deformitas :
Spasme :
Kram :
Kelemahan otot :
Masalah gaya berjalan : Tidak terkaji
Nyeri punggung :
Pola latihan : Latihan gerak pasif
Dampak ADL : ADL dibantu keluarga sepenuhnya
KETERANGAN : Pasien mengalami kekakuan pada sendi pada daerah
kaki dan tangan terutama pada bagian kanan, untuk
kelemahan otot dan gaya berjalan tidak dapat dikaji
oleh karena pasien mengalami kelemahan pada tubuh
bagian kanan.
kekuatan otot
1 3
1 3
MK: Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054)

16 Persyarafan Ya Tidak
Seizures :
Syncope :
Tic/tremor :
Paralysis :
Paresis :
Masalah memori :
KETERANGAN : Pasien mengalami paresis sebelah kanan.
MK: Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054)

3.1.5 POTENSI PERTUMBUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL :


Psikososial YA Tidak
Cemas :
Depresi :
Ketakutan :
Insomnia :
Kesulitan dalam mengambil :
keputusan
Kesulitan konsentrasi :
Mekanisme koping :
Persepsi tentang kematian : tidak terkaji
Dampak pada ADL : ADL pasien dibantu sepenuhnya oleh keluarga.
Spiritual
 Aktivitas ibadah: pasien jarang melakukan sholat
43

 Hambatan : pasien melakukan sholat dengan duduk

 KETERANGAN : Aktivitas ibadah pasien mengalami gangguan setelah pasien


mengalami hambatan mobilitas fisik, pasien hanya bisa sholat ditempat tidur,
dengan duduk.

3.1.6 LINGKUNGAN :
 Kamar : kondisi kamar pasien kotor, berdebu, pengap, ventilasi kurang, terlalu
banyak barang berserakan, pencahayaan kurang, berdekatan dengan kandang
kucing yang kotor dan bau

 Kamar mandi : Lembab, pencahayaan kurang, dan lantai licin

 Luar rumah : kotor dan tidak rapi


Keluarga yang membersihan rumah adalah suami pasien.
MK : Managemen kesehatan keluarga tidak efektif (D.0115)

3.1.7 ADDITIONAL RISK FACTOR


Riwayat perilaku (kebiasaan, pekerjaan, aktivitas) yang mempengaruhi kondisi saat ini :
Lansia makan melalui sonde secara teratur. Diet sonde yang diberikan terdiri dari jus dan
susu. Pasien hanya tinggal dengan suaminya yang sudah lansia. Pasien tinggal di kamar
yang pengap, berdebu dan dekat dengan kandang kucing yang kotor dan bau. Sebelum
sakit lansia kontrol rutin ke Poli Geriatri RS DR Soetomo, pasien selama sehat sering
melakukan aktivitas merawat cucu, pasien adalah seorang ibu rumah tangga.

3.1.8 NEGATIVE FUNCTIONAL CONSEQUENCES

1. Kemampuan ADL : Ketergantungan total


2. Aspek Kognitif : Sulit dievaluasi
3. Tes Keseimbangan : Sulit dievaluasi
4. GDS : Sulit dievaluasi
5. Status Nutrisi : dalam batas normal
6. Fungsi social lansia : Sulit dievaluasi
7. Hasil pemeriksaan diagnostik : Tidak ada
44

Lampiran

1. Kemampuan ADL
Tingkat kemandirian dalam kehidupan sehari-hari (Indeks Barthel)

Item yang Skor


No. Skor
dinilai Pasien
1. Makan 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan memotong lauk, mengoles 0
mentega dll
2 = Mandiri
2. Mandi 0 = Tergantung orang lain
1 = Mandiri 0
3. Perawatan diri 0= Membutuhkan bantuan orang lain 0
1= Mandiri dalam perawatan muka, rambut,
gigi, dan bercukur
4. Berpakaian 0 = Tergantung orang lain
1 = Sebagian dibantu (misal mengancing 0
baju)
2 = Mandiri
5. Buang air kecil 0 = Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak terkontrol
1 = Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam) 0
2 = Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7 hari)
6. Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau perlu enema) 0
1 = Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
2 = Kontinensia (teratur)
7. Penggunaan 0 = Tergantung bantuan orang lain
toilet 1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan
0
beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan untuk bisa duduk (2 orang) 0
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9. Mobilitas 0 = Immobile (tidak mampu)
(berjalan di 1 = Menggunakan kursi roda
permukaan datar) 2 = Berjalan dengan bantuan satu orang 0
3 = Mandiri (meskipun menggunakan alat bantu seperti,
tongkat)
10. Naik turun 0 = Tidak mampu
tangga 1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu) 0
2 = Mandiri
Interpretasi: Ketergantungan Total
45

2. MMSE (Mini Mental Status Exam)

No Aspek Nilai Nilai Kriteria


Kognitif Maksimal Pasien
1 Orientasi 0 - Menyebutkan dengan benar :

Tahun : ..........................................
Hari :...............................................
Musim : ..........................................
Bulan : ...........................................
Tanggal :........................................
2 Orientasi 0 - Dimana sekarang kita berada ?

Negara: …………..........……..….…
Panti : ……………………….…..…..
Propinsi: …………………................
Wisma : …………………………......
Kabupaten/kota : ……………….….
3 Registrasi 0 - Sebutkan 3 nama obyek (misal : kursi,
meja, kertas), kemudian ditanyakan
kepada pasien, menjawab :

1) Kursi 2). Meja 3). Kertas

4 Perhatian 0 - Meminta pasien berhitung mulai dari


dan 100 kemudia kurangi 7 sampai 5
kalkulasi tingkat.

Jawaban :
1). 93 2). 86 3). 79 4). 72
5). 65
ATAU

Ejalah kata "DUNIA" secara mundur.


Skor 1 poin per huruf dalam urutan
yang benar

Variasi Jawaban Pasien:


AINUD = 5; AIND = 4; AND = 3; AN
= 2; UINDA=1

5 Mengingat 0 - Minta pasien untuk mengulangi ketiga


obyek pada poin ke- 2 (tiap poin nilai 1)
6 Bahasa 0 - Menanyakan pada pasien tentang benda
(sambil menunjukan benda tersebut).
1)...................................
2)...................................
46

3). Minta pasien untuk mengulangi kata


berikut :
“ tidak ada, dan, jika, atau tetapi

Pasien menjawab :
........................................................

Minta pasien untuk mengikuti perintah


berikut yang terdiri 3 langkah.
4) Ambil kertas ditangan anda
5) Lipat dua
6) Taruh dilantai.

Perintahkan pada pasien untuk hal


berikut (bila aktifitas sesuai perintah
nilai satu poin)
7). Meminta pasien untuk membaca
kalimat yang bertuliskan: “Tutup mata
anda”

8). Perintahkan kepada pasien untuk


menulis kalimat dan

9). Menyalin gambar 2 segi lima yang


saling bertumpuk

Total nilai 0 -

24 – 30 : Tidak Ada Gangguan Kognitif


18 – 23 : Gangguan Kognitif Sedang
0 – 17 : Gangguan Kognitif Berat

Keterangan : Pasien tidak dilakukan pemeriksaaan MMSE dikarenakan kondisi yang tidak
memungkinkan
47

3. Tes Keseimbangan
Time Up Go Test

No Tanggal Pemeriksaan Hasil TUG (detik)


1 - -
2 - -
3 - -
Rata-rata Waktu TUG -

Interpretasi hasil -

Hasil pengamatan Pasien mengalami immobilisasi dan bed rest total


sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan tes
keseimbangan
Interpretasi hasil:
Apabila hasil pemeriksaan TUG menunjukan hasil berikut:
≤13,5 detik Tidak ada resiko jatuh
>13,5 detik Resiko tinggi jatuh
>24 detik Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu
6 bulan
>30 detik Diperkirakan membutuhkan bantuan
dalam mobilisasi dan melakukan ADL

(Bohannon: 2006; Shumway-Cook,Brauer & Woolacott: 2000; Kristensen, Foss &


Kehlet: 2007: Podsiadlo & Richardson:1991)

Hasil : Pasien tidak dilakukan pengkajian TUGT karena pasien bedrest


48

4. GDS
Pengkajian Depresi

Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tdk Hasil
1. Anda puas dengan kehidupan anda saat ini 0 1 -
2. Anda merasa bosan dengan berbagai aktifitas dan kesenangan 1 0 -
3. Anda merasa bahwa hidup anda hampa / kosong 1 0 -
4. Anda sering merasa bosan 1 0 -
5. Anda memiliki motivasi yang baik sepanjang waktu 0 1 -
8. Anda takut ada sesuatu yang buruk terjadi pada anda 1 0 -
7. Anda lebih merasa bahagia di sepanjang waktu 0 1 -
8. Anda sering merasakan butuh bantuan 1 0 -
9. Anda lebih senang tinggal dirumah daripada keluar melakukan 1 0 -
sesuatu hal
10. Anda merasa memiliki banyak masalah dengan ingatan anda 1 0 -
11. Anda menemukan bahwa hidup ini sangat luar biasa 0 1 -
12. Anda tidak tertarik dengan jalan hidup anda 1 0 -
13. Anda merasa diri anda sangat energik / bersemangat 0 1 -
14. Anda merasa tidak punya harapan 1 0 -
15. Anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari diri anda 1 0 -
Jumlah
(Geriatric Depressoion Scale (Short Form) dari Yesafage (1983) dalam
Gerontological Nursing, 2006)
Interpretasi: Jika Diperoleh skore 5 atau lebih, maka diindikasikan depresi
Kesimpulan: Sulit Dievaluasi, dikarenakan pasien kesulitan dalam berkomunikasi,
pasien tampak bingung dalam mencerna kata – kata

5. Status Nutrisi

Pengkajian determinan nutrisi pada lansia:

Skrining Skor
A Mengalami penurunan asupan makanan lebih dari tiga bulan selama adanya
penurunan nafsu makan, gangguan pencernaan, menelan dan kesulitan menelan
makanan
49

0 = Adanya penurunan asupan makanan yang besar


1 = Adanya penurunan asupan makanan yang sedang 2
2 = Tidak ada penurunan asupan makanan
Mengalami penurunan berat badan selama tiga bulan terakhir
0 = Penurunan BB >3 kg
B 1 = Tidak diketahui
2
2 = Penurunan BB 1-3 kg
3 = Tidak mengalami penurunan BB
Mobilitas
0 = Tidak dapat turun dari tempat tidur / kursi roda
C
1 = Dapat turun dari tempat tidur / kursi roda namun tidak dapat berjalan jauh 0
2 = Dapat berjalan jauh
Mengalami stres psikologis atau memiliki penyakit akut tiga bulan terakhir
D 0 =Ya
0
2 = Tidak
Mengalami gangguan neuropsikologis
0 = Mengalami demensia atau depresi berat Sulit
E
1 = Mengalami demensia ringan dieval
2 = Tidak mengalami gangguan neuropsikologis uasi
Indeks massa tubuh (IMT)
0 = IMT < 19
F1 1 = IMT 19-21
2 = IMT 21-23
3 = >23
Jika IMT tidak dapat diukur ganti pertanyaan F1 dengan F2
Jangan menjawab pertanyaan F2 jika pertanyaan F1 sudah terpenuhi
Lingkar betis (cm)
F2 0 = jika < 31
3
3 = jika > 31
Skor 8

12-14 : Status gizi normal


8-11 : Resiko mengalami malnutrisi
0-7 : Mengalami malnutrisi
Hasil : sulit dievaluasi

6. Fungsi sosial lansia

APGAR KELUARGA DENGAN LANSIA


Alat Skrining yang dapat digunakan untuk mengkaji fungsi sosial lansia
NO URAIAN FUNGSI SKORE
1. Saya puas bahwa saya dapat kembali pada keluarga (teman- ADAPTATION -
teman) saya untuk membantu pada waktu sesuatu
menyusahkan saya
50

2. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman)sayaPARTNERSHIP -


membicarakan sesuatu dengan saya dan mengungkapkan
masalah dengan saya
3. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya menerimaGROWTH -
dan mendukung keinginan saya untuk melakukan aktivitas /
arah baru
4. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) sayaAFFECTION -
mengekspresikan afek dan berespon terhadap emosi-emosi
saya seperti marah, sedih/mencintai
5. Saya puas dengan cara teman-teman saya dan sayaRESOLVE -
meneyediakan waktu bersama-sama
Kategori Skor: TOTAL Sulit
Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab: Dievaluasi
1). Selalu : skore 2 2). Kadang-kadang : 1
3). Hampir tidak pernah : skore 0
Intepretasi:
< 3 = Disfungsi berat
4 - 6 = Disfungsi sedang
> 6 = Fungsi baik
Smilkstein, 1978 dalam Gerontologic Nursing and health aging 2005

Hasil : pasien tidak dilakukan pengkajian fungsi sosial


51

7. Pengkajian kualitas tidur (PSQI)

KUESIONER KUALITAS TIDUR (PSQI)


1. Jam berapa biasanya anda mulai tidur malam?
2. Berapa lama anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam?
3. Jam berapa anda biasanya bangun pagi?
4. Berapa lama anda tidur dimalam hari?
5 Seberapa sering masalah-masalah Tidak 1x 2x ≥3x
dibawah ini mengganggu tidur pernah seminggu seminggu seminggu
anda?

a. Tidak mampu tertidur selama 30 menit - - - -


sejak berbaring
b. Terbangun ditengah malam atau terlalu - - - -
dini
c. Terbangun untuk ke kamar mandi - - - -
d. Tidak mampu bernafas dengan leluasa - - - -
e. Batuk atau mengorok - - - -
f. Kedinginan dimalam hari - - - -
g. Kepanasan dimalam hari - - - -
h. Mimpi buruk - - - -
i. Terasa nyeri - - - -
j. Alasan lain ……… - - - -
6 Seberapa sering anda menggunakan - - - -
obat tidur
7 Seberapa sering anda mengantuk - - - -
ketika melakukan aktifitas disiang
hari
Tidak Kecil Sedang Besar
antusias

8 Seberapa besar antusias anda ingin - - - -


menyelesaikan masalah yang anda
hadapi
Sangat Baik kurang Sangat
baik kurang
9 Pertanyaan pre-intervensi : - - - -
Bagaimana kualitas tidur anda
selama sebulan yang lalu
Pertanyaan post-intervensi : - - - -
Bagaimana kualitas tidur anda
selama seminggu yang lalu

Hasil : Pasien tidak dapat dilakukan pemeriksaan PSQI karena pasien tidak bisa
berbicara
52

Cara perhitungan Skor PSQI dan Interpretasi Skor

KOMPONEN KETERANGAN SKOR

Komponen 1 Skor pertanyaan #9 -


Komponen 2 Skor pertanyaan #2 + #5a -
Skor pertanyaan #2 ( <15 menit=0), (16-30 menit=1), (31-
60 menit=2), ( >60 menit=3) + skor pertanyaan #5a, jika
jumlah skor dari kedua pertanyaan tersebut jumlahnya 0
maka skornya = 0, jika jumlahnya 1-2=1 ; 3-4=2 ; 5-6=3
Komponen 3 Skor pertanyaan #4 ( >7=0 ; 6-7=1 ; 5-6=2 ; <5=3 ) -
Komponen 4 Jumlah jam tidur pulas ( #4 ) / Jumlah jam ditempat tidur ( -
kalkulasi #1 & #3 ) x 100%, ( >85%=0 ; 75-84%=1 ; 65-
74%=2 ; <65%=3 )
Komponen 5 Jumlah skor 5b hingga 5j ( bila jumlahnya 0 maka skornya -
=0, jika jumlahnya 1-9=1 ; 10-18=2 ; 18-27=3
Komponen 6 Skor pertanyaan #6 -
Komponen 7 Skor pertanyaan #7 + #8, jika jumlahnya 0 maka skornya -
=0, jika jumlahnya 1-2=1 ; 3-4=2 ; 5-6=3
TOTAL SKOR Jumlah skor komponen 1-7 -
INTERPRETASI:
JIKA TOTAL SKOR = ≤5 menunjukkan kualitas tidur
pasien yang BAIK,
JIKA TOTAL SKOR = >5-21 menunjukkan kualitas tidur
pasien yang BURUK

Interpretasi: Sulit Dievaluasi


53

ANALISA DATA

Tanggal Data Diagnosa Keperawatan

Selasa, DS: Keluarga pasien mengatakan tangan Gangguan Mobilitas Fisik


18 Juni dan kaki kanan mengalami kelemahan (D.0054)
2019 dan sulit untuk digerakkan semenjak
Pukul 10.00 terkena stroke.
WIB DO:
1. Kekuatan otot menurun pada
ektstremitas kanan dengan skore 1
kekuatan otot
1 3
1 3
2. kelemahan dan kekakuan sendi
ekstremitas kanan.
3. Pasien bedrest di kasur
Selasa, DS: Keluarga pasien mengatakan pasien Gangguan Komunikasi Verbal
18 Juni tidak bisa diajak komunikasi. (D.0119)
2019 DO:
Pukul 10.00 1. Pasien tampak diam, tidak ada
WIB respon ketika diajak bicara
2. Pasien mengalami stroke

Selasa, DS : keluarga pasien menngatakan Resiko aspirasi (D0006)


18 Juni pasien mendapat diet susu dan jus
2019 DO :
Pukul 10.00 1. Pasien terkena stroke
WIB 2. Pasien terpasang NGT ukuran 14
3. Pasien mengalami kesulitan menelan
Selasa, DS : Defisit perawat diri (D.0109)
18 Juni 1. Keluarga pasien mengatakan pasien
2019 jarang sikat gigi seminggu 2-3 kali
Pukul 10.00 2. Keluarga pasien mengalami pasien
WIB jarang keramas. 1 x dalam 1 bulan
DO : Rambut tampak kotor dan
berminyak
Selasa, DS: Managemen kesehatan keluarga
18 Juni DO: tidak efektif (D.0115)
2019 1. Kondisi kamar pasien kotor, pengap,
Pukul 10.00 ventilasi kurang, banyak barang
WIB berserakan, pencahayaan kurang,
berdekatan dengan kandang kucing
yang kotor dan bau
2. Kamar mandi lembab, pencahayaan
kurang, dan lantai licin
54

Prioritas Diagnosis Keperawatan :


1. Gangguaan komunikasi verbal (D.0119)
2. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054)
3. Defisit perawat diri (D.0109)
4. Managemen kesehatan keluarga tidak efektif (D.0115)
5. Resiko aspirasi (D0006)

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Nama Pasien : Ny.R
Homecare : 18 Juni 2019

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi /SIKI


Keperawatan Kriteria Hasil / SLKI
1. Gangguaan SLKI : SIKI :
komunikasi verbal 1. Komunikasi Verbal Promosi Komunikasi : Defisit bicara
(D.0119) (L.13114) (I.13492)
Observasi:
Setelah dilakukan 1. Gunakan metode komunikasi
intervensi selama 45 menit alternatif (misal menulis, mata
diharapkan komunikasi berkedip, papan komunikasi,
verbal meningkat, gambar dan huruf, isyarat
dibuktikan dengan kriteria tangan)
55

hasil: 2. Sesuaikan gaya komunikasi


1. Kemampuan berbicara dengan kebutuhan dengan
sedang (3) kebutuhan (misal berdiri
2. Kesesuaian ekspresi didepan pasiem, dengarkan
wajah sedang (3) dengan seksama, tunjukan satu
gagasan atau pemikiran
sekaligus, bicaralah dengan
perlahan sambil menghindari
teriakan, gunakan komunikasi
tertulis, atau meminta bantuan
keluarga untuk memahmi
ucapan pasien)
3. Modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan bantuan
4. Berikan dukungan psikologis
5. Ajarkan keluarga untuk melatih
pasien makan makanan yang
lunak untuk merangsang otot
dimulut
6. Kolaborasi dengan terapis untuk
terapi bicara
7. Identifikasi perilaku emosional
dan fisik sebagai bentuk
komunikasi
2 Gangguan SLKI : SIKI :
Mobilitas Fisik 1. Mobilitas Fisik (L.05042) Teknik Latihan Penguatan sendi
(D.0054) (I.05185)
Setelah dilakukan Observasi:
intervensi selama 45 menit 1. Identifikasi keterbatasan fungsi
diharapkan gangguan dan gerak sendi meliputi
mobilitas fisik dapat kekuata otot pasien dan bagaian
diatasi, dibuktikan dengan mana yang mengalami
kriteria hasil: kelemahan.
1. Pergerakan ekstremitas Terapeutik:
sedang (3) 2. Berikan posisi tubuh optimal
2. Kekuatan Otot sedang untuk geraskan sendi pasif atau
(3) aktif, posisi semi fowler 45
3. Rentang gerak (ROM) derajat.
sedang (3) 3. Fasilitasi menyusun jadwal
4. Kelemahan fisik latihan rentang gerak aktif
menurun (5) maupun pasif setiap hari
dilakukan 1x pada pagi hari
4. Fasilitasi gerak sendi teratur
sesuai toleransi dan mobilitas
sendi dengan cara ROM aktif
dan Pasif
5. Berikan penguatan positif untuk
melakukan latihan bersama
Edukasi:
6. Jelaskan kepada pasien dan
keluarga tujuan dan rencanakan
56

latihan bersama.
7. Anjurkan melakukan latihan
gerak aktif atau pasif secara
sistematis dari tangan sampai ke
kaki.
Kolaborasi:
8. Kolaborasi dengan fisioterapi
dalam mengembangkan dan
melaksanakan program latihan
ROM aktif dan pasif.
2. Defisit perawat diri SLKI : SIKI :
(D.0109) 1. Perawatan diri (L.05042) Dukungan perawatan diri mandi
(I.11352)
Setelah dilakukan
intervensi selama 2 x 60 Terapeutik :
menit diharapkan 1. Sediakan lingkungan yang aman
perawatan diri meningkat, dan nyaman
dibuktikan dengan kriteria 2. Fasilitasi menggosok gigi,
hasil: sesuai dengan kebutuhan
1 Kebersihan rambut 3. Fasilitasi kramas, sesuai
meningkat (3) kebutuhan
2 Kebersihan mulut Edukasi :
meningkat (3) 4. Jelaskan manfaat mandi dan
dampak tidak mandi terhadap
kesehatan
5. Anjurkan keluarga merawat
kebersihan mulut pasien
6. Anjurkan keluarga merawat
kebersihan rambut pasien
7. Ajarkan cara melakukan oral
hygiene
8. Ajarkan cara mencuci rambut
pasien
Observasi :
9. Monitor kebersihan tubuh
(rambut, mulut, kuku, kulit)
3 Managemen SLKI : SIKI :
kesehatan keluarga 1. Managemen kesehatan Dukunan keluarga merencanakan
tidak efektif keluarga (L.121005) perawatan (I.13477)
(D.0115) Terapeutik :
Setelah dilakukan 1. Motivasi pengembangan sikap
intervensi selama 2x60 dan emosi yang mendukung
menit diharapkan upaya kesehatan
managemen kesehatan 2. Ciptakan perubahan lingkungan
keluarg dapat meningkat, rumah secara optimal
dibuktikan dengan kriteria 3. Gunakan sarana dan aktivitas
hasil: yang ada dalam keluarga
1 kemampuan Edukasi :
menjelaskan masalah 4. Informasikan fasilitas kesehatan
kesehatan yang dialami yang ada di lingkungan keluarga
meningkat (3) 5. Anjurkan menggunakan fasilitas
57

2 Aktivitas keluarga kesehatan yang ada


mengatasi masalah 6. Anjurkan cara perawatan yang
kesehatan (3) dapat dilakukan keluarga
3 Tindakan untuk Observasi :
mengurangi resiko 7. Identifikasi konsekuensi tidak
meningkat (3) melakukan tindakan bersama
4 Gejala penyakit keluarga
anggota keluarga 8. Identifikasi sumber – sumber
menurun (5) yang dimiliki keluarga
9. Identifikasi tindakan yang dapat
dilakukan keluarga
4. Resiko aspirasi SLKI : SIKI :
(D0006) 1. Tingkat aspirasi Pencegahan aspirasi (I.01018)
(L.010006) Terapeutik :
1. posisikan semi fowler 30-45
Setelah dilakukan derajat, 30 menit sebelum
intervensi selama 2 x 60 memberikan asupan oral
menit diharapkan tingkat 2. hindari memberi makan melalui
aspirasi menurun, selang gastrointestinal jika
dibuktikan dengan kriteria residu banyak
hasil: 3. berikan makanan dengan ukuran
1 kemampuan menelan kecil atau lunak
meningkat 4. berikan obat dalam bentuk cair
2 kebersihan mulut Edukasi :
meningkat 5. Ajarkan keluarga cara mencegah
3 kelemahan otot aspirasi
menurun 6. Ajarkan keluarga cara memberi
makan melalui NGT dengan
benar
Observasi :
7. Monitor tingkat kesadaran,
muntah dan kemampuan
menelan
8. Monitor bunyi pernapasan
terutama setelah makan / minum
9. Periksa residu gaster sebelum
memberi asupan oral
10. Periksa kepatenan jalan
nasogastrik sebelum memberi
asupan oral
58

(Untuk di Poli Geriatri) FORMAT IMPLEMENTASI & EVALUASI

Nama Pasien : Ny.R

Tgl/Jam Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi Paraf


Selasa, Gangguan Komunikasi 1. Memberikan motivasi kepada pasien S: keluarga pasien mengatakan merasa
18 Juni Verbal (D.0119) Respon : tidak ada kesepian karena pasien tidak bisa diajak
2. Memberikan edukasi pada keluarga untuk bicara
2019
melatih otot mulut dengan melatih
mengunyah makan makanan yang halus O:
(pisang halus) 1. Pasien diam tidak memberikan respon
Respon : keluarga menerima saran saat diajak bicara

A: Masalah gangguan gangguan komunikasi


verbal belum teratasi

P: Lanjutkan Intervensi No1,2,3,6


Kolaborasi degan tengan tenaga kesehatan
lain untuk melakukan terapi bicara pada
pasien
Selasa, Gangguan Mobilitas 1. Melakukan pemeriksaan keterbatasan fungsi S: keluarga pasien mengatakan mengalami
18 Juni Fisik (D.0054) dan gerak sendi pada pasien. kelemahan pada ektremitas bagian kiri baik
Hasil: Pasien mengalami keterbatasan gerak kaki maupun tangan.
2019
tangan dan kaki kanan dengan kekuatan tonus
otot 1 pada ekstrimitas kanan dan kekuatan O:
tonus otot pada ekstrimitas kiri 3. 1. Pasien mengalami keterbatasan gerak
2. Memberikan posisi tubuh optimal untuk dan kelemahan pada seluruh ekstremitas.
59

geraskan sendi pasif atau aktif 2. Latihan gerak sendi dilakukan 1x dalam
Hasil: Pasien diposisikan semi fowler 45 sehari tepatnya pada pagi hari
derajat, agar gerak sendi lebih optimal 3. Tonus otot kaki kanan dan tangan kanan
3. Memfaasilitasi menyusun jadwal latihan 1 sedangkan tonus otot pada kaki kiri dan
rentang gerak aktif maupun pasif tangan kiri 2
Hasil: Latihan gerak sendi dilakukan 1x
dalam sehari tepatnya pada pagi hari. A: Masalah gangguan mobilitas fisik pada
4. Melakukan latihan gerak sendi teratur sesuai pasien belum teratasi
toleransi dan mobilitas sendi
Hasil: pasien dilakukan ROM pasif pada P: Lanjutkan Intervensi No1,2,5,6,7,8
ekstremitas kanan dan kiri.
5. Memberikan penguatan positif untuk
melakukan latihan bersama
Hasil: pasien merasa semangat dalam
melakukan latihan gerak sendi bersama
dengan perawat.
6. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga
tujuan dan rencanakan latihan bersama.
Hasil: keluarga pasien mengerti tujuan dan
manfaat latihan gerak sendi
7. Menganjurkan melakukan latihan gerak aktif
atau pasif secara sistematis
Hasil: keluarga menerima saran.
8. Melakukan kolaborasi dengan fisioterapi
dalam mengembangkan dan melaksanakan
program latihan.

Selasa, Defisit perawat diri 1. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien S: keluarga pasien mengatakan mengerti
60

18 Juni (D.0109) untuk menyediakan lingkungan yang aman tentang pentingnya kebersihan diri
2019 dan nyaman (mengunci roda tempat tidur, O:
memasang pagar pengaman, lantai tidak licin) 1. Keluarga mampu menerangkan kembali
Hasil: keluarga pasien mendengarkan dan tentang pentingnya kebersihan diri
mendemontrasikannya) 2. Keluarga mampu mendemonstrasikan
2. Mengajarkan cara melakukan oral hygiene. cara melakukan oral hygiene, mencuci
Hasil: keluarga pasien mengerti bagaimana rambut di tempat tidur
cara oral hygiene. A: masalah defisit perawatan diri belum
3. Mengajarkan/mendemonstrasikan cara teratasi
mencuci rambut pasien di tempat tidur P: intervensi no. 1,2,3,4,5,6 dilanjutkan
Hasil: keluarga pasien mengerti cara mencuci
rambut pasien di tempat tidur.
4. Memberikan edukasi tentang manfaat
kebersihan diri (mandi, oral hygiene, cuci
rambut) dan dampak jika tidak menjaga
kebersihan diri.
Hasil: keluarga mengerti tentang pentingnya
kebersihan diri

Selasa, Managemen kesehatan 1. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien S: keluarga pasien mengatakan mengerti
keluarga tidak efektif tentang pentingnya menjaga kebersihan tentang pentingnya menjaga kebersihan
18 Juni
(D.0115) lingkungan rumah lingkungan baik untuk pasien maupiun
2019
Hasil: pasien mengerti tentang pentingnya anggota keluarga lainnya
menjaga kebersihan lingkungan
2. Memberikan edukasi kepada keluarga O:
menciptakan perubahan lingkungan rumah 1. Keluarga pasien membuka kaca jendela
secara optimal dan korden kamar pasien
Hasil: keluarga pasien mengerti tentang 2. Keluarga pasien menghidupkan lampu
61

bagaimana cara memodifikasi lingkungan dikamar pasien


3. Mengajarkan pada keluarga pasien tentang 3. Keluarga pasien mengumpulkan tisu2
cara perawatan pasien stroke dirumah yang berserakan di kamar pasien
Hasil: keluarga pasien mengerti kemudian dimasukkan ke kantong
4. Menjelaskan kepaa keluarga pasien untuk plastik
segera datang ke fakes terdekat jika istrinya
sewaktu-waktu droop A: Masalah managemen keehatan keluarga
Hasil: keluarga pasien mengerti hal apa saja tidak efektif belum teratasi
yang harus dilakukan saat ada yang
bermasalah P: intervensi no.1,2,3,4,5,6,7,8,9 dilanjutkan

Selasa, Resiko aspirasi (D0006) 1. Memposisikan semi fowler 30-45 derajat, 30 S: Keluarga pasien mengatakan sekarang
18 Juni menit sebelum memberikan supan oral lebih mengerti tentang bagaimana cara
2. Mengajarkan pada keluarga pasien cara yang benar memasukkan sonde
2019
mengukur residu cairan lambung sebelum
memberikan diit O:
3. Memberikan makanan kecil atau lunak Keluarga pasien merubah posisi pasien 30-
4. Memberikan obat dalam bentuk cair 45 derajat sebelum makan
5. Mengajarkan keluarga cara mencegah aspirasi
6. Mengajarkan keluarga cara memberi makan A: masalah resiko aspirasi belum teratasi
melalui NGT dengan benar
7. Monitoring tingkat kesadaran, muntah dan P: intervensi no: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
kemampuan menelan dilanjutkan
8. Monitor bunyi pernapasan terutama setelah
makan / minum
9. Memeriksa kepatenan jalan nasogastrik
sebelum memberi asupan oral
62

BAB 4 PEMBAHASAN
PEMBAHASAN

Seharusnya, masalah utama yang muncul adalah hambatan komunikasi


verbal. Namun secara objektif yang muncul adalah hambatan mobilitas fisik,
risiko aspirasi, defisit perawatan diri dan manajemen kesehatan keluarga tidak
efektif. Pelaksanaan keperawatan yang telah dilakukan oleh kelompok terhadap
Ny. R pada masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik adalah teknik latihan
penguatan sendi (I.05185). Dengan dilakukan teknik penguatan sendi, maka
diharapkan sendi klien tidak kaku dan mengurangi masalah yang terdapat klien
lansia. Selain itu, perawat juga memberikan edukasi tentang cara melakukan
teknik penguatan sendi yaitu ROM (Range Of Motion) pasif secara baik benar dan
terstruktur, sehingga keluarga dapat menggunakan pengetahuan dari hasil
penyuluhan tersebut untuk dipraktikan agar mencapai kesehatan yang lebih baik.
Kemudian melibatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
ambulasi dengan hasil melibatkan anak klien dalam melakukan latihan gerak
sendi, memfasilitasi gerak sendi teratur sesuai toleransi dan mobilitas sendi
dengan hasil melakukan ROM pasif pada bagian ektremitas baik kaki maupun
tangan, memberikan penguatan positif untuk melakukan latihan bersama dengan
hasil klien semangat ketika latihan gerak sendi bersama perawat, menganjurkan
ambulasi, sesuai toleransi dengan hasil klien dimiringkan kanan kiri, serta
melakukan kolaborasi dengan fisioterapi dalam mengembangkan dan
melaksanakan program latihan, dengan hasil setiap pagi klien dilakukan rom pasif
oleh keluarga dan dibantu oleh perawat serta keluarga.
Ketidaktahuan keluarga tentang merawat pasien memunculkan masalah
keperawatan lain yaitu manajemen keluarga tidak efektif, sehingga harus
dilakukan edukasi secara medis dan keperawatan. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Kusumawardani, 2012) bahwa penyuluhan kesehatan
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan, sikap dan praktik untuk mencapai
kesehatan yang lebih baik. Menurut (Ulliya, 2017) pemberian teknik ROM yang
baik dan benar dapat meningkatkan fleksibilitas persendian lansia baik yang sehat
maupun yang sakit seperti stroke.

62
63

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bakara (2016) yang
mengatakan bahwa ROM pasif yang dilakukan pada pasien stroke dapat
meningkatkan rentang sendi, dimana reaksi kontraksi dan relaksasi selama
gerakkan ROM pasif yang dilakukan pada pasien stroke terjadi penguluran
serabut otot dan peningkatan aliran darah pada daerah sendi sehingga terjadi
peningkatan penambahan rentang sendi abduksi-adduksi pada ekstremitas atas dan
bawah hanya pada sendi-sendi besar. Sehingga ROM pasif dapat dilakukan
sebagai alternatif dalam meningkatkan rentang sendi pada pasien stroke.
Pada penanganan masalah keperawatan defisit perawatan diri, perawat
melakukan intervensi dukungan perawatan diri mandi (I.11352). Perawat
mengajarkan keluarga pasien tentang oral hygiene, mencuci rambut dan
memberikan edukasi tentang pentingnya kondisi bersih klien dengan lansia yang
mudah terkena infeksi. Menurut Linda dkk.(2010), menyebutkan bahwa kesehatan
dan kebersihan badan klien secara bermakna mengurangi jumlah mikroorganisme
penyebab penyakit pada tubuh serta meminimalisasi kontaminasi silang dan
infeksi nosokomial dirumah. Kegagalan untuk melakukan kebersihan dan
kesehatan yang tepat merupakan sebab utama timbulnya suatu infeksi.
Risiko aspirasi merupakan diagnosa lain dari kasus Ny. R. Klien yang
tidak bisa menelan dan hanya dapat menggunakan selang NGT akan sangat riskan
terjadi aspirasi pada paru-paru klien dan dapat menyebabkan pneumonia.
Intervensi yang dilakukan adalah pencegahan aspirasi (I.01018). Didalam
intervensi tersebut, petugas medis mendemonstrasikan pemberian nutrisi parental
dengan baik dan benar dan kemudian dapat dipraktikan keluarga. Keluarga
dengan ketakutan dan pendidikan yang kurang, dapat menjadikan penanganan
nutrisi kurang adekuat sehingga dapat mencederai klien.
71

BAB 5 PENUTUP
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Klien lansia dengan stroke trombotik memunculkan masalah yang
kompleks antara lain immobilisasi, infeksi karena pemasangan selang NGT
dan kebersihan anggota badan klien yang buruk dan manajemen kesehatan
keluarga yang tidak baik. Oleh karena itu, sangat baik sekali jika dilakukan
kegiatan home care yang dilakukan petugas medis poli geriatri RSUD Dr.
Soetomo Surabaya untuk mengatasi masalah pada lansia tersebut. Klien
dengan hambatan mobilitas fisik karena stroke akan lama mengalami
kelumpuhan namun dengan kondisi yang mampu bertahan hidup, maka dari
itu jika klien dibawa dan dirawat di Rumah Sakit, makan akan menimbulkan
masalah lain dikarenakan impecunity. Sehingga dengan metode home care,
akan meningkatkan kualitas kesehatan klien agar lebih baik dengan risiko
yang lebih minimal.
5.2 Saran
1. Bagi Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo
Makalah ini diharapkan dapat memberi informasi dan masukan bagi
tenaga kesehatan khususnya perawat home care supaya mengetahui
kebutuhan pasien lansia dengan stroke. Selain itu juga diharapkan dapat
lebih banyak lagi klien yang dapat ditolong dengan metode home care.
2. Bagi Mahasiswa
Makalah ini diharapkan dapat menjadi media pembelajaran tentang
bagaimana merawat klien lansia dengan metode home care. Selain itu,
metode home care dapat dikembangkan lagi untuk meningkatkan kesiapan
mahasiswa sebelum masuk kedalam dunia kerja.

71
72

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2017) ‘Hubungan Derajat Stroke Terhadap Status Kognitif Pada


Pasien Stroke Iskemik Di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum
Daerah dr . Zainoel Abidin Banda Aceh’, 2, pp. 61–67.
Aziz, A.Alimul. (2009). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia (Aplikasi Konsep
dan Proses Keperawatan). Jakarta : Salemba Medika.

Bakara, D. M. and Warsito, S. (2016) ‘Exercise Range of Motion ( ROM )


Passive to Increase Joint Range of Post-Stroke Patients’, VII(2).
Cangara, Hafied. (2014). Perencanaan dan Strategi Komunikasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. Central Intelligence Agency. (2010). www. cia.gov.

Carpenito, L.J.(2009). Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktek Klinis Edisi


9. Jakarta: Egc

Eka, I. et al. (2017) ‘Perbedaan jenis kelamin sebagai faktor risiko terhadap
keluaran klinis pasien stroke iskemik’, 6(2), pp. 655–662.
Fagan, S. C and Hess, D. C. 2014. Stroke in: Dipiro, JT. Pharmacotherapy: a
patophysiologic approach. United state: Mc Graw Hill Companise.
P. 165-170
Ginting, D. B., Waluyo, A. and Sukmarini, L. (2015) ‘Mengatasi Konstipasi
Pasien Stroke Dengan Masase ,18(1), pp. 23–30.
Gofir, A. 2011. Manajemen Stroke, edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Press. Hal. 241-244
Lindsay & Bone, I. 2004. Neurology and Neurosurgery Ilustrated. Edisi 4. China:
Churchill Lingstone.

Lof, G. L. 2008. Evidence Driven Speech Sound Intervension: Alternatives to


Non Speech Motor Exercise. Paper Presented at ASHA Convention,
Chicago, IL. 25 Juni 2011. www.mghihp.edu/files/cv/Gregg-lof-cv6-
10.pdf.

Mardjono, M & Sidharta, P. 2009. Neurologis Klinis Dasar. Jakarta: Dian rakyat.
73

Margono, I.S, Ardiansyah, D. 2011. Perdarahan Intra Serebral, dalam:


Machfoed, Mohammad H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf.
Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga hal. 105-108
Markus, Hugh. 2012. Stroke: causes and clinical features. Medicine, Vol 40
No. 9, p. 484-486
Maryam, S. (2008). Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya.Jakarta: Salemba
Medika. 2008

Miller, A.C. (2004). Nursing Care Of Older Adult Theory And Practices. (2nd
Ed).Philadelphia: Jb. Lippincott Company

Mirah A. A. 2015. Gambaran Tingkat Ansietas Penderita Stroke di Ruang


Nagasari dan Mawar RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal Keperawatan.
Denpasar
NANDA. (2012). Diagnosis Keperawatan:Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta : EGC.

Nayoan, C. R. (2017) ‘Gambaran penderita disfagia yang menjalani


pemeriksaan fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing di
RSUP DR . KARIADI semarang periode 2015 - 2016’, 3(2), pp.
47–56.
Potter, P.A dan Perry,A,G. (2005). Buku Ajar Fundalmental Keperawatan Konsep,
Proses dan Praktik. Edisi 4 Volume 2. Jakarta : EGC.

Potter,P. A & Perry, A.G. (2005). Fundamental Keperawatan (Konsep, Proses, Dan
Praktik). Edisi 4. Volume 1. Jakarta:Egc.

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Indikator Diagnosis, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria


Hasil Kperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
74

Soertidewi, Rasyid (2011). Effect Of Ingesting Training Towards Dysphagia In


Stroke’ Patients In Haji Hospital And Makassar City Hospital.
Indonesian Contemporary Nursing Journal. Vol 2. Hal. 13-20
Stanley, M.& Beare, P. G. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: Egc

Tarwoto dan Wartonah. (2011). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses


Keperawatan Edisi 4. Jakarta : Salemba Medika.

Ulliya, S., Soempeno, Kushartanti. 2017. Pengaruh Latihan Range Of Motion


(Rom) Terhadap Fleksibilitas Sendi Lutut Pada Lansia Di Panti
Wreda Wening Wardoyo Ungaran. Fakultas Kedokteran: Program
Keperawatan Undip

Wilkinson, Judith M. (2011). Buku saku diagnosis keperawatan : Diagnosis


NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

Wiwit, S. 2010. Stroke dan Penanganannya. Yogyakarta: Kata Hati, hal. 25

Anda mungkin juga menyukai