Anda di halaman 1dari 4

BAB II

LANDASAN TEORI
Gangguan jiwa berat yang sering ditemui di masyarakat adalah skizofrenia (Ibrahim, 2011).
Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif,
emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan & Saddock, 2007). Gejala negatif dari
skizofrenia meliputi sulit memulai pembicaraan, afek tumpul atau datar, berkurangnya
motivasi, berkurangnya atensi, pasif, apatis dan penarikan diri secara sosial dan rasa tidak
nyaman (Videbeck, 2008). Berdasarkan gejala negatif pada klien skizofrenia maka perawat
menegakkan diagnosis keperawatan harga diri rendah.
Harga diri rendah juga adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri, dan sering
disertai dengan kurangnya perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan menurun, tidak
berani menatap lawan bicara lebih banyak menunduk, berbicara lambat dan nada suara lemah
(Keliat, 2010). Data klien di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor menunjukkan bahwa dari 60
klien skizofrenia mengalami masalah harga diri rendah, halusinasi dan perilaku kekerasan
(Lelono, Keliat, Besral, 2011).
Upaya yang dilakukan untuk menangani klien harga diri rendah adalah dengan memberikan
tindakan keperawatan generalis yang dilakukan oleh perawat pada semua jenjang pendidikan
(Keliat & Akemat, 2010). Namun untuk mengoptimalkan tindakan keperawatan dilakukan
tindakan keperawatan spesialis jiwa yang diberikan oleh perawat spesialis keperawatan jiwa
(Stuart, 2009). Tindakan keperawatan spesialis yang dibutuhkan pada klien dengan harga diri
rendah adalah terapi kognitif, terapi interpersonal, terapi tingkah laku, dan terapi keluarga
(Kaplan & Saddock, 2010). Tindakan keperawatan pada klien harga diri rendah bisa secara
individu, terapi keluarga dan penanganan di komunitas baik generalis ataupun spesialis.
Menurut Kaplan & Saddock 2010), tindakan keperawatan spesialis yang
dibutuhkan pada klien dengan harga diri rendah adalah terapi kognitif, terapi
interpersonal, terapi tingkah laku, terapi keluarga dan terapi okupasi. Pemberian terapi
okupasi dapat membantu klien mengembangkan mekanisme koping dalam memecahkan
masalah terkait masa lalu yang tidak menyenangkan. Menurut hasil riset penelitian
Mamnu’ah (2014), terapi okupasi ini dapat menurunkan harga diri dan klien lebih percaya
diri. Rata-rata respon sebelum diberikan terapi okupasi 86,7% dan sesudah diberikan
terapi okupasi 83,3%.
BAB III
PEMBAHASAN

Peneliti Sampel Metode Hasil


Astriyana 2 pasien dengan gangguan Metode  Setelah dilakukan terapi
Krissanti konsep diri: Harga Diri Rendah. deskriptif diperoleh perbedaan
Arnika Dwi Kriteria inklusi: subyek studi analitis hasil tanda dan gejala
Asti kasus yaitu pasien yang harga diri rendah
mengalami gangguan jiwa dengan kronik pada
harga diri rendah, pasien yang partisipan, terdapat
pernah menjalani pengobatan penurunan harga diri
baik di Puskesmas maupun di rendah kronik setelah
Rumah Sakit, Pasien/keluarga diberikan terapi
memiliki kebun atau lahan yang okupasi berkebun
bisa dijadikan media tanam menanam cabai di
dan pasien bersedia menjadi polybag.
subyek studi kasus serta  Penurunan tanda dan
mencakup kriteria ekslusi yaitu: gejala harga diri
Pasien yang sedang sakit fisik rendah kronik
dan menjalani pengobatan dan dipengaruhi oleh status
keluarga tidak mengijinkan. perkawinan, dukungan
social, pendidikan,
usia, lama sakit,
lama pengobatan dan
status bekerja.
Krissanti, A., & Asti, A. D. (2019). Penerapan Terapi Okupasi: Berkebun untuk
Meningkatkan Harga Diri pada Pasien Harga Diri Rendah di Wilayah Puskesmas
Sruweng. Proceeding of The URECOL, 630-636.
http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/701

Menurut Mamnu’ah (2010), penurunan tanda dan gejala harga diri rendah juga dipengaruhi
olehh faktor pendidikan, usia, lama sakit dan lama pengobatan. Menurutnya, responden
yan pendidikannya lebih tinggi dibanding dengan responden yang lain, bisa
dikarakan harga diri responden tersebut lebih baik. Dan menurut Soetjiningsih (2010),
harga diri seseorang dapat menurun karena dipengaruhi oleh status bekerja.
Seseorang yang bekerja dengan yang tidak bekerja, harga dirinya lebih bagus pada
seseorang yang bekerja. Karena seseorang yang bekerja merasa memiliki keahlian
maupun kemampuan yang bermanfaat untuk orang lain.
Menurut Hawari (2010), peningkatannkemampuan seseorang itu dipengaruhi oleh dukungan
keluarga dan orang terdekat untuk proses penyembuhannya. Peningkatan kemampuan
seseorang dalam melakukan terapi okupasi juga dipengaruhi oleh status pekerjaan.
Seseorang yang bekerja kemampuannya lebih meningkat dibanding dengan orang yang
tidak bekerja ( Cohen, dk dalam Fortinash dan Worret, 2012). Status ekonomi
keluarga juga mempengaruhi peningkatan kemampuan seseorang ( Videbeck, 2009).
Dafpus
Krissanti, A., & Asti, A. D. (2019). Penerapan Terapi Okupasi: Berkebun untuk
Meningkatkan Harga Diri pada Pasien Harga Diri Rendah di Wilayah Puskesmas
Sruweng. Proceeding of The URECOL, 630-636.
http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/701
Suerni, T., Keliat, B. A., & CD, N. H. (2013). Penerapan Terapi Kognitif dan Psikoedukasi
Keluarga pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang Yudistira Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor Tahun 2013. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1(2).
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/978

Anda mungkin juga menyukai