Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KONSEP KEPERAWATAN ANAK BERBUTUHAN KHUSUS


AUTISME
Untuk Memenuhi Nilai Mata Kuliah Keperawatan Anak 2

Dosen Ampu : Berlyna Saragih,M.Kep

Disusun Oleh :
1. Petrus Raymundo Romero Sagala (1420119049)
2. Pipit Pratiwi (1420119032)
3. Ribka Savira (1420119025)
4. Rida Silpia (1420119053)
5. Ridwan Prawira Kusuma (1420119016
6. Riski Aditia (1420119036)

S1 KEPERAWATAN 2019
SEKOLAH TINGGI ILMU KESAHATAN IMMANUEL BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena
dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas yang telah ditentukan.

Shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW. sehingga tugas ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini jauh dari sempurna, baik dari
segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen pengampu mata kuliah
guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penulis baik dimasa yang akan datang.

Bandung, April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah...........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................................6
1.3. Tujuan......................................................................................................................7
BAB II.....................................................................................................................................8
TINJAUAN TEORI.................................................................................................................8
2.1. Definisi........................................................................................................................8
2.2. Perilaku Anak Autis..................................................................................................11
2.3. Faktor Penyebab........................................................................................................14
2.4. Tanda Dan Gejala...................................................................................................16
2.5. Patofisiologi...........................................................................................................16
2.6. Hambatan-Hambatan Anak Autis...........................................................................17
2.7. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................................20
2.8. Penatalaksanaan.....................................................................................................20
2.9. Implementasi Metode Teacch Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Dan
Prilaku Adaptif Anak Autis................................................................................................21
2.10. Asuhan Keperawatan..........................................................................................24
BAB III..................................................................................................................................30
PENUTUP.............................................................................................................................30
3.1. Kesimpulan...............................................................................................................30
3.2. Saran.........................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................31

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Istilah autisme sudah cukup familiar di kalangan masyarakat saat ini, karena media
baik media elektronik maupun media massa memberikan informasi secara lebih
mendalam mengenai autisme. Hal ini didukung dengan keprihatinan atas meningkatnya
penyandang autisme di Indonesia. Perkembangan autisme yang terjadi sekarang ini kian
mengkhawatirkan. Mulai dari tahun 1990-an, terjadi peningkatan jumlah autisme, anak-
anak yang mengalami gangguan autistik makin bertambah dari tahun ke tahun. Saat ini,
jumlah penyandang autisme masa kanak terus meningkat. Diperkirakan jumlah
penyandang autisme adalah 15-20 per 10.000 anak.
Peningkatan penyandang autisme ini terdapat di seluruh dunia, termasuk di negara-
negara maju makin banyak anak yang didiagnosis sebagai penyandang autisme. Saat ini
di Indonesia pun sudah banyak ditemukan kasus autisme. Diperkirakan di Indonesia saat
ini dari kelahiran 4,6 juta bayi tiap tahun, 9200 dari mereka berkemungkinan
menyandang autisme (Budhiman, 1998).
Autisme itu sendiri adalah gangguan yang dimulai dan dialami pada masa kanak-
kanak, dimana anak memiliki ketidakmampuan dalam hal berinteraksi dengan orang lain,
gangguan berbahasa, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, dan rute
ingatan yang kuat. Autisme dalam istilah kedokteran, psikiatri, dan psikologi merupakan
gangguan perkembangan pervasive. Secara khas, gangguan yang termasuk dalam
kategori ini ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar yang meliputi
perkembangan keterampilan social, bahasa, perhatian, persepsi, daya nilai terhadap
realitas dan gerakan motorik (Safaria). Sedangkan menurut Melly Budhiman, autisme
adalah suatu gangguan neurobiologis yang terjadi pada anak di bawah umur 3 tahun
Gejala yang tampak pada autisme adalah gangguan dalam bidang perkembangan:
perkembangan interaksi dua arah, perkembangan interaksi timbal balik, dan

1
perkembangan perilaku. Jika merujuk pada DSM-IV, autisme masa kanak adalah
gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan dan/atau gangguan
perkembanan yang muncul sebelum usia 3 tahun dan dengan ciri kelainan fungsi dalam 3
bidang, yaitu: interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas serta berulang.
Autisme disebabkan oleh gangguan atau kelainan pada perkembangan sel-sel otak selama
dalam kandungan. Saat pembentukan selsel tersebut, timbul gangguan dari virus, jamur,
oksigenasi (perdarahan), keracunan makanan ataupun inhalasi (keracunan pernafasan),
yang menyebabkan pertumbuhan otak tidak sempurna (Haaga & Neale, 1995). Penelitian
lain juga menemukan bahwa kelainan genetic merupakan penyebab dari autisme,
termasuk tubersclerosis, phenylketonuria, neurofibromatosis, fragile X syndrome, dan
syndroma Rett. Penelitian yang dilakukan oleh Rodier (2000, dalam Herbert &Graudiano,
2002) menemukan bahwa variasi gen HOXA1 pada kromosom 7 pada masa kehamilan
juga dapat menyebabkan autism
Gambaran umum seorang anak yang didiagnosis mengalami gangguan autisme
menunjukkan kurang adanya respon terhadap orang lain, mengalami kendala dalam
kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, serta memunculkan respon yang aneh
terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu, anak yang mengalami gangguan autisme juga
kurang responstif terhadap emosi orang lain, kurang mampu mengendalikan perilaku
dalam konteks
Autisme bisa terjadi pada siapa saja, tidak mengenal etnis, bangsa, keadaan sosial
ekonomi, dan keadaan intelektualitas orangtua. Perbandingan antara anak laki-laki dan
perempuanyang mengalami gangguan autistik adalah 4:1. Kecerdasan anak-anak autis
sangat bervariasi, dari yang sangat cerdas sampai yang sangat kurang cerdas (Budhiman,
1998). Ada pula dugaan bahwa salah satu faktor pencetus autisme adalah logam berat
merkuri. “Faktor pemicu autisme itu banyak, tidak mungkin satu pemicu saja. Selain
keracunan logam berat, anak-anak penyandang autisme biasanya juga mengalami alergi,
kondisi pencernaannya juga jelek,” kata Melly Budhiman.Gambaran umum mengenai
anak autis ini dapat dikaitkan dengan lingkungan tempat ia tinggal dan siapa saja pihak
yang berperan dalam kesehariannya. Anak yang memiliki kebutuhan khusus akan
mempengaruhi kehidupan keluarga, tetapi tergantung pada apa dan seberapa parah
kebutuhan khususnya. Kenyataannya adalah akan banyak waktu yang tersita dan tenaga

2
yang terforsir kepada anak yang memiliki kebutuhan khusus, sehingga terkadang
beberapa orangtua menggunakan jasa baby sitter guna membantu menjaga dan merawat
anak yang berkebutuhan khusus.Akan menjadi berbeda kehidupan keluarga yang
memiliki anak normal dengan kehidupan keluarga yang memiliki anak ABK. Ada
beberapa situasi yang dialami oleh saudara kandung anak autistik, yaitu diantaranya
adalah perhatian orang tua. Oleh karena anak berkebutuhan khusus perlu perhatian yang
lebih besar, maka akan ada ketimpangan kasih sayang orangtua terhadap anak ABK dan
saudara yang normal. Oleh karena itu peran dan kasih sayang orang tua juga perlu
bersifat merata dan adil terhadap anakABK dan saudara kandung yang normal, agar tidak
menimbulkan rasa iri yang mendalam.
Menurut Ambarini (2006), perkembagan anak autis juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah faktor keluarga. Faktor keluarga dalam hal ini tidak hanya
berupa dukungan dari orangtua, melainkan juga dukungan saudara kandung akan
mempengaruhi perkembangan anak autis. Di lain sisi, kehidupan yang dialami oleh
saudara kandung dari seorang penyandang autistik tidaklah mudah dan bukan merupakan
perkara yang sederhana. Saudara kandung tentunya akan merasakan dampak jika ia
memiliki saudara penyandang autis. Kehadiran anak autis dapat mempengaruhi
kehidupan saudara lainnya, sehingga akan menjadi sulit bagi saudara kandung untuk
membentuk sebuah hubungan yang memuaskan dengan saudara yang autis.
Terkadang orangtua memiliki kecenderungan untuk memperlakukan anak yang
normal sama kerasnya seperti yang mereka lakukan terhadap anak autis (Siegel, 1996).
Hal ini juga akan menambah rasa frustasi pada saudara kandung yang melakukan
aktivitas dengan saudara yang autis. Selain itu, tekanan juga muncul dari masyarakat,
khususnya dari anak-anak seusia, yang menjadi teman pergaulannya (peer group). Hal ini
terlihat dari kutipan langsung peneliti pada saat wawancara awal dengan keluarga yang
memiliki hubungan saudara dengan anak autis“ya kadang-kadang kalo disekolah temen-
temen gossip kalo punya saudara ga normal gitu”
Pada beberapa penelitian dilaporkan adanya problem emosional dan kesulitan yang
dialami oleh anak yang memiliki saudara kandung berkebutuhan khusus. Salah satu
dampaknya adalah pada pembentukan sense of self dari anak tersebut, dan dampak
lainnya berupa pengidentifikasian secara berlebih dengan saudara kakak atau adik dengan

3
kebutuhan khusus.Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara dengan
orangtua yang dimiliki anak berkebutuhan khusus (intellectual disabilities), Farber (1959
dalam Ashman&Elkins, 1994) menyimpulkan adanya pengaruh dalam hal
ketergantungan yang tinggi.
Kirkman (1984c, dalam Ashman&Elkins, 1994) dalam penelitiannya pada subjek usia
dewasa yang memiliki saudara kandung berkebutuhan khusus dengan menggunakan
kuesioner menunjukkan hasil bahwa banyak dari mereka yang menyatakan memiliki
perasaan malu, cemas, dan ragu-ragu. Namun, hal ini tidak akan berdampak pada
perkembangan konsep diri anak tersebut jika orangtua memberikan perhatian yang cukup
dan tidak memberikan evaluasi yang negatif pada anak tersebut dalam hal usaha merawat
kakak atau adiknya yang berkebutuhan khusus.Biasanya orang tua juga tidak jarang
mengajak dan meminta bantuan dari saudara kandung normal untuk turut serta dalam
menjaga dan mengawasi anak autis. Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan
peneliti, “ ya kadang malas kalo disuruh sama mama jagain saudara soalnya kan ga bisa
diajak main, kadang ga bisa pergi juga sama temen.”
Berdasarkan wawancara tersebut diketahui bahwa ada penolakan dari saudara
kandung normal untuk membantu merawat dan menjaga saudara autis. Hal ini berkaitan
dengan hubungan sosial saudara kandung normal dengan pergaulan dengan teman
sebayanya. Terkadang akan ada penolakan dalam peer group yang dialami dikarenakan
keadaan saudaranya yang mengalami gangguan autisme.
Kesulitan lain yang dialami oleh anak yang memiliki saudara kandung berkebutuhan
khusus adalah mereka akan melihat tanda-tanda disabilitas pada dirinya seperti yang
dialami saudara kandungnya karena mereka menyadari banyaknya kesamaan-kesamaan
yang mereka alami, seperti memiliki orangtua yang sama, lingkungan rumah yang sama,
dan lain-lain. Sebagai konsekuensinya, mereka akan berfantasi menjadi sama dengan
saudara kandungnya tersebut dalam hal karakteristik disabilitasnya (Grossman, 1972; San
Martino & Newman, 1974 dalam Ashman&Elkins, 1994). Demikian pula Kirkman
(1984b dalam Ashman&Elkins, 1994) melaporkan bahwa 40 persen dari sampel anak-
anak yang memiliki saudara berkebutuhan khusus menyatakan bahwa hubungan
interpersonal dan prestasi akademik mereka di sekolah terpengaruh oleh kehadiran
saudara kandungnya tersebut.

4
Berdasarkan data awal yang diperoleh peneliti, dapat diketahui adanya dua gambaran
mengenai saudara kandung yang memiliki saudara autis yaitu ada beberapa saudara yang
bisa menerima saudaranya yang menyandang autis, sedangkan ada juga lainnya yang
menyatakan tidak bisamenerima saudaranya yang autis. Terlihat pada hasil wawancara
awal pada partisipan pertama yang menyatakan dirinya masih belum bisa menerima
bahwa memiliki saudara kandung yang menyandang autis. Hal ini berbeda dengan
partisipan kedua yang menyatakan bahwa dirinya sudah dapat menerima bahwa memiliki
saudara kandung anak autis. Diperoleh pula informasi bahwa partisipan pada awalnya
tidak mengetahui tentang arti ABK sebenarnya. Tetapi setelah mendapatkan penjelasan
dari orangtua mengenai arti ABK, khususnya autisme, mereka dapat memahami apa yang
sebenarnya terjadi pada saudara mereka yang autis. Mereka juga diberikan pengertianoleh
orangtua agar mereka memahami bahwa mengurus anak autis tidak sepenuhnya sama
seperti merawat anak normal lainnya
Berdasarkan fenomena yang muncul, terlihat bahwa dukungan sosial dari keluarga
sangat mempengaruhi anak autis. Anak autis yang memiliki keterbatasan, bukan berarti
tertutup sudah semua jalan bagi anak autis untuk dapat berhasil dalam hidupnya dan
menjalani hari-harinya tanpa selalu bergantung pada orang lain disekitarnya. Di balik
kelemahan atau kekurangan yang dimiliki, anak berkebutuhan khusus masih memiliki
sejumlah kemampuan atau modalitas yang dapat dikembangkan untuk membantunya
menjalani hidup seperti individu-individu lain pada umumnya.
Tak lepas peran dari keluarga yang merupakan lingkungan terdekat dan utama dalam
kehidupan anak berkebutuhan khusus. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas
berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan
khusus akan sangat ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab
keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam diri
seseorang dengan jauh lebih baik daripada orang-orang yang lain.
Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari orangtua dan anggota keluarga yang
lain akan memberikan "energi" dan rasa percaya diri pada anak berkebutuhan khusus
untuk lebih mencoba mempelajari dan melakukan hal-hal baru yang terkait dengan
ketrampilan hidupnya.Sebaliknya, penolakan atau minimnya dukungan yang diterima dari
orang-orang terdekat akan membuat mereka semakin rendah diri dan menarik diri dari

5
lingkungan, enggan berusaha karena selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan
dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-
benar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta selalu tergantung pada
bantuan orang lain, termasuk dalam merawat diri sendiri.
Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh
yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti anggota keluarga, teman,
saudara, dan rekan kerja. Johnson dan Johnson menyatakan bahwa dukungan sosial
adalah pemberian bantuan seperti materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh
terhadap kesejahteraan manusia. Dukungan sosial juga dimaksudkan sebagai keberadaan
dan kesediaan orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya untuk membantu,
mendorong, menerima, dan menjaga individu. Menurut Saronson dkk (Suhita, 2005),
dukungan sosial memiliki peranan penting untuk melindungi individu dari ancaman
kesehatan mental.

Berdasarkan hal inilah menapa peneliti ingin melihat dan meneliti mengenai dukungan
sosial pada keluarga, khususnya pada saudara kandung yang mempunyai peranan yang
sama kuatnya setelah dukungan sosial dari orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus
(ABK) dalam hal ini yaitu autisme. Saudara kandung merupakan orang terdekat dalam
keseharian anak autis, hubungan saudara sekandung merupakan hubungan yang bertahan
paling lama dan paling berpengaruh dalam kehidupan seseorang (Berkell, 1994, dalam
Hurlovk, 2000).

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan autisme?
b. Bagaimana prilaku anak autis?
c. Apa faktor penyebab anak menjadi autis?
d. Bagaimana tanda dan gejala yan timbulnya?
e. Bagaimana patofisiologinya?
f. Apa hambatan-hambatan autis?
g. Apa saja pemeriksaan penujangnya?

6
h. Bagaimana penatalaksanaannya?
i. Bagaiman implementasi metode teach untuk meningatkan kemampuan kognitif dan
prilaku adatif anak autis?
j. Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan?

a.3. Tujuan
a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan autisme
b. Mengetahui bagaimana prilaku anak autis
c. Mengetahui apa faktor penyebab anak menjadi autis
d. Mengetahui bagaimana tanda dan gejala yan timbulnya
e. Mengetahui bagaimana patofisiologinya
f. Mengetahui mengetahui apa hambatan-hambatan autis
g. Mengetahui apa saja pemeriksaan penujangnya
h. Mengetahui bagaimana penatalaksanaannya
i. Mengetahui bagaiman implementasi metode teach untuk meningatkan kemampuan
kognitif dan prilaku adatif anak autis
j. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan

7
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus
karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan
dengan istilah disability, maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki
keterbatasan di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti
tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD.
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘aut’
yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan‘orientasi atau
arah atau keadaan (state). Sehingga autism dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang
yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).
Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak dengan minat
pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak
membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka.
Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh
seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner. Ia menemukan sebelas anak yang
memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan
individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga
perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri. Autis merupakan suatu
gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi
sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak pada sebelum usia tiga tahun. Bahkan
apabila autis infantil gejalanya sudah ada sejak bayi. Autis juga merupakan suatu
konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang kompleks
yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi: persepsi (perceiving), intending, imajinasi
(imagining) dan perasaan (feeling). Autis jugs dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan
dalam penalaran sistematis (systematic reasoning). Dalam suatu analisis

8
‘microsociological’ tentang logika pemikiran mereka dan interaksi dengan yang lain
(Durig, 1996; dalam Trevarthen, 1998), orang autis memiliki kekurangan pada ‘cretive
induction’ atau membuat penalaran induksi yaitu penalaran yang bergerak dari premis-
premis khusus (minor) menuju kesimpulan umum, sementara deduksi, yaitu bergerak
pada kesimpulan khusus dari premis-premis (khusus) dan abduksi yaitu peletakan premis-
premis umum pada kesimpulan khusus, kuat. (Trevarthen, 1998).
DSM IV (Diagnpstic Statistical Manual yang dikembangkan oleh para psikiater
dari Amerika) mendefinisikan anak autis sebagai berikut:
a. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b dan c, meliputi sekurang-
kurangnya: satu item dari kelompok a, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok
b, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit
dua diantara berikut:
a) Memiliki kesulitan dalam mengunakan berbagai perilaku non verbal seperti,
kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh, bahasa tubuh lainnya yang
mengatur interaksi social
b) Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya
atau teman yang sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya.
c) Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau keberhasilan
secara spontan dengan orang lain (seperti; kurang tampak adanya perilaku
memperlihatkan, membawa atau menunjuk objek yang menjadi minatnya).
d) Ketidakampuan dalam membina hubungan sosial atau emosi yang timbal
balik.
k. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit
satu dari yang berikut:
a) Keterlambatan dalam perkembangan bicara atau sama sekali tidak (bukan
disertai dengan mencoba untuk mengkompensasikannya melalui cara-cara
komunikasi alternatif seperti gerakan tubuh atau lainnya)
b) Bagi individu yang mampu berbicara, kurang mampu untuk memulai
pembicaraan atau memelihara suatu percakapan dengan yang lain

9
c) Pemakaian bahasa yang stereotipe atau berulang-ulang atau bahasa yang
aneh (idiosyncantric)
d) Cara bermain kurang bervariatif, kurang mampu bermain pura-pura secara
spontan, kurang mampu meniru secara sosial sesuai dengan tahap
perkembangan mentalnya
l. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive, dan stereotype seperti yang
ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut:
a) Keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas dan
stereotipe baik dalam intensitas maupun dalam fokusnya.
b) Tampak tidak fleksibel atau kaku dengan rutinitas atau ritual yang khusus,
atau yang tidak memiliki manfaat.
c) perilaku motorik yang stereotip dan berulang-ulang (seperti : memukul-
mukulkan atau menggerakgerakkan tangannya atau mengetuk-ngetukan
jarinya, ataumenggerakkan seluruh tubuhnya).
d) Keasikan yang menetap dengan bagian-bagian dari benda (object).
b. Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia tiga tahun seperti yang
ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit satu
dari bidang-bidang berikut:
c. Sebaiknya tidak dikelompokkan ke dalam Rett Disorder, Childhood Integrative
Disorder, atu Asperger Syndrom. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak
autis yaitu anak-anak yang mengalami kesulitan perkembangan otak yang kompleks
yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi: persepsi (perceiving), intending,
imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling) yang terjadi sebelum umur tiga tahun
dengan dicirikan oleh adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial, komunikasi
dan terobsesi pada satu kegiatan atau obyek yang mana mereka memerlukan layanan
pedidikan khusus untuk mengembangkan potensinya.

10
2.2. Perilaku Anak Autis
a. Prilaku Sosial

Perilaku sosial memungkinkan seorang individu untuk berhubungan dan berinteraksi


dalam seting sosial. Tinjauan tentang kesulitan (deficits) sosial pada anak-anak autis
baru-baru ini muncul (Hawlin, 1986 dalam Kathleen Ann Quill, 1995).Anak-anak
autis yang nonverbal telah diketahui bahwa mereka mengabaikan (ignore) orang lain,
memperlihatkan masalah umum dalam bergaul dengan orang lain secara sosial.
Ekspresi sosial mereka terbatas pada ekspresi emosi-emosi yang ekstrim, seperti
menjerit, menangis atau tertawa yang sedalam-dalamnya .

Anak-anak autis tidak menyukai perubahan sosial atau gangguan dalam rutinitas
sehari-hari dan lebih suka apabila dunia mereka tetap sama. Apabila terjadi
perubahan mereka akan lebih mudah marah, contoh: mereka akan marah apabila
mengambil rute pulang dari sekolah yang berbeda dari yang biasa dilewati, atau
posisi furnitur di dalam kelas berubah dari semula.

Anak-anak autis sering memperlihatkan perilaku yang merangsang dirinya sendiri


(self-stimulating) seperti mengepak-ngepakkan tangan (hand flapping) mengayun-
ayun tangan ke depan dan kebelakang, membuat suara-suara yang tetap (ngoceh),
atau menyakiti diri sendiri (self-inflicting injuries) seperti menggaruk-garuk, kadang
sampai terluka, menusuk-nusuk. Perilaku merangsang diri sendiri (self-stimulating)
lebih sering terjadi pada waktu yang berbeda dari kehidupan anak atau selama situasi
sosial berbeda (Iwata et all, 1982 dalam Kathleen Ann Quill, 1995). Perilaku ini lebih
sering lagi terjadi pada saat anak autis ditinggal sendiri atau sedang sendirian
daripada waktu dia sibuk dengan tugas-tugas yang harus dikerjakannya, dan
berkurang setelah anak belajar untuk berkomunikasi. (Carr & Durrand, 1985; dalam
Kathleen Ann Quill, 1995).

b. Prilaku Komunikasi

Bahasa termasuk pembentukan kata-kata, belajar aturan-aturan untuk merangkai


kata-kata menjadi kalimat dan mengetahui maksud atau suatu alasan menggunakan
bahasa. Bahasa merupakan sesuatu yang abtrak. Pemahaman bahasa memerlukan

11
fungsi pendengaran yang baik dan persepsi pendengaran yang baik pula. Bahasa
pragmatis yang merupakan penerjemahan (interpreting) dan penggunaan bahasa
dalam konteks sosial, secara pisik (physical) dan konteks linguistik. Pragmatis dan
komunikasi berhubungan erat, untuk menjadi seorang komunikator yang berhasil
seorang anak harus memiliki pengetahuan tentang bahasa yang dipergunakannya
sama baiknya dengan pemahaman tentang manusia dan dimensi dunia yang bukan
manusia.

Komunikasi lebih daripada kemampuan untuk bicara atau kemampuan untuk


merangkai kata-kata dalam urutan yang tepat (Wilson, 1987 Kathleen Ann Quill,
1995). Komunikasi adalah kemampuan untuk membiarkan orang lain mengetahui
apa yang diinginkan oleh individu, menjelaskan tentang suatu kejadian kepada orang
lain, untuk menggambarkan tindakan dan untuk mengakui keberadaan atau kehadiran
orang lain. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal dan nonverbal. Komunikasi
dapat dijalin melalui gerakan tubuh, melalui tanda isarat atau dengan menunjukkan
gambar atau kata-kata. Secara tidak langsung komunikasi menyatakan suatu situasi
sosial antara dua individu atau lebih.

Dalam komunikasi orang yang membawa pesan disebut pemrakarsa (initiator)


sedangkan orang yang mendengarkan pesan disebut penerima pesan. Pesan
bergantian antara pemrakarsa dan penerima pesan. Untuk memenuhi kemampuan
(competent) dalam keterampilan pragmatis anak harus mengetahui dan memahami
kedua peran tersebut, sebagai premrakarsa dan sebagai penerima pesan. (Watson,
1987, dalam Kathleen Ann Quill, 1995). Banyak anak autis yang memiliki kesulitan
dalam pragmatis (Baron, Cohen, 1988 dalam Kathleen, 1995). Untuk peran
pemrakarsa dalamberkomunikasi, anak autistik memiliki kesulitan dalam memulai
percakapan atau pembicaraan (Feidstein, Konstantereas, Oxman, & Webster, 1982
dalam Kathleen Ann Quill, 1995). Ketika berbicara, mereka cenderung meminta
orang dewasa untuk mengambilkan mainan, makanan atau minuman, mereka jarang
menyampaikan tindakan yang komunikatif seperti menjawab orang lain,
mengomentari sesuatu, mengungkapan perasaan atau menggunakan etika sosial
seperti pengucapan terimakasih, atau meminta maaf.

12
Anak-anak autis yang non verbal sering menjadi penerima informasi dan merespon
pada orang tua dan guru mereka meminta dengan perlakuan (deal) yang konsisten.
Contoh orang dewasa bertanya:”Kamu mau makan apa?”. Dan anak mungkin
menjawab dengan memperlihatkan gambar kue atau dengan menggambar kue atau
bahkan mungkin dengan kata-kata. Ini sutu peningkatan komunikasi karena anak
mengakui orang dewasa sebagai teman dalam meningkatkan komunikasi dan
memahami permintaan guru yang ditujukan padanya. Dalam permintaan ini anak
sebagai penerima dan penjawab permintaan itu. (Kathleen Ann Quill, 1995).

Ada beberapa perilaku yang diperlukan dan harus dimiliki oleh seorang anak autis
yang nonverbal agar menjadi seorang komunikator yang berhasil yaitu pemahaman
sebab akibat, keinginan berkomunikasi, dengan siapa dia berkomunikasi, ada sesuatu
untuk dikomunikasikan dan makna dari komunikasi. Di dalam komunikasi apabila
seorang anak tidak memahami sebab, dia akan mengalami kesulitan dalam meminta
seseorang untuk melakukan sesuatu atau membantunya untuk mengambil benda di
tempat penyimpanan (rak) yang paling tinggi. Tanpa penalaran sebab akibat anak
tidak dapat meminta suatu tindakan atau benda dari orang lain. Memiliki keinginan
untuk berkomunikasi dengan orang lain merupakan tugas yang sulit untuk anak-anak
yang nonverbal, selama satu dari tantangan utama mereka adalah ketidakmampuan
untuk berhubungan dengan orang lain dalam cara yang diharapkan. Mereka tidak
mengakui atau memperlihatkan ketertarikan pada orang lain. Alasan utama dari
pernyataan ini karena miskinnya hubungan sebab akibat yang telah dibicarakan di
atas. Jika seorang anak tidak memahami bahwa seseorang dapat membantunya atau
anak tidak memahami bahwa tindakan akan mengakibatkannya mendapatkan
sesuatu.

Sering kali guru berperan sebagai pemrakarsa dalam meningkatkan komunikasi


dengan anak autis dan anak biasanya jadi responder. Anak harus belajar menunggu
dengan sabar supaya guru menunjukkannya dan dia akan menerima yang
dinginkannya. Anak perlu kesempatan untuk meminta benda dengan bebas atau
mengawali percakapan. Jika anak autis tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan dia
akan tetap tidak berkomunikasi (noncomunicatif). Dari uraian di atas dapat ditarik

13
kesimpulan bahwa prilaku komunikasi anak autistik yang menghambat interaksinya
dengan orang lain, dapat ditunjukkan dengan perilaku yang nampak seperti:
mengabaikan orang lain (tidak merespon apabila diajak berbicara), tidak dapat
mengekspresikan emosi secara tepat (tidak tertawa melihat yang lucu, tidak
memperlihatkan perasaan senang, takut, atau sakit, dalam mimik mukanya), terobsesi
dengan kesamaan (kaku), tidak mampu mengungkapkan keinginannya secara verbal
atau mengkompensasikannya dalam gerakan, sulit untuk memulai percakapan atau
pembicaraan, jarang melakukan tindakan yang komunikatif, jarang menggunakan
kata-kata yang menunjukkan etika sosial, ataumengungkapkan perasaan atau
mengomentari sesuatu, echolalia (membeo), nada bicara monoton, salah
menggunakan kata ganti orang.

2.3. Faktor Penyebab


a. Faktor Genetik

Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik. Penyakit
genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah tuberous sclerosis (17-58%)
dan sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile-X karena secara sitogenetik
penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan (fragile) yang tampak seperti patahan
diujung akhir lengan panjang kromosom X 4. Sindrome fragile X merupakan
penyakit yang diwariskan secara X-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosome X.
Pola penurunannya tidak umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan X-
linked lainnya, karena tidak bisa digolingkan sebagai dominan atau resesi, laki-laki
dan perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier). (Dr.
Sultana MH Faradz, Ph.D, 2003)

b. Ganguan pada Sistem Syaraf

Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir
semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil.
Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel purkinye di otak kecil pada
autisme. Berkurangnya sel purkinye diduga dapat merangsang pertumbuhan akson,

14
glia dan myelin sehingga terjadi pertumbuhan otak yang abnormal, atau sebaliknya
pertumbuhan akson yang abnormal dapat menimbulkan sel purkinye mati. (Dr.
Hardiono D. Pusponegoro, SpA(K), 2003).

Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai
sirkuit yang mengatur perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau
terganggu maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti
misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku.

c. Ketidakseimbangan Kimiawi

Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik berhubungan


dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi terhadap makanan
tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu, tepung gandum, daging, gula,
bahan pengawet, penyedap rasa, bahan pewarna, dan ragi.

Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun 2000 sampai 2001 telah
dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang memenuhi kriteria gangguan
autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara 1 – 10 tahun, dari 120 orang itu 97
adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah anak perempuan. Dari hasil pemeriksaan
diperoleh bahwa anak anak ini mengalami gangguan metabolisme yang kompleks,
dan setelah dilakukan pemeriksaan untuk alergi, ternyata dari 120 orang anak yang
diperiksa: 100 anak (83,33%) menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain,
18 anak (15%) alergi terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi
terhadap gluten dan makanan lain. (Dr. Melly Budiman, SpKJ, 2003). Penelitian lain
menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan hormonal, peningkatan kadar
dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang menurunkan persepsi nyeri
dan motivasi

d. Kemungkinan Lain

Infeksi yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran dapat merusak otak seperti virus
rubella yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan kerusakan otak.
Kemungkinan yang lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang tuanya
sehingga tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak, atau anak tidak

15
pernah diajak berbicara sejak kecil, itu juga dapat menyebabkan anak menderita
autisme.

b.4. Tanda Dan Gejala


a. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal
Meliputi kemampuan berbahasa dan mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak
dapat berbicara.
b. Gangguan dalam bidang interaksi social
Meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka.
c. Gangguan dalam bermain
Diantaranya bermain sangat monoton dan aneh, missal menderetkan/menjajarkan
mainan menjadi deretan yang panjang.
d. Gangguan Perilaku
Dilihat dari gejala dianggap sebagai anak yang kerapian harus menempatkan barang
tertentu pada tempatnya.
e. Gangguan Perasaaan dan Emosi
Dapat dilihat dari perilaku tertawa sendiri, menangis atau mrah tanpa sebab nyata.
f. Gangguan dalam Pesepsi Sensor
Meliputi perasaan sensitive terhadap cahaya (penglihatan), pendengaran, sentuhan,
penciuman dan rasa (lidah) .

b.5. Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri dari badan sel dan serabut untuk mengalirkan implus listrik
(akson) serta serabut untuk menerima implus listrik (dendrite).Sel saraf terdapat pada
lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks).akson di bungkus selaput bernama
myelin terletak di bagian otak berwarna putih.Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat
sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan.pada trimester
ketiga,pembentukan sel saraf berhenti dan di mulai pembentukan akson,dendrite dan
sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.
16
Setelah anak lahir,terjadi proses pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya
struktur akson,dendrite dan sinaps.proses ini di pengaruhi secara genetic melalui
sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brai growth factor dan proses belajar anak.
Makin banyak sinaps terbentuk,anak makin cerdas,pembentukan akson,dendrite dan
sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan.Bagian otak yang digunakan
dalam belajarmenunjukan pertamabhan akson,dendrite dan sinaps,sedangkan bagian otak
yang tak digunakan menunjukan kematian sel,berkurangnya akson,dendrite dan
sinaps.Kelaina genetis,keracuna logam berat,dan nutrisi yang tidak adekuatdapat
menyebabkan gangguan proses-proses tersebut.Sehingga akan menyebabkan
abnormalitas pertumbuhan sel saraf.

b.6. Hambatan-Hambatan Anak Autis


Ada beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu: Anak autis memiliki
hambatan kualitatif dalam interaksi sosial artinya bahwa anak autistik memiliki hambatan
dalam kualitas berinteraksi dengan individu di sekitar lingkungannya, seperti anak-anak
autis sering terlihat menarik diri, acuh tak acuh, lebih senang bermain sendiri,
menunjukkan perilaku yang tidak hangat, tidak ada kontak mata dengan orang lain dan
bagi mereka yang keterlekatannya terhadap orang tua tinggi, anak akan merasa cemas
apabila ditinggalkan oleh orang tuanya.

Sekitar 50 persen anak autis yang mengalami keterlambatan dalam berbicara dan
berbahasa. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami pembicaran orang lain yang
ditujukan pada mereka, kesulitan dalam memahami arti kata-kata dan apabila berbicara
tidak pada konteks yang tepat. Sering mengulang kata-kata tanpa bermaksud untuk
berkomunikasi, dan sering salah dalam menggunakan kata ganti orang, contohnya
menggunakan kata saya untuk orang lain dan menggunakan kata kamu untuk diri sendiri.

Mereka tidak mengkompensasikan ketidakmampuannya dalam berbicara dengan bahasa


yang lain, sehingga apabila mereka menginginkan sesuatu tidak meminta dengan bahasa
lisan atau menunjuk dengan gerakan tubuh, tetapi mereka menarik tangan orang tuanya
untuk mengambil obyek yang diinginkannya. Mereka juga sukar mengatur volume

17
suaranya, kurang dapat menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi, seperti:
menggeleng, mengangguk, melambaikan tangan dan lain sebagainya.

Anak autis memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung untuk menyenangi
lingkungan yang rutin dan menolak perubahan lingkungan, minat mereka terbatas artinya
mereka apabila menyukai suatu perbuatan maka akan terus menerus mengulang
perbuatan itu. anak autistik juga menyenangi keteraturan yang berlebihan.

Lorna Wing (1974) menuliskan dua kelompok besar yang menjadi masalah pada

anak autis yaitu:

a. Masalah dalam memahami lingkungan (Problem in understanding the world)


1. Respon terhadap suara yang tidak biasa (unusually responses to sounds). Anak
autis seperti orang tuli karena mereka cenderung mengabaikan suara yang sangat
keras dan tidak tergerak sekalipun ada yang menjatuhkan benda di sampingnya.
Anak autis dapat juga sangat tertarik pada beberapa suara benda seperti suara
bel, tetapi ada anak autis yang sangat tergangu oleh suara-suara tertentu,
sehingga ia akan menutup telinganya.
2. Sulit dalam memahami pembicaraan (Dificulties in understanding speech). Anak
autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraan memiliki maknatidak dapat
mengikuti instruksi verbal, mendengar peringatan atau paham apabila dirinya
dimarahi (scolded). Menjelang usia lima tahun banyak autis yang mengalami
keterbatasan dalam memahami pembicaraan.
3. Kesulitan ketika bercakap-cakap (Difiltuties when talking). Beberpa anak autis
tidak pernah berbicara, beberapa anak autis belajar untuk mengatakan sedikit
kata-kata, biasanya mereka mengulang kata-kata yang diucapkan orang lain,
mereka memiliki kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak dapat
menggunakan kata-kata secara fleksibel atau mengungkapkan ide.
4. Lemah dalam pengucapan dan kontrol suara (Poor pronunciation and voice
control). Beberapa anak autis memiliki kesulitan dalam membedakan suara
tertentu yang mereka dengar. Mereka kebingungan dengan kata-kata yang
hampir sama, memiliki kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit.

18
Mereka biasanya memiliki kesulitan dalam mengontrol kekerasan (loudness)
suara.
5. Masalah dalam memahami benda yang dilihat (Problems in understanding things
that are seen). Beberapa anak autis sangat sensitif terhadap cahaya yang sangat
terang, seperti cahaya lampu kamera (blitz), anak autis mengenali orang atau
benda dengan gambaran mereka yang umum tanpa melihat detil yang tampak.
6. Masalah dalam pemahaman gerak isarat (problem in understanding gesturs).
Anak autis memiliki masalah dalam menggunakan bahasa komunikasi; seperti
gerakan isarat, gerakan tubuh, ekspresi wajah.
7. Indra peraba, perasa dan pembau (The senses of touch, taste and smell). Anak-
anak autis menjelajahi lingkungannya melalui indera peraba, perasa dan pembau
mereka. Beberapa anak autis tidak sensitif terhadap dingin dan sakit.
8. Gerakan tubuh yang tidak biasa (Unusually bodily movement). Ada
gerakangerakan yang dilakukan anak autis yang tidak biasa dilakukan oleh anak-
anak yang normal seperti mengepak-ngepakan tangannya, meloncat-loncat, dan
menyeringai.
9. Kekakuan dalam gerakan-gerakan terlatih (clumsiness in skilled movements).
Beberapa anak autis, ketika berjalan nampak anggun, mampu memanjat dan
seimbang seperti kucing, namun yang lainnya lebih kaku dan berjalan seperti
memiliki bebrapa kesulitan dalam keseimbangan dan biasanya mereka tidak
menikmati memanjat. Mereka sangat kurang dalam koordinasi dalam berjalan
dan berlari atau sebaliknya.

b. Masalah gangguan perilaku dan emosi (Dificult behaviour and emotional problems).
1. Sikap menyendiri dan menarik diri (Aloofness and withdrawal). Banyak anak
autis yang berprilaku seolah-olah orang lain tidak ada. Anak autis tidak
merespon ketika dipanggil atau seperti tidak mendengar ketika ada orang yang
berbicara padanya, ekspresi mukanya kosong.
2. Menentang perubahan (Resistance to change). Banyak anak autis yang menuntut
pengulangan rutinitas yang sama. Beberapa anak autis memilikiutinitas mereka

19
sendiri, seperti mengetuk-ngetuk kursi sebelum duduk, atau menempatkan objek
dalam garis yang panjang.
3. Ketakutan khusus (Special fears). Anak-anak autis tidak menyadari bahaya yang
sebenarnya, mungkin karena mereka tidak memahami kemungkinan
konsekuensinya.
4. Prilaku yang memalukan secara sosial (Socially embarrassing behaviour).
Pemahaman anak autis terhadap kata-kata terbatas dan secara umum tidak
matang, mereka sering berperilaku dalam cara yang kurang dapat diterima secara
sosial. anak-anak autis tidak malu untuk berteriak di tempat umum atau berteriak
dengan keras di senjang jalan.
5. Ketidakmampuan untuk bermain (Inability to play). Banyak anak autis bermain
dengan air,pasir atau lumpur selam berjam-jam. Mereka tidak dapat bermain
pura-pura. Anak-anak autis kurang dalam bahasa dan imajinasi, mereka tidak
dapat bersama-sama dalam permainan denga anak-anak yang lain.

b.7. Pemeriksaan Penunjang


a. Neutrologis
b. Test neupsikologis
c. Test pendengaran
d. MRI (Magnetic resonance imaging)
e. EEG (elektro encepalogram)
f. Pemeriksaan darah
g. Pemeriksaan urine

b.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis:

Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin 5-
Hydroxytryptamine (5HT) yaitu neurotransmitter atau penghantar singnal ke sel-sel saraf.
Sekitar 30-50% penyandang autis mempunyai kadar serotonin dalam darah. Kadar

20
norepinefrin, dopamine dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam keadaan stabil dan
saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian pada penyandang autis.Terapi
psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau perjalanan autis tetapi efektif
mengurangi perilaku autistic seperti hiperaktivitas, penarikan diri, stereotipik, menyakiti
diri sendiri,agresifsifitas dan gangguan tidur.Risperidone bisa digunakan sebagai
antagonis reseptor dopamine D2 dan seroton 5-HT untuk mengurangi
agresifitas,hiperaktivitas,dan tingkalaku yang menyakiti diri sendiri.

Penatalaksanaan keperawatan:

1. Terapi wicara: membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu


anak berbicara yang lebih baik.
2. Terapi okupasi: untuk melatih motorik halus anak
3. Terapi perilaku:anak autis sringkali merasa frustasi.teman-temannya sringkali tidak
memahami mereka. mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, mereka
banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Maka tak heran
mereka sering mengamuk.Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar
belakang dari perilaku negative tersebut dan mencari solusinya dengan
merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk
memperbaiki perilakunya

b.9. Implementasi Metode Teacch Untuk Meningkatkan Kemampuan


Kognitif Dan Prilaku Adaptif Anak Autis
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meingkatkan kemampuan kognitif dan
prilaku adaptif anak autis.adalah metode TEACCH (Treatment and Education of Autistc
and Related Communication Handicapped Children and Adults), yang dilaksanakan di
Universtas North Carolina, metode ini memberi banyak pemahaman dan pelatihan bagi
guru untuk bekerja dengan anak-anak autis. Metode ini juga mempunyai kumpulan
asesmen pendidikan dan materi kurikulum yang dipadukan dengan seluruh program dan
pendekatan pendidikan mereka.

21
Salah satu program aplikasi metode TEACCH adalah dengan menggunakan
system komunikasi visual, yang mana anak berkomunikasi dengan setiap orang melalui
gambar dan foto. Hal ini karena ketertarikan anak autis terhadap obyek (gambar) lebih
tinggi daripada terhadap manusia. Proses timbal balik dalam suatu system komunikasi
dengan gambarpun dibuat lebih mudah sehingga lebih mudah divisualisasi. seorang anak
autis membawa gambar untuk meminta pertolongan, kemudian guru menghampiri, anak
menunjuukkan gambar minta dan kue, kemudian gurunya memberikan kue.

Dalam aplikasi metode TEACCH, kurikulum berikut karakteristik sosial telah


diobservasi selama observasi yang meliputi: proximity, (kedekatan), objects and body use
(penggunaan benda dan tubuh), social response (respon sosial), social initiation
(permulaan sosial), interfering (behavior), menyentuh prilaku dan adaptation to change
(menyesuaikan terhadap perubahan).

1. Proximity. Pada proximity, observasi dilakukan tentang toleransi bagian tubuh,


“arah” adalah aspek lain dari: apakah kita menatap dengan benar ketika sedang
berbicara dengan anak autis? Apakah dia (anak autis) melihat kita ketika kita bicara
kepadanya? Apakah dia memahami aktivitas? (missal: area rekreasi untuk bermain,
atau sudut ruangan untuk bekerja).
2. Objects and body use. Apakah anak autis memiliki anyak gerakan yang aneh?
(missal: jalan berjinjit)? Apakah dia memahami bahwa sendok adalah alat yang
digunakan untuk makan dengan atau tanpa bunyi ketika menggunakannya?
3. Response social. Bagaimana reaksi anak autis ketika orang lain tersenyum atau
mengucapkan salam? Atau ketika teman atau saudaranya mengajak bermain?
Apakah anak autis dapat berjabatan tangan?
4. Social initiation. Apakah anak autis dapat mengucapkan selamat pagi pada dirinya
sendiri di pagi hari? Itu dapat menjadi suatu keterampilan hubungan masyarakat
yang sangat penting di kemudian hari ketika dia sudah bekerja. Kemampuan prilaku
adaptif ini dapat menentukan sikap karyawan lain untuk menghargai dan menerima
orang autis. Apakah orang autis dapat menjelaskan bahwa dia kebingungan, belum
mengerti sesuatu atau bahwa dia tidak mempunyai garpu dan sendok?
5. interfering behavior. Apakah anak autis menunjukkan agresi terhadap dirinya

22
sendiri atau orang lain?
6. Adaptation to change. Apakah anak autis merasa terganggu ketika program atau
posisi benda yang ada di lingkungannya berubah? Apakah dia mampu
menggeneralisir keterampilan dan prilaku yang adaptif pada aktivitas situasi lain?.

Karakteristik itu semua diamatai dalam berbagai situasi yang relevan dengan kehidupan
anak autis, waktunya tersetruktur, ketika sedang bermain, waktu makan, selama
perjalanan, ketika bertemu dengan orang lain

Contoh aplikasi metode TEACCH :

1. Seorang anak autis masuk ke dalam kelas untuk pertama kali. Dia belum terbiasa
untuk belajar, dan sulit untuk duduk. Guru menyuruh dia untuk mengambil kartu dan
memasukkan ke dalam kotak yang sesuai dengan warna kartu, tapi dia tidak
mengerti. Dia menangis dan teriak. Dia menunjukkan ‘penolakan’ dengan tidak
mengijinkan siapapun untuk mendekat.
2. Tiga minggu kemudian. Guru memberikan kartu ketika anak autis masuk ke dalam
kelas, dia masih belum mengerti dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Kemudian guru menuntun dia secara fisik, memberikan dorongan pada arah yang
benar, dia merespon. Dia menunjukkan penolakan tetapi tidak lama dan dia
membutuhkan dorongan fisik.
3. Tiga bulan kemudian. Anak mulai memahami rutinitas kelas. Dia datang kemudian
mengambil kartu dari guru dan memasukkannya pada kotak yang warnanya sama,
guru berkata yang harus dilakukan oleh anak (jadwal pada hari itu), atau
menunjukkan gambar yang menandakan kegiatan yang harus dilakukan oleh anak.
Dia melakukan aktivitas sesuai dengan gambar yang ditunjukkan oleh guru. Pada
tahap ini anak tidak memerlukan prompt fisik, tetapi memerlukan prompt khusus.
4. Beberapa bulan kemudian anak dapat melakkan aktivitasnya sendiri tanpa bimbingan
dari guru atau orang lain. Kemandirian inilah yang diharapkan oleh guru dan orang
tua, kemandirian yang tidak mengkat keterlibatan guru mendampingi anak autis lebih
lama. Dia mampu menggeneralisasi prilaku adaptifnya dalam segala situasi.

23
b.10. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama anak, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
tanggal, jam masuk rs, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
2. Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang
biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa,
keterlambatan atau sama sekali tidak dapat bicara. Bermunikasi
dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam
waktu singkat, tidak senang atau menolak dipeluk. Saat
bermain bila didekati akan menjauh. Ada kedekatan dengan benda tertentu
seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibaca kemana
saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Sebagai
anak yang senang kerapian harus menempatkan barang
tertentu pada tempatnya.
Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau bend apa saja. Bila
mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan iq 70 dibawah 70%
dari penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5% mempunyai iq
diatas 100.
b) Riwayat kesehatan dahulu (ketika anak dalam kandungan)
1) Sering terpapar zat toksik seperti timbal
2) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan. Biasanya pada anak autis ada riwayat keturunan
c) Status perkembangan anak
1) Anak kurang merespon orang lain
2) Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh
3) Anak mengalami kesulitan dalam belajar
4) Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal

24
5) Keterbatasan kognitif
d) Pemeriksaan fisik
1) Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/ sentuhan)
2) Terdapat ekolalia
3) Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
4) Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut
5) Peka terhadap bau
e) Psikososial
1) Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
2) Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
3) Ketertarikan yang tidak pada tempatnya dengan objek
4) Perilaku menstimulasi diri
5) Pola tidur tidak teratur
6) Permainan stereotip
7) Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
8) Tantrum yang sering
9) Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan oada suatu pembicaraan
10) Kemampuan bertutur kata menurun
11) Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
f) Neurologis
1) Respons yang tidak sesuai terhadap stimulus
2) Refleks mengisap buruk
3) Tidak mampu menangis ketika lapar

B. Diagnosa keperawatan
a. Risiko mutilasi diri dibuktikan dengan individu autistik
b. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
c. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan perkembangan
d. Gangguan identitas diri berhubungan dengan tidak terpenuhinya tugas
perkembangan

25
C. Intervensi keperawatan
Menurut Townsend, M.C (1998) perencanaan dan rasionalisasi untuk mengatasi
masalah keperawatan pada anak dengan gangguan perkembangan pervasife autisme:

Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Risiko mutasi Tujuan pasien akan 1. Jamin 1. perawat
diri mendemonstrasikan keselamatan bertanggung jawab
perilaku-perilaku anak dengan untuk menjamin
alternative (misalnya memberi rasa keselamatan anak
memulai interaksi aman, 2. Penkajian
antara diri dengan lingkungan kemungkinan
perawat) sebagai yang kondusif penyebab dapat
respons terhadap untuk mencegah memilih cara/
kecemasan dengan perilaku alternatif
kriteria hasil: merusak diri pemecahan yang
1. Rasa gelisah 2. Kaji dan tepat
dipertahankan pada tentukan 3. Untuk menjaga
tingkat anak merasa penyebab bagian vital dari
tidak memerlukan perilaku- cidera
perilaku-perilaku perilaku 4.untuk dapat bisa
mutilatif diri mutilatif lebih menjalin
2. Pasien memulai sebagai respon hubungan saling
interaksi antara diri terhadap percaya dengan
dan perawat apabila kecemasan pasien
merasa cemas 3. pakaikan helm 5.dalam upaya
pada anak untuk untuk
menghindari menurunkan
trauma saat kebutuhan pada
anak memukul- perilaku-perilaku
mukul kepala, mutasi diri dan

26
sarung tangan memberikan rasa
untuk mencegah aman
menarik-narik
rambut,
pemberian
bantal yang
sesuai untuk
mencegah luka
pada
ekstremitas saat
gerakan-
gerakan histeris
4. untuk
membentuk
kepercayaan
satu anak
dirawat oleh
satu perawat
5. tawarkan pada
anak untuk
menemani
selama waktu-
waktu
meningkatnya
kecemasan agar
tidak terjadi
mutasi
2. Kerusakan Tujuan: anak akan 1.jalin hubungan 1.Interaksi staf
interaksi sosial mendemonstrasikan satu-satu dengan dengan pasien
kepercayaan pada anak untuk yang konsisten
seorang pemberi meningkatkan meningkatkan

27
perawatan yang kepercayaan pembentukan
ditandai dengan 2.berikan benda- kepercayaan
sikap responsive benda yang 2. Benda-benda
pada wajah dan dikenal ini memberikan
kontak mata dalam (misalnya: rasa aman dalam
waktu yang mainan kesukaan, waktu-waktu
ditentukan dengan selimut) untuk tertentu agar
kriteria hasil: memberikan rasa anak tidak
-anak mulai aman dalam mengalami
berinteraksi dengan waktu-waktu distress
diri dan orang lain tertentu agar anak 3.karakteristik ini
-pasien tidak mengalami meningkatkan
menggunakan distress pembentukan dan
kontak mata, sifat 3.sampaikan mempertahankan
responsive pada sikap hangat, hubungan saling
wajah dan perilaku- dukungan dan percaya
perilaku non verbal kebersediaan 4. Pasien autisme
lainnya dalam ketika anak dapat merasa
berinteraksi dengan berusaha untuk terancam oleh
orang lain memenuhi suatu rangsangan
-pasien tidak kebutuhan- yang gencar pada
menarik diri dari kebutuhan pasien yang tidak
kontak fisik dengan dasarnya untuk terbiasa
orang lain meningkatkan 5.kehadiran
pembentukan dan seorang yang
mempertahankan telah terbentuk
hubungan saling hubungan saling
percaya percaya dapat
4. Lakukan memberikan rasa
dengan perlahan- aman
lahan, jangan

28
memaksakan
interaksi-
interaksi, muali
dengan penguatan
yang positif pada
kontak mata
perkenalkan
dengan
berangsur-angsur
dengan sentuhan,
senyuman dan
pelukan
5. Dengan adanya
kehadiran, beri
dukungan pada
pasien yang
berusaha keras
untuk membentuk
hubungan dengan
orang lain di
lingkungannya.

29
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘aut’
yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan‘orientasi atau
arah atau keadaan (state). Sehingga autism dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang
yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).
Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak dengan minat
pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak
membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka. gangguan yang
termasuk dalam kategori ini ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis
dasar yang meliputi perkembangan keterampilan social, bahasa, perhatian, persepsi, daya
nilai terhadap realitas dan gerakan motorik (Safaria).

3.2. Saran
Diharapkan bagi mahasiswa agar dapat memhami dan mencari informasi
memperluas wawasan mengenai klien dengan berkebutuhan khusus Autisme. Kami
tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Kami akan memperbaiki makalah dengan berpedoman pada banyak
sumber serta kritik yang membangun dari pembaca.

30
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association, Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders,


Washington DC.: American Psychiatric Association Publisher.
Budiman, Melly, (2003), Gangguan Metabolisme pada Anak Autistik di Indonesia,
(makalah), Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I.
Hidayat. (2004), Aplikasi Metode TEACCH dan Multisensori-Fernald dalam Optimasi
Kemampuan Kognitif dan Prilaku Adaptif Anak Autis, (makalah).
Peeters, Theo, (1998), Autism From Theoritical Understanding to Educational
Intervention, London: Whurr Publisher Ltd.
Pusponegoro, Hartono D, (2003), Pandangan Umum mengenai Klasifikasi Spektrum
Gangguan Autistik dan Kelainan Susunn saraf Pusat (makalah), Jakarta:
Konferensi Nasional Autisme-I
Sasanti, Yuniar, (2003), Masalah Perilaku pada Gangguan Spektrum Autism (GSA)
(makalah), Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I
Threvarthen, Colwyn, (1999), Children With Autism, Second Edition, Philadelphia: Jessica
Kingsley Publisher.
Wing, Lorna, (1974), Autistik Children A Guide for Parents and Professionals, New
Jersey: The Chitadel Press
https://www.academia.edu/37923443/ASKEP_PADA_ANAK_AUTISME
https://core.ac.uk/download/pdf/76939829.pdf

31

Anda mungkin juga menyukai